bab iv pengalaman praksis pedagang kaki lima dalam...

38
97 Bab IV Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002 Latar Belakang Terbangunnya Partisipasi Letak kota Salatiga yang berada di antara kota Solo dan Semarang menjadikannya sebagai kota transit, sehingga memiliki peluang strategis untuk usaha perdagangan. Indikasinya terlihat dari peningkatan jumlah PKL di Salatiga yang cukup tinggi, terlebih menjelang hari-hari besar keagamaan seperti lebaran dan natal menjadi hampir dua kali lipat jumlahnya. Dari pendataan yang dilakukan oleh Dinas Pasar dan PKL Kota Salatiga pada bulan November 1999, jumlah PKL dari 1.765 menjadi 2.750 pedagang pada tahun 2002 (data dinas pasar dan PKL kota Salatiga 2002). Dengan peningkatan jumlah PKL yang cukup tinggi menyebabkan kondisi pasarpun harus ditertibkan sehingga pemerintah kota harus mengambil sikap melalui penataan kota Salatiga. Seiring dengan itu, pemerintah melalui SK Walikota menetapkan lokasi baru bagi para PKL buah dan klitikan yang berjualan sepanjang jalan Jenderal Sudirman, ke kompleks Tamansari, dan melarang para PKL berjualan sepanjang trotoar jalan Jenderal Sudirman dan jalan Letjen Sukowati. Sedangkan bagi para PKL yang berdagang pada sore hari oleh pemerintah diarahkan berjualan di jalan Taman Pahlawan dan jalan Langensuko. Para PKL dilarang berjualan di sepanjang jalan Jenderal Sudirman, jalan Sukowati dan jalan Taman Pahlawan dari pukul 06.00 WIB sampai 16.00 WIB. Kondisi kota kembali tidak tertata ketika pada tahun 2000 terjadi bencana kebakaran yang melanda Pasar Raya I, pasca terbakarnya Pasar Raya I, para pedagang menggelar dagangan mereka

Upload: hatruc

Post on 06-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

97

Bab IV

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam

Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

Latar Belakang Terbangunnya Partisipasi

Letak kota Salatiga yang berada di antara kota Solo dan

Semarang menjadikannya sebagai kota transit, sehingga memiliki

peluang strategis untuk usaha perdagangan. Indikasinya terlihat dari

peningkatan jumlah PKL di Salatiga yang cukup tinggi, terlebih

menjelang hari-hari besar keagamaan seperti lebaran dan natal menjadi

hampir dua kali lipat jumlahnya. Dari pendataan yang dilakukan oleh

Dinas Pasar dan PKL Kota Salatiga pada bulan November 1999, jumlah

PKL dari 1.765 menjadi 2.750 pedagang pada tahun 2002 (data dinas

pasar dan PKL kota Salatiga 2002).

Dengan peningkatan jumlah PKL yang cukup tinggi

menyebabkan kondisi pasarpun harus ditertibkan sehingga pemerintah

kota harus mengambil sikap melalui penataan kota Salatiga. Seiring

dengan itu, pemerintah melalui SK Walikota menetapkan lokasi baru

bagi para PKL buah dan klitikan yang berjualan sepanjang jalan

Jenderal Sudirman, ke kompleks Tamansari, dan melarang para PKL

berjualan sepanjang trotoar jalan Jenderal Sudirman dan jalan Letjen

Sukowati. Sedangkan bagi para PKL yang berdagang pada sore hari

oleh pemerintah diarahkan berjualan di jalan Taman Pahlawan dan

jalan Langensuko. Para PKL dilarang berjualan di sepanjang jalan

Jenderal Sudirman, jalan Sukowati dan jalan Taman Pahlawan dari

pukul 06.00 WIB sampai 16.00 WIB.

Kondisi kota kembali tidak tertata ketika pada tahun 2000

terjadi bencana kebakaran yang melanda Pasar Raya I, pasca

terbakarnya Pasar Raya I, para pedagang menggelar dagangan mereka

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

98

di berbagai tempat yang dekat dengan keramaian. Para pedagang Pasar

Raya I saling berebut tempat untuk jualan kondisi tersebut membuat

lokasi sekitar Pasar Raya I menjadi kotor dan semrawut. Sekalipun

kondisi tempat berdagang mereka tidak layak1 tetapi tetap saja para

pedagang menggelar dagangannya, dengan pertimbangan kalau tidak

berjualan bagaimana memenuhi berbagai kebutuhan hidup keluarga

mereka.

Selain itu pusat keramaian Kota Salatiga terletak di jalan

Jenderal Sudirman di mana pasar Raya I dan II berada, hal tersebut

menjadi magnet bagi masyarakat dari luar kota Salatiga yang

menjalankan bisnis pribadi maupun keluarga di kota Salatiga. Aktivitas

para pengunjung2 pasar yang sangat banyak selalu saja mempengaruhi

pengguna jalan baik kendaraan pribadi atau umum dari Solo menuju ke

Semarang atau sebaliknya, sehingga aktivitas pasar semakin tidak

beraturan. Ketidak teraturan tersebut menjadikan kota Salatiga sebagai

kota yang kotor dan semrawut.

Pemerintah Kota Salatiga tidak menutup mata dengan kondisi

ini, untuk menata sementara pedagang Pasar Raya I sambil menunggu

selesainya renovasi pasca terbakar dan mengembalikan pedagang ke

dalam Pasar Raya I. Dengan keterbatasan lahan untuk menampung

pedagang Pasar Raya I, maka pemerintah melalui SK Walikota No

620/13/2000 menutup sebagian jalan Jenderal Sudirman sebelah Timur

bagian Selatan, guna dibuat kios/los untuk menampung sementara

pedagang korban kebakaran Pasar Raya I sampai selesainya proses

pembangunan.

Hal serupa dilakukan pemerintah terhadap PKL yang berjualan

di sekeliling Pasar Raya I yang juga menjadi korban kebakaran, mereka

dibuatkan kios/los yang berukuran 1 x 2 m di sepanjang jalan Taman

Pahlawan. PKL yang berada di jalan Taman Pahlawan, setelah

1 Terdapat beberapa pedagang yang berjualan di dekat tempat pembuangan sampah sementara (TPS) 2 Masyarakat yang berdomisili sekitar kota Salatiga seperti Beringin, Ambarawa dan Tengaran yang ke Salatiga untuk berbelanja kebutuhan seperti pakaian, kebutuhan pokok rumah tangga atau barang kulakan untuk dijual kembali di daerah mereka.

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

99

pemerintah melakukan relokasi PKL Pasar Raya I, wajah kota menjadi

lebih tertata dan bersih. Akan tetapi kondisi tersebut justru

dimanfaatkan oleh oknum-oknum di tingkat pemerintah kota dan

individu untuk memperjualbelikan lokasi bekas pedagang yang di

relokasi ke Pasar Raya I, tempat tersebut dijual kepada PKL baru. Para

oknum tersebut memperjualbelikan trotoar di sepanjang jalan Jenderal

Sudirman, jalan Langensuko dan Taman Sari yang awalnya wilayah

tersebut dilarang untuk berjualan. Hal tersebut dapat kita ikuti dalam

penjelasan bapak Tugimin:

“ Pasca renovasi pasar akibat kebakaran pada tahun 2000, lapak tempat jualan bagi PKL justru diperjualbelikan oleh beberapa oknum yang di dalamnya terdapat pegawai pemerintah. Mereka turut dalam mempersulit kami yang berjualan karena kalau tidak manut maka kami akan kena gusur dan lain-lain, makanya lebih baik mengikuti apa mau mereka sehingga aktivitas untuk berjualanpun tidak terganggu”. (Hasil wawancara dengan pak Tugimin, salah satu penjual mie ayam pada tanggal 12 Januari 2017)

Harga jual fasilitas umum tersebut sangat beragam dan berkisar

antara Rp 200.000,- harga termurah sampai Rp 3.000.000, harga

tertinggi. Tinggi ataupun rendah harga jualnya tergantung pada letak

lokasinya. Jika lokasinya berada pada wilayah yang ramai maka

harganya pasti tinggi dan sebaliknya jika lokasinya berada di wilayah

yang agak jauh dari keramaian, harganyapun disesuaikan. Para PKL

yang membeli lahan tersebut membetuk kelompok-kelompok atau

paguyuban yang diorganisir oleh oknum pemerintah dan individu, dari

hasil identifikasi terdapat 19 kelompok PKL (FMPS, 2002).

Para PKL yang tidak mampu membeli lahan bergeser ke arah

jalan Pattimura, jalan Diponegoro, jalan Kartini, jalan Kemiri, lapangan

Pancasila dan jalan Sukowati. PKL ini dinamakan PKL non status

dikarenakan mereka tidak mempunyai kelompok tetap serta tempat

berdagangnya pun berpindah-pindah. Jumlah PKL non status ini cukup

banyak dari hasil yang dipetakan terdapat 1.038 PKL, jadi hampir

separuh jumlah PKL yang ada di Salatiga adalah non status (FMPS,

2002).

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

100

Pada tahun 2002 dalam Struktur Organisasi dan Tata Kerja

Pemerintah Kota Salatiga, PKL menjadi bagian tugas pokok dan fungsi

dinas Pasar dan PKL. Dengan demikian maka PKL berada di bawah

dinas pasar dan PKL, karena itu fungsi dinas Pasar dan PKL harus

dimaksimalkan melalui pendampingan dan pemberdayaan PKL secara

baik sehingga tujuan pemerintah dalam menata kota dapat terwujud.

Tetapi fakta lapangan menunjukkan lain dari apa yang diharapkan

karena pemberdayaan PKL lebih difokuskan dalam mengintensifkan

penarikan retribusi sebagai kewajiban PKL. Penyediaan fasilitas primer

usaha seperti air bersih, penerangan, dan rasa aman merupakan wujud

kreatif pelaku. Dari kondisi tersebut muncul kesan bahwa pemerintah

bersikap pasif dalam upaya pemberdayaan usaha namun mereka lebih

proaktif dalam menetapkan kuota retrebusi PKL.

Penggusuran PKL

Setelah selesai renovasi Pasar Raya I, maka PKL yang direlokasi

dimasukan kembali menempati los/kios di dalam Pasar Raya I. Langkah

selanjutnya yang dilakukan pemerintah Kota Salatiga adalah membuka

kembali jalan Jendral Sudirman dan jalan Taman Pahlawan yang

awalnya diperuntukkan bagi PKL. Dengan dibukanya jalan Jenderal

Sudirman dan jalan Taman Pahlawan, maka trotoar di jalan tersebut

menjadi sepi dan kembali aman bagi pengguna jalan akibat pindahnya

pedagang ke dalam Pasar Raya I. Akan tetapi kondisi tersebut tidak

berlangsung lama, hanya dalam hitungan hari saja lokasi sepanjang

trotoar kembali penuh dengan PKL baru walaupun pada awalnya

trotoar tersebut dilarang untuk berjualan, tetapi pada beberapa waktu

kemudian digunakan lagi oleh para PKL baru untuk menggelar

dagangannya.

