perempuan bali dalam ritual subak -...

35
119 Bab Enam Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak Pengantar Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu di Bali, ada per- bedaan pemahaman keagamaan antara generasi muda dengan generasi tua. Dimana telah terjadi perubahan pandangan terhadap ritual yang dilakukan oleh Umat Hindu terutama di kalangan generasi muda. Sedangkan di sisi lain pelaksanaan ritual oleh beberapa golongan termasuk petani (dalam organisasi subak) masih merupakan sesuatu yang tetap dilakukan dan tabu untuk dilanggar. Seperti halnya Subak Wongaya Betan yang masih melaksanakan ritual-ritual yang terkait dengan pelaksanaan pertanian mereka di lapangan. Pelaksanaan ritual tersebut berlandaskan kesadaran akan adanya sesuatu di luar sana yang bersifat profan yang petani yakini menentukan keberhasilan pertanian mereka. Subak Wongaya Betan masih melaksanakan ritual secara kontinu secara kolektif dan secara personal. Ritual-ritual ini biasanya dilaksanakan di pura-pura yang terkait dengan sumber air dan peles- tarian lingkungan di area subak seperti Pura Ulun Danu (untuk me- muja Dewa Air atau Dewa Wisnu), Pura Subak (Pura Ulun Suwi dan Pura Bedugul) serta Pura keluarga masing-masing angggota subak. Dalam satu musim tanam Subak Wongaya Betan melaksanakan ritual kolektif seperti: (1) mapag toya (menjemput air); (2) mesaba (ritual pada saat mau panen), dan nangluk merana. Sedangkan untuk

Upload: trinhxuyen

Post on 02-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

119

Bab Enam

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

Pengantar

Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu di Bali, ada per-bedaan pemahaman keagamaan antara generasi muda dengan generasi tua. Dimana telah terjadi perubahan pandangan terhadap ritual yang dilakukan oleh Umat Hindu terutama di kalangan generasi muda. Sedangkan di sisi lain pelaksanaan ritual oleh beberapa golongan termasuk petani (dalam organisasi subak) masih merupakan sesuatu yang tetap dilakukan dan tabu untuk dilanggar. Seperti halnya Subak Wongaya Betan yang masih melaksanakan ritual-ritual yang terkait dengan pelaksanaan pertanian mereka di lapangan. Pelaksanaan ritual tersebut berlandaskan kesadaran akan adanya sesuatu di luar sana yang bersifat profan yang petani yakini menentukan keberhasilan pertanian mereka. Subak Wongaya Betan masih melaksanakan ritual secara kontinu secara kolektif dan secara personal. Ritual-ritual ini biasanya dilaksanakan di pura-pura yang terkait dengan sumber air dan peles-tarian lingkungan di area subak seperti Pura Ulun Danu (untuk me-muja Dewa Air atau Dewa Wisnu), Pura Subak (Pura Ulun Suwi dan Pura Bedugul) serta Pura keluarga masing-masing angggota subak.

Dalam satu musim tanam Subak Wongaya Betan melaksanakan ritual kolektif seperti: (1) mapag toya (menjemput air); (2) mesaba (ritual pada saat mau panen), dan nangluk merana. Sedangkan untuk

Page 2: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

120

ritual personal (mandiri) anggota subak juga masih melaksanakan ritual-ritual seperti: (1) ngendagin (memulai pengolahan lahan), (2) ngurit dan mawiwit pantun (menyemai padi), (3) ngerasakin (memulai persiapan menanam), (4) nandur (saat menanam), (5) tutug kambuhan (ritual ketika padi berumur 42 hst), (6) nyungsung (ritual saat padi berumur 2 bulan), (7) mabiukungkung (ritual ketika padi berumur 82 hst, (8) maikuh lasan (pada saat padi mulai berbuah), (9) niki kaki dan niki manuh (pada saat panen dan sudah panen), (10) mantenin (ritual saat padi sudah di lumbung), (11) mrelina dewa nini (melebur dewa nini), (12) nyepi (tidak melakukan kegiatan).

Selain itu ada beberapa ritual yang bersifat insidental sesuai dengan keperluan subak misalnya pemelaspasan (peresmian) jika subak membangun sarana prasarana yang terkait dengan subak. Seperti pem-bangunan jineng (lumbung) subak dan pura subak. Berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan ritual ini, walaupun sebenarnya sudah ada pembagian tugas dan aktivitas antara anggota subak laki-laki dengan anggota perempuan, akan tetapi biasanya perempuan akan lebih banyak terlibat. Hal ini karena perempuan akan terlibat mulai dari persiapan sesajen maupun pada saat pelaksanaan ritual. Dalam bab ini akan dipaparkan konsep ritual menurut masyarakat Hindu dan anggota Subak Wongaya Betan. Berikutnya akan di jelaskan aktivitas perem-puan dalam pelaksanaan ritual-ritual subak di Wongaya Betan.

Konsep Ritual (Upacara)

Ajaran Agama Hindu meliputi tiga kerangka yaitu; Tattwa, Etika dan Upacara. Dalam pelaksanaannya diimplementasikan umat Hindu secara terpadu dan utuh. Namun pada kenyataannya yang lebih sering tampak menonjol adalah bagian upacaranya. Hal ini disebabkan karena bagian inilah yang merupakan wujud pelaksanaan dengan segala kelengkapannya. Bagian etika melandasi pelaksanaan kegiatan upacara maupun prilaku umatnya. Etika adalah ajaran tentang berperilaku yang baik serta pembinaan sikap mental yang sesuai dengan norma-norma ajaran agama Hindu. Bagian Tattwa memberikan sumber inspirasi yang diwujudkan secara simbolik dalam berbagai upacara, maupun yang

Page 3: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

121

dirumuskan dalam konsepsi kepercayaan dalam ajaran Hindu yang dikenal dengan istilah ”sradha”1 (Krisnu, 1991). Fenomena ini juga ter-jadi pada pelaksanaan ajaran Agama Hindu di lingkup Subak Wongaya Betan. Upacara (ritual) yang dilaksanakan anggota subak sangat intens, karena dalam keyakinan mereka dengan pelaksanaan ritual kehadapan Sang Pencipta maka mereka merasa selalu dilindungi dan pertanaman mereka akan memperoleh hasil yang maksimal.

Sudah menjadi tradisi umat Hindu termasuk anggota Subak Wongaya Betan, setiap memulai suatu pekerjaan maupun melaksana-kan suatu upacara pada umumnya terlebih dahulu diawali dengan memperhitungkan atau mencari hari baik (pedewasan) melaksanakan suatu upacara. Misalnya pada saat pelaksanaan salah satu ritual di lingkup subak yaitu ritual mendak toya2. Ritual ini biasanya dilaksana-kan sebagai awal kegiatan pertanian di lahan sawah. Anggota subak sebelum menentukan kapan hari pelaksanaan ritual akan mencari per-hitungan hari baik dari petunjuk kalender (penanggalan Bali), maupun memohon petunjuk dari sulinggih (pendeta). Setelah hari baik tersebut ditentukan, maka pengurus subak akan melaksanakan sangkep untuk membahas persiapan pelaksanaan ritual. Setelah ada kesepakatan baik dari sisi kesiapan para istri (perempuan) untuk mempersiapkan ritual, demikian juga dari sisi ketersediaan dana untuk melaksanakan ritual tersebut maka ritual mendak toya dapat dilaksanakan.

Dalam pemahaman umat Hindu pelaksanaan upacara memiliki maksud dan tujuan tertentu demikian juga halnya dengan pemahaman pada anggota Subak Wongaya Betan. Sesajen upacara agama memiliki makna-makna tertentu yang digambarkan secara simbolis melalui bagian-bagian bahan, bentuk, atau wujud maupun warna tertentu. Makna Nyasa atau simbolis yang dibawakan masing-masing sesajen disesuaikan pula dengan maksud dan tujuan secara umum upacara yang dilaksanakan. Seperti ritual mendak toya yang dipersembahkan ke

1 Sradha: aturan 2 “Mendak toya”: ritual ini dilakukan di Pura Ulun Danu dan di sumber air yang dimiliki oleh Subak. Lokasi biasanya di hulu desa. Sebelum ritual dilaksanakan biasa-nya anggota subak laki-laki terlebih dahulu membersihkan sumber air secara gotong royong, baru kemudian anggota subak perempuan akan melaksanakan ritual ini.

Page 4: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

122

hadapan Dewa Wisnu (Dewa Penguasa Air) maka ada beberapa sesajen yang harus memakai warna Dewa Wisnu yaitu hitam, selain simbol-simbol lainnya yang terbuat dari janur dan bunga yang berwarna-warni. Hal ini tercantum dalam pernyataan Krisnu (1991) bahwa secara umum sesajen yang dihaturkan kehadapan Sang Pencipta memiliki beberapa makna yaitu:

(1) sebagai ungkapan rasa angayu bagia (rasa bahagia) atau rasa terimakasih yang ingin dicetuskan kehadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa), atas segala anugerah yang telah dinikmati oleh manusia, (2) sebagai sebuah harapan atau permohonan, misalnya permohonan memperoleh umur panjang, (3) sebagai permohonan maaf atau mohon untuk diampuni segala kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat, dan (4) sebagai wujud simbolis dari Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) yang dipuja pada saat melaksanakan ritual (upacara).

