bab ii 2100179 - perpustakaan...

BAB II

ISHLAH DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

A. PENGERTIAN ISHLAH DALAM AL QUR’AN

Kata ishlah berasal dari kata ashlaha, yushlihu, ishlahan.1 Kata ini

merupakan derivasi (Arab, tasyrif) dari shalaha yang digunakan dalam al Qur’an

sebanyak 180 kali2 dengan berbagai derivasi dan termnya. Sedangkan ishlah

dengan berbagai variasinya sendiri digunakan dalam al Qur’an sebanyak 40 kali.3

Ishlah secara bahasa mengandung arti lawan dari penyimpangan, memperbaiki,

mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan diantara sesama

kaum.4 Al Qur’an memberikan pengertian dan makna yang beragam dalam

pengungkapannya, yaitu :

1. Berusaha menciptakan perdamaian

Al Baqarah (2) ayat 220

�� !"�# �$%&'��(

&)*��$+'�,��-�.��/$0*��!��( 1"��,��(2�3'3"�,��

Artinya: "Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu

tentang anak yatim, katakanlah: ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik’, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa

1 Kata ini merupakan salah satu varian dari tiga bentuk fiil tsulatsi (bentuk kata yang terdiri

dari tiga huruf) yang mendapatkan tambahan satu huruf (tsulatsi mazid) , yang mengikuti pola bentuk (wazan) Af'ala, Fa'ala, Faa 'ala. Mushtafa al Ghalayaini, Jami' al Durus al 'Arabiyah, Beirut: al Maktabah al 'Ashriyah, cet ke-29, 1994, Juz 1, hlm 218

2 Muhammad Fuad Abd al Baqi, al Mu’jam Mafahras li Alfadh al Qur’an al Karim, Beirut: Daar al Hadits al Qahirah, 1996, hlm.504-507

3 QS, 2 : 128, 160, 220, 224, 228; 3 : 89; 4 : 16, 35, 114, 128, 129, 146; 5 : 39; 6 : 48, 54; 7 : 35, 56, 85, 142; 8 : 1; 10 : 81; 11: 88; 16 : 119; 21 : 90; 24 : 5; 26 : 152; 27 : 48; 33 : 71; 42 : 40; 46 : 15; 47 : 2, 5; 49 : 9, 10. lihat Al Hasani, Faidhullah, Fath al Rahman li Thalabi Ayat al Qur’an, Jeddah: Al Haramain, tanpa tahun, hlm 258

4 Muhammad Raghib al Isfahani, Mu'jam Mufradat li Alfadh al Qur'an, Beirut: Daar al Fikr, 1972, hlm. 292. juga Ma’luf Abu Luwis, al Munjid fii al Lughah wa al A’laam, Beirut: Daar al Masyriq, cet. ke-16, 1986, hlm. 432. lihat juga Ibrahim al Abyari, al Mausu'ah al Qur'aniyah al Muyassarah, jilid 3, Kairo: Muassasah Sijl al Arab, tanpa tahun, hlm. 196

BAB II Ishlah Dalam Perspektif al Qur'an 16

yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Alah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."


4$�*��!5��!6��278� �,��9$��!: ('��8�!��;�<��-��=>�>�!6&)�?@�!0@� '�A �

��78��# ��B�� !�C�@�928�!6 ��+@��D��,�@�!��EF '��GH��I��!��2�� C

�(2�3'3"�,��=J7C�!6$"�K�J�$��L ��+*�@�!6$"��

�

Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

2. Membawa keharmonisan

An Nisa’ (4) ayat 35

��!��:(2��I+@��:61@�M��4.�� F)��'�'��6$�8�!��:(2��N$�8��9��'��2��

��8��:61@�,��O��:$"��5�,��

Artinya: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuian. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

3. Menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dengan yang lainnya

An Nisa’ (4) ayat 114

��=��0@��8�!��<��P�!��I5� ��F��<��L ��+��+)'�!��Q �1��R@�� 8�

�:S"��J8�NTE�L �&��,��A �U��-�V @��# �B��

Artinya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,

kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia)


memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar."

4. Melakukan perbuatan baik

Hud (11) ayat 88

��K��'��D�788�� '��W15��$"��=1@��!��X7��N1��Y�Z7��Z7��1&2��'78��8�

��()��F�8��[��(\8��N1"��'78��<�� ]��W+� ��_4��T��<��,�@

` �8�N��W$5�T�N$"��

Artinya: "Syu’aib berkata : ‘Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rizki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah Nya?) dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu(dengan mengerjakan) apa yang aku larang.’ Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepadaNyalah aku kembali."

5. Berperilaku sebagai orang suci (baik)

Al A’raf (7) ayat 56

T�<�"C��62�� +@�a 7�� &)R1&b��!��` '��,��=c7��+:d��e��

Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah

(Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (agar dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."


��(��F ��?��?.��Q �1��&fOT<��3*��62�� +@�a 7<�� &)T�<

BR1�E�� 15��(��(��

Artinya: "Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman."


Sementara dalam pengungkapan kata perintah, kata ini disebutkan

sebanyak lima kali. Yaitu:


��N�<��^��K��=$��R+@7��N@7�A �4�� g+@��1:h��=$��R>�>��^��F"��

�&)*��O �iO T�<��/$� �� Y)$��7�� !'�Artinya: "Dan telah kami janjikan kepada Musa (memberikan taurat)

sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: ’gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah dan janganlah kamu mengikuti jalan orang yang berbuat kerusakan’."

Al Anfal (8) ayat 1

��,��+d8��(1@�A �B��j$� 8��,��4T��K� ��,�K�)��K�)��!"�# �$%&'

R1�E�� 15��N�� 7��

Artinya: "Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta

rampasan perang. Katakanlah ‘Harta rampasan perang itu milik Allah dan RasulNya’. Sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan diantara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."

Al Hujurat (49) ayat 9

��R1�E*��!�� )k�d��WV@��:61@��j$�?��$ ��$"��l��2��m ��$T�4��G

R�&4*��` ;�,��&�8��K�+��@��:61@��j$�?��A -��,��8�[��-_)T�m2��VOT��

Artinya: "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang

maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."


Al Hujurat (49) ayat 10 :

��c�T��($+��,��4T��('��R@��j$� ��1�E*��n��

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang mu'min itu bersaudara karena itu

damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."

Dalam bahasa Arab modern kata ini dipergunakan untuk pengertian tajdid

(pembaruan) atau rekonsiliasi.5

Dalam ilmu fiqh istilah ini disebut dalam bab khusus yaitu shulh.6 Secara

bahasa berarti qath’u al munaaza’ah (meredam pertikaian).

Dan secara istilah berarti :

R@�=��0o��6 1'��4"R:� �f *��

Artinya : Suatu akad atau perjanjian yang mengakhiri pertikaian antara

dua orang yang bersengketa secara damai.