Sebuah fenomena menarik yang terjadi pada saat itu adalah

peningkatan jumlah PKL yang drastis dari waktu ke waktu semenjak

tahun 1997 sampai 2002 dari 1.765 menjadi 2.750 (tim perumus

penataan PKL Salatiga 2002). Salah satu faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan PKL ini adalah terjadinya krisis ekonomi global pada saat

itu yang berakibat banyak perusahaan memPHK karyawannya. Ketika

mereka diberhentikan dari pekerjaannya, maka pekerjaan yang paling

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

101

mudah dijangkau dengan modal kecil serta pengelolaannya sederhana

adalah menjadi PKL. Pertumbuhan PKL secara drastis serta tidak

terkendali menyebabkan terjadinya kesemrawutan kota di kawasan

yang ditempati para PKL.

Gambar 4. 1 PKL Shooping Setelah Penataan Tahun 2004

Keberadaan PKL pada kota-kota di Indonesia pada umumnya

menggunakan fasilitas publik seperti trotoar, jalan, dan wilayah parkir.

Dalam menjajakan barang dagangannya, PKL memandang wilayah

tersebut sangat strategis karena mendekatkan mereka dengan para

konsumen potensial. Keberadaan mereka bagi masyarakat di sekitar

wilayah kota terjadi kontradiktif, sebagian masyarakat beranggapan

bahwa keberadaan PKL menguntungkan karena dapat memenuhi

kebutuhan mereka lewat harga jual yang relatif murah, serta dengan

pola transaksi cepat dan sederhana. Namun terdapat juga sebagian

masyarakat tertentu yang mengangap keberadaan PKL menggangu

kenyamanan mereka, karena berkurangnya luas jalan bagi kendaraan

ataupun trotoar untuk pejalan kaki, sehingga terlihat kotor dan kumuh.

Berawal dari permasalahan tersebut pemerintah Kota Salatiga

melakukan tindakan penertiban dengan metode penggusuran PKL

yang menempati trotoar dan fasilitas publik lainya di jalan Jenderal

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

102

Sudirman, jalan Diponegoro, jalan Pattimura, jalan Sukowati, dan jalan

Taman Pahlawan. Sebagaimana diketahui bahwa penataan kota adalah

sebuah tindakan yang diambil pemerintah bertujuan untuk

memperbaiki kondisi semrawut menjadi lebih baik. Tindakan selalu

saja tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai (Wirawan

2012:134), karena itulah pemerintah Kota Salatiga berupaya

menampilkan wajah Kota Salatiga yang lebih baik, bersih, rapih, serta

teratur.

Tindakan penertiban yang dilakukan pemerintah Kota Salatiga

dengan metode penggusuran oleh aparat pemerintahan pada awalnya

dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu bagi para penjual, serta

berlangsung pada malam hari disaat para PKL tidak berjualan. Strategi

ini sengaja dilakukan oleh pemerintah kota dengan tujuan agar tidak

terjadi perlawanan dari pihak PKL sehingga konflik antara petugas

dengan PKL dapat dihindari.

Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Satuan Polisi Pamong

Praja (Satpol PP) selaku penegak regulasi di daerah, menggangkut

gerobak beserta isinya, meja, dan peralatan berjualan lain yang

ditinggal oleh PKL. Peralatan berjualan para PKL tersebut dibawa ke

kantor Satpol PP sebagai markas mereka yang terletak di jalan

Sukowati (kompleks kantor Pemkot). Pada besok harinya PKL bisa

mengambil kembali dagangan serta peralatan mereka di kantor

tersebut dengan membayar sejumlah uang denda, yang besar kecilnya

tergatung dari nilai barang mereka serta menandatangani surat

perjanjian yang sudah dipersiapkan pemerintah dengan menyatakan

tidak akan berjualan lagi di lokasi tersebut.

Kerugian yang dialami PKL disaat terjadi penggusuran tidak

hanya biaya untuk menebus barang mereka, akan tetapi juga kerusakan

barang dagangan dan peralatan jualan. Selain itu ada pula yang jumlah

barang dagangannya berkurang dari jumlah sebelumnya. Dari semua

PKL yang ditertibkan pemerintah kota, PKL buah paling besar

mengalami kerugian, hal tersebut terjadi karena apabila mereka tidak

cepat mengambil atau menebus dagangan mereka maka barang

dagangan tersebut akan mengalami pembusukan. Mereka juga harus

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

103

mengeluarkan anggaran transportasi untuk menyewa kendaraan

seperti mobil pick-up untuk membawa kembali barang dagangan

mereka dari kantor Satpol PP ke tempat jualan semula.

Penggusuran oleh pemerintah biasanya dilakukan dua kali

dalam satu minggu dengan waktu yang tidak menentu dan selalu saja

dilakukan pada malam hari. Penggusuran tersebut bagi PKL sendiri

terkesan bukan sebagai sebuah upaya penertiban tetapi lebih mirip

seperti pencurian yang dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut

dikarenakan penggusuran tidak diawali dengan sosialisasi terlebih

dahulu kepada seluruh PKL ataupun masyarakat sekitar. Mereka

menganggap pemerintah tidak peduli dengan nasib PKL, karena

pemerintah lebih melihat faktor ketidaknyamanan dan juga

kesemrautan daripada kehidupan para PKL dalam usaha menyambung

hidup demi menghidupi serta mencukupi kebutuhan keluarga setiap

hari.

Para PKL sepertinya tidak pernah jera dimana pada hari ini

digusur, besoknya mereka mengambil kembali peralatan yang disita

dari kantor Satpol PP dan lusanya mereka sudah kembali berjualan.

Tidak semua PKL mengalami nasib yang serupa, berbeda kondisi

dengan PKL yang membeli lahan dari oknum tertentu mereka tidak

pernah menjadi korban penggusuran. Mereka lebih nyaman dalam

melakukan aktivitas setiap hari karena oknum yang membina mereka

adalah pegawai pemerintah, sehingga mereka selalu mendapatkan

informasi dari dinas terkait. Informasi yang didapat selanjutnya

disampaikan kepada PKL binaan mereka supaya mereka tidak jualan

dulu atau mengamankan barang dan peralatan dagangan mereka

setelah selesai beraktivitas.

Selama bulan Mei tahun 2002 penggusuran PKL dilakukann

terus-menerus oleh pemerintah, dengan sasaran PKL binaan dan PKL

non status karena mereka menempati ruang publik yang dilarang

untuk berdagang. Sedangkan PKL inti tidak mengalami penggusuran

dikarenakan lokasi mereka berjualan yang mereka tempati adalah

lahan yang diperuntukan untuk PKL oleh pemerintah. Situasi yang

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

104

demikian membuat kecemburuan PKL non status dan binaan terhadap

PKL inti semakin besar (FPMS 2002).

Cara kerja oknum pemerintah yang tidak adil kepada para PKL

menimbulkan kecemburuan antar sesama PKL itu sendiri, para PKL

binaan dan non status merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Menurut

para PKL, mereka merasa mempunyai hak yang sama tentang

berdagang karena sama-sama membayar retribusi3 ke pemerintah.

Pemahaman retribusi menurut sebagian besar PKL pada saat itu adalah

sebuah kewajiban dari para penjual terhadap pemerintah kota yang

harus dipenuhi setiap berjualan, sebab itu dengan membayar retribusi

setiap hari kepada petugas dari dinas pasar dan PKL maka mereka

diperbolehkan untuk berjualan di tempat tersebut oleh pemerintah.

Karena kondisi itulah maka sebagian besar PKL menginginkan adanya

peraturan pemerintah yang mengatur serta melindungi mereka dalam

aktvitas setiap saat.

Konflik Antar PKL

Konflik merupakan realita yang selalu hadir di tengah

kehidupan manusia dalam perubahan, dimana hakekat dari kehidupan

manusia adalah perubahan. Menurut Heraclitos (Robert H. Lauer 1989:

287), bahwa segala sesuatu yang ada di dunia tidak ada yang tetap

(abadi) tetapi semuanya mengalir dalam perubahan (panta rhei kai

uden menei) karenanya jika dipahami secara mendasar maka yang

abadi di dunia adalah perubahan itu sendiri. Dalam perubahan

dimaksud ia melihat bahwa semua makhluk tercipta dan lenyap

melalui konflik. Simon Fisher dan kawan-kawan (Kartikasari 2001: 4),

mengartikan konflik sebagai hubungan antara dua belah pihak atau

lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki,

sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Manusia merupakan makhluk sosial karena itu hidupnya tidak

terlepas dari interaksi sosial dengan sesama maupun lingkungannya.

3 Retribusi ditarik oleh petugas/pegawai pemerintah secara langsung dibayar pada saat PKL berjualan berupa karcis yang dikeluarkan oleh pemerintah, besar retribusi untuk setiap PKL adalah sama tidak ada perbedaan.

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

105

Berlangsungnya interaksi sosial dimaksud maka konflikpun mulai

digerakkan, adapun konflik selalu menimbulkan perubahan karena itu

antara konflik dan perubahan merupakan dua hal yang tak dapat

dipisahkan melainkan selalu berada dalam koherensi.

PKL merupakan salah satu komunitas dalam masyarakat di

berbagai kota yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Kondisi riil di

lapangan terlihat bahwa keberadaan PKL tanpa adanya aturan yang

jelas maka seiring berjalannya waktu akan memunculkan konflik di

tingkat internal mereka sendiri, dan imbas konflik tersebut akan

meluas jika arah kebijakan yang diatur oleh pemerintah tidak sesuai

dengan kebutuhan dan permasalahan riil masyarakat.

Pruit dan Rubin (2004), mengartikan konflik merupakan

persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of

interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang

berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Pada prinsipnya mereka

melihat konflik didasarkan pada perbedaan dua belah pihak saja

dengan tidak menekankan konflik multi pihak dan lebih pada

pendekatan psikologis karena keduanya merupakan ahli psikologi

sosial.

Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama

terjadi dalam bidang perekonomian, dan ia pun memperlihatkan

bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi

prestise/status dan kekuasaan politik. Segi-segi pemikiran filosofis

Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai

masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi

yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang

berkuasa.

Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan,

yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun antara lain, adalah

pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat,

kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang

dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi

terhadap gaya hidup seseorang, serta bentuk kesadaran dan berbagai

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

106

pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur

sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.