Di dalam mengimplementasikan semua harapan yang dilambang-

kan melalui ritual (upacara), dalam pedewasan (hari baik menurut kalender Hindu Bali) setiap upacara selalu mengacu pada filsafat Tri Hita Karana (THK) yang menggambarkan adanya hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Ketiga hubungan keseimbangan ini juga akan dilambangkan dalam upacara yang berbeda. Dalam komunitas Subak Wongaya Betan upacara yang berbeda akan dilambangkan dengan sesajen yang berbeda pula. Hal ini merupakan implementasi dari ketiga hubungan dalam filosofi Tri Hita Karana. Untuk menun-jukkan hubungan dengan Sang Pencipta misalnya, maka ritual ngusaba adalah salah satu contoh. Ritual ini memiliki maksud untuk mengucap-kan rasa syukur dan terimakasih anggota subak kehadapan Betara Sri atau Dewi Sri karena tanaman padi di sawah mereka berproduksi dengan baik. Ritual ini dilaksanakan sebelum panen dan dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota subak. Sedangkan ritual yang berkaitan dengan hubungan dengan lingkungan contohnya adalah nangluk merana yaitu melakukan pemberantasan hama tikus secara mekanis (tanpa penggunaan pestisida) sehingga diharapkan lingkungan tidak akan tercemar dengan racun pestisida.

Page 5: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

123

Selain ritual yang berkaitan dengan aktivitas subak, secara umum Umat Hindu Bali memiliki pedewasan untuk melakukan upacara bagi Dewa yang menguasai kesuburan antara lain seperti Dewa Tumbuhan (diyakini sebagai pemelihara tumbuhan di lahan pertanian), Dewa Pertiwi (yang diyakini memelihara kesuburan lahan pertanian), Dewa Wisnu (yang diyakini sebagai Dewa penjaga sumber Air). Berkaitan dengan upacara bagi Dewa Tumbuhan yang dikenal dengan Tumpek Uduh 3maka Umat Hindu di Bali termasuk anggota Subak Wongaya Betan melaksanakan upacara ini setiap 6 bulan yaitu setiap hari Sabtu Kliwon, wuku Wariga. Ritual ini biasanya dilaksanakan secara pribadi oleh masing-masing anggota subak di areal persawahannya, maupun di pura keluarga. Prosesi ini untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai ”Dewa Sang Kara” (Sang Penguasa Tumbuh-tumbuhan). Upacara Tumpek Uduh ini dilaksana-kan di masing-masing rumah tangga dan juga di areal pertanian.

Bali Post (Sabtu, 19 September 2009) memuat artikel tentang “Tumpek Uduh Momen Strategis Revitalisasi Bangkitkan Pertanian di Bali”. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya Tumpek Uduh merupakan salah satu kearifan lokal yang sangat strategis dalam usaha revitalisasi pertanian untuk kepentingan masa depan Bali, karena penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan secara luas dapat dijadikan momen kelestarian lingkungan. Selain upacara bagi tumbuh-tumbuh-an, orang Bali (Hindu) masih memiliki beberapa lontar (buku tentang ajaran Agama Hindu) yang memuat tentang pertanian seperti Dharma Pamaculan, Taru Pramana yang berkaitan dengan pemberantasan hama dan usada atau pengobatan tumbuhan, dan Aji Janantaka tentang kayu (tumbuhan tahunan dan kehutanan). Semua lontar-lontar tersebut berisikan tentang bagaimana tatacara bertani, memberantas hama, kemudian memaknai hutan.

Dari uraian di atas ternyata ritual yang dilakukan umat Hindu dalam rangka menjaga kelestarian lahan pertanian dan penyelamatan

3 Simbolisasi yang dihaturkan pada perayaan tumpek uduh ini adalah adanya bubur canil (bubuh sumsum) yang katanya merupakan simbolisasi dari keberhasilan produksi tanaman padi di sawah. Karena keberhasilan tersebut diyakini karena anugrah Dewa Tumbuhan maka sebagai rasa terimakasih umat menghaturkan bubur.

Page 6: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

124

lingkungan yang mendasari kegiatan masyarakat petani di Bali sudah tersirat dalam lontar-lontar. Dari lontar-lontar tersebut dapat diper-kirakan bahwa pelaksanaan ritual ini sudah dilaksanakan secara turun temurun dalam jangka waktu yang lama. Walaupun pelaksanaan ritual (upacara) selama ini dianggap merupakan gugon tuwon yaitu sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan tanpa makna yang jelas. Akan tetapi dengan pelaksanaan ritual yang demikian intens dan berlanjut sejalan dengan keberlanjutan kegiatan pertanian yang dilakukan di Subak Wongaya Betan maka ritual pertanian dapat lebih digali pemaknaan-nya. Hal ini untuk menghindari kesenjangan persepsi tentang ritual antara generasi tua dengan generasi muda. Dengan pemaknaan yang tepat akan ada kesadaran bahwa semua itu memang harus dilakukan karena berkaitan dengan kebutuhan dasar mereka untuk hidup dan melestarikan lahan pertanian sekaligus menyelamatkan lingkungan. Seorang Pemangku di Desa Wongaya Betan menyatakan bahwa selama ini upacara-upacara yang dilaksanakan oleh umat dan krama subak di areal persawahan seperti Mendak Toya, Ngendagin, Mewinih, Nangluk Merana sampai dengan upacara terbesar yaitu Ngusaba dilakukan karena memang sejak dulu upacara-upacara tersebut sudah dilakukan (gugon tuwon).

Sebenarnya upacara-upacara yang dilakukan oleh krama Subak

merupakan rasa bhakti (rasa syukur) kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa karena selama petani mengusahakan sawahnya, Beliau sudah memberikan anugrah baik berupa air yang cukup, tanaman padi yang sehat dan hasil panen yang cukup. Walau-pun memang kalau ditanyakan mengapa melakukan rangkaian upacara tersebut, saya mungkin tidak bisa menjawab...Bu (berdasarkan wawancara dengan Bapak pemangku Pura Dalem. Maret 2010)

Pemangku (pendeta) Pura Dalem menjelaskan bahwa umat maupun dirinya belum mengerti benar kenapa keseluruhan upacara tersebut dilakukan. Pemaknaan mereka hanya sebatas pandangan bahwa pelak-sanaan semua ritual tersebut akan mampu meningkatkan keselamatan dan keberhasilan dari pertanian mereka. Pandangan pemangku terse-but kemudian menerawang mengingat masa-masa tahun 1974 dimana terjadi serangan hama tikus yang sangat ganas, yang menyebabkan

Page 7: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

125

kegagalan panen secara total di daerah tersebut. Walaupun usaha-usaha pengendalian secara mekanis telah dilakukan, tetapi hama tikus seolah kebal. Sehingga akhirnya subak memutuskan melakukan upa-cara Nyimpen Merana4. Hal ini dibenarkan oleh Pekaseh Subak, dan menambahkan bahwa setelah pelaksanaan upacara tersebut, sampai saat ini Subak Wongaya Betan termasuk subak di kawasan Jatiluwih belum pernah ada serangan hama tikus. Hal ini diyakini krama subak merupakan suatu akibat pelaksanaan ritual (upacara) yang berkelan-jutan dan konsisten dilakukan.

Kalau dicermati cerita pemangku dan Pekaseh Subak tersebut mencerminkan bahwa pelaksanaan upacara (praktik: lihat Bourdieu, 1990) sebenarnya merupakan suatu kewajiban yang kemudian sangat mengikat masyarakat dengan nilai dan norma yang telah disepakati, sehingga kesepakatan tersebut akhirnya secara tidak sadar merupakan sebuah kelembagaan yang diikuti dan ditaati bersama. Demikian juga dengan simbolisme dari Ida Cokorda Puri Gede Tabanan dalam ritual nyimpen merana juga menunjukkan bagaimana karisma dan kekuatan human capital (modal manusia) seseorang mampu mempengaruhi image masyarakat luas untuk melakukan praktik tertentu secara ber-lanjut. Karisma yang dimiliki Ida Cokorda mampu memberikan spirit kepada masyarakat khususnya Krama Subak untuk tetap melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab kepada Tuhan dengan tetap meme-lihara lingkungan melalui simbolisme upacara terhadap makhluk lain-nya. Fenomena ini merupakan penerapan filosofi Tri Hita Karana yang sudah sangat melekat di semua sisi kehidupan masyarakat subak untuk selalu menjaga keseimbangan dengan lingkungan dan hubungan dengan sesama manusia.

Secara rasional memang penjelasan fenomena ini agak rumit untuk dipahami. Akan tetapi dengan pelaksanaan nyimpen merana ini petani akhirnya lebih intensif memelihara tanamannya dari serangan

4 Nyimpen merana adalah ritual mengembalikan hama ke tempat asalnya, dengan mendatangkan Ida Cokorda Puri Gede Tabanan yang ditandu ke sawah. Beliau kemu-dian menancapkan Keris Pusaka Puri Tabanan sebagai tanda simbolis untuk menghalau hama tikus. Upacara ini merupakan upacara yang cukup besar dengan melibatkan seluruh krama subak lanang (laki) dan istri (perempuan).

Page 8: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

126

tikus karena spirit dari kedatangan seseorang yang sangat dihormati dan memiliki kekuasaan tradisional ke areal subak. Jadi seolah-olah ada kewajiban yang tidak tertulis bagi krama subak untuk lebih intensif memelihara sawahnya setelah dikunjungi seorang yang memiliki karisma pemimpin. Hal lainnya yang mampu menjelaskan fenomena ini adalah dengan kembalinya Subak Wongaya Betan dan subak-subak di kawasan Jatiluwih ke pelaksanaan pertanian organik, sehingga musuh alami dari tikus seperti ular mulai berfungsi sebagai pemangsa tikus.

Perempuan dan Ritual

Hasil wawancara dengan Ibu Ketut Witi salah seorang pengamat adat dan sesepuh adat (krama istri), menyatakan bahwa ritual (upacara) yang dilakukan sebenarnya bersifat simbolik. Ritual bukan merupakan pekerjaan tetapi kerja (karya) bukan kekaryan (pekerjaan yang meng-hasilkan uang). Jadi dalam melaksanakan upacara tujuan kita hanya satu yaitu memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atas segala limpahan rejeki dan kesehatan. Upacara tidak memiliki tujuan ekonomis, tetapi lebih banyak kearah spirit hidup.5 Ritual Agama bagi perempuan Bali adalah Kerja (dalam Bahasa Bali Alus karya atau gae dalam Bahasa Bali biasa). Walaupun dalam arti secara generik kerja memiliki juga arti bekerja yang dalam hal ini menda-patkan uang. Akan tetapi dalam konteks Agama dan Adat maka Madue Karya sering dikaitkan dengan upacara Agama atau Upacara lainnya yang berkaitan dengan Adat dan Budaya.

