bab i pendahuluan -...

30
1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Sejak tahun 1970-an, isu tenaga kerja di kota telah menarik perhatian minat banyak ahli perkotaan. Perhatian terutama ditujukan untuk melihat keterkaitan antara masalah ketenagakerjaan di kota dengan migrasi desa-kota (Manning dan Effendi 1991: 21; Rachbini dan Hamid 1994:12). Terkait dengan hal ini, Todaro dan Stilkind (1991:34), dalam tulisannya tentang Dilema Urbanisasi, menyatakan bahwa migrasi desa-kota lebih menekankan keparahan kondisi kehidupan pedesaan daripada perkembangan ekonomi perkotaan. Mengingat sebagian besar penduduk memilih untuk tetap menjalani kehidupan buruk di kota daripada kembali atau tinggal di desa. Karena itu penduduk miskin semakin menumpuk di wilayah perkotaan sebagai pusat aktivitas ekonomi dan lainnya. Permasalahan utama dalam hubungan dengan masalah ketenagakerjaan di negara-negara sedang berkembang adalah tingginya tingkat pengangguran dan kurangnya sumber daya manusia yang diakibatkan oleh minimnya pendidikan masyarakat. Kedua hal ini merupakan fenomena umum yang silih berganti mewarnai wajah kehidupan, masyarakat perkotaan yang membutuhkan sentuhan tangan serta perhatian serius pemerintah maupun lembaga non- pemerintah, dalam menata kehidupan warga masyarakat di kota ataupun di wilayah-wilayah pedesaan ke arah yang lebih baik. Tekanan terhadap kondisi kehidupan pedesaan terkait dengan berbagai persoalan struktural, antara lain: (1) ketimpangan pola kepemilikan lahan dan, (2) strategi pembangunan yang urban bias, mementingkan industrialisasi, dan mengabaikan sektor pertanian (Rachbini dan Hamid 1994: 17; Todaro dan Stilkind 1991:38). Berbagai

Upload: lephuc

Post on 03-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

1

Bab I

Pendahuluan

Latar Belakang

Sejak tahun 1970-an, isu tenaga kerja di kota telah menarik

perhatian minat banyak ahli perkotaan. Perhatian terutama ditujukan

untuk melihat keterkaitan antara masalah ketenagakerjaan di kota

dengan migrasi desa-kota (Manning dan Effendi 1991: 21; Rachbini

dan Hamid 1994:12). Terkait dengan hal ini, Todaro dan Stilkind

(1991:34), dalam tulisannya tentang Dilema Urbanisasi, menyatakan

bahwa migrasi desa-kota lebih menekankan keparahan kondisi

kehidupan pedesaan daripada perkembangan ekonomi perkotaan.

Mengingat sebagian besar penduduk memilih untuk tetap menjalani

kehidupan buruk di kota daripada kembali atau tinggal di desa. Karena

itu penduduk miskin semakin menumpuk di wilayah perkotaan sebagai

pusat aktivitas ekonomi dan lainnya.

Permasalahan utama dalam hubungan dengan masalah

ketenagakerjaan di negara-negara sedang berkembang adalah tingginya

tingkat pengangguran dan kurangnya sumber daya manusia yang

diakibatkan oleh minimnya pendidikan masyarakat. Kedua hal ini

merupakan fenomena umum yang silih berganti mewarnai wajah

kehidupan, masyarakat perkotaan yang membutuhkan sentuhan

tangan serta perhatian serius pemerintah maupun lembaga non-

pemerintah, dalam menata kehidupan warga masyarakat di kota

ataupun di wilayah-wilayah pedesaan ke arah yang lebih baik.

Tekanan terhadap kondisi kehidupan pedesaan terkait dengan

berbagai persoalan struktural, antara lain: (1) ketimpangan pola

kepemilikan lahan dan, (2) strategi pembangunan yang urban bias,

mementingkan industrialisasi, dan mengabaikan sektor pertanian

(Rachbini dan Hamid 1994: 17; Todaro dan Stilkind 1991:38). Berbagai

Page 2: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

2

persoalan mendasar tersebut menjadi salah satu pendorong terjadinya

migrasi desa-kota yang mengakibatkan bertambahnya jumlah

penduduk di kota dengan berbagai persoalan.

Kota merupakan tempat pemukiman yang mempunyai wilayah

besar, memiliki penduduk yang padat, dan mempunyai latar belakang

penduduk dengan bermacam-macam individu. Dengan demikian kota

merupakan pusat kegiatan masyarakat maupun individu untuk

melaksanakan aktivitasnya dengan berbagai kepentingan yang berbeda

dari setiap tujuan yang mau dicapai.

Dari berbagai dinamikanya maka kota mempunyai daya tarik

tersendiri, sehingga menjadi tempat tujuan masyarakat desa untuk

datang dan menikmati kehidupan kota. Kota sering dianggap sebagai

tempat yang sangat menjanjikan untuk mencari mata pekerjaan. Dalam

beberapa hal, permasalahan yang ada menyebabkan perubahan bagi

kebiasaan orang, biasanya kebanyakan warga perkotaan berubah dari

cara hidup yang komunal menjadi individualis. Jika ada kepentingan

masyarakat maka itupun hanya sebatas kepentingan yang akan

menghasilkan sebuah keuntungan material ekonomi. Bagi setiap

individu, inilah yang menjadikan ikatan kelompok kekerabatan dan

hubungan antara warga satu dengan lainnya menjadi lemah. Oleh

karena itu masyarakat kota harus mampu menciptakan dan

mengembangkan usaha-usaha baru untuk memenuhi kebutuhan

material ekonomi setiap keluarga.

Salah satu usaha pada sektor ekonomi yang mudah dijangkau

oleh masyarakat perkotaan yang tidak memerlukan modal besar serta

keahlian khusus adalah dengan menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL).

PKL menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian dari masyarakat

perkotaan di negara-negara sedang berkembang, bahkan dapat

dikatakan merupakan salah satu ciri dan karakteristik dari negara-

negara yang sedang berkembang. PKL dibedakan dari pedagang lain

berdasar jenis peruntukan dan status kepemilikan lokasi usaha mereka,

bukan berdasar kekuatan modal, cara kerja ataupun status legalitas

mereka. PKL akan selalu memilih tempat strategis yang bisa ditempati

untuk berjualan. Di setiap tempat kosong yang menjadi arus lalu lintas

Page 3: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

3

pejalan kaki maupun pengendara akan menjadi tempat utama

menggelar dagangannya. Barang yang diperdagangkanpun beragam

tergantung dari sifat dan karakter tempat dan aktivitas masyarakat

yang melakukan aktivitas di sekitar jalan1.

Di kota-kota besar, PKL sering dipandang oleh pemerintah

maupun pihak swasta sebagai sektor liar, dan sektor yang mengganggu,

tergolong dalam masyarakat jelata atau semata-mata dianggap sebagai

pekerjaan yang tidak sesuai standar legalitas formal. Mereka sebagai

korban dari langkanya kesempatan kerja yang produktif di kota atau

sebagai suatu pilihan terakhir kesempatan kerja bagi banyak orang agar

terhindar dari predikat pengangguran. Namun demikian sektor

modern berupa manufacturing tidak mampu menyerap angkatan kerja

baik penduduk kota yang semula ada dan ditambah penduduk

pendatang. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup memaksa angkatan

kerja untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal yaitu

PKL.

Perkembangan sektor informal terutama PKL menjadi semakin

menjamur dikarenakan strategi pembangunan yang dilakukan secara

keseluruhan menekankan pada kebijaksanaan pembangunan yang

dipusatkan di perkotaan dan mengabaikan pedesaan. Kegiatan sektor

pertanian di pedesaan akhirnya tidak dapat lagi menampung angkatan

kerja yang terus berkembang, sehingga angkatan kerja yang ada

melakukan migrasi ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan

dari sektor industri di perkotaan. Penambahan angkatan kerja baik

yang berasal dari kota itu sendiri dan ditambah dengan tenaga kerja

yang berasal dari perdesaan (biasanya mereka merupakan tenaga kerja

yang tidak memiliki keahlian khusus) tidak dapat ditampung oleh

sektor industri yang ada. Karena itu PKL merupakan salah satu

alternatif mendapatkan pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki

skill. Mereka bisa berjualan barang kebutuhan sehari-hari, makanan,

atau jasa dengan modal yang relatif kecil, modal sendiri atau modal

orang lain.