Menurut al Syirbashi dan al Jurjawi :7

��+@�=*�&*��=j$0*��!��^��=V��/$0 ��i��'��4"�=+'�g�� ="Z�1*pq��

Artinya : "Shuluh secara bahasa adalah bentuk kata dari maslahah yaitu berdamai setelah terjadi persengketaan, dan secara syara’ yaitu akad yang dibuat untuk menyelesaikan persengketaan."

Shuluh (perdamaian) adalah perjanjian untuk saling menghilangkan

permusuhan, perbantahan, pendendaman, dan sikap-sikap yang dapat

menimbulkan permusuhan atau peperangan.8

5 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality, Terj. Alwiyah Abdurrahman dan

MISSI, "Ancaman Islam: Mitos atau Realitas", Bandung: Mizan, Cet. Ke-3, 1996, hlm. 61 6 Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid 2, Lebanon: Daar al Fikr, Beirut, 1992, hlm. 305 7 Ahmad al Syirbashi, al Mu’jam al Iqtishadi al Islami, Beirut: Daar al Jail, 1981, hlm. 256.

Lihat juga Ali ibn Muhammad al Jurjawi, al Ta’rifaat, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1988, hlm. 134

8 M. Abdul Mujib, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-4, 1994, hlm. 328


Masing-masing pihak yang melakukan akad disebut mushalih (orang yang

berdamai).9

Dalam penggunaanya, shulh mengandung pengertian umum yang

mencakup perdamaian dalam lapangan harta benda, perdamaian dalam urusan

rumah tangga, perdamaian dalam peperangan, dan mencakup perdamaian yang

dilakukan antara sesama muslim dan antara orang Islam dengan non muslim.10

B. KLASIFIKASI PENGGUNAAN ISHLAH DALAM AL QUR’AN

Al Qur’an dalam ungkapan ayatnya mengklasifikasikan anjuran ishlah

dalam berbagai masalah, yaitu :

1. Dalam bidang politik

Surat al Hujurat (49) ayat 9 :

��:61@��j$�?��$ ��R1�E*��!�� F)k�d��WV@��m ��$T�4��G��$"��l��2��

+��@��:61@��j$�?��A -��,��8�[��-_)T�m2��VOTR�&4*��` ;�,��&�8��K��


maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari dari keduanya berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

2. Tentang urusan rumah tangga

a. Nusyuz

9 Sayid Sabiq, Op. Cit. 10 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa ‘Adillatuhu, Jilid 5, Beirut, Damaskus: Daar al

Fikr, cet.ke-3, 1989, hlm. 295. juga dalam Muhammad Khatib al Syarbini, Mughni al Muhtaj ila Ma'rifah Ma'ani Alfadh al Minhaj, juz 2, Berut: Daar al Fikr, tanpa tahun, hlm. 177


Surat al Nisa' ayat 34:

��!��S+��!�Z�g��T��iJ�r*�� !��s��(1+d��!��@�U ��

OT$"��5�,��O �!6$"��V��O5��

Artinya: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."

Surat al Nisa' ayat 128:

��:61@��j$0 '��:6$"��1J��U ��"��Z�g��6$+@�!��WF ��F��

��t )<��A �r2��/$F0 ��j$F��4 T��1&u��/g��v��5�,��

��O��$:+T��

Artinya: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh (dari suaminya), maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

b. Syiqaq

Al Nisa’ (4) ayat 35

��'�'��6$�8�!��:(2��N$�8�!��:(2��I+@��:61@�M��4.�� )��2��

��:61@�,��9��'��O��:$"��5�,��

Artinya: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara

keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuian. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

c. Poligami

Surat al Nisa' ayat 129


��R@��+T��+� &T�!F ��=4$+*�5��7H ��*��5��$h�� 2��-�&1

��:27��7�)w��5�,��4 T��j$0T��

Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara

istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

3. Dalam masalah wasiat


,��N$"�x��61@�/$� ��y��)1J�z ��!��L ��!:� �7�)w��27�

Artinya: "(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang

berwasiat itu,berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

C. PENDAPAT ULAMA’ TENTANG ISHLAH DALAM AL QUR’AN

1. Dalam bidang politik

Dalam hubungan antara sesama kelompok masyarakat dan satu

kelompok masyarakat dengan pemerintah terkadang terjadi perselisihan, yang

disebut al baghy.11 Oleh karena itu al Qur’an memerintahkan ishlah bila

terjadi hal tersebut. Seperti dijelaskan dalam surat al Hujurat (49) ayat 9 :

��R1�E*��!�� )k�d��@��:61@��j$�?��$ ��VW��m ��$T�4��G��$"��l��2��

R�&4*��` ;�,��&�8��K�+��@��:61@��j$�?��A -��,��8�[��-_)T�m2��VOT��


maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari

11 Al Baghy menurut bahasa adalah tuntutan atau sewenang-wenang / melampaui batas,

secara etimologis berarti tuntutan yang tidak dihalalkan dengan cara yang curang dan lalim, yang dalam hukum pidana Islam berarti pemberontakan. Lihat Abdul Qadir Audah, al Tasyri’ al Jina’I al Islami Muqaranan bi al Qanun al Wadh’I, jilid II, Beirut: Muassasah al Risalah, cet. Ke-11, hlm. 21


keduanya berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

Dalam ayat ini terdapat dua perintah ishlah, pertama, melakukan

ishlah terhadap dua kelompok yang berperang dan kedua, melakukan ishlah

terhadap pembangkang pemerintah yang sah. Ishlah yang pertama adalah

dengan cara mengajak kedua belah pihak untuk kembali kepada kitab Allah

dan membawa mereka ke meja perundingan serta menghentikan

peperangan.12 Sementara dalam masalah kedua, pemerintah terlebih dahulu

wajib melakukan langkah persuasive untuk menyadarkan mereka kembali.

