bab ii
DESCRIPTION
Skripsi; Kepekaan Bakteri Pasien NICUTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Landasan Teori
1.1.1 Infeksi pada Neonatus
Neonatus sangat rentan terhadap infeksi karena mekanisme imun yang
masih imatur dan belum ada pajanan terhadap antigen. Hal ini menyebabkan
tingginya frekuensi infeksi dan infeksi yang terjadi biasanya lebih berat daripada
infeksi yang terjadi pada orang anak dewasa. Sebanyak 2% neonatus mengalami
infeksi in utero, dan lebih dari 10% bayi terinfeksi selama proses kelahiran atau
dalam bulan pertama kehidupan (Gotoff, 2009).
Saat lahir neonatus memiliki sel T yang secara relatif responnya terhadap
stimulus masih rendah, sehingga ada penurunan fungsi sitotoksik, produksi
sitokin, dan respon untuk sel B rendah. Namun dalam keadaan normal, sistem
imun ini sudah mampu mencegah terjadinya infeksi oportunistik. Pada bayi
prematur, respon sel T dan sel B tidak menurun dibandingkan dengan bayi lahir
cukup bulan. Namun, imunoglobulin G (IgG) yang ditransfer secara maternal dari
ibu berkurang sebelum minggu ke 33 gestasi, dan fungsi neutrofil pada bayi
prematur menurun dibandingkan pada bayi cukup bulan (Davies, 2008).
Menurut Gotoff (2009), keunikan infeksi neonatus merupakan akibat dari
sejumlah faktor. Ada beraneka ragam mode penularan agen penyebab infeksi dari
ibu ke janin atau ke bayi baru lahir. Penyebaran hematogen transplasenta dapat
terjadi pada berbagai waktu selama kehamilan. Manifestasi infeksi kongenital
dapat tampak pada saat lahir atau terlambat selama beberapa bulan bahkan
beberapa tahun. Penularan infeksi secara vertikal dapat terjadi selama di dalam
uterus, tepat sebelum kelahiran, atau selama proses kelahiran. Setelah dilahirkan,
bayi baru lahir dapat terpapar penyakit infeksi dalam ruang perawatan atau di
pemukiman. Sehubungan dengan makin kompleksnya perawatan intensif
neonatus, bayi lahir prematur dan dengan berat badan lahir rendah akan tetap
6
7
hidup dan dapat bertahan lebih lama dalam lingkungan dengan risiko infeksi yang
lebih tinggi.
Infeksi neonatus, pada tahap awal mungkin sulit didiagnosis karena
neonatus tidak memperlihatkan tanda-tanda klasik penyakit. Jika janin terinfeksi
in utero, mungkin terjadi depresi dan asidosis saat lahir tanpa sebab yang jelas.
Neonatus mungkin tidak mau makan, muntah, atau mengalami distensi abdomen.
Dapat terjadi insufisiensi pernapasan, yang mungkin memberi gambaran serupa
dengan sindrom distres pernapasan idiopatik. Bayi tersebut mungkin letargik atau
mudah terangsang. Respon terhadap sepsis mungkin mudah hipotermia dan bukan
hipertermia, sementara hitung leukosit dan neutrofil mungkin menurun
(Cunningham et al, 2013).
Dalam infeksi neonatus dikenal istilah sepsis neonatorum, yaitu sindrom
klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi dalam satu bulan pertama
kehidupan. Berdasarkan awitannya, sepsis neonatorum terbagi menjadi (Venita,
2014):
1. Early onset sepsis (EOS). Timbul pada usia ≤72 jam, biasanya
mikroorganisme berasal dari ibu. Terjadi gangguan multisistem
terutama sistem pernapasan, awitan mendadak, dan cepat menjadi syok
sepsis dan berakibat kematian. Penyebab paling sering dilaporkan pada
EOS ialah Staphylococcus koagulase negatif, Enterococcus sp., serta
Staphylococcus aureus.
2. Late onset sepsis (LOS). Timbul pada usia ≥72jam, biasanya diatas 1
minggu, mikroorganisme didapat dari proses persalinan dengan infeksi
awitan lambat dan seringkali terjadi meningitis. Penyebab LOS
tersering adalah bakteri gram negatif.
8
Pada neonatus yang diduga infeksi akan dilakukan uji kultur untuk
menegakkan diagnosis infeksi dan mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi. Uji
kultur dilakukan terhadap spesimen klinis sebagai berikut (Polin, 2012).
a. Darah
Kultur darah dilakukan pada semua neonatus yang diduga mengalami
sepsis. Darah dapat diperoleh dari vena perifer ataupun kateter arteri
umbilikalis.
b. Urin
Kultur urin tidak perlu dilakukan pada neonatus yang diduga
mengalami sepsis awitan dini, karena tidak seperti infeksi traktus
urinarius pada orang dewasa, infeksi pada traktus urinarius neonatus
biasanya terjadi akibat adanya pembenihan pada ginjal selama episode
bakteremia.
c. Aspirasi gaster
Fetus menelan 500-1000 ml cairan amnion setiap hari. Sehingga, jika
terdapat sel darah putih dalam cairan amnion, saat lahir sel darah putih
tersebut akan ditemukan dari aspirasi gaster pada neonatus. Namun sel
ini menggambarkan respon inflamasi pada ibu dan tidak berkorelasi
dengan adanya sepsis pada neonatus. Sehingga kultur aspirasi gaster
tidak direkomendasikan.
d. Permukaan kulit tubuh
Kultur bakteri dari aksila, paha, dan kanalis telinga eksternal memiliki
akurasi yang buruk. Kultur ini memerlukan biaya yang mahal dan tidak
dilakukan untuk evaluasi neonatus yang diduga menderita infeksi.
e. Aspirasi trakea
Kultur aspirasi trakea hanya dapat bernilai jika segera diambil sesaat
setelah pemasangan tuba endotrakeal.
f. Pungsi lumbal
Pelaksanaan prosedur pungsi lumbal pada neonatus yang diduga
menderita sepsis awitan dini masih kontroversial. Pada bayi dengan
risiko tinggi maupun bayi yang sehat, kemungkinan mengalami
9
meningitis sangat kecil. Pada bayi dengan gejala klinis sindrom distres
pernapasan kemungkinan mengalami meningitis pun kecil. Namun,
pada bayi yang mengalami bakteremia, insidensi meningitis dapat
mencapai 23%. Kultur darah saja tidak dapat menentukan apakah bayi
tersebut memerlukan pungsi lumbal karena hasil kultur darah bisa
negatif hingga 38% pada bayi yang mengalami meningitis. Pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi dengan kultur darah positif, bayi
yang memiliki gejala klinis dan data laboratorium yang menduga sepsis
bakteri, dan bayi yang kondisinya memburuk setelah mendapat terapi
antimikrobial. Pada bayi dengan kondisi kritis dan kemungkinan
mengalami gangguan kardiovaskular dan pernapasan akibat prosedur,
pungsi lumbal dapat ditunda hingga kondisi bayi stabil.
