bab vi dinamika pkl pasca perda nomor 2 tahun...

16
173 Bab VI Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003 Setelah melewati perjalanan panjang pasca implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003, maka pada bagian ini penulis melihat kondisi kekinian PKL dan stakeholder dalam hubungan dengan perkembangan kota serta berbagai dinamika terkait eksistensi PKL di Kota Salatiga. Penulis berupaya mengkaji bagaimana pengelolaan PKL serta relasi dengan semua stakeholder inti yang telah terbangun selama kurang lebih lima belas tahun sejak ditetapkannya Perda Nomor 2 Tahun 2003, sehingga pada bagian ini penulis mampu melihat bagaimana proses partisipasi yang terbangun serta harmoni sosial di antara sesama PKL maupun dengan stakeholder tetap terjaga atau telah mengalami perubahan atau mungkin telah hilang. Perkembangan PKL Kota Salatiga Pengalaman panjang partisipasi PKL Kota Salatiga bersama stakeholder ternyata menyimpan sejumlah kesan positif dalam perkembangan selanjutnya. Dari hasil penelusuran di lapangan penulis mendapatkan berbagai informasi terbaru tentang eksistensi PKL bersama stakeholder yang tetap saling menopang dan menghargai demi langgengnya kondisi hidup yang harmonis antara sesama PKL maupun dengan stakeholder. Hubungan dengan pemerintah daerah melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Salatiga sangat baik karena sampai saat ini semua PKL berada dalam pengawasan, selain itu PKL juga difasilitasi melalui bantuan dari dinas berupa tenda dan

Upload: dinhdan

Post on 02-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

173

Bab VI

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2

Tahun 2003

Setelah melewati perjalanan panjang pasca implementasi

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003, maka pada bagian ini penulis

melihat kondisi kekinian PKL dan stakeholder dalam hubungan

dengan perkembangan kota serta berbagai dinamika terkait eksistensi

PKL di Kota Salatiga. Penulis berupaya mengkaji bagaimana

pengelolaan PKL serta relasi dengan semua stakeholder inti yang telah

terbangun selama kurang lebih lima belas tahun sejak ditetapkannya

Perda Nomor 2 Tahun 2003, sehingga pada bagian ini penulis mampu

melihat bagaimana proses partisipasi yang terbangun serta harmoni

sosial di antara sesama PKL maupun dengan stakeholder tetap terjaga

atau telah mengalami perubahan atau mungkin telah hilang.

Perkembangan PKL Kota Salatiga

Pengalaman panjang partisipasi PKL Kota Salatiga bersama

stakeholder ternyata menyimpan sejumlah kesan positif dalam

perkembangan selanjutnya. Dari hasil penelusuran di lapangan penulis

mendapatkan berbagai informasi terbaru tentang eksistensi PKL

bersama stakeholder yang tetap saling menopang dan menghargai demi

langgengnya kondisi hidup yang harmonis antara sesama PKL maupun

dengan stakeholder.

Hubungan dengan pemerintah daerah melalui Dinas

Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Salatiga sangat baik

karena sampai saat ini semua PKL berada dalam pengawasan, selain itu

PKL juga difasilitasi melalui bantuan dari dinas berupa tenda dan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

174

gerobak yang diserahkan untuk menopang usaha PKL (hasil

wawancara dengan ibu Jumiaty, PKL aneka makanan tanggal 25

Oktober 20017). Dari penjelasan tersebut penulis melihat bahwa PKL

saat ini sangat diperhatikan oleh pemerintah daerah karena saat ini

PKL dikendalikan melalui program pembinaan. Hal tersebut dikuatkan

dengan penjelasan kepala Dinas Perindagkop Kota Salatiga bapak Drs.

Muthoin, M.Si, beliau menjelaskan bahwa pemerintah kota selalu

memperhatikan keberadaan PKL di Kota Salatiga dan melakukan

pembinaan. Pada dinas Perindagkop terdapat unit kerja yang

membawahi PKL dan memiliki program tahunan yaitu program

pembinaan PKL. Dari program tersebut maka pemerintahpun berupaya

memfasilitasi PKL yang telah eksis dengan memberikan bantuan usaha

berupa tenda, gerobak, dan kompor gas. Melalui bantuan tersebut

diharapkan para PKL lebih fokus menjalankan usaha mereka agar lebih

berkembang sehingga kesejahteraan hidup mereka turut digenjot naik

(wawancara dengan kepala dinas tanggal 24 Oktober 2017).