Kalau mereka masih tetap memberontak, maka pemerintah diizinkan untuk

memerangi mereka hingga tunduk. Pemerintah juga boleh menangguhkan

hukuman terhadap mereka jika ternyata pelaksanaannya akan menimbulkan

gejolak dalam masyarakat.13

2. Tentang urusan rumah tangga.

a. Nusyuz

Nusyuz, berasal dari kata an Nasyz atau an Nasyaz yang berarti

tempat yang tinggi.14 Arti kata ini dalam pemakaiannya berkembang

12 Fakhruddin al Razi, Tafsir al Kabir au Mafatih al Ghaib, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah,

1990 jilid 28, hlm. 110. Juga dalam Syihabuddin Mahmud al Alusi, Ruuh al Ma’ani fii Tafsiiri al Qur’an al ‘Adhim wa al Sab’u al Matsani, jilid 3, Daar al Fikr, tt, hlm. 149

13 Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al Anshari Al Qurthubi, Al Jami' li Ahkam al Qur'an, jilid 16, Kairo: Daar al Qalam cet ke-3, 1966, hlm. 318

14 Ahmad Wason Munawwir, Kamus al Munawwir, Jogjakarta: Pondok Pesantren al Munawir, 1984, hlm. 1517


menjadi durhaka al 'Isyyaan atau tidak patuh sebagai lawan kata Qunut

yang berarti senantiasa patuh.15

Ibn Manzur mengartikannya sebagai rasa kebencian salah satu

pihak (suami atau istri) terhadap pasangannya.16 Dalam istilah fiqih,

nusyuz diartikan sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap

apa yang seharusnya dipatuhi dan atau rasa benci terhadap pasangannya,

atau dengan kata lain ketidaktaatan suami atau istri kepada pasangannya

secara tidak sah atau tidak cukup alasan.17 Oleh karena itu, apabila

terdapat pembangkangan terhadap sesuatu yang memang tidak wajib

dipatuhi, maka sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz.

Nusyuz berawal dari salah satu pihak suami atau istri bukan

keduanya secara bersama-sama, karena ini disebut sebagai syiqaq.

Nusyuz pihak istri berarti ketidaktaatannya kepada suami, yang bisa

berbentuk apabila istri tidak menghiraukan hak suami atas dirinya.18

Sedangkan nusyuznya suami lebih sering berbentuk pada kebencian atau

ketidaksenangannya terhadap istrinya sehingga suami menjauhi atau

tidak memperhatikan istrinya.19 Selain istilah nusyuz suami kepada

15 Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al Thabari, al jami' al Bayan fi Ta'wil al Qur'an, jilid 4,

Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, Cet ke-1, 1992, hlm. 64. Juga dalam Abi Ali al Fadhal ibn al Husain al Tharbisi, Majma' al Bayan fi Tafsir al Qur'an, Juz 3, Beirut: Daar al Ma'rifah, tanpa tahun, hlm. 67

16 Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram al Anshari Ibn Manzur, Lisan al Arab, Jilid 7, Beirut: Daar al Mishriyah, tanpa tahun, hlm 284

17 Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Op. Cit., hlm 338 18 Husnain Muhammad Mahluf, Al Qur'an al Karim wa ma'ahu Shafwah al Bayan li Ma'ani

al Qur'an, Juz 1, Beirut: Daar al Fikr, tanpa tahun, hlm. 150, juga dalam Al Qurthubi, Op. Cit., jilid 5, hlm. 180

19 Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Jilid 2, juz 5, Beirut: Daar al Fikr, cet ke-3, 1974, hlm. 29. juga dalam Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al Syaukani, Fath al Qadir al Jami' baina Fannay al Riwayah wa al Dirayah min Ilm al Tafsir, jilid 1, Beirut: Daar al Fikr, cet ke-3, 1983, hlm. 521. Juga dalam Mahluf, Op. Cit., hlm. 172


istrinya juga dikenal dengan istilah I'raadh (berpaling). Bedanya yaitu

bila nusyuz, suami menjauhi istrinya, sedangkan I'raadh, suami tidak

menjauhi istrinya melainkan hanya tidak mau berbicara dan tidak

menunjukkan kasih sayang kepada istrinya.20 Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa setiap nusyuz pasti I'raadh sedangkan I'raadh belum

tentu nusyuz.

Dalam al Qur'an nusyuz pihak istri terhadap suaminya

diungkapkan dalam surat al Nisa' ayat 34, yang berbunyi :

��!��S+��!�Z�g��F ��FT��iJ�r*�� !��s��(1+d��!��@�U ��

OT��$"��5�,��O �!6$"��V��O5��

Artinya: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."

Adapun nusyuz dari pihak suami kepada istrinya, diungkapkan

oleh surat al Nisa' ayat 128, yang berbunyi:

��+@�!��W��j$� ��:61@��j$0 '��:6$"��1J��U ��"��Z�g��6$

��4 T��1&u��/g��t )<��A �r2��/$0 ��O��$:+T��v��5�,��

Artinya: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh (dari suaminya), maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Ada dua jalan yang bisa ditempuh seorang istri sebagai solusi

apabila mengalami perlakuan nusyuz dari suaminya, yaitu: pertama,

20 Al Maraghi, Ibid.. Juga dalam Al Qurthubi, Op. Cit., hal 403


bersabar dan jalan yang kedua adalah mengajukan khulu' dengan

kesediaan membayar ganti rugi ('iwadh) kepada suaminya sehingga

suaminya menjatuhkan talak.21

Dan adapun solusi bagi suami yang menghadapi nusyuz dari istri

adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam surat al Nisa' ayat 34.

Tahap pertama berupa pemberian nasehat, petunjuk dan peringatan

tentang ketakwaan kepada Allah serta hak dan kewajiban suami istri

dalam rumah tangga.22 Namun demikian sebelum memberikan nasehat

kepada istrinya, suami harus melakukan introspeksi pada dirinya. Apakah

sikap istrinya saat itu bersumber dari atau dilatarbelakangi oleh sikapnya

sendiri terhadap istrinya.23 Jika demikian, maka bukan nasehat yang

harus diberikan melainkan memperbaiki diri terlebih dahulu yang harus

diutamakan. Tetapi jika nusyuz itu terbukti bersumber dari istri itu

sendiri, maka nasehat, petunjuk, dan peringatan harus diberikan

kepadanya.

Dalam memberikan nasehatnya suami harus dengan cara yang

lemah lembut dan bijaksana. Apabila dengan cara itu masih tidak bisa,

maka suami diperkenankan untuk mengancam istri yang nusyuz itu

dengan menjelaskan bahwa sikapnya tersebut bisa menjadi sebab dari

gugurnya hak-hak istri terhadap suaminya.24 Tahap kedua adalah pisah

21 Mahmud Syaltut, Op. Cit., hlm. 179 22 Az Zuhaili, al fiqh al Islami wa Adillatuhu, Op. Cit., jilid 7, hlm. 338 23 Karena ada hak yang seimbang antara suami istri dalam pergaulan hidup berumah tangga

sehingga fungsi untuk saling koreksi sangat diperlukan. Lihat dalam Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf an Nawawi, Al Majmu' Syarah Muhadzdzab, jilid 16, Beirut: Daar al Fikr, tanpa tahun, hlm 421

24 Wahbah az Zuhaili, al fiqh al Islami wa Adillatuhu, Op.Cit..


ranjang dan atau tidak saling bertegur sapa.25 Tahap ini adalah tahap

lanjutan dari tahap yang pertama bila tidak berhasil. Khusus untuk tahap

yang kedua ini, hanya diperbolehkan selama tiga hari tiga malam.

Berdasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an

Nasa'I,26 yang berbunyi :

�e��8��s6'��8��$&*��;�<��D�'8�=>�>�M��

Artinya: "Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa

dengan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam." Tahap ketiga adalah memukul istri yang nusyuz, namun tidak

dengan pemukulan yang sampai melukainya. Menurut Ali al Shabuni dan

Wahbah az Zuhaili, ketika melakukan pemukulan, yang harus dihindari

adalah pemukulan pada bagian muka karena muka adalah bagian tubuh

yang dihormati. Juga pada bagian perut dan juga bagian yang lain yang

bisa menyebabkan kematian, karena pemukulan ini tidak dimaksudkan

untuk mencederai apalagi membunuh istri yang nusyuz, melainkan untuk

mengubah nusyuznya. Dan pemukulan yang dilakukan juga tidak boleh

hanya pada satu tempat karena akan menambah rasa sakit dan akan

memperbesar kemungkinan terjadi timbulnya hal-hal yang

membahayakan.27

25Al Qurthubi, Op. Cit., hlm. 181 26 Hadits ini dengan sanad dari Bukhari dan Muslim. Dalam Zaki al Din Abd al 'Adhim abd

al Qawi al Mundziri, al Targhib wa al Tarhib min al Hadits al Syarif, juz 3, Beirut: Daar al Fikr, 1981, hlm. 455

27 Muhammad Ali al Shabuni, Tafsir al Ahkam min Ayat al Qur’an, jilid 1, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 471. Juga dalam Wahbah az Zuhaili, Tafsir al Munir fi al Aqidah wa al Syari’ah wa al Manhaj, Jilid 5, Beirut, Lebanon: Daar al Kutub al Ma’ashir, Cet. ke-1, 1991, hlm. 126


Dalam pemukulan ini dianjurkan tidak menggunakan lebih dari

sepuluh lidi, sehingga tidak sampai melukai. Hal ini diungkapkan Nabi

dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan

Muslim,28 yang berbunyi :

�,��C��2�!��2� �<��{�� g"�M��5�2��$|�<�

Artinya: "Tidak dibenarkan salah seorang dari kamu memukul dengan

pemukul yang lebih dari sepuluh lidi, kecuali untuk melakukan hal yang ditetapkan oleh Allah."

Apabila pemukulan itu sampai berakibat fatal, sehingga sampai

mengakibatkan kematian istri yang nusyuz, maka menurut madzhab

Maliki dan Hanbali, suami tersebut tidak dikisas karena pemukulan itu

dibenarkan oleh syara' dan diperkuat oleh satu hadits yang merupakan

latar belakang penurunan (asbab al nuzul) surat al Nisa' ayat 34, pada

peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat yang bernama Sa’id,

keduanya dari kelompok orang-orang Anshar (kaum muslimin penduduk

Madinah yang menolong kaum muhajirin, yakni orang-orang muslim

yang hijrah ke Madinah) dari pihak istrinya terjadi nusyuz (menolak

untuk menunaikan kewajibannya sebagai istri), dan oleh suami, istri itu

dipukul. Sehingga membuat ayahnya marah atas perbuatan tersebut. Lalu

mengadukan peristiwa ini kepada kepada Rasulullah seraya berkata:

'Ditidurinya putriku dan dipukulinya'. Mendengar pengaduan itu lalu

Rasul segera membenarkan untuk menuntut pihak suami yang melakukan

pemukulan tersebut. Mendengar putusan yang diberikan oleh nabi

28 Muhammad Salam Abd al Syafi, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz 4, Beirut: Daar al

Kutub al ilmiyah, cet ke-1, 1993, hlm. 57, juga dalam Az Zuhaili, al fiqh al Islami wa Adillatuhu, Op. Cit.,jilid 7, hlm. 338


tersebut, keduanya segera mau pergi untuk melaksanakan putusan

tersebut. Namun Rasul segera memanggil kembali dengan berkata:

'Tunggu ! sekarang juga telah turun jibril membawa ayat tentang masalah

kalian'. Yakni ayat 34 surat al Nisa’. Dan selanjutnya Rasul bersabda:

“Putusan kita lain dengan putusan Allah. Oleh karena itu, ketahuilah

bahwa putusan Allah itu adalah amat bijaksana”. 29 Juga disandarkan

pada hadits yang diriwayatkan Umar ibn Khattab,30 yang berbunyi:

�} �U ��J��K?&'�<�N$��

Artinya: "Tidak akan dituntut seorang suami yang melakukan pemukulan terhadap keluarganya (istrinya)".

Sedangkan menurut madzhab Hanafi dan Syafi'I, suami tersebut

dikisas karena mengabaikan syarat pemukulan, yaitu harus menjaga

keselamatan istri yang dipukul.31 Karena walaupun tujuan pemukulan itu

berusaha memperbaiki sikapnya, tetapi lebih baik apabila tidak

memukulnya. Berdasarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan oleh al

Baihaqi dari Ummu Kultsum,32 yang berbunyi:

�r '�!��57��}�

Artinya: "Dan ketiadaan memukulnya adalah tindakan yang terbaik bagi

kamu (suami)."

29 Hadits ini diriwayatkan oleh Muqathil, lihat dalam al Thabari, Op. Cit., hlm. 58. Juga

dalam juga Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al Qur’an al Hakim al Syahir bi Tafsir al Manar, jilid 5, Beirut: Daar al Ma’rifah, cet ke-2, 1983, hlm. 84. juga dalam al Tharbisi, Op. Cit., hlm. 69. Juga dalam Al Maraghi, Jilid 2, juz 5, hlm. 29

30 Al Qurthubi, Op. Cit., hlm. 173. dalam riwayat Abu dawud dari Abu Hurairah dengan menggunakan lafadh laa yus'alu al rajulu fima dharaba imra'atahu (Tidak akan dituntut seorang suami yang melakukan pemukulan terhadap istrinya). Lihat dalam Abu Dawud Sulaiman ibn al Asy'ats al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Ta'liq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Beirut: Daar al fikr, tanpa tahun, hlm. 246. juga dalam An Nawawi, Op. Cit., hlm. 450

31 Az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Op. Cit, jilid 7, hlm. 340 32 Al Alusi, Op. Cit., jilid 5, hlm. 25


Tahap yang keempat ini sebenarnya adalah tahap yang diberikan

untuk menyelesaikan kasus syiqaq. Sehingga apabila tahap yang pertama,

kedua, ketiga tidak berhasil, sementara nusyuz istri sudah menimbulkan

pada kemarahan suami dan menjurus pada syiqaq, maka diperlukan juru

damai yang akan meneliti kasus tersebut. 33

Sebagai solusinya, kedua belah pihak diperkenankan untuk

membuat perjanjian atau perdamaian berupa apa saja yang disetujui oleh

kedua belah pihak sepanjang hal ini tidak melanggar pada ketentuan yang

telah digariskan oleh syara'. Seperti dengan cara merelakan hak masa

tinggal atau menginap istri dari suami. Hal ini berdasarkan pada

periwayatan imam al Tirmidzi yang juga merupakan sebab diturunkannya

ayat 128 surat al Nisa' mengenai kasus Saudah, salah satu istri dari Nabi

yang merasa takut akan ditalak oleh Nabi. Oleh karena itu ia berkata

kepada Nabi : 'jangan talak saya, biarlah hak giliran saya untuk Aisyah.'