1 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/swara-bhumi/article/view/855. Diakses 8

Agustus 2015

Page 4: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

4

Sebagai realitas perekonomian sektor informal jika dilihat

secara sosiologis, PKL merupakan entitas sosial yang di dalamnya

terdapat pengelompokkan menurut karakteristik tertentu seperti suku,

etnik, bahasa, adat istiadat, asal daerah, jenis kegiatan, dan juga agama

(Soerjono, 2015). Entitas ini memiliki aktivitas yang sama yakni

berdagang pada tempat-tempat yang tidak semestinya dalam tata letak

kota untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Barang dan jenis

dagangan yang berbeda biasanya terkait dengan perbedaan latar

belakang dan karakteristik pelaku PKL2.

PKL merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup

menjanjikan dan diminati oleh masyarakat migran di kota-kota besar.

Mengawali kerja sebagai PKL membutuhkan modal yang tidak terlalu

besar tetapi sangat dibutuhkan kekuatan mental yang tinggi karena

dinamikanya selalu saja penuh tantangan. Selain harus siap bertaruh

tidak laku selama beberapa bulan, juga harus siap menghadapi berbagai

tekanan dari pihak formal seperti birokrasi juga pihak lain seperti

preman. Tekanan dari birokrasi bisa seperti pembayaran retribusi

secara rutin dan juga penertiban, penggusuran atau larangan keras.

Fenomena penertiban PKL di kota-kota besar selalu menjadi peristiwa

harian yang tiada henti. Hampir setiap saat PKL harus bersiap perihal

kejadian-kejadian penertiban tempat lapak berdagang tersebut. Sebagai

profesi sektor informal, maka PKL memang selalu menerima resiko

berat ini.

Terminologi penertiban selalu mengandung pesan penggusuran

PKL dari tempat mereka berjualan. Alasan utamanya adalah untuk

ketertiban sosial dan meminimalisasi ketidaknyamanan aktivitas jalan

raya dari gangguan perdagangan. Sementara gangguan yang dialami

PKL dari luar birokrasi adalah pemerasan preman. Para preman

merupakan sindikasi yang seringkali melakukan aksi pemerasan kepada

hampir semua PKL dengan alasan jasa keamanan. PKL telah

menempati tempat-tempat tertentu yang dianggap sebagai daerah

kekuasaan para preman tersebut. Pada kondisi ini maka PKL berada

2 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/tag/1695/pelaku-sektor-informal. Diakses 8

Agustus 2015

Page 5: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

5

dalam situasi dilematis yang membuat mereka harus menerima kondisi

tersebut.

Pertumbuhan PKL sangat pesat setelah masa krisis ekonomi

menjadi tidak terkendali. Hal itu dapat menjadi penghalang bagi visi

pemerintah kota untuk mewujudkan ketertiban umum bahkan muncul

fenomena sosial lainnya yang tidak terencana. Berbagai upaya telah

dilakukan, namun tetap saja tidak membuahkan hasil maksimal,

kecuali dilakukan tindakan-tindakan represif dan dari sinilah konflik

muncul dari sudut pandang yang berbeda antara PKL dan pemerintah.

Sampai saat ini konflik PKL di Indonesia terkait penataan

ruang kota maupun kebijakan-kebijakan pemerintah daerah untuk

menertibkan PKL, masih tetap menjadi isu nasional yang belum

terselesaikan secara baik. Munculnya konflik antar PKL dengan

berbagai stakeholder yang berada di sekitar lokasi maupun dengan

pemerintah bukanlah hal baru bagi Indonesia. Di media elektronik

maupun media sosial lainnya sering kita lihat dan dengar mengenai

konflik yang terjadi antar sesama PKL, maupun dengan stakeholder.

Jika kita menyimak secara komprehensip terkait keberadaan PKL dan

konflik yang terjadi, maka pada umumnya konflik yang terjadi adalah

antara PKL dengan pemerintah. Konflik ini selalu saja diwarnai dengan

penggusuran dan kekerasan terhadap PKL dengan alasan penegakan

peraturan daerah ataupun keputusan kepala daerah sebagai bagian dari

kebijakan pemerintah untuk membenahi wajah kota dari

kesemrawutan (Handoyo 2012: 9).

Jika dicermati secara bijak maka persoalan konflik PKL dan

pemerintah di kota-kota besar Indonesia adalah benturan antara

kepentingan pemerintah disatu sisi dan kebutuhan warga kota dalam

menyambung hidup di sisi lain. Bagi masyarakat kota menjadi PKL

adalah sebuah solusi untuk keluar dari kemelut yang namanya

pengangguran dan kemiskinan. Ketika warga berusaha keluar dari

berbagai persoalan pelik yang melilit hidupnya, maka secara tidak

langsung mereka juga telah membantu pemerintah untuk

meningkatkan kehidupan ekonomi warganya, juga mengurangi jumlah

pengangguran. Karena itu pemerintah harus bijak dalam menyikapi

Page 6: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

6

masalah PKL tanpa harus melakukan kekerasan ataupun berkonflik

dengan alasan penataan wajah kota terhadap PKL yang seharusnya

dilindungi serta didampingi.

Kebijakan pemerintah daerah untuk melakukan penataan fisik

kota dengan memperindah tampilan wajah kota agar lebih menarik,

dengan ruang publik yang aman dan nyaman sudah sepatutnya

dilakukan oleh pemerintah. Tetapi penggusuran dan tindak kekerasan

yang dilakukan terhadap PKL sebagai implementasi peraturan daerah

adalah hal yang tidak dapat dibenarkan dari segi hukum, kemanusiaan

dan keadilan (Handoyo, 2012: 10). Permasalahan Konflik PKL menjadi

menarik, karena menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah. Di

satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, di sisi lain mereka

menjalankan peran sebagai bayang-bayang ekonomi. Kontribusi PKL

dari sisi ekonomi sangat besar bagi semua kalangan masyarakat, karena

itu keberadaannyapun sangat membantu masyarakat ketika kondisi

ekonomi kurang stabil.

Realita tersebut menimbulkan masalah tersendiri bagi

pemerintah dengan dampak yang kompleks karena pemerintah

diperhadapkan pada situasi dilematis. Pertentangan antara kebutuhan

hidup warga masyarakat dan kepentingan pemerintah akan

berbenturan kuat dan menimbulkan friksi di antara keduanya. Para

PKL yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan

mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan

begitu banyak kendala yang harus dihadapi di antaranya kurangnya

modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah

dengan berbagai aturan seperti adanya perda yang melarang

keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya

semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat

atau ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.

Dari penjelasan di atas jika dihubungkan dengan fenomena

eksistensi PKL di kota Salatiga yang tidak lupat dari berbagai

permasalaannya, maka ada hal menarik yang merupakan keunikan dari

PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

temui dalam pengalaman di kota-kota besar Indonesia yaitu PKL selalu

Page 7: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

7

menimbulkan masalah di lingkungan tempat mereka beroperasi

dengan berbagai masalah ikutan tidak dapat dihindari. Dampak

terbesar yang ditimbulkan adalah konflik terbuka dengan eskalasi besar

dan multidimensi, karena melibatkan banyak pihak selain PKL itu

sendiri, pemerintah daerah, warga masyarakat pengguna fasilitas

umum, warga sekitar tempat berjualan, pedagang toko, tukang parkir,

sopir, dan stakeholder lainnya.

Pada tahun 2002 Kota Salatiga sebagai kota kecil dengan

jumlah PKL yang cukup banyak karena memiliki 2.750 pedagang

(FMPS 2003) diwarnai dengan berbagai konflik baik antara PKL

dengan PKL maupun dengan pihak pemerintah, masyarakat sekitar,

pedagang toko, pedagang pasar, tukang parkir, tukang becak, sopir

angkutan kota dan kusir andong. Konflik dipicu oleh berbagai sebab,

baik masalah kebersihan, kenyamanan, lokasi jualan, perbedaan harga,

monopoli, dan kecemburuan sosial antara PKL setempat dan PKL

pendatang. Berdasarkan informasi dari FMPS, terjadi konflik dengan

pemerintah hampir setiap minggu, karena dilakukan penggusuran,

perampasan/penyitaan barang dagangan dan gerobak oleh Satpol PP

Kota Salatiga. Hal tersebut merupakan kondisi umum yang biasa terjadi

di kota-kota besar di Indonesia, sehingga konflik yang terjadi akibat

eksistensi PKL pada ruang publik adalah permasalahan umum yang

selalu mendapat perhatian dari pemerintah.