Gambar 6. 1 Shelter PKL di Daerah Margosari

Menilik keberadaan PKL Kota Salatiga dalam beberapa tahun

terakhir ternyata mengalami penurunan dari segi jumlah, sebagaimana

telah dijelaskan pada pendahuluan bahwa berdasarkan hasil

wawancara dan pengumpulan data di lapangan ternyata jumlah PKL

kota Salatiga dari waktu ke waktu mengalami penurunan cukup

signifikan. Pada tahun 2003 jumlah PKL di Kota Salatiga adalah 2.750

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003

175

(FMPS 2003) dan pada tahun 2015 turun menjadi 1.720, data terbaru

tahun 2017 jumlah totalnya adalah 1.420 (Disperindagkop Salatiga,

2017). Ketika melihat jumlah PKL yang terus mengalami penurunan

maka pasti muncul pertanyaan mengapa berkurang dan tidak

bertambah padahal dengan berkembangnya masyarakat di Kota

Salatiga dalam lima belas tahun terakhir harusnya bertambah.

Temuan penulis ketika melakukan observasi dan wawancara di

lapangan terdapat dua penyebab utama mengapa jumlah PKL

mengalami penurunan. Berikut ini penjelasan mengapa sehingga

jumlah PKL di Kota Salatiga mengalami penurunan. Pertama, banyak

PKL yang telah sukses dalam usaha sehingga status mereka bukan lagi

PKL tetapi telah menjadi pedagang eksis bahkan pedagang toko. Bagi

PKL yang telah memiliki cukup modal mereka kemudian

mengembangkan usahanya sehingga tempat awal tidak dapat

menampung barang dagangan mereka. Berikut ini beberapa hasil

wawancara dari PKL yang telah sukses dan tetap eksis tetapi telah

mengalami peningkatan status dari PKL ke pedagang eksis:

“Pada awalnya saya berjualan pakaian di dekat jalan masuk Pasar Raya I dengan tujuan untuk membiayai biaya sekolah anak-anak saya, dari usaha tersebut saya memperoleh keuntungan yang kemudian dipakai sebagai modal menambah barang dagangan lainnya. Setelah Pasar Raya I direnovasi pemerintah memberi tawaran bagi kami PKL untuk menempati kios hanya dengan membayar retribusi sebesar tiga ribu rupiah perhari, tawaran tersebut saya ambil karena mengingat barang dagangan saya telah bertambah banyak dan saya butuh tempat yang bisa menampung barang sehingga lebih nyaman berjualan” (Wawancara dengan ibu Cahyati tanggal 24 Oktober 2017).

Selanjutnya Cak Hasan pedagang Sate Madura yang pada

awalnya mangkal di trotoar Jalan Patimura, beliau menjelaskan tentang

pengalamannya sebagai PKL yang kemudian beralih menjadi pedagang

eksis:

“Saya memulai usaha sebagai PKL sate Madura yang menjajakan sate pada sore sampai malam hari. Usaha tersebut dimulai dengan tujuan menghidupi anak isteri yang berada di

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

176

kapung halaman, setelah tiga tahun menggeluti usaha sebagai PKL ternyata hasilnya luar biasa dan atas ridho Sang Ilahi maka dagangannya bisa saya tingkatkan pada tahun keempat. Pelangganpun semakin banyak sehingga saya harus memakai karyawan untuk membantu, akhirnya saya harus memanggil isteri dari kampung untuk sama-sama mengelola usaha. Kamipun kemudian mencari tempat tetap untuk menetap dan pada akhirnya saya berhenti menjadi PKL setelah memiliki warung di jalan Patimura” (Wawancara tanggal 25 Oktober 2017).