Secara sederhana ada tiga cara untuk memberikan arti kata karya atau gae dalam komunitas Hindu yaitu: pekerjaan yang berkaitan dengan karier, pekerjaan yang terkait dengan persiapan kegiatan upa-cara dan pelaksanaan upacara itu sendiri. Dalam kaitannya dengan upacara kegiatan perempuan akan selalu lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan pria, walaupun sebenarnya keterlibatan pria diperlu-kan terutama pada pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik

5 (lihat: Soegeng, 2008 tentang kapital spiritual).

Page 9: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

127

yang lebih besar. Akan tetapi umumnya pada pelaksanaan upacara perempuan akan memerlukan keterlibatan yang lebih banyak diban-dingkan dengan pria. Sehingga pada pelaksanaan ritual sebenarnya ada dominasi peran perempuan, walaupun hal ini sudah dianggap sesuatu yang biasa dan sesuatu yang wajar oleh masyarakat. Perempuan me-miliki kewajiban lebih banyak dalam persiapan dan pelaksanaan upacara.

Pada situasi yang serba sulit saat ini dan kenyataan bahwa semakin banyaknya kegiatan pria mencari pekerjaan di luar desa atau lingkungan tempat tinggal, maka secara otomatis pekerjaan perempuan semakin banyak dalam kaitannya dengan melakukan pekerjaan kese-harian (domestik work) dan pekerjaan di lahan pertanian. Tidak jarang perempuan malahan menghabiskan jam kerja mengelola lahan sawah mulai dari membibit, menanam, memelihara dan bahkan sampai memanen (Oedjoe, 2007). Dalam kaitannya dengan pekerjaan di lahan sawah tersebut maka perempuan pun akan mempersiapkan sesajen sepanjang musim tanam dan kemudian langsung melaksanakan upacara tersebut. Seperti tercetus dari hasil wawancara dengan Pak Supris (Klian Subak Jatiluwih) bahwa sebagai sebuah keluarga yang memiliki seorang anak laki-laki, pekerjaan di sawah biasanya dilakukan secara gotong royong. Mengawali pekerjaan di sawah seperti membajak sudah pasti akan dilakukan Pak Supris bersama-sama dengan putranya, sedangkan Bu Supris seorang ibu rumahtangga mambantu memper-siapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Setelah itu Bu Supris akan melanjutkan pekerjaan di sawah sampai pada kegiatan mewinih (membibit), nandur (menanam), mejukut (memelihara tanaman padi) dan bahkan sampai panen.

Yah..kalau dalam melakukan pekerjaan yang berat memang saya

dan anak saya yang mengerjakan, akan tetapi setelah itu karena saya harus mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh bangun-an dan anak saya juga mekuli (bekerja) di kota, otomatis semua pekerjaan setelah membajak dilakukan oleh istri saya. Itu sudah umum dilakukan di desa saya ini (Wawancara dengan Pak Supris).

Page 10: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

128

Pak Supris kemudian merenung sambil melihat tanaman padinya yang tumbuh subur dan mungkin sebentar lagi akan dipanen. Dalam situasi seperti ini biasanya Pak Supris yang menunggu sawah sambil sesekali mengusir burung yang memakan buah padinya. Akan tetapi karena Pak Supris sudah sejak 6 (enam) bulan terakhir bekerja sambilan di luar desa maka pekerjaan tersebut dilakukan oleh istrinya.

Seperti sekarang ini..Bu..ketika padi sudah mulai berbuah saya hanya bisa datang sekali-sekali untuk mengusir burung karena kebetulan libur di tempat saya nukang...kalau tidak..maka istri saya yang akan mengusir burung sambil membawa alat-alat sesajen untuk persiapan melakukan upacara di sawah....”

Pekerjaan mengusir burung sambil membuat sesajen telah menjadi pekerjaan rutin Bu Supris. Apalagi upacara ngusaba sebentar lagi digelar karena sudah mendekati panen. Pada upacara ini krama istri termasuk juga Bu Supris akan terlibat dari persiapan pembuatan sesajen sampai pada pelaksanaan ritual. Pak Supris kemudian mengatakan bagaimana istrinya sangat sibuk mempersiapkan upacara ngusaba yang dilaksanakan oleh subak.

Apalagi Bu.. pelaksanaan upacara di Subak sudah terjadwal..jadi kegiatan upacara hampir semuanya akan dikerjakan oleh krama istri (perempuan) termasuk istri saya, kalau saya sebagai krama laki-laki biasanya hanya mempersiapkan tempat sesajen dan bersih-bersih lingkungan. Kalau krama istri wah...banyak sekali tugasnya Bu...selain mempersiapkan sesajen juga biasanya ngayahin pemangku (membantu sulinggih) dalam pelaksanaan upacara. ” nak bise a wai bentet kurenan tyang ngae banten Bu.. (kegiatan tersebut bisa dilakukan hampir sehari penuh bahkan lebih). Mendengar suaminya bercerita demikian Ibu Supris hanya

tertawa sambil melanjutkan kegiatannya membuat untaian janur untuk persiapan sesajen. Memang dengan semakin sulitnya kehidupan sebagai petani, maka Pak Supris saat ini sedang bekerja sambilan sebagai buruh bangunan. Sedangkan putranya bekerja sebagai karyawan hotel di Kota Denpasar. Dengan situasi seperti ini maka selama para lelaki berada di luar rumah, otomatis segala tanggung jawab rumah tangga dan kegiatan di lahan pertanian akan diambil alih oleh perempuan. Seperti misalnya

Page 11: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

129

yang dilakukan ibu Supris, ketika Pak Supris berada di luar rumah sebagai tukang bangunan, maka semua kegiatan rumah tangga dari persiapan pangan, ritual dan pemeliharaan lahan sawah dilakukan ibu Supris. Keterlibatan perempuan yang dominan dalam pembuatan se-sajen dan pelaksanaannya berdampak pada hambatan dalam pencapai-an karier. Dari studi Nakatani (2003; 125-127), perempuan memiliki frekuensi keterlibatan dalam acara ritual rata-rata 50-60% di atas rata-rata pria. Data juga menunjukkan waktu yang dibutuhkan oleh perem-puan dalam pelaksanaan ritual adalah 75% sedangkan pria hanya 25%.

Akan tetapi kalau ditelaah lebih mendalam dari hasil wawan-cara dengan Bapak Supris sebenarnya partisipasi antara perempuan dan pria dalam pelaksanaan ritual sudah memiliki pembagian tugas. Walau-pun dari analisa waktu yang dihabiskan oleh perempuan dalam melak-sanakan upacara lebih tinggi akan tetapi dari segi beban kerjanya lebih besar bagi kaum laki-laki (lihat: Nakatani,2003). Misalnya seperti cerita Bapak Supris, perempuan memiliki tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan ritual sedangkan pria hanya bertugas mendekorasi tempat upacara dan mempersiapkan makan untuk keperluan upacara. Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan upacara ter-nyata tidak hanya dalam pelaksanaan upacara di lingkungan keluarga inti mereka, akan tetapi harus juga terlibat dalam pelaksanaan upacara di lingkungan lainnya seperti di lingkungan keluarga besar (Compound House), lingkungan Adat, kelompok kerja sosial lainnya (misalnya banjar), dan dilingkungan kelompok kerja pertanian (seperti Subak).

Pada tanggal 10 Mei 2010 dilaksanakan ritual pemelaspasan (peresmian) lumbung Subak Wongaya Betan di desa Mengesta. Lumbung ini merupakan bantuan Dinas Pertanian Provinsi Bali kepada Subak Wongaya Betan. Seperti fungsi lumbung pada umumnya, bangunan ini juga diharapkan dapat difungsikan sebagai tempat penyimpanan hasil panen bagi Subak Wongaya Betan. Di samping itu karena lumbung ini didesain bertingkat maka di areal bawah akan dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya seperti rapat, tempat pembuatan banten (sesajen) dan juga dipakai untuk tempat pertemuan lainnya. Lumbung harus diupacarai terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan,

Page 12: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

130

ritual yang dilakukan disebut pemelaspasan (peresmian). Peneliti kebetulan datang sehari sebelum ritual pemelaspasan akan dilaksana-kan (tanggal 9 Mei 2010), sehingga secara tidak langsung penulis melihat bagaimana anggota subak baik laki-laki maupun perempuan bergotong royong mempersiapkan pelaksanaan upacara esok harinya. Anggota subak laki-laki sibuk mempersiapkan asagan (meja tempat sesajen) yang terbuat dari bambu, sedangkan para istri (perempuan) sibuk mengurai janur untuk kelengkapan sesajen.