Dan Nabi pun menyetujui serta melaksanakannya.34

Dalam pemahaman tentang pemberian solusi atas kasus

nusyuznya istri terhadap suaminya, ulama' berbeda pendapat. Ulama'

jumhur yang termasuk didalamnya madzhab Hanbali, tindakan tersebut

harus berjenjang dan disesuaikan dengan kadar atau tingkat nusyuz istri.

Jenjang pertama dilakukan apabila suami merasa khawatir istrinya akan

nusyuz. Sedangkan tahap kedua bila istri benar-benar nusyuz, tahap

33 Abu Bakar Muhammad ibn Abdillah ibn Arabi, Ahkam al Qur’an, jilid 1, Beirut, Lebanon:

Daar al Kutub al Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 420 34 Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah al Tirmidzi, al Jami' al Shahih wa huwa Sunan al

Tirmidzi, juz 5, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, cet ke-1, 1987, hlm. 232. Lihat juga dalam Abu Abd al Rahman Ahmad ibn Syu'aib an Nasa'I, Kitab al Sunan al Kubra, juz 6, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, cet ke-1, 1991, hlm. 329


ketiga adalah tahap terakhir dalam upaya menyelesaikan kasus ini. Hal

ini didasarkan pada alasan bahwa kata sambung (wawu) pada ayat 34

surat al Nisa' tersebut berfungsi sebagai tadarruj yakni menghendaki

adanya urutan atau bertahap sesuai dengan kualitas hukum mulai dari

yang paling ringan sampai yang terberat.35 Sehingga apabila tujuan

tindakan tersebut telah tercapai pada tahap yang pertama, maka tidak

perlu dilanjutkan pada tahap berikutnya. Sedangkan menurut imam

Syafi'I, dan imam Nawawi, tindakan tersebut tidak harus berjenjang,

boleh memilih tindakan yang diinginkan atau menggabungkannya,

sehingga pemukulan bisa dilakukan pada awal nusyuz istri. Karena huruf

wawu pada ayat tersebut tidak menghendaki adanya urutan.36

b. Syiqaq

Al Nisa’ (4) ayat 35

��9��'��2��'�'��6$�8�!��:(2��N$�8�!��:(2��I+@��:61@�M��4.�� )��

1@�,��O��:$"��5�,��8��:6�

Artinya: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Ayat tersebut membahas tentang ishlah dalam perkara syiqaq.

Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada dua belah

pihak suami dan istri secara bersama-sama.37 Sehingga syiqaq berbeda

dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada

35 Al Razi, Op. Cit., jilid 5, juz 10, hlm. 73 36 An Nawawi, Op. Cit., hlm. 447 37 Ibn Manzur, Op.Cit., jilid 12, hlm. 50


salah satu pihak, suami atau istri saja.38 Untuk mengatasi kemelut rumah

tangga yang meruncing antara suami istri itu, al Qur’an memerintahkan

agar diutus dua orang hakam (juru damai). Pengutusan hakam ini

dimaksudkan untuk menelusuri sebab-sebab terjadinya syiqaq dan

berusaha mencari jalan keluar guna memberikan penyelesaian terhadap

kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami istri tersebut.39

Berdasarkan pengertian nash (dhawahir al nash) pada ayat 35

surat al Nisa’ tersebut, maka juru damai yang dimaksud adalah terdiri

atas wakil dari pihak suami dan wakil dari pihak istri.40 Namun dalam hal

mengenai siapa yang sebaiknya menjadi juru damai, terdapat perbedaan

pendapat dikalangan ulama’. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa

juru damai boleh saja diambil dari keluarga kedua belah pihak. Dengan

alasan bahwa hubungan kekerabatan tidak merupakan syarat sah untuk

menjadi juru damai dalam kasus syiqaq. Sebab tujuan pokok dari

pengutusan juru damai adalah untuk mencari jalan keluar dari kemelut

rumah tangga yang dihadapi oleh pasangan suami istri dan hal ini dapat

saja tercapai sekalipun juru damainya bukan dari keluarga kedua belah

pihak. Namun demikian, keluarga dekat, atas dasar dugaan yang kuat,

lebih mengetahui seluk beluk rumah tangga serta pribadi masing-masing

suami istri. Maka dari pendapat ini dapat difahami bahwa mengutus juru

damai dari keluarga kedua belah pihak yang berselisih tetap lebih

38 Ibid., Jilid 7, hlm. 284 39 Ridha, Op. Cit., jilid 5, hlm. 78 40 Abu Bakar Ahmad ibn Ali al Razi al Jashshash, Ahkam al Qur’an, Jilid 2, Beirut: Daar al

Kutub al Ilmiyah, cet. ke-1, 1994, hlm. 239


dianjurkan dan lebih utama pendukung pendapat ini diantaranya adalah

Syihabuddin Mahmud al Alusi.41

Dan pendapat yang lain adalah menyatakan bahwa juru damai

harus terdiri dari keluarga masing-masing pihak suami dan istri. Pendapat

ini dinyatakan oleh Abu Qasim Mahmud Ibn Umar Az Zamakhsyari,

dengan alasan bahwa pertama keluarga kedua belah pihak lebih tahu

tentang keadaan kedua suami istri secara mendalam dan mendekati

kebenaran, kedua keluarga kedua belah pihak adalah diantara orang-

orang yang sangat menginginkan tercapainya perdamaian dan kedamaian

serta kebahagiaan kedua suami istri tersebut ketiga merekalah yang lebih

dipercaya oleh kedua suami istri yang sedang berselisih dan keempat

kepada mereka kedua suami istri akan leluasa untuk berterus terang

mengungkapkan isi hati masing-masing.42

Para ulama’ juga berbeda pendapat tentang siapa yang

mengangkat atau mengutus juru damai. Pendapat pertama menyatakan

bahwa berdasarkan surat al Nisa’ ayat 35, juru damai diangkat oleh

keluarga pihak suami dan pihak istri bukan kedua suami istri yang

bersengketa. Pendapat ini dikiuti oleh Madzhab Hanafi, Imam Syafii

(qaul qadim)43 dan madzhab Hanbali.44

41 Al Alusi,Op.Cit.,jilid 3 , hlm. 27 42 Abu Qasim Mahmud Ibn Umar Az Zamakhsyari, al Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al

Tanzil wa ‘Uyun al Aqawil fi Wujuh al Ta’wil ,Jilid 1, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1995, hlm. 497

43 Pada umumnya ulama’ membagi pendapat Imam Syafi’I menjadi dua yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat imam Syafii yang dikemukakan dan ditulis di Irak ( tahun 195 H.). Dan qaul jadid adalah pendapat imam Syafii yang dikemukakan dan ditulis di Mesir (pada tahun 199 H.), lihat Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi'I, Remaja Rosda Karya, Bandung: 2001, hlm. 173


Akan tetapi menurut al Sya’bi, Ibn Abbas, Madzhab Maliki dan

Imam Syafi'I (qaul jadid), juru damai diangkat oleh hakim atau

pemerintah, sebab lafadz fa ib’atsu dalam surat al Nisa’ ayat 35 tersebut

ditujukan kepada seluruh kaum muslimin yang dalam hal ini

dilaksanakan oleh (lembaga yang yang mempunyai kekuasaan peradilan

[hukkam]), karena lembaga ini dianggap mempunyai kewenangan untuk

menyelesaikan perselisihan yang sulit diselesaikan oleh suami dan istri.45

Berdasarkan uraian diatas, maka urutan orang yang berwenang mengutus

juru damai adalah keluarga kedua belah pihak dan pemerintah.

Hukum mengangkat atau mengutus juru damai dalam masalah

syiqaq menurut Imam Syafii adalah wajib.46 Sebab pengutusan itu dalam

rangka membasmi kelaliman antara suami dan istri yang merupakan

kewajiban umum terutama bagi pemerintah, dalam hal ini hakim

pengadilan.47

Mahmud Syaltut berpendapat bahwa mengutus juru damai

merupakan tugas wajib aini (kewajiban setiap individu) bagi keluarga

kedua suami istri. Kewajiban ini akan berpindah ke pengadilan apabila

keluarga kedua belah pihak suami dan istri tidak mampu lagi untuk

merukunkan kembali pasangan suami istri tersebut.48

44 Abi Zakariya Yahya ibn Ziyad al Farra’, Ma’ani al Qur’an, jilid 1,Beirut: Daar al Surur,

tanpa tahun, hlm. 266 45 Al Shabuni, Op. Cit., jilid 1, hlm. 471 46 Ibid. , juga dalam Abdullah ibn Hijazi ibn Ibrahim al Syafi'I, Hasyiyah al Syarqawi ala

tuhfah al Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al Lubab, jilid 2, Beirut, Lebanon: Daar al Fikr, tt., hlm. 286

47 Az Zuhaili, Tafsir al Munir fi al Aqidah wa al Syari’ah wa al Manhaj, Op. Cit., jilid 5, hlm. 59.

48 Mahmud Syaltut, Al Islam Aqidah wa Syari’ah, Beirut: Daar al Qalam, cet ke-3, 1966, hlm. 188


Terlepas dari perbedaan pandangan diatas, siapapun yang menjadi

juru damai harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Wahbah al

Zuhaili, syarat-syaratnya adalah : Laki-laki, Adil, dan Mengetahui cukup

informasi mengenai masalah keluarga yang didamaikan.49 Sedangkan

menurut Sayid Sabiq, syarat-syaratnya ialah : Berakal, Baligh, Adil,

Muslim.50

Para ulama’ juga berbeda pendapat dalam menetapkan waktu

pengutusan atau pengangkatan hakam disebabkan karena perbedaan

pemahaman pada kata khiftum (kamu khawatir) pada ayat tersebut.

Kata khiftum dalam makna aslinya yaitu jika kamu khawatir atau

takut. Jadi berdasarkan pemahaman ini, maka saat dianjurkan untuk

mengutus juru damai adalah ketika timbul kekhawatiran pada keluarga

suami istri yang akan terjadi syiqaq antara keduanya, bukan setelah betul-

betul terjadi syiqaq. Ulama' yang mengartikan seperti ini adalah

Muhammad ibn Ka’ab.51

Sedangkan Ibn Abbas, Al Alusi, dan Ali al Sayis mengartikan

kata khiftum sebagai kamu mengetahui (‘alimtum) sehingga atas dasar

pengertian ini, waktu untuk mengutus juru damai ialah ketika sudah jelas

telah terjadi perselisihan yang meruncing dan bahkan telah terjadi

berkepanjangan.52

49 Az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa ‘Adillatuhu, Op. Cit., Jilid 7, hlm. 528 50 Sayid Sabiq, Op. Cit, hlm. 305 51Al Thabari, Op. Cit., jilid 4, hlm. 62. Juga dalam Al Tharbisi, Juz 3, hlm. 70 52 Muhammad Ali al Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 2, tanpa penerbit, tanpa tahun, hlm. 101.

juga al Alusi, Op.cit.. juga Ibn Katsir al Dimasqy, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Juz 1, Beirut: Maktabah al Nur al Ilmiyah, 1991, hlm. 467 ; juga dalam Ibn Abbas, Tanwir al Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas, Beirut, Lebanon: Daar al Kutub al Ilmiyah, cet. ke-1, 1992, hlm. 91


Tugas dan wewenang juru damai dalam kasus syiqaq terdapat

perbedaan pendapat. Menurut madzhab Hanafi, qaul qadim Imam Syafii,

madzhab Hanbali, Hasan al Basri dan Qatadah, juru damai tidak

berwenang untuk menceraikan suami istri yang sedang didamaikannya.

Juru damai dari pihak suami tidak berwenang menjatuhkan talaq suami

terhadap istri dan juru damai dari pihak istri tidak boleh mengadakan

khulu’ tanpa persetujuan istri.53 Pendapat mereka ini sebagai konsekuensi

dari pandangan mereka bahwa juru damai tersebut hanya berstatus

sebagai wakil. Juru damai berwenang mengambil keputusan hanya

sepanjang diizinkan oleh suami istri yang mewakilkannya.

Menurut madzhab Hanafi, apabila kedua juru damai tersebut

menemukan kesimpulan bahwa sebaiknya kedua suami istri tersebut

harus diceraikan, maka kedua juru damai itu harus melaporkan hasilnya

kepada hakim dan hakimlah yang akan menceraikannya.54

Menurut al Sya’bi, Ibn Abbas, madzhab Maliki, qaul Jadid Imam

Syafii, juru damai berwenang untuk memutuskan ikatan perkawinan

antara suami istri yang sedang berselisih tersebut tanpa izin dari salah

satu pihak dari keduanya.55 Ibn Abbas mempertegas pendapatnya dengan

mengatakan bahwa juru damai berwenang untuk mengambil keputusan

menceraikan kedua suami istri yang berselisih dan melaksanakannya

53 Pendapat ini didasari pada pemahaman terhadap maksud diutusnya hakam itu adalah

untuk mendamaikan bukan untuk menceraikan. Abi al Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al Mawardi, Al Hawi al Kabir fi fiqh Madzhab al Imam al Syafi'i, jilid 9, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1994, hlm. 603. Juga dalam Muhammad ibn Idris al Syafi'i, Al Umm, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1993, hlm. 168. juga dalam Ibn Arabi, Op.Cit., jilid 1, hlm. 538

54 Pendapat ini didasarkan pada khithab (tujuan penyampaian) dari lafadh fab'atsu itu pada hakim. Lihat Al Mawardi, Ibid.

