bab iii metode penelitian -...

13
83 Bab III Metode Penelitian Profil Wilayah Penelitian Letak Geografi Kota Salatiga Secara geografi Kota Salatiga terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang. Terletak antara 007 0 .17’ dan 007 0 17’.23 “Lintang Selatan dan antara 110 0 .27’.56,81” dan 110 o .32’.4,64” Bujur Timur. Secara Morfologis Berada di daerah cekungan, kaki gunung Merbabu di antara gunung-gunung kecil antara lain: Gajah Mungkur, Telomoyo dan Payung Rong. Secara administrasi letaknya dikelilingi wilayah Kabupaten Semarang. Batas Kota Salatiga dibatasi beberapa desa yang masuk dalam Wilayah Kabupaten Semarang. Batas-batas tersebut sebagai berikut; Sebelah Utara: Kecamatan Pabelan: Desa Pabelan, Desa Pejaten. Kecamatan Tuntang Desa Kesongo, Desa Watu Agung. Sebelah Timur: Kecamatan Pabelan Desa Ujung-ujung, Desa Sukoharjo dan Desa Glawan. Kecamatan Tengaran Desa Bener, Desa Tegal Waton dan Desa Nyamat. Sebelah Selatan: Kecamatan Getasan: Desa Sumogawe, Desa Samirono dan Desa Jetak. Kecamatan Tengaran: Desa Patemon, Desa Karang Duren, Sebelah Barat: Kecamatan Tuntang Desa Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten dan Desa Gedongan, Kecamatan Getasan Desa Polobogo. Berdasarkan Relief Kota Salatiga terdiri dari 3 bagian daerah bergelombang ± 65 %, terdiri dari: Kelurahan: Dukuh, Ledok, Kutowinangun Lor, Kutowinangun Kidul, Salatiga, Sidorejo Lor, Bugel, Kumpulrejo dan Kauman Kidul, daerah miring ± 25 %, terdiri dari: Kelurahan: Tegalrejo, Mangunsari dan Sidorejo Lor, Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah dan Cebongan dan daerah datar ± 10 %, terdiri dari: Kelurahan:

Upload: hoangthu

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

83

Bab III

Metode Penelitian

Profil Wilayah Penelitian

Letak Geografi Kota Salatiga

Secara geografi Kota Salatiga terletak di tengah-tengah wilayah

Kabupaten Semarang. Terletak antara 0070 .17’ dan 0070 17’.23

“Lintang Selatan dan antara 1100.27’.56,81” dan 110o.32’.4,64” Bujur

Timur. Secara Morfologis Berada di daerah cekungan, kaki gunung

Merbabu di antara gunung-gunung kecil antara lain: Gajah Mungkur,

Telomoyo dan Payung Rong.

Secara administrasi letaknya dikelilingi wilayah Kabupaten

Semarang. Batas Kota Salatiga dibatasi beberapa desa yang masuk

dalam Wilayah Kabupaten Semarang. Batas-batas tersebut sebagai

berikut; Sebelah Utara: Kecamatan Pabelan: Desa Pabelan, Desa

Pejaten. Kecamatan Tuntang Desa Kesongo, Desa Watu Agung.

Sebelah Timur: Kecamatan Pabelan Desa Ujung-ujung, Desa Sukoharjo

dan Desa Glawan. Kecamatan Tengaran Desa Bener, Desa Tegal Waton

dan Desa Nyamat. Sebelah Selatan: Kecamatan Getasan: Desa

Sumogawe, Desa Samirono dan Desa Jetak. Kecamatan Tengaran: Desa

Patemon, Desa Karang Duren, Sebelah Barat: Kecamatan Tuntang Desa

Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten dan Desa Gedongan, Kecamatan

Getasan Desa Polobogo.