Dengan menggunakan pakaian adat sederhana (kemben dan kebaya) serta rambut digelung ke atas, para perempuan bekerja dengan tekun mempersiapkan sesajen sambil sesekali terdengar percakapan yang dilaksanakan di antara mereka. Sesekali seorang ibu memanggil bapak-bapak anggota subak mencarikan tali bambu yang akan diguna-kan mengikat sesajen-sesajen yang sudah selesai dirangkai. Sementara bapak-bapak yang lainnya sibuk juga mempersiapkan tenda tempat para tamu yang akan hadir dalam upacara peresmian esok harinya. Mereka terlihat sibuk mengangkat kursi-kursi, sebagian memasang janur di tenda yang telah terpasang dan 5 sampai 8 orang dari mereka juga sedang sibuk mempersiapkan konsumsi bagi para anggota yang sedang ngayah. Sekitar pukul 11.00 waktu setempat, makan siang sudah siap dihidangkan, dan pekaseh subak mengumumkan kepada anggota subak untuk istirahat makan siang. Seluruh anggota subak yang ngayah baik laki-laki maupun perempuan berhenti bekerja dan bersama-sama menikmati makanan yang telah disiapkan. Setelah itu anggota laki-laki membubarkan diri karena pekerjaan yang menjadi tanggung jawab anggota laki-laki sudah tuntas dilaksanakan, sedangkan kaum perempuan masih harus melanjutkan pembuatan sesajen sampai sore harinya sekitar jam 16.00 waktu setempat. Pembagian pekerjaan antara anggota subak laki-laki dengan anggota subak perempuan dalam setiap pelaksaan ritual subak disajikan pada Tabel 3. Data yang tercantum pada Tabel 3 merupakan waktu perkiraan yang penulis rangkum dari pengalaman mengikuti salah satu ritual yang dilakukan Subak Wongaya Betan sejak persiapan pembuatan upakara sampai pelaksanaan ritual. Dan juga bersumber dari wawancara lapangan dengan anggota subak perempuan. Dari Tabel 3 tersebut ternyata

Page 13: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

131

perbandingan waktu yang dibutuhkan perempuan dengan laki-laki dalam pelaksanaan ritual adalah 3:1.

Tabel 3 Pembagian Waktu yang Dibutuhkan oleh Perempuan dan Laki-laki

dalam Ritual Subak No Nama Ritual Jenis

Ritual Rentang Waktu Pelaksanaan

Keterlibatan Anggota (jam) Laki Perempuan

1 Mendak Toya Kolektif 8 jam 3 5 2 Ngendagin Personal 4 jam - 4 3 Ngurit Personal 4 jam - 4 4 Ngendagin Kolektif 8 jam 3 5 5 Ngewiwit Personal 4 jam - 4 6 Tutug Kambuhan Personal 4 jam - 4 7 Penyepian I Personal 4 jam - 4 8 Penyepian II Kolektif 8 jam 3 5 9 Mebiukungkung Personal 4 jam - 4 10 Mesaba/Ngusaba Nini Kolektif 8 jam 3 5 11 Nangluk Merana Kolektif 8 jam 3 5 Total 15 49

Menyikapi fenomena beban perempuan dalam pelaksanaan ritual, budaya dan kehidupan sosialnya, memang seolah tidak ada waktu bagi perempuan untuk berkarier di sektor publik (dalam hal ini pada kegiatan ekonomis). Hal ini yang terkadang menimbulkan ang-gapan bahwa semua yang dilakukan perempuan tersebut tidak berarti. Akan tetapi apakah anggapan tersebut benar? Mungkin kita perlu meresapi satu ayat dari kitab suci agama Hindu (Manawa Dharmasastr III.58) yaitu ”Yatra naryatu p jyante. Ramante tarra dewatah yatraitastu na p jyante sarvasastra phalah kriyah” yang memiliki arti ”Di mana wanita dihormati di sanalah para Dewa senang dan me-limpahkan anugrahnya. Di mana wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci apa pun yang memberikan pahala mulia” (seperti dikutip dari Wiana, 2010). Filosofi yang terkandung sangat dalam bahwa perempuan adalah makhluk yang seharusnya dihargai karena perem-puan adalah kesayangan Sang Pencipta, dan hal ini merupakan satu bukti bahwa perempuan merupakan modal manusia yang mampu mendorong kegiatan kolektif ke arah yang positif.

Page 14: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

132

Hal ini juga tersirat dari hasil penelitian Nakatani (2003) bahwa walaupun keterlibatan perempuan dalam pembuatan sesajen sangat menyita tenaga dan waktu, akan tetapi beberapa perempuan merasa sangat terhibur pada saat mereka membuat sesajen bersama-sama di Balai Banjar (Ruang Banjar). Karena pada kesempatan tersebut perem-puan biasanya dapat saling berkomunikasi membicarakan segala hal dengan sesama perempuan, sehingga mereka merasa gotong royong membuat sesajen merupakan sebuah hiburan untuk menghilangkan kepenatan urusan rumah tangga. Seperti yang diceritakan oleh Ibu Kadek (Wongaya Betan): Membuat sesajen memang repot..banyak menyita waktu..apalagi

harus meninggalkan rumah untuk ngayah (membantu). Tetapi menurut saya justru kesempatan tersebut saya gunakan untuk bertukar pikiran dengan ibu-ibu lainnya. Yah..kadang-kadang bercerita tentang anak-anak, tukar pikiran tentang keadaan padi di sawah...dan malah sering saya mendapatkan cara-cara baru dalam mengolah hasil sawah ..misalnya saja tentang penanaman padi hitam..dan organik saya peroleh dari teman saya yang suaminya ketua kelompok tani dan ternak di Tabanan. Oya pokoknya saya pribadi membuat sesajen dan melaksanakan upacara adalah sebuah keharusan..jadi tidak boleh ditolak. Saya menjalaninya saja Bu....”

Dari wawancara tersebut dapat dilihat bahwa selain kegiatan

membuat banten (sesajen) ternyata perempuan memanfaatkan perte-muannya di banjar maupun di Balai Subak sebagai sebuah ruang berkomunikasi dan bertukar pikiran sehingga secara tidak langsung akan terjadi interaksi antara sesama perempuan dilingkup anggota subak. Seperti terlihat pada suatu kegiatan pembuatan sesajen untuk upacara subak mendak toya di Subak Wongaya Betan. Setelah sangkep (rapat) subak yang dihadiri anggota laki-laki memutuskan akan dila-kukan ritual mendak toya sebagai tanda bahwa pengolahan lahan akan dimulai, maka pekaseh subak akan memberitakan kepada krama istri (anggota perempuan) untuk mulai menentukan hari ritual tersebut akan dilaksanakan. Setelah hari pelaksanaan ritual ditentukan, maka krama istri (dipimpin oleh istri pekaseh subak) mulai mengatur strategi untuk menyongsong pelaksanaan ritual tersebut. Istri pekaseh subak

Page 15: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

133

membagi tugas untuk persiapan pembuatan sesajen kepada masing-masing anggota subak perempuan di Balai Subak Wongaya Betan. Para perempuan berkumpul di Balai Subak setelah mendengar suara kulkul 6(kentongan).

Dengan mengenakan pakaian adat sederhana para krama istri subak mulai membuat persiapan sesajen. Sesekali mereka terlihat mengobrol dan tertawa-tawa sambil tetap melakukan persiapan sesa-jen. Kebersamaan mereka terlihat sangat komunikatif, dan bersahabat. Dari penuturan Ibu Kadek tersirat bahwa dalam situasi seperti ini perempuan merasa lebih nyaman dan bisa berkonsentrasi dalam ke-giatan persiapan sesajen yang selalu akan terkait dengan seni membuat hiasan dari janur. Perempuan banyak yang merasakan penyucian diri dan pikiran pada saat mereka serius menekuni pekerjaan persiapan sesajen (nyuciang pikayun). Selanjutnya setelah sesajen selesai maka tiba saatnya perempuan dan keluarga menghaturkan sesajen tersebut ke Pura dengan memakai pakaian yang terbaru maka segala kesulitan dan kesusahan yang dihadapi berkaitan dengan pekerjaan yang lain dan bagaimana masalah mereka dengan kesulitan untuk mendapatkan uang seolah sejenak terlupakan. Beberapa dari mereka kelihatan bangga dengan hasil kerja mereka pada tampilan sesajen yang mereka haturkan. Biasanya perempuan merasa bahagia kalau mereka mampu menghaturkan sesajen yang baik. Demikian cerita Ibu Kadek sambil melanjutkan menjemur gabah di halaman rumahnya.

Berdasarkan penuturan Ibu Kadek memang saat ini sudah banyak orang yang menjual banten (sesajen) untuk keperluan upacara. Banten dengan mudah dapat dibeli, selama masyarakat mampu membeli. Akan tetapi karena ada makna-makna pertukaran pengetahuan dan pengalaman dalam kegiatan gotong-royong pembuatan sesajen tersebut membuat anggota subak tidak pernah membeli sesajen. Mereka selalu meluangkan waktu untuk berkumpul pada saat-saat pembuatan sesajen

6Kulkul: kentongan yang dibuat dari bambu. Suara kentongan ini biasanya sebagai pertanda waktu untuk berkumpulnya anggota subak untuk memulai suatu kegiatan. Kentongan ini biasanya ditempatkan di Balai Subak. Di Bali kulkul ini juga dimilki oleh setiap Banjar Adat, dan memilki fungsi yang sama dengan kentongan yang ada di Balai Subak.