Max Weber mengistilahkan konflik sebagai suatu sistem

“otoritas” atau sistem “kekuasaan” dimana kekuasaan cenderung

menaruh kepercayaan kepada kekuasaan sedangkan otoritas adalah

kekuasaan yang dilegitimasikan, yaitu kekuasaan yang telah mendapat

pengakuan hukum. Bagi Weber, tindakan manusia didorong oleh

kepentingan-kepentingan material dan juga kepentingan-kepentingan

ideal, karena itu konflik merupakan sebuah realitas sosial yang

menyertai kehidupan sosial manusia. Dengan demikian harus disadari

pula oleh manusia bahwa tidak ada kehidupan tanpa ketegangan, tanpa

percekcokan, ataupun tanpa perang, karena konflik selalu eksis dan

hidup bersama dalam kelompok masyarakat (Wirawan, 2012: 69-70).

Dalam pandangan Dahrendorf bahwa keteraturan yang

terdapat dalam masyarakat itu disebabkan apabila adanya tekanan atau

pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Dengan

demikian kondisi keteraturan dimaksud bukan merupakan konsensus

bersama akan tetapi hanyalah sebuah instrumen kelompok super

ordinasi untuk memaksakan kehendaknya pada kelompok sub ordinasi

(Soetomo, 2015).

Melalui kajian teori konflik Dahrendorf, dia membedakan

bahwa kelompok yang bertentangan dimana kelompok yang berkuasa

selalu mempertahankan status quo sedangkan kelompok yang dikuasai

selalu berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan. Dari kondisi

tersebut sangat jelas bahwa terdapat dua kelompok yang terlibat dalam

menjalankan misinya dengan tujuan masing-masing. Kedua kelompok

yang terlibat ini dimasukkan dalam dua tipe yaitu kelompok semu dan

kelompok kepentingan, sesungguhnya kelompok semu juga memiliki

tujuan yang sama. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok

semu yang pada umumnya memiliki struktur, organisasi, program,

tujuan-tujuan serta keanggotaan yang jelas. Dua tipe kelompok ini oleh

Poloma (Soetomo, 2015), disebut dengan kepentingan laten dan

kepentingan manifes. Kepentingan laten adalah kepentingan yang

sebetulnya melekat dalam diri seseorang karena menduduki posisi

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

107

tertentu tetapi belum disadari. Saat kepentingan laten tersebut disadari

dan tampil kepermukaan dan mulai disadari adanya, maka akan

berubah menjadi kepentingan manifes.

Dalam berbagai pembahasan berdasarkan perspektif teori

konflik, konsep-konsep kepentingan laten ataupun kepentingan

manifes, kelompok semu ataupun kelompok kepentingan, posisi dan

wewenang merupakan unsur-unsur dasar yang dapat menjelaskan

bagaimana bentuk-bentuk konflik yang terjadi. Di samping itu, konflik

juga dapat mendorong perubahan dan pembangunan. Ketika dalam

situasi konflik, golongan yang terlibat khususnya yang dikuasai,

melakukan tindakan-tindakan untuk perubahan dalam struktur sosial.

Apabila konflik tersebut terjadi secara hebat, maka perubahan yang

timbulpun secara radikal. Demikian pula apabila konflik disertai

penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan semakin cepat

(Soetomo, 2015: 32).

Konflik sosial terjadi disebabkan oleh banyak hal dengan faktor

pendukung yang kompleks pula. Dalam masyarakat majemuk seperti

masyarakat Indonesia yang memiliki suku bangsa beragam di

Nusantara ini, maka terjadinya konflik karena interaksi antar suku

maupun budaya sangatlah mungkin, dengan adanya ikatan emosional

primordial dan budaya yang berbeda maka hal tersebut menyebabkan

segmentasi antar kelompok sangat kental.

Pada masyarakat yang kompleks dan heterogen, perbedaan

kekuasaan dapat dipastikan menjadi sumber konflik. Tidak hanya itu

tetapi kelangkaan sumber daya terutama sumber ekonomi di dalam

masyarakat, akan membangkitkan kompetisi di antara pelaku ekonomi

yang memperebutkannya dan bukan mustahil jika berujung pada

pertikaian karena distribusi barang tidak merata. Kelompok-kelompok

kepentingan yang berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar

tujuan berbeda dan saling bersaing. Kondisi seperti itulah yang dalam

banyak kasus menyebabkan konflik terbuka dimana kekuatan-

kekuatan saling bersaing dalam mengejar kepentingannya masing-

masing akan melahirkan mekanisme ketidakberaturan sosial (social disorder) (Wirawan, 2012).

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

108

Indonesia merupakan negara dan bangsa keempat terbesar di

dunia dengan tujuh belas ribu pulau besar dan kecil, yang terbentang

dari Sabang sampai Merauke. Maka tidak dapat dipungkiri

kompleksitasnya tidak hanya menyangkut betapa majemuknya

masyarakat Indonesia dari segi bahasa, adat istiadat, suku dan

seterusnya tetapi juga menyangkut masalah tingkat kualitas

perkembangan segmen-segmen masyarakat antara mereka yang telah

berada di wilayah yang telah jauh lebih maju dari segi teknologi

informasi dan komunikasi dengan mereka yang masih berada di

wilayah-wilayah terisolir dan jauh dari perkembangan iptek.

Ranjabar (2013), mengelompokkan sumber konflik di

Indonesia secara umum dalam lima macam yakni:

a) Konflik akan terjadi kalau suatu suku bangsa mendominasi

suatu suku bangsa yang lain secara politis. Pada tingkat yang

bersifat politis ini, konflik tersebut terjadi dalam bentuk

pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dari

sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya dalam

masyarakat. Contoh; konflik yang terjadi di Aceh dan Papua.

b) Konflik biasa terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing-

masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata

pencarian hidup. Contoh; konflik yang terjadi di Sambas,

Kalimantan Barat.

c) Konflik bisa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa mencoba

memaksakan unsur-unsur kebudayaannya kepada warga suatu

suku bangsa lain. Contoh; konflik yang terjadi di Sampit,

Kalimantan Tengah.

d) Konflik biasa terjadi kalau warga dari suatu suku bangsa

berusaha mendominasi suatu suku bangsa yang lain secara

ideologi. Pada tingkatan yang bersifat ideologis, konflik

tersebut berwujud di dalam bentuk sistem nilai yang dianut.

Contoh; konflik yang terjadi di Maluku, Kupang, Mataram, dan

Poso.

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

109

e) Potensi konflik terpendam yang ada dalam hubungan antar

suku yang telah bermusuhan secara adat. Contoh; konflik yang

sering terjadi di Papua (konflik antar suku di daerah pedalaman

Papua).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa konflik merupakan

realita hidup yang tak dapat dihindari dalam kehidupan manusia

bahkan sering bersifat kreatif. Pada dasarnya konflik selalu berawal

dari ketidaksepahaman atau tujuan yang tidak sejalan dalam kehidupan

masyarakat. Terjadinya konflik karena berbagai perbedaan sering

diselesaikan dengan damai tanpa kekerasan, sehingga dengan konflik

menghasilkan suatu keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Karena

itu konflik sangat penting pula bagi terwujudnya kondisi yang lebih

baik. Akan tetapi konflik juga dapat membawa akibat yang fatal bagi

pencapaian tujuan bersama apabila tidak terkendali bahkan menelan

korban yang tak ternilai. Dengan demikian konflik selalu bersifat

ambivalen sehingga konflik jangan dipandang hanya dari sisi negatif

saja, tetapi harus dilihat sisi positifnya pula.

Kota Salatiga memberikan peluang bagi para PKL untuk

berdagang dan mejanjikan hasil ekonomi yang lebih baik. Hal ini

terbukti dari hasil pemetaan para PKL, mereka tidak hanya berasal dari

Salatiga dan sekitarnya, melainkan banyak juga PKL yang bukan

berasal Kota Salatiga bahkan luar Jawa terutama dari etnis Minang dan

Madura. Dari kondisi tersebut jika dihubungkan dengan pemikiran

para ahli sebagaimana disebutkan di atas mengenai penyebab konflik

maka di Kota Salatiga khususnya dalam konteks PKL, yang multi etnis,

dan multi kepentingan, sudah pasti di dalamnya potensi terjadinya

konflikpun tidak dapat dihindari.

Konflik berawal dari bertambahnya jumlah PKL pendatang

dari luar sehingga dari waktu ke waktu total jumlah PKL Kota Salatiga

mengalami eskalasi secara drastis tanpa dikendalikan oleh dinas Pasar

dan PKL. Ketika jumlah yang semakin banyak maka mulailah terjadi

perbedaan kepentingan di antara para PKL lama dengan PKL

pendatang, yang bermuara pada perebutan lapak berjualan yang

mereka anggap menguntungkan dan strategis.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

110

Lokasi strategis yang diperebutkan oleh para PKL adalah lokasi

yang berada di sepanjang jalan Jenderal Sudirman (trotoar sekitar Pasar

Raya I dan II), dan jalan Taman Pahlawan. Lokasi tersebut merupakan

pusat keramaian di Kota Salatiga, karena dekat dengan pasar tradisional

yang berada di belakang Pasar Raya I dan pertokoan yang terletak di

sepanjang jalan Jenderal Sudirman.

Keterlibatan beberapa oknum dinas Pasar dan PKL menjual

lokasi strategis kepada PKL pendatang, mengakibatkan munculnya

kecemburuan dari PKL lama. Dengan kondisi tersebut maka PKL

kemudian terbagi dalam tiga kelompok besar yaitu:

a) PKL Inti

PKL Inti adalah pedagang lama yang menempati area Pasar

Raya I sebelum terjadi kebakaran baik yang berjualan di dalam Pasar

Raya atau di sekitarnya. PKL Inti terdiri dari 14 kelompok/paguyuban,

dan lokasi jualan mereka diatur atau disediakan oleh pemerintah kota.

Pengelompokan pada PKL inti dilakukan berdasarkan jenis

dagangannya, lokasi berjualanpun berdasarkan jenis dagangan seperti

PKL gula Jowo yang menempati daerah jalan Taman Pahlawan Bagian

atas dekat dengan Pasar Blauran, PKL Buah dan Bandeng berada di

jalan Taman Pahlawan.

Jumlah anggota PKL Inti sebanyak 732 orang dan mereka

mempunyai kebijakan tidak menerima anggota baru. Lokasi berjualan

PKL inti adalah sebagian jalan Kalinyamat, jalan Taman Pahlawan

sampai dengan Pasar Blauran, sebagian jalan Sukowati, dan jalan

Jenderal Sudirman depan Pasar Raya II. Dari keseluruhan jumlah PKL

inti, mereka kemudian terbagi dalam 14 paguyuban, dengan

wilayahnya masing-masing.