Berdasarkan Relief Kota Salatiga terdiri dari 3 bagian daerah

bergelombang ± 65 %, terdiri dari: Kelurahan: Dukuh, Ledok,

Kutowinangun Lor, Kutowinangun Kidul, Salatiga, Sidorejo Lor,

Bugel, Kumpulrejo dan Kauman Kidul, daerah miring ± 25 %, terdiri

dari: Kelurahan: Tegalrejo, Mangunsari dan Sidorejo Lor, Sidorejo

Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah

dan Cebongan dan daerah datar ± 10 %, terdiri dari: Kelurahan:

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

84

Kalicacing, Noborejo, Kalibening dan Blotongan, Tinggi Kota Salatiga

Berketinggian antara: 450 - 825 m dpl (dari permukaan air laut), iklim

Kota Salatiga beriklim tropis dan berhawa sejuk. Curah hujan, Pada

Tahun 2015 jumlah curah hujan adalah 2124 mm, sementara jumlah

hari hujan 84 hari sedangkan curah Hujan rata-rata adalah 25,29

mm/hari.

Penggunaan Lahan

Secara administratif Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan

dan 23 kelurahan. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2015 tercatat

sebesar 56,781 km². Luas yang ada, terdiri dari 7,805 km2 (13,75

persen) lahan sawah dan 48,976 km² (86,25 persen) bukan lahan

sawah. Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah

digunakan sebagai lahan sawah berpengairan teknis (46,72 persen),

lainnya berpengairan setengah teknis, sederhana, tadah hujan dan

lain-lain. Berikutnya lahan kering yang dipakai untuk tegal/kebun

sebesar 31,46 persen dari total bukan lahan sawah.

Keadaan Iklim

Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh

keadaan iklim, keadaan topografi dan perputaran/pertemuan arus

udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan

dan letak stasiun pengamat. Curah hujan tertinggi tercatat sebesar 460

mm pada bulan April dan hari hujan terbanyak tercatat sebanyak 16

hari pada bulan Januari, Maret dan April.

Persentase Luas Penggunaan Lahan Tahun 2015, tanah

pekarangan sebesar 3.160,615 ha, tanah tegal 1.541,013 ha, sawah

teknis 487,825 ha, sawah p. non teknis 292,709 ha, dan lainnya 195,948

ha

Penduduk dan Ketenagakerjaan

Kependudukan

Pada tahun 2015, jumlah penduduk Kota Salatiga sebesar

183.828 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan

penduduk laki-laki, ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah

Metode Penelitian

85

penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan), sebesar 95,76.

Penduduk Kota Salatiga belum menyebar secara merata di seluruh

wilayah Kota Salatiga. Umumnya, penduduk banyak menumpuk di

daerah perkotaan dibandingkan pedesaan. Pada tahun 2015 rata-rata

kepadatan penduduk Salatiga sebesar 3.237 jiwa setiap km persegi.

Tabel 3. 1 Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin,

Tahun 2015

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1 2 3 4

0 - 4 7 400 6 984 14 384 5 - 9 6 893 6 501 13 394 10 -14 6 413 6 209 12 622 15 – 19 8 190 8 594 16 784 20 – 24 9 212 9 264 18 476 25 – 29 7 333 7 437 14 770 30 – 34 7 074 7 190 14 264 35 – 39 6 599 6 841 13 440 40 – 44 6 332 6 767 13 099 45 – 49 5 636 6 478 12 114 50 – 54 5 622 6 163 11 785 55 – 59 4 816 5 010 9 826 60 – 64 2 946 3 039 5 985

65 + 5 462 7 410 12 872

J u m l a h 89 928 93 887 183 815

Sumber : Proyeksi Penduduk, BPS Kota Salatiga 2016

Ketenagakerjaan

Banyaknya pencari kerja yang mendaftar selama tahun 2015

sebanyak 949 orang. Sebagian besar dari pencari kerja tersebut

berpendidikan setingkat SLTA sebesar 57,43 persen, kemudian 26,66

persen berpendidikan Diploma/Perguruan Tinggi, 14,12 persen

berpendidikan setingkat SLTP dan 1,79 persen berpendidikan SD. Dari

tabel di bawah ini menunjukkan tren jumlah pencari kerja dari tahun

2011 hingga 2015 mengalami penurunan yang cukup signifikan

terutama pada tahun 2015. Dinamika ini menunjukkan bahwa kualitas

sumber daya manusia Kota Salatiga cukup berkualitas, sehingga dengan

mudah terserap ke dalam bursa tenaga kerja.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

