bab ii

19
BAB II PEMBAHASAN Proses geomorfologi adalah perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi. Penyebabnya yaitu benda-benda alam yang dikenal dengan nama geomorfic agent yaitu berupa angin dan air, termasuk di dalamnya golongan air yang meliputi : air permukaan, air tanah, gletser, gelombang, arus dan air hujan. Sedangkan angin terutama mengambil peranan yang penting di tempat-tempat terbuka seperti di padang pasir atau tepi pantai. Kedua penyebab ini dibantu dengan adanya gaya berat dan kesemuanya bekerja bersama-sama dalam melakukan perubahan terhadap roman muka bumi, gaya-gaya yang bekerja dapat berasal dari gaya endogen dan gaya eksogen. Akibat adanya gaya-gaya tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan pada roman muka bumi misalnya membuat topografi lebih mendatar oleh gaya destruktif yang mengikis, meratakan, dan merendahkan permukaan bumi sehingga dekat dengan ketinggian muka air laut (disebut tahapan tua). Rangkaian pembentukan proses (tahapan-tahapan) geomorfologi tersebut menerus dan dapat berulang, dan sering disebut sebagai Siklus Geomorfik. dalam mempelajari geomorfologi perlu dipahami istilah- istilah katastrofisme, uniformiaterianisme, dan evolusi. Katastrofisme merupakan pendapat yang menyatakan bahwa gejala-gejala morfologi terjadi secara mendadak, contohnya letusan gunung api.

Upload: amaadot

Post on 28-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

PEMBAHASAN

Proses geomorfologi adalah perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi

yang dialami permukaan bumi. Penyebabnya yaitu benda-benda alam yang dikenal dengan

nama geomorfic agent yaitu berupa angin dan air, termasuk di dalamnya golongan air yang

meliputi : air permukaan, air tanah, gletser, gelombang, arus dan air hujan. Sedangkan angin

terutama mengambil peranan yang penting di tempat-tempat terbuka seperti di padang

pasir atau tepi pantai. Kedua penyebab ini dibantu dengan adanya gaya berat dan

kesemuanya bekerja bersama-sama dalam melakukan perubahan terhadap roman muka

bumi, gaya-gaya yang bekerja dapat berasal dari gaya endogen dan gaya eksogen. Akibat

adanya gaya-gaya tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan pada roman muka bumi

misalnya membuat topografi lebih mendatar oleh gaya destruktif yang mengikis, meratakan,

dan merendahkan permukaan bumi sehingga dekat dengan ketinggian muka air laut

(disebut tahapan tua). Rangkaian pembentukan proses (tahapan-tahapan) geomorfologi

tersebut menerus dan dapat berulang, dan sering disebut sebagai Siklus Geomorfik.

dalam mempelajari geomorfologi perlu dipahami istilah-istilah katastrofisme,

uniformiaterianisme, dan evolusi.

Katastrofisme merupakan pendapat yang menyatakan bahwa gejala-gejala morfologi

terjadi secara mendadak, contohnya letusan gunung api.

Uniformitarianisme sebaliknya berpendapat bahwa proses pembentukkan morfologi

cukup berjalan sangat lambat atau terus menerus, tapi mampu membentuk bentuk-

bentuk yang sekarang, bahkan banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada masa

lalu juga terjadi pada masa sekarang, dan seterusnya (James Hutton dan John

Playfair, 1802).

Evolusi cenderung didefinisikan sebagai proses yang lambat dan dengan perlahan-

lahan membentuk dan mengubah menjadi bentukan-bentukan baru.

Proses-proses geomorfik adalah semua perubahan fisik dan kimia yang terjadi akibat

proses-proses perubahan muka bumi. Secara umum proses-proses geomorfik tersebut

adalah sebagai berikut :

Page 2: BAB II

a. Proses-proses epigen (eksogenetik)

· Degradasi ; pelapukan, perpindahan massa (perpindahan secara gravity), erosi (termasuk

transportasi) oleh : aliran air, air tanah, gelombang, arus, tsunami), angin, dan glasier.

· Agradasi ; pelapukan, perpindahan massa (perpindahan secara gravity), erosi (termasuk

transportasi) oleh : aliran air, air tanah, gelombang, arus, tsunami), angin, dan glasier.

· Akibat organisme (termasuk manusia)

b. Proses-proses hipogen (endogenetik)

· Diastrophisme (tektonisme)

· Vulkanisme

c. Proses-proses ekstraterrestrial, misalnya kawah akibat jatuhnya meteor.

2.1 Proses Gradasional

Istilah gradasi (gradation) awalnya digunakan oleh Chamberin dan Solisbury (1904)

yaitu semua proses dimana menjadikan permukaan litosfir menjadi level yang baru.