Page 16: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

134

dan upacara. Lebih lanjut ditambahkan Bapak Kadek sebagian besar krama subak (anggota subak) seolah merasa tidak puas karena mereka merasa kehilangan ikatan sosial dan makna relasi sosial yang selama ini terpelihara diantara sesama krama. Di samping juga perasaan bersalah terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena tidak melaksanakan kewajiban akhirat (niskala). Apalagi dikaitkan dengan kewajiban ngayah dari sisi fana (sekala) untuk kepentingan bersama, subak memiliki Awig-awig (aturan) yang akan mengenakan sanksi bagi mereka yang tidak berperan aktif dalam kegiatan bersama. Menurut Bapak Kadek baik kewajiban terhadap Ida Sang Hyang Widhi maupun kewajiban terhadap sesama krama dalam bentuk ngayah sama-sama memiliki kekuatan yang sangat jarang dilanggar oleh krama. Jadi sebenarnya pelaksanaan ritual merupakan pengikat anggota subak dalam melakukan kegiatannya, karena secara tidak langsung dengan kepercayaan dan ketaatan terhadap nilai dan norma yang bersifat tidak nyata maupun nyata masyarakat petani khususnya yang tergabung dalam subak akan mengikuti aturan-aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Sistem nilai sebagai elemen supra sistem mempunyai hubungan fungsional dengan sistem yang lain, seperti sikap dan prilaku manusia. Sistem nilai juga mempengaruhi dan menata sikap prilaku manusia pendukungnya, serta sebagai perangkat gagasan yang dianggap baik atau buruk, penting atau tidak penting, berguna tidak berguna pantas atau tidak pantas, disenangi atau dibenci, sehingga cenderung untuk diwujudkan atau dihindarkan dalam prilaku. Dalam pengertian ini nilai budaya pada hakikatnya juga berperan sebagai sumber motivasi. Sistem nilai sebagai suatu pembentuk identitas secara normatif ber-fungsi sebagai penata sikap dan prilaku masyarakat pendukungnya. Secara implementasi terlihat pada berbagai aktivitas masyarakat seper-ti: aktivitas seni, aktivitas ritual, aktivitas ekonomi maupun aktivitas politik. Secara simbolik sistem nilai merupakan kerangka acuan berba-gai produk budaya material dan cara-cara manusia serta masyarakat dalam menanggapi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini berlaku juga dan tampak pada pola kehidupan petani.

Page 17: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

135

Dalam kehidupan nyata krisis identitas sering terkait dengan krisis nilai. Dalam kondisi seperti ini petani akan goyah kehilangan pegangan hidup. Dampak lebih lanjut adalah krisis identitas dan krisis nilai dapat menimbulkan ketegangan jiwa, keresahan sosial dan penya-kit sosial lainnya. Hal ini sebenarnya masih terjadi dalam subak, misal-nya saja masih ada beberapa anggota subak yang melanggar aturan yang telah disepakati, akan tetapi masih dapat diatasi dengan adanya keyakinan bahwa pelanggaran yang dilakukan akan selalu berdampak negatif bagi yang melanggar. Jadi secara keseluruhan sebenarnya yang terpenting dalam mempertahankan identitas diri petani adalah modal manusia dari petani itu sendiri.

Secara normatif, kualitas dilihat sebagai tingkat kesempurnaan seseorang atau kelompok manusia dalam perbandingan dengan kelom-pok lain. Salah satu dimensi kualitas manusia adalah kualitas spiritual, kepribadian, kemasyarakatan, dan budaya. Hal-hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap sistem nilai dan pandangan hidup manu-sia termasuk petani. Menurut Griya (1985) kebudayaan Hindu dan kebudayaan petani menempati posisi sentral dalam struktur nilai budaya Bali. Kalau pendapat Geertz (1983) tentang agama yang terikat dengan budaya, maka sangatlah signifikan kalau ritual akan sangat terkait pula dengan budaya Bali.

Ritual-Ritual Keagamaan dalam Subak

Ritual seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan suatu ke-giatan simbolis pelaksanaan Agama dan Adat di Bali yang dilaksanakan secara berulang sesuai dengan perhitungan hari baik (padewasan). Seperti dinyatakan oleh Krisnu (1991) bahwa ajaran agama Hindu me-liputi tiga kerangka yaitu: Tatwa, Etika dan Upacara. Ketiga kerangka ini dalam pelaksanaannya biasanya terpadu sehingga merupakan suatu kesatuan dalam pelaksanaan agama Hindu yang utuh. Akan tetapi sering kesatuan yang lebih menonjol dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali adalah elemen upacaranya. Hal ini karena memang melalui bagian inilah agama Hindu diimplementasikan umatnya yang merupakan bagian ”karma kandanya”. Berkaitan dengan upacara atau yadnya yang

Page 18: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

136

dilakukan oleh Umat Hindu dalam lingkungan Subak upacara-upacara tersebut pun dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa pernah terlupa-kan. Upacara-upacara tersebut dilaksanakan mulai dari saat memper-siapkan saluran air, mempersiapkan lahan, mempersiapkan bibit sampai pada akhirnya melakukan panen dan melakukan syukur pada saat panen sudah berhasil.

Jenis ritual yang dilakukan selama satu musim tanam oleh subak sangat banyak, dalam bagian ini hanya akan dipaparkan secara ber-urutan pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh krama Subak Wongaya Betan sesuai dengan hasil wawancara dengan Pekaseh dan Kelian Subak. Paparan ini akan menjelaskan nama ritual, maksud dari ritual tersebut dilaksanakan lengkap dengan sarana yang digunakan. Menu-rut Pekaseh Subak, dan Kelian Subak, rangkaian upacara (ritual) di subak diawali dengan ritual Mapag Toya (menjemput air) yang dila-kukan secara kolektif oleh anggota subak di empelan (dam) ataupun sumber air lainnya. Ritual ini bertujuan agar debit air dan kualitas air mencukupi dan berkualitas baik bagi tanaman warga subak. Di samping itu ritual ini juga bertujuan untuk memohon keselamatan bagi warga subak agar tanaman berhasil berproduksi baik.

Saat pengolahan tanah dilakukan ritual Ngendagin sebagai bentuk penyampaian atau berita bahwa tanah akan diolah kehadapan Ida Betara Ratu Penyarikan dalam manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai penguasa tanah. Sarana yang digunakan berupa sesajen canang sari, dengan kelengkapan bunga pucuk Bang (kembang sepatu warna merah) yang merupakan simbol dari Betara Surya (Dewa Matahari) yang dianggap sebagai sumber energi dari alam. Mengakhiri ritual ini biasanya secara simbolis petani melakukan pengolahan di lahan sawah Pekaseh atau Kelian Subak dengan menggunakan sapi. Di kawasan ini memang petani jarang membajak menggunakan traktor, selain karena tofografinya mengharuskan sawah memiliki terasering, juga karena petani menyadari membajak dengan traktor hanya mem-balik tanah secara dangkal sehingga kurang baik untuk pembalikan lahan. Kata pekaseh tanah malah semakin keras kalau membajak menggunakan traktor.

Page 19: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

137

Dalam rangka pembuatan tempat persemaian sampai kegiatan menabur benih dilakukan ritual Ngurit dengan sarana sesajen yang sama dengan ritual Ngendagin. Upacara (ritual) ini bersifat personal, sehingga semua kelengkapan sarana ritual dipersiapkan masing-masing keluarga petani, biasanya oleh kaum perempuan di keluarga petani bersangkutan. Setelah sesajen siap, pelaksanaan ritualnya hanya di-lakukan keluarga petani yang biasanya terdiri dari suami dan istri dari petani bersangkutan. Persiapan pelaksanaan ritual diawali dengan bersih-bersih di hulu sawah keluarga petani bersangkutan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan ritualnya. Warga subak perempuan pertama-tama menghaturkan canang sari pada tempat yang telah dipersiapkan yang disebut sanggah7, dilanjutkan dengan muspa bersa-ma dengan sarana bunga warna-warni, dan diakhiri dengan nunas tirta (minum air suci).

Setelah benih siap untuk ditanam di lahan, warga subak secara kolektif melaksanakan ritual Ngrasakin. Ritual ini diawali dengan pemotongan daun bibit padi oleh pekaseh subak. Pemotongan ini dipercaya dapat mencegah bibit yang ditanam tidak mudah rebah bila diterpa angin dan juga untuk merangsang pertumbuhan. Ritual ini dilaksanakan di Pura Bedugul (hulu carik) karena memang letak pura ini biasanya di hulu areal subak. Karena merupakan ritual kolektif maka seluruh anggota subak wajib mengikuti ritual ini. Setelah ritual selesai dilaksanakan, masing-masing anggota subak biasanya membawa sedikit bibit padi dan potongan daun bibit padi (jejaton) ke masing-masing sawah anggota subak, yang kemudian secara simbolis akan ditanam di lahan masing-masing anggota subak.

Ritual di atas dilakukan sebelum penanaman bibit padi di lahan sawah anggota subak. Pada saat bibit padi di persemaian sudah siap tanam, warga subak akan melaksanakan ritual Ngewiwit. Ritual ini dilakukan secara kolektif terlebih dahulu di areal sawah pekaseh subak sebagai tanda bahwa penanaman padi sudah boleh dilaksanakan di masing-masing lahan anggota subak. Penanaman dilakukan secara se-

7 Sanggah adalah simbolisasai dari pura yang dibuat dari bamboo, yang berfungsi sebagi tempat upakara diletakkan pada saat ritual dilaksanakan.

Page 20: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

138

rempak, yang diyakini akan dapat megurangi siklus hama dan penyakit sehingga pengendalian dapat dipermudah. Menurut cerita pekaseh, dulu setelah upacara ngewiwit dilaksanakan penanaman secara ber-giliran dimulai dengan melakukan penanaman di lahan pekaseh secara gotong royong kemudian dilanjutkan dengan penanaman pada lahan anggota subak yang lainnya secara bergantian. Jadi pada masa itu keeratan hubungan antar anggota masih sangat kental demikian juga halnya dengan nilai gotong-royong masih sangat dijunjung tinggi warga subak. Akan tetapi dengan terjadinya perubahan kepentingan dan arus modernisasi yang menyebabkan beberapa individu berpikiran ekonomis dan individualis, maka penanaman secara gotong-royong sudah tidak banyak dilakukan lagi. Walaupun memang diakui oleh pekaseh bahwa masih ada beberapa anggota subak yang mau melaku-kan penanaman serempak dengan cara gotong royong.