55 Al Shabuni,Op. Cit., hlm. 338; Juga Ibn Arabi, Op. Cit., hlm. 539


apabila kedua juru damai sepakat dengan hal itu. Namun jika juru damai

berselisih pendapat, maka pendapat-pendapat mereka itu tidak dapat

dilaksanakan sebelum ditemukan kesepakatan.56

Pendapat kedua ini diperkuat oleh tindakan Ali ibn Abi Thalib

yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al Thabari dari

Ubaidah ibn Amr al Salmani al Muradi. Diriwayatkan bahwa sepasang

suami istri diiringi oleh beberapa orang menghadap kepada Ali. Masing-

masing mengajukan juru damainya. Ali lalu bertanya kepada juru damai

tersebut: “Apakah anda berdua mengetahui apa yang harus anda lakukan?

kewajiban anda berdua adalah jika anda berdua berpendapat untuk

menyatukan kembali kedua suami istri ini, maka satukanlah, jika anda

berdua melihat bahwa menceraikan pasangan suami istri ini adalah lebih

baik, maka ceraikanlah.” Lantas istri berkata: “ Aku rela kepada Allah

baik dimenangkan maupun dikalahkan.” Lalu suamipun berkata: “Jika

bercerai aku tidak bersedia.” Lalu Ali berkata lagi “Engkau dusta, demi

Allah engkau tidak boleh berangkat dari tempat ini sebelum engkau ridha

dengan kitab Allah Azza wa Jalla baik menguntungkan atau merugikan

engkau.57

Status perceraian akibat syiqaq, menurut madzhab Hanafi, qaul

qadim Imam Syafii, dan madzhab Hanbali tidak membolehkan terjadinya

perceraian jika hanya berdasarkan pertimbangan syiqaq. Sebab dipandang

masih ada kemungkinan jalan lain untuk mengatasi madharat yang

56 Al Syaukani, Op. Cit., jilid 1, hlm. 463. Juga Ibn Sa’ud Muhammad Ibn Muhammad al

‘Ammary, Tafsir Ibn Sa’ud au Irsyad al ‘Aql al Salim ila Maraya al Qur’an al Karim, jilid 2, Beirut, Lebanon: Daar al Haya’ al Turats al Arabi, tanpa tahun, hlm. 175

57 Al Thabari, Op. Cit., Jilid 4, hlm. 71


mungkin akan ditimbulkan oleh syiqaq tersebut selain melalui talaq atau

perceraian.58 Salah satu cara menyelesaikan perselisihan keluarga

tersebut bisa dengan diajukan ke pengadilan. Hakim atau aparat yang

berwenang akan menasehati suami dan istri agar tidak mengulangi sikap

dan tindakan yang dapat menimbulkan perselisihan baru. Sementara

madzhab Maliki membolehkan terjadinya perceraian berdasarkan

pertimbangan syiqaq.59 Pendapat ini didasari oleh pertimbangan

kemadharatan akibat perselisihan tersebut akan berkepanjangan.60 Untuk

itu baik suami maupun istri boleh mengajukan perkaranya ke pengadilan.

Jika terbukti apa yang diadukan benar, maka hakim akan menjatuhkan

talaq. Namun sebaliknya, jika tidak terbukti kebenarannya, maka hakim

tidak akan menjatuhkan talak. Apabila pengaduan terjadi berulang-ulang

oleh pasangan yang sama (karena setiap diperiksa tidak dapat dibuktikan

58 Perceraian hanya merupakan alternative terakhir dalam menyelesaikan perkara

perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga sehingga perceraian ini dalam bahasa ushul fiqih dimaksudkan sebagai sadd al dzari'ah (yakni mencegah bahaya yang berkepanjangan). Dan Mahmud Syaltut mengungkapkannya dengan bahasa dharurah ikhtiyar yakni pilihan darurat ketika ketika seluruh upaya damai telah tertutup. Mahmud Syaltut, Op. Cit., hlm. 184

59 Ibn Rusyd al Qurthubi, Bidayah al mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, juz 2, Beirut: Daar Ihya' al Kutub al Arabiyah, tanpa tahun, hlm. 74

60 Pendapat itu didasarkan pada kaedah fiqih al dharar yuzal (menghilangkan keadharatan) dan juga li anna al dharar la yuzalu illa bihi (karena kemadharatan tidak akan hilang kecuali dengan itu). Kaedah ini berasal dari ungkapan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Ibn Majah, ad Daraquthni, dan imam Malik, yang berbunyi la dharara wala dhiraar. Ali Ahmad an Nadzawi, al Qawaid al Fiqhiyah mafhumuha nasy'atuha tathawwuruha dirasah muallifatuha adillatiha muhimmatuha wa tathbiqatuha, Damaskus: Daar al Qalam, cet ke-2, 1991, hlm. 252. Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al Qazwaini Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Ta'liq Muhammad Fu'ad Abd al Baqi, juz 2, Beirut: Daar al fikr, tanpa tahun, hlm. 784. lihat juga dalam Muhammad az Zurqani, Syarh al Zurqani 'ala Muwattha' al Imam Malik, juz 4, Beirut: Daar al Fikr, 1936, hlm. 32. Ibn Atsir mengartikan lafadh al dharar sebagai la yadhurru al rajulu akhahu fayanqushuhu syaia (seseorang yang tidak menyulitkan saudaranya dengan mengurangi haknya), sedangkan al dhiraar sebagai la yujazihi ala idhrarihi bi idkhali dharari 'alaihi (tidak menambah kesulitan orang lain dengan menambah kemadharatan yang melampaui batas sehingga dirinya sendiri terkena kesulitan tersebut). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemadharatan adalah sesuatu yang bisa menyulitkankan orang lain yang tidak sesuai dengan ketentuan syara'. Lihat dalam Imam Majd al Din Abi al Sa'adat al Mubarak ibn Muhammad al Jazri Ibn Atsir, al Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar, jilid 3, Beirut: al Maktabah al Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 81


kebenarannya), maka hakim diharuskan untuk mengutus dua orang juru

damai, satu dari keluarga suami dan satu lagi dari keluarga istri.61

Pasangan suami istri yang mengalami syiqaq tidak selamanya

dapat diselesaikan tanpa perceraian. Menurut Wahbah az Zuhaili,62

perceraian yang diputuskan oleh hakim sebagai akibat syiqaq berstatus

sebagai talaq ba’in sughra, yakni suami bisa kembali kepada perempuan

(bekas istrinya) itu dengan akad nikah yang baru. Dengan demikian, tidak

ada kesempatan rujuk bagi suami istri yang dipisahkan karena syiqaq.