Kemudian gradasi tersebut dibagi menjadi dua proses yaitu degradasi (menghasilkan level

yang lebih rendah) dan agradasi (menghasilkan level yang lebih tinggi).

Tiga proses utama yang terjadi pada peristiwa gradasi yaitu :

2.1.1 Pelapukan

Pelapukan dapat berupa disentrigasi atau dekomposisi batuan dalam suatu tempat,

terjadi di permukaan, dan dapat merombak batuan menjadi klastis. Dalam proses ini belum

termasuk transportasi.

Pelapukan atau weathering (weather) merupakan perusakan batuan pada kulit bumi

karena pengaruh cuaca (suhu, curah hujan, kelembaban, atau angin). Karena itu pelapukan

adalah penghancuran batuan dari bentuk gumpalan menjadi butiran yang lebih kecil bahkan

menjadi hancur atau larut dalam air. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan,

yakni:

· Iklim. Terutama temperatur dan curah hujan

· Vegetasi sebagai penutup dari sinar matahari secara langsung, sehingga akan

memperlambat pelapukan mekanis. Vegetasi sebagai pemasok asam organik dan

karbondioksida ( CO2) kedalam tanah sehingga akan mempercepat pelapukan kimia.

Page 3: BAB II

· Topografi. Berkaitan arah kemiringan tempat yang menghadap sinar matahari secara

langsung akan mempercepat pelapukan.

· Jenis batuan.

Pelapukan dibagi menjadi 3 (tiga), yakni: pelapukan mekanis, pelapukan kimiawi, dan

pelapukan organik. Pelapukan mekanis merupakan penghancuran batuan secara fisik tanpa

mengalami perubahan kimiawi. Penghancuran batuan ini bisa disebabkan oleh akibat

pemuaian, pembekuan air, perubahan suhu tiba-tiba, atau perbedaan suhu yang sangat

besar antara siang dan malam.

Pelapukan kimiawi merupakan pelapukan yang ditimbulkan oleh reaksi kimia terhadap

massa batuan. Air, oksigen dan gas asam arang mudah bereaksi dengan mineral, sehingga

membentuk mineral baru yang menyebabkan batuan cepat pecah. Faktor-faktor yang

mempengaruhi intensitas pelapukan kimiawi yakni sama seperti faktor-faktor yang

mempengaruhi pelapukan pada umumnya. Jenis-jenis pelapukan kimiawi yakni: proses

oksidasi dan proses hidrolisis.

Pelapukan oraganik dihasilkan oleh aktifitas makhluk hidup, seperti pelapukan oleh

akar tanaman (lumut dan paku-pakuan) dan aktivitas hewan (cacing tanah dan serangga).

2.1.2 Perpindahan massa (mass wasting)

Perpindahan massa (mass wasting) dapat berupa perpindahan (bulk transfer) suatu

massa batuan sebagai akibat dari gaya gravitasi. Kadang-kadang (biasanya)efek dari air

mempunyai peranan yang cukup besar, namun belum merupakan suatu media transportasi.

Gerakan massa batuan juga disebut dengan perpindahan tanah atau batuan yang ada

dilereng oleh pengaruh gaya berat (gravitasi) atau kejenuhan air. Mass wasting biasa terjadi

pada lereng yang labil, yaitu lereng yang gaya menarik (shear strees)nya > gaya menahan

(shear strenght). Untuk lereng yang stabil, shear strenght > shear strees sehingga tidak

terjadi gerakan massa batuan. Faktor-faktor yang mempengaruhi mass wasting (gerakan

massa batuan, yakni:

· Kemiringan lereng, dimana semakin besar kemiringannya maka peluang terjadi gerakan

massa batuan akan semakin besar dikarenakan gaya berat semakin besar pula.

· Relief lokal, terutama yang mempunyai kemiringan lereng cukup besar misalnya kubah,

perbukitan mempunyai peluang yang besar untuk terjadi mass wasting.

Page 4: BAB II

· Ketebalan hancuran batuan diatas batuan dasar, makin tebal maka peluang untuk

terjadinya mass wasting dikarenakan permukaan yang labil makin besar pula.

· Iklim.

· Gempa bumi.

· Vegetasi.

· Dan tambahan material di bagian atas lereng.

Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai klasifikasi mass wasting adalah sebagi

berikut:

a. Gerakan lambat (slow flowage).

· Rayapan tanah (soil creep) yaitu gerakan massa tanah atau batuan secara lambat

· Talus creep adalah rayapan puing-puing hasil pelapukan yang tertimbun di suatu lereng.