Saat padi berumur 42 hari (42 hst), dilaksanakan ritual Tutug Kambuhan. Ritual ini identik dengan upacara yang dilakukan pada fase kehidupan manusia. Pada masa ini manusia atau bayi akan mulai lincah sehingga ritual harus dilaksanakan untuk perlindungan terhadap si anak. Ritual ini pun memiliki tujuan yang sama yaitu menghaturkan terimakasih karena tanaman sudah tumbuh dengan baik sampai umur 42 hst, dan memohon keselamatan tanaman selanjutnya sehingga mampu berproduksi dengan baik. Upacara berikutnya adalah Penye-pian Pemungkah (nyepi). Upacara penyepian ini dilakukan dua tahap. Penyepian tahap I dilakukan setelah upacara Tutug Kambuhan dengan tujuan agar serangan hama dan penyakit sepi (sipeng), dalam arti tidak ada serangan hama dan penyakit di pertanaman anggota subak. Setelah upacara penyepian ini dilakukan biasanya anggota subak tidak akan beraktivitas selama tiga hari di lahan pertaniannya. Ketentuan ini biasanya tidak boleh dilanggar anggota subak. Kalau seandainya ada yang melanggar maka akan dikenakan sangsi. Sanksi bisa berupa uang sebesar 2,5 juta rupiah, atapu berupa sesajen dengan melaksanakan ritual Pecaruan Panca Sato (ritual dengan menggunakan korban 5 ekor hewan yang berbeda). Penyepian tahap II dilaksanakan ketika tanaman berumur 72 hari (72 hst), dengan rangkaian ritual nunas tirta ( mohon air suci) di Pura Luhur Pekendungan (pura subak Gede) yang diikuti

Page 21: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

139

semua anggota subak. Tirta (air suci) yang diperoleh dari pura Pekendungan tersebut akhirnya dibagikan ke masing-masing anggota subak dipergunakan di keluarga dan lahan masing-masing petani. Tujuan upacara ini adalah selain memohon keselamatan juga untuk pengendalian hama tikus. Ritual Penyepian ini oleh anggota Subak Wongaya Betan dikaitkan dengan piodalan8 di Pura Batu Panes

Pada saat tanaman berumur 82 hst. dilaksanakan upacara Mabiukungkung dengan sarana asem-aseman (menggunakan bahan-bahan untuk membuat rujak). Tujuan ritual ini adalah melambangkan tanaman padi pada umur 82 hst. ini sudah memasuki fase mulai berbuah sehingga diumpakan tanaman padi tersebut mengalami fase” ngidam” dianalogikan dengan fase hamil pada manusia. Sehingga pada fase ini ritual yang dilakukan menggunakan asem-asem agar padi akan berbuah lebat dan bernas karena kebutuhan pada saat ngidam sudah terpenuhi. Setelah ritual ini dilakukan maka petani (kaum perempuan) akan tetap menghaturkan ritual berupa sesajen (sesajen) sederhana yang dilakukan secara individu oleh masing-masing anggota subak, sambil menunggu padi siap untuk dipanen. Pada masa ini juga sering dilakukan ritual nangluk merana yang menurut penuturan Kelian Subak ritual ini memiliki tujuan menghindarkan tanaman padi yang sudah mulai berbuah dari seranga hama dan penyakit tanaman terutama serangan tikus. Ritual ini dilaksanakan secara kolektif, yang diawali dengan memohon tirta (air suci) di Pura Luhur Pekendungan Tanah Lot. Tirta ini kemudian dipercikkan pada tanaman padi di masing-masing lahan anggota subak. Saat memercikkan tirta ini biasa-nya disertai dengan sesajen caru (persembahan untuk makhluk gaib) yang disebut Bhuta Kala9 yang dipercaya mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Ritual ini bisa menjadi sesuatu yang besar dan harus dilaksanakan secara koordinatif antar subak di tingkat Kecamatan bahkan di tingkat kabupaten apabila serangan hama dan penyakit semakin merajalela.

8 Piodalan: perayaan di Pura yang biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali secara ber-kelanjutan. 9 Bhuta Kala: Bagi umat Hindu Bali Bhuta Kala diyakini memiliki kekuatan negatif

Page 22: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

140

Sekitar 2-3 hari menjelang panen anggota Subak Wongaya Betan melaksanakan ritual Mesaba secara kolektif di Pura Bedugul. Ritual ini bertujuan untuk menyampaikan (pemberitahuan) kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Betara Ratu Penyarikan, bahwa buah padi akan dipanen. Ritual ini juga memiliki fungsi sebagai rasa syukur bahwa panen akhirnya dapat dialksanakan dan padi berbuah dengan baik. Setelah upacara ini selesai dilakukan di Pura Bedugul, masing-masing anggota subak pun akhirnya melaksana-kan upacara yang sama (walaupun menggunakan sarana yang lebih sederhana) di masing-masing sawah anggota subak. Pada saat panen biasanya petani akan menyisihkan sedikit padi lengkap dengan tang-kainya. Padi ini kemudian diikat menjadi satu sebagai simbol Dewa Nini (lambang dari Dewi Sri yaitu Dewi kemakmuran). Dewa Nini ini akhirnya akan dituntun (diusung) ke masing-masing rumah anggota subak utnuk disimpan di Lumbung (jineng) yang dirangkaikan dengan ritual Dewa Nini.

Walaupun jenis ritual yang dilakukan selama satu musim tanam oleh subak sangat banyak, akan tetapi 2 (dua) jenis upacara yang akan dimuat dalam bagian berikut sangat kental dengan sisi kearifan lokal, sentuhan gotong royong, proses interaksi dan relasi sosialnya. Kedua upacara ini tergolong upacara yang besar dan dilakukan secara bersa-ma oleh subak. Kedua upacara tersebut adalah upacara Nangluk Merana dan Ngusaba Nini. Ritual (upacara) ini merupakan upacara kunci dari implementasi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan lingkungan (filosofi THK). Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana keterkaitan antara ritual Nangluk Merana dengan pengendalian hama di lahan pertanian, yang tentu saja akan sangat menentukan keber-hasilan pertanaman di areal pertanian. Demikian juga dengan ritual Ngusaba Nini yang memiliki pelambangan sebagai ungkapan rasa terimakasih karena telah diberikan anugerah oleh Tuhan dalam bentuk panen yang melimpah.

Page 23: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

141

Nangluk Merana

Upacara Nangluk Merana yang telah umum dilaksanakan di kalangan umat Hindu di Bali khususnya masyarakat petani adalah tergolong upacara Bhuta Yadnya. Akan tetapi kaitannya dengan Dewa Yadnya tidak dapat dipisahkan. Kata Nangluk Merana (bahasa Bali) berarti menangkal, memagari atau mencegah agar hama dan penyakit tidak menggangu tanaman petani. Upacara ini sebenarnya bermakna memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar berkenan mengendalikan hama dan penyakit. Sebagai umat beragama yang taat kepada ajaran agama yaitu Hindu, mereka percaya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu Umat Hindu dalam usaha menangkal dan mengendalikan hama dan penyakit tanaman selalu memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui berbagai bentuk upacara yang dipesembahkan pada hari-hari tertentu.

Sebagaimana dalam setiap upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu upacara Nangluk Merana ini dalam pelaksanaannya juga di-warnai dengan unsur ”desa, kala, patra” (tempat, waktu dan kebiasaan) serta tingkatan upacara dalam agama Hindu ”Nista, Madya, Utama” (sederhana, menengah dan utama). Hal ini menunjukkan bahwa fleksi-bilitas agama Hindu adalah sangat tinggi, sehingga dalam pelaksanaan setiap upacara akan telihat berbagai variasi dalam pelaksanaannya. Akan tetapi makna dan maksud yang dikandung dalam setiap upacara adalah tetap sama. Yang perlu mendapat perhatian umat Hindu adalah bagaimana prinsip-prinsip dan tujuan dari upacara tersebut tetap di-patuhi. Bagi Umat Hindu di Bali upacara Nangluk Merana merupakan upacara yang dilakukan dalam rangkaian upacara (ritual) yang dilaku-kan oleh Subak di lahan pertanian. Waktu pelaksanaan biasanya sudah ditentukan oleh sistem kalender (penanggalan Hindu), di samping juga kesepakatan anggota subak itu sendiri.

Pelaksanaan upacara Nangluk Merana ini biasanya sekali dalam satu musim tanam. Akan tetapi seandainya serangan hama dan penyakit baik berupa serangan tikus, walang sangit, atau hama dan penyakit lainnya menyerang setelah pelaksanaan upacara maka petani

Page 24: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

menggunakan cara-cara mekanis sesuai dengan tingkat serangan yang terjadi. Seperti dikatakan oleh Pekaseh Subak bahwa upacara Nangluk Merana dilakukan ketika padi berumur 85 hari setelah tanam (hst). Upacara ini diawali dengan kegiatan nunas tirta (memohon air suci) di Pura Pekendungan Tanah Lot (Pura ini terletak sekitar 20 km ke arah Selatan Desa Mengesta). Pura ini dianggap tempat berstananya (tempat pemujaan) dari Dewa Sri. Pura ini sering juga disebut dengan Pura Subak Gede. Karena berkaitan dengan permohonan air suci maka

( a )

142

Page 25: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

(b)

Gambar 17 a) Berjuang Memburu Tikus; b) Tikus-tikus Hasil Buruan

Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010

sumber air yang berada di sekitar Pura ini harus dijaga kelestariannya sehingga setiap pelaksanaan upacara Nangluk Merana ini sumber air masih tetap ada. Praktik ini sangat erat kaitannya dengan pemeliharaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

143

Lebih lanjut ditambahkan bahwa berkaitan dengan upacara pengendalian melalui ritual Nangluk Merana ini, jika setelah upacara dilaksanakan ternyata serangan hama semakin mengganas (biasanya untuk serangan hama tikus) maka pengendalian dengan cara yang agak spesifik dilakukan. Cara-cara yang dipakai dalam pengendalian tikus ini adalah dengan cara mekanis yaitu dengan pengomposan di sarang-sarang tikus pada pematang sawah. Setelah dilakukan pengomposan maka tikus akan keluar dari sarang baru kemudian dipukul secara

Page 26: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

144

bersama-sama. Waktu pengomposan tikus ini biasanya dijadwalkan subak setempat. Setelah tikus-tikus tersebut terkumpul kemudian dila-kukan upacara pengabenan tikus, karena seperti konsep yang dikemu-kakan oleh Krisnu bahwa mrana (dalam hal ini tikus) adalah ciptaan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, oleh karena itu umat Hindu senan-tiasa selalu diingatkan bahwa setiap ciptaan NYA wajib di hormati seperti kita menghormati diri kita sendiri (tatwamasi) sehingga tikus-tikus ini pun akhinya akan diupacarai seperti upacara yang dilaksa-nakan pada manusia yaitu ngaben tikus10”. Ngaben tikus ini biasanya dilakukan secara bersama oleh beberapa subak yang letaknya ber-dekatan.