86

Tabel 3. 2 Banyaknya Pencari Kerja Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin

Tahun 2015

Pendidikan Laki-laki Perempuan Kepadatan

per km2

1 2 3 4

Sarjana 68 100 168 Sarjana muda 40 45 85 SMU 73 47 120

SMK 224 201 425

SPG, SMGA, PGA 0 0 0 SMP 40 94 134 SMP Kejuruan 0 0 0 SD 3 14 17 Tidak Tamat SD 0 0 0

Jumlah

2015 448 501 949

2014 592 787 1379

2013 1285 1971 3256

2012 1154 1652 2806

2011 831 1174 2002

Sumber : Dinas Sosial, Ketenagakerjaan & Transmigrasi Kota Salatiga, 2017

Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan

untuk mendeskripsikan sejauh mana partisipasi PKL Salatiga dalam

perumusan kebijakan pemerintah kota, serta bagaimana model

partisipasinya. Jenis penelitiannya adalah penelitian eksplanatoris,

yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor apa

saja yang memengaruhi partisipasi PKL dalam perumusan kebijakan

publik serta melalui analisis induktif dapat diperoleh pemahaman yang

komprehensif tentang nilai-nilai yang mengikat di antara PKL kota

Salatiga dan stakeholder sehingga harmoni sosial tetap terjaga dengan

baik.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif yang

lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiono 2008:1).

Pendekatan kualitatif relevan dengan topik penelitian ini, karena lebih

sesuai dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang ada di balik

fenomena (Straus dan Corbin, 2003:57). Penelitian kualitatif sifatnya

Metode Penelitian

87

deskriptif analitik. Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil

wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, dan catatan lapangan

disusun oleh peneliti di lokasi penelitian.

Peneliti segera melakukan analisis data dengan memperkaya

berbagai informasi yang diperoleh, mencari hubungan,

membandingkan, menemukan pola atas dasar data asli. Hasil analisis

data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan

dalam bentuk uraian naratif. Hakikat pemaparan data pada umumnya

menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu

fenomena terjadi. Untuk itu peneliti dituntut memahami dan

menguasai bidang ilmu yang ditelitinya sehingga dapat memberikan

justifikasi mengenai konsep dan makna yang terkandung dalam data.

Pendekatan kualitatif ini lebih banyak menampilkan data

deskriptif, berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang

ataupun responden yang dapat diamati (Moleong, 2001). Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang mampu menghasilkan kejelasan, dapat

diverifikasi, serta mengandung makna yang dapat dijadikan replikasi

dari suatu perangkat data kualitatif, apapun kejadian-kejadian

sebelumnya (Miles dan Huberman, 1992: 278).

Setiap penelitian selalu membutuhkan data karena itu dalam

penelitian inipun membutuhkan data primer dan data sekunder baik

dari para informan maupun dari dokumen-dokumen berupa jurnal

ilmiah, buku, media cetak, dan peraturan daerah. Untuk melengkapi

semua data yang dibutuhkan maka tekniknya dimulai dengan observasi

lapangan, yaitu datang langsung ke lokasi penelitian dan melihat secara

saksama serta mencatat semua fenomena di lapangan yang menjadi

fokus penelitian. Setelah itu dilanjutkan dengan proses wawancara

terhadap para informan melalui verifikasi, sehingga yang menjadi

informan adalah mereka yang terlibat langsung dengan PKL serta aktif

dalam proses partisipasi. Langkah selanjutnya adalah menganalisis teks

dan dokumen yang sesuai dengan kasus yang dibahas dalam penelitian

sehingga dapat diperoleh konklusinya secara ilmiah.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

88

Lokasi dan Unit Analisis

Penelitian ini dilakukan pada PKL di Kota Salatiga, Jawa

Tengah yang menempati lokasi tempat berjualan sesuai dengan

Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2003. Lokasi yang diperuntukkan

bagi PKL terdiri atas lokasi inti dan lokasi pengembangan. Dari kedua

lokasi dimaksud, yang masuk dalam lokasi inti yaitu kawasan Jalan

Diponegoro, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Patimura, Jalan Taman

Pahlawan, Jalan Kalinyamat, dan Jalan belakang Pasar Raya II.