Terjadi karena pengaruh gravitasi, yang tertimbun di suatu lereng. Terjadi karena pengaruh

gravitasi, yang dibantu oleh air sebagai pendorong.

· Rock creep yaitu gerakan massa batuan secara lambat menuruni lereng disebabkan

karena gravitasi.

b. Gerakan cepat (rapid flowage). Gerakan ini dikontrol oleh kejenuhan air pada massa

batuan.

· Earth flow adalah aliran massa batuan yang jenuh air menuruni lereng .

· Mud flow yakni aliran hancuran batuan halus yang bercampur dengan air melalui lembah-

lembah (saluran), terjadi di daerah beriklim kering.

c. Gerakan sangat cepat (very rapid flowage). Gerakan ini dipengaruhi oleh gravitasi.

Cara untuk mencegah gerakan mass wasting adalah sebagai berikut:

· Menanami lereng dengan vegetasi

· Membuat teras-teras pada lereng

· Bangunan di dekat lereng dibuatkan beton penahan

· Dan usaha-usaha yang lain

2.1.3 Erosi

Page 5: BAB II

Erosi merupakan suatu tahap lanjut dari perpindahan dan pergerakan masa batuan.

Oleh suatu agen (media) pemindah. Secara geologi (kebanyakan) memasukkan erosi sebagai

bagian dari proses transportasi.

Erosi adalah suatu bagian dari proses geomorfologi, yaitu proses pelepasan dan

terangkatnya material bumi oleh tenaga geomorfologis. Menurut Arsyad (1989), erosi

adalah pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah daru suatu tempat ke

tempat lain oleh media alami. Media dapat berupa aliran sungai, angin, gerakan massa

tanah, dan lain-lain. Erosi sering juga disebut dengan pengikisan, baik berupa air, angin atau

gletser.

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya erosi, faktor tersebut adalah

sifat hujan, kemiringan lerang dari jaringan aliran air, tanaman penutup tanah, dan

kemampuan tanah utnuk menahan dispersi dan untuk menghisap kemudian merembeskan

air ke lapisan yang lebih dalam. Morgan (1980) menyebutkan bahwa erosi merupakan

interaksi antara faktor iklim, topografi, tanah, vegetasi, dan aktivitas manusia.

Jenis-jenis erosi menurut Morgan (1979) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

· Erosi percik, yakni proses percikan partikel-partikel tanah halus yang disebabkan oleh

pukulan tetes air hujan terhadap tanah dalam keadaan basah.

· Erosi lembar, yakni erosi yang terjadi karena pengankutan/pemindahan lapisan tanah

yang hampir merata di tanah permukaan oleh tenaga aliran perluapan. Kekuatan jatuh

tetes-tetes hujan dan aliran perluapan merupakan penyebab utama erosi lembar.

· Erosi alur, merupakan erosi yang terjadi karena adanya proses erosi dengan sejumlah

saluran kecil (alur) yang kedalamannya.

· Erosi parit, proses terbentuknya sama seperti erosi alur, akan tetapi tenaga erosinya

berupa aliran limpasan, dan alur-alur yang terbentuk sudah sedemikian dalam sehingga

sudah tidak dapt dihilangkan dengan pengolahan tanah secara biasa.

Page 6: BAB II

2.2 Vulkanisme dan Tektonisme2.2.1 VulkanismeIstilah vulkanisme berasal dari kata latin vulkanismus nama dari sebuah pulau yang legendaris di Yunani. Tidak ada yang lebih menakjubkan diatas muka bumi ini dibandingkan dengan gejala vulkanisme dan produknya, yang pemunculannya kerap kali menimbulkan kesan-kesan religiuos. Letusannya yang dahsyat dengan semburan bara dan debu yang menjulang tinggi, atau keluar dan mengalirnya bahan pijar dari lubang di permukaan, kemudian bentuk kerucutnya yang sangat mempesona, tidak mengherankan apabila di masa lampau dan mungkin juga sekarang masih ada sekelompok masyarakat yang memuja atau mengkeramatkannya seperti halnya di pegunungan Tengger (Gn.berapi Bromo) di Jawa Timur. 

Vulkanisme dapat didefinisikan sebagai tempat atau lubang di atas muka Bumi di mana dari padanya dikeluarkan bahan atau bebatuan yang pijar atau gas yang berasal dari bagian dalam bumi ke permukaan, yang kemudian produknya akan disusun dan membentuk sebuah kerucut atau gunung.