Seperti telah disinggung sebelumnya, hampir semua sesajen yang dilaksanakan dalam kepercayaan umat Hindu merupakan simbol yang mereka sadari harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Telah menja-di sugesti (pikiran yang mengikat) bagi setiap umat Hindu bahwa dengan melakukan semua upacara tersebut maka mereka akan selalu dalam keadaan selamat, akan terjadi malapetaka apabila mereka tidak melakukan upacara. Hal ini terungkap dari wawancara dengan ketua kelompok petani organik di Subak Wongaya Betan bahwa tidak ada satu pun anggota kelompok maupun anggota subak lupa untuk melaku-kan rangkaian upacara yang dilaksanakan dalam satu musim tanam pertanaman padi mereka. Kalau seandainya terjadi maka mereka ber-pikir bahwa malapetaka akan menimpa keluarga atau kelompok yang tidak melakukan upacara tersebut.

Ngusaba Nini

Walaupun pelaksanaan upacara agama Hindu bervariasi, namun inti hakikat upacara itu adalah sama. Dalam hal ini agama Hindu (umat Hindu) melaksanakan upacara berpatokan pada desa, kala, patra. (bahasa Bali) yang artinya disesuaikan dengan tempat dimana upacara

10 Ngaben tikus: upacara yang dilakukan terhadap bangkai tikus hasil pengendalian secara mekanis. Bangkai-bangkai ini kemudian diupacara seperti upacara ngaben yang dilakukan terhadap manusia yang bergama Hindu di Bali. Pada akhir upacara ini abu tikus tersebut akan dibuang ke laut, dengan harapan hama tikus tidak akan kembali menyerang tanaman di lahan persawahan petani.

Page 27: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

145

dilakukan, disesuaikan dengan waktu dan disesuaikan dengan kesepa-katan warga setempat. Pesan-pesan dan ajaran yang disampaikannya adalah kebenaran abadi. Ajarannya berlaku di tingkat apa pun, di tempat mana pun dan untuk waktu kapan pun. Ditambahkan pula bahwa umat Hindu Bali sangat percaya akan kebenaran suatu per-buatan pasti akan mendapatkan hasil, tidak ada sesuatu perbuatan yang sia-sia dalam kehidupan ini. Mereka percaya bahwa akan selalu terjadi timbal balik dalam kehidupan ini (resiproksitas). Jika manusia meng-ambil sesuatu dari ciptaan Sang Hyang widhi Wasa maka manusia diharapkan harus senang dan rela menghaturkan sesuatu kepadaNya. Dengan adanya kepercayaan timbal balik ini maka pelaksanaan yadnya di Bali tidak mungkin dihapuskan atau dihilangkan atau ditinggalkan begitu saja. Karena menurut kepercayaan umat Hindu semua yang ada di dunia ini adalah hutang yang harus dibayar dengan salah satunya yaitu melalui pelaksanaan Yadnya. Umat Hindu khususnya petani memuja Dewi Sri sebagai Istadewata. Dewi Sri sering dilambangkan sebagai dewinya padi atau beras yang menjadi sumber kehidupan petani dan upacara Ngusaba Nini adalah pemujaan Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewi Sri serta memohon kepadaNya agar hasil-hasil pertanian berlimpah-limpah serta menjauhkan dari hama dan penyakit.

Ngusaba Nini berasal dari kata ngusaba dan kata nini. Ngusaba (usaba) artinya adalah upacara selamatan desa atau subak. Ngusaba melaksanakan upacara selamatan desa atau subak (Namayuda, 1999). Kata Nini berarti nenek (panggilan) sebutan untuk wanita tua. Berda-sarkan sumber lain Kamus Bali Indonesia, (1990;782 dalam Namayuda, 1999) nini juga berarti nenek perempuan, Dewa padi. Ngusaba Nini ini mengandung pengertian upacara ditujukan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai pemelihara yang dikhusus-kan lagi dalam satu aspek kehidupan pokok bagi manusia yaitu padi.

Page 28: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Gambar 18 Semua berperan dalam ritual ngusaba nini

Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2011

Pelaksanaan upacara Ngusaba atau sering juga disebut Mesaba agak sedikit berbeda di antara satu subak dengan subak lainnya. Ngusaba di Wongaya Betan misalnya yang dilakukan secara besar-besaran melibatkan seluruh anggota Subak. Akan tetapi untuk subak di lain daerah upacara Mesaba biasanya dilakukan 2-3 hari sebelum panen di Pura Bedugul Sawah, dan hanya dilakukan masing-masing individu. Hal ini menunjukkan bahwa setiap rangkaian upacara yang dilaksana-kan di masing-masing wilayah bersifat fleksibel tergantung dari desa, kala, dan patra (tergantung dari kondisi dan kebiasaan) dari setiap wilayah tersebut. Hal ini akan terkait dengan kenyataan bahwa dalam pertumbuhan kehidupan beragama Hindu dewasa ini, telah muncul keinginan umatnya untuk meningkatkan cara hidup beragama serta mendalami ajaran-ajaran agama Hindu dengan pendekatan rasionalis- 146

Page 29: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

147

filosofis. Kesadaran ini untuk mengurangi hal-hal yang dogmatis dengan mempergunakan kajian sastra agama yang ada dalam pustaka lontar maupun kitab lainnya. Dalam konteks ini perlu pengkajian dengan seksama tentang peranan upacara agama Hindu untuk dapat dipahami arti, fungsi dan manfaatnya dalam kehidupan ini. Dengan pemahaman yang tepat akan menambah kemantapan perasaan umat dalam pelaksanaan upacara agama Hindu. Mengenai adanya keyakinan dari petani akan adanya kesengkalan (kena marabahaya) apabila tidak melaksanakan upacara Mesaba ini, maka Pekaseh Subak Wongaya Betan pun belum memahami keterkaitannya. Akan tetapi pernah ada kejadian salah satu anggota yang tidak melaksanakan upacara ini, maka buah padi petani tersebut kosong walaupun tanaman padinya kelihatan tumbuh normal.

Upacara Ngusaba Nini diawali dengan membuat pelambangan Dewa Nini (sebagai perwujudan Dewi Sri) yang dipercaya sebagai lambang Dewa Kesuburan. Pelambangan Dewa Nini ini terdiri dari satu ikat padi lokal hasil panen dari masing-masing anggota subak yang digabungkan dan diikat menjadi satu. Setelah padi tersebut diikat ke-mudian ditempatkan pada sanggah (tempat yang terbuat dari bambu), dimana kemudian padi ini dihias dengan aneka warna bunga. Setelah pelambangan yang terbuat dari padi berhiaskan bunga siap, selanjutnya ditempat pada sanggah yang sudah dipersiapkan dan kemudian diberi-kan sesajen (sesajen) yang terdiri dari daksina, canang sari dan aneka buah dan jajan. Pemangku kemudian membacakan mantra-mantra (pujian yang ditujukan kehadapan Tuhan) dan upacara ini diakhiri dengan sembahyang bersama dan minum air suci yang dipercikan oleh pemangku. Setelah itu setiap anggota subak akan membawa air suci tersebut ke lumbung masing-masing untuk dipercikan. Hal ini dilaku-kan sebagai rasa terimakasih kehadapan Tuhan karena panen berhasil dan lumbung petani tetap terisi, sehingga memiliki persediaan pangan untuk dijual maupun untuk dikonsumsi.

Pelambangan Dewa-Dewi

Pemakaian istilah Dewi mengandung suatu pengertian sakti. Dalam kepercayaan Agama Hindu setiap Dewa dilambangkan dengan

Page 30: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

148

seorang pria dan kemudian Dewa perempuan dilambangkan dengan seorang Dewi yang merupakan sakti dari Dewa. Dalam pemikiran umat Hindu, Dewa akan berfungsi sempurna kalau beliau dibantu oleh kekuatan Dewi yang merupakan sakti dari Dewa. Dewa dan Dewi dalam pemaknaan umat akan memiliki fungsi yang spesifik.

Implementasinya dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu ter-nyata mengacu ke konsep Dewa dan Dewi tersebut. Misalnya saja seorang anggota subak pria akan tercatat secara formal di keanggotaan subak, akan tetapi dalam hal pekerjaan yang dilaksanakan subak maka istri anggota subak otomatis akan berperan juga dalam areal subak bukan hanya dalam pekerjaan di lahan pertanian, para perempuan juga sangat berperan melaksanakan segala kebutuhan dan keperluaan yadnya dan ritual yang dilakukan subak. Walaupun memang pada penentuan dan pengambilan keputusan untuk melakukan ritual tetap ditentukan oleh rapat anggota subak yang secara tidak langsung ditentukan kaum suami (pria). Selama ini memang menurut penuturan Ibu Wayan (anggota subak perempuan) belum pernah ada keluhan tentang hal tersebut. Lebih lanjut ditambahkan oleh Ibu Kadek (istri Pekaseh Subak) bahwa kalau jenis upacara yang akan dilakukan tergo-long besar (”karya Ageng”) maka pengurus istri akan mengadakan rapat pembagian kerja dan pembagian pembuatan sesajen (banten). Pada pembagian ini biasanya tidak seorang pun berani menolak apa yang sudah ditugaskan pengurus, sehingga ketika pertanyaan tentang bagai-mana pendapat Ibu Kadek terhadap adanya anggapan bahwa melak-sanakan upacara merupakan sesuatu yang mubasir, seolah tidak ber-guna langsung dibantah oleh Ibu Kadek.