Tabel 4. 1 Kelompok PKL INTI

PKL INTI

Paguyuban Lokasi

1. Gemah Ripah I Jl. Kalinyamat

2. Gemah Ripah II Belakang Pasaraya II

3. Gemah Ripah III Jl. Taman Pahlawan

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

111

PKL INTI

Paguyuban Lokasi

4. PKL Sukowati Jl. Sukowati

5. Campursari Sekitar Pasaraya I

6. PKL Bandeng Jl. Taman Pahlawan dan JL. Jend Sudirman

7. PKL Buah Jl.Taman Pahlawan

8. PKL Aneka Makanan Jl Taman Pahlawan dan Jend. Sudirman

9. PKL Karak Jl. Taman Pahlawan

10. PKL Gula Jawa Pasar Blauran

11. PKL Bumbon Jl. Taman Pahlawan

12. PKL Sandal Jl.Taman Pahlawan dan Jl Jend Sudirman

13. PKL Pakaian 1000-3 Jl Taman Pahlawan dan Jl Jend Sudirman

14. PKL Sol Sepatu Jl Taman Pahlawan dan Jl Jend Sudirman.

Sumber data: FMPS 2002

b) PKL Binaan

PKL Binaan adalah pedagang yang menempati fasilitas umum

yang diperjualbelikan oleh oknum pemerintah atau perseorangan, para

oknum pegawai pemerintah dan perorangan tersebut yang mengelola

PKL ini dengan memungut uang jasa keamanan selain retribusi resmi

yang ditarik oleh pemerintah. Pada tahun 2002 terdapat 19 kelompok

PKL binaan yang teridentifikasi tersebar di sepanjang jalan Jenderal

Sudirman, jalan Langensuko, dan Taman Sari. Tidak seperti pada PKL

inti, PKL binaan pengelompokkannya sesuai jam buka jualan mereka.

Tabel 4. 2 Kelompok PKL BINAAN

PKL Binaan

Paguyuban Lokasi

1. PKL Barasakti Taman Sari

2. PKL Barokah Jl Jend Sudirman dan depan GKI

3. PKL Harapan Maju Belakang Pasaraya II

4. PKL Rass Jl Jend Sudirman, Jl Bunggur s/d Jl Pemotngan

5. PKL Sore 1 Jl Jend Sudirman

6. PKL Sore 2 Jl Langensuko

7. PKL Sore 3 Jl Jend Sudirman depan POSIS s/d depan toko Merapi

8. PKL Sore 4 Depan toko Niki Baru s/d depan Betany

9. PKL Sore 5 Depan Reksa s/d depan Toko Mahkota

10. PKL Sore 6 Depan Reksa s/d depan Kanthil

11. PKL Swakarya Depan BNI s/d Toko Merapi

12. PKL Manunggal Depan Ex Luxor

13. PKL P3LS Sopping Centre

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

112

PKL Binaan

Paguyuban Lokasi

14. PKL Mekar Sore Jl Jend Sudirman

15. PKL Bhintuka Depan Toko Ada Baru

16. PKL Setia Kawan Sopping Centre

17. PKL Gress Depan toko Green

18. PKL Langensuko Jl Langensuko

19. PKL Kaloka Bundaran Kaloka depan Mall Salatiga

Sumber data: FMPS 2002

c) PKL Non Status

PKL non Status adalah PKL yang tidak memiliki kelompok atau

paguyuban, dan lokasi jualan merekapun sering berpindah pindah

tempat. Namun ada juga PKL non status yang membetuk

kelompok/paguyuban, pada tahun 2002 teridentifikasi 12

kelompok/paguyuban PKL non status.

Tabel 4. 3 Kelompok PKL Non Status

PKL Non Status

Paguyuban Lokasi

1. PKL Jetis Perempatan Jetis

2. PKL Minang Jl. Jend Sudirman

3. PKL Madura Sekitar Pasar Rejosari (Pasar Sapi Lama)

4. PKL JendSud Jl. Jend Sudirman

5. PKL Blauran Sekitar Pasar Blauran

6. PKL Jam Jl. Jend Sudirman

7. PKL Kaloka Sekitar Kaloka

8. PKL Pemuda Jl. Pemuda

9. PKL Patimura Jl Patimura s/d pasar Sayangan

10. PKL Kartini Jl. Kartini

11. PKL Diponegoro Jl. Diponegoro s/d UKSW

12. PKL Kemiri Jl. Kemiri

Sumber Data : FMPS 2002

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah kelompok PKL

Binaan paling banyak, serta mendapat perlindungan dari oknum

pemerintah dan perorangan, hal ini membuat kecemburuan antar

sesama PKL. Para PKL lama merasa mendapat perlakuan diskriminasi

dari pemerintah, dikarenakan PKL baru dan PKL pendatang mendapat

tempat yang strategis, serta mereka jarang terkena penertiban yang

dilakukan pemerintah. Bahkan terkadang PKL lama diusir oleh oknum

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

113

pemerintah atau perorangan yang nantinya tempat tersebut dijual

kepada PKL baru/pendatang.

Kondisi tersebut memimbulkan konflik antar PKL lama dan

PKL baru yang berakibat terjadi aksi anarkis dari PKL lama dengan

merusak peralatan yang digunakan oleh PKL baru dan sebaliknya, akan

tetapi PKL baru yang didampinggi oleh oknum yang membina mereka

dan mengintimidasi PKL lama dengan tujuan mengusir dan menguasai

lokasi PKL lama.

Selain konflik karena persoalan perebutan lahan muncul pula

persaingan yang tidak sehat terjadi antar PKL lama yang merasa

tersaingi dengan PKL pendatang, beberapa kali mereka mengusir para

PKL pendatang dengan menggunakan kekerasan fisik. Kondisi tersebut

disebabkan oleh kecemburuan PKL lama terhadap PKL pendatang dari

segi permodalan yang lebih kuat dan menempati lokasi yang strategis.

Konflik yang terjadi tidak hanya antara PKL lama dan PKL

baru saja, tetapi juga terjadi antar sesama PKL pendatang yang

mempunyai kesamaan dagangan khususnya pedagang makanan.

Konflik di antara mereka berawal dari pembuangan sampah secara

sembarangan. Konflik horisontal antar para PKL ini mereka redam

sendiri ketika timbulnya kesadaran bersama mengenai tujuan dasar

mereka yaitu sama-sama mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup.

Akan tetapi suasana ketidaknyamanan terus menerus tetap dirasakan

oleh PKL karena ulah oknum-oknum tertentu yang mencari

keutungan dari kondisi carut marut tanpa adanya penyelesaian yang

kongkrit dari pihak pemerintah.

Konflik PKL dan Stakeholder

Eksistensi PKL sebagai salah satu komunitas di dalam

masyarakat tidak terlepas pula dari komunitas lain, atau kelompok

masyarakat sekitar di mana PKL tersebut berada. PKL sebagai salah

satu bentuk respon terhadap gejolak sosial dan ekonomi yang

menjawab kebutuhan mendasar manusia yakni kebutuhan ekonomi.

Pola interaksi yang terjadi untuk saling menjawab kebutuhan masing-

masing kelompok, dan dalam proses ini saling mempengaruhi satu

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

114

dengan yang lain. Namun jika hal tersebut tidak diiringi dengan

kontrol dan aturan-aturan yang jelas, maka menimbulkan dampak

negatif bagi semua pihak yang saling berinteraksi sehingga gesekan

ataupun benturan tidak dapat dihindari.

Ketika PKL menggunakan ruang publik sebagai tempat untuk

berjualan tanpa menghiraukan kepentingan komunitas dan masyarakat

lain, berakibat akses jalan dan fasilitas umum lain tertutup bagi

kepentingan pribadi maupun sosial kemasyarakatan pada lingkungan di

mana PKL berada. Kondisi tersebut menimbulkan masalah baru bagi

PKL dan semua stakeholder di dalamnya sehingga semua pihak terlibat

dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang terjadi.

Pada awalnya inisiatif untuk mencari solusi terkait eksistensi

PKL dilakukan oleh masyarakat sekitar dengan mengkomunikasi-

kannya kepada pemerintah kota sebagai pihak yang berwajib, namun

upaya ini tidak mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. Tidak ada

upaya mediasi dan pencapaian resolusi konflik oleh pemerintah kota,

hal itu mengakibatkan akumulasi kemarahan masyarakat dengan

melakukan aksi anarkis membakar gerobak atau lapak tempat jualan

PKL.

Perkembangan PKL yang pesat tidak hanya menimbulkan

konflik antar PKL tetapi juga dengan masyarakat sekitar dan

stakeholder lainnya. Berdasarkan hasil pemetaan masalah yang

dilakukan oleh FMPS terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik

dengan PKL, maka diperoleh gambaran umum pihak yang berkonflik

sebagai berikut:

Persatuan Anggota Parkir (PAP)

Kebijakan awal pemerintah Kota Salatiga dalam hal penataan

ruang kota bagi area parkiran, di bahu jalan sepanjang jalan Jenderal

Sudirman sebelah Timur, bahu jalan diperuntukkan sebagai

lahan/lokasi parkir, sedangkan wilayah sebelah Barat jalan ditempati

PKL untuk berjualan. Pergeseran kondisi dengan peningkatan jumlah

PKL yang menempati hampir setiap ruang publik yang kosong, pada

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

115

akhirnya terutama bahu jalan yang diperuntukkan lokasi parkirpun

ditempati oleh para PKL ini menjadikan ruang parkir menjadi sempit.

Para petugas parkir merasa keberadaan para PKL ini

menggangu aktivitas mereka yang berdampak menurunnya

penghasilan, sedangkan mereka juga harus mengejar jumlah uang

setoran kepada dinas perhubungan sesuai dengan tender yang

disepakati bersama. Meskipun terdapat beberapa PKL memberikan

uang ganti rugi sebagai bentuk kompensasi, selama mereka menempati

ruang parkir namun nilainya terlalu kecil hanya Rp 1.500/hari.

Pola yang dipakai PKL ketika menempati mereka menempati

ruang parkir pada awalnya mereka hanya menggelar dagangan di atas

kain atau terpal dengan ukuran 1m x 2m, seiring dengan

perkembangannya lama kelamaan berubah menjadi gerobak, lalu

menjadi tenda bongkar pasang, dan membawa pulang dagangan serta

membongkar peralatan dan fasilitas untuk dibawa pulang. Sampai pada

tahapan ini petugas parkir dimana PKL berjualan masih toleran dengan

tindakan mereka.