Seirama dengan pemikiran serta pengalaman Cak Hasan, bapak

Budi Haryadi pedagang masakan Padang yang saat ini berjualan di

Kridanggo, beliau menuturkan pengalamannya sejak menjadi PKL

sampai sukses menjadi pedagang eksis:

“Sebelum menjadi pedagang eksis pada awalnya saya mengikuti abang dan kami menjadi PKL di Jalan Kartini sejak tahun 2003, setelah dibangun selasar di Jalan Kartini abang saya kemudian mempercayakan usahanya kepada saya dan kami pindah ke Kridanggo. Setelah dipercayakan usaha tersebut abang saya kemudian sakit dan meninggal dunia, akhirnya saya meneruskan usaha tersebut sendiri dan dalam waktu dua tahun usaha saya mengalami peningkatan karena banyak pelanggannya. Saya kemudian menempati warung yang disiapkan oleh dinas Perindagkop hanya dengan membayar retribusi perharinya empat ribu rupiah. Usaha saya lumayan maju sehingga saya harus memakai tenaga kerja untuk membantu setiap harinya, saat ini pendapatan perhari rata-rata di atas satu juta rupiah dan jika dibandingkan dengan pendapatan saat masih menjadi PKL di Jalan Kartini justru saat ini jauh lebih tinggi” (Wawancara tanggal 25 Oktober 2017).

Dari temuan tersebut ternyata dengan adanya peningkatan

taraf hidup PKL mempengaruhi jumlah PKL di Kota Salatiga, dari

pengalaman dimaksud penulis melihat bahwa PKL yang sukses adalah

mereka yang tekun menjalankan usahanya sehingga mereka kemudian

beralih status menjadi pedagang eksis dan juga pedagang tetap (Toko).

Para PKL sendiri ternyata memiliki semangat yang berbeda dalam

menjalankan tugas sebagai pedagang kecil yang tidak bisa dipandang

sebelah mata.

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003

177

Kedua, penegakkan Perda secara konsisten dan bertanggung

jawab oleh pemerintah kota lewat Satpol PP dan dinas Perindagkop

yang tidak kompromi dengan daerah larangan sehingga tidak ada PKL

liar di luar kontrol. Adapun strategi untuk mengendalikan agar tidak

bertambahnya jumlah PKL maka oleh dinas Perindagkop menerapkan

strategi dengan memakai ketua paguyuban dan seluruh anggota

paguyuban untuk mempertahankan jumlah mereka dalam lokasi yang

ditempati. Berikut ini penuturan kepala dinas Peridagkop Kota Salatiga

bapak Muthoin:

“Dalam upaya mengendalikan jumlah PKL agar tetap dan tidak bertambah jumlahnya maka strateginya adalah membentuk paguyuban dengan tujuan mereka menjadi perpanjangan tangan pemerintah kota yang ada di lapangan. Ketua paguyuban adalah penanggung jawab utama di lapangan, sehingga ketika ada PKL baru yang tanpa pemberitahuan sebelumnya melakukan aktivitas di sekitar lokasi maka paguyuban tersebut yang bertanggung jawab atas lokasi mereka sehingga tidak ada benturan dengan pemerintah. Selain itu melalui ketua-ketua paguyuban tersebut kami mudah mengontrol mereka ketika ada permasalahan yang muncul di lapangan, karena dinas dengan mudah memanggil ataupun berkoordinasi dengan ketua paguyuban sebagai perpanjangan tangan kami di lapangan”

Selain memanfaatkan ketua-ketua paguyuban di

masing-masing paguyuban, pemerintah daerah melalui Satpol PP dan

dinas Perindagkop melakukan pendekatan persuasif kepada oknum-

oknum PKL untuk terlibat dalam menjaga lingkungan mereka.

Menurut penjelasan bapak Dadang salah satu kepala bidang di

Disperindagkop yang membidangi pedagang pasar, menjelaskan bahwa

apabila ada pedagang yang berjualan di daerah yang tidak

diperuntukkan bagi pedagang pasar maupun PKL, mereka tidak

ditindak kasar melalui pengusuran tetapi dibina secara bertahap

melalui surat teguran atau didatangi langsung oleh tim gabungan

(Satpol PP, Disperindagkop, Dinas Perhubungan, dan Polisi) untuk

berdiskusi mencari solusi bersama (Wawancara tanggal 23 Oktober

2017).

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

178

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami mengapa

jumlah PKL dari tahun ke tahun mengalami penurunan, penulis

melihat strategi pemkot dalam mengendalikan jumlah dengan

menggunakan PKL yang telah terdaftar dan memiliki STDU melalui

ketua-ketua paguyubannya untuk menjaga dan mempertahankan

jumlah anggota komunitasnya adalah sebuah solusi bijak. Melalui

strategi tersebut maka benturanpun dapat dihindari sehingga konflik

dengan semua pihak tidak terjadi, selain itu kondisi harmonipun tetap

terjaga dengan baik karena masing-masing pihak saling menjaga dalam

suasana aman dan damai.