Fenomena eksistensi PKL di kota Salatiga memiliki warna

tersendiri karena sangat kompleks jika dilihat dari keragaman suku dan

jenis barang dagangan yang mereka jual. Dari hasil identifikasi di

lapangan yang penulis lakukan, ditemukan bahwa PKL di Kota Salatiga

terbagi atas empat kelompok besar yaitu Jawa, Madura, Minang dan

Sulawesi. Untuk kelompok Jawa sendiri sebagai kelompok suku

terbesar mereka berasal berbagai daerah di luar Kota Salatiga yaitu

Boyolali, Kopeng, Semarang, Solo, Kudus, Malang, Surabaya, Bandung,

dan daerah lainnya. Selain keragaaman suku serta daerah asal, PKL juga

dikelompokkan dalam beberapa kelompok berdasarkan hasil jualan

mereka yaitu: ikan bandeng, buah, gula, pakaian, aneka makanan,

servis jam tangan, sol sepatu, sandal, vcd, bumbu, asesoris (sabuk, topi,

Page 8: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

8

jam tangan, kaca mata, kalung dan gelang), mie ayam, karak, dan

barang bekas.

Dari identifikasi berdasarkan suku serta jenis barang dagangan

maka sangat besar kemungkinan terjadinya konflik, sebab Salatiga

adalah kota kecil tetapi memiliki jumah PKL yang sangat banyak jika

dilihat dari luas kota serta kondisi ruang publiknya. Memang harus

jujur diakui bahwa kompleksitas PKL kota Salatiga apabila

dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta,

Bandung, Semarang, dan kota besar lainnya di Indonesia, maka Kota

Salatiga tidak terlalu besar gaungnya dari segi jumlah penduduk dan

PKL. Tetapi potensi konflik akibat keragaman kepentingan serta latar

belakang budaya yang berbeda sesuai penjelasan di atas merupakan

sebuah fenomena menarik yang patut diteliti. Penulis melihat kondisi

PKL di Kota Salatiga sangatlah berbeda dengan kota lainnya di

Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari situasi kota yang kondusif

dalam waktu kurang lebih 14 tahun. Selain itu masalah penggusuran

PKL oleh pihak pemerintah daerah tidak pernah terdengar baik di

media masa, media elektronik maupun dalam pengalaman hidup ketika

penulis berada di Kota Salatiga sejak tahun 2005. Hal tersebut

mengundang rasa ingin tahu penulis atas situasi harmoni yang

terbangun di Kota Salatiga baik antar sesama PKL maupun dengan

stakeholder lainnya.

Sebelum masuk lebih jauh membahas mengenai pokok

penelitian ini beserta tujuannya, dan untuk menguatkan bahwa pokok

penelitian ini layak diteliti maka sebelumnya perlu dikemukakan

terlebih dahulu topik-topik penelitian terdahulu yang relevan dengan

masalah yang akan diteliti.

Penelitian Terdahulu tentang PKL

Penelitian tentang sektor informal di Indonesia dilakukan oleh

Hans Dieter Evers, dalam penelitiannya ia menganalogikan sektor ini

sebagai bentuk ekonomi bayangan dengan negara (Rachbini dan

Hamid, 1994: 3). Sedangkan penelitian terhadap PKL terutama di kota-

Page 9: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

9

kota besar di Indonesia yang merupakan bagian dari sektor informal

dilakukan oleh Didik J. Rachbini dan Abdul Hamid, pada tahun 1990,

yang disponsori oleh United States Agency for International Development (USAID). Dari penelitian yang dilakukan khususnya di

dua kota besar yakni Jakarta dan Surabaya dikenali adanya

kecenderungan munculnya perdagangan sektor informal yang berderet

sepanjang jalan di setiap berdirinya gedung bertingkat (Rachbini dan

Hamid, 1994: 90-91).

Widodo (2000), melakukan penelitian pada PKL di Kota

Semarang, ia memfokuskan penelitiannya pada faktor-faktor yang

mempengaruhi pemilihan lokasi berdagang. Faktor-faktor dimaksud

adalah modal, umur, pendidikan, jenis dagangan, sarana transportasi

yang dipakai, dan faktor jarak dengan lokasi keramaian. Pengambilan

sampelnya dilakukan pada suatu populasi yang terdiri atas sebelas

lokasi tempat PKL terkonsentrasi, ia menggunakan kuesioner sebagai

alat pengumpul data serta menggunakan metode explanatory yang

bertujuan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel

melalui pengujian hipotesa. Analisis yang digunakan adalah analisis

deskriptif dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara

menyeluruh tentang karakteristik sosial dan ekonomi para PKL, serta

analisis korelatif yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan antara variabel. Dari penelitiannya itu hasilnya

menunjukkan 56.3% PKL merupakan pendatang (migran) ke Kota

Semarang. Lebih dari 50% responden adalah mereka yang berada pada

usia produktif. Sebanyak 62.3% respondenya adalah yang tidak

menamatkan SLTP sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka (PKL)

adalah orang-orang yang berasal dari latar belakang pendidikan

rendah.

Eka Evita, Bambang Supriyanto, dan Imam Hanafi (2013),

melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan penataan PKL di

Kota Batu. Tujuan penelitian mereka yaitu untuk mendeskripsikan dan

menganalisis kebijakan PKL, serta kendala yang dihadapi dalam

implementasi kebijakan penataan PKL pada Batu Tourism Center (BTC) di Kota Batu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

Page 10: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

10

dengan pendekatan kualitaftif, teknik pengumpulan data yang

digunakan yaitu dengan metode observasi, wawancara, dan

dokumentasi. Dari hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa

implementasi kebijakan penataan PKL pada Batu Tourism Center

adalah implementasi kebijakan yang tidak berhasil. Hal tersebut

disebabkan oleh beberapa kendala dan permasalahan yang

menyebabkan sebagian besar pedagang kaki lima yang telah direlokasi

dari alun-alun kota ke Batu Tourism Center sebagai pusat kuliner,

aksesoris dan wisata belanja pakaian dengan tujuan supaya alun-alun

kota menjadi tertib, rapih, dan bersih, memilih kembali berjualan di

sepanjang jalan dan meninggalkan Batu Tourism Center. Persoalan

yang menyebabkan PKL yang direlokasi ke BTC dengan jumlah 300

orang terdiri dari pedagang makanan, pakaian dan aksesoris kembali

berjualan ke jalan adalah pemerintah tidak tegas dalam mengawal

implementasi kebijakan sehingga lokasi yang ditinggalkan ditempati

oleh pedagang baru. Hal lain yaitu tidak adanya dukungan dari

pemerintah untuk melakukan promosi BTC dan hanya membiarkan

pihak swasta jalan sendiri sehingga pengunjungnya sangat minim.

Anton Sujarwo (2012), meneliti tentang kebijakan publik

dalam pelaksanaan penataan pola PKL di Kota Malang, penelitian ini

menggunakan metode deskriptif melalui studi lapangan dan studi

pustaka. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu: PKL, organisasi yang mewadahi PKL, pedagang di pasar besar,

dan pedagang di sekitar stasiun kota. Dari hasil penelitiannya ia

menyimpulkan bahwa PKL merupakan salah satu penopang

perekonomian dalam kehidupan bersosialisasi dan bermasyarakat,

karena itu perlu perhatian dan penanganan serius dari pihak

pemerintah. Sebagai sektor informal, PKL juga dapat meningkatkan

pendapatan asli daerah (PAD) jika ditangani secara baik dan serius oleh

pemerintah daerah.

Waluyo (2008), meneliti tentang kebijakan daerah dalam

penataan PKL guna mewujudkan pengelolaan PKL yang partisipatif

dan berkeadilan di Kota Surakarta Jawa Tengah. Metode penelitian

yang dipakai menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis, jenis data

Page 11: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

11

primer yang dipakai bersumber dari para pejabat dan staf kantor

pengelolaan PKL kota Surakarta, serta data sekunder dari

perpustakaan. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, sedangkan teknik pengumpulan datanya melalui wawancara

dan studi dokumen, setelah data terkumpul selanjutnya dianalisis

secara kualitatif. Dari penelitiannya ia memperoleh hasil bahwa

kebijakan yang dilakukan dengan penataan berdasarkan kawasan atau

lokasi (zonasi) dan waktu berdagang oleh pemerintah kota maka ada

dua hal yang ditemukan yaitu: pertama dengan memberikan ruang dan

waktu yang cukup bagi pelaku PKL (termasuk komunitas atau

paguyuban PKL) masyarakat/LSM, dan stakeholder lainnya. Maka

kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan PKL tersebut dapat

memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Kedua meskipun

kebijakan pemerintah Kota Surakarta dikatakan sukses namun ternyata

dalam beberapa hal terkait dengan penataan PKL, pemerintah kota juga

mengalami beberapa permasalahan antara lain: aturan hukum yang

tidak sesuai kondisi saat ini, belum memadai SDM yang ada di kantor

PKL, belum terorganisasinya PKL secara keseluruhan, dan adanya

pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari keberadaan

PKL.