1.1.2 Infeksi Nosokomial/Healthcare Associated Infection (HAI)
Infeksi nosokomial atau Healthcare-associated infection dapat
didefinisikan sebagai infeksi yang bermanifestasi selama pasien mendapatkan
perawatan di pelayanan kesehatan. Dalam definisi ini kaitan antara infeksi dan
pelayanan kesehatan adalah waktu. Biasanya infeksi yang terjadi dalam kurun
waktu 2 hari setelah masuk rumah sakit dan tidak diinkubasi saat masuk rumah
sakit diasumsikan sebagai infeksi nosokomial (Duerink, Oranjestad, dan Aruba,
2009). Namun pada infeksi nosokomial pada neonatus terdapat pengecualian
yaitu infeksi mula-lambat akibat organisme yang didapat dari saluran kelamin
ibunya (misalnya beberapa infeksi streptokokus grup B) dan infeksi nosokomial
yang didapat dalam ruang bersalin (misalnya dari peralatan yang terkontaminasi)
yang tanda-tanda infeksinya berkembang segera setelah lahir. Infeksi nosokomial
dapat terjadi secara sporadis atau sebagai epidemi, dan dapat terjadi di rumah sakit
atau setelah dipulangkan (Gotoff, 2009).
Menurut Irianto (2014), infeksi ini sering terjadi (muncul pada sampai
25% dari pasien yang dirawat). Jenis infeksi yang paling sering terjadi adalah
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, infeksi luka, infeksi kulit dan
jaringan lunak, dan septikemia (sering berhubungan dengan akses vaskular). Hal
10
ini dipengaruhi oleh lingkungan rumah sakit, penyediaan makanan, suplai udara,
fomit, suplai air, dan faktor pejamu itu sendiri.
Pelayanan kesehatan modern menggunakan banyak alat dan prosedur
invasif dalam perawatan pasien. Infeksi dapat diasosiasikan dengan penggunaan
alat dalam prosedur medis seperti kateter dan ventilator.
Ada beberapa tipe Healthcare-associated Infections (HAI) yaitu sebagai
berikut (CDC, 2014).
a. Central-line associated bloodstream infections (CLABSI)
Central line atau yang dikenal juga sebagai kateter vena sentral adalah
kateter atau tube yang dipasang di vena besar di leher, dada, ataupun paha untuk
memberikan obat atau cairan atau mengambil darah untuk keperluan tes
laboratorium. Central line berbeda dari kateter intravena karena central line
dipasang di vena besar yang dekat dengan jantung dan dapat dipasang hingga
berminggu-minggu bahkan bulan dan lebih berisiko menyebabkan infeksi.
Central line lebih sering digunakan di ICU.
CLABSI adalah kejadian infeksi serius yang terjadi akibat penggunaan
central line. Hal ini dapat terjadi jika central line dipasang dalam keadaan tidak
steril. Pasien yang mengalami CLABSI akan memiliki gejala berupa demam, kulit
kemerahan dan luka di sekitar tempat pemasangan central line.
b. Catheter-associated urinary tract infections (CAUTI)
Infeksi traktus urinarius adalah infeksi yang melibatkan bagian dari sistem
urinarius yaitu uretra, kandung kemih, ureter, dan ginjal. CAUTI merupakan
infeksi nosokomial yang paling sering terjadi. Sebanyak 75% berkaitan dengan
penggunaan kateter, yaitu pemasangan tube ke dalam kandung kemih melalui
uretra untuk mengeluarkan urin. Faktor risiko terjadinya CAUTI adalah
penggunaan kateter urin dalam waktu lama. Oleh karena itu pemakaian kateter
urin harus sesuai indikasi dan harus segera dilepaskan jika sudah tidak diperlukan.
c. Ventilator-associated penumonia (VAP)
VAP adalah infeksi paru yang berkembang pada pasien yang
menggunakan ventilator. Ventilator adalah mesin yang digunakan untuk
membantu pasien bernapas dengan memberikan oksigen melalui tube yang
11
dipasang di mulut atau hidung, atau melalui lubang di bagian depan leher pasien.
Infeksi dapat terjadi jika bakteri masuk melalui tube ke dalam paru-paru pasien.
d. Surgery site infections (SSI)
Infeksi yang terjadi setelah tindakan operasi pada bagian tubuh yang
dioperasi merupakan suatu SSI. Infeksi ini dapat berupa infeksi superfisial yang
terbatas hanya pada kulit, namun dapat juga menjadi infeksi serius yang
melibatkan jaringan dibawah kulit, organ, atau bahan yang diimplan dalam tubuh.
Duerink, et al, 2006, mengadakan surveilans dari HAI di dua rumah sakit
besar di Indonesia. Sampel yang diambil adalah pasien dari bagian penyakit
dalam, bedah, obgyn, pediatrik, dan unit perawatan intensif. Di rumah sakit A dari
1.334 pasien didapatkan sebanyak 2,8% kasus phlebitis, 1,7% SSI, 0,9% UTI, dan
0,8% septikemia. Sedangkan di rumah sakit B dari 888 pasien didapatkan
sebanyak 3,8% phlebitis, 1,8% SSI, 1,1% UTI, dan 0,8% septikemia.