Gambar 6. 2 PKL Jam dan Kacamata di Pelataran Pertokoan Tamansari

Peningkatan kesejahteraan PKL juga merupakan salah satu

faktor yang memberi kontribusi signifikan terhadap penurunan jumlah

PKL di Kota Salatiga, karena itu pemerintah kota sebagai pemegang

kendali melalui Dinas Perindagkop diharapkan meningkatkan

perhatiannya terhadap para PKL. Dengan perhatian serius melalui

pembinaan ataupun program pendampingan lainnya, penulis yakin

bahwa masalah peningkatan jumlah PKL dapat dikendalikan dengan

baik, sehingga tidak terjadi masalah dalam upaya meredam

pertambahan jumlah PKL. Berikut ini jumlah PKL berdasarkan data

dari Dinas Perindagkop tahun 2017.

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003

179

Tabel 6. 1 Data Jumlah PKL Tahun 2017

NO WILAYAH PKL JUMLAH TAMBAHAN TOTAL

1 A. Yani (Kios Buah) 28 1 29 2 Jenderal Sudirman 58 19 77 3 Kemiri Raya 13 0 13 4 Kridanggo 19 9 28 5 Lapangan Pancasila 56 0 56 6 Muwardi 3 6 9 7 Pasar Pagi 712 2 714 8 Pasar Raya 1 Malam 45 0 45 9 Patimura 24 15 39

10 Margosari 1 12 13 11 Pos Tingkir (Salatiga Suruh) 4 9 13 12 Shopping Gerobog Putih 111 0 111 13 Shopping Teras 49 0 49 14 Pasar Raya II 0 15 15 15 Sukowati 6 10 16 16 Brigjen Sudiarto 0 9 9 17 Jl. Pemuda 0 3 3 18 Jl. Senjoyo 0 4 4 19 Pasar Blauran 0 4 4 20 Jl. Merak 0 2 2 21 Taman Makam Pahlawan

buah 80 2 82

22 Turen 5 0 5 23 Blok C 70 0 70 24 Kemasan 14 0 14

JUMLAH TOTAL 1298 122 1420

Sumber: Dinas Perindagkop Tahun 2017

Dalam perjalanan sejak tahun 2003 pemerintah Kota Salatiga

ternyata sangat memperhatikan eksistensi PKL, hal tersebut dapat

dilihat dari regulasi yang dikeluarkan setelah Perda No 2 Tahun 2003

yaitu Perwali Nomor 18 Tahun 2006 yang adalah petunjuk pelaksanaan

dari Perda Nomor 2 Tahun 2003, dan Perda Nomor 4 Tahun 2015

tentang Penataan, Pengelolaan, dan Pemberdayaan Pedagang Kaki

Lima. Berdasarkan realita tersebut tidak diragukan lagi bagaimana

pemerintah kota memposisikan PKL sebagai entitas kota yang harus

diperhatikan serta diberdayaakan.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

180

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penataan,

Pengelolaan, dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

Setelah Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Penataan

Pedagang Kaki Lima Kota Salatiga dimplementasikan pada tahun 2003,

kondisi Kota Salatiga khususnya konflik PKL dengan seluruh

stakeholder tidak terjadi lagi. Semangat kebersamaan yang terbangun

melalui partisipasi semua pihak dalam mencari solusi atas masalah yang

terjadi akibat eksistensi PKL dengan peningkatan yang tidak

terkendali, tetap menjadi bagian dalam praktek hidup berdampingan.

Dalam perjalanan selama dua belas tahun sejak Perda Nomor 2 Tahun

2003 diimplementasikan, pemerintah daerah melihat bahwa Perda

tersebut perlu ditinjau kembali karena ada hal-hal yang tidak relevan

dengan konteks saat ini. Dengan alasan tersebut maka pada tahun 2015

kembali diterbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2015 sebagai wujud

kepedulian pemerintah daerah Kota Salatiga terhadap PKL.