Sedangkan lokasi pengembangan sesuai dengan rencana detail tata

ruang kota adalah Jalan Cemara, Jalan Turen, Jalan dr. Muwardi, Jalan

Buksuling, Jalan Pungkursari, Jalan Pemotongan, Jalan Sukowati, Jalan

Adisucipto, Lapangan Pancasila, Jalan Hasanudin, Jalan Merak, Jalan

Kartini, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Johar.

PKL yang diteliti adalah mereka yang telah diakui pemerintah

dan terdaftar pada Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi serta

memiliki tanda daftar usaha (TDU) yang dikeluarkan oleh Walikota

sebagai tanda bukti usaha di tempat yang telah ditetapkan oleh

pemerintah daerah maupun PKL yang tidak terdaftar pada Dinas

Perdagangan Perindustrian dan Koperasi. PKL yang memiliki TDU

terdiri atas: PKL Latengan yaitu pedagang yang menjual bahan

makanan olahan seperti sayur-mayur, bakso, sate, nasi campur, mie

rebus, daging, ikan, tahu, tempe serta makanan kudapan dan minuman.

PKL klitikan adalah pedagang yang menjual kebutuhan pribadi berupa

dompet, jepit rambut, ikat pinggang, sepatu, sendal, kaos kaki, tas,

emas, perak, barang kelontong, reparasi jam atau perhiasan, dan barang

kelontong. PKL buah adalah pedagang yang berjualan berbagai jenis

buah-buahan. PKL pasar pagi adalah pedagang yang berjualan sayur-

mayur dan bahan sembako di sekitar lokasi pasar pagi.

Selain PKL yang menjadi unit analisisnya masuk juga

stakeholder yakni pedagang pasar, pedagang toko, serta Dinas

Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Salatiga. Pemerintah

Kota Salatiga dimasukkan dalam unit analisis karena mengambil

kebijakan melalui Perda Nomor 2 Tahun 2003, dengan mengakomodir

dan mengakui PKL sebagai unit usaha mikro untuk melakukan usaha

Metode Penelitian

89

di kawasan kota dengan memanfaatkan ruang publik secara bergantian

sehingga memberi kesempatan kepada sesama PKL untuk berjualan

pada tempat yang sama.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif adalah sebuah metode penelitian yang

naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah

(natural setting) sebab data yang terkumpul dari lapangan dianalisis

secara komprehensif lebih bersifat kualitatif. Menurut (Sutopo

(2006: 9), metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara

umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang

bersifat interaktif dan non-interaktif. Metode interaktif meliputi

interview (wawancara) dan observasi berperanserta, sedangkan metode

non interaktif meliputi observasi takberperanserta, teknik

kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak berperan serta.

Pada penelitian ini sumber datanya terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara

mendalam. Sedangkan data sekunder bersumber dari dokumen Satuan

Kerja Pemerintah Daerah Disperindagkop, peraturan daerah, dan

dokumen pendukung lainnya yang penulis peroleh dari Forum

Masyarakat Peduli Salatiga (FMPS). Data primer melalui observasi

dalam istilah sederhana adalah proses peneliti dalam melihat situasi

penelitian. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi

adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian

atau peristiwa, dan waktu. Alasan peneliti melakukan observasi adalah

untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian,

menjawab pertanyaan, serta membantu mengerti perilaku mereka yang

berperan langsung di lapangan. Pada bagian ini penulis melihat

konteks PKL dan stakeholder di Kota Salatiga secara menyeluruh

sehingga memahami konteks permasalahan secara umum. Observasi

yang dilakukan meliputi lokasi dan sebaran PKL, jam buka jualan, dan

perilaku dalam merespon lingkungan di sekitar mereka, baik terhadap

pejalan kaki, konsumen, dan stakeholders lainnya.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