Infeksi yang diperoleh dari rumah sakit berbahaya bagi neonatus kurang
bulan, dan orang yang merawat mereka adalah sumber utama infeksi (Stoll dan
Hansen, 2003). Sistem ventilasi dan kateter vena dan arteri umbilikaslis dapat
menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa. Bayi dengan berat badan lahir
sangat rendah yang bertahan hidup selama beberapa hari pertama tetap berisiko
tinggi meninggal akibat infeksi yang berjangkit di ruang perawatan intensif.
Menurut Nasution (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian
infeksi nosokomial adalah kurangnya kepatuhan tenaga medis dalam mencuci
tangan sebelum dan sesudah memeriksa neonatus, lokasi tempat mencuci tangan
terlalu jauh dari posisi tempat tidur bayi, kapasitas pasien rawat inap yang terlalu
banyak, jumlah tenaga medis yang banyak dan sering masuk keluar ruang
perawatan neonatus risiko tinggi.
1.1.3 Infeksi Oportunistik dan Potensial Patogen
Manusia secara konstan berhubungan dengan berbagai macam
mikroorganisme. Suatu mikroorganisme dapat hidup berdampingan dengan
manusia tanpa menyebabkan penyakit. Dalam hal ini manusia disebut sebagai
12
pejamu (host). Hubungan antara mikroorganisme dengan pejamunya ini dapat
berupa komensalisme atau mutualisme. Mikroorganisme tersebut hidup di dalam
pejamu tanpa menimbulkan reaksi pejamu untuk mempertahankan diri dan dapat
disebut sebagai flora normal. Menurut Brooks (2008), flora dalam tubuh
digolongkan menjadi 2 berdasarkan bentuk dan sifat kehadirannya, yaitu:
1. Mikroorganisme tetap/normal (resident flora/indigenous), yaitu
mikroorganisme jenis tertentu yang ditemukan pada bagian tubuh
tertentu dan pada usia tertentu. Keberadaannya tetap dalam tubuh
manusia dan umumnya bersifat komensal. Beberapa mikroorganisme
lain bersifat mutual. Flora normal ini umumnya dapat lebih bertahan
dari kondisi buruk pada lingkungannya.
2. Mikroorganisme sementara (transient flora), yaitu mikroorganisme
non patogen atau secara potensial besifat patogen yang berada di kulit
dan selaput lendir.mukosa selama kurun waktu beberapa jam, hari, atau
minggu. Keberadaannya tidak tetap dapat disebabkan oleh pengaruh
lingkungan dan tidak menimbulkan penyakit. Jika flora tetap/normal
terganggu, maka flora sementara/transien ini dapat berkolonisasi,
berproliferasi, dan menimbulkan penyakit.
Flora normal menjaga tubuh dari serangan mikroorganisme patogen
dengan cara berkompetisi dalam mendapatkan zat makanan, saling menghambat
oleh hasil metabolik atau toksik, dan mekanisme lain. Sehingga ketika terjadi
supresi flora normal akan terjadi kekosongan lokal parsial yang cenderung diisi
oleh mikroorganisme lain yang berasal dari lingkungan maupun bagian tubuh lain.
Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik oleh bakteri patogen tersebut.
Namun, flora normal juga dapat menyebabkan infeksi dalam keadaan
tertentu. Jika keseimbangan antara flora normal dan pertahanan tubuh pejamu
terganggu, maka masing-masing merupakan “agresor yang potensial” bagi yang
lain. Infeksi akan terjadi ketika mikroorganisme berhasil menembus pertahanan
pejamu (Irianto, 2014). Sedangkan menurut Brooks (2008), flora normal ini
umumnya tidak bersifat patogen namun dapat menjadi patogen oportunistik jika
dipindahkan secara paksa dari daerahnya dalam jumlah besar dan dengan faktor
13
predisposisi atau berkesempatan masuk ke dalam aliran darah atau jaringan
manusia dan menimbulkan infeksi yang serius.
Berikut adalah beberapa flora normal atau mikroorganisme yang sering
ditemukan dalam spesimen yang diperoleh dari berbagai area tubuh manusia
(Brooks, 2008).
- Flora normal kulit:
o Staphylococcus epidermidis
o Staphylococcus aureus (dalam jumlah kecil)
o Streptococcus viridans
o Asinetobakter (dalam jumlah kecil)
- Flora normal mulut & saluran pernapasan atas:
o Cornybacterium
o Staphylococcus epidermidis
o Staphylococcus aureus
o Streptococcus viridans
- Flora normal saluran cerna:
o Streptokokus
o Enterobacteriaceae, misalnya klebsiella, sitrobakter, dan
enterobakter
o Escherichia coli
o B. fragilis
1.1.4 Bakteri Penyebab Infeksi pada Pasien Neonatal Intensive Unit Care
(NICU)
Data mengenai bakteri penyebab infeksi pada pasien NICU didapatkan
dari hasil uji kultur. Pada pasien NICU yang diduga mengalami infeksi akan
dilakukan uji kultur darah untuk mengkonfirmasi dugaan infeksi dan mengetahui
bakteri penyebab infeksi. Untuk memudahkan identifikasi spesies bakteri dalam
uji kultur, bakteri diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan sifat
pengecatannya, yaitu gram negatif dan gram positif.
14
Beberapa penelitian tentang pola bakteri pada Neonatal Intensive Care
Unit (NICU) telah dilakukan sebelumnya. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan adanya perbedaan pola bakteri yang ditemukan di negara dan rumah
sakit yang berbeda.
Di Asia terdapat beberapa hasil penelitian mengenai pola bakteri pada
NICU di India dan Cina. Di India, Murki et al (2010) melakukan penelitian
mengenai Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) dan kejadian multi-drug resistant bacteria pada
NICU Fernandez Hospital. Hasilnya adalah dari 1046 neonatus yang dirawat di
NICU pada tahun 2007 dan 1074 neonatus pada 2008, sebanyak 32 neonatus (3%)
pada tahun 2007 dan 56 neonatus (5,2%) pada tahun 2008 mengalami sepsis
akibat bakteri gram negatif. Selama periode 2 tahun tersebut, bakteri yang
diisolasi adalah Klebsiella pneumoniae (n=44), Pseudomonas aeruginosa (n=16),
E.coli (n=13), Enterobacter sp (n=12) dan lain-lain (n=3). Setelah pembatasan
penggunaan sefalosporin, prevalensi bakteri gram negatif ESBL menurun secara
signifikan sebanyak 22%, bakteri gram negatif resisten sefotaksim menurun
sebanyak 30%, dan bakteri gram negatif resisten sefotaksim menurun sebanyak
27%. Tidak ada perubahan pada prevalensi bakteri gram negatif yang resisten
terhadap amikasin, piperisilin-tazobaktam, dan yang resisten terhadap ampisilin
maupun amikasin.