Dalam Perda ini sangat jelas dibahas tentang siapa PKL dan

bagaimana fungsi serta peran PKL dalam konteks masyarakat di Kota

Salatiga yang dibahas secara paripurna bagaimana posisi PKL bagi

pemerintah daerah dan masyarakat umum. Sekalipun proses

perumusannya berbeda dengan situasi saat Perda Nomor 2 tahun 2003

dirumuskan, tetapi dalam proses perumusan tersebut PKL juga tetap

dilibatkan dalam tahapan perencanaan sampai dengan implementasi

melalui ketua paguyubannya. Pemerintah daerah tetap menghargai

PKL dan stakeholder sehingga dalam perumusan perda dimaksud,

semua komponen yang bersentuhan dengan kebijakan tersebut

dilibatkan agar mengetahui secara baik maksud serta tujuan dari

kebijakan yang ditetapkan.

Pada pembahasan selanjutnya pemerintah daerah menopang

PKL untuk membangun kemitraan dengan dunia usaha sehingga PKL

diberi bantuan modal usaha yang bersumber dari APBD. Adapun

bentuk kemitraan dengan dunia usaha antara lain; peremajaan

penataan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan berwira usaha

melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003

181

lewat event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL

untuk mewujudkan kawasan perkotaan menjadi lebih tertib, bersih,

indah dan nyaman. Komitmen pemerintah kota untuk

memberdayakan PKLpun dapat dilihat dari pemberian bantuan serta

pembinaan dari dinas Perindagkop yang dilakukan setiap tahun sesuai

program dari bidang PKL.

Gambar 6. 3 PKL Makanan di Depan Toko dan di Bawah Marka Larangan

Berjualan

Melalui pemberdayaan sebagaimana yang telah dipaparkan di

atas maka sangat diharapkan PKL di Kota Salatiga menjadi salah satu

sektor penggerak ekonomi mikro sehingga tingkat kesejahteraan

masyarakatpun mengalami peningkatan. Hak PKL yang harus diterima

sesuai Perda Nomor 4 Tahun 2015 adalah mendapatkan pengaturan,

penataan, pembinaan, supervisi, dan pendampingan dalam

pengembangan usaha. Selain itu PKL juga berhak mendapatkan

pelayanan pendaftaran usaha PKL, mendapatkan informasi dan

sosialisasi terkait kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah di tempat

dimana PKL berjualan, dan berhak mendapatkan pendampingan dalam

mendapatkan pinjaman permodalan dengan lembaga keuangan yang

telah menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah (Perda Nomor 4

Tahun 2015: pasal 34).

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

182

Selain hak yang harus didapatkan oleh PKL tidak terlepas juga

kewajiban serta larangan yang diberlakukan bagi PKL itu sendiri.

Adapun kewajiban PKL yang tidak terdapat pada perda penataan PKL

sebelumnya adalah menyerahkan tempat usaha atau lokasi usaha tanpa

menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, apabila lokasi usaha tidak

ditempati selama 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu lokasi

berjualannya dibutuhkan oleh pemerintah. Sedangkan larangan yang

awalnya tidak ada pada Perda Nomor 2 Tahun 2003 adalah PKL

dilarang berpindah tempat atau lokasi dan atau memindahtangankan

TDU tanpa sepengetahuan dan seizin Walikota (Perda Nomor 4 tahun

2015: pasal 35 dan pasal 36). Dari kewajiban dan larangan tersebut

dapat dipahami, bahwa pemerintah daerah benar-benar fokus serta

peduli dengan PKL sebagai wujud peningkatan kesejahteraan warga

sekaligus upaya mengendalikan peningkatan jumlah PKL.

Mengkaji Perda Nomor 4 Tahun 2015 sebagian besar

konsepnya di adopsi dari Perda Nomor 2 Tahun 2003 terkait retribusi,

waktu berjualan, luas lapak, lokasi berjualan serta sanksi-sanksi

administrasi atas pelanggaran yang dilakukan. Berdasarkan kajian

tersebut maka dapat dibahasakan bahwa Perda Nomor 4 Tahun 2015

adalah wajah baru dari Perda Nomor 2 Tahun 2003 yang

disempurnakan sesuai perkembangan daerah. Untuk efektifitas

pelaksanaan program penataan dan pemberdayaan PKL maka harus

ditunjang dengan penyebaran informasi, penyuluhan dan sosialisasi

secara masif dengan tujuan menggerakkan komitmen bersama antara

PKL, pemerintah daerah, dunia usaha, serta masyarakat pada

umumnya.