Kalau menurut saya pelaksanaan sesajen tetap penting dan harus dilakukan. Walaupun pada suatu saat mungkin saya tidak me-miliki uang, tetapi saya akan tetap berusaha untuk melaksana-kannya. Dan anehnya memang kalau sudah tiba waktunya untuk membuat sesajen maka pasti saya akan punya uang untuk melakukan upacara tersebut.

Dari beberapa pengalaman Ibu Kadek pernah ada anggota yang me-langgar dan berani mengabaikan upacara yang seharusnya dilakukan, dan pada panen berikutnya ternyata anggota tersebut tidak memper-

Page 31: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

149

oleh hasil panen, padahal yang lainnya memperoleh hasil yang lumayan. Dari kejadian tersebut akhirnya terbukti sesederhana apa pun upacara tersebut harus tetap dilakukan dan merupakan hal yang tabu untuk tidak melaksanakannya.

Lebih lanjut diceritakan Ibu Wayan bahwa dia mengetahui se-mua jenis dan macam sesajen dan upacara pertanian dari orang tuanya. Orang tua Ibu Wayan adalah seorang Sulinggih (pemangku) yang sering menghantarkan upacara baik pada kehidupan sehari-hari mau-pun pada tingkatan organisasi subak. Ibu Wayan menyatakan bahwa secara otomatis bisa dan mengerti dalam pembuatan semua sesajen yang harus dilakukan dalam rangkaian satu musim tanaman di wilayah subak. Selama ini seluruh anggota subak selalu mantaati semua upacara yang dilakukan.

Ibu Nyoman (juga merupakan anggota petani perempuan) menambahkan bahwa pernah suatu ketika subak tetangga (Subak Belulang) tidak melakukan salah satu upacara secara baik tetapi mereka melakukan dengan mengganti upacara tersebut dengan imbalan uang atau padi (”ngaturan sarin taun”)11 tanpa membuat sesajen yang seha-rusnya, dan pada musim tanam berikutnya Subak Belulang tersebut tidak dapat panen karena hama tikus merajalela. Anehnya kejadian di Subak Belulang akhirnya menular ke subak Ibu Nyoman, sehingga pada musim itu hasil yang diperoleh menurun yang biasanya mengha-silkan sekitar 9 (sembilan) ton per hektar, akibat kejadian tersebut hanya menghasilkan 5 ton per hektar. Hasil ini memang tidak separah hasil yang diperoleh oleh Subak Belulang. Dari beberapa contoh kejadian tersebut maka Ibu Wayan dan Ibu Nyoman sangat percaya bahwa pelaksanaan upacara yang dilakukan subak selama satu musim tanam harus lengkap dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Di samping itu dipercaya bahwa kealpaan satu subak walaupun pada wilayah yang berbeda akan berdampak pula pada subak yang lainnya. Jadi dipercaya bahwa dalam satu kawasan pelaksanaan ritual dan pola tanam subak merupakan sesuatu yang bersifat holistik saling berhubungan sehingga

11 Sarin taun adalah semacam persembahan (upeti) yang terdiri dari hasil padi. Masing-masing petani harus mempersembahkannya sesuai dengan luas lahan garapan.

Page 32: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Gambar 19

Merangkai perlambangan Dewa-Dewi Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2011

mempertahankan komunikasi, relasi sosial dan kesadaran akan keber-samaan sangat melekat pada organisasi subak di Bali. Hal ini karena satu anggota subak melakukan kesalahan, maka anggota subak yang lain diyakini akan merasakan dampak buruknya, malahan seluruh subak di kawasan tersebut akan terkena imbas negatifnya.

Kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan adat dan subak, maka Pak Nyoman menyatakan bahwa setiap anggota Subak Wongaya Betan masih mungkin melakukan negosiasi antara kedua kepentingan terse-but. Misalnya saja kegiatan adat berbenturan dengan kegiatan subak maka subak akan mengatur sedemikian rupa kegiatannya sehingga sedapat mungkin anggota subak tetap dapat ngayah di adat tetapi

150

Page 33: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

151

kegiatan subak pun tetap dapat dilaksanakan. Jadi dalam hubungan ini masih terdapat relasi sosial yang fleksibel antara kepentingan subak dan adat. Setiap anggota subak terlibat dalam adat dan aturan adat merupakan sesuatu yang memiliki kekuatan besar dalam mengatur kehidupan masyarakat Bali Hindu, sehingga kegiatan subak harus selalu menyesuaikan kegiatan dengan adat.

Untuk memperkokoh pelaksanaan Agama Hindu dalam Budaya Bali di tunjang oleh adat yag secara turun menurun sudah dikenal dan masih dihormati serta masih memiliki kekuatan yang sama malahan sering lebih tinggi dibandingkan aturan Pemerintah. Dalam pelaksana-an budaya, agama dan adat maka umat Hindu dalam implementasinya menyisipkan unsur seni sehingga dalam kenyataannya pelaksanaan upacara agama Hindu di masing-masing daerah dan negara berbeda walaupun mungkin memiliki tujuan yang sama. Dalam semua rangkai-an kegiatan budaya, agama, adat dan seni masyarakat biasanya tanpa sadar akan mempraktikkan kearifan-kearifan lokal yang masih eksis di suatu daerah. Sehingga sering kita lihat bahwa walaupun suatu ke-giatan sudah dilaksanakan secara terus menerus akan tetapi pemaknaan terhadap kegiatan tersebut sering tidak diketahui atau disadarai oleh pelakunya. Mereka hanya melakukan secara gugon tuwon pengetahuan diturunkan secara lisan dari orangtua ke masing-masing keturunannya.

Dalam kaitannya dengan posisi sebagai anggota subak dan adat (Gambar 7), maka secara pribadi petani sebagai anggota subak harus mampu memposisikan dirinya sebagai bagian dari adat dan bagian dari subak, artinya sebagai anggota adat yang harus tunduk pada peraturan adat setempat dan sebagai anggota subak juga memiliki aturan. Ber-kaitan dengan posisi petani sebagai bagian dari adat dan subak maka petani penting memiliki pemahahan dan pemaknaan yang benar akan hak dan kewajiban. Termasuk pula kewajiban dalam melaksanaan ritual yang sedemikian kompleks. Hal ini untuk menjaga keberlanjutan kelestarian lingkungan dan keajegan adat serta organisasi subak, sehingga keajegan pertanian pun dapat dipertahankan. Di samping itu pemaknaan secara individu sangat penting untuk menumbuhkan kesa-daran yang lebih hakiki tentang hak dan kewajiban sebagai seorang

Page 34: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

152

anggota masyarakat, adat dan agama yang harus dengan tulus ikhlas melaksanakan setiap kegiatan yang diharuskan dan diwajibkan oleh budaya, adat dan agama Hindu Bali.

Kesimpulan

Gambar 20 menunjukkan bagaimana ritual tersebut terinternali-sasi dalam diri perempuan yang secara regular melakukan ritual. Seperti yang telah dijelaskan pada bab dua tentang proses terbentuknya kesadaran yang kemudian berdampak menimbulkan suatu kebiasaan (habitus/behaviour). Di mana dalam proses pembentukan kebiasaan tersebut sangat dibutuhkan modal dari pelaku. Dalam konteks penelitian ini maka ada modal sosial dan modal budaya yang terlibat. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual yang secara simbolis dilakukan dengan membuat simbol-simbol melalui rangkaian sesajen. Dalam proses persiapan sesajen dan pelaksanaan ritual tersebut sebenarnya terjadi interaksi, komunikasi dan pertukaran pengetahuan serta pengalaman dari pelaku. Sehingga pemberdayaan jaringan dan keterikatan antara masing-masing individu perempuan dapat dikatakan merupakan pemberdayaan modal sosial dalam ritual. Demikian juga dengan adanya keyakinan akan sesuatu yang bersifat turun temurun dan memiliki nilai sejarah, menyebabkan terbentuknya ikatan emosi-onal perempuan akan pelaksanaan ritual. Situasi ini sebenarnya meru-pakan implikasi dari adanya modal budaya yang terlibat dalam ritual. Kesadaran yang terbentuk pada saat pelaksanaan ritual akan mengen-dap menjadi sebuah pemaknaan sehingga akan dapat terimplementasi-kan secara berkelanjutan dalam praktik-praktik nyata dalam usaha pelestarian pertanian dan lingkungan guna mendorong ketahanan pangan dan hayati dalam rangka mencapai pembangunan yang ber-kelanjutan.

Pemaknaan individu harus juga seiring dengan usaha dari peme-rintah untuk memfasilitasi semua kegiatan tersebut sehingga secara formal semua yang dilakukan masyarakat berarti dan memiliki kekuat-an secara hukum sehingga tidak mudah diubah atau dipengaruhi oleh budaya luar. Bagaimana proses pembentukan habitus (habitualisasi)

Page 35: PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/732/7/D_902009009_BAB VI.pdf · Pengantar . Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

153

ritual pada tingkat individu anggota subak perempuan akan disajikan pada bab delapan, Gambar 24.

RITUAL : kolektif

individu

KESADARAN

PEMAKNAAN

KETAHANAN PANGAN DAN

HAYATI PRAKTIK

Anggota subak(perempuan)

Kebiasaan/ Behaviour/Habitus

Modal sosial

Modal budaya

Persiapan dan pelaksanaan

Gambar 20 Alur Pemaknaan Ritual dan Implementasi Ketahanan Pangan dan Hayati