Di Gujarat, India, Shah et al (2012) mendapatkan data dari 190 neonatus di
NICU, sebanyak 60 (31,57%) neonatus hasil kulturnya positif. Sebanyak 95%
kasus merupakan early onset sepsis. Tiga puluh satu dari hasil kultur didapatkan
bakteri gram negatif, sedangkan 27 kultur didapatkan bakteri gram positif dan 2
kultur didapatkan Candida. Pada isolat gram negatif ditemukan Escherichia coli
(20%), Klebsiella spp (12%), Pseudomonas spp (10%), Acitenobacter (7%), dan
bakteri lain (3%). Sebanyak 14% memproduksi ESBL dan 29% memproduksi
carbapenamase. Sedangkan pada isolat gram positif ditemukan Coagulase-
negative Staphylococcus (CoNS) (27%), Staphylococcus aureus (13%), dan
Enterococci spp. (5%).
15
Penelitian Sharma et al (2012) di NICU di SGRDIMSAR Amritsar, India
mendapatkan 131 organisme dari 311 kultur darah yang dilakukan selama periode
Juni 2011-Juni 2012. Organisme yang diisolasi berupa Staphylococcus aureus
(n=68), CoNS (n=30), Klebsiella pneumoniae (n=10), Acinetobacter baumannii
(n=9), Escherichia coli (n=05), Enterobacter cloacae (n=04), Citrobacter
diversus (n=02), Pseudomonas aeruginosa (n=02) and jamur Candida (n=01).
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al (2013) di
Rama Medical College, Kanpur, India, pada periode 1 April 2011 sampai 31
Maret 2013 didapatkan 254 (69,78%) kasus positif sepsis namun hanya 137
(37,63%) positif kultur dari total 364 neonatus di NICU. Dari 137 bakteri yang
berhasil diisolasi, 76 (55,48%) berupa bakteri gram negatif dan sisanya berupa
bakteri gram positif, terutama Staphylococcus aureus, diikuti oleh Klebsiella
pneumoniae sebanyak 37 (27,01%) isolat dan Escherichia coli sebanyak 27
(19,70%).
Di Cina, Li et al (2013) melakukan penelitian mengenai faktor risiko,
gejala klinis, parameter hematologis, patogen penyebab, dan kepekaan antibiotik
pada kasus sepsis neonatus di NICU Maternal and Child Care Hospital di
Shenzhen, Cina periode Januari 2009 sampai Desember 2012. Hasilnya
ditemukan 116 kasus sepsis yang dibagi menjadi early onset sepsis (EOS) dan late
onset sepsis (LOS). Bakteri gram positif ditemukan sebanyak 83.33% pada EOS
dan 70% pada LOS dengan bakteri terbanyak yang ditemukan pada EOS
(66,67%) dan LOS (54,4%) adalah Coagulase-negative Staphylococcus (CoNS).
Diantara CoNS tersebut Staphylococcus epidermidis ditemukan pada 24,24%
kasus dan staphylococcus haemolyticus pada 13,63% kasus di EOS, sedangkan
penyebab terbanyak pada LOS adalah Staphylococcus epidermidis (16%) dan
Escherichia coli (14%).
Sedangkan di Afrika, Marzban et al (2009) melakukan studi dalam dua
periode, yaitu periode 1990-1992 dan periode 2004-2007 di Tehran, Iran. Pada
periode pertama (1990-1992), dari 1139 neonatus yang dirawat di NICU sebanyak
124 kasus memiliki hasil kultur darah positif. Hasil kultur menunjukkan bahwa
16
bakteri terbanyak penyebab LOS adalah Staphylococcus aureus (34%), diikuti
oleh bakteri lain yaitu Enterobacter dan Klebsiella pneumoniae.
Pada periode kedua (2004-2007), dari 909 neonatus yang dirawat di NICU
sebanyak 83 kasus memiliki hasil kultur darah positif. Hasil kultur menunjukkan
bahwa bakteri penyebab bakteremia terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae
(31%), Staphylococcus aureus (18,1%), CoNS (15,7%), Enterobacter (10,8%).
Hasil penelitian Bas et al (2010) di Ankara, Turki, menunjukkan bahwa
infeksi nosokomial dalam aliran darah pada bayi menyebabkan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di NICU. Penelitian dilakukan di NICU Dr. Sami Ulus
Children’s Hospital periode tahun 2000-2006. Dari total 106 kasus nosokomial
sepsis pada 100 pasien diisolasi bakteri gram negatif (70,8%), gram positif
(22,6%), dan Candida spp (6,6%). Bakteri yang paling banyak ditemukan adalah
Klebsiella spp (39,6%), diikuti oleh Pseudomonas aeruginosa (11,3%), dan CoNS
(9,4%).
Selain itu di Afrika, Acquach et al (2013) melakukan penelitian dari hasil
kultur darah bayi hingga anak berusia 14 tahun dengan diagnosis awal sepsis dan
dirawat di NICU dan bangsal anak Teaching Hospital Tamale, Ghana, periode Juli
2011–Januari 2012. Dari 331 spesimen darah yang dikultur, sebanyak 25,9%
(86/331) kasus dikonfirmasi sebagai sepsis bakteri. Prevalensi kasus dari NICU
sebanyak 44,4% (28/63) dan dari bangsal anak 21,6% (58/268). Mayoritas
ditemukan bakteri kokus gram positif (60,9%) dengan isolat CoPS (32,3%) dan
CoNS (28,7%). Sisanya berupa bakteri gram negatif (39,1%) dengan Klebsiella,
E. coli, dan Salmonella sebagai bakteri terbanyak yang ditemukan. Pada NICU
bakteri gram negatif terbanyak yang ditemukan adalah Klebsiella.
