bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tawuran Pelajar saat ini menjadi fenomena sosial yang nampaknya sudah lazim di negara
Indonesia. Beberapa “pelajar” bahkan menganggap tawuran merupakan kegiatan yang sudah
rutin dilakukan oleh para “remaja masa kini, hal ini dikarenakan kondisi usia dari kebanyakan
pelaku tawuran tersebut yang masih ingin menunjukkan jati dirinya.1 Para pelaku ini kebanyakan
tergolong kedalam usia muda, atau dapat kita sebut sebagai “pemuda”. Tawuran antar pelajar
bisa terjadi dimana saja, di semua wilayah dimana terdapat institusi-institusi pendidikan seperti
Sekolah Menengah sederajatnya atau bahkan setingkat Universitas pun masih memungkinkan
untuk terjadinya tawuran pelajar.
Pada dasarnya, tawuran biasanya sering terjadi di kota-kota besar yang tingkat
peradabannya sudah lebih maju dari daerah lainnya.2 Di Semarang misalnya, tanggal 27
November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com).
“Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran sering terjadi. Data Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13
1 Robertho Pardede : Tawuran Antar Pelajar Ditinjau dari Premis-premis WALTER B. MILLER dalam Teori LOWER CLASS CULTURE
2 Seperti beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com).
2
pelajar dan 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas.”3
Sedangkan menurut data Bimmas Mabes POLRI antara tahun 1995 – 1999 terjadi sejumlah 1316
kasus tawuran se-Indonesia. Untuk di pulau Jawa terjadi sejumlah sebesar 933 kasus. Untuk di
Polda Metro Jaya terjadi sejumlah 810 kasus tawuran pelajar. Sedangkan untuk tawuran di luar
pulau Jawa paling banyak terjadi di Polda Sumsel, sebanyak 253 kasus. Dengan tingkat
radikalisasi pelajar yang sudah menjurus kepada kriminalitas semakin kuat.4 Para pelajar yang
seringkali tawur tersebut lebih memilih melakukan aksinya diluar sekolah, walaupun memang
ada beberapa yang melakukannya pada saat kegiatan belajar mengajar.
Tawuran didefinisikan sebagai perkelahian massal yang dilakukan oleh sekelompok orang
terhadap kelompok lainnya, yang disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang, dendam,
ketidaksetujuan tentang suatu hal, dan sebagainya. Tawuran ada tiga bentuk : 5
1. Tawuran antar kelompok yang telah memiliki rasa permusuhan secara turun temurun,
2. Tawuran satu kelompok melawan kelompok lainnya yang didalamnya terdapat beberapa
jenis kelompok (terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda)
3. Tawuran antar kelompok yang bersifat insidental, yang dipicu oleh situasi dan kondisi
tertentu.
Kerugian yang disebabkan oleh tawuran pelajar selain menimpa korban, tapi juga dapat
mengakibatkan kerugian ditempat mereka beraksi, yang membuat masyarakat sekitar menjadi
resah terhadap aksi tawuran tersebut. Keresahan ini menimbulkan kekecewaan terhadap generasi
muda yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa Indonesia. Asumsi penulis, dari sisi
3 Dikemukakan oleh Raymon Tambunan (2001) dalam artikelnya yang berjudul “Perkelahian Pelajar” 4 Denny Noviansyah, 2001 : Tawuran Pelajar : Sebuah Potret Kegagalan Sistem Pendidikan Indonesia. 5 Hanna Karlina Ridwan, 2006 : Agresi pada Siswa-Siswa SLTA yang Melakukan dan Tidak Melakukan Tawuran Pelajar.
3
politik hal ini dimanfaatkan oleh para pemegang otoritas dengan membangun opini publik bahwa
generasi muda Indonesia masih tidak mampu untuk menduduki otoritas kekuasaan politik
Indonesia.
Beberapa pelajar bahkan menganggap bahwa tawuran sudah menjadi tradisi. Dari sana
terlihat bahwa tawuran pelajar telah mengakar budaya di banyak sekolah-sekolah menengah
sederajatnya. Permasalahan ini bukan merupakan permasalahan yang baru, di beberapa kota
besar di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan Medan. Seperti
di kota Yogyakarta misalnya, para pelajar di sekolah-sekolahnya dapat membedakan sekolah-
sekolah mana saja yang menjadi kawan dan yang mana lawan, kemampuan seperti ini sudah
diwariskan dari angkatan-angkatan sebelumnya dan kemudian menurun ke angkatan-angkatan
selanjutnya.
Yogyakarta memang terkenal dengan sebutan “Kota Pelajar”, kota yang terkenal dengan
sejuta institusi, lembaga serta fasilitas pendidikannya yang sangat memadai. Banyak masyarakat
dari berbagai daerah di Indonesia menjadikan Yogyakarta sebagai kota tujuan utama dalam
menuntut ilmu. Namun, Yogyakarta dengan predikatnya tersebut pun tidak bisa menghindar dari
berbagai masalah yang terkait dengan pendidikan. Salah satunya terkait dengan kenakalan
remaja, yakni tawuran pelajar.
Tawuran pelajar tingkat sekolah menengah dan sederajatnya ini terus mengalami
perkembangan. Mereka tidak hanya melakukan tawuran secara spontan, namun berkembang
menjadi suatu tawuran yang direncanakan, dirancang dan diatur sedemikian rupa oleh
pemimpinnya dengan menggunakan strategi-strategi layaknya sebuah pertempuran pada suatu
peperangan. Hal ini mulai mengkristal dan kemudian menjadi hal yang bersifat sistemik.
4
Beberapa masyarakat juga berpendapat bahwa prosedur pendidikan di Indonesia ikut
berpengaruh terhadap konflik antar pelajar. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA)
misalnya, KNPA menuding kurikulum pendidikan yang statis dan kejar target menjadi penyebab
suburnya tawuran pelajar. Kurikulum dinilai tidak menyenangkan dan membuat jenuh. “Siswa
melampiaskan kejenuhannya tersebut kepada hal-hal yang negatif, yakni tawuran," kata Ketua
Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, Rabu, 21 September 2011.6 Arist
mengatakan, kurikulum pendidikan harus menyenangkan dan memiliki pilihan. Tidak hanya
belajar matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. "Harus ada kurikulum pilihan yang
menyenangkan bagi siswa," ujarnya.
“Pendidikan” saat ini hanya lah sekumpulan konsep dari teori, serta ujian, tidak lebih dari
itu. Jika sekolah mempraktekannya secara berlebihan, para pelajar yang tidak mampu akan
menciptakan kondisi yang mereka anggap sama diantara pelajar tersebut. Kemudian lahirlah
ikatan kelompok yang cukup kuat seperti gank-gank pelajar yang mendorong sikap loyalitas
terhadap sesama pelajar. Pada kelompok-kelompok ini, tawuran dapat pecah akibat faktor
spontanitas kolektif untuk membela anggota mereka. Para pelajar yang terlibat tawuran itu
berada dalam organisasi/gank pelajar, yang memiliki norma/aturan untuk membela sesama
temannya. Tawuran pelajar sebagai bentuk protes sosial dari para siswa yang terkoordinasi
kedalalam kelompok sosial (gank-gank) sekolah tersebut kini menjadi highlight yang harus
dibenahi secara bersama dari mulai lingkup terkecil, yakni keluarga, sekolah, masyarakat sekitar,
hingga pemerintah dengan segala kebijakan serta aturan-aturannya.
6 Dikutip dari : http://www.tempo.co/read/news/2011/09/21/079357403/Kurikulum-Kejar-Target-Bisa-Jadi-Penyebab-Tawuran-Pelajar : Kurikulum Kejar Target Bisa Jadi Penyebab Tawuran Pelajar, Rabu, 21 September 2011 | 10:42 WIB.
5
Salah satu siswa kelas II SMAN 8 Yogya, Bety Isnawati (16) mengaku sangat terganggu
dengan ulah sekelompok oknum pelajar yang terlibat tawuran. Selain mengancam keselamatan
pelajar lain, tawuran pelajar juga bisa mencoreng predikat Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan
dan Kota Budaya. Biasanya tawuran pelajar dilakukan oleh geng pelajar antar sekolah, dari
mulai lempar-lemparan botol plastik bekas minuman, batu hingga adu fisik. Hal tersebut biasa
dilakukan usai pulang sekolah di depan gerbang sekolah. Selain membuat takut sesama pelajar,
tawuran juga membuat miris para orangtua yang sedang menjemput anak-anaknya. “Kalau yang
baru pertama kali melihat tawuran secara langsung pasti akan syok, kalau yang sudah sering
lihat biasanya langsung menghindar. Kalau tidak kepala bisa bocor kena lemparan batu”. Ia
menduga terjadinya tawuran karena pelajar butuh penyaluran untuk mengekspresikan kelebihan
energi. Terlebih mereka yang hobi nongkrong sepulang sekolah rentan untuk tawuran. Karena,
biasanya mudah terpengaruh jika ada geng lain yang memancing emosi.
Tujuan yang terdapat dalam pengaturan sistem pendidikan di wilayah Kota Yogyakarta
telah dibentuk untuk dapat mendidik generasi penerus menjadi pribadi yang utuh dan dilandasi
dengan budi pekerti yang luhur. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, budaya luar yang
negatif mudah terserap tanpa adanya filter yang kuat. Perilaku negatif seperti tawuran antar
pelajar menjadi budaya baru yang dianggap dapat mengangkat jati diri mereka yang terlibat
tawuran tersebut. Kekerasan merebak dimana-mana, emosi yang meluap-luap, cepat marah dan
mudah tersinggung, dan ingin menang sendiri telah menjadi bagian hidup yang melekat dalam
pandangan setiap pelajar. Fenomena seperti ini hendaknya tidak dibiarkan hingga berkelanjutan,
jika ini dibiarkan, maka tidak dapat dipungkiri di kemudian hari akan terbentuk generasi yang
tidak bermoral/berbudi pekerti rusak. Penanaman nilai-nilai humanis di sekolah sekarang ini
dirasa telah mengalami kemunduran yang amat pesat.
6
Kasus tawuran pelajar ini menjadi penting untuk diperhatikan karena terjadi di dunia
pendidikan yang bertujuan menyiapkan generasi muda terdidik. Di sisi lain, kekerasan ini dapat
menimpa siapa pun. Misal, ada pelajar yang menjadi korban pengeroyokan hanya karena
memakai seragam sekolah tertentu. Dalam kasus lain, ada pelajar yang menjadi korban
pelampiasan kekerasan karena pelaku tidak menemukan lawan yang dicari. Banyak dari korban
kekerasan mengalami cedera berat atau cacat permanen. Selain itu, kekerasann juga
mengakibatkan terganggunya proses belajar mengajar karena penutupan sementara sekolah-
sekolah yang ikut terlibat kekerasan. Untuk mendapatkan rasa aman, banyak pelajar mengganti
atribut seragam atau harus bergerombol saat berangkat dan pulang sekolah.
Said Priambodo mengemukakan bahwa :
“Tawuran pelajar yang terjadi di Kota Yogyakarta sudah seperti budaya dimana
antara sekolah satu dengan sekolah lain mempunyai sebuah geng. Dan antar geng
tersebut mempunyai dendam turun temurun yang sulit untuk dihapuskan. Namun
sebenarnya jika mempunyai komitmen yang kuat untuk maju maka hal tersebut dapat
dihindari. (mediainfokota.jogjakota.go.id : Walikota : Pelajar Kota Jangan Katrok
08/04/2008)
Said Priambodo juga berpendapat bahwa :
“Perilaku tawuran pelajar terjadi karena pengetahuan pelajar tentang bagaimana
membangun kepercayaan diri (building self confident) masih sangat kurang
sehingga membuat mereka mudah terpengaruh. Untuk itu, saya mengusulkan agar
Pemkot mengadakan kegiatan menggambar mural bersama yang diikuti oleh
anggota geng yang ada di sekolah-sekolah sehingga akan memunculkan rasa
7
memiliki diantara mereka untuk memelihara dan menjaga mural tersebut.”
(mediainfokota.jogjakota.go.id : Walikota : Pelajar Kota Jangan Katrok 08/04/2008)
Tulisan diatas merupakan sedikit gambaran mengenai penyebab meletusnya ratusan
tawuran antar pelajar yang terjadi di wilayah Kota Yogyakarta. Bahkan para guru yang
bermaksud melerai ternyata justru menjadi korban tawuran massal, kepalanya bocor terkena
lemparan batu dari oknum remaja sekolah yang sedang berhuru-hara.
“Agar tidak menjadi potensi penyulut terjadinya tawuran pelajar beberapa
tahun terakhir Dinas Pendidikan juga menyeragamkan identitas sekolah. Jika
sebelumnya kelengkapan seragam sekolah bertuliskan nama sekolah masing-masing.
Namun sekarang diseragamkan menjadi Pelajar Kota Yogyakarta. Hal ini untuk
mengantisipasi terjadinya tawuran yang seringkali hanya beberapa pelajar namun
meluas menjadi antar sekolah”. (Orang tua Dan Masyarakat Tak Bisa Masa Bodoh ;
Tawuran Pelajar, Solidaritas atau Cari Perhatian. Kedaulatan Rakyat Online : Edisi
Khusus 05/02/2010 08:39:06)
Tahun 2008 Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mengeluarkan aturan Tata Tertib dalam
pengaturan atribut (badge sekolah) terhadap pelajar setingkat Sekolah Menengah di wilayah
Kota Yogyakarta. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa atribut (badge) bagi para pelajar SMA
di Kota Yogyakarta kini berganti dari yang awalnya “SMA Negeri “x” Yogyakarta” menjadi
“Pelajar Kota Yogyakarta”. Kebijakan uniformisasi atribut lokasi sekolah ini terbentuk sebagai
keprihatinan & usaha antisipatif Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta terhadap maraknya aksi
tawuran pelajar. Atribut seragam pelajar SMA di Kota Yogyakarta ini dirancang sebagai
pencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat antar pelajar SMA dan juga sebagai penghapus
8
identitas (kolektif) sekolah dalam upayanya mencegah tawuran antar pelajar. Sebelum
dikeluarkannya kebijakan ini, masayarakat umumnya dapat mengenali seorang siswa dari badge
lokasinya. Tetapi sekarang atribut lokasi pelajar Sekolah-sekolah Menengah di Kota Yogyakarta
diseragamkan, sehingga sulit untuk mengenali asal sekolah seorang siswa bila tanpa bertanya
kepada siswa tersebut atau seragam khas sekolahnya masing-masing. Badge lokasi seragam tiap-
tiap sekolah menengah di Kota Yogyakarta sejak Juni 2008 sudah tidak dapat lagi dipakai
sebagai identitas dari masing-masing sekolah.
Analisis kebijakan publik membutuhkan keahlian untuk menggunakan berbagai metode
penelitian serta argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis
masalah-masalah sosial yang mungkin timbul sebagai efek samping dari diterapkannya suatu
kebijakan. Karena intervensi dari pemerintah melibatkan keahlian-keahlian dalam merumuskan
kebijakan publik serta menganalisis implikasi-implikasi yang nantinya ditimbulkan oleh suatu
kebijakan dalam sistem sosial. Dalam menganalisis kebijakan, kita dituntut untuk bisa berfikir
rasional, memadukan berbagai sudut pandang (multidisiplin), yakni pendekatan sosial-budaya,
lingkungan, kontekstual, basic needs masyarakat, keamanan, kesejahteraan, dll. Untuk dapat
menganalisanya bukan lah suatu perkara yang mudah dan tidak sederhana seperti yang
dibayangkan.
Fenomena tawuran antar pelajar SMA di Kota Yogyakarta coba diantisipasi oleh para
pihak yang berwenang dalam dunia pendidikan. Agar tidak menjadi potensi penyulut terjadinya
tawuran pelajar pada Juni 2008, Dinas Pendidikan menyeragamkan atribut identitas sekolah. Jika
sebelumnya kelengkapan seragam sekolah bertuliskan nama sekolah masing-masing. Namun
sekarang diseragamkan menjadi Pelajar Kota Yogyakarta. Hal ini untuk mengantisipasi
terjadinya tawuran yang seringkali bermula dari hanya beberapa pelajar namun meluas menjadi
9
antar sekolah. Oleh karena itu Dinas Pendidikan coba melakukan reformasi pendidikan pada
seragam sekolah sebagai bentuk antisipasi tawuran, dengan menyeragamkan atribut badge lokasi
sekolah, diharapkan para siswa sulit untuk mengenali musuhnya yang berasal dari sekolah lain.
Kajian mengenai tawuran serta geng pelajar sebelumnya telah dihadirkan oleh Muhammad
Dwiki Prastianto, mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan angkatan 2008 dengan skripsinya
yang berjudul Pergulatan Membangun Identitas. Studi ini lebih mengarah pada forrmasi,
kontestasi dan dinamika pergulatan identitas geng pelajar GNB di Kota Yogya pada tahun 2005-
2010. Sedangkan tulisan ini lebih mengarah kepada analisa terhadap kebijakan yang berperan
sebagai bentuk antisipasi terhadap tawuran pelajar yang terjadi di Kota Yogyakarta sejak tahun
2008.
B. Rumusan Masalah
Tetapi kemudian langkah uniformisasi ini memunculkan pertanyaan baru, mengapa
kebijakan penyeragaman atribut sekolah ini tidak mampu mengantisipasi tawuran pelajar SMA
di Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Seiring & sejalan dengan rumusan masalah tersebut, maka penelitian mengenai kebijakan
pendidikan ini bertujuan :
1. Mengevaluasi kebijakan pendidikan mengenai penyeragaman atribut sekolah ini
terhadap tawuran antar pelajar SMA di Kota Yogyakarta
2. Mengetahui apakah kebijakan penyeragaman badge sekolah ini tepat atau tidak dalam
mengantisipasi konflik identitas antar pelajar SMA Kota Yogyakarta
10
3. Untuk mengetahui apakah hanya dengan kebijakan penyeragaman atribut sekolah ini
saja tawuran antar pelajar di Kota Yogyakarta dapat diantisipasi
D. Landasan Teori
D.1. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Publik
Kebijakan publik hadir pada setiap jalannya pemerintahan, yang menjadi bagian dari salah
satu upaya untuk mencapai tujuan hidup bernegara. Ada beberapa pendekatan yang dapat
diambil untuk melihat perspektif dasar suatu proses pembuatan kebijakan, salah satunya yakni
pendekatan kebijakan publik sebagai dimensi manajemen konflik. Dimensi kajian kebijakan
publik ini sangat mengedepankan problem solving. Pada dimensi ini lebih memusatkan
perhatiannya untuk dapat mengelola konflik antara masyarakat dengan pemerintah.
Proses Umum Pembentukan Kebijakan Publik :
diikuti
hasilnya
menghasilkan
Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Perumusan Masalah
Agenda Pemerintah
Forecasting+Formulasi Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Kinerja & Dampak
Kebijakan
Monitoring + Evaluasi Kebijakan
KEBIJAKAN BARU
11
Secara teoritik, siklus terakhir dalam proses kebijakan adalah evaluasi, yang bertujuan
memberikan informasi mengenai kinerja dari suatu kebijakan setelah diimplementasikan.
Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) dilakukan untuk melihat sejauh mana tujuan dan sasaran
yang telah dicapai oleh target group, evaluasi terhadap implementasi, kinerja dan dampak. Akan
tetapi proses evaluasi tidak hanya dilakukan ketika di akhir kebijakan saja, tapi dimulai secara
menyeluruh sejak awal implementasi kebijakan sampai pada akhir periode kebijakan. Lalu
dilakukan proses pengecekan, apakah kebijakan ini sudah menghasilkan dampak yang
diinginkan. Hal ini dilakukan sejak implementasi untuk melihat seberapa tingkat kinerja dan
sejauh mana tujuan & sasaran dari sebuah kebijakan yang telah diimplementasikan tersebut
dicapai. Evaluasi adalah the appraisal of assesstment of policy including its
content implementation and impact : penilaian atau pengukuran kebijakan termasuk isi, implementasi
dan dampaknya.7
Implementasi kebijakan melibatkan usaha dari pembuat kebijakan untuk mempengaruhi
birokrat agar mengatur perilaku kelompok yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Untuk 7 Anderson. 1990. Public Policy Making.
12
kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan sebagai implementornya,
sedangkan untuk kebijakan yang besar maka usaha implementasinya akan melibatkan banyak
institusi. Selama implementasi, sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun
strateginya. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun
sasaran sering terjadi pada proses implementasi ini. Implementasi merupakan proses kompleks
yang melibatkan berbagai aktor serta menggunakan berbagai sumber daya dalam pelaksanaanya
dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, selain itu implementasi merupakan tahapan yang
krusial dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kebijakan.
Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, analis menggunakan tipe
kriteria untuk mengevaluasi hasil kebijakan tersebut.
Kriteria evaluasi menurut Dunn sebagai berikut : 8
1. Efektivitas, apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?
Berkenaan dengan apakah suatu kebijakan telah mencapai hasil (akibat) dan
tujuan yang diharapkan.
2. Efisiensi, seberapa banyak diperlukannya usaha untuk mencapai hasil yang
diinginkan?
Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan efektifitas.
3. Kecukupan, seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan dalam memecahkan
masalah?
8 William N Dunn, 2000 : Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Hal 61.
13
Berkenaan dengan seberapa jauh tingkat efektifitas dapat memuaskan kebutuhan,
nilai. Kriteria kecukupan menekankan pada hubungan antara kebijakan dan hasil
yang diharapkan.
4. Pemerataan, apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada
kelompok yang berbeda?
Erat kaitannya dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi
akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
5. Responsivitas, apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai
kelompok tertentu?
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan,
preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Responsivitas
merupakan kriteria penting, karena merupakan analisis yang dapat memuaskan
semua kriteria lainnya, yakni efektifitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.
Masih dikatakan gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok
yang semestinya diuntungkan dari adanya kebijakan.
6. Ketepatan, apakah hasil/tujuan yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Ketepatan berhubungan dengan rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang
ketepatan kebijakan tidak berkenaan hanya dengan satuan kriteria, tetapi dua atau
lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai dari tujuan
kebijakan dan pada asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, penelitian kali ini akan
mengambil salah satu tipe kriteria untuk mengevaluasi hasil kebijakan seperti yang telah
diungkapkan oleh Dunn diatas dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan
14
Publik, yakni evaluasi efektifitas kebijakan. Meskipun evaluasi kebijakan memiliki banyak jenis,
kriteria maupun corak, bagi keperluan dalam penelitian ini telah dipilih fokus evaluasi terhadap
efektifitas kebijakan karena dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi dilakukan
dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.9 Evaluasi
kebijakan ditujukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu : Proses pembuatan kebijakan, Proses
implementasi kebijakan, Konsekuensi kebijakan, dan yang terahkir untuk mengetahui Efektivitas
dampak kebijakan.10 Sedangkan menurut Finance, ada empat dasar tipe evaluasi sejalan dengan
tujuan yang ingin dicapai.11 Keempat tipe ini adalah evaluasi kecocokan (appropriateness
evaluation), evaluasi efektivitas (effectiveness evaluation), evaluasi efisiensi (efficiency
evaluation) dan evaluasi meta (meta-evaluations).
Evaluasi efektivitas menguji dan menilai apakah program kebijakan tersebut menghasilkan
dampak yang diharapkan? Apakah tujuan yang dicapai dapat terwujud? Apakah dampak yang
diharapkan sebanding dengan usaha yang telah dilakukan? Tipe evaluasi ini memfokuskan diri
pada mekanisme pengujian berdasar tujuan yang ingin dicapai yang biasanya secara tertulis
tersedia dalam setiap kebijakan publik. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogya Nomor
188/1472/tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Walikota mengenai Penyusunan
Tata Tertib Sekolah maka kriteria evaluasi yang digunakan adalah efektivitas (effectiveness). Hal
ini dikarenakan peneliti ingin mengetahui apakah kebijakan penyeragaman atribut sekolah ini
9 Hanafi & Guntur, 1984: 16 dalam Miftahudin, 2009 : Evaluasi Kebijakan Peraturan Walikota Semarang Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Sistem Dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik Di Kota Semarang.
10 Wibawa, Samodra, dkk, 1994 : Evaluasi Kebijakan Publik. Hal : 9
11 Finance (1994 : 4) dalam Miftahudin, 2009 : Evaluasi Kebijakan Peraturan Walikota Semarang Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Sistem Dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik Di Kota Semarang.
15
membuahkan hasil dan dampak kebijakan yang diharapkan, serta apakah tujuan yang diinginkan
telah tercapai.
Efektivitas implementasi kebijakan setidaknya bisa dilihat melalui 2 perspektif, yang
pertama : dari sudut proses (implementasi), yaitu menekankan pada konsistensi antara
pelaksanaan program atau kebijakan dengan policy guidelines, yang merupakan petunjuk dan
ketentuan pelaksanaan program yang dibuat oleh pembuat program, yang mencakup antara lain
cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan pemanfaatan program.12 Program
dinyatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan policy guidelines yang telah di tentukan.
Kedua : dari perspektif outcome, suatu program dikatakan berhasil jika program tersebut
menghasilkan dampak seperti yang diharapkan.
Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh :13
1. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan menuntut agar implementor mengetahui apa
yang harus dilakukan dan tujuan serta sasaran kebijakan. Tujuan kebijakan ini harus
dikirim kepada kelompok sasaran (target groups) sehingga dapat mengurangi
kerusakan/kekurangan dari implementasi. Bila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas
dan tidak diketahui oleh kelompok sasaran, maka akan terjadi perlawanan dari
kelompok sasaran. Komunikasi menjadi pentiing karena : setiap pelaksana harus
memahami apa yang dilakukan, pelaksana harus memahami juklak, pelaksana harus
konsisten terhadap juklak, sering ditemukan hambatan dalam menyampaikan informasi
12 Dwiyanto, 1999 : Evaluasi Program Kebijakan Pemerintah. Hal 1.
13 George C Edward III. 1980 : Implementing Public Policy.
16
terhadap tingkatan organisasi yang berlapis-lapis, semakin baik komunikasi maka akan
semakin baik pula implementasinya.
2. Sumberdaya
Dalam implementasi kebijakan memerlukan berbagai sumber daya dalam rangka
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Bila substansi dari kebijakan sudah
disosialisasikan secara jelas, maka implementor harus memiliki sumberdaya untuk
melaksanakannya agar kebijakan dapat berjalan secara efektif, dapat berwujud
sumberdaya manusia, yaitu kompetensi aktor yang menjalankan (implementor), dan
sumberdaya finansial (keuangan). Seperti dijelaskan oleh Jones dalam Widodo dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut menuntut adanya beberapa syarat, antara lain adanya
orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasional, yang dalam hal ini sering
disebut resources. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanyalah sebuah konsep belaka.
Sumberdaya menyangkut staff yang memadai dan berkeahlian sesuai dengan
kebutuhan, informasi tentang kebijakan, wewenang yang dimiliki pelaksana, serta
fasilitas yang ada.
3. Disposisi
Adalah watak & karakter para implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan
demokratis. Jika implementor memiliki watak (disposisi) yang baik, maka mereka akan
menjalankan kebijakan dengan lancar tanpa hambatan seperti yang diinginkan oleh
para perumus kebijakan. Sebaliknya bila implementor bersikap berbeda dengan para
pemuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan nantinya tidak akan bisa
menjadi efektif. Sikap pelaksana ini meliputi sikap dan dukungan dari aparat pelaksana
kebijakan serta perilaku birokrasi.
17
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi yang bertugas melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Pelaku utama dalam implementasi
kebijakan adalah para birokrat, dalam kasus ini yakni Dinas Pendididkan yang
merupakan dinas terkait dengan kebijakan ini. Struktur organisasi yang
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap
implementasi dari suatu kebijakan.
Jadi unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yakni unsur
pelaksana, program yang dilaksanakan serta target groups (kelompok sasaran). Dengan demikian
implementasi kebijakan sebenarnya merupakan suatu kegiatan yang cukup strategis yang
seharusnya dilakukan oleh para decision maker dan atau stakeholder guna mendapatkan policy
outcome yang diharapkan, sehingga dengan melalui langkah studi implementasi ini diharapkan
dapat menjawab beberapa pertanyaan tentang mengapa setiap kebijakan yang diharapkan dalam
pelaksanaannya tidak atau belum dapat dicapai sesuai standarisasi yang ditetapkan. Studi
implementasi berusaha untuk menangkap proses implementasi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan/efektivitas kebijakan dan kegagalan implementasi sehingga pada
saatnya nanti kebijakan yang diformulasikan menjadi semakin berkualitas yang pada gilirannya
kebijakan pemerintah tersebut akan memberikan tingkat kepuasan yang signifikan bagi publik
atau pemerintah.
Dalam prakteknya sering terjadi kegagalan dalam implementasi. Sebaik apa pun kebijakan
yang telah diputuskan, jika implementasinya tidak dipersiapkan & direncanakan dengan baik,
maka tujuan dari kebijakan tersebut tidak akan tercapai. Oleh karena itu implementasi kebijakan
merupakan suatu proses yang melibatkan sumber daya manusia, dana, dan kemampuan
18
organisasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu & kelompok). Sedangkan
pelaksanaan kebijakan ialah suatu upaya mewujudkan kebijakan yang masih abstrak ke dalam
realita kehidupan yang nyata. Pelaksanaan kebijakan kemudian menimbulkan hasil (output),
dampak (out-comes), manfaat (benefits), dan efek (impacts) yang nantinya akan dirasakan oleh
target groups.
Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang
diinginkan. Yang seringkali terjadi adalah kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat
sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang
telah dijalankan telah meraih dampak yang diinginkan.
Indikator Evaluasi Kebijakan
Indikator untuk mengukur hasil/kinerja menurut Lembaga Administrasi Negara, yaitu input,
proses, output, outcome (hasil), manfaat dan impact (dampak/efek).14
a. Input (masukan) adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pelaksanaan kebijakan dapat
menghasilkan output yang sesuai dengan yang telah ditentukan.
b. Proses ialah segala hal yang menunjukkan usaha untuk mengolah input menjadi
output.
c. Output (keluaran) yakni sesuatu yang diharapkan langsung dicapai oleh suatu
kebijakan.
d. Outcome (dampak) yaitu sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output
kebijakan pada jangka menengah (efek langsung) yang terasa.
14 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2000 : Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
19
e. Impact (dampak) merupakan pengaruh positif ataupun negatif yang timbul di setiap
indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga
secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan atau perlu
diperbaiki sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan. Evaluasi yang dilakukan akan
menggunakan tipe Ex-past evaluation. Ex-past evaluation adalah proses evaluasi yang dilakukan
setelah program selesai. Merupakan bentuk evaluasi klasik, yakni dilakukan setelah kebijakan
dijalankan, untuk mengukur efek & dampak kebijakan yang telah diimplementasikan selama
beberapa waktu. PBB mendefinisikan ex-past evaluation sebagai proses yang diambil setelah
pengimplementasian program, memeriksa efek dan akibat dari program, dan juga ditujukan
untuk mendapatkan informasi tentang :15
o Efektifitas program dalam meraih tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
o Kontribusinya terhadap target-target perencanaan dan pengembangan
sektoral ataupun nasional.
o Akibat jangka panjang sebagai hasil dari proyek.
Bank Dunia mendefinisikan ex-past evaluation sebagai sebuah usaha untuk mereview (mengkaji
ulang) secara komprehensif pengalaman dan akibat atau efek dari program sebagai sebuah basis
untuk desain formulasi kebijakan di masa depan.16 The ex-past secara definisi adalah sebuah
aktivitas yang diambil setelah penyelesaian program atau kebijakan.
15 PBB, 1978 : 9 dalam Mathur. K. Inayatullah. 1980. Monitoring And Evaluation Of Rural Development : Some Asian Experiences. Hal : 58. 16 Carnea dan Tepping, 1977 : 12 dalam Inayatullah 1980 : 59.
20
Dalam kasus kebijakan penyeragaman badge ini, evaluasi dilakukan secara ex-past
evaluation karena kebijakan harus diukur sejauh mana pencapaian tujuannya, kebijakan yang
telah diterapkan mampukah menjawab masalah yang sedang dihadapi, serta untuk dapat
mengetahui hasil & dampak dari suatu kebijakan diperlukan beberapa waktu sejak kebijakan
tersebut diimplementasikan. Sebab jika evaluasi dilakukan terlalu cepat, maka hasil & dampak
dari kebijakan belum terlihat. Oleh karena itu diperlukan tenggang waktu yang lebih panjang
dalam melakukan evaluasi. Untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan
penyeragaman badge sekolah ini baru bisa dilakukan setelah beberapa bulan kemudian, dengan
monitoring yang dilakukan tiap bulannya. Karena pada awal minggu baru masuk tahap
sosialisasi, bulan pertama mulai memasuki tahap implementasi, yakni pembagian badge yang
baru ke tiap-tiap sekolah. Bulan-bulan selanjutnya mulai dilihat perkembangannya, dan dapat
diketahui hasil serta dampaknya dari implementasi penyeragaman badge sekolah. Pada bulan-
bulan berikutnya sudah dapat diketahui berapa persen dari SMA-SMA yang ada di Kota
Yogyakarta yang telah menerapkan kebijakan penyeragaman badge sekolahnya menjadi “Pelajar
Kota Yogyakarta” dan seperti apa dampaknya terhadap jumlah tawuran, apakah intensitas
tawuran semakin turun dibandingkan dengan sebelum diterapkannya penyeragaman badge
sekolah.
Beberapa faktor penyebab kebijakan tidak memperoleh dampak yang diinginkan, seperti :
Sumber daya yang tidak memadai
Cara pengimplementasiannya yang tidak tepat
Masalah publik sering disebabkan oleh banyak faktor, tetapi kebijakan yang dibuat hanya
mengatasi satu faktor saja
Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat mengurangi dampak yang diinginkan
21
Tujuan-tujuan kebijakan yang tidak sebanding bahkan bertentangan satu sama lain
Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari masalahnya
Banyaknya masalah publik yang tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dengan satu
kebijakan
Timbul maslaah baru, sehingga mendorong pengalihan perhatian dan tindakan
Sifat dari masalah yang akan dipecahkan.17
E. Definisi Konseptual
E.1. Kebijakan Publik
Suatu keputusan aturan/regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk dapat mengatur
keberlangsungan hajat hidup orang banyak, baik itu sumber daya alam, sumber daya
manusia, kesehatan, pendidikan, informasi, keamanan, komunikasi, ekonomi, politik,
ketenaga kerjaan, dll demi kesejahteraan warga negaranya. Kebijakan dapat dikatakan
menjadi kebijakan “publik” karena menyangkut kepentingan/urusan publik, masyarakat
umum, atau orang banyak.
Kebijakan merupakan instrumen pemerintahan yang menyentuh berbagai bentuk
kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun civil society. Kebijakan publik hadir pada
setiap jalannya pemerintahan, yang menjadi bagian dari salah satu upaya untuk mencapai
tujuan hidup bernegara. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau
pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian
sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, rakyat banyak,
penduduk, masyarakat, serta warga negara. Kebijakan seringkali didefinisikan sebagai
sebuah tindakan yang dilakukan pemegang kekuasaan untuk memastikan tujuan-tujuan
17 James E Anderson, 1996 : Public Policy Making
22
yang telah dirumuskan dan disepakati oleh publik agar dapat tercapai semuanya. Kebijakan
publik merupakan proses penggunaan kewenangan negara yang berkesperimen terhadap
nasib orang banyak.
E.2. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi berasal dari Bahasa Inggris, “evaluation” yang berarti penilaian atau penaksiran.
Sedangkan menurut pengertian, istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk
mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan. Evaluasi mengandung
pengertian : suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Jadi, evaluasi
kebijakan adalah suatu aktivitas yang bermaksud untuk mengetahui dan menilai sejauh
mana efektifitas sebuah kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan pada konstituennya
dan sejauhmana tujuannya tercapai. Evaluasi akan menilai keterkaitan antara teori
(kebijakan) dengan prakteknya (implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah
dampak tersebut sesuai dengan yang diperkirakan atau tidak.
F. Definisi Operasional
F.1. Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik :
- Kebijakan pendidikan bersifat Top Down, hanya berasal dari Dinas Pendidikan
sebagai pemerintah yang berwenang mengeluarkan kebijakan.
- Kebijakan yang dikeluarkan tidak memperhatikan aspirasi/kebutuhan masyarakat
pendidikan yang sebenarnya.
- Kebijakan pendidikan harus dipatuhi oleh semua murid tanpa bertanya terlebih
dahulu apa persoalan utamanya.
23
F.2 Evaluasi Efektifitas Kebijakan :
Dilihat dari :
- Proses implementasi kebijakan : konsistensi pelaksanaan kebijakan di lapangan
dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) yang dibuat oleh policy makers.
- Outcome (dampak yang ditimbulkan) : kebijakan berhasil jika program-program yang
dicanangkan meraih dampak yang diinginkan.
G. Metode Penelitian
Penelitian Analisis Kebijakan Penyeragaman Atribut Sekolah ini disusun dengan proses
yang sangat panjang, dimulai dari penyusunan kerangka penelitian sampai proses pengambilan
data di lapangan. Proses ini dimulai dengan meneliti sejarah tawuran antar pelajar di Kota
Yogya. Diantaranya dengan membaca media-media elektronik dari skala lokal hingga tingkat
nasional, mengikuti perkembangan peristiwa tawuran pelajar yang terkini, langsung dari
beberapa pelajar SMA di Kota Yogya. Bertemu dengan berbagai jenis pelajar, dari mulai yang
dikatakan “cupu” hingga yang terkenal “nakal” di sekolahnya.
Penting untuk diingat bahwa pembicaraan mengenai “tawuran antar pelajar” ini merupakan
masalah yang sensitif bagi kalangan di Dinas Pendidikan Kota Yogya, karena menurut Kasi
Kesiswaan Pengembangan Pendidikan Pemuda & Olahraga (Disdikpora) Kota Yogya, tawuran
yang dilakukan diluar jam sekolah itu berarti bukan tawuran pelajar. Jadi Dinas Pendidikan tidak
terima dengan stigma “tawuran Pelajar”, karena apa yang dilakukan pelajar diluar jam sekolah
itu sudah beralih tanggung jawabnya menjadi kepada orang tua dan masyarakat. Artinya tawuran
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tawuran pelajar. Beberapa informan sulit untuk
mengungkapkan sejak kapan peristiwa tawuran pelajar di Kota Yogya mulai terjadi, karena
peristiwa ini merupakan warisan turun temurun yang tidak diketahui apa, kapan, mengapa dan
24
bagaimana itu bisa terjadi. Dalam rangka pencarian data tersebut, peneliti juga mempelajari
berbagai dokumen pendukung seperti arsip peraturan walikota mengenai tata tertib nomor 24
tahun 2008, mulai dari petunjuk pelaksanaan hingga petunjuk teknisnya. Data-data kemudian
dikumpulkan dan diolah dalam klasifikasi-klasifikasi yang sesuai dengan sistematika bab,
kemudian ditulis dalam laporan ini.
G.1. Jenis Penelitian : Penelitian Kualitatif dengan Metode Studi Kasus
Tujuan dari penelitian ini ialah menunjukkan kemampuan dari kebijakan penyeragaman
atribut sekolah dalam mengantisipasi konflik identitas antar pelajar SMA di Kota Yogyakarta.
Tujuan ini dapat dijelaskan secara deskriptif melalui metode kualitatif. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan studi kasus sebagai metodenya, studi
kasus mengangkat fenomena kasus tawuran pelajar yang marak terjadi di Kota Yogya. Peneliti
terjun langsung ke lapangan, mengamati apa yang terjadi, dan berbicara langsung kepada para
informan.
Fokus penelitiannya ialah analisis terhadap kebijakan penyeragaman badge sekolah,
apakah mampu mengatasi/mengurangi tawuran, atau tidak berdampak sama sekali terhadap
tingkat tawuran pelajar di Kota Yogya, hingga tawuran masih marak terjadi, atau bahkan tiap
tahun meningkat jumlahnya. Maka penggunaaan studi kasus menjadi hal yang dilakukan dalam
penelitian ini. Ini dapat menjelaskan pula bagaimana kebijakan tersebut dapat muncul ke
permukaan, apakah dengan bertanya langsung dengan para pelajar sebagai sasaran kebijakan
atau hanya berangkat dari sebuah asumsi dasar dari Dinas Pendidikan sebagai
pembentuk/pembuat kebijakan.
25
G.2. Fokus Analisis Penelitian
Fokus analisis dalam penelitian ini ialah kebijakan penyeragaman atribut sekolah dan
hubungannya terhadap tingkat kasus-kasus tawuran pelajar SMA yang berada di wilayah Kota
Yogyakarta. Untuk memperjelas penelitian, diperlukan fokus terhadap evaluasi efektifitas
kebijakan dan anailisis terhadap beberapa SMA yang berada di wilayah kota Yogya. Peneliti
hanya fokus kepada beberapa SMA saja di wilayah ini, diantaranya adalah SMAN 6 Yogyakarta,
SMAN 9 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, dan SMA Muhammadiyah II
Yogyakarta. Keempat SMA itu dipilih karena SMA-SMA tersebut dipandang memiliki geng
pelajar yang terbesar serta terkenal yang seringkali memunculkan beberapa kasus tawuran di
wilayah Kota Yogya. Data yang diperoleh dibagi menjadi dua bagian, yakni data utama dan data
pendukung. Data utama didapatkan dari wawancara dan observasi langsung dengan informan,
dan data pendukung bersumber dari dokumen-dokumen seperti catatan, rekaman, buku, literatur
dan media yang menjadi dukungan penguat argumen dalam menyajikan data.
G.3. Metode Pengumpulan Data
Tehnik yang digunakan ialah analisis kebijakan dengan cara mengevaluasi kebijakan untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan. Wawancara, merupakan salah satu yang dilakukan
untuk mendapatkan dan mengumpulkan data primer. Dalam mengumpulkan data, penulis dan
narasumber berhadapan langsung, dan wawancara yang dilakukan secara terbuka dengan
melakukan dialog dan bercerita mengenai sejarah tawuran pelajar di Kota Yogya serta kebijakan
penyeragaman atribut sekolah untuk mengantisipasi tawuran pelajar tersebut. Wawancara di
laukan secara terbuka dengan para stakeholder yang terlibat kebijakan, terutama kelompok
sasarannya yakni beberapa pelajar SMA di Kota Yogyakarta.
26
Ada beberapa sumber bukti dalam pengumpulan data. Dalam penelitian ini, sumber bukti
tersebut dibagi dalam dua tipe yaitu utama dan pendukung, yang saling melengkapi satu sama
lain sebagai rangkaian data. Bukti utamanya ialah; pertama, wawancara dengan informan yang
mengetahui perihal tawuran pelajar di kota Yogya. Peneliti menggantungkan hampir sebagian
besar data dari hasil wawancara dengan informan. Objektivitas dalam wawancara dilakukan
dengan mengambil informan yang berbeda, dari mulai kalangan pelajar itu sendiri, guru-guru
sekolah, Dinas Pendidikan, hingga masyarakat sekitar tempat-tempat tawuran terjadi. Contohnya
informan dari kalangan pelajar SMA di Kota Yogya yang sering melihat tawuran baik secara
langsung, maupun yang hanya mendengar ceritanya saja. Mereka melihat aksi tawuran pelajar
tersebut sebagai dampak dari beratnya jam belajar yang dibebankan kepada mereka yang tidak
mampu mengaktualisasikan dirinya kedalam yang berujung kepada aktifitas-aktifitas yang
negatif seperti aksi corat-coret tembok, tawuran dsb..
Lain lagi informan dari kalangan guru-guru sekolah, menurut mereka aksi tawuran pelajar
disebabkan karena kelebihan energi dari beberapa siswa yang ingin diakui keberadaan di
sekolahnya, karena kebanyakan dari mereka tidak menyukai kegiatan ekskul, maka kelebihan
energi tersebut akhirnya disalurkan kepada hal-hal negatif seperti vandalism, tawuran dsb.
Informan berhak menunjuk informan lain untuk ikut menyumbangkan data. Tetapi penelitilah
yang menentukan apakah informan baru memiliki kapasitas dan relevansi dengan kasus tawuran
pelajar. Wawancara dilakukan secara informal namun fokus terhadap bahasan, panduan
digunakan agar peneliti tidak keluar dari alur pertanyaan yang harusnya diajukan.
Narasumber yang dipilih ialah : Pertama, informan dari ranah negara yakni KASI
Kesiswaan bagian Pengembangan Pendididkan Pemuda & Olahraga (Disdikpora) Kota
Yogyakarta. Informan ini adalah pengawas dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas
27
Pendidikan dalam mengatasi tawuran pelajar. Kedua, guru-guru dari beberapa SMA di Kota
Yogya (bapak Malik guru B.K. SMAN 4 Yogya, ibu Sri Wahyuningsih, bapak Budi, bagian
Kesiswaan SMAN 9 Yogya, Ibu Endang dan ibu Nur Handayani guru B.K. SMA 9 Yogya, Ibu
Susi bagian Humas SMA 4 Yogya) yang menjadi penengah dalam konflik antar pelajar serta
eksekutor dalam kebijakan penyeragaman badge sekolah ini. Guru-guru sekolah dipilih sebagai
informan dilihat dari kuasanya untuk menerapkan aturan penyeragaman atribut sekolah serta
kapasitas pengetahuannya tentang situasi tawuran pelajar di Kota Yogya. Ketiga, informan yang
menjadi sumber data bagi peneliti adalah para siswa yang terkait dan yang tidak, serta para
alumni yang terkait dengan tawuran pelajar SMA di Kota Yogya seperti : (Barkah angkatan
2003 SMA Muhammadiyah I Yogya, Yudhis angkatan 2006 SMA 6 Yogya, Agung angkatan 2007
SMA Muhammadiyah I Yogya, Damar, Angga angkatan 2007 SMA 9 Yogya, Reza angkatan
2003 SMA Muhammadiyah II Yogya, Aam angkatan 2009 SMA 6 Yogya, Faruk angkatan 2008
SMA 10 Yogya, Gembos alumni SMA 11 Yogya, Gunung angakatn 2005 SMA Muhammadiyah II
Yogya, Rendy angkatan 2008 SMA 9 Yogya, Yeyes angkatan 2010 Kolese De Brito, Adi angkatan
2008 SMA 9 Yogya, dan Aldhino angkatan 2005 SMA Muhammadiyah II Yogya). Sumber data
ini dipilih sebagai informan untuk mendapatkan informasi dari sudut pandang aktor/pelaku yang
pernah mengalamu tawuran pelajar.
Ada beberapa sumber bukti yang mendukung penelitian ini, yakni pertama, data dokumen
yang berkaitan dengan kebijakan penyeragaman atribut sekolah, seperti Peraturan Walikota
Yogyakarta nomor 24 tahun 2008 tentang pedoman penyusunan Tata Tertib Sekolah, Lampiran
Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Juni 2008 serta artikel di media massa cetak dan
elektronik yang berkaitan dengan tawuran pelajar di Kota Yogya. Kedua, data arsip yang berisi
tingkat tawuran pelajar di Kota Yogya di dalamnya. Bukti-bukti pendukung ini digunakan untuk
28
menguatkan argumen yang dibangun, yakni bahwa kebijakan ini dikeluarkan untuk
mengantisipasi tawuran pelajar di Kota Yogya. Untuk mendapatkan data, saya mengunjungi
Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta sebagai pemerintah yang berwenang merumuskan &
mengeluarkan kebijakan, serta masyarakat pendidikan seperti para pelajar, pelajar yang tidak
ikut tawuran, pelajar yang terlibat tawuran, alumni, guru-guru sekolah & para masyarakat yang
biasanya berada di sekitar wilayah aktif tawuran.
G.4. Kendala Teknis Lapangan
Penulis kesulitan untuk mendapatkan data mengenai tingkat statistik tawuran pelajar di
Kota Yogya yang pertama, Badan pusat Statistik wilayah Yogya ternyata tidak memiliki data
mengenai tingkat tawuran pelajar yang ada di wilayah kota Yogya, dan yang kedua ialah karena
data mengenai tawuran dianggap data yang tergolong dirahasiakan oleh pemerintah, dan dilarang
untuk diedarkan oleh Polda Yogya. Hal tersebut yang mengakibatkan akses terhadap data yang
dirasa sangat sulit, dan data yang ada pun pada akhirnya hanya merupakan fakta permukaan
dengan klarifikasi narasumber saja.
H. Sistematika Bab
Tulisan ini akan dibagi kedalam lima bab. Bagian pertama ialah pendahuluan yang akan
mengkerangkai seluruh bagian. Ini merupakan bab yang memuat latar belakang, rumusan
masalah dan tujuan penelitian serta landasan teoritik yang menjadi basis konsep yang melandasi
penelitian ini.
Bagian kedua tulisan memaparkan tentang arena, asal mula dan pemetaan aktor konflik,
melalui proses mapping tawuran pelajar sebagai arena konflik, serta identifikasi aktor-aktor yang
bergulat didalamnya. Pemetaan dilakukan untuk mendeskripsikan siapa saja yang terlibat dalam
29
konflik Aktor-aktor dalam tulisan ini secara garis besar dibagi menjadi tiga kelas; pertama,
negara yang memiliki kewenangan untuk mengelola konflik dengan mengeluarkan kebijakan.
Kedua, para “pelajar” sebagai pelaku tawuran. Ketiga, guru-guru dan masyarakat yang meliputi
warga sekitar yang terkena dampak tawuran pelajar.
Bagian ketiga tulisan berisi mengenai peran Dinas Pendidikan Kota Yogya sebagai aktor
utama dalam menengahi konflik tawuran pelajar dengan penyeragaman atribut sekolah sebagai
kebijakan antisipasinya. Dinas Pendidikan selaku pemerintah memiliki kekuatan untuk memaksa
warganya untuk melaksanakan serta mematuhi sistem, yakni kebijakan penyeragaman atribut
sekolah.
Bagian keempat berisikan tentang inti dari solusi konflik melalui “peraturan sekolah”,
yakni Penghilangan Identitas Atribut Sekolah, serta Implikasinya, baik positif atau negatif.
Bagian kelima merupakan kesimpulan hasil penelitian yang merupakan hasil dari jawaban
rumusan masalah.