Partisipasi sebagai Sebuah Warisan

Seiring dengan penataan ruang kota yang dilakukan oleh

pemerintah daerah melalui peraturan daerah Kota Salatiga, harus

menyelaraskan kepentingan publik dan privat dan mendayagunakan

fungsi ruang yang ada, maka pengaturan mengenai lokasi peruntukkan

bagi PKL harus disesuaikan dengan fungsi kawasan yang ada di Kota

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003

183

Salatiga. Hal tersebut dilakukan mengingat ruang gerak PKL akan dan

selalu memunculkan dampak terhadap ganguan arus lalu lintas,

terganggunya estetika wajah kota dan kebersihan serta fungsi prasarana

kawasan perkotaan. Dengan demikian maka antara pemerintah daerah

dan pemangku kepentingan lain harus jalan dalam keseimbangan,

sehingga dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan tidak

berbenturan dengan kepentingan publik. karena itu pemerintah Kota

Salatiga menggunakan konsep partisipasi dengan melibatkan semua

pemangku kepentingan dalam tahap perencanaan sebuah program

sampai dengan tahap implementasinya.

Partisipasi yang terbangun sejak tahun 2002 ternyata masih

memiliki pengaruh dan secara konsisten diterapkan sampai saat ini, hal

tersebut dapat dibuktikan melalui hubungan yang harmoni antara

sesama PKL maupun dengan stakeholder lainnya. Kondisi usaha PKL

yang tidak diwarnai konflik internal maupun eksternal serta situasi

daerah kondusif sejak ditetapkannya Perda nomor 2 Tahun 2003

menunjukkan bahwa konsep partisipasi tidak hanya sebatas pada

perumusan kebijakan penataan PKL, tetapi telah masuk lebih jauh

dalam praktek hidup antar sesama PKL maupun dengan stakeholder.

Tanpa adanya pemahaman mendalam mengenai partisipasi yang telah

berlangsung lama maka pasti kondisi kota tidak akan kondusif, apalagi

dengan dinamika terkini terdapat banyak PKL baru yang tidak terlibat

pada proses partisipasi di tahun 2002, namun semangat partisipasi

tersebut tetap terlihat dalam aktivitas mereka.

Kondisi saat ini sesuai hasil observasi lapangan dan berdasarkan

wawancara dengan PKL dan beberapa stakeholder ditemukan bahwa,

pada umumnya PKL di Kota Salatiga hidup dalam suasana harmoni dan

mereka saling menopang satu dengan lainnya sebagai wujud

kebersamaan yang diwarisi dari proses partisipasi yang terbangun sejak

tahun 2002. Mengapa sehingga partisipasi disebut sebagai warisan?

Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa partisipasi harus dilihat

secara komprehensif melalui pola hidup setiap hari dalam aktivitas

yang ditunjukkan oleh masing-masing PKL. Untuk memahami secara

detail bagaimana partisipasi aktif semua pihak baik pemerintah daerah

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

184

dalam hal ini dinas Perindagkop, PKL, maupun stakeholder maka hal

tersebut dapat dilihat dari proses pembinaan ketika ada PKL baru (liar)

yang menempati zona larangan bagi PKL ataupun juga masuk dalam

paguyuban yang telah terbentuk.

Gambar 6. 4 Deretan PKL Jual Beli Emas di Sepanjang Depan Toko Emas Pasar

Raya I

Pengalaman konflik tahun 2002 memberi kesan positif

bagi langgengnya harmoni sosial di antara PKL dan stakeholder

sehingga penulis melihatnya sebagai warisan partisipasi yang patut

diapresiasi dan merupakan ciri khas penataan PKL Kota Salatiga.

Berikut ini cuplikan wawancara dengan kepala Dinas Perindagkop

Kota Salatiga terkait proses partisipasi yang dilakukan oleh semua

pihak baik pemerintah daerah, PKL, dan stakeholder lainnya dalam

menyikapi munculnya PKL baru di zona tertentu.

“Jika ada PKL baru maka strategi kami untuk menghidari konflik dengan warga dan juga pemilik toko ataupun lokasi tempat PKL baru berjualan adalah dengan melibatkan ketua RT, RW, dan pemilik toko ataupun lahan dilibatkan secara bersama untuk membuat surat pernyataan bersama. Melalui rekomendasi bahwa mereka mengijinkan serta tidak terganggu dengan aktivitas PKL baru di sekitar wilayah atau lokasi mereka. Setelah semuanya selesai maka kamipun membina PKL tersebut secara bertahap sampai dengan

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003

185

bagaimana mereka memperoleh STDU” (Wawancara tangal 24 Oktober 2017).

Selanjutnya bapak Yoga kepala sub bidang PKL dinas

Perindagkop Kota Salatiga menegaskan bahwa pembinaan dilakukan

bukan hanya pada PKL yang telah terdaftar, tetapi juga terhadap PKL

baru (liar) yang telah terpantau ketika mereka melakukan aktivitas di

zona larangan dalam waktu tertentu, berikut ini penuturannya:

“Ketika ada PKL baru maka dilakukan pembinaan dengan cara mendatangi mereka dan menjelaskan bahwa daerah yang mereka tempati adalah zona larangan yang sesuai dengan perda karena itu mereka (PKL), jika ingin berjualan maka harus mencari tempat di zona yang diperuntukan bagi PKL. Adapun syaratnya adalah jika PKL tersebut telah mendapat tempat di zona yang diperuntukkan untuk berjualan maka harus ada persetujuan dari para PKL ataupun paguyuban yang telah ada di tempat tersebut, jika ada persetujuan maka pemkot melalui dinas Perindagkop mengeluarkan ijin untuk berjualan. Bagi PKL yang berjualan di zona larangan tetapi ada space luas berupa halaman toko contohnya seperti di area pertokoan Jalan Patimura maka PKL harus mendapat ijin dari pemilik toko melalui rekomendasi tertulis yang diserahkan ke dinas Perindagkop” (Wawancara tanggal 24 Oktober 2017).

Menguatkan fakta partisipasi di lapangan yang masih tetap

terjaga sampai saat ini, maka penulis menelusuri dengan

mengumpulkan informasi di lapangan terkait keberadaan PKL baru.

Wawancara dengan ketua RT 01/RW 02 Margosari bapak Wahyu1,

beliau menguatkan apa yang dijelaskan kepala dinas Perindagkop

bahwa mereka selalu dilibatkan dalam penyelesaian masalah PKL

ketika ada PKL baru yang mangkal di daerah Margosari. Hal tersebut

dilakukan oleh dinas untuk mengantisipasi muncul masalah dengan

warga di sekitar lingkungan, karena itu ketua RT dan RW harus

dihadirkan untuk bersama mencari solusi bagi PKL baru. Selanjutnya

beliau menjelaskan bahwa mereka tidak tega melihat PKL yang

mencari nafkah di daerah mereka di usir atau diperlakukan tidak

1 Hasil wawancara tanggal 26 Oktober 2017

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

186

manusiawi karena merekapun harus menghidupi keluarga di rumah.

Karena itu maka mereka kemudian berupaya sebaik mungkin untuk

menjaga lingkungan tetap aman di satu pihak dan di lain pihak

membantu PKL untuk dapat berjualan tanpa masalah.

Selanjutnya bapak Mustamin2 pemilik toko di Jalan Pattimura

menjelaskan bahwa mereka memberi ijin untuk halaman depan toko

mereka dipakai sebagai lokasi berjualan bagi PKL ada dua hal yang

mendasarinya: pertama, dengan adanya aktivitas PKL di depan toko

mereka maka lokasi tersebut akan menjadi ramai karena para

pengunjung akan berdatangan ke lokasi tersebut. Dengan demikian

maka lokasi mereka akan dikenal oleh masyarakat luas sehingga barang

dagangan yang dijual di toko juga akan diketahui orang banyak. Kedua,

pemilik toko tidak keberatan dengan aktivitas PKL karena ketika

malam hari pemilik toko merasa aman karena toko mereka ada yang

menjaganya. Para PKL yang berjualan sampai larut malam telah

membantu menjaga keamanan di daerah pertokoan sehingga pemilik

toko tidak kuatir dengan pencurian ataupun pembobolan pintu toko.