Hal ini dapat dipahami, karena seandainya talaq itu adalah talaq raj’I,

maka suami dapat saja kembali kepada istrinya dengan cara rujuk selama

masa iddah tersebut belum habis.

Walaupun telah terjadi perceraian, upaya untuk ishlah menurut al

Qur'an masih tetap terbuka yakni dengan cara rujuk kepada bekas istrinya

selama masa iddah (menunggu). Dengan syarat bahwa talaq tersebut

masih dalam bentuk talak raj'I (talak yang masih bisa untuk dirujuk). Hal

ini diungkapkan dalam surat al Baqarah ayat 228, yang berbunyi :

��!6��278� �,��9$��!: ('��8�!��;�<��-��=>�>�!6&)�?@�!0@� '�A �4$�*��

��!��2��C�78��# ��B�� !�C�@�928�!6 ��+@��D��,�@�!��E'�!5��

C�!6$"�K�J�$��L ��+*�@�!6$"�GH��I��(2�3'3"�,��=J7�

Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan

61 Abu Umar Yusuf ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abd al Bar al Tamiri al Qurthubi, Al

Kafi fi al Fiqh Ahl Madinah al Maliki, Beirut: daar al Kutub al Ilmiyah, cet ke-2, 1992, hlm. 278 62 James Norman Darlimple Anderson, Islamic Law In The World, Terj. Mahnun Husain,

"Hukum Islam di Dunia Medern", Surabaya: Amar Press, cet. Ke-1, 1991, hlm. 59. lihat huga dalam Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu,Op. Cit., hlm. 529


suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

c. Poligami

Al Qur'an juga memerintahkan untuk mengadakan ishlah dalam

hal poligami. Pada dasarnya poligami menurut al Quran adalah

dibolehkan sampai pada batas maksimal empat orang istri seperti

diungkapkan oleh ayat 3 surat al Nisa' :

�� &4T�<�� )��q�@7��>�>��YI��-�&1��!��(��} �d��j(��: ��

��+T�<��~C��# �B��(��W($��2��+T�<�� )��

Artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga dan empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. Atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Kebolehan poligami tersebut dengan syarat harus dapat

memenuhi keadilan diantara para istri-istrinya. Sehingga apabila

dikhwatirkan tidak adanya keadilan, maka menurut Muhammad Abduh

sebagaimana dikutip oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha, akan

merubah hukumnya yaitu harus dilarangnya poligami itu dengan

mengingat kemaslahatan yang tidak dapat ditimbulkan dari

diperbolehkannya poligami tersebut yaitu tidak adanya keadilan.63

63 Pendapat ini didasarkan pada kaedah fiqih yang menyatakan bahwa menolak kerusakan itu

harus lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan (dar' al mafasid muqaddam 'ala jalb al mashalih). Karena menurutnya, diperbolehkannya poligami tersebut karena adanya faktor darurat. Muhammad Rashid Ridha, Op. Cit., jilid 4, hlm. 350


Keadilan yang dimaksud dalam al Qur'an adalah dalam hal membagi

cinta.64 Karena begitu sulitnya hal itu terjadi, maka al Qur'anpun

memberikan solusi yaitu dengan cara mengadakan ishlah (perbaikan).

Sebagaimana ungkapan ayat 129 surat al Nisa' :

��=4$+*�5��7H ��*��5��$h�� 2��-�&1��R@��+T��+� &T�!��

�:27��7�)w��5�,��4 T��j$0T��

Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara

istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Ishlah yang dimaksud adalah dengan cara melepaskan

(menceraikan) istri yang lain. Sebagaimana diungkapkan dalam surat al

Nisa' ayat 130.

N + ��!��5�,��!V'��) '��

Artinya: "Jika keduanya bercerai, maka Allah memberi kecukupan

kepada masing-masing dari karunia-Nya."

Dan hanya dengan memilih salah satu diantaranya. Seperti

ungkapan surat al Nisa' ayat 3 tersebut. Maksud dari diperbolehkannya

menceraikan istri yang lebih dari satu ini adalah untuk menghindarkan

diri dari dosa sebab tidak bisa memenuhi hak diantara para istri.65

64 Pendapat ini berdasarkan pada riwayat dari ibn Abi Syaibah dari al Hasan. Lihat dalam Al

Syaukani, Op. Cit., hlm. 522 65 Al Sayis, Op. Cit., hlm. 151


3. Dalam masalah wasiat

Al Qur’an juga memerintahkan ishlah dalam masalah wasiat. Yang

pada dasarnya dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan

wasiat baik bagi pewasiat (al Mushi) maupun penerima wasiat (al Musha

'alaih) maupun bagi ahli waris dari pewasiat. Karena berdasarkan hadits yang

diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Nabi SAW. Berkata bahwa menyia-nyiakan

wasiat merupakan dosa besar (al idhraar fi al washiyah min al kabair) 66

Pada dasarnya mengubah wasiat adalah haram. Berdasarkan pada

firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 180-181, yang berbunyi:

�($"�` 5��A �*��5�28��r2��B�� T��!'��$��=R@��L ��+*�@

�R4 *��$"��42��N+��+@�N��@�!:��$"�i��,��N��O'�!'H��$"�Ny��n��

Artinya: "Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Namun kalau tidak sesuai dengan ketentuan, hukumnya bisa berubah.

Dalam surat al Baqarah (2) ayat 182, Allah memerintahkan agar umat Islam

jika melihat pelaksanaan wasiat terjatuh ke dalam dosa untuk segera

melakukan ishlah.

,��N$"�x��61@�/$� ��y��)1J�z ��!��L ��!:� 2��7�)w��

Artinya: "(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia

66 Al Qurthubi, Op. Cit., jilid 2, Kairo: Daar al Qalam cet ke-3, 1966, hlm. 269. juga Ibn

Arabi, Op.Cit., jilid 1, hlm. 83, Juga al Jasshash, Op. Cit., jilid 1, hlm. 241


mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Ishlah dalam masalah wasiat ini dimaksudkan agar dalam proses

pewasiatan itu tidak terjerumus dan mengakibatkan dosa sebab adanya

penyimpangan bagi para pihak yang terlibat dalam pewasiatan itu. Sehingga

membawa suatu kemadharatan bagi para pihak. Karena hal ini bisa merubah

hukum wasiat menjadi makruh atau bahkan haram.67

67 Az Zuhaili, Tafsir al Munir fi alAqidah wa al Syari'ah wa al Manhaj, Op.Cit., jilid 1, hlm.

126

bab ii 2100179 - perpustakaan...

Documents