Dalam proses pemetaan masalah yang dilakukan FMPS tahun

2002 ditemukan bahwa seiring dengan perkembangan usahanya, para

PKL tidak lagi mengindahkan waktu jualan, mereka berjualan mulai

dari pagi sampai malam. Namun ketika tenda bongkar pasang tersebut

tidak lagi dibongkar beserta gerobak ditinggal PKL setelah usai

berjualan, pada situasi yang demikian menimbulkan kemarahan

petugas parkir. Adu mulutpun terjadi antara PKL dengan tukang parkir

pada setiap hari akan tetapi konfliknya tidak sampai pada kekerasan

fisik.

Konflik antara PKL dan tukang parkir dapat dimediasi melalui

komunikasi antara PKL yang berjualan di wilayah parkiran dengan

tukang parkir. Hal tersebut dapat berjalan dengan baik karena petugas

parkir juga diuntungkan dengan adanya PKL, sebab banyak

pengunjung yang datang membeli dagangan para PKL (yang menjual

makanan, seperti mie ayam, bakso, dan lainnya) menggunakan

kendaraan. Tetapi sebagian petugas parkir tetap tidak setuju dengan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

116

keberadaan PKL di lokasi parkir, sehingga potensi konfliknya tetap ada

ketika terjadi perbedaan pendapat.

Paguyuban Pengemudi Becak Salatiga (PPBS)

Becak sebagai salah satu alat transportasi dalam kota

merupakan salah satu stakeholder yang dipengaruhi bahkan terusik

keberadaannya oleh kehadiran PKL. Becak banyak dipilih oleh

masyarakat dengan mempertimbangkan kapasitas muatan dan ruang

jangkau yang dapat menjangkau sampai di lorong-lorong kecil di

beberapa wilayah dalam kota.

Kondisi yang sama terjadi pada PKL yang bejualan di lokasi

pangkalan becak, para PKL menempati wilayah pangkalan membuat

para pengemudi becak marah, PKL ini tidak memberi uang pengganti

kepada para pengemudi becak, seperti yang dilakukan PKL di area

parkir. Lokasi pangkalan becak yang di gunakan oleh PKL meliputi;

jalan Bungur, jalan Taman Sari, jalan Progo, sekitar Pasar Raya I dan II

dan pasar Blauran.

Para pengemudi becak dirugikan tetapi mereka tidak sampai

bertindak melalui adu fisik seperti yang terjadi pada stakeholder

lainnya, konflik yang terjadi hanya sebatas adu mulut karena aktivitas

mereka terganggu dengan kehadiran PKL di lokasi mangkal becak.

Para pengemudi becak secara organisasi tidak mau terjadi konflik

terbuka dengan PKL karena perimbangan rasa, lagi pula tidak ada

untungnya konflik ketika mencari nafkah.

Pedagang Pasar

Keberadaan PKL saat itu mengancam para pedagang pasar

secara ekonomi dengan kesamaan jenis dagangan dan lokasi berjualan.

Lokasi pedagang pasar terletak di dalam Pasar Raya I yang mempunyai

bangunan dua lantai, pada lantai satu terdapat pedagang pakaian,

sembako, makanan kering dan warung makan. Pada lantai dua terdapat

pedagang daging, bumbu dapur, sayuran, pakaian, dan terdapat juga

warung makan. Para pedagang pasar ini menempati kios/los yang

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

117

mereka sewa sesuai dengan pembagian jenis dagangan juga mempunyai

surat ijin berjualan yang diterbitkan oleh dinas Pasar dan PKL.

Gambar 4. 2 PKL Pakaian di Depan Pasar Raya II

Lokasi PKL yang berada di sekeliling Pasar Raya I memiliki

persamaan barang dagangan membuat omzet para pedagang pasar

menurun, sebab konsumen lebih memilih untuk membeli kebutuhan

mereka di luar (PKL) dari pada mereka masuk dan naik ke dalam Pasar

Raya. Berkerumunnya para PKL di depan jalan menuju Pasar Raya I

menyebabkan jalan sempit dan padat sehingga menutup akses jalan

masuk menuju ke dalam Pasar Raya I.

Berdasarkan kondisi pasar tersebut maka para pedagang Pasar

Raya I menyampaikan nota protes ke pemerintah kota dan legislatif,

namun tidak ada respon positif dari mereka dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi pedagang pasar. Melihat kenyataan bahwa

aspirasi mereka tidak direspon oleh pemerintah maka terjadilah konflik

dengan para PKL di sekitar jalan masuk. Para pedagang pasar yang

tidak sabar karena lambatnya penanganan pemerintah dalam

penertiban PKL , maka para pedagang Pasar Raya I beramai-ramai

mengusir PKL yang ada di jalan masuk kemudian merekapun

memPKLkan diri, dengan menempati lokasi PKL sebelumnya yang

telah mereka usir bersama-sama (FMPS 2002).

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

118

Pedagang Toko

Permasalahan yang dialami oleh pedagang toko sama dengan

pedagang pasar. Pedagang toko di beberapa tempat seperti jalan

Jenderal Sudirman, Jalan Letjen Sukowaty, dan jalan Patimura merasa

terganggu dengan adanya PKL yang melakukan aktivitas di depan toko

mereka dikarenakan, PKL mempersempit akses jalan menuju toko dan

bagian depan toko tertutup oleh dagangan PKL. Masalah lainnya yaitu

selain menempati trotoar jalan yang berada di depan toko, yaitu

terdapat kesamaan jenis barang dagangan yang dijual antara PKL

dengan pedagang toko seperti: kaos kaki, ikat pinggang, dompet, dan

pakaian.

Gambar 4. 3 PKL Asesoris di Depan Toko Kelontong Jalan Jenderal Sudirman

Adanya kesamaan jenis barang yang dijual PKL dan pedagang

toko maka kondisi tersebut berdampak signifikan pada pendapatan

pedagang toko. Pengaruh paling besar adalah pada harga jual barang

dimana barang dagangan PKL lebih murah, dan kualitasnya yang

hampir sama sehingga konsumen lebih memilih berbelanja pada PKL

dibanding masuk ke dalam toko. Dari hari ke hari konflikpun terus

meningkat, pada awalnya hanya terjadi adu mulut tetapi lama-

kelamaan terjadi adu fisik. Ketika akses masuk ke toko terhalang

barang dagangan para PKL yang semakin bertambah dari waktu ke

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

119

waktu, maka PKL dianggap sengaja menghalangi para pembeli untuk

menjangkau barang dagangan penjual toko yang berada di dalam.

Situasi yang semrawut di depan toko membuat pemilik toko

menjadi tidak nyaman dalam melakukan aktivitas bisnis setiap hari,

sehingga mereka berharap pemerintah dengan segera membenahi para

PKL. Akan tetapi harapan mereka tidak kesampaian karena lambatnya

penanganan pemerintah kota bahkan dapat dibahasakan bahwa kondisi

tersebut menguntungkan bagi pihak tertentu sehingga sengaja

dipelihara sebagai obyek pendapatan.

Masyarakat Pengguna Fasilitas Umum

Masyarakat pejalan kaki juga merasa terganggu dengan adanya

PKL ini, hal tersebut di karenakan, trotoar yang semestinya digunakan

untuk pejalan kaki telah beralih fungsi menjadi tempat berjualan PKL,

bahkan tidak jarang PKL menggelar dagangan menutupi trotoar,

sehingga para pejalan kali harus berjalan melewati bahu jalan. Di

kawasan Kaloka kondisi jalan menjadi sempit karena bukan hanya

trotoar yang dipakai berjualan tetapi juga sebagian bahu jalan

digunakan untuk menggelar dagangan PKL, sehingga wargapun tidak

leluasa melakukan aktivitasnya.

Para pengguna kendaraanpun merasa terganggu karena jalan

yang semakin sempit dan mengakibatkan kemacetan lalu lintas,

sehingga merekapun kesulitan mencari lokasi parkir yang dekat

dengan tujuan mereka. Pada umumnya mereka mencari tempat parkir

yang dekat dan mudah dijangkau, sehingga aktivitasnya dapat berjalan

dengan cepat, selain itu mereka juga kesulitan saat membawa barang

belanjaan jika dalam jumlah yang banyak apabila parkirannya jauh

serta tidak nyaman.

Masyarakat yang Berdomisili Dekat PKL Berjualan

Masyarakat yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang

lingkungan tempat tinggal mereka berdekatan dengan PKL (seperti

warga Pancuran, Pungkursari, Kalioso, Kalicacing dan Kalitaman).

Konflik PKL dengan masyarakat ini lebih terbuka seperti yang terjadi

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

120

di jalan Taman Pahlawan, pada tahun 2002 warga membakar dan

merusak gerobak PKL yang menutup jalan masuk dari jalan Taman

Pahlawan menuju ke pemukiman mereka (FMPS 2002).

Munculnya PKL yang tidak terkendali berarti menimbulkan

masalah tersendiri bagi lingkungan sekitar seperti, kawasan

pemukiman penduduk menjadi kotor, serta banyaknya sampah

dibuang ke sungai yang melintas wilayah Pancuran4 dan Kalitaman,

sampah tersebut membuat wilayah tersebut terlihat kotor, dan terjadi

banjir apabila musim penghujan tiba. Selain itu apabila petugas

kebersihan terlambat mengambil sampah akan menimbulkan bau yang

tak sedap di sekitar pemukiman mereka.

Pedagang Kaki Lima di Mata Stakeholder

Persoalan yang muncul antara PKL dan stakeholder tidak

terlepas dari bagaimana mereka memandang PKL itu sendiri, dengan

kehadiran PKL maka terdapat keuntungan dan persoalan yang

mengikuti. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa stakeholder,

berikut mereka menuturkan pandangan mereka tentang PKL:

1. Pengertian PKL menurut masyarakat sekitar adalah: (Sri Sugeng

Utomo, Jl. Talangtirto I RT 02)

“Pedagang kecil yang tak bermodal dan ingin bekerja sesuai dengan profesinya, serta memiliki dampak secara langsung maupun tidak langsung mengurangi pengangguran dan penciptaan lapangan kerja. Secara umum kehadiran PKL memiliki keuntungan juga kerugian terhadap aktivitas kami. Kehadiran PKL dalam segi sosial ekonomi tidak merugikan, mereka tidak merugikan kami asal tidak mengganggu ketertiban umum, sedangkan kerugiannya yaitu apabila aktivitas PKL tidak terkendali sangat mengganggu aktivitas orang banyak sebagai pengguna ruang publik.”

4 Wilayah dukuh Pancuran di tengah kota Salatiga, wilayah tersebut merupakan daerah dengan pemukiman yang padat, serta dikelilingi oleh pasar dan PKL.

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

121

2. Sedangkan menurut kelompok tukang parkir: (Sudaryanto, Jl. Talang

Tirto 707A, Pancuran)

“PKL adalah salah satu sumber perekonomian masyarakat dan sebagai salah satu komunitas yang menopang pendapatan asli daerah (PAD). Bagi tukang parkir kehadiran PKL mengurangi pendapatan mereka karena walaupun mereka membantu setoran, tetapi tetap mengurangi pendapatan. Alasan mendasar kerugian yang diakibatkan eksistensi PKL bagi kelompok parkir yaitu apabila lokasi berjualan tidak ditempati PKL maka tempat dimaksud pasti ditempati oleh pemakai jasa parkir.”

3. Paguyuban Pedagang Pasar Raya I Salatiga mendefinisikan PKL

sebagai: (M. Hamid; Jl. Sonotirto No. 675)

“PKL adalah singkatan dari Pedagang Kaki Lima dengan posisinya di Salatiga, dimana mereka memiliki kontribusi ke Pemkot Salatiga sekalipun PAD-nya tidak sebesar kota-kota lainnya sehingga PKL menjadi anak emas di kota ini. Kerugian bagi kami adalah posisi PKL yang bebas bergerak dia bisa menempati posisi-posisi strategis, sehingga pedagang eksis merasa dirugikan karena pembeli sepi, PKL berjualan mata dagangan yang sama, padahal pedagang eksis lebih banyak dikenai pajak, retribusi dan lain-lain sedangkan pembeli lebih suka berbelanja pada PKL yang keberadaannya strategis, gampang dijangkau pembeli, sedangkan keuntungan dari kehadiran mereka adalah membuat suatu tempat menjadi ramai dengan pengunjung pasar.”

4. Paguyuban Pengemudi becak Salatiga (PPBS) mereka

mendefinisikan PKL sebagai: (Sutiyo; ketua umum PPBS Salatiga;

Bulu, Tegalrejo RT 2 RW 6)

“PKL adalah pedagang yang keliling maupun yang mangkal, mereka merupakan elemen masyarakat yang ingin menjadi masyarakat yang baik, mau bekerja keras, menghasilkan pendapatan daerah dari retribusi ke Pemkot. PKL merugikan kalau berjualannya di trotoar karena aktivitas mereka mengganggu pejalan kaki. Kehadiran mereka menguntungkan karena ketika membutuhkan sesuatu bisa membeli barang tidak jauh dari tempat tinggal masyarakat.”

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

122

5. Paguyuban Penjual Jasa Sol Sepatu mendefinisikan PKL sebagai:

(Mun'im Hasyim Jl. Johar 17a)

“PKL adalah masyarakat pasar yang sangat berperan penting dalam menjalankan aktivitas atau sangat erat hubungannya dengan pasar itu sendiri, PKL mendukung keramaian pasar. Kerugian yang diakibatkan oleh kehadiran mereka yaitu keindahan dan ketertiban lingkungan terkontaminasi dengan kesemrawutan PKL, sedangkan keuntungannya bagi masyarakat adalah lokasi bertransaksi sangat dekat dan tidak membutuhkan waktu lama dalam membeli kebutuhan keseharian.”

6. Pedagang “Pok Mas Mandri”, RW IV Kalicacing: (Corriyati Mh Jl.

Tanjung No.14)

“PKL adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang menampung semua keluh kesah dan kesulitan serta ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi rintangan dalam masalah ekonomi mereka dan PKL juga memberi solusi yang terbaik untuk kami khususnya para pedagang. Keuntungan eksistensi PKL ikut meramaikan kota sehingga masyarakat dapat ikut nimbrung usaha (ikut berjualan) harga lebih rendah jika bisa menawar. Kerugian yang ditimbulkan adalah ketertiban dan kebersihan kota memprihatinkan dengan semrawutnya aktivitas PKL, selain itu mengganggu pejalan kaki dan pengguna jalan lain, sehingga rawan kecelakaan.”

7. Kelompok PKL Gras (Guyub Rukun Agawe Santosa): (M. Hefni

Hariyadi Jl. Johar 36 Salatiga)

“PKL adalah pedagang yang paling bawah dan berekonomi lemah, mereka adalah orang pinggiran yang ingin mencukupi kebutuhan hidupnya secara halal dengan cara jualan di trotoar, bahu jalan, halte bus, karena mereka tidak ada kemampuan untuk membeli kios atau toko. Kerugian dari keberadaan PKL yaitu banyak yang belum terorganisir, mengakibatkan PKL belum bisa tertib, contohnya pembuatan tenda dan pembuatan box, keduanya tidak sama ukurannya antar PKL sehingga memakan lokasi. Keuntungannya adalah meningkatnya jumlah pengunjung karena sebelum ada PKL lokasi jualan sepi tetapi setelah ada PKL jadi ramai.”

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

123

8. Kelompok Harapan Maju: (Usu Supriyadi; Sruwen 3)

“PKL adalah orang yang mencari nafkah dengan berjualan di tempat yang mereka anggap strategis dan dilalui orang. Kerugian diakibatkan karena para pedagang tersebut tidak mempunyai kesadaran untuk menjaga lingkungan kebersihan dan kerapihan sehingga pemandangan terasa kumuh dan juga mengganggu jalan. Keuntungan dengan adanya PKL memudahkan untuk berbelanja dengan harga yang murah, sehingga akan menghemat biaya dan waktu. Selain dengan adanya PKL akan menambah keramaian di lingkungan tersebut, dengan catatan PKL itu dapat menata diri sendiri dengan rapi dan aman dan juga mereka harus dapat menjaga kebersihan lingkungannya.”

Berdasarkan pengertian ataupun pemahaman tentang apa dan

siapa PKL serta keuntungan juga kerugian dari eksistensi PKL, maka

penulis memiliki gambaran bahwa masyarakat luas telah mengenal dan

memahami secara baik apa atau siapa PKL yang sesungguhnya. Dengan

demikian ketika proses partisipasi digerakkan maka hal tersebut

merupakan wujud empati terhadap PKL untuk menjalankan

aktivitasnya secara baik tanpa merugikan pihak lain.

Forum Masyarakat Peduli Salatiga (FMPS) sebagai Respon

terhadap Penggusuran PKL

Berawal dari berbagai permasalahan di masyarakat dan juga

penggusuran terhadap PKL tersebut di atas, ternyata menggugah

beberapa orang yang merasa kondisi tersebut harus disikapi secara

serius. Mereka tergerak membantu memecahkan permasalahan

tersebut melalui tindakan nyata demi kebaikan semua pihak. Maka

berkumpulah beberapa orang yang perduli melakukan diskusi tentang

bagaimana penyelesaian permasalahan tersebut. Dalam diskusi tersebut

mereka merencanakan pertemuan selanjutnya dengan menghadirkan

elemen-elemen masyarakat terkait lainnya.

Akhirnya pertemuan berikutnyapun dilaksanakan dan sebagai

hasil dari diskusi awal pemetaan permasalahan masyarakat Kota

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

124

Salatiga, yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai elemen

masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh pemuda, organisasi

masyarakat non pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan

kondisi kota saat itu. Dari hasil diskusi kecil tersebut terumuskan isu

sentral yang membutuhkan penanganan dan perhatian khusus, yaitu

membantu rencana pemerintah kota dalam melakukan penataan PKL

di Kota Salatiga. Fokus isu ini diangkat dengan pertimbangan bahwa

permasalahan PKL sangat kompleks dalam hubungan dengan

kelompok atau elemen masyarakat lain, dan paling penting adalah

perlu adanya kebijakan pemerintah Kota Salatiga melalui penetapan

peraturan daerah.

Partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat di Kota Salatiga

sangat dibutuhkan untuk mengkomunikasikannya secara baik dengan

pihak pemerintah, sehingga proses perencanaan dan perumusan sebuah

kebijakan lebih mengedepankan kepentingan publik sebagai prioritas

utama. Untuk mewujudkan dan memperjuangkan kepentingan publik

tersebut, menuju tatanan ideal yang diharapkan maka dibutuhkan

sebuah wadah bersama yang dapat mengakomodir semua aspirasi dari

berbagai pihak.

Dari pemikiran beberapa orang di atas kemudian mereka

membangun jaringan bekerja sama dengan lembaga studi kesetaraan

aksi dan refleksi (LSKaR), pada tanggal 13 Juni 2002 bertempat di jalan

Menur No. 38 Salatiga, mengundang masyarakat yang perduli akan

kondisi tersebut maka, terbentuklah sebuah forum bersama yang

bernama Forum Masyarakat Peduli Salatiga (FMPS). Forum ini bersifat

non partisan, independen, sensitif gender, menjunjung tinggi hak-hak

asasi manusia dan non profit.

Hasil yang ingin dicapai oleh forum ini adalah adanya

peraturan daerah tentang pengaturan PKL yang pembuatannya, mulai

dari rencana sampai dengan pemberlakuannya melibatkan semua

elemen masyarakat, sehingga dapat tercipta tatanan masyarakat yang

rapih dan harmonis. Dari sinilah kemudian terbangun komunikasi ke

semua pihak baik PKL dan semua stakeholder sampai dengan

pemerintah kota dan legislatif.

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

125

Visi forum ini adalah terwujudnya partisipasi masyarakat

dalam setiap kebijakan publik dan pengelolaan lingkungan hidup

dengan bertumpu pada nilai-nilai partisipasi, HAM, dan kesetaraan.

Sedangkan misinya adalah:

1) Mengembangkan dialog-dialog di dalam masyarakat melalui

pengorganisiran dan transformasi nilai-nilai demokrasi

partisipasi.

2) Melakukan penguatan pada masyarakat melalui advokasi terpadu

permasalahan sosial dan lingkungan hidup.

3) Bersama masyarakat memformalisasikan dan mengkampanyekan

rumusan-rumusan kebijakan altenatif yang berbasis pada

kebutuhan dan persoalan-persoalan di masyarakat.

4) Menstrukturkan pengalaman-pengalaman yang sudah dilakukan

sebagai materi pendidikan populer bagi masyarakat.

5) Mengembangkan teknologi tepat guna bagi pengelolaan

lingkungan hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sebuah organisasi

kemasyarakatan yang bergerak dalam permasalahan sosial khususnya

pendampingan terhadap PKL, FMPS menyusun sebuah kepengurusan

yang terdiri dari anggota masyarakat. Berikut struktur organisasi

FMPS;

Koordinator : Alexander Joko Sulistyo

Sekertaris : 1. Puji Sari

2. Rustamaji Wibowo.

Bendahara : Siti Khotidjah.

Humas : S Daryanto

Siti Suryanti

M Yani

Santo Handoyo

Hendro Wijayanto

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

126

Peran FMPS

FMPS menyadari bahwa permasalahan PKL apabila tidak

segera ditangani secara cepat dan tepat, maka akan meluas menjadi

sebuah konflik terbuka dan mengakibatkan korban harta benda

maupun korban jiwa. Munculnya konflik PKL versus PKL, serta PKL

versus masyarakat menjadi alasan kuat bagi FMPS untuk melakukan

advokasi kebijakan publik yang terkait dengan eksistensi PKL ini.

Pekerjaan ini tidaklah mudah dikarenakan anggota FMPS tidak ada

yang menjadi PKL serta mengetahui situasi dan kondisinya, untuk itu

perlu dilakukan studi terhadap pokok permasalahan secara

komperehensif.

FMPS adalah forum yang bersifat independen, artinya tidak

ada keberpihakan terhadap siapapun, jadi dalam kasus ini FMPS lebih

fokus pada pekerjaan sebagai tim fasilitator dan mediator antara PKL,

masyarakat, stakeholder, dan pemerintah. Dari kerja seperti itulah

FMPS dapat mengidentifikasi berbagai persoalan yang terjadi di

lapangan sehingga proses mediasipun dapat berjalan dengan baik ketika

ada persoalan.

Dalam beberapa waktu silam mereka merasa tidak mendapat

dukungan dari pihak manapun maka, PKL merespon positif kehadiran

FMPS ini, mereka merasa dengan adanya forum dimaksud maka

persoalan mereka dapat dijembatani. PKL berharap dengan adanya

forum ini masalah penggusuran dan konflik di antara mereka serta

masyarakat sekitar dapat segera terselesaikan. Kondisi tersebut dapat

terlihat disaat FMPS melakukan pendataan ataupun dialog di lapangan

dengan para PKL, mereka sangat antusias merespon pertanyaan dari

anggota FMPS dan bersedia menjadi bagian dari tim kerja forum.

Respon Masyarakat terhadap Keberadaan FMPS

Anggota dari FMPS berasal dari kalangan masyarakat dengan

berbagai profesi yang peduli terhadap pemasalahan yang terjadi di kota

Salatiga. Kehadiran forum ini ternyata sangat direspon positif oleh

berbagai pihak dan hal itu dapat dibuktikan melalui dukungan

masyarakat di lingkungan sekitar di mana PKL berada. Masyarakat

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

127

sangat mendukung kerja-kerja FMPS, hal tersebut dapat dilihat dari

kesediaan mereka ketika FMPS membutuhkan tempat untuk diskusi

dengan PKL maka tempatnya selalu disiapkan oleh masyarakat sekitar

(balai dukuh Pancuran dan gedung serba guna PLN).

Keperdulian masyarakat tidak hanya sebatas penyediaan

tempat diskusi saja melainkan kebutuhan konsumsi juga mereka

sediakan. Kontribusi terhadap kerja FMPS tidak hanya dari masyarakat

sekitar lokasi PKL saja, tetapi masyarakat yang domisilinya jauh dari

aktivitas PKLpun ikut memberi kontribusi berupa uang dalam jumlah

yang tidak besar tetapi cukup untuk membeli konsumsi disaat

pertemuan. Sumbangan mereka sangat berarti bagi FMPS karena

forum ini bersifat non profit sehingga dalam operasional

kegiatannyapun bersifat swadaya dan sumbangan sukarela dari pihak-

pihak yang peduli dengan kondisi saat itu.

Pekerjaan pertama yang dilakukan FMPS adalah memediasi

pertemuan antara PKL dan masyarakat wilayah Pancuran pasca aksi

anarkis yang dilakukan para warga terhadap PKL di jalan Taman

Pahlawan. Dialog lewat musyawarah bersama adalah salah satu bentuk

upaya penyelesaian masalah. Dalam musyawarah tersebut FMPS

mengundang kelompok PKL Gemah Ripah I dan lembaga kepemudaan

Pancuran, PKL Gemah Ripah I adalah kelompok PKL Inti yang

eksistensinya diketahui dan diakui oleh pemerintah.

Dari musyawarah tersebut menghasilkan kesepakatan bersama

antara PKL dengan warga Pancuran. Kesepakatan tersebut berupa:

pertama, PKL boleh berjualan tetapi tidak boleh menutup akses jalan

menuju ke pemukiman warga. Kedua, setelah selesai berjualan lokasi

harus dibersihkan (bongkar tenda). Ketiga, PKL tidak boleh membuang

sampah di sungai yang mengalir ke wilayah pemukiman warga.

Keempat, tidak diperbolehkan meninggalkan sampah setelah selesai

berjualan, karena itu masing-masing PKL bertanggung jawab penuh

pada kebersihan lokasi jualan. Kelima, pada saat berjualan PKL boleh

mengambil air di hidran umum yang berada di wilayah Pancuran.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

128

Setelah terlaksana kesepakatan antara PKL dengan warga

Pancuran suasana berjualan PKL lebih tenang. Mereka dapat

berinteraksi dengan baik, dan masing-masing pihak mentaati

kesepakan yang mereka buat sehingga saling menguntungkan masing-

masing pihak. Kepedulian warga terhadap PKL juga terlihat pada saat

PKL menyampaikan nota protes ke pemerintah. Nota protes tersebut

disampaikan kepada pemerintah dikarenakan pada saat dialog dengar

pendapat pada tanggal 16 Juli 2002 pemerintah berjanji tidak akan

melakukan penggusuran sampai ada peraturan yang sah (PERDA).

Akan tetapi dua hari setelah itu tanggal 19 Juli 2002 pemerintah

melakukan operasi penggusuran di wilayah jalan Pattimura dan pasar

Blauran.

Sebagai respon dari penggusuran tersebut maka pada esok

harinya tanggal 20 Juli 2002 pagi hari tanpa ada rencana dan komando

dari manapun para PKL, pedagang pasar, dan para warga masyarakat

didampingi oleh FMPS, berjumlah sekitar 1000 orang beramai-ramai

berjalan kaki menuju kantor Walikota untuk menyampaikan nota

protes. Kepedulian di antara para pedagang dan warga masyarakat

sekitar adalah salah satu hasil kerja FMPS, karena pada setiap

pertemuan selalu ditekankan untuk saling peduli dan bersatu. Nota

protes yang disampaikan kepada pemerintah diterima oleh Wakil

Walikota dan direspon baik, serta ditindak lanjuti dengan menegur

kepala dinas terkait. Setelah kejadian tanggal 20 Juli 2002 tersebut,

pada hari-hari berikutnya tidak lagi terjadi penggusuran yang

dilakukan pemerintah melalui dinas Pasar dan Satpol PP.

Paguyuban Pedagang Kaki Lima Salatiga sebagai Wadah

Bersama PKL

Banyaknya PKL beserta kelompoknya membuat keadaan

semakin rumit, dikarenakan para PKL mementingkan kepentingan diri

sendiri beserta kelompoknya. FMPS menyadari hal tersebut maka

perlu dibuat sebuah payung besar yang menyatukan seluruh PKL se-

Salatiga sehingga benturan internal PKL dapat dihindari. Selain

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

129

benturan kepentingan dalam kubuh PKL sendiri dapat dihindari, di sisi

lain PKL terorganisir secara baik sehingga setiap masalah yang terjadi

dapat diredam ataupun diminimalisir sehingga tidak berkembang

menjadi konflik yang berdampak luas.

Masing-masing kelompok paguyuban PKL melakukan

pertemuan rutin setiap bulan. Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk

membahas perkembangan aktivitas mereka dan saling bertukar

informasi tentang fluktuasi harga, kondisi terkini di lapangan serta

pelaksanaan arisan kelompok. Pertemuan tersebut dilakukan secara

anjangsana di rumah anggota kelompok, kesempatan tersebut

kemudian digunakan oleh FMPS untuk melakukan sosialisasi tetang

pembentukan paguyuban yang menaungi kelompok-kelompok PKL se-

Salatiga. Dari sosialisasi tersebut ternyata mendapat sambutan positif

dari semua kelompok sehingga merekapun memberi ruang bagi FMPS

dalam setiap pertemuan rutin kelompok.

Semangat mengorganisir PKL menjadi paguyuban yang lebih

besar tersebut menjadi lebih mudah direalisasikan oleh FMPS, karena

setiap pertemuan bulanan yang dilakukan oleh kelompok PKL pada

bulan Juni tahun 2002, mereka selalu saja mengundang FMPS untuk

hadir. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh FMPS dengan

melakukan sosialisasi tentang pentingnya persatuan antar PKL, dan

mereka juga memahami bahwa pembentukan paguyuban yang lebih

besar adalah kebutuhan untuk menjaga kelangsungan eksistensi

mereka.

Berdasarkan kesepakatan bersama melalui pertemuan-

pertemuan intens antara FMPS dan kelompok-kelopok PKL maka pada

bulan Juli 2002 terbentuklah sebuah paguyuban untuk menaungi

seluruh kelompok PKL se-Salatiga, yang diberinama Paguyuban

Pedagang Kaki Lima Salatiga (PPKLS) dipimpin oleh seorang

pensiunan pegawai negeri sipil, dan bukan dari kalangan pelaku

usaha(PKL).

Ketua yang dipilih secara aklamasi tersebut memiliki

pengalaman dalam mengatur PKL karena beliau saat masih aktif

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

130

sebagai PNS pernah menangani dinas pasar Kota Salatiga yang

kemudian dimutasi ke Kota Lampung. Kepemimpinanya di PPKLS

hanya berlangsung selama kurang lebih 1(satu) bulan lamanya

dikarenakan ketua PPKLS mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif

Kota Salatiga. Para PKL merasa dimanfaatkan oleh pimpinan PPKLS

untuk mendapatkan suara dalam pileg tersebut, yang pada akhirnya

suasana dalam PPKLS tidak kondusif. PPKLS tidak lagi

memperjuangkan aspirasi anggotanya, tetapi lebih fokus pada

kepentingan ketuanya saja. Pada akhirnya ketua PPKLS terpilih

mundur karena kehilangan kepercayaan dari para anggotanya. Para

anggota kemudian secara aklamasi kembali menunjuk salah satu

pengurus dari PPKLS untuk mengisi kekosongan pimpinan.

Pemimpin baru adalah seorang PKL yang sebelumnya menjabat

sebagai sekertaris PPKLS, akan tetapi beliau dalam kepemimpinannya

tidak dekat dengan para anggota. Keadaan tersebut membuat kondisi

PPKLS menjadi tidak stabil karena apa yang diharapkan dari

pembentukan wadah tersebut tidak tercapai. Setelah 3 bulan terbentuk

PPKLS kemudian tidak lagi berjalan sesuai fungsi awal dan pada

akhirnya wadah tersebut bubar tanpa berita.