Penelitian lainnya terkait kebijakan pemerintah terhadap PKL

dilakukan oleh Parid (2003), ia melakukan penelitian mengenai respon

PKL terhadap implementasi kebijakan penertiban di kota Bandung

(Studi kasus di jalan Merdeka). Metode penelitian yang digunakan

adalah metode deskriptif, dengan tujuan agar dapat menganalisa dan

menggambarkan fakta-fakta di lapangan mengenai implementasi

kebijakan terhadap pedagang kaki lima dan respon terhadap kebijakan

tersebut. Pengambilan sampel wawancara dilakukan pada PKL dan

juga dari pihak pemerintah kota Bandung. Dari hasil penelitiannya

karakteristik PKL di jalan Merdeka menunjukkan ciri utamanya yaitu;

berusia produktif, mayoritas berasal dari luar daerah (urban),

berpendidikan rendah, dan sarana fisik yang digunakan berupa

gelaran/tikar dan meja kecil.

Page 12: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

12

Zees dan Sugiantoro (2013), mereka meneliti tentang

sensitifitas PKL terhadap lokasi pada skala mikro Kota Manado

Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan menggunakan analisis

karakteristik PKL dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang

memengaruhi pemilihan lokasi. Berdasarkan karakteristik PKL di

Manado, mereka meneliti 3 aspek yaitu: pertama mengidentifikasi

karakteristik sosial dan ekonomi PKL di Kota Manado yang terdiri dari

alamat pedagang, jumlah dan sampel penelitian, tingkat pendidikan

pedagang, tingkat usia, status pedagang, jumlah anak dan pendidikan

anak, kepemilikan usaha dan kepemilikan jenis kendaraan. Kedua

mengidentifikasi karakteristik lokasi dan aktivitas PKL di Kota Manado

yang terdiri atas jenis dagangan, luasan lapak, biaya sewa lapak, biaya

retribusi, kebersihan dan listrik. Ketiga mengidentifikasi preferensi

PKL di Kota Manado terhadap lokasi yang terdiri atas lokasi yang

disukai, lokasi yang menguntungkan dan alasan bertahan di lokasi.

Metode yang digunakan dalam penelitian mereka yaitu deskriptif

kuantitatif dimana data yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi berdasarkan variabel yang diteliti. Dari hasil analisis

penelitiannya ditemukan yaitu: pertama, kategori pedagang yang

bertahan di tempat relokasi memberikan preferensi yang beragam,

namun hal mendasar yang membuat mereka bertahan di tempat

relokasi yaitu faktor modal yang terbatas sehingga mereka memilih

untuk bertahan dengan mempertimbangkan biaya sewa tempat yang

murah dihitung pertahun. Hal lain adalah status tempat yang legal

sehingga membuat PKL itu sendiri belum memiliki keinginan untuk

pindah sekalipun dari segi pendapatan perharinya minim jika

dibandingkan dengan lokasi awal sebelum mereka direlokasi. Selain itu

faktor jarak juga memengaruhi mereka tetap bertahan, karena jarak

antara tempat tinggal dan tempat berjualan rata-rata memiliki jarak

yang cukup dekat dan pedagang dengan jenis dagangan tertentu dilihat

cocok dengan kawasan yang ditempati. Kedua, kategori pedagang yang

pindah dari tempat relokasi memberikan preferensi yang beragam pula.

Jika dilihat dari faktor-faktor yang dijadikan variabel analisis maka

jawaban yang diperoleh yaitu dari segi pendapatan, jumlah

pengunjung, dan pembeli ditempat relokasi kurang menguntungkan.

Page 13: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

13

Mereka tidak yakin modal yang dipakai tetap bertahan dan akan

berkembang usahanya.

Firdausy (1995), melakukan penelitian mengenai

pengembangan sektor informal PKL di empat kota besar Indonesia

yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengkaji dan membahas masalah-masalah

yang dihadapi PKL diperkotaan, khususnya di Bandung, Yogyakarta,

Semarang, dan Surabaya. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan analisis ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lingkungan.

Sumber data yang digunakan adalah hasil pertanyaan kuesioner kepada

responden dan informasi dari para narasumber yang terdiri dari PKL,

ketua asosiasi dan perkumpulan PKL, instansi pemda terkait serta

kepala pasar. Jumlah sampel yang terkumpul adalah 302 PKL. Teknik

analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis tabulasi

silang, analisis non-parametrik (Chi-Square) dan analisis deskriptif.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebanyak 70 persen responden

PKL belum ditata dengan baik, salah satu alasannya adalah biaya sewa

kios/lokasi yang masih relatif mahal menjadi salah satu penyebab PKL

tidak mau menempati lokasi yang telah ditetapkan untuk berdagang.

Selain itu dari hasil penelitian didapati sebanyak 11% menggunakan

modal berupa konsinyasi (barang titipan), sedangkan 89 persen

menggunakan modal kerja berupa uang sendiri atau pinjaman.

Indira (2014), melakukan penelitian tentang dinamika PKL di

beberapa negara Asia, penelitiannya di Bangladesh ditemukan bahwa

jumlah PKL sangat besar. Menurut Dhaka City Corporation ada sekitar

90.000 PKL di kota. Aktivitas para penjual dianggap sebagai

perdagangan ilegal dan PKL menghadapi pelecehan dari pihak

berwenang. PKL harus membayar bagian yang cukup besar dari

pendapatan mereka sebagai suap agar mereka tetap bisa berdagang.

Menurut delegasi Bangladesh yang menghadiri lokakarya regional Asia

tentang PKL yang dilaksanakan pada bulan Februari 2002 di Bodh

Gaya, India, PKL dari Bangladesh lebih rentan daripada di negara-

negara tetangga karena permasalahan kemiskinan, kurangnya ruang

untuk penjual dan kurangnya kesadaran tentang hak-hak mereka.

Page 14: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

14

Selain itu ditemukan juga beberapa serikat kerja yang berperan

untuk melindungi kepentingan PKL dalam melakukan aktivitas

mereka. Serikat yang paling berperan dalam memperjuangkan nasib

PKL adalah Federasi Bangladesh Hawkers, hal ini terkait dengan

federasi serikat buruh yang berkuasa yaitu Partai Nasional Bangladesh.

Pada sebagian besar negara ini dimana jumlah PKL besar, maka partai

yang berkuasa dan partai oposisi selalu saja memobilisasi para PKL

untuk tujuan politik mereka. Karena ketidakamanan mereka, PKL

cenderung berduyun-duyun ke pihak-pihak tersebut untuk

perlindungan. Partai-partai ini menggunakan PKL untuk keuntungan

politik mereka, dan sebagai imbalannya memberikan mereka sedikit

jaminan keamanan untuk perdagangan mereka.

Penelitiannya di Sri Lanka ditemukan bahwa PKL tampaknya

berada dalam posisi yang sedikit lebih baik daripada rekan-rekan

mereka di Bangladesh dan India. Jalanan di sebagian besar daerah

perkotaan tidak benar-benar ilegal dan PKL dapat berdagang di trotoar

dengan membayar pajak setiap hari untuk dewan kota. Meskipun

mendapatkan beberapa pengakuan hukum, PKL bisa diusir jika dewan

kota merasa bahwa mereka menyebabkan masalah untuk masyarakat

umum, tidak hanya PKL menghadapi penggusuran tetapi juga

pemerintah kota membakar kios mereka selama ini.

Meskipun PKL mendapatkan pengakuan berjualan di tempat

umum dari pemerintah kota karena mereka membayar pajak, tetapi hal

tersebut tidak selalu memberikan jaminan keamanan dalam berjualan.

Pada kebanyakan kasus, penyediaan ruang alternatif sangat tergantung

pada seberapa kuat kelompok PKL dapat menekan permintaan dari

pihak pemerintah atau dewan kota, karena dapat dipahami bahwa

nasib PKL tergantung pada kebijakan dewan kota juga.

Masalah yang merupakan problem utama PKL dalam

menjalankan aktivitas adalah keamanan terhadap keberlangsungan

mata pencaharian mereka dan kurangnya akses terhadap kredit.

Menurut laporan dari departemen sensus dan statistik Sri Lanka, 2002,

"pendapatan rata-rata harian dari penjual makanan jalanan di sekitar

Sri Lanka (SL) Rs 1.250 sedangkan keuntungan harian rata-rata yang

Page 15: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

15

dihasilkan adalah sekitar SL Rs 575. Mereka mampu menghasilkan

pendapatan rata-rata bulanan SL Rs 31.250 dan laba rata-rata SL Rs

14.375.

Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi dari penjual makanan

jalanan ke ekonomi negara signifikan meskipun mereka menghadapi

masalah yang sama seperti PKL lainnya yaitu, kurangnya keamanan

dan kurangnya fasilitas. Berdasarkan realita tersebut maka dapat

dipahami mengapa para PKL tetap bertahan sekalipun harus

berhadapan dengan berbagai kendala baik dari pihak pemerintah,

dewan kota maupun masalah ketersediaan akses pinjaman untuk modal

usaha.

Selain di Sri Lanka penelitiannya di Bangkok Thailand

ditemukan bahwa aktivitas berjualan di jalan merupakan sumber

pendapatan penting bagi masyarakat miskin perkotaan. Jumlah PKL di

kota meningkat pesat setelah krisis moneter tahun 1998 yang

memengaruhi kelompok negara yang dikenal sebagai macan Asia.

Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan mereka turun ke jalan

untuk berjualan sebagai sumber penghidupan. Penjual makanan dari

Bangkok dikenal dengan makanan murah tapi bergizi. Bagi penduduk

lokal, warung makanan merupakan bagian integral dari kehidupan di

Bangkok. Ratusan orang bergantung pada mereka untuk makanan yang

baik dengan harga rendah. Pemerintah kota di Bangkok telah

membatasi wilayah di mana PKL dapat beroperasi. Lokasi resmi untuk

penjual jalanan tidak cukup untuk menampung semua PKL. Hal ini

telah menyebabkan PKL beroperasi di daerah yang tidak sah atau di

luar wilayah resmi. Mayoritas PKL di kota beroperasi pada wilayah

yang tidak sah.

Fitur unik dari PKL di Bangkok adalah tidak ada serikat pekerja

sebagaimana di negara-negara Asia lainnya. Sejumlah besar PKL selalu

saja menghadapi masalah dari pihak berwenang tanpa adanya

pembelaan ketika diperlakukan tidak sewajarnya. Jika mereka punya

serikat pekerja maka di sisi lain mungkin bisa memberi mereka

perlindungan untuk melaksanakan kegiatan perdagangan setiap saat,

serta mendapat pengakuan dan dukungan pemerintah.

Page 16: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

16

Negara Asia lainnya yang diteliti adalah Singapura, berdasarkan

laporan dari departemen perdagangan pemerintah Singapura tahun

2003, mungkin negara ini menjadi satu-satunya negara di dunia

dimana semua PKL berlisensi. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan

baik karena departemen perdagangan Singapura bekerja dengan intens

untuk memeriksa bahwa tidak ada pedagang asongan tanpa izin dan

lisensi yang dapat menjajakan barang di trotoar. Departemen berperan

aktif dalam memastikan bahwa para pedagang menjaga lingkungan

mereka bersih dan tidak menempatkan kendala pada pejalan kaki.

Pejabatnya memeriksa semua kios dan melihat bahwa mereka

mematuhi Undang-Undang Kesehatan Lingkungan Masyarakat dari

tahun 1968.

Selain memberi lisensi, mereka juga menyelenggarakan kursus

pelatihan reguler pada makanan dan kebersihan pribadi, serta gizi.

Semenjak tahun 1990 sampai 1996 departemen telah melatih lebih dari

10.000 pedagang asongan. Satu fakta penting tentang PKL di Singapura

adalah bahwa selama 30 tahun terakhir mereka telah membantu

menjaga biaya hidup turun sejak pekerja, mahasiswa dan masyarakat

miskin bergantung pada mereka untuk kebutuhan sehari-hari mereka,

termasuk makanan.

Setelah Singapura, Indira (2014), meneliti juga PKL di Malaysia

yang merupakan satu dari sedikit negara di Asia yang telah

memberikan beberapa bentuk pengakuan untuk PKL. Pada tahun 1990,

Malaysia merumuskan kebijakan nasional penjaja. Ini adalah rencana

komprehensif untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi yang

terkait dengan penjual jalanan. Pelaksanaannya mencakup penyediaan

dana untuk mendukung skema kredit dan program pelatihan bagi PKL

untuk meningkatkan fasilitas mereka.

Pengaturan dan pengendalian PKL berada di bawah

departemen perdagangan dan pedagang kecil (DHPT) didirikan pada

tahun 1986. Tujuan dari departemen mencakup pengembangan,

modernisasi dan pengelolaan PKL sejalan dengan tujuan membuat

Kuala Lumpur bersih, kota sehat dan indah bagi masyarakat setempat

dan wisatawan. Menurut DHPT jumlah PKL berlisensi naik 30 persen

Page 17: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

17

dari tahun 1990 hingga tahun 2000. Jumlah PKL berlisensi pada tahun

2000 hampir 35.000 di samping itu, diakui bahwa terdapat pula lebih

dari 12.000 PKL tanpa izin operasi yang belum ditangani. Departemen

mengakui bahwa peningkatan PKL selama periode ini adalah akibat

krisis keuangan karena banyak orang kehilangan pekerjaan turun ke

jalan untuk menjadi PKL.

Kota lain di kawasan Asia Tenggara yang diteliti adalah Manila

di sana ditemukan sebuah perencanaan penataan PKL secara formal.

Pada tahun 2001 pemerintah Filipina mengambil keputusan untuk

melegalkan PKL. Pemerintah memutuskan untuk menerbitkan kartu

identitas dan memungkinkan mereka untuk membawa dagangan

mereka ke daerah tertentu. Meskipun semua janji-janji, nasib

sebenarnya PKL di Filipina, tidak lebih baik daripada di sebagian besar

negara-negara lain yang disebutkan sebelumnya.

Masalah utama yang dihadapi oleh para PKL adalah bahwa

tidak ada batas-batas daerah bagi mereka untuk beroperasi. Persoalan

kebersihan di trotoar dan kemacetan lalu lintas merupakan

permasalahan ikutan lainnya, sehingga pada dasarnya kendala yang

dialami oleh PKL di kota Manila mirip dengan apa yang terjadi oleh

PKL di negara-negara Asia umumnya.

Penelitiannya terhadap PKL di Hanoi ditemukan bahwa

mereka menyediakan berbagai barang murah dan menghasilkan

lapangan kerja bagi sejumlah besar orang, terutama perempuan. PKL

yang terjun dalam bisnis kuliner sekitar 30 persen adalah perempuan.

Pada tahun 1989 pemerintah Vietnam mengadopsi undang-undang

tentang perlindungan kesehatan. Sebuah survei pada sampel makanan

di Hanoi menunjukkan bahwa 47 persen yang mikrobiologis tidak

aman. Dalam beberapa tahun situasi berubah dan 23,4 persen dari

penjual makanan telah berubah praktik higienis mereka. Hal ini

dilakukan oleh pemerintah melalui pengawasan rutin penjual makanan

dengan melatih mereka dalam praktek-praktek higienis. Pemerintah

telah mengadopsi dua praktek untuk memastikan aman jualan

makanan yaitu, pemantauan penjual makanan jalanan melalui sistem

perizinan dan mendidik serta melatih mereka tentang kebersihan.

Page 18: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

18

Masalah utama yang dihadapi PKL di Hanoi menurut sebuah

studi yang dilakukan oleh LSM Kelompok Sektor Perkotaan masalah

adalah non-pengakuan keberadaan sektor informal. PKL tidak

memiliki tempat permanen untuk menjual barang-barang mereka.

Mereka tidak bisa mempertahankan pelanggan. Mereka sering

dilecehkan oleh polisi dan petugas keamanan pasar. Studi mereka

mencatat bahwa rente tinggi dan satu-satunya cara PKL bisa tinggal di

jalanan adalah dengan membayar suap kepada para pejabat ini. Jika

mereka tidak membayar, barang-barang mereka disita atau bahkan

dihancurkan (Indira, 2014).

Kota besar lainnya yang diteliti Indira adalah Seoul,

pemerintah Korea Selatan seperti kebanyakan pemerintah lain di Asia,

tidak sensitif terhadap masalah orang miskin perkotaan. PKL dan

penghuni kawasan kumuh berada di bawah tekanan pemerintah.

Setelah krisis keuangan Asia jumlah PKL selanjutnya meningkat dan

saat ini Seoul, memiliki sekitar 800,000 PKL. Menghadapi

permasalahan pelecehan, PKL dari Korea telah membentuk aliansi

nasional yang dikenal sebagai National Federation of Vendor Korea Street. Federasi ini memperkirakan bahwa jumlah PKL di Korea sekitar

satu juta. PKL merupakan komponen penting dari angkatan kerja

Korea dan masalah mereka tidak boleh diabaikan oleh pemerintah.