Di Eropa, hasil penelitian Brito et al (2009) pada periode Januari 2001-
Desember 2005 didapatkan 610 (31,2%) kasus infeksi nosokomial dari 1957
neonatus yang dirawat di rumah sakit, dan sebanyak 350 (17,9%) kasus
terkonfirmasi melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Sepsis merupakan sindrom
infeksi terbanyak (69,2%) dan Staphylococcus merupakan patogen penyebab
tersering (65,8%) dengan insidensi CoNS (59,9%) diikuti oleh S.aureus (40,1%).
Mayoritas isolat CoNS yang teridentifikasi adalah S.epidermidis (89,9%).
17
Selain itu, Brito et al (2010) di Brasil dalam penelitian selanjutnya
mendapatkan bahwa di Uberlandia University Hospital ada total 301 patogen yang
diisolasi dari kultur pasien yang memiliki gejala klinis infeksi. Dari 301 patogen
yang ditemukan, mayoritas merupakan CoNS (36,5%) dan Staphylococcus aureus
(23,6%). Sebanyak 20,9% merupakan bakteri aerobik basil gram negatif. Delapan
kasus infeksi nosokomial merupakan polimikrobial.
Di Italia, Crivaro, et al, 2009, mengadakan penelitian mengenai
Pseudomonas aeruginosa di Federico II University Hospital periode Juli 2005-
Juni 2007. Pseudomonas aeruginosa yang merupakan bakteri gram negatif,
bertanggungjawab untuk sindrom klinis pada pasien NICU, termasuk sepsis,
pneumonia, meningitis, diare, konjungtivitis, dan infeksi kulit. Hasilnya
didapatkan bahwa Pseudomonas aeruginosa diisolasi dari 135 neonatus dan pada
11 kasus menyebabkan infeksi berat.
Hasil penelitian Macharashvili, et al, 2009, di Tbilisi, Republik Georgia,
pada periode September 2009-September 2004, didapatkan 126 (63%) dari 200
neonatus di dua NICU neonatus dikonfirmasi menderita bakteremia. Sembilan
puluh delapan (78%) isolat merupakan bakteri gram negatif dan 28 (22%)
merupakan bakteri gram positif. Patogen terbanyak yang ditemukan adalah
Klebsiella pneumoniae (29%), diikuti oleh Enterobacter cloacae (15%) dan
S.aureus (12%).
Dari kelima hasil penelitian yang mendapatkan mayoritas bakteri
penyebab infeksi pada pasien NICU yaitu gram negatif ditemukan kesamaan
bahwa mayoritas bakteri yang ditemukan adalah Klebsiella pneumoniae. Bakteri
ini merupakan bakteri enterik gram negatif yang secara normal terdapat dalam
saluran cerna dan dalam jumlah sedikit ditemukan dalam saluran napas (Brooks,
2008). K. pneumoniae menjadi patogen jika berada dalam jaringan di luar daerah
normalnya. Bakteri ini jarang ditemukan di lingkungan dan tidak menyebar
melalui udara, namun dapat menular melalui penggunaan alat medis yang
terkontaminasi dan menyebabkan infeksi nosokomial (CDC, 2014).
18
1.1.5 Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotik pada Pasien Neonatal
Intensive Unit Care (NICU)
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat
membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain
(Nattadiputra, 2009). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi ke
dalam beberapa golongan sebagai berikut (Permenkes RI No 2406 Tahun 2011):
1. Menghambat sinstesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta
laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor
beta laktamase), basitrasin, dan vankomisin
2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya
aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (ertiromisin,
azitromisin, klaritromisin), klindamisin, muriposin, dan spektinomisin
3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya
metoprim dan sulfonamid
4. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya
kuinolon dan nitrofurantoin.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan kejadian
resistensi. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan
melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara,
yaitu (Drlica & Perlin, 2011):
1. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi
2. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik
3. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri
4. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel akibat perubahan sifat
dinding sel bakteri
5. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari
dalam sel melalui mekanisme transpor antif keluar sel
Sedangkan menurut Setiabudy & Gan (1995), faktor yang menentukan
sifat resistensi atau kepekaan bakteri terhadap antibiotik terdapat pada elemen
19
yang bersifat genetik. Sifat genetik ini dapat menyebabkan resistensi alamiah dan
perubahan kepekaan menjadi tidak atau kurang peka. Perubahan sifat genetik
terjadi karena bakteri memperoleh elemen genetik yang membawa sifat resisten
(acquired resistance). Elemen resistensi ini dapat diperoleh dari luar (transferred
resistance), dapat pula terjadi akibat mutasi genetik spontan atau akibat rangsang
antibiotik (induced resistance).
Pada transferred resistance atau resistensi yang dipindahkan terdapat suatu
elemen pembawa faktor resisten. Faktor ini mungkin didapat dengan cara
transformasi, transduksi atau konjugasi. Dengan transformasi, bakteri
menginkorporasi faktor resistensi langsung dari media di sekitarnya
(lingkungannya). Pada transduksi, faktor resistensi dipindahkan dari suatu bakteri
resisten ke mikroba sensitif dengan perantaraan bakteriofag. Sedangkan konjugasi
mirip dengan peristiwa kopulasi yang dipengaruhi faktor seks. Faktor resistensi
yang dipindahkan ini terdapay dalam 2 bentuk: plasmid dan episom.
Selain itu terdapat resistensi silang, dimana suatu bakteri yang resisten
terhadap antibiotik tertentu, juga memperlihatkan sifat resistensi terhadap
antibiotik yang lain. Namun keadaan ini berbeda dengan multiple-drug resistance
berdasarkan keterlibatan lokus genetiknya. Resistensi silang biasanya terjadi
antara antibiotik yang memiliki struktur kimia yang hampir sama, seperti derivat
tetrasiklin, atau antibiotik yang struktur kimianya agak berbeda tetapi mekanisme
kerjanya hampir sama, misalnya linkomisin dan eritromisin.