Pengalaman lain dalam hubungan dengan eksistensi PKL Kota

Salatiga serta pengalaman konflik dan partisipasi yang terbangun sejak

tahun 2002, bapak Tris penjual ronde yang mangkal sejak tahun 1992

di daerah Kaloka. Beliau menuturkan pengalamannya selama menjadi

PKL sudah 25 tahun ada bagitu banyak pahit manis perjalanan hidup

sebagai orang kecil yang menyambung hidup dari hasil jualan di jalan:

“Pada akhir tahun sembilan puluan kami mengalami masalah di

lapangan karena pada waktu itu jumlah PKL bertambah drastis

sehingga kami berebutan lahan, alasan kenapa tiba-tiba banyak yang

menjadi PKL sampai saat ini secara pribadi saya tidak tahu. Dengan

bertambahnya jumlah PKL maka banyak masalah yang terjadi dan

kami sebagai PKL terlibat konflik dengan Satpol PP ketika melakukan

operasi, selain itu dengan sesama kami juga terjadi konflik karena

banyak PKL pendatang saat itu sehingga kami tidak saling kenal.

Banyaknya PKL serta belum terorganisir secara baik memunculkan

2 Hasil wawancara tanggal 25 Oktober 2017

Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003

187

persaingan yang tidak sehat. Kondisi tersebut berlangsung kurang

lebih dua tahun tetapi saya secara pribadi tetap bertahan karena kami

sekeluarga bergantung dari penghasilan saya sebagai PKL, dengan

demikian risiko apapun harus siap dihadapi demi mencukupi

kebutuhan kami. Pada tahun 2002 kami mulai terorganisir dan

terlibat dalam berbagai pertemuan baik sesama PKL mapun dengan

pihak pemerintah, dari pertemuan tersebut maka kami dapat

diorganisr secara baik dan konflikpun sampai saat ini tidak lagi

terjadi” (Wawancara tanggal 25 Okober 2017).

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa

untuk menjadi PKL saat ini harus melalui proses yang kompleks karena

warisan partisipasinya tetap kental dijunjung oleh semua pihak. Dinas

Perindagkop sendiri sebagai instansi berwenang tidak serta merta

mengambil keputusan terhadap permasalahan PKL tanpa melibatkan

pihak-pihak yang berkepentingan, dengan demikian maka penulis

melihat bahwa partisipasi yang terbangun pada tahun 2002 serta

Harmoni sosialnya tetap dijunjung demi kabaikan barsama.

Kesimpulan

Sekalipun proses partisipasi yang terbangun sejak tahun 2002

telah lama berlangsung bahkan para aktor partisipasipun telah tiada

namun bangunan partisipasinya masih tetap bertahan sampai saat ini.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika PKL telah mengalami

perubahan seiring berlalunya waktu karena dari kondisi yang telah

penulis paparkan di atas, bahwa PKL sendiri ada yang telah berubah

status dan ada pula PKL baru yang tidak mengetahui proses awal

partisipasi dibangun. Tetapi kondisi di lapangan menunjukkan

bagaimana partisipasi dan harmoni sosial tetap terjaga dengan baik oleh

masing-masing pihak.

Keterlibatan pemerintah, PKL dan stakeholder lainnya dalam

menyikapi permasalahan PKL adalah wujud partisipasi yang tetap

langgeng demi menjaga harmoni sosial dalam kehidupan bersama yang

saling peduli. Pemerintah daerah dalam perumusan Perda nomor 4

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

188

Tahun 2015 tidak berjalan sendiri tetapi melibatkan PKL dan

stakeholder, hal tersebut merupakan implementasi dari partisipasi yang

terbangun selama ini sehingga semua pihak merasa memiliki terhadap

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Dengan perda tersebut

PKL semakin diperhatikan oleh pemerintah daerah yang memposisikan

PKL sebagai mitra dalam peningkatan ekonomi masyarakat sehingga

tidak ada kesan bahwa PKL adalah entitas yang harus disingkirkan dari

wajah kota karena dampak negatif selalu ditimbulkan lewat aktivitas

mereka pada ruang publik.

Pemberdayaan PKL yang ditetapkan oleh pemerintah daerah

melalui Perda Nomor 4 Tahun 2015, menunjukkan bahwa partisipasi

telah menjadi bagian dari kelangsungan hubungan antara pemerintah

daerah, PKL dan seluruh stakeholder. Dengan keterlibatan semua

pemangku kepentingan dalam sebuah kebijakan ataupun program-

program pemerintah maka hal tersebut akan memberi dampak positif

bagi masyarakat umum, sehingga akan terwujud harmoni sosial di

antara semua pihak. Dari pengalaman konflik dan resolusi konflik PKL

dan stakeholder Kota Salatiga tahun 2002, ternyata membawa dampak

posisitif bagi kelangsungan partisipasi dan harmoni sosial sampai saat

ini.