Melihat kondisi yang demikian maka FMPS mengambil alih

fungsi dari PPKLS dengan cara membagi menjadi 6 (enam)

kelompok/sektor, hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan jumlah

PKL yang banyak. Sektor yang dibuat tidak berdasarkan kelompok-

kelompok dan jenis dagangan PKL, akan tetapi dengan membagi

wilayah/area lokasi PKL berjualan, jadi ada pula PKL yang berada

dalam satu paguyuban/kelompok tetapi sektornya berbeda5. Masing-

masing sektor dipimpin oleh salah satu PKL yang berjualan pada

wilayah sektor tersebut dan hal ini memudahkan FMPS untuk

mengontrol PKL baru yang berdagang di wilayah sektor tersebut.

Kebijakan untuk mengurangi jumlah PKL baru yang dilakukan

disemua sektor adalah dengan tidak menerima anggota baru lagi, tetapi

5 Pengalaman terjadi di kelompok Gress ada anggotanya berjualan di sisi barat Jl Jend. Sudirman berada dalam sektor 2 dan yang berjualan di sisi timur jalan masuk dalam sektor 4.

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

131

apabila ada anggota yang keluar atau tidak berjualan lagi maka

lokasinya bisa di gunakan oleh PKL baru. Kebijakan yang diterapkan

pada masing-masing sektor tersebut berdampak signifikan pada jumlah

PKL di Salatiga, laju pertumbuhan jumlah PKL dapat diredam sehingga

tidak bertambah banyak seperti yang terjadi sebelumnya. Dampak lain

yang ditimbulkan dari kebijakan dimaksud adalah konflik yang terjadi

antar PKL akibat perebutan lapak dan masalah bawaan lainnya tidak

terjadi lagi. Kondisi tersebut menunjukkan sebenarnya PKL bisa

menata diri sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

Adapun pembagian sektor sesuai kebijakan FMPS adalah sebagai

berikut: Sektor 1 adalah PKL yang berjualan di sepanjang jalan Jenderal

Sudirman-Pasar Raya II, jalan Langensuko dan seputar Tamansari, yang

diketuai oleh bapak Sutanto (Mie Ayam depan BNI). Sektor 2 adalah

PKL yang berjualan di sepanjang jalan Jenderal Sudirman sebelah barat

mulai dari toko Ada Baru sampai jalan Sukowati, yang diketuai oleh

bapak Susiyanto (klitikan depan toko Sweet Shop). Sektor 3 adalah

PKL yang berjualan di seputar pasaraya 1 dan jalan Jenderal Sudirman

sebelah Timur sampai pertokoan Mahkota Rama dan seputar Pasar

Raya I yang diketuai oleh bapak Kunyi Ali (martabak depan toko Mas

Gajah). Sektor 4 adalah PKL yang berjualan di sepanjang jalan Taman

Pahlawan sampai pasar Blauran dan seputar parsaraya II, yang diketuai

oleh ibu Yarti (pakaian depan Kios Hasil). Sektor 5 adalah PKL yang

berjualan di sepanjang Jalan Pattimura, jalan Diponegoro, jalan Kartini

dan Kemiri, yang diketuai oleh bapak Maskuri Sumarto (es campur

depan Kaloka). Sektor 6 adalah PKL yang berjualan di Lapangan

Pancasila, Pasar Jetis dan Pasar Rejosari (pasar sapi lama) yang diketuai

oleh bapak Tugi (tahu campur depan kantor Samsat).

Dengan adanya sektor-sektor tersebut diharapkan kondisi PKL

dapat terkontrol dengan mudah. Metode sektor yang digunakan oleh

FMPS ini terbukti efektif untuk melakukan pendekatan terhadap PKL

guna mendapatkan informasi tentang kondisi riil PKL. Masing-masing

sektor membuat aturan sendiri yang disepakati oleh para anggota.

Meskipun terdapat sektor akan tetapi hal tersebut tidak mematikan

kelompok atau paguyuban PKL yang ada.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

132

FMPS Membangun Komunikasi dengan Pemerintah

FMPS tidak hanya melakukan pendekatan melalui dialog

dengan PKL saja, akan tetapi juga dengan pemerintah. Salah satu upaya

yang dilakukan FPMS dalam membangun komunikasi intens dengan

pemerintah adalah pada saat melakukan pertemuan FMPS dengan PKL

selalu mengundang pihak pemerintah, dengan harapan kedua belah

pihak bisa saling bertukar informasi sehingga kedua belah pihak

memperoleh informasi yang akurat berimbang tanpa menimbulkan

kecurigaan. Bagaimana membangun upaya komunikasi yang baik dapat

kita ikuti penjelasan bapak Hendro salah satu pengurus FMPS berikut

ini.

“Kami membangun komunikasi dengan pemerintah adalah sebuah upaya untuk meminimalisir tindakan penggusuran terhadap para PKL karena selama ini kesannya pemerintah tidak mendampingi PKL secara baik sehingga PKL tidak dapat diarahkan secara bijaksana dalam menempati wilayah kota. Strategi kami adalah mencoba menghubungkan PKL dengan pihak pemerintah melalui dialog intens yang kami laksanakan ketika mengkaji setiap permasalahan yang terjadi pada PKL.” (Wawancara dengan bapak Hendro Wijayanto, pada tanggal 26 Juni 2016)

Pendekatan yang dilakukan oleh FMPS terhadap pemerintah

dan PKL ini terbukti efektif, hal tersebut dapat dilihat dengan tidak

adanya penggusuran lagi yang dilakukan oleh pemerintah. Tidak hanya

penggusuran saja tetapi komunikasi yang terbangun tersebut juga

memutus mata rantai penjualan lokasi PKL oleh oknum-oknum

tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan pemahaman bagi

PKL sendiri dimana mereka sudah lebih banyak mengerti tentang hak

dan kewajiban yang disosialisasikan oleh pemerintah kepada PKL.

Pemerintah kemudian menerima masukan dari FPMS terkait

pembagian PKL dalam beberapa sektor dan kemudian memberikan

STDU atau surat tanda daftar usaha kepada para PKL yang nantinya

penyerahkannya kepada anggota dilakukan oleh masing-masing ketua

sektor karena mereka yang mengerti jumlah anggotanya beserta

kondisi (jenis dagangan dan jam buka serta tutup). Situasi PKL pada

Pengalaman Praksis Pedagang Kaki Lima dalam Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2002

133

saat itu menjadi lebih tenang dibandingkan dengan sebelum adanya

pembentukan sektor-sektor PKL.

Dengan adanya STDU merupakan jaminan keamanan bagi PKL

dalam melakukan aktivitasnya sehingga hubungan antara PKL dan

pemerintah melalui dinas Pasar dan PKL menjadi lebih baik.

Pemerintah tidak lagi disibukan dengan penertiban karena PKL sendiri

melalui para ketua paguyubannya dapat dikontrol secara baik, apabila

terjadi masalah di lapangan pemerintah hanya menghubungi pengurus

paguyubannya. Dari relasi yang terbangun itulah maka PKL mendapat

kepercayaan dari pemerintah daerah untuk melakukan aktivitas

usahanya di bawah kontrol dinas Pasar dan PKL.

Kesimpulan

Berdasarkan penelusuran panjang terkait bagaimana

terbangunnya partisipasi di kalangan PKL dan stakeholder, penulis

melihat bahwa proses terbangunnya partisipasi PKL dan stakeholder

dalam mengupayakan sebuah solusi atas berbagai permasalahan yang

diakibatkan eksistensi PKL, dipengaruhi oleh kebakaran Pasar Raya I

dan kemudian konflik yang terjadi akibat peningkatan jumlah PKL

dengan berbagai masalah ikutan lainnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran PKL di Kota Salatiga

membawa dampak yang signifikan baik positif maupun negatif. Jika

dilihat dari segi ekonomi keberadaan PKL sangat membantu

masyarakat ekonomi lemah untuk mendapatkan kebutuhan dengan

harga terjangkau, sedangkan untuk PKL sendiri adalah untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari. Segi negatifpun tidak

dapat dihindari dimana dengan bertambahnya jumlah PKL maka

konflikpun turut digerakkan sehingga banyak pihak yang terlibat

dalam konflik tersebut. Melalui pengalaman konflik baik antar sesama

PKL maupun dengan pihak pemerintah dan stakeholder lainnya yang

terjadi pada tahun 2002, dari situ kemudian terbentuklah paguyuban-

paguyuban sebagai wujud kesadaran bersama untuk menghadirkan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

134

sebuah kondisi yang baik dan kondusif secara internal maupun

eksternal.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa partisipasi PKL

digerakkan oleh kesadaran bersama yang kemudian diimplementasikan

melalui pembentukan wadah bersama sehingga ide-ide awal untuk

melaksanakan berbagai kegiatan dapat dibahas secara konstruktif dan

terorganisir. Dengan terbentuknya Forum Masyarakat Peduli Salatiga,

maka dari situlah partisipasi PKL dan terorganisir secara baik sehingga

berbagai kegiatan dapat dilaksanakan dan komunikasi dengan berbagai

pihakpun terbangun secara baik.

Selain forum yang dibentuk sebagai wadah bersama,

pemahaman masyarakat umum terhadap eksistensi PKL yang semakin

baik juga merupakan salah satu faktor utama yang menimbulkan

empati dalam berpartisipasi. Ketika partisipasi terbangun secara baik

melalui semangat kebersamaan maka dampak positif yang terjadi

adalah: pertama, konflik antar sesama PKL maupun dengan lainnya

dapat diredam bahkan tidak lagi terjadi konflik secara terbuka. Kedua,

tindakan sewenang-wenang oknum-oknum tertentu baik dari pihak

pegawai pemda maupun pribadi (preman) dalam mengatur dan

memperjualbelikan lapak tidak lagi terjadi secara bebas seperti

sebelumnya. Ketiga, komunikasi dengan pihak pemerintah dapat

terbangun sehingga pemerintah memberikan jaminan hukum lewat

kartu tanda usaha bagi para PKL dan penggusuranpun dapat

dihentikan.

Dengan terbangunnya partisipasi dari bawah melalui

kesadaran bersama maka hal tersebut merupakan sebuah kekuatan atau

modal bagi PKL dan untuk mempengaruhi pemerintah daerah melalui

berbagai program pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dan menata wilayah kota secara baik dan bijaksana.

Partisipasi PKL dan stakeholder yang terbangun bukan hanya untuk

kepentingan mereka semata, tetapi telah membantu pemerintah dalam

menyelesaikan berbagai permasalahan ikutan lainnya dalam

membenahi wajah kota.