Selanjutnya hasil penelitiannya di India ditemukan jumlah PKL

pada kota-kota besar India telah meningkat tajam selama beberapa

tahun terakhir, terutama setelah tahun 1991 ketika kebijakan yang

berkaitan dengan penyesuaian struktural dan liberalisasi

diperkenalkan. Menurut studi yang dilakukan oleh Bhowmik (2000),

Mumbai memiliki jumlah PKL terbesar yaitu 250.000, Kolkata

memiliki lebih dari 150.000 PKL. Ahmadabad dan Patna memiliki

sekitar 80.000 masing-masing dan Indore, Bangalore serta

Bhubaneswar memiliki sekitar 30.000 PKL. Saat ini diperkirakan

sekitar 2,5 persen dari populasi perkotaan terlibat dalam pekerjaan ini.

Studi tentang PKL sedikit dan terfokus terutama pada beberapa kota.

Banyak barang yang dijual oleh PKL berupa pakaian, kaus kaki, barang

dari kulit dan barang plastik juga terdapat barang-barang rumah

Page 19: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

19

tangga, yang diproduksi dalam skala kecil atau industri rumahan.

Industri ini mempekerjakan sejumlah besar pekerja dan mereka

terutama mengandalkan PKL untuk memasarkan produk mereka.

Dengan cara ini PKL memberikan layanan yang berharga dengan

membantu mempertahankan pekerjaan di industri ini.

Masyarakat miskin mampu mendapatkan kebutuhan dasar

mereka melalui PKL, karena barang yang murah. Sebuah studi pada

PKL di tujuh kota yang dilakukan oleh National Allians Street Vendor of India (NASVI) menunjukkan bahwa kelompok berpenghasilan

rendah menghabiskan proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan

mereka untuk membeli dari PKL terutama karena barang-barang

mereka yang terjangkau. Seandainya tidak ada PKL di kota penderitaan

kaum miskin kota akan lebih buruk. Eksistensi PKL perkotaan

merupakan bagian dari kaum miskin perkotaan yang dapat membantu

bagian lain untuk bertahan hidup. Oleh karena itu meskipun PKL

dipandang sebagai masalah bagi pemerintahan kota, mereka

sebenarnya solusi untuk beberapa masalah dari kaum miskin kota.

Saha (2011), meneliti lebih jauh kehidupan PKL di Mumbai

dalam hal kondisi mereka dan sejauh mana hutang, jumlah suap yang

mereka harus membayar untuk mempertahankan diri mereka sendiri

di pasar, jam kerja, isu pemanfaatan ruang publik, dan hukum aspek

aktivitas mereka. Penelitian ini eksplorasi lingkungan sekitar dan

situasi PKL dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Studi ini

menunjukkan bahwa PKL meminjam dari rentenir dengan bunga

tinggi tidak hanya untuk kegiatan ekonomi mereka, tetapi juga untuk

tujuan keamanan sosial, yang pada gilirannya, menyebabkan mereka

jatuh ke dalam situasi perangkap utang.

Selanjutnya ditemukan bahwa mereka memiliki jam kerja yang

panjang, dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain itu, mereka

kurang menikmati kenyamanan di tempat kerja karena mereka

menghadapi pelecehan dan ancaman penggusuran oleh pemerintah

setempat. Dengan demikian maka masalah jam kerja PKL yang

panjang, serta kondisi ketidaknyamanan di tempat kerja mereka,

Page 20: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

20

berkontribusi terhadap buruknya lingkungan kerja serta semakin

sulitnya kondisi ekonomi PKL.

Penelitian ini memberikan gambaran bahwa PKL dapat

memainkan peran yang sangat penting dalam perekonomian informal

perkotaan dengan menghasilkan lapangan kerja dan mendukung

kelompok miskin perkotaan. Pendapatan per kapita dari 53 persen PKL

di Mumbai adalah Rs. 20 per hari. Laporan NCEUS (2007),

mengkategorikan orang-orang dengan penghasilan harian ini sebagai

"miskin dan rentan". Studi Bhowmik (2001), menunjukkan bahwa

pendapatan harian PKL laki-laki adalah Rs. 70 dan bahwa dari PKL

wanita adalah Rs. 40. Ditemukan bahwa lebih dari 62 persen dari

populasi memiliki pendapatan per kapita dari Rs. 20 sampai 35. Oleh

karena itu, tingkat pendapatan PKL belum meningkat selama sepuluh

tahun terakhir. Salah satu faktor yang bertanggung jawab mengapa

PKL berpenghasilan rendah adalah keharusan mereka untuk

membayar suap. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelecehan,

penggusuran, dan suap menyebabkan rendahnya ekonomi PKL,

seharusnya jika dilihat dari segi waktu serta semangat kerja mereka

maka ekonominya menjadi lebih baik tetapi karena hal tersebut di atas

maka kondisi ekonomi mereka menjadi sulit.

Temuan penting lainnya adalah bahwa PKL tergantung pada

rentenir dan grosir demi akses kredit bagi bisnis mereka serta untuk

tujuan keamanan sosial. PKL sering dipaksa membayar harga selangit

dari bunga uang yang dipinjam oleh mereka. Alasan utama pinjaman

ini adalah jaminan sosial dan investasi di kegiatan usaha, dampaknya

kemudian mereka terperangkap utang. Penelitian ini juga

mengungkapkan bahwa semua PKL, terlepas dari status pendapatan

mereka, perlu beberapa cara untuk memastikan jaminan sosial.

Sehingga mereka bertahan hidup pada tabungan mereka atau melalui

pinjaman dengan bunga yang tinggi. Sehingga pemerintah harus turun

tangan untuk mengurangi masalah keuangan PKL dengan memenuhi

tugasnya membayar jaminan sosial mereka. Asuransi kelompok bisa

menjadi solusi untuk masalah keuangan PKL. Karena itu, pemerintah

Page 21: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

21

atau pemangku kepentingan lainnya, terutama serikat buruh, harus

tampil ke depan untuk memfasilitasi ini.

Dari hasil kajian penelitian terdahulu terkait PKL diberbagai

daerah dan negara maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PKL

berkontribusi signifikan terhadap kondisi makro ekonomi, penyerapan

tenaga kerja, menyediakan barang untuk masyarakat miskin perkotaan

dengan harga terjangkau, dan menggerakkan industri skala kecil mikro

untuk tetap memproduksi barang. Di Indonesia PKL merupakan suatu

unit pelaku usaha kecil yang jumlahnya sangat banyak sehingga

eksistensi mereka jangan dipandang sebelah mata oleh siapapun juga.

Namun di sisi lain, PKL belum mendapatkan jaminan keamanan,

kesehatan, sosial, dan perlindungan hukum dari negara. Praktek

pungli, pemerasan, penggusuran, dan tindakan diskriminasi dialami

oleh PKL. Bahkan mereka terjebak hutang dengan bunga tinggi karena

meminjam dari rentenir. Fenomena ini merupakan sebuah realita yang

selalu mewarnai kehidupan PKL terutama di negara-negara dunia

ketiga.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang eksistensi

PKL di berbagai kota besar di Indonesia maupun beberapa negara di

Asia, banyak penelitian yang mengangkat topik ataupun masalah

penelitiannya tentang konflik antara PKL dengan pemerintah,

kebijakan pemerintah terkait penataan kota melalui relokasi PKL,

resistensi PKL terhadap implementasi perda, dan pola pemilihan lokasi

berjualan PKL. Untuk penelitian ini penulis melihat sisi yang lain

terkait eksistensi PKL di Kota Salatiga, sebagai sesuatu yang belum

pernah diteliti dalam penelitian tentang PKL yaitu PARTISIPASI

PUBLIK DAN HARMONI SOSIAL, Studi Kasus Perumusan Peraturan

Daerah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima

Kota Salatiga. Studi ini merupakan sebuah refleksi terhadap sebuah

proses partisipasi publik yang dampaknya begitu besar terhadap

eksistensi PKL di Kota Salatiga dan masyarakat pada umumnya. Proses

parisipasi yang lahir dari kesadaran bersama antara PKL dan

stakeholder sangat berdampak bagi keharmonisan, sehingga sekalpun

Peraturan Daerah Nmor 2 Tahun 2003 telah diganti dengan Peraturan

Page 22: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

22

Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tetapi gaung partisipasinya tetap ada

sampai saat ini.

Eksistensi PKL Salatiga dalam hubungan dengan masyarakat

umum merupakan sebuah fenomena yang layak untuk diteliti karena

ada beberapa keunikan yang mereka miliki ketika menyimak dinamika

mereka yakni: pertama, sebelum tahun 2003 seperti yang terjadi pada

kota-kota besar di Indonesia maupun di negara-negara Asia lainnya,

PKL menjadi persoalan bagi pemerintah terkait keindahan kota dan

ketertiban. Penggusuran dan penertiban PKL terjadi hampir setiap

seminggu oleh petugas pamong praja Kota Salatiga. Selain itu, terjadi

konflik antara PKL dengan pedagang pasar, petugas parkir, kusir

andong, masyarakat sekitar dan pemilik toko. Sehingga permasalahan

konflik PKL di Kota Salatiga, tidak terbatas dengan pemerintah namun

terkait dengan lainnya dan lebih kompleks. Berdasakan hasil

wawancara dengan bapak Hendro Wijayanto tanggal 27 Januari 2015,

beliau menjelaskan bahwa pada tahun 2003 permasalahan ini dapat

terselesaikan dengan dibangunnya dialog antara PKL dan sekaligus

terbangun resolusi konflik, dan dialog dengan pemerintah daerah.

Kedua, Salatiga merupakan sebuah kota kecil yang hanya

terdiri atas empat kecamatan tetapi memiliki PKL dengan jumlah yang

cukup banyak dan berasal dari berbagai etnis dan daerah di Indonesia

(Jawa, Minang, Sulawesi, dan Madura dan lainnya3). Pertumbuhan

jumlah PKL di Salatiga sangat pesat dimana dari jumlah sebelumnya

yaitu 1.765 pedagang pada tahun 1999 meningkat menjadi ± 2.750

pedagang di tahun 2002 (FMPS, 2002). Dari jumlah yang demikian

banyak maka tidak dipungkiri bahwa potensi konflikpun cukup besar

karena dalam dunia bisnis selalu saja diwarnai dengan persaingan. Hal

menarik lain yang ditemukan terkait jumlah PKL di Salatiga yakni

setelah terjadi konsensus pada tahun 2002 sampai saat ini jumlah PKL

tidak lagi mengalami penambahan tetapi sebaliknya pada tahun 2015

jumlah PKL berkurang menjadi 1.720 pedagang dan data terbaru

menunjukkan bahwa jumlah PKL mengalami penurunan dari waktu ke

3 Hasil identifikasi penulis saat melakukan wawancara dengan ketua-ketua paguyuban

pada tanggal 27 Januari 2016

Page 23: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

23

waktu sehingga pada tahun 2017 jumlahnya menjadi 1.420 PKL

(Disperindagkop Salatiga, 2017).

Ketiga, konsensus yang menghasilkan terbangunnya harmoni

sosial di antara PKL dan stakeholder adalah upaya dari PKL sendiri

melalui partisipasi yang luar biasa dalam mengorganisir diri serta

membangun komunikasi dengan seluruh komponen sebagai upaya

resolusi konflik. Output dari seluruh rangkaian proses ini adalah

adanya Peraturan Daerah No 2 Tahun 2003 Tentang Penataan PKL

yang di dalamnya mengatur tempat berjualan, jenis jualan, waktu, serta

tanda daftar usaha. Perda ini disusun bersama antara eksekutif,

legislatif, PKL, dan semua stakeholder dengan tujuan dapat

mengakomodasi aspirasi seluruh pihak. Proses partisipatif yang

dibangun pada tahun 2002 terbukti dapat bertahan hingga saat ini,

tidak lagi terjadi konflik antara sesama PKL maupun dengan

stakeholder terkait.

Keempat, dari semua yang disepakati dalam konsensus bersama

pada tahun 2003, sebuah fenomena menarik yang unik dalam

hubungan antara PKL dengan pemerintah adalah PKL sebagai suatu

komunitas mendapatkan pengakuan dari pemerintah kota, sebagai

salah satu bagian penggerak perekonomian kota dengan memberikan

surat tanda daftar usaha (STDU) sebagai bukti diakuinya PKL

melakukan usaha di wilayah kota Salatiga. Pengakuan terhadap

eksistensi PKL secara hukum merupakan sebuah realitas yang jarang

dilakukan oleh pemerintah kota maupun pemerintah daerah di

Indonesia, karena kebanyakan pemerintah kota dan daerah perdanya

lebih menekankan pada aturan tentang larangan bagi PKL untuk

menempati ruang publik.

Kelima, stigma negatif terhadap PKL sebagai sumber

kesemrawutan dan kotornya kota yang selalu menjadi perhatian bagi

pemerintah kota maupun masyarakat Indonesia bisa dihindari oleh

PKL kota Salatiga. Kesan kotor dapat dihindari lewat konsensus pula

dimana secara intens para PKL berpartisipasi aktif terhadap kebersihan

tempat mereka berjualan. Tanggung jawab atas kebersihan dan

keindahan di sekitar lokasi berjualan adalah sebuah wujud partisipasi

Page 24: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

24

yang tidak tertulis dalam perda tetapi lewat konsensus lisan yang

mengikat sehingga antara pemerintah kota dan PKL saling

mengontrol4.

Sumber: Penulis, 2016

Gambar 1.1 Stakeholder PKL Kota Salatiga

Penelitian Terdahulu Tentang Partisipasi

Dalam beberapa penelitian terdahulu mengenai partisipasi yang

telah dilakukan beberapa peneliti baik di Indonesia maupun di luar

negeri, yang diawali dengan mengkaji tahapan awal dari proses, hingga

relasi yang terkait dengan partisipasi. Namun setelah dicermati,

ternyata dari beberapa penelitian tersebut masih terdapat hal-hal yang

perlu dilacak kembali, baik dari sisi substansi dan dinamikanya.

Penelitian yang relevan menjadi rujukan adalah yang dilakukan oleh

Smith (2003), Ardhana (2008), Webler (2009), Vajjhala (2009), Fikri

Azhar (2015), I Wayan Mertha (2015).

4 Wawancara dengan kepala dinas perindustrian dan tata kota Salatiga 23 Juli 2015.

Page 25: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

25

Penelitian partisipasi yang dilakukan oleh Smith (2003), di

Maori Selandia Baru menunjukkan bahwa model partisipasinya

berlangsung dengan basis pada teori Kaupapa, yaitu: 1) Prinsip

penentuan nasib sendiri; 2). Prinsip validasi dan legitimasi; 3). Prinsip

pedagogi menggabungkan budaya yang disukai; 4). Prinsip mediasi

dalam kesulitan sosial-ekonomi; 5). Prinsip menggabungkan struktur

budaya yang menekankan aspek kolektif; 6). Prinsip visi bersama dan

kolektif. Filosofi teori Kaupapa yang mendasari Smith berpijak pada

kemandirian dan kolektivitas di masyarakat yang dipadukan dengan

pendekatan mediasi. Namun studi ini perlu diberikan catatan bahwa

kemandirian dan kolektivitas hanya akan terjadi jika kondisi sosial

masyarakat berjalan dengan baik. Kebersamaan masyarakat terbangun

karena kesamaan nasib, sedangkan mediasi lebih menekankan

keberadaan pihak lain dalam proses partisipasi. Di Indonesia,

kolektivitas dan mediasi relatif memberikan kontribusi berhasilnya

partisipasi.

Studi partisipasinya Ardhana (2008), mengemukakan bahwa

peran serta masyarakat sejak awal sampai saat ini belum mendapatkan

posisi yang tepat dalam bentuk kewenangan dan kewajiban, serta hak

sebagai masyarakat dalam ikut menjalankan pembangunan. Variabel

yang dikaji antara lain: ketentuan perundangan, bentuk interaksi peran

serta masyarakat, dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam peran

serta masyarakat agar pembangunan dapat ditingkatkan. Hasil kajian

menunjukkan bahwa peran serta masyarakat sejak orde lama hingga

era otonomi daerah masih belum dapat berjalan secara efektif dan

efisien. Ardhana menyarankan upaya meningkatkan peran serta

masyarakat dilaksanakan dengan penuh kesadaran. Studi Ardhana

perlu diberikan catatan bahwa dalam aspek perundangan lebih

mengedepankan aspek legalitas saja, dimana realitasnya muncul

kompromi dalam menyikapi isu partisipasi, tanpa melihat lebih dalam

substansi sebenarnya dari partisipasi. Dalam aspek interaksi peran serta

masyarakat, tentu ada kondisi yang mempengaruhinya, sehingga masih

perlu di dalami lebih lanjut. Sementara upaya yang dilakukan

pemerintah, cenderung belum maksimal, sehingga perlu juga ditelusuri

lebih lanjut.

Page 26: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

26

Studi partisipasinya Webler (2009), menemukan perbedaan

keyakinan dan nilai yang dipegang masyarakat terkait perencanaan.

Jika konflik atas proses belum terselesaikan maka dapat memperburuk

ketegangan yang ada. Webler menyarankan untuk melakukan

penelitian tentang pemahaman partisipasi publik dengan

mengungkapkan perspektif tentang proses, baik dalam domain

kebijakan tertentu dan seluruh domain kebijakan, dengan berdasar

pada ciri kontekstual dan proses partisipasi. Penelitian Webler relevan

mendapatkan catatan, karena pasti ada perbedaan di antara cara

pandang masyarakat, apalagi terkait dengan persoalan perencanaan

kegiatan. Justru dengan perbedaan itulah partisipasi menjadi lebih

dinamis. Perbedaan dapat menjadi basis munculnya keputusan sebagai

cerminan kepentingan kolektif, dimana telah melalui proses bersama

pula. Hal ini dapat menghadirkan keputusan yang terlegitimasi

sehingga semua pihak dapat menerima keputusan tersebut.

Sedangkan Vajjhala (2009), dalam studi partisipasinya

menunjukkan bahwa membuat aplikasi keputusan lingkungan,

termasuk perencanaan pemukiman, penyediaan layanan kesehatan,

lintas batas pengelolaan sumber daya alam, dan bidang umum

merupakan bentuk fasilitasi bagi penduduk kota dalam perencanaan

pembangunan. Vajjhala menyarankan untuk mengadakan kombinasi

dari atas ke bawah dan evaluasi dari bawah ke atas dalam penelitian

yang menyediakan transisi penting untuk merancang dan

menginformasikan kebijakan yang efektif untuk mengkoordinasikan

dan menerapkan solusi lokal yang relevan dalam berbagai proyek

pembangunan. Catatan kritis untuk studi Vajjhala menunjukkan peran

negara (pemerintah kota) yang dominan dalam memenuhi kebutuhan

masyarakat, terutama pada bidang utama kehidupan. Dalam konteks

ini, negara (pemerintah kota) akan dihadapkan pada sebuah fakta

dalam menyediakan sejumlah besar sumber dana dan daya agar bentuk

fasilitas bisa dilaksanakan. Partisipasi lebih berasal dari atas ke bawah,

dan hal ini berpotensi memandulkan daya kreasi aspirasi masyarakat.

Azhar (2015), melakukan penelitian tentang partisipasi

masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan

Page 27: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

27

(Musrenbang) di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota

Surabaya. Dalam penelitiannya dapat disimpulkan bahwa partisipasi

masyarakat di Kelurahan Pegirian kurang baik. Kurang baiknya

partisipasi masyarakat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu; pertama,

pengumpulan usulan yang diperoleh dari masyarakat hanya pada

proses menampung dan menerima usulan tersebut. Kedua, pada

proses pembahasan usulan masyarakat tidak terlalu dilibatkan

sehingga, mereka tidak mengetahui usulan mana yang menjadi usulan

prioritas. Masyarakat tidak memiliki ruang penuh untuk dapat

menentukan usulan prioritas tersebut. Ketiga, partisipasi masyarakat

dalam program musrenbang di Kelurahan Pegirian belum berjalan

dengan baik karena masyarakat yang hadir tidak siap dengan

sumbangan pemikiran sebagai kontribusi dalam pembangunan.

Mertha (2015), penelitiannya tentang partisipasi masyarakat

dan peran pemerintah dalam mewujudkan destinasi pariwisata

berkualitas (Studi di Batur Global Geopark Kintamani). Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis pengaruh partisipasi masyarakat lokal,

peran pemerintah maupun interaksi keduanya terhadap kualitas

destinasi, khususnya di Batur Global Geopak Kintamani. Tujuan

lainnya adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas destinasi terhadap

tingkat kepuasan masyarakat. Penelitian ini dirancang menggunakan

metode campuran (mixed method), dimana metode kuantitatif dipilih

untuk mengetahui ukuran korelasional dan kausal antarvariabel pada

model serta menentukan signifikansi dari masing-masing hipotesis

yang dibuat.

Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: (1), partisipasi

masyarakat lokal berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas

destinasi; (2), peran pemerintah tidak signifikan pengaruhnya terhadap

peningkatan kualitas destinasi; (3), pengaruh interaksi peran

pemerintah dengan partisipasi masyarakat terhadap kualitas Batur

Global Geopark hasilnya tidak signifikan; (4), kualitas destinasi

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kepuasan

masyarakat.

Page 28: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

28

Masalah Penelitian

Sesuai realita kondisi sosial di atas sebagaimana tergambarkan

lewat kajian literatur terdahulu maka yang menjadi pokok

permasalahan dari penelitian ini adalah partisipasi PKL dan harmoni

sosial, maka penelitian ini hendak menjawab beberapa pertanyaan

secara spesifik sesuai kajian komprehensif sebagai berikut:

1. Bagaimana proses terbangunnya partisipasi publik dalam

perumusan kebijakan tentang penataan PKL di Kota Salatiga?

2. Bagaimanakah peran PKL dan stakeholder dalam partisipasi?

3. Nilai-nilai apa yang mengikat sehingga terjaga partisipasi dan

harmoni sosial antara PKL dan stakeholder di Kota Salatiga?

Tujuan Penelitian

Dilaksanakannya sebuah penelitian tidak terlepas pula tujuan

akhir yang hendak dicapai, karena itu berdasarkan rumusan masalah di

atas maka penelitian inipun dilaksanakan dengan tujuan yakni:

1. Memperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai proses

terbangunnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan

penataan PKL, serta kondisi-kondisi yang memengaruhi

terbangunnya partisipasi tersebut.

2. Mendapatkan deskripsi tentang peran PKL dan stakeholder

sebagai partisipasi publik dalam perumusan kebijakan penataan

PKL Kota Salatiga.

3. Melalui kajian dan analisis induktif, dapat diperoleh

pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai yang

mengikat di antara PKL dan stakeholder sehingga terjaga

partisipasi dan harmoni sosial.

Page 29: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Pendahuluan

29

Manfaat Penelitian

1. Secara teoretik lewat penelitian ini diharapkan dapat

menjelaskan bagaimana terbangunnya partispasi publik dalam

perumusan peraturan daerah terkait penataan PKL.

2. Secara praktis melalui penelitian ini dapat memberi data dan

informasi yang dapat dijadikan referensi, tentang bagaimana

kemampuan PKL dalam mengorganisir diri dan proaktif

berpartisipasi mencari solusi atas problem yang mereka hadapi

dalam hubungan dengan stakeholder.

Sistematika Penulisan

Adapun sistematika disertasi ini terdiri dari beberapa sebagai

berikut:

Bab 1 Pendahuluan;

Berisi tentang latar belakang masalah terkait eksistensi

PKL baik di Indonesia maupun negara-negara lainnya di

Asia, serta membahas tentang masalah penelitian, tujuan

penelitian dan manfaat dari penelitian ini.

Bab 2 Kajian Tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik,

serta Teori Fungsionalis Struktural;

Membahas tentang kajian teoretik mengenai PKL,

Partisipasi, Kebijakan Publik, serta teori yang mendasari

harmoni sosial.

Bab 3 Metode Penelitian;

Berisi tentang wilayah penelitian, dan metode yang

digunakan dalam melakukan penggalian informasi, teknik

analisis dan sumber data.

Bab 4 Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima Dalam

Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2003;

Page 30: Bab I Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/1/D_902013005_BAB I.pdf · PKL Salatiga sebagai ciri khas tersendiri. Kondisi umum yang kita

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

30

Berisi tentang bagaimana latar belakang terbangunnya

partisipasi antara PKL dan stakeholder di Kota Salatiga,

serta upaya-upaya yang dilakukan dalam membangun

komunikasi dengan semua pemangku kepentingan.

Bab 5 Partisipasi Dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun

2003;

Berisi tentang peran PKL bersama stakeholder dalam

berpartisipasi aktif merumuskan Peraturan Daerah Nomor

2 Tahun 2003 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kota

Salatiga.

Bab 6 Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003;

Berisi tentang perkembangan PKL di Kota Salatiga dalam

kurun waktu kurang lebih dua belas tahun, serta adanya

perubahan peraturan daerah dari Perda Nomor 2 Tahun

2003 ke Perda Nomor 4 Tahun 2015.

Bab 7 Deskripsi Analitik Partisipasi Publik Dalam Penataan PKL

Kota Salatiga;

Berisi tentang analisis partisipasi mulai dari proses

partisipasi, model partisipasi, aktor partisipasi, metode

partisipasi, dana partisipasi dan harmoni sosial dalam

partisipasi serta makna partisipasi.

Bab 8 Penutup;

Berisi tentang kesimpulan dari pembahasan bab-bab

sebelumnya.