90

Manfaat dari observasi bagi peneliti adalah untuk lebih

mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi

akan dapat diperoleh pandangan yang holistik. Dengan dilakukannya

observasi akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga

memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak

dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan

induktif ini membuka kemungkinan bagi peneliti untuk penemuan

(discovery) terhadap hal-hal baru yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan hasil observasi maka penulis mulai memetakan

siapa yang menjadi motor penggerak partisipasi serta bagaimana

keterlibatan aktor lainnya dalam proses partisipasi semenjak awal

sampai akhir. Hal lainnya yang penulis dapatkan dari observasi adalah

wilayah-wilayah yang diminati dan dijadikan tempat beroperasi para

PKL, serta berbagai kegiatan yang dilakukan dalam proses partisipasi

sejak tahun 2002 sampai saat ini.

Setelah melakukan observasi, langkah selanjutnya penulis

melakukan wawancara dengan para informan kunci sebagai pelaku

utama atau aktor partisipasi sejak tahun 2002 yang terdiri dari;

pedagang kaki lima, Kepala Dinas Disperindagkop, Kepala Bidang PKL

dan Pasar Disperindagkop, Kepala Seksi PKL Disperindagkop, mantan

ketua pansus penyusunan peraturan daerah penataan pedagang kaki

lima DPRD Kota Salatiga, pedagang pasar, pengurus FMPS, pengemudi

becak, pedagang toko, dan masyarakat sekitar. Pokok wawancara

meliputi; kedudukan PKL di Kota Salatiga, dinamika proses partisipasi

PKL dan stakeholder dalam penyusunan Perda No. 2 Tahun 2003

tentang Penataan Pedagang Kaki Lima, dampak dari partisipasi yang

telah dibangun pada tahun 2002 terhadap kondisi eksisting dan

dinamika PKL saat ini, pendekatan pemerintah daerah dalam

melakukan pembinaan dan penguatan PKL dan pedagang. Selain itu,

mendapatkan informasi terkait dinamika PKL saat ini, baik dalam

mengorganisir diri melalui paguyuban maupun peran dan kedudukan

pemerintah daerah melalui Disperindagkop dan Satpol PP dalam

melakukan penguatan dan pemberdayaan PKL.

Metode Penelitian

91

Berikut tahapan yang dilakukan oleh penulis dalam melakukan

penggalian data baik itu data historis maupun data terkini. Langkah

awal, penulis melakukan identifikasi pelaku historis yang terlibat aktif

dalam proses perumusan kebijakan publik terkait penataan PKL. Dari

hasil identifikasi tersebut, PKL menemukan tokoh kunci yaitu

pengurus Forum Masyarakat Perduli Salatiga (FMPS), yaitu sebuah

organisasi masyarakat yang melakukan pendampingan secara intensif

terhadap persoalan PKL di Salatiga. Melalui tokoh kunci ini, informasi

penting terkait proses dan sejarah latar belakang muculnya persoalan

penataan PKL, hingga bagaimana PKL beserta stakeholder

menggorganisir diri mereka sendiri, untuk terlibat aktif dalam

penyusunan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2003 tentang Penataan

Pedagang Kaki Lima. Berikut kutipan hasil wawancara dengan tokoh

kunci FMPS;

“Permasalahan PKL diawali dengan terbakarnya pasar induk di Pasar Raya pada sekitar tahun 2001-2002, ini yang kemudian menyebabkan banyak pedagang berjualan di sepanjang pinggir jalan Jenderal Sudirman. Lapak mereka hampir menutupi sebagian bahu jalan akibat banyaknya bangunan semi permanen. Persoalan mulai muncul ketika setelah Pasar direnovasi, pedagang yang berjualan di pinggir jalan direlokasi menempati bekas kios mereka dulu, sedangkan bekas lapak mereka semi permanen yang terletak di bahu jalan tidak langsung dibongkar dan ditertibkan oleh pemda, sehingga ditempati oleh pedagang baru. Ditambah modus oknum untuk memperjual belikan lapak tersebut. Dari sinilah kemudian bermunculan PKL dan konflik antara PKL dengan pedangan pasar, karena mereka merasa omzet menurun akibat adanya PKL. Konsumen lebih suka membeli di PKL karena letaknya di bawah, sedangkan lapak dagangan mereka yang terletak di lantai 2 pasar sepi pembeli.”

Dari informasi awal ini, sebagai dasar dari penulis

mengembangkan pada informasi lanjutan dan tokoh-tokoh kunci

lainnya. Kemudian informan kunci FMPS ini memperkenalkan kepada

beberapa tokoh kunci sejarah yang terlibat dalam perumusan Perda

Nomor 2 Tahun 2003, yaitu ketua Pansus DPRD Penataan Pedagang

Kaki Lima Kota Salatiga, tokoh pedagang pasar, dan tokoh PKL.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

92

Ketua pansus DPRD yang saat ini telah purna tugas,

menuturkan bagaimana mereka menggunakan hak inisiatif dewan

untuk menyusun peraturan daerah tentang penataan pedagang kaki

lima. Berikut penuturan mantan ketua pansus DPRD tersebut;

“Pansus DPRD Penataan Pedagang Kaki Lima Kota Salatiga terbentuk pada tahun 2003, masa kerja kami hanya beberapa bulan. Pansus ini terbentuk karena keprihatinan kami terhadap persoalan penggusuran PKL yang marak terjadi, padahal menurut kami, PKL mempunyai hak yang sama untuk mencari nafkah dengan catatan tidak bertindak kriminal. Dengan adanya PKL justru membantu masyarakat miskin mendapatkan barang dengan harga murah dibandingkan dengan harga toko. Hanya saja ini melanggar aturan berjualan di bahu jalan, sehingga mengganggu banyak pengguna jalan dan yang lainnya.”

Selanjutnya ketua pansus DPRD Kota Salatiga tersebut

menegaskan bahwa Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Penataan

Pedagang Kaki Lima, ini adalah perda yang paling partisipatif

dibandingkan dengan peraturan daerah lainnya yang pernah

dirumuskan oleh DPRD Kota Salatiga selama periode menjabat.

Informasi yang diperoleh ini kemudian dilanjutkan, masih

didampingi informan kunci FMPS bertemu dengan informan kunci

PKL yang terlibat dalam proses sejarah perumusan perda tersebut,

berikut sepenggal hasil wawancara lapangan;

“Kami menjadi PKL sebenarnya terdesak oleh kondisi ekonomi. Kami tidak punya pekerjaan tetap, bingung mau kerja apa, dari pada bertindak kriminal lebih baik menjadi PKL, eee kemudian lama kelamaan sudah jadi pekerjaan tetap sampai sekarang. Dulu waktu pertama jadi PKL tidak enak, karena kami ketakutan kena gusur trantib (Satpol PP). Jadi jualannya tidak tenang, beda dengan sekarang tidak ada penggusuran, kami juga sudah tertib berjualan. Memang dulu PKL juga salah, jualan sembarangan di trotoar atau pinggir jalan. Jadi mengganggu ketertiban umum.”

Informasi yang masuk kemudian diperkuat dengan studi

dokumenter milik FMPS terdiri dari dokumen analisis dan

perencanaan strategis penataan pedagang kaki lima di Salatiga,

Metode Penelitian

93

executive summary: workshop partisipasi publik dalam perumusan

Perda tentang Penataan Pedagang Kaki Lima, naratif akademik pokok-

pokok pikiran perumusan peraturan daerah tentang PKL, peta sebaran

PKL, dan beberapa dokumen relevan lainnya.

Melalui studi dokumenter ini penulis melakukan verifikasi data

dan informasi dengan para pelaku sejarah yang terlibat langsung dalam

perumusan kebijakan penataan PKL. Penulis menemukan konsistensi

dan kecocokan antara informasi yang tertuang dalam dokumen dengan

pengakuan para pelaku sejarah tersebut.

Setelah mendalami sejarah proses terbangunnya partisipasi PKL

dan stakeholder dalam perumusan kebijakan penataan PKL,

selanjutnya penulis mengkaji sejauh mana warisan yang telah dibangun

tersebut mampu bertahan sampai saat ini. Wawancara mendalam

dilakukan dengan Disperindagkop, PKL, pedagang pasar, pengurus

FMPS, pengemudi becak, pedagang toko, dan masyarakat sekitar.

Berikut kutipan wawancara dengan Disperindagkop Kota Salatiga:

“Saat ini PKL teroganisir dengan baik dengan diberlakukan tanda daftar usaha. Paguyuban selalu berkoordinasi dengan dinas dan dalam binaan dinas. Jika ada informasi penambahan anggota atau pengurangan anggota sebuah paguyuban PKL selalu diberitahukan kepada kami, sehingga kami dapat memantau terus-menerus perkembangan PKL di Salatiga. Fungsi kami saat ini lebih pada pemberdayaan dan penguatan PKL, kami menempatkan PKL sejajar dengan pedagang pasar, pemilik kios atau toko. Jadi tidak ada diskriminasi perlakuan dan pelayanan.”

Selama proses wawancara dan pencarian data, penulis tidak

menemukan kendala apapun di lapangan. Informan kunci memberikan

respon baik terhadap kehadiran penulis yang akan melakukan

wawancara dengan menyediakan waktu di sela-sela kesibukan mereka

melayani pelanggan. Dokumentasi data dan informasi yang telah

didapatkan baik melalui catatan, rekaman suara, dan foto kemudian

diorganisir berdasarkan pokok-pokok pembahasan dalam masing-

masing bab disertasi ini.

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

94

Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menganalisis data yang telah

diperoleh dari wawancara, maupun data-data lapangan serta dokumen

yang kemudian dikaji dalam rangka validitasi data penelitian yang

lebih rasional dan akurat dengan melakukan triangulasi. Triangulasi

merupakan cara pemeriksaan keabsahan data yang paling umum

digunakan. Cara ini dilakukan dengan memanfaatkan sesuatu yang lain

di luar data untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data

itu. Pada dasarnya triangulasi merupakan teknik yang didasari pola

pikir fenomenologi yang bersifat multi perspektif. Artinya, guna

menarik suatu kesimpulan yang mantap diperlukan berbagai sudut

pandang berbeda.

Penulis melakukan verifikasi data yang diperoleh dari FMPS

maupun dari Dinas Perindagkop serta dokumen pendukung lainnya,

dengan semua pihak yang terlibat dalam proses partisipasi. Pihak yang

teribat dalam proses partisipasi adalah pedagang kaki lima, Kepala

Dinas Disperindagkop, Kepala Bidang PKL dan Pasar Disperindagkop,

Kepala Seksi PKL Disperindagkop, mantan ketua pansus penyusunan

peraturan daerah penataan pedagang kaki lima DPRD Kota Salatiga,

pedagang pasar, pengurus FMPS, pegemudi becak, pedagang toko, dan

masyarakat sekitar.

Triangulasi dalam penelitian ini dilalui dengan melakukan

verifikasi terhadap sumber. Dengan cara ini penulis berupaya menggali

kebenaran informasi melalui berbagai narasumber data yang diperoleh

berupa hasil wawancara, observasi, dokumen arsip, dokumen sejarah

dan catatan pribadi ketua-ketua paguyuban dan pengurus FMPS. Dari

proses inilah maka akan menghasilkan validasi data yang lebih akurat

untuk membantu menemukan sudut pandang yang berbeda tentang

fenomena-fenomena sosial berupa konflik dan berbagai permasalahan

lainnya yang muncul sebelum PKL terorganisir serta proses partisipasi

PKL dan seluruh stakeholder dalam perumusan kebijakan penataan

PKL Kota Salatiga setelah terorganisir.

Metode Penelitian

95

Untuk mengetahui tingkat akurasi informasi dari para

narasumber maka penulis juga melakukan penggalian informasi dari

informan yang berbeda untuk mengecek kebenarannya. Dengan cara

tersebut maka semua keterangan dari para narasumber yang penulis

wawancarai dapat diukur tingkat akurasinya, sehingga tidak lagi

diragukan kebenaran informasi yang diperoleh dari para informan.

Dari berbagai informasi serta data yang diperoleh itulah maka penulis

mengkaji secara mendalam untuk menganalisa permasalahan yang

diteliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori sehingga

mampu menghasilkan simpulan yang baik.