Resistensi antibiotik makin meningkat terutama pada antibiotik esensial
lini pertama yang relatif murah harganya. Keadaan ini dinilai sangat
membahayakan, karena pada akhirnya dunia kesehatan akan kehilangan antibiotik
yang masih peka dan potensial untuk memerangi penyakit-penyakit infeksi yang
baru muncul (emerging) maupun muncul kembali (reemerging). Penyebabnya
karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik oleh tenaga kesehatan
maupun penderita. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No
2500/Menkes/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2011, untuk
mengatasi masalah resistensi antibiotik diperlukan upaya-upaya sebagai berikut.
20
a. Menyelenggarakan surveilans pola resistensi mikroba sehingga
diperoleh pola resistensi bakteri terhadap antibiotik
b. Menyelenggarakan surveilans pola penggunaan antibiotik.
Penyelenggara surveilans pola penggunaan antibiotika adalah institusi
penelitian dan rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan, serta institusi
kesehatan, pendidikan, dan lembaga penelitian lain.
c. Mengendalikan penggunaan antibiotik oleh petugas kesehatan dengan
cara memberlakukan kebijakan penulisan resep antibiotik secara
bertahap sesuai dengan keadaan penderita dan penyakit yang
dideritanya, dengan pilihan mulai dari antibiotik lini pertama, kedua,
ketiga, dan antibiotik yang sangat dibatasi penggunaannya
d. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada semua
pihak yang menggunakan antibiotik baik petugas kesehatan maupun
penderita atau masyarakat luas tentang cara menggunakan antibiotik
secara rasional dan bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan
antibiotik yang tidak rasional.
Surveilans pola resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dilakukan oleh
berbagai negara di rumah sakit daerah mereka masing-masing. Penelitian tersebut
dilakukan dalam berbagai periode. Sharma et al (2013) melakukan penelitian
mengenai pola kepekaan bakteri di Rama Medical College, Kanpur, India pada
periode 1 April 2011 sampai 31 Maret 2013. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa seluruh bakteri yang diisolasi menunjukkan kepekaan rendah terhadap
ampisilin, siprofloksasin, dan gentamisin, kepekaan baik terhadap sefotaksim, dan
kepekaan maksimum terhadap amikasin, sefepim, meropenem, dan vankomisin.
Seluruh isolat Staphylococcus aureus resisten terhadap penisilin namun 100%
sensitif terhadap vankomisin. Didapatkan juga kepekaan baik terhadap sefotaksim
(76,47%) dan amikasin (82,35%) namun kepekaan sangat rendah terhadap
antibiotik lain.
Klebsiella yang diisolasi menunjukkan kepekaan sensitif terhadap
meropenem (100%) dan cukup efektif dengan sefepim dan amikasin. E. coli dan
21
Pseudomonas aeruginosa menunjukkan 100% kepekaan sensitif terhadap
meropenem, sefepim dan amikasin. Pola kepekaan Acinetobacter dan
Enterobacter tidak berbeda jauh. Semua isolat enterobacter sensitif terhadap
amikasin namun resisten (100%) terhadap gentamisin. Sedangkan Acinetobacter
sensitif terhadap amikasin (66,76%) dan gentamisin (66,67%).
Bakteri spesies Streptococcal sensitif terhadap sebagian besar penisilin,
sefalosporin, siprofloksasin, dan eritromisin namun resisten terhadap
aminoglikosida (50-100%). Empat kasus bakteri Coagulase Negative
Staphylococcus (CoNS) resisten terhadap seluruh antibiotik kecuali vankomisin.
Tidak ada bakteri gram negatif yang resisten terhadap meropenem meski sedikit
resisten terhadap sefepim dan amikasin. Semua bakteri gram positif sensitif
terhadap vankomisin.
Penelitian Sharma et al (2012) di NICU di SGRDIMSAR Amritsar, India
mendapatkan 131 organisme dari 311 kultur darah yang dilakukan selama periode
Juni 2011-Juni 2012. Pada hasil uji kepekaan antibiotik untuk Staphylococcus
aureus didapatkan sebanyak 57,35 isolat resisten metisilin. Lebih dari 90% bakteri
gram negatif resiten terhadap amikasin. Resisten terhadap sefalosporin generasi
ketiga bervariasi antara 50-55%. Resistensi terhadap ciprofloksasin cukup tinggi;
namun kebanyakan isolat peka terhadap levofloksasin. Mayoritas isolat peka
terhadap piperasilin-tazobaktam dan imipenem.
Shah et al (2012) yang juga melakukan penelitian di Gujarat, India,
mendapatkan data dari 190 neonatus di NICU, sebanyak 60 (31,57%) neonatus
hasil kulturnya positif. Tiga puluh satu dari hasil kultur didapatkan bakteri gram
negatif, sedangkan 27 kultur didapatkan bakteri gram positif dan 2 kultur
didapatkan Candida. Sebanyak 71% isolat gram positif resisten terhadap penisilin.
Sebanyak 90% isolat gram negatif resisten terhadap gentamisin dan ampisilin.
Di Cina, Li et al (2013) melakukan penelitian mengenai faktor risiko,
gejala klinis, parameter hematologis, patogen penyebab, dan kepekaan antibiotik
pada kasus sepsis neonatus di NICU Maternal and Child Care Hospital di
Shenzhen, Cina periode Januari 2009 sampai Desember 2012. Hasilnya
ditemukan 116 kasus sepsis yang dibagi menjadi early onset sepsis (EOS) dan late
22
onset sepsis (LOS). Bakteri gram positif ditemukan sebanyak 83.33% pada EOS
dan 70%. Kebanyakan bakteri yang diisolasi resisten terhadap penisilin, oksasilin,
cefoxitin, dan ampisilin. Semua bakteri peka terhadap linezolid. Resistensi bakteri
terhadap tetrasiklin dan eritromisin di grup LOS lebih tinggi dibandingkan dengan
grup EOS. Sebaliknya resistensi teicoplanin di grup LOS lebih rendah
dibandingkan resistensi di grup EOS.
Afsharpaiman et al (2012) telah melakukan penelitian di Tehran, Iran.
Mereka melakukan penelitian di 2 NICU untuk periode Maret 2003-Juli 2006.
Bakteri terbanyak yang diisolasi adalah Enterobacter spp. Kejadian resistensi
pada patogen terisolasi dalam 4 tahun tersebut menunjukkan penurunan
sensitifitas terhadap subgrup sefalosporin. Sensitifitas terhadap siprofloksasin
meningkat secara gradual, dan kepekaan terhadap imipenem dan gentamisin
menurun secara gradual.
Hasil penelitian Bas et al (2010) di Ankara, Turki, menunjukkan bahwa
infeksi nosokomial dalam aliran darah pada bayi menyebabkan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di NICU. Penelitian dilakukan di NICU Dr. Sami Ulus
Children’s Hospital periode tahun 2000-2006. Ditemukan resistensi bakteri gram
negatif terhadap antibiotik ampisilin (100%), sefotaksim (88%), gentamisin
(73%), dan amikasin (23%). Tidak ada bakteri gram negatif yang resisten
terhadap karbapenem kecuali P. Aeruginosa (25%). Pada bakteri gram positif
ditemukan resistensi terhadap penisilin (100%) dan klindamisin (58,3%). Tidak
ada bakteri gram positif yang resisten terhadap glikopeptida atau carbapenem.
Dari penelitian Saleem et al (2013) di NICU Karachi, Pakistan, selama
periode 2006-2011, dari 2768 neonatus ditemukan 104 neonatus mengalami sepsis
neonatus akibat Klebsiella pneumoniae. Lebih dari 80% bakteri yang diisolasi
resisten terhadap ampisilin + asam klavulanat, gentamisin, astreonam, dan
sefalosporin. Late-onset sepsis yang disebabkan Klebsiella pneumoniae peka
terhadap fluorokuinolon dan karbapenem, dan hanya separuh kasus yang peka
terhadap amikasin. Selain itu terdapat peningkatan kejadian resistensi terhadap
amikasin, fluorokuinolon, piperasilin/tazobaktam, dan imipenem.
23
Selain itu di Afrika, Acquach et al (2013) melakukan penelitian dari hasil
kultur darah bayi hingga anak berusia 14 tahun dengan diagnosis awal sepsis dan
dirawat di NICU dan bangsal anak Teaching Hospital Tamale, Ghana, periode Juli
2011–Januari 2012. Dari 331 spesimen darah yang dikultur, sebanyak 25,9%
(86/331) kasus dikonfirmasi sebagai sepsis bakteri. Acitenobacter menunjukkan
100% sensitif terhadap seftriakson dan sefotaksim, namun resisten (100%)
terhadap ampisilin, tetrasiklin, dan kotrimoksasol. E. coli dan Klebsiella peka
terhadap seftriakson (80%) dan sefotaksim (91%). Spesies Klebsiella peka
terhadap tetrasiklin (8,3%), namun resisten terhadap ampisilin dan kotrimoksasol.
Sebanayk 40% E. coli peka terhadap ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol;
20% peka terhadap tetrasiklin, dan 80% peka terhadap gentamisin dan
cefuroksim. CoNS peka terhadap gentamisin (72%) namun CoPS menunjukkan
kepekaan yang intermediet terhadap gentamisin (42,9%).
Di Eropa, hasil penelitian Brito et al (2009) pada periode Januari 2001-
Desember 2005 didapatkan 610 (31,2%) kasus infeksi nosokomial dari 1957
neonatus yang dirawat di rumah sakit, dan sebanyak 350 (17,9%) kasus
terkonfirmasi melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Dari penelitian ditemukan
S.epidermidis multiresisten dan resisten terhadap oksasilin sebanyak 73,4%.
Sedangkan isolat S.aureus menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap
rifampisin, sulfazotrin, dan gentamisin.
Selain itu, Brito et al (2010) di Brasil dalam penelitian selanjutnya
mendapatkan bahwa di Uberlandia University Hospital ada total 301 patogen yang
diisolasi dari kultur pasien yang memiliki gejala klinis infeksi. Dari hasil uji
kepekaan bakteri yang diisolasi terhadap antibiotik didapatkan resistensi terhadap
oksasilin pada CoNS (81,8%) dan S.aureus (25,3%). Selain itu didapatkan
tingginya angka resistensi acinetobacter sp, Enterobacter sp, Serratia
marcescens, dan Klebsiella pneumoniae terhadap sefalosporin generasi ketiga.
Fabbri et al (2013) juga melakukan penelitian mengenai Klebsiella
pneumoniae di NICU di Maggiore Hospital, Bologna, Italia. Semua isolat
Klebsiella pneumoniae yang didapatkan dari sampel klinis pasien di NICU
24
memiliki antibiogram yang sama, resisten terhadap ampisilin dan piperasilin, dan
peka terhadap sefalosporin, aminoglikosida, dan imipenem.
Hasil penelitian Macharashvili, et al, 2009, di Tbilisi, Republik Georgia,
pada periode September 2009-September 2004, didapatkan 126 (63%) dari 200
neonatus di dua NICU neonatus dikonfirmasi menderita bakteremia. Sembilan
puluh delapan (78%) isolat merupakan bakteri gram negatif dan 28 (22%)
merupakan bakteri gram positif. Bakteri gram negatif yang diisolasi menunjukkan
resistensi tinggi pada antibiotik yang sering digunakan seperti ampisilin,
amoksisilin/klavulanat, dan resisten rendah terhadap amikasin, siprofloksasin,
karbapenem, dan gentamisin. Sebanyak 40% dari S.aureus yang diisolasi
merupakan MRSA.
Di Amerika Serikat penelitian oleh Lessa et al (2012) secara spesifik
melihat angka kejadian infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) di NICU selama periode 10 tahun dalam National Nosocomial Infections
Surveillance System. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa insiden infeksi
MRSA meningkat sebanyak 308% dari 0,7 menjadi 3,1 per 10.000 pasien pada
tahun 1995-2004. Sedangkan dari hasil penelitian Krishna, Patil, dan
Chandrasekhardi (2007) di Karnataka Institute of Medical Science Hospital,
Hubli, pada periode Januari 2001-Desember 2002, dari 741 Staphylococcus
aureus yang dikultur dari pasien NICU, sebanyak 283 (37,53%) merupakan
MRSA.
Selain itu di Perancis Rasigade et al (2013) mengadakan penelitian
mengenai Methicillin-resistant Staphylococcus capitis di NICU di 2 rumah sakit
sentral di Lyon, Perancis, periode 2004-2009. Staphylococcus capitis (39,1%)
merupakan patogen yang paling sering ditemukan di NICU, diikuti oleh S.
epidermidis (23,5%). S. capitis yang resisten terhadap metisilin lebih sering
ditemukan pada isolat dari darah.
Hafez et al (2011) juga melakukan penelitian tentang Methicillin-resistant
Staphylococcus epidermidis di NICU di North West Armed Forces hospital di
Tabuk, Saudi Arabia, periode 5 Desember 2004 - 26 Februari 2005. Hasilnya
ditemukan 41 isolat gram positif kokus dari kultur darah, swab luka di umbilikus,
25
dan aspirasi endotrakeal. Sebanyak 29 isolat merupakan S. epidermidis dan
ditemukan bahwa isolat tersebut resisten terhadap oksasilin, gentamisin (89,7%),
eritromisin (86,2%), klindamisin (75,9%), dan trimetoprim/sulfametoksazol
(72,4%). Seluruh isolat peka terhadap vankomisin, teikoplanin, rifampin,
synercid, dan siprofloksasin.
Dari beberapa penelitian tersebut dapat dilihat kesamaan yaitu adanya
resistensi yang terhadap antibiotik golongan beta laktam, terutama golongan
penisilin. Menurut Wilke (2005), resistensi bakteri terhadap antibiotik beta laktam
dapat terjadi akibat 3 mekanisme sebagai berikut.
1. Produksi enzim beta-laktamase
2. Pembentukan transpeptidase pada dinding sel bakteri
3. Pengeluaran aktif antibiotik beta-laktam dari sel bakteri gram negatif
melalui pompa efluks.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketiga mekanisme ini telah dipelajari dan
ditemukan bahwa terjadi peningkatan resistensi secara signifikan terhadap
antibiotik beta-laktam akibat enzim beta-laktamase. Bakteri yang memproduksi
enzim yang disebut dengan Extended-spectrum Beta-lactamase (ESBL) resisten
terhadap banyak antibiotik golongan beta-laktam karena enzim tersebut dapat
menghidrolisis cincin beta-laktam. ESBL biasanya berlokasi di dalam plasmid
yang dapat ditransfer dari satu galur bakteri ke galur lain, sehingga resistensi
bakteri terhadap antibiotik akibat enzim ini semakin meningkat. Dua bakteri yang
telah sering diteliti dan berpotensial memproduksi ESBL adalah Escherichia coli
dan Klebsiella pneumoniae, namun ESBL dapat juga diproduksi oleh bakteri
Enterobacteriaceae lain dan Pseudomonas aeruginosa (Hefferman, 2007).
Pengobatan infeksi akibat bakteri ini cukup sulit karena membutuhkan antibiotik
poten yang lebih resisten terhadap ESBL. Selain itu deteksi ESBL pada
laboratorium cukup kompleks dan sulit.
ESBL diklasifikasikan dalam skema fungsional Bush-Jacoby-Medeiros
menjadi 4 grup 1-4 dengan subgrup 2a-2f dan diklasifikasikan dalam skema
klasifikasi molekular Ambler dalam 4 grup A-D. Klasifikasi tersebut
memperlihatkan resistensi beta-laktamase terhadap beberapa golongan antibiotik
26
beta laktam seperti penisilin, sefalosporin, keduanya, dan inhibisinya oleh
inhibitor beta-laktamase. ESBL diklasifikasikan menjadi tiga tipe utama, yaitu
TEM, SHV, atau CTX-M. ESBL pertama yang diidentifikasi adalah tipe SHV-2
yakni pada tahun 1983 di Jerman. Analisis menunjukkan adanya mutasi titik pada
gen SHV-1 yang menyebabkan perubahan asam amino dari glisin menjadi serin
pada posisi 238 (Kliebe, 1985). TEM-3 merupakan ESBL tipe TEM yang pertama
kali diidentifikasi, juga merupakan hasil mutasi titik dari TEM-2 yang
menyebabkan perubahan asam glutamat menjadi lisin pada posisi 104, dan glisin
menjadi serin pada posisi 238 (Sougakoff, 1988). Sedangkan CTX-M pertama kali
dilaporkan pada pertengahan kedua tahun 1980-an dan menyebar secara cepat di
dekade terakhir menjadi tipe ESBL yang paling banyak ditemukan di banyak
negara (Bonnet, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian oleh Rupp (2003) didapatkan bahwa banyak
bakteri yang memproduksi ESBL juga mengekspresikan AmpC beta-laktamase
dan dapat memiliki plasmid yang mengkode resistensi terhadap aminoglikosida.
Selain itu didapatkan juga peningkatan hubungan antara produksi ESBL dengan
resisten terhadap antibiotik fluorokuinolon. Meskipun secara in vitro ESBL dapat
dihambat oleh antibiotik golongan inhibitor beta laktamase seperti sulbaktam dan
klavulanat, secara nyata ditemukan peningkatan resistensi terhadap antibiotik
golongan tersebut, sehingga kombinasinya dengan antibiotik beta-laktam tidak
memberikan pengobatan yang lebih efektif.
27
1.2 Kerangka Teori
Pasien di NICU(Neonatus dengan
risiko tinggi)
Imunitas
Alat dan prosedur
invasif
Sterilitas tenaga
medis
Penggunaan
antibiotik
Infeksi
Pola kepekaan
bakteri terhadap
antibiotik pada
NICU
Pola bakteri pada
NICU
28
Mikroorganisme dalam tubuh manusia (flora normal)
Faktor predisposisi pejamu (imunitas)
Perpindahan lokasi (masuk dalam aliran darah)
Infeksi oportunistik
Bakteremia
Kultur darah positif
Prosedur invasif Kontaminasi dari tenaga
kesehatan dan lingkungan