bab ii

36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Infeksi pada Neonatus Neonatus sangat rentan terhadap infeksi karena mekanisme imun yang masih imatur dan belum ada pajanan terhadap antigen. Hal ini menyebabkan tingginya frekuensi infeksi dan infeksi yang terjadi biasanya lebih berat daripada infeksi yang terjadi pada orang anak dewasa. Sebanyak 2% neonatus mengalami infeksi in utero, dan lebih dari 10% bayi terinfeksi selama proses kelahiran atau dalam bulan pertama kehidupan (Gotoff, 2009). Saat lahir neonatus memiliki sel T yang secara relatif responnya terhadap stimulus masih rendah, sehingga ada penurunan fungsi sitotoksik, produksi sitokin, dan respon untuk sel B rendah. Namun dalam keadaan normal, sistem imun ini sudah mampu mencegah terjadinya infeksi oportunistik. Pada bayi prematur, respon sel T dan sel B tidak menurun dibandingkan dengan bayi lahir cukup bulan. Namun, imunoglobulin G (IgG) yang ditransfer secara maternal dari ibu berkurang sebelum minggu ke 33 gestasi, dan fungsi neutrofil pada bayi prematur menurun dibandingkan pada bayi cukup bulan (Davies, 2008). 6

Upload: nyimas-inas-mellanisa

Post on 20-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Skripsi; Kepekaan Bakteri Pasien NICU

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Landasan Teori

1.1.1 Infeksi pada Neonatus

Neonatus sangat rentan terhadap infeksi karena mekanisme imun yang

masih imatur dan belum ada pajanan terhadap antigen. Hal ini menyebabkan

tingginya frekuensi infeksi dan infeksi yang terjadi biasanya lebih berat daripada

infeksi yang terjadi pada orang anak dewasa. Sebanyak 2% neonatus mengalami

infeksi in utero, dan lebih dari 10% bayi terinfeksi selama proses kelahiran atau

dalam bulan pertama kehidupan (Gotoff, 2009).

Saat lahir neonatus memiliki sel T yang secara relatif responnya terhadap

stimulus masih rendah, sehingga ada penurunan fungsi sitotoksik, produksi

sitokin, dan respon untuk sel B rendah. Namun dalam keadaan normal, sistem

imun ini sudah mampu mencegah terjadinya infeksi oportunistik. Pada bayi

prematur, respon sel T dan sel B tidak menurun dibandingkan dengan bayi lahir

cukup bulan. Namun, imunoglobulin G (IgG) yang ditransfer secara maternal dari

ibu berkurang sebelum minggu ke 33 gestasi, dan fungsi neutrofil pada bayi

prematur menurun dibandingkan pada bayi cukup bulan (Davies, 2008).

Menurut Gotoff (2009), keunikan infeksi neonatus merupakan akibat dari

sejumlah faktor. Ada beraneka ragam mode penularan agen penyebab infeksi dari

ibu ke janin atau ke bayi baru lahir. Penyebaran hematogen transplasenta dapat

terjadi pada berbagai waktu selama kehamilan. Manifestasi infeksi kongenital

dapat tampak pada saat lahir atau terlambat selama beberapa bulan bahkan

beberapa tahun. Penularan infeksi secara vertikal dapat terjadi selama di dalam

uterus, tepat sebelum kelahiran, atau selama proses kelahiran. Setelah dilahirkan,

bayi baru lahir dapat terpapar penyakit infeksi dalam ruang perawatan atau di

pemukiman. Sehubungan dengan makin kompleksnya perawatan intensif

neonatus, bayi lahir prematur dan dengan berat badan lahir rendah akan tetap

6

Page 2: BAB II

7

hidup dan dapat bertahan lebih lama dalam lingkungan dengan risiko infeksi yang

lebih tinggi.

Infeksi neonatus, pada tahap awal mungkin sulit didiagnosis karena

neonatus tidak memperlihatkan tanda-tanda klasik penyakit. Jika janin terinfeksi

in utero, mungkin terjadi depresi dan asidosis saat lahir tanpa sebab yang jelas.

Neonatus mungkin tidak mau makan, muntah, atau mengalami distensi abdomen.

Dapat terjadi insufisiensi pernapasan, yang mungkin memberi gambaran serupa

dengan sindrom distres pernapasan idiopatik. Bayi tersebut mungkin letargik atau

mudah terangsang. Respon terhadap sepsis mungkin mudah hipotermia dan bukan

hipertermia, sementara hitung leukosit dan neutrofil mungkin menurun

(Cunningham et al, 2013).

Dalam infeksi neonatus dikenal istilah sepsis neonatorum, yaitu sindrom

klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi dalam satu bulan pertama

kehidupan. Berdasarkan awitannya, sepsis neonatorum terbagi menjadi (Venita,

2014):

1. Early onset sepsis (EOS). Timbul pada usia ≤72 jam, biasanya

mikroorganisme berasal dari ibu. Terjadi gangguan multisistem

terutama sistem pernapasan, awitan mendadak, dan cepat menjadi syok

sepsis dan berakibat kematian. Penyebab paling sering dilaporkan pada

EOS ialah Staphylococcus koagulase negatif, Enterococcus sp., serta

Staphylococcus aureus.

2. Late onset sepsis (LOS). Timbul pada usia ≥72jam, biasanya diatas 1

minggu, mikroorganisme didapat dari proses persalinan dengan infeksi

awitan lambat dan seringkali terjadi meningitis. Penyebab LOS

tersering adalah bakteri gram negatif.

Page 3: BAB II

8

Pada neonatus yang diduga infeksi akan dilakukan uji kultur untuk

menegakkan diagnosis infeksi dan mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi. Uji

kultur dilakukan terhadap spesimen klinis sebagai berikut (Polin, 2012).

a. Darah

Kultur darah dilakukan pada semua neonatus yang diduga mengalami

sepsis. Darah dapat diperoleh dari vena perifer ataupun kateter arteri

umbilikalis.

b. Urin

Kultur urin tidak perlu dilakukan pada neonatus yang diduga

mengalami sepsis awitan dini, karena tidak seperti infeksi traktus

urinarius pada orang dewasa, infeksi pada traktus urinarius neonatus

biasanya terjadi akibat adanya pembenihan pada ginjal selama episode

bakteremia.

c. Aspirasi gaster

Fetus menelan 500-1000 ml cairan amnion setiap hari. Sehingga, jika

terdapat sel darah putih dalam cairan amnion, saat lahir sel darah putih

tersebut akan ditemukan dari aspirasi gaster pada neonatus. Namun sel

ini menggambarkan respon inflamasi pada ibu dan tidak berkorelasi

dengan adanya sepsis pada neonatus. Sehingga kultur aspirasi gaster

tidak direkomendasikan.

d. Permukaan kulit tubuh

Kultur bakteri dari aksila, paha, dan kanalis telinga eksternal memiliki

akurasi yang buruk. Kultur ini memerlukan biaya yang mahal dan tidak

dilakukan untuk evaluasi neonatus yang diduga menderita infeksi.

e. Aspirasi trakea

Kultur aspirasi trakea hanya dapat bernilai jika segera diambil sesaat

setelah pemasangan tuba endotrakeal.

f. Pungsi lumbal

Pelaksanaan prosedur pungsi lumbal pada neonatus yang diduga

menderita sepsis awitan dini masih kontroversial. Pada bayi dengan

risiko tinggi maupun bayi yang sehat, kemungkinan mengalami

Page 4: BAB II

9

meningitis sangat kecil. Pada bayi dengan gejala klinis sindrom distres

pernapasan kemungkinan mengalami meningitis pun kecil. Namun,

pada bayi yang mengalami bakteremia, insidensi meningitis dapat

mencapai 23%. Kultur darah saja tidak dapat menentukan apakah bayi

tersebut memerlukan pungsi lumbal karena hasil kultur darah bisa

negatif hingga 38% pada bayi yang mengalami meningitis. Pungsi

lumbal harus dilakukan pada bayi dengan kultur darah positif, bayi

yang memiliki gejala klinis dan data laboratorium yang menduga sepsis

bakteri, dan bayi yang kondisinya memburuk setelah mendapat terapi

antimikrobial. Pada bayi dengan kondisi kritis dan kemungkinan

mengalami gangguan kardiovaskular dan pernapasan akibat prosedur,

pungsi lumbal dapat ditunda hingga kondisi bayi stabil.

1.1.2 Infeksi Nosokomial/Healthcare Associated Infection (HAI)

Infeksi nosokomial atau Healthcare-associated infection dapat

didefinisikan sebagai infeksi yang bermanifestasi selama pasien mendapatkan

perawatan di pelayanan kesehatan. Dalam definisi ini kaitan antara infeksi dan

pelayanan kesehatan adalah waktu. Biasanya infeksi yang terjadi dalam kurun

waktu 2 hari setelah masuk rumah sakit dan tidak diinkubasi saat masuk rumah

sakit diasumsikan sebagai infeksi nosokomial (Duerink, Oranjestad, dan Aruba,

2009). Namun pada infeksi nosokomial pada neonatus terdapat pengecualian

yaitu infeksi mula-lambat akibat organisme yang didapat dari saluran kelamin

ibunya (misalnya beberapa infeksi streptokokus grup B) dan infeksi nosokomial

yang didapat dalam ruang bersalin (misalnya dari peralatan yang terkontaminasi)

yang tanda-tanda infeksinya berkembang segera setelah lahir. Infeksi nosokomial

dapat terjadi secara sporadis atau sebagai epidemi, dan dapat terjadi di rumah sakit

atau setelah dipulangkan (Gotoff, 2009).

Menurut Irianto (2014), infeksi ini sering terjadi (muncul pada sampai

25% dari pasien yang dirawat). Jenis infeksi yang paling sering terjadi adalah

infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, infeksi luka, infeksi kulit dan

jaringan lunak, dan septikemia (sering berhubungan dengan akses vaskular). Hal

Page 5: BAB II

10

ini dipengaruhi oleh lingkungan rumah sakit, penyediaan makanan, suplai udara,

fomit, suplai air, dan faktor pejamu itu sendiri.

Pelayanan kesehatan modern menggunakan banyak alat dan prosedur

invasif dalam perawatan pasien. Infeksi dapat diasosiasikan dengan penggunaan

alat dalam prosedur medis seperti kateter dan ventilator.

Ada beberapa tipe Healthcare-associated Infections (HAI) yaitu sebagai

berikut (CDC, 2014).

a. Central-line associated bloodstream infections (CLABSI)

Central line atau yang dikenal juga sebagai kateter vena sentral adalah

kateter atau tube yang dipasang di vena besar di leher, dada, ataupun paha untuk

memberikan obat atau cairan atau mengambil darah untuk keperluan tes

laboratorium. Central line berbeda dari kateter intravena karena central line

dipasang di vena besar yang dekat dengan jantung dan dapat dipasang hingga

berminggu-minggu bahkan bulan dan lebih berisiko menyebabkan infeksi.

Central line lebih sering digunakan di ICU.

CLABSI adalah kejadian infeksi serius yang terjadi akibat penggunaan

central line. Hal ini dapat terjadi jika central line dipasang dalam keadaan tidak

steril. Pasien yang mengalami CLABSI akan memiliki gejala berupa demam, kulit

kemerahan dan luka di sekitar tempat pemasangan central line.

b. Catheter-associated urinary tract infections (CAUTI)

Infeksi traktus urinarius adalah infeksi yang melibatkan bagian dari sistem

urinarius yaitu uretra, kandung kemih, ureter, dan ginjal. CAUTI merupakan

infeksi nosokomial yang paling sering terjadi. Sebanyak 75% berkaitan dengan

penggunaan kateter, yaitu pemasangan tube ke dalam kandung kemih melalui

uretra untuk mengeluarkan urin. Faktor risiko terjadinya CAUTI adalah

penggunaan kateter urin dalam waktu lama. Oleh karena itu pemakaian kateter

urin harus sesuai indikasi dan harus segera dilepaskan jika sudah tidak diperlukan.

c. Ventilator-associated penumonia (VAP)

VAP adalah infeksi paru yang berkembang pada pasien yang

menggunakan ventilator. Ventilator adalah mesin yang digunakan untuk

membantu pasien bernapas dengan memberikan oksigen melalui tube yang

Page 6: BAB II

11

dipasang di mulut atau hidung, atau melalui lubang di bagian depan leher pasien.

Infeksi dapat terjadi jika bakteri masuk melalui tube ke dalam paru-paru pasien.

d. Surgery site infections (SSI)

Infeksi yang terjadi setelah tindakan operasi pada bagian tubuh yang

dioperasi merupakan suatu SSI. Infeksi ini dapat berupa infeksi superfisial yang

terbatas hanya pada kulit, namun dapat juga menjadi infeksi serius yang

melibatkan jaringan dibawah kulit, organ, atau bahan yang diimplan dalam tubuh.

Duerink, et al, 2006, mengadakan surveilans dari HAI di dua rumah sakit

besar di Indonesia. Sampel yang diambil adalah pasien dari bagian penyakit

dalam, bedah, obgyn, pediatrik, dan unit perawatan intensif. Di rumah sakit A dari

1.334 pasien didapatkan sebanyak 2,8% kasus phlebitis, 1,7% SSI, 0,9% UTI, dan

0,8% septikemia. Sedangkan di rumah sakit B dari 888 pasien didapatkan

sebanyak 3,8% phlebitis, 1,8% SSI, 1,1% UTI, dan 0,8% septikemia.

Infeksi yang diperoleh dari rumah sakit berbahaya bagi neonatus kurang

bulan, dan orang yang merawat mereka adalah sumber utama infeksi (Stoll dan

Hansen, 2003). Sistem ventilasi dan kateter vena dan arteri umbilikaslis dapat

menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa. Bayi dengan berat badan lahir

sangat rendah yang bertahan hidup selama beberapa hari pertama tetap berisiko

tinggi meninggal akibat infeksi yang berjangkit di ruang perawatan intensif.

Menurut Nasution (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian

infeksi nosokomial adalah kurangnya kepatuhan tenaga medis dalam mencuci

tangan sebelum dan sesudah memeriksa neonatus, lokasi tempat mencuci tangan

terlalu jauh dari posisi tempat tidur bayi, kapasitas pasien rawat inap yang terlalu

banyak, jumlah tenaga medis yang banyak dan sering masuk keluar ruang

perawatan neonatus risiko tinggi.

1.1.3 Infeksi Oportunistik dan Potensial Patogen

Manusia secara konstan berhubungan dengan berbagai macam

mikroorganisme. Suatu mikroorganisme dapat hidup berdampingan dengan

manusia tanpa menyebabkan penyakit. Dalam hal ini manusia disebut sebagai

Page 7: BAB II

12

pejamu (host). Hubungan antara mikroorganisme dengan pejamunya ini dapat

berupa komensalisme atau mutualisme. Mikroorganisme tersebut hidup di dalam

pejamu tanpa menimbulkan reaksi pejamu untuk mempertahankan diri dan dapat

disebut sebagai flora normal. Menurut Brooks (2008), flora dalam tubuh

digolongkan menjadi 2 berdasarkan bentuk dan sifat kehadirannya, yaitu:

1. Mikroorganisme tetap/normal (resident flora/indigenous), yaitu

mikroorganisme jenis tertentu yang ditemukan pada bagian tubuh

tertentu dan pada usia tertentu. Keberadaannya tetap dalam tubuh

manusia dan umumnya bersifat komensal. Beberapa mikroorganisme

lain bersifat mutual. Flora normal ini umumnya dapat lebih bertahan

dari kondisi buruk pada lingkungannya.

2. Mikroorganisme sementara (transient flora), yaitu mikroorganisme

non patogen atau secara potensial besifat patogen yang berada di kulit

dan selaput lendir.mukosa selama kurun waktu beberapa jam, hari, atau

minggu. Keberadaannya tidak tetap dapat disebabkan oleh pengaruh

lingkungan dan tidak menimbulkan penyakit. Jika flora tetap/normal

terganggu, maka flora sementara/transien ini dapat berkolonisasi,

berproliferasi, dan menimbulkan penyakit.

Flora normal menjaga tubuh dari serangan mikroorganisme patogen

dengan cara berkompetisi dalam mendapatkan zat makanan, saling menghambat

oleh hasil metabolik atau toksik, dan mekanisme lain. Sehingga ketika terjadi

supresi flora normal akan terjadi kekosongan lokal parsial yang cenderung diisi

oleh mikroorganisme lain yang berasal dari lingkungan maupun bagian tubuh lain.

Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik oleh bakteri patogen tersebut.

Namun, flora normal juga dapat menyebabkan infeksi dalam keadaan

tertentu. Jika keseimbangan antara flora normal dan pertahanan tubuh pejamu

terganggu, maka masing-masing merupakan “agresor yang potensial” bagi yang

lain. Infeksi akan terjadi ketika mikroorganisme berhasil menembus pertahanan

pejamu (Irianto, 2014). Sedangkan menurut Brooks (2008), flora normal ini

umumnya tidak bersifat patogen namun dapat menjadi patogen oportunistik jika

dipindahkan secara paksa dari daerahnya dalam jumlah besar dan dengan faktor

Page 8: BAB II

13

predisposisi atau berkesempatan masuk ke dalam aliran darah atau jaringan

manusia dan menimbulkan infeksi yang serius.

Berikut adalah beberapa flora normal atau mikroorganisme yang sering

ditemukan dalam spesimen yang diperoleh dari berbagai area tubuh manusia

(Brooks, 2008).

- Flora normal kulit:

o Staphylococcus epidermidis

o Staphylococcus aureus (dalam jumlah kecil)

o Streptococcus viridans

o Asinetobakter (dalam jumlah kecil)

- Flora normal mulut & saluran pernapasan atas:

o Cornybacterium

o Staphylococcus epidermidis

o Staphylococcus aureus

o Streptococcus viridans

- Flora normal saluran cerna:

o Streptokokus

o Enterobacteriaceae, misalnya klebsiella, sitrobakter, dan

enterobakter

o Escherichia coli

o B. fragilis

1.1.4 Bakteri Penyebab Infeksi pada Pasien Neonatal Intensive Unit Care

(NICU)

Data mengenai bakteri penyebab infeksi pada pasien NICU didapatkan

dari hasil uji kultur. Pada pasien NICU yang diduga mengalami infeksi akan

dilakukan uji kultur darah untuk mengkonfirmasi dugaan infeksi dan mengetahui

bakteri penyebab infeksi. Untuk memudahkan identifikasi spesies bakteri dalam

uji kultur, bakteri diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan sifat

pengecatannya, yaitu gram negatif dan gram positif.

Page 9: BAB II

14

Beberapa penelitian tentang pola bakteri pada Neonatal Intensive Care

Unit (NICU) telah dilakukan sebelumnya. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut

menunjukkan adanya perbedaan pola bakteri yang ditemukan di negara dan rumah

sakit yang berbeda.

Di Asia terdapat beberapa hasil penelitian mengenai pola bakteri pada

NICU di India dan Cina. Di India, Murki et al (2010) melakukan penelitian

mengenai Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), Methicillin-resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) dan kejadian multi-drug resistant bacteria pada

NICU Fernandez Hospital. Hasilnya adalah dari 1046 neonatus yang dirawat di

NICU pada tahun 2007 dan 1074 neonatus pada 2008, sebanyak 32 neonatus (3%)

pada tahun 2007 dan 56 neonatus (5,2%) pada tahun 2008 mengalami sepsis

akibat bakteri gram negatif. Selama periode 2 tahun tersebut, bakteri yang

diisolasi adalah Klebsiella pneumoniae (n=44), Pseudomonas aeruginosa (n=16),

E.coli (n=13), Enterobacter sp (n=12) dan lain-lain (n=3). Setelah pembatasan

penggunaan sefalosporin, prevalensi bakteri gram negatif ESBL menurun secara

signifikan sebanyak 22%, bakteri gram negatif resisten sefotaksim menurun

sebanyak 30%, dan bakteri gram negatif resisten sefotaksim menurun sebanyak

27%. Tidak ada perubahan pada prevalensi bakteri gram negatif yang resisten

terhadap amikasin, piperisilin-tazobaktam, dan yang resisten terhadap ampisilin

maupun amikasin.

Di Gujarat, India, Shah et al (2012) mendapatkan data dari 190 neonatus di

NICU, sebanyak 60 (31,57%) neonatus hasil kulturnya positif. Sebanyak 95%

kasus merupakan early onset sepsis. Tiga puluh satu dari hasil kultur didapatkan

bakteri gram negatif, sedangkan 27 kultur didapatkan bakteri gram positif dan 2

kultur didapatkan Candida. Pada isolat gram negatif ditemukan Escherichia coli

(20%), Klebsiella spp (12%), Pseudomonas spp (10%), Acitenobacter (7%), dan

bakteri lain (3%). Sebanyak 14% memproduksi ESBL dan 29% memproduksi

carbapenamase. Sedangkan pada isolat gram positif ditemukan Coagulase-

negative Staphylococcus (CoNS) (27%), Staphylococcus aureus (13%), dan

Enterococci spp. (5%).

Page 10: BAB II

15

Penelitian Sharma et al (2012) di NICU di SGRDIMSAR Amritsar, India

mendapatkan 131 organisme dari 311 kultur darah yang dilakukan selama periode

Juni 2011-Juni 2012. Organisme yang diisolasi berupa Staphylococcus aureus

(n=68), CoNS (n=30), Klebsiella pneumoniae (n=10), Acinetobacter baumannii

(n=9), Escherichia coli (n=05), Enterobacter cloacae (n=04), Citrobacter

diversus (n=02), Pseudomonas aeruginosa (n=02) and jamur Candida (n=01).

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al (2013) di

Rama Medical College, Kanpur, India, pada periode 1 April 2011 sampai 31

Maret 2013 didapatkan 254 (69,78%) kasus positif sepsis namun hanya 137

(37,63%) positif kultur dari total 364 neonatus di NICU. Dari 137 bakteri yang

berhasil diisolasi, 76 (55,48%) berupa bakteri gram negatif dan sisanya berupa

bakteri gram positif, terutama Staphylococcus aureus, diikuti oleh Klebsiella

pneumoniae sebanyak 37 (27,01%) isolat dan Escherichia coli sebanyak 27

(19,70%).

Di Cina, Li et al (2013) melakukan penelitian mengenai faktor risiko,

gejala klinis, parameter hematologis, patogen penyebab, dan kepekaan antibiotik

pada kasus sepsis neonatus di NICU Maternal and Child Care Hospital di

Shenzhen, Cina periode Januari 2009 sampai Desember 2012. Hasilnya

ditemukan 116 kasus sepsis yang dibagi menjadi early onset sepsis (EOS) dan late

onset sepsis (LOS). Bakteri gram positif ditemukan sebanyak 83.33% pada EOS

dan 70% pada LOS dengan bakteri terbanyak yang ditemukan pada EOS

(66,67%) dan LOS (54,4%) adalah Coagulase-negative Staphylococcus (CoNS).

Diantara CoNS tersebut Staphylococcus epidermidis ditemukan pada 24,24%

kasus dan staphylococcus haemolyticus pada 13,63% kasus di EOS, sedangkan

penyebab terbanyak pada LOS adalah Staphylococcus epidermidis (16%) dan

Escherichia coli (14%).

Sedangkan di Afrika, Marzban et al (2009) melakukan studi dalam dua

periode, yaitu periode 1990-1992 dan periode 2004-2007 di Tehran, Iran. Pada

periode pertama (1990-1992), dari 1139 neonatus yang dirawat di NICU sebanyak

124 kasus memiliki hasil kultur darah positif. Hasil kultur menunjukkan bahwa

Page 11: BAB II

16

bakteri terbanyak penyebab LOS adalah Staphylococcus aureus (34%), diikuti

oleh bakteri lain yaitu Enterobacter dan Klebsiella pneumoniae.

Pada periode kedua (2004-2007), dari 909 neonatus yang dirawat di NICU

sebanyak 83 kasus memiliki hasil kultur darah positif. Hasil kultur menunjukkan

bahwa bakteri penyebab bakteremia terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae

(31%), Staphylococcus aureus (18,1%), CoNS (15,7%), Enterobacter (10,8%).

Hasil penelitian Bas et al (2010) di Ankara, Turki, menunjukkan bahwa

infeksi nosokomial dalam aliran darah pada bayi menyebabkan mortalitas dan

morbiditas yang tinggi di NICU. Penelitian dilakukan di NICU Dr. Sami Ulus

Children’s Hospital periode tahun 2000-2006. Dari total 106 kasus nosokomial

sepsis pada 100 pasien diisolasi bakteri gram negatif (70,8%), gram positif

(22,6%), dan Candida spp (6,6%). Bakteri yang paling banyak ditemukan adalah

Klebsiella spp (39,6%), diikuti oleh Pseudomonas aeruginosa (11,3%), dan CoNS

(9,4%).

Selain itu di Afrika, Acquach et al (2013) melakukan penelitian dari hasil

kultur darah bayi hingga anak berusia 14 tahun dengan diagnosis awal sepsis dan

dirawat di NICU dan bangsal anak Teaching Hospital Tamale, Ghana, periode Juli

2011–Januari 2012. Dari 331 spesimen darah yang dikultur, sebanyak 25,9%

(86/331) kasus dikonfirmasi sebagai sepsis bakteri. Prevalensi kasus dari NICU

sebanyak 44,4% (28/63) dan dari bangsal anak 21,6% (58/268). Mayoritas

ditemukan bakteri kokus gram positif (60,9%) dengan isolat CoPS (32,3%) dan

CoNS (28,7%). Sisanya berupa bakteri gram negatif (39,1%) dengan Klebsiella,

E. coli, dan Salmonella sebagai bakteri terbanyak yang ditemukan. Pada NICU

bakteri gram negatif terbanyak yang ditemukan adalah Klebsiella.

Di Eropa, hasil penelitian Brito et al (2009) pada periode Januari 2001-

Desember 2005 didapatkan 610 (31,2%) kasus infeksi nosokomial dari 1957

neonatus yang dirawat di rumah sakit, dan sebanyak 350 (17,9%) kasus

terkonfirmasi melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Sepsis merupakan sindrom

infeksi terbanyak (69,2%) dan Staphylococcus merupakan patogen penyebab

tersering (65,8%) dengan insidensi CoNS (59,9%) diikuti oleh S.aureus (40,1%).

Mayoritas isolat CoNS yang teridentifikasi adalah S.epidermidis (89,9%).

Page 12: BAB II

17

Selain itu, Brito et al (2010) di Brasil dalam penelitian selanjutnya

mendapatkan bahwa di Uberlandia University Hospital ada total 301 patogen yang

diisolasi dari kultur pasien yang memiliki gejala klinis infeksi. Dari 301 patogen

yang ditemukan, mayoritas merupakan CoNS (36,5%) dan Staphylococcus aureus

(23,6%). Sebanyak 20,9% merupakan bakteri aerobik basil gram negatif. Delapan

kasus infeksi nosokomial merupakan polimikrobial.

Di Italia, Crivaro, et al, 2009, mengadakan penelitian mengenai

Pseudomonas aeruginosa di Federico II University Hospital periode Juli 2005-

Juni 2007. Pseudomonas aeruginosa yang merupakan bakteri gram negatif,

bertanggungjawab untuk sindrom klinis pada pasien NICU, termasuk sepsis,

pneumonia, meningitis, diare, konjungtivitis, dan infeksi kulit. Hasilnya

didapatkan bahwa Pseudomonas aeruginosa diisolasi dari 135 neonatus dan pada

11 kasus menyebabkan infeksi berat.

Hasil penelitian Macharashvili, et al, 2009, di Tbilisi, Republik Georgia,

pada periode September 2009-September 2004, didapatkan 126 (63%) dari 200

neonatus di dua NICU neonatus dikonfirmasi menderita bakteremia. Sembilan

puluh delapan (78%) isolat merupakan bakteri gram negatif dan 28 (22%)

merupakan bakteri gram positif. Patogen terbanyak yang ditemukan adalah

Klebsiella pneumoniae (29%), diikuti oleh Enterobacter cloacae (15%) dan

S.aureus (12%).

Dari kelima hasil penelitian yang mendapatkan mayoritas bakteri

penyebab infeksi pada pasien NICU yaitu gram negatif ditemukan kesamaan

bahwa mayoritas bakteri yang ditemukan adalah Klebsiella pneumoniae. Bakteri

ini merupakan bakteri enterik gram negatif yang secara normal terdapat dalam

saluran cerna dan dalam jumlah sedikit ditemukan dalam saluran napas (Brooks,

2008). K. pneumoniae menjadi patogen jika berada dalam jaringan di luar daerah

normalnya. Bakteri ini jarang ditemukan di lingkungan dan tidak menyebar

melalui udara, namun dapat menular melalui penggunaan alat medis yang

terkontaminasi dan menyebabkan infeksi nosokomial (CDC, 2014).

Page 13: BAB II

18

1.1.5 Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotik pada Pasien Neonatal

Intensive Unit Care (NICU)

Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme

(khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat

membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain

(Nattadiputra, 2009). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi ke

dalam beberapa golongan sebagai berikut (Permenkes RI No 2406 Tahun 2011):

1. Menghambat sinstesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta

laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor

beta laktamase), basitrasin, dan vankomisin

2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya

aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (ertiromisin,

azitromisin, klaritromisin), klindamisin, muriposin, dan spektinomisin

3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya

metoprim dan sulfonamid

4. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya

kuinolon dan nitrofurantoin.

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan kejadian

resistensi. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan

melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara,

yaitu (Drlica & Perlin, 2011):

1. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi

2. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik

3. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri

4. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel akibat perubahan sifat

dinding sel bakteri

5. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari

dalam sel melalui mekanisme transpor antif keluar sel

Sedangkan menurut Setiabudy & Gan (1995), faktor yang menentukan

sifat resistensi atau kepekaan bakteri terhadap antibiotik terdapat pada elemen

Page 14: BAB II

19

yang bersifat genetik. Sifat genetik ini dapat menyebabkan resistensi alamiah dan

perubahan kepekaan menjadi tidak atau kurang peka. Perubahan sifat genetik

terjadi karena bakteri memperoleh elemen genetik yang membawa sifat resisten

(acquired resistance). Elemen resistensi ini dapat diperoleh dari luar (transferred

resistance), dapat pula terjadi akibat mutasi genetik spontan atau akibat rangsang

antibiotik (induced resistance).

Pada transferred resistance atau resistensi yang dipindahkan terdapat suatu

elemen pembawa faktor resisten. Faktor ini mungkin didapat dengan cara

transformasi, transduksi atau konjugasi. Dengan transformasi, bakteri

menginkorporasi faktor resistensi langsung dari media di sekitarnya

(lingkungannya). Pada transduksi, faktor resistensi dipindahkan dari suatu bakteri

resisten ke mikroba sensitif dengan perantaraan bakteriofag. Sedangkan konjugasi

mirip dengan peristiwa kopulasi yang dipengaruhi faktor seks. Faktor resistensi

yang dipindahkan ini terdapay dalam 2 bentuk: plasmid dan episom.

Selain itu terdapat resistensi silang, dimana suatu bakteri yang resisten

terhadap antibiotik tertentu, juga memperlihatkan sifat resistensi terhadap

antibiotik yang lain. Namun keadaan ini berbeda dengan multiple-drug resistance

berdasarkan keterlibatan lokus genetiknya. Resistensi silang biasanya terjadi

antara antibiotik yang memiliki struktur kimia yang hampir sama, seperti derivat

tetrasiklin, atau antibiotik yang struktur kimianya agak berbeda tetapi mekanisme

kerjanya hampir sama, misalnya linkomisin dan eritromisin.

Resistensi antibiotik makin meningkat terutama pada antibiotik esensial

lini pertama yang relatif murah harganya. Keadaan ini dinilai sangat

membahayakan, karena pada akhirnya dunia kesehatan akan kehilangan antibiotik

yang masih peka dan potensial untuk memerangi penyakit-penyakit infeksi yang

baru muncul (emerging) maupun muncul kembali (reemerging). Penyebabnya

karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik oleh tenaga kesehatan

maupun penderita. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No

2500/Menkes/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2011, untuk

mengatasi masalah resistensi antibiotik diperlukan upaya-upaya sebagai berikut.

Page 15: BAB II

20

a. Menyelenggarakan surveilans pola resistensi mikroba sehingga

diperoleh pola resistensi bakteri terhadap antibiotik

b. Menyelenggarakan surveilans pola penggunaan antibiotik.

Penyelenggara surveilans pola penggunaan antibiotika adalah institusi

penelitian dan rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan, serta institusi

kesehatan, pendidikan, dan lembaga penelitian lain.

c. Mengendalikan penggunaan antibiotik oleh petugas kesehatan dengan

cara memberlakukan kebijakan penulisan resep antibiotik secara

bertahap sesuai dengan keadaan penderita dan penyakit yang

dideritanya, dengan pilihan mulai dari antibiotik lini pertama, kedua,

ketiga, dan antibiotik yang sangat dibatasi penggunaannya

d. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada semua

pihak yang menggunakan antibiotik baik petugas kesehatan maupun

penderita atau masyarakat luas tentang cara menggunakan antibiotik

secara rasional dan bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan

antibiotik yang tidak rasional.

Surveilans pola resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dilakukan oleh

berbagai negara di rumah sakit daerah mereka masing-masing. Penelitian tersebut

dilakukan dalam berbagai periode. Sharma et al (2013) melakukan penelitian

mengenai pola kepekaan bakteri di Rama Medical College, Kanpur, India pada

periode 1 April 2011 sampai 31 Maret 2013. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa seluruh bakteri yang diisolasi menunjukkan kepekaan rendah terhadap

ampisilin, siprofloksasin, dan gentamisin, kepekaan baik terhadap sefotaksim, dan

kepekaan maksimum terhadap amikasin, sefepim, meropenem, dan vankomisin.

Seluruh isolat Staphylococcus aureus resisten terhadap penisilin namun 100%

sensitif terhadap vankomisin. Didapatkan juga kepekaan baik terhadap sefotaksim

(76,47%) dan amikasin (82,35%) namun kepekaan sangat rendah terhadap

antibiotik lain.

Klebsiella yang diisolasi menunjukkan kepekaan sensitif terhadap

meropenem (100%) dan cukup efektif dengan sefepim dan amikasin. E. coli dan

Page 16: BAB II

21

Pseudomonas aeruginosa menunjukkan 100% kepekaan sensitif terhadap

meropenem, sefepim dan amikasin. Pola kepekaan Acinetobacter dan

Enterobacter tidak berbeda jauh. Semua isolat enterobacter sensitif terhadap

amikasin namun resisten (100%) terhadap gentamisin. Sedangkan Acinetobacter

sensitif terhadap amikasin (66,76%) dan gentamisin (66,67%).

Bakteri spesies Streptococcal sensitif terhadap sebagian besar penisilin,

sefalosporin, siprofloksasin, dan eritromisin namun resisten terhadap

aminoglikosida (50-100%). Empat kasus bakteri Coagulase Negative

Staphylococcus (CoNS) resisten terhadap seluruh antibiotik kecuali vankomisin.

Tidak ada bakteri gram negatif yang resisten terhadap meropenem meski sedikit

resisten terhadap sefepim dan amikasin. Semua bakteri gram positif sensitif

terhadap vankomisin.

Penelitian Sharma et al (2012) di NICU di SGRDIMSAR Amritsar, India

mendapatkan 131 organisme dari 311 kultur darah yang dilakukan selama periode

Juni 2011-Juni 2012. Pada hasil uji kepekaan antibiotik untuk Staphylococcus

aureus didapatkan sebanyak 57,35 isolat resisten metisilin. Lebih dari 90% bakteri

gram negatif resiten terhadap amikasin. Resisten terhadap sefalosporin generasi

ketiga bervariasi antara 50-55%. Resistensi terhadap ciprofloksasin cukup tinggi;

namun kebanyakan isolat peka terhadap levofloksasin. Mayoritas isolat peka

terhadap piperasilin-tazobaktam dan imipenem.

Shah et al (2012) yang juga melakukan penelitian di Gujarat, India,

mendapatkan data dari 190 neonatus di NICU, sebanyak 60 (31,57%) neonatus

hasil kulturnya positif. Tiga puluh satu dari hasil kultur didapatkan bakteri gram

negatif, sedangkan 27 kultur didapatkan bakteri gram positif dan 2 kultur

didapatkan Candida. Sebanyak 71% isolat gram positif resisten terhadap penisilin.

Sebanyak 90% isolat gram negatif resisten terhadap gentamisin dan ampisilin.

Di Cina, Li et al (2013) melakukan penelitian mengenai faktor risiko,

gejala klinis, parameter hematologis, patogen penyebab, dan kepekaan antibiotik

pada kasus sepsis neonatus di NICU Maternal and Child Care Hospital di

Shenzhen, Cina periode Januari 2009 sampai Desember 2012. Hasilnya

ditemukan 116 kasus sepsis yang dibagi menjadi early onset sepsis (EOS) dan late

Page 17: BAB II

22

onset sepsis (LOS). Bakteri gram positif ditemukan sebanyak 83.33% pada EOS

dan 70%. Kebanyakan bakteri yang diisolasi resisten terhadap penisilin, oksasilin,

cefoxitin, dan ampisilin. Semua bakteri peka terhadap linezolid. Resistensi bakteri

terhadap tetrasiklin dan eritromisin di grup LOS lebih tinggi dibandingkan dengan

grup EOS. Sebaliknya resistensi teicoplanin di grup LOS lebih rendah

dibandingkan resistensi di grup EOS.

Afsharpaiman et al (2012) telah melakukan penelitian di Tehran, Iran.

Mereka melakukan penelitian di 2 NICU untuk periode Maret 2003-Juli 2006.

Bakteri terbanyak yang diisolasi adalah Enterobacter spp. Kejadian resistensi

pada patogen terisolasi dalam 4 tahun tersebut menunjukkan penurunan

sensitifitas terhadap subgrup sefalosporin. Sensitifitas terhadap siprofloksasin

meningkat secara gradual, dan kepekaan terhadap imipenem dan gentamisin

menurun secara gradual.

Hasil penelitian Bas et al (2010) di Ankara, Turki, menunjukkan bahwa

infeksi nosokomial dalam aliran darah pada bayi menyebabkan mortalitas dan

morbiditas yang tinggi di NICU. Penelitian dilakukan di NICU Dr. Sami Ulus

Children’s Hospital periode tahun 2000-2006. Ditemukan resistensi bakteri gram

negatif terhadap antibiotik ampisilin (100%), sefotaksim (88%), gentamisin

(73%), dan amikasin (23%). Tidak ada bakteri gram negatif yang resisten

terhadap karbapenem kecuali P. Aeruginosa (25%). Pada bakteri gram positif

ditemukan resistensi terhadap penisilin (100%) dan klindamisin (58,3%). Tidak

ada bakteri gram positif yang resisten terhadap glikopeptida atau carbapenem.

Dari penelitian Saleem et al (2013) di NICU Karachi, Pakistan, selama

periode 2006-2011, dari 2768 neonatus ditemukan 104 neonatus mengalami sepsis

neonatus akibat Klebsiella pneumoniae. Lebih dari 80% bakteri yang diisolasi

resisten terhadap ampisilin + asam klavulanat, gentamisin, astreonam, dan

sefalosporin. Late-onset sepsis yang disebabkan Klebsiella pneumoniae peka

terhadap fluorokuinolon dan karbapenem, dan hanya separuh kasus yang peka

terhadap amikasin. Selain itu terdapat peningkatan kejadian resistensi terhadap

amikasin, fluorokuinolon, piperasilin/tazobaktam, dan imipenem.

Page 18: BAB II

23

Selain itu di Afrika, Acquach et al (2013) melakukan penelitian dari hasil

kultur darah bayi hingga anak berusia 14 tahun dengan diagnosis awal sepsis dan

dirawat di NICU dan bangsal anak Teaching Hospital Tamale, Ghana, periode Juli

2011–Januari 2012. Dari 331 spesimen darah yang dikultur, sebanyak 25,9%

(86/331) kasus dikonfirmasi sebagai sepsis bakteri. Acitenobacter menunjukkan

100% sensitif terhadap seftriakson dan sefotaksim, namun resisten (100%)

terhadap ampisilin, tetrasiklin, dan kotrimoksasol. E. coli dan Klebsiella peka

terhadap seftriakson (80%) dan sefotaksim (91%). Spesies Klebsiella peka

terhadap tetrasiklin (8,3%), namun resisten terhadap ampisilin dan kotrimoksasol.

Sebanayk 40% E. coli peka terhadap ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol;

20% peka terhadap tetrasiklin, dan 80% peka terhadap gentamisin dan

cefuroksim. CoNS peka terhadap gentamisin (72%) namun CoPS menunjukkan

kepekaan yang intermediet terhadap gentamisin (42,9%).

Di Eropa, hasil penelitian Brito et al (2009) pada periode Januari 2001-

Desember 2005 didapatkan 610 (31,2%) kasus infeksi nosokomial dari 1957

neonatus yang dirawat di rumah sakit, dan sebanyak 350 (17,9%) kasus

terkonfirmasi melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Dari penelitian ditemukan

S.epidermidis multiresisten dan resisten terhadap oksasilin sebanyak 73,4%.

Sedangkan isolat S.aureus menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap

rifampisin, sulfazotrin, dan gentamisin.

Selain itu, Brito et al (2010) di Brasil dalam penelitian selanjutnya

mendapatkan bahwa di Uberlandia University Hospital ada total 301 patogen yang

diisolasi dari kultur pasien yang memiliki gejala klinis infeksi. Dari hasil uji

kepekaan bakteri yang diisolasi terhadap antibiotik didapatkan resistensi terhadap

oksasilin pada CoNS (81,8%) dan S.aureus (25,3%). Selain itu didapatkan

tingginya angka resistensi acinetobacter sp, Enterobacter sp, Serratia

marcescens, dan Klebsiella pneumoniae terhadap sefalosporin generasi ketiga.

Fabbri et al (2013) juga melakukan penelitian mengenai Klebsiella

pneumoniae di NICU di Maggiore Hospital, Bologna, Italia. Semua isolat

Klebsiella pneumoniae yang didapatkan dari sampel klinis pasien di NICU

Page 19: BAB II

24

memiliki antibiogram yang sama, resisten terhadap ampisilin dan piperasilin, dan

peka terhadap sefalosporin, aminoglikosida, dan imipenem.

Hasil penelitian Macharashvili, et al, 2009, di Tbilisi, Republik Georgia,

pada periode September 2009-September 2004, didapatkan 126 (63%) dari 200

neonatus di dua NICU neonatus dikonfirmasi menderita bakteremia. Sembilan

puluh delapan (78%) isolat merupakan bakteri gram negatif dan 28 (22%)

merupakan bakteri gram positif. Bakteri gram negatif yang diisolasi menunjukkan

resistensi tinggi pada antibiotik yang sering digunakan seperti ampisilin,

amoksisilin/klavulanat, dan resisten rendah terhadap amikasin, siprofloksasin,

karbapenem, dan gentamisin. Sebanyak 40% dari S.aureus yang diisolasi

merupakan MRSA.

Di Amerika Serikat penelitian oleh Lessa et al (2012) secara spesifik

melihat angka kejadian infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus

(MRSA) di NICU selama periode 10 tahun dalam National Nosocomial Infections

Surveillance System. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa insiden infeksi

MRSA meningkat sebanyak 308% dari 0,7 menjadi 3,1 per 10.000 pasien pada

tahun 1995-2004. Sedangkan dari hasil penelitian Krishna, Patil, dan

Chandrasekhardi (2007) di Karnataka Institute of Medical Science Hospital,

Hubli, pada periode Januari 2001-Desember 2002, dari 741 Staphylococcus

aureus yang dikultur dari pasien NICU, sebanyak 283 (37,53%) merupakan

MRSA.

Selain itu di Perancis Rasigade et al (2013) mengadakan penelitian

mengenai Methicillin-resistant Staphylococcus capitis di NICU di 2 rumah sakit

sentral di Lyon, Perancis, periode 2004-2009. Staphylococcus capitis (39,1%)

merupakan patogen yang paling sering ditemukan di NICU, diikuti oleh S.

epidermidis (23,5%). S. capitis yang resisten terhadap metisilin lebih sering

ditemukan pada isolat dari darah.

Hafez et al (2011) juga melakukan penelitian tentang Methicillin-resistant

Staphylococcus epidermidis di NICU di North West Armed Forces hospital di

Tabuk, Saudi Arabia, periode 5 Desember 2004 - 26 Februari 2005. Hasilnya

ditemukan 41 isolat gram positif kokus dari kultur darah, swab luka di umbilikus,

Page 20: BAB II

25

dan aspirasi endotrakeal. Sebanyak 29 isolat merupakan S. epidermidis dan

ditemukan bahwa isolat tersebut resisten terhadap oksasilin, gentamisin (89,7%),

eritromisin (86,2%), klindamisin (75,9%), dan trimetoprim/sulfametoksazol

(72,4%). Seluruh isolat peka terhadap vankomisin, teikoplanin, rifampin,

synercid, dan siprofloksasin.

Dari beberapa penelitian tersebut dapat dilihat kesamaan yaitu adanya

resistensi yang terhadap antibiotik golongan beta laktam, terutama golongan

penisilin. Menurut Wilke (2005), resistensi bakteri terhadap antibiotik beta laktam

dapat terjadi akibat 3 mekanisme sebagai berikut.

1. Produksi enzim beta-laktamase

2. Pembentukan transpeptidase pada dinding sel bakteri

3. Pengeluaran aktif antibiotik beta-laktam dari sel bakteri gram negatif

melalui pompa efluks.

Dalam beberapa tahun terakhir, ketiga mekanisme ini telah dipelajari dan

ditemukan bahwa terjadi peningkatan resistensi secara signifikan terhadap

antibiotik beta-laktam akibat enzim beta-laktamase. Bakteri yang memproduksi

enzim yang disebut dengan Extended-spectrum Beta-lactamase (ESBL) resisten

terhadap banyak antibiotik golongan beta-laktam karena enzim tersebut dapat

menghidrolisis cincin beta-laktam. ESBL biasanya berlokasi di dalam plasmid

yang dapat ditransfer dari satu galur bakteri ke galur lain, sehingga resistensi

bakteri terhadap antibiotik akibat enzim ini semakin meningkat. Dua bakteri yang

telah sering diteliti dan berpotensial memproduksi ESBL adalah Escherichia coli

dan Klebsiella pneumoniae, namun ESBL dapat juga diproduksi oleh bakteri

Enterobacteriaceae lain dan Pseudomonas aeruginosa (Hefferman, 2007).

Pengobatan infeksi akibat bakteri ini cukup sulit karena membutuhkan antibiotik

poten yang lebih resisten terhadap ESBL. Selain itu deteksi ESBL pada

laboratorium cukup kompleks dan sulit.

ESBL diklasifikasikan dalam skema fungsional Bush-Jacoby-Medeiros

menjadi 4 grup 1-4 dengan subgrup 2a-2f dan diklasifikasikan dalam skema

klasifikasi molekular Ambler dalam 4 grup A-D. Klasifikasi tersebut

memperlihatkan resistensi beta-laktamase terhadap beberapa golongan antibiotik

Page 21: BAB II

26

beta laktam seperti penisilin, sefalosporin, keduanya, dan inhibisinya oleh

inhibitor beta-laktamase. ESBL diklasifikasikan menjadi tiga tipe utama, yaitu

TEM, SHV, atau CTX-M. ESBL pertama yang diidentifikasi adalah tipe SHV-2

yakni pada tahun 1983 di Jerman. Analisis menunjukkan adanya mutasi titik pada

gen SHV-1 yang menyebabkan perubahan asam amino dari glisin menjadi serin

pada posisi 238 (Kliebe, 1985). TEM-3 merupakan ESBL tipe TEM yang pertama

kali diidentifikasi, juga merupakan hasil mutasi titik dari TEM-2 yang

menyebabkan perubahan asam glutamat menjadi lisin pada posisi 104, dan glisin

menjadi serin pada posisi 238 (Sougakoff, 1988). Sedangkan CTX-M pertama kali

dilaporkan pada pertengahan kedua tahun 1980-an dan menyebar secara cepat di

dekade terakhir menjadi tipe ESBL yang paling banyak ditemukan di banyak

negara (Bonnet, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian oleh Rupp (2003) didapatkan bahwa banyak

bakteri yang memproduksi ESBL juga mengekspresikan AmpC beta-laktamase

dan dapat memiliki plasmid yang mengkode resistensi terhadap aminoglikosida.

Selain itu didapatkan juga peningkatan hubungan antara produksi ESBL dengan

resisten terhadap antibiotik fluorokuinolon. Meskipun secara in vitro ESBL dapat

dihambat oleh antibiotik golongan inhibitor beta laktamase seperti sulbaktam dan

klavulanat, secara nyata ditemukan peningkatan resistensi terhadap antibiotik

golongan tersebut, sehingga kombinasinya dengan antibiotik beta-laktam tidak

memberikan pengobatan yang lebih efektif.

Page 22: BAB II

27

1.2 Kerangka Teori

Pasien di NICU(Neonatus dengan

risiko tinggi)

Imunitas

Alat dan prosedur

invasif

Sterilitas tenaga

medis

Penggunaan

antibiotik

Infeksi

Pola kepekaan

bakteri terhadap

antibiotik pada

NICU

Pola bakteri pada

NICU

Page 23: BAB II

28

Mikroorganisme dalam tubuh manusia (flora normal)

Faktor predisposisi pejamu (imunitas)

Perpindahan lokasi (masuk dalam aliran darah)

Infeksi oportunistik

Bakteremia

Kultur darah positif

Prosedur invasif Kontaminasi dari tenaga

kesehatan dan lingkungan