Adapun sejumlah bahan-bahan yang dikeluarkan melalui lubang, yang kemudian dikenal sebagai pipa kepundan, terdiri dari pecahan-pecahan batuan yang tua yang telah ada sebelumnya yang membentuk tubuh gunung-berapi, maupun bebatuan yang baru sama sekali yang bersumber dari magma di bagian yang dalam dari litosfir yang selanjutnya disemburkan oleh gas yang terbebas. Magma tersebut akan dapat ke luar mencapai permukaan bumi apabila geraknya cukup cepat melalui rekahan atau patahan dalam litosfir sehingga tidak ada waktu baginya untuk mendingin dan membeku. 

Terdapat dua sifat dari magma yang dapat memberikan potensi untuk bertindak demikian, dan itu adalah pertama kadar gas yang ada di dalam magma dan yang kedua adalah kekentalannya. Sebab-sebab terjadinya vulkanisme adalah diawali dengan proses pembentukan magma dalam litosfir akibat peleburan dari batuan yang sudah ada, kemudian magma naik ke permukaan melalui rekahan, patahan dan bukaan lainnya dalam litosfir menuju dan mencapai permukaan bumi.

Wilayah-wilayah sepanjang batas lempeng di mana dua lempeng litosfir saling berinteraksi akan merupakan tempat yang berpotensi untuk terjadinya gejala vulkanisme. Gejala vulkanisme juga dapat terjadi di tempat-tempat di mana astenosfir melalui pola rekahan dalam litosfir naik dengan cepat dan mencapai permukaan. Tempat-tempat seperti itu dapat diamati pada batas lempeng litosfir yang saling memisahkan diri seperti pada punggung tengah samudera, atau pada litosfir yang membentuk lantai samudera. 

Tidak semua gunung-berapi yang sekarang ada di muka Bumi ini, memperlihatkan kegiatannya dengan cara mengeluarkan bahan-bahan dari dalam Bumi. Untuk itu gunungapi dikelompokan menjadi gunung berapi aktif, hampir berhenti dan gunung-berapi yang telah mati. Gunung-berapi yang digolongkan kedalam yang hampir mati, adalah gunung-gunung-berapi yang tidak memperlihatkan kegiatannya saat ini, tetapi diduga bahwa gunungapi itu kemungkinan besar masih akan aktif di masa mendatang. Biasanya gunung-berapi ini memperlihatkan indikasi-indikasi ke arah bangunnya kembali, seperti adanya sumber panas dekat permukaan yang menyebabkan timbulnya sumber dan uap air panas, dll. Gunung berapi yang telah mati atau punah adalah gunung berapi yang telah lama sekali tidak menunjukkan kegiatan dan juga tidak memperlihatkan tanda-tanda ke arah itu.

Erupsi gunungapi

Page 7: BAB II

Gunung berapi di samping merupakan gejala geologi yang berupa keluarnya bahan-bahan yang bersumber dari magma, baik itu yang berwujud sebagai gas, lelehan maupun benda padat berupa fragmen-fragmen batuan ke permukaan Bumi, dinamakan erupsi atau erupsi gunung-berapi. Erupsi dapat dikelompokan berdasarkan :

1.    Jenis bahan yang dikeluarkan melalui lubang kepundan, atau lokasi dari tempat keluarnya bahan-bahan dari magma. Berdasarkan jenis bahan yang dikeluarkan, kita mengenal sebutan erupsi efusif apabila bahan yang dikeluarkan hampir seluruhnya terdiri dari lelehan magma yang disebut lava. Sedangkan sebutan erupsi piroklastik, apabila bahan yang dikeluarkan sebagian besar terdiri dari fragmen-fragmen batuan, abu dan gas.

2.     Erupsi juga dapat dikelompokan berdasarkan lokasi atau letak serta bentuk dari tempat keluarnya bahan-bahan magma dari dalam Bumi. Keluarnya bahan-bahan tersebut dapat melalui suatu lubang di permukaan Bumi yang dihubungkan dengan pipa ke dalam magma, atau suatu rekahan yang mencapai tempat berhimpunnya magma. 

Untuk ini dikenali adanya 2 (dua) tipe erupsi, yaitu:

a.    Erupsi sentral, apabila tempat ke luarnya bahan-bahan itu berupa lubang yang yang dihubungkan dengan pipa, atau kepundan, dan berada di bagian tengah dari tubuh gunung-berapi;

b.     Erupsi rekahan, apabila bahan-bahan berasal dari magma dikeluarkan melalui rekahan dalam kerak bumi yang bentuknya memanjang.

Rekahan seperti itu terjadi sebagai akibat dari gejala regangan pada kerak yang sedang memisah diri. Bahan yang dikeluarkan melalui erupsi seperti ini umumnya berupa lelehan pijar dari magma atau lava. Meskipun pada umumnya bentuk erupsi sentral yang terdapat pada gunung-berapi terutama di darat berbentuk lubang yang dihubungkan dengan pipa, namun tidak tertutup kemungkinan juga dapat berupa rekahan. Umumnya lokasi erupsi berlangsung pada bagian tengah puncak gunung-berapi, tetapi kadang-kadang juga terjadi pada bagian lereng. Dan apabila ini yang terjadi, maka gejala tersebut dinamakan “flank” atau “lateral eruption”.

Adapula erupsi gunung-berapi terjadi pada pada bagian kaki gunung-berapi, maka erupsi seperti itu dinamakan erupsi eksentrik atau erupsi parasitik. Erupsi yang berlangsung pada bagian puncak dinamakan juga erupsi terminal, sedangkan yang terjadi pada bagian lereng disebut sub-terminal. Keduanya selalu dianggap sebagai erupsi puncak, di mana yang sub-terminal merupakan pemisahan saja dari erupsi terminal. Erupsi puncak tidak akan menyebabkan penurunan terhadap kedudukan dari dapur magma, sedangkan erupsi eksentrik justru akan menyebabkan peningkatan kegiatan gas dibagian puncaknya.

Gerak dari bahan-bahan piroklastika

Bahan piroklastika yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi gunung-berapi, selanjutnya dapat dialirkan dari pusatnya ke wilayah sekitar gunung-berapi dengan media gas yang keluar bersama piroklastik, atau melalui media air meteorik. Dengan bantuan media gas : Awan panas atau “glowing avalance” atau “nu’ee ardente”. Sifat-sifat fisik dan karakteristik dari awan panas ini dipelajari dari erupsi gunungapi Mt.Pele’e di Kepulauan Martinique yang terjadi pada bulan Mei 1902, yang telah menghancurkan kota pantai St.Pierre dan menewaskan hampir 30.000 penduduknya. Karena bentuk awannya yang saat itu sangat menonjol, maka fenomena tersebut diberi nama “awan pijar”, yang sebenarnya adalah terdiri dari fragmen-fragmen pijar yang mengalir dengan kecepatan tinggi melalui lembah sebagaimana halnya aliran lava atau air.

Awan yang terlihat sebenarnya adalah hanya debu yang naik ke udara dari aliran tersebut. Karena itu istilah awan akhir-akhir ini cenderung untuk dirubah menjadi “glowing avalance”. Kecepatan laju awan panas yang menghampiri kota St.Pierre, diperkirakan mencapai 150 km per jam. Di Indonesia gunung-berapi yang juga dilaporkan menyemburkan awan panas adalah G. Merapi di Jawa-Tengah. Di sini awan panas karena warnanya yang putih dan turun mengikuti lereng, dinamakan “wedhus gembel”. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan setelah kejadian tersebut, yang juga melibatkan gunung-gunungapi lainnya yang memperlihatkan erupsi seperti itu. Letusan dari gunung-berapi Soufriere yang terletak berdekatan dengan Pulau St.Vincent, juga memperlihatkan fenomena yang sama seperti di Mt.Pele’e. Kemudian Neumann van Padang (1933) juga melaporkan kejadian yang sama pada letusan Gunung Merapi di P. Jawa tahun 1930.

Berdasarkan penelitian terhadap bahan yang diendapkan oleh awan panas, ternyata sebagian besar fragmen-fragmennya ternyata terdiri dari batuan yang baru membeku dari magma. Hanya sedikit sekali, kurang dari 5%

Page 8: BAB II

yang diperkirakan berasal dari batuan yang telah ada dari dinding atau pipa kepundannya. Dari pengamatan tersebut kemudian disimpulkan bahwa pada saat terjadi erupsi, sejumlah gas yang berada dalam magma membebaskan diri dan mengembang menyelimuti setiap bagian dari fragmen padat dan sebagain lagi mungkin magma yang masih cair dan pijar, sehingga dapat bergerak dengan kecepatan tinggi dan dengan suhu yang tinggi pula. Agak berbeda dengan yang digambarkan oleh NEUMANN van PADANG mengenai hasil letusan awan panas di Gunung-berapi Merapi di Jawa-Tengah pada tahun 1930. Menurutnya, sebahagian besar fragmen yang ada di dalam awan panas adalah berasal dari batuan tua, dan hanya sedikit sekali merupakan yang merupakan lava yang baru. Demikian pula yang terjadi pada letusan gunung-berapi Stromboli pada tahun 1930, di mana seluruh massa awan panas adalah bebatuan pijar berasal dari dinding kepundan. Didasarkan kepada cara-cara mekanisma keluarnya awan panas dari kepundan, dapat dibedakan adanya tiga tipe, yaitu : (a) Tipe Pele’e, (b) Tipe Soufriere, dan (c) Tipe Merapi

a.      Tipe Pele’e: LACROAIX (orang yang memberi nama “nue ardente”), melihat adanya bukti bahwa semburan awal dari bahan dari awan panas itu arahnya horisontal yang juga memberikan tekanan terhadap awan panas yang terjadi. Selanjutnya dari laporan tertulis yang dibuat oleh F.A.PERRET (1930) pada letusan Gunung-berapi Pe’lee yang terjadi pada tahun 1930 meskipun awan panasnya lebih kecil dari letusan tahun 1902, dia menemukan bukti-bukti baru yang dapat mengungkapkan bagaimana mekanisma gerak awan panas yang dihasilkan gunung-berapi tersebut. Dia yakin bahwa pembentukannya diawali oleh suatu letusan yang menyemburkan bahannya melalui suatu sudut yang kecil. Menurut pengamatannya, “nue ardente” yang terjadi adalah letusan dari lava itu sendiri yang terarah. Sumber lava yang terkumpul dibawah kubah secara-diam-diam akan menghimpun energi. Apabila kemudian meletus, maka ia akan menyembur melalui bagian yang lemah dibawah kubah dan mengarah horisontal menyapu lembah, bukit, menuruni lereng dan menyebar seperti kipas.

b.     Tipe Soufriere : Letusan yang terjadi pada gunung-berapi Soufriere yang melanda St.Vincent sifatnya agak berbeda dengan yang terlihat di gunung-berapi Pe’lee. Seperti halnya di St.Pierre, awan panas juga keluar dari lubang kepundan dan menuju ke lembah-lembah disekitarnya. Sebelum terjdi letusan, pada bagian puncak gunug-berapi ini terdapat kepundan dimana dasarnya ditutupi oleh danau yang dalamnya lebih dari 150 meter. Lereng gunug-berapi ini agak landai dengan rata-rata sudut 15 . Sifat letusannya agak berbeda dengan yang teramati di gunung-berapi Pe’lee. Suhunya lebih rendah dan letusannya juga agak lemah Kemudian awan yang disemburkan menuju kesegala arah (tidak pada arah tertentu seperti di St.Pierre), dan bahkan keatas kaldera. Bahan yang dibawanya sebhagian besar berukuran pasir dengan sedikit sekali yang berukuran lebih besar apabila dibandingkan dengan gunung-berapi Pe’lee. Disimpulkan bahwa bahan-bahan panas disemburkan vertikal keatas dan awan panas yang jatuh kemudian menuruni lereng gunung-berapi.

c.       Tipe Merapi Para pakar gunung-berapi di Pulau Jawa, berdasarkan pengamatan-2 yang dilakukan terhadap pola letusan gunung Merapi, ternyata telah menunjukkan adanya jenis mekanisma pembentukan awan panas lainnya selain dari yang dua di atas. Kubah pada kepundannya terus tumbuh dan lerengnya menjadi tidak mantap dan mulai runtuh serta menghasilkan guguran-guguran fragmen pijar melalui lereng gunung-berapi tersebut. Gunung-gunung-berapi yang mempunyai ciri-ciri yang sama seperti di Merapi, antara lain yang terjadi pada gunung-berapi Fuego di Guetamala, dan gunung-berapi Izalco di El Savador. Awan panas pada dasarnya sedikit sekali atau hampir tidak mengendapkan bahannya di bagian lereng gunung-api tersebut. Namun mereka mempunyai daya pengikisan yang kuat dan mampu menoreh lembah-lembah. Pada dinding lembah akan dapat dijumpai goresan-goresan sebagai akibat dari torehannya. Awan panas umumnya akan mengendapkan bahan-bahannya di bagian yang landai dibawah setelah kehilangan energinya. Endapannya terdiri dari pencampuran yang sangat lekat berupa bahan berukuran halus (debu) dan bongkah-bongkah menyudut dengan garis tengah beberapa meter serta kadang juga terdapat batu-apung di dalamnya.

Tipe-tipe erupsi gunung berapi

1.    Erupsi efusif: Erupsi efusif berjalan tenang, tidak disertai letusan-letusan yang dahsyat dan melibatkan lava yang bersifat basaltis. Umumnya tidak menghasilkan piroklastik dalam jumlah besar.

2.    Erupsi sentral: Melalui satu lubang utama yang terletak ditengah, lava basaltis akan mengalir kesegala arah dalam jumlah yang hampir sama. Erupsi-erupsi yang terjadi berulang kali kemudian akan membangun sebuah gunungapi yang berbentuk perisai. Gunung-berapi yang terjadi dengan cara seperti ini disebut gunung-berapi perisai. Gunung-berapi ini mempuyai lereng yang sangat landai karena lava basaltis yang encer yang mampu

Page 9: BAB II

mengalir dalam jarak yang jauh dari sumbernya, sehingga tidak mampu membangun kerucut yang tinggi. Contoh klasik gunungapi tipe ini dan yang paling banyak dipelajari adalah gunung-berapi yang membentuk Pulau Hawaii yang terletak di Samudera Pasifik. Pulau Hawaii sendiri terdiri dari 5 buah gunung-berapi perisai, dimana yang terbesar adalah Mauna Kea dan Mauna Loa dengan ketinggian puncaknya masing-masing 4205 dan 4170 meter. Dasarnya terletak pada dasar samudera yang dalamnya 5000 meter, sehingga dengan demikian apabila diukur dari kakinya, maka ketinggiannya mencapai 9000 meter. Dan ini adalah lebih tinggi dari gunung tertinggi di darat yaitu Mt.Everest di Pegunungan Himalaya. Mauna Loa dengan ketinggian seperti itu merupakan tumpukan lava dari berulang kali erupsi sejak 750.000 tahun yang lalu.

3.     Erupsi rekahan: Tipe erupsi ini banyak dijumpai di wilayah lantai samudera. Rekahan terjadi sebagai akibat dari proses pemisahan pada litosfir, atau interaksi divergen lempeng litosfir, dengan ukuran panjang hingga beberapa puluh kilometer. Contoh klasik erupsi rekahan seperti ini dijumpai di Iceland yang terletak tepat diatas punggung-tengah-Samudera Atlantik. Lava yang keluar dari rekahan seperti ini bersifat sangat encer, akan menyebar ke-kedua arah dari rekahan dengan laju kecepatan hampir 20 kiliometer/jam. Urut-urutan ke luarnya lava akan membentuk suatu dataran yang kadang tinggi dan disebut dataran basalt (plateau basalt) , atau “flood basalt”.

Sepanjang sejarah geologi barangkali erupsi rekahan yang berlangsung secara berulang-ulang dan menghasilkan aliran basalt dalam jumlah yang sangat banyak mungkin hanya terjadi di tempat-tempat tertentu di muka Bumi. Sebagai contoh adalah “Dataran Deccan” yang terdapat di bagian barat laut Jazirah India. Kemudian di wilayah dataran Columbia di negara Bagian Washington dan Oregon hingga ke Idaho. Dalam ukuran yang agak kecil dataran basalt juga dijumpai di selatan Vietnam, diutara Columbia Inggris dan Patagonia. Demikian pula dalam ukuran yang lebih kecil dan berumur lebih muda adalah di Afrika Selatan, Siberia Tengah, Abyssinia, beberapa tempat di Amerika Utara dan Selatan. Di Amerika Keweenawan Basalt, mengandung endapan tembaga dalam jumlah besar. Erupsi rekahan yang pernah tercatat dalam sejarah sekarang adalah yang terjadi di wilayah Iceland, yang terletak tepat diatas punggung-tengah Samudra Atlantik. Erupsi terjadi pada tanggal 8 Juni 1783 melalui rekahan sepanjang 32 kilometer.

4.      Erupsi di bawah permukaan laut Erupsi efusif yang terjadi 300-1000 meter di bawah permukaan laut atau disebut juga “submarine”, umumnya berlangsung tenang. Lava yang dikeluarkan akan membeku dan membentuk lava bantal. Tipe erupsi ini sedikit sekali mendapat perhatian karena terjadinya jauh di bawah pengamatan. Lava yang membeku membentuk akan membentuk lava “bantal” (pillow lava). Bentuknya melonjong dengan ukuran kurang dari 1.5 meter dan penampang ±30 cm, dengan dasar yang mendatar dan bagian atasnya membulat.

5.      Erupsi piroklastik atau erupsi eksplosif Erupsi piroklastik terjadi pada magma yang kental, mengandung banyak gas dan mempunyai sifat letusan berkisar antara sedang dan sangat dahsyat. Erupsi explosif umumnya banyak menghasilkan piroklastika dan sedikit lava. Karena sifat magmanya yang kental maka lava yang mengalir tidak akan dapat menempuh jarak yang jauh dari sumbernya, lubang kepundan.

2.2.2 Tektonisme

Sdsad

Ada dua jenis tektonisme, yaitu Epirogenesa dan Orogenesa.

EPIROGENESAEpirogenesa adalah proses perubahan bentuk daratan yang disebabkan oleh tenaga lambat dari dalam bumi dengan arah vertikal, baik ke atas maupun ke bawah melewati daerah luas.

Page 10: BAB II

Ada dua Epirogenesa:

* Epirogenesa positif, yaitu gerakan yang mengakibatkan turunnya lapisan kulit bumi, sehingga permukaan air laut terlihat naik.

gerak turunnya daratan sehingga terlihat seakan permukaan air laut naik, akibat adanya sedimen yang tebal.Contoh : Turunnya pulau-pulau di Indonesia bagian timur( Kep. Maluku dari barat daya sampai P. Banda)

* Epirogenesa negatif, yaitu gerakan yang mengakibatkan naiknya lapisan kulit bumi, sehingga permukaan air laut terlihat turun.

epirogenetik negatif dapat juga di akibatkan karena mencairnya lapisan es.Contoh : Naiknya Pulau Timor dan Pulau ButonNaiknya Dataran Tinggi Colorado di Amerika Serikat

OROGENESAOrogenesa yaitu pergerakan lempeng tektonis yang sangat cepat meliputi wilayah yang sempit. Merupakan proses pembentukan gunung akibat tabrakan lempeng benua, sesar bawah benua, perekahan kontinen, atau pergeseran punggung samudra dengan benua. Tenaga ini biasanya diikuti pelengkungan (warping), lipatan (folding), patahan (faulting), dan retakan (jointing).

Page 11: BAB II

Lipatan (fault) terjadi karena tekanan yang lemah, tapi berlangsung terus-menerus. Puncak lipatan disebut antiklinal, lembah lipatan disebut sinklinal. Ada empat tipe lipatan umum:

* Lipatan tegak, dihasilkan dua arah mendatar disertai kekuatan dan arah gerakan sama.* Lipatan miring, diakibatkan gaya tangensial satu dan yang lain. Ditunjukkan oleh bidang porosnya yang miring.* Lipatan menggantung, diakibatkan salah satu gaya tangensial yang terus bekerja sehingga salah satu sisi lain lebih miring. Sedemikian sehingga kemiringan sayap dan kecuramannya sudah melalui poros vertikal.* Lipatan rebah, diakibatkan lipatan miring dan menggantung mendapatkan gaya tangensial yang lebih besar dari yang lain.* Lipatan sesar sungkup, diakibatkan lipatan rebah tetap mendapatkan tekanan gaya tangensial.* Lipatan isoklinal, deret lipatan yang memiliki bentuk sama besar.* Lipatan monoklinal, yaitu pencuraman setempat di suatu daerah yang umumnya ditandai kemiringan landai.* Lipatan terbuka, lipatan yang masih berpotensi lebih melengkung lagi.

Patahan (fold) terjadi karena adanya tekanan yang kuat melampaui titik patah batuan, dan berlangsung sangat cepat. Tidak hanya retakan, batuan pun dapat terpisah. Ada tiga macam patahan:

* Normal fault: patahan yang arah lempeng batuannya turun mengikuti arah gaya berat.* Reserve fault: patahan yang arah lempeng batuannya naik berlawanan arah dengan gaya berat.* Strike slip fault: patahan yang arah lempeng batuannya horisontal berlawanan arah dengan gaya berat.

Page 12: BAB II

Patahan dapat menghasilkan bentuk-bentuk permukaan bumi seperti berikut:

* Graben atau Slenk, yakni suatu depresi yang terbentuk antara dua patahan.* Horst atau tanah naik, yakni jika antara dua patahan mengalami pengangkatan lebih tinggi.* Fault scrap, yakni dinding terjal (cliff) yang dihasilkan patahan dengan salah satu blok bergeser ke atas menjadi lebih tinggi.

Retakan (joint) terjadi karena pengaruh gaya renggangan, sehingga batuan mengalami retak-retak tapi masih bersambung. Biasanya ditemukan pada batuan rapuh di daerah puncak antiklinal dan dikenal dengan nama tectonic joint. Berdasarkan cara pembentukannya ada dua macam retakan, yakni:

* Retakan yang disebabkan tekanan (shear/compression joints), umumnya terlihat paralel dengan gejala sesar.* Retakan yang disebabkan tarikan (tension joints), berbentuk tidak teratur dengan bidang-bidang tidak rata dan selalu terbuka.

Page 13: BAB II

(retakan di Benua Afrika, Zimbabwe)

Pelengkungan (warping) adalah gerak vertikal yang tidak merata pada suatu daerah, khususnya yang berbatuan sedimen akan menghasilkan perubahan struktur lapisan yang mulanya horisontal menjadi melengkung. Jika melengkung ke atas menjadi kubah (dome), jika ke bawah menjadi cekungan (basin).

( Grand Prismatic, yellowstone National Park, USA)

Page 14: BAB II

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran