bab i pendahuluan -...

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tawuran Pelajar saat ini menjadi fenomena sosial yang nampaknya sudah lazim di negara Indonesia. Beberapa “pelajar” bahkan menganggap tawuran merupakan kegiatan yang sudah rutin dilakukan oleh para “remaja masa kini, hal ini dikarenakan kondisi usia dari kebanyakan pelaku tawuran tersebut yang masih ingin menunjukkan jati dirinya. 1 Para pelaku ini kebanyakan tergolong kedalam usia muda, atau dapat kita sebut sebagai “pemuda”. Tawuran antar pelajar bisa terjadi dimana saja, di semua wilayah dimana terdapat institusi-institusi pendidikan seperti Sekolah Menengah sederajatnya atau bahkan setingkat Universitas pun masih memungkinkan untuk terjadinya tawuran pelajar. Pada dasarnya, tawuran biasanya sering terjadi di kota-kota besar yang tingkat peradabannya sudah lebih maju dari daerah lainnya. 2 Di Semarang misalnya, tanggal 27 November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com). “Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran sering terjadi. Data Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 1 Robertho Pardede : Tawuran Antar Pelajar Ditinjau dari Premis-premis WALTER B. MILLER dalam Teori LOWER CLASS CULTURE 2 Seperti beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com).

Upload: trantram

Post on 30-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tawuran Pelajar saat ini menjadi fenomena sosial yang nampaknya sudah lazim di negara

Indonesia. Beberapa “pelajar” bahkan menganggap tawuran merupakan kegiatan yang sudah

rutin dilakukan oleh para “remaja masa kini, hal ini dikarenakan kondisi usia dari kebanyakan

pelaku tawuran tersebut yang masih ingin menunjukkan jati dirinya.1 Para pelaku ini kebanyakan

tergolong kedalam usia muda, atau dapat kita sebut sebagai “pemuda”. Tawuran antar pelajar

bisa terjadi dimana saja, di semua wilayah dimana terdapat institusi-institusi pendidikan seperti

Sekolah Menengah sederajatnya atau bahkan setingkat Universitas pun masih memungkinkan

untuk terjadinya tawuran pelajar.

Pada dasarnya, tawuran biasanya sering terjadi di kota-kota besar yang tingkat

peradabannya sudah lebih maju dari daerah lainnya.2 Di Semarang misalnya, tanggal 27

November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com).

“Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran sering terjadi. Data Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13

1 Robertho Pardede : Tawuran Antar Pelajar Ditinjau dari Premis-premis WALTER B. MILLER dalam Teori LOWER CLASS CULTURE

2 Seperti beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com).

2

pelajar dan 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas.”3

Sedangkan menurut data Bimmas Mabes POLRI antara tahun 1995 – 1999 terjadi sejumlah 1316

kasus tawuran se-Indonesia. Untuk di pulau Jawa terjadi sejumlah sebesar 933 kasus. Untuk di

Polda Metro Jaya terjadi sejumlah 810 kasus tawuran pelajar. Sedangkan untuk tawuran di luar

pulau Jawa paling banyak terjadi di Polda Sumsel, sebanyak 253 kasus. Dengan tingkat

radikalisasi pelajar yang sudah menjurus kepada kriminalitas semakin kuat.4 Para pelajar yang

seringkali tawur tersebut lebih memilih melakukan aksinya diluar sekolah, walaupun memang

ada beberapa yang melakukannya pada saat kegiatan belajar mengajar.

Tawuran didefinisikan sebagai perkelahian massal yang dilakukan oleh sekelompok orang

terhadap kelompok lainnya, yang disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang, dendam,

ketidaksetujuan tentang suatu hal, dan sebagainya. Tawuran ada tiga bentuk : 5

1. Tawuran antar kelompok yang telah memiliki rasa permusuhan secara turun temurun,

2. Tawuran satu kelompok melawan kelompok lainnya yang didalamnya terdapat beberapa

jenis kelompok (terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda)

3. Tawuran antar kelompok yang bersifat insidental, yang dipicu oleh situasi dan kondisi

tertentu.

Kerugian yang disebabkan oleh tawuran pelajar selain menimpa korban, tapi juga dapat

mengakibatkan kerugian ditempat mereka beraksi, yang membuat masyarakat sekitar menjadi

resah terhadap aksi tawuran tersebut. Keresahan ini menimbulkan kekecewaan terhadap generasi

muda yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa Indonesia. Asumsi penulis, dari sisi

3 Dikemukakan oleh Raymon Tambunan (2001) dalam artikelnya yang berjudul “Perkelahian Pelajar” 4 Denny Noviansyah, 2001 : Tawuran Pelajar : Sebuah Potret Kegagalan Sistem Pendidikan Indonesia. 5 Hanna Karlina Ridwan, 2006 : Agresi pada Siswa-Siswa SLTA yang Melakukan dan Tidak Melakukan Tawuran Pelajar.

3

politik hal ini dimanfaatkan oleh para pemegang otoritas dengan membangun opini publik bahwa

generasi muda Indonesia masih tidak mampu untuk menduduki otoritas kekuasaan politik

Indonesia.

Beberapa pelajar bahkan menganggap bahwa tawuran sudah menjadi tradisi. Dari sana

terlihat bahwa tawuran pelajar telah mengakar budaya di banyak sekolah-sekolah menengah

sederajatnya. Permasalahan ini bukan merupakan permasalahan yang baru, di beberapa kota

besar di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan Medan. Seperti

di kota Yogyakarta misalnya, para pelajar di sekolah-sekolahnya dapat membedakan sekolah-

sekolah mana saja yang menjadi kawan dan yang mana lawan, kemampuan seperti ini sudah

diwariskan dari angkatan-angkatan sebelumnya dan kemudian menurun ke angkatan-angkatan

selanjutnya.

Yogyakarta memang terkenal dengan sebutan “Kota Pelajar”, kota yang terkenal dengan

sejuta institusi, lembaga serta fasilitas pendidikannya yang sangat memadai. Banyak masyarakat

dari berbagai daerah di Indonesia menjadikan Yogyakarta sebagai kota tujuan utama dalam

menuntut ilmu. Namun, Yogyakarta dengan predikatnya tersebut pun tidak bisa menghindar dari

berbagai masalah yang terkait dengan pendidikan. Salah satunya terkait dengan kenakalan

remaja, yakni tawuran pelajar.

Tawuran pelajar tingkat sekolah menengah dan sederajatnya ini terus mengalami

perkembangan. Mereka tidak hanya melakukan tawuran secara spontan, namun berkembang

menjadi suatu tawuran yang direncanakan, dirancang dan diatur sedemikian rupa oleh

pemimpinnya dengan menggunakan strategi-strategi layaknya sebuah pertempuran pada suatu

peperangan. Hal ini mulai mengkristal dan kemudian menjadi hal yang bersifat sistemik.

4

Beberapa masyarakat juga berpendapat bahwa prosedur pendidikan di Indonesia ikut

berpengaruh terhadap konflik antar pelajar. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA)

misalnya, KNPA menuding kurikulum pendidikan yang statis dan kejar target menjadi penyebab

suburnya tawuran pelajar. Kurikulum dinilai tidak menyenangkan dan membuat jenuh. “Siswa

melampiaskan kejenuhannya tersebut kepada hal-hal yang negatif, yakni tawuran," kata Ketua

Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, Rabu, 21 September 2011.6 Arist

mengatakan, kurikulum pendidikan harus menyenangkan dan memiliki pilihan. Tidak hanya

belajar matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. "Harus ada kurikulum pilihan yang

menyenangkan bagi siswa," ujarnya.

“Pendidikan” saat ini hanya lah sekumpulan konsep dari teori, serta ujian, tidak lebih dari

itu. Jika sekolah mempraktekannya secara berlebihan, para pelajar yang tidak mampu akan

menciptakan kondisi yang mereka anggap sama diantara pelajar tersebut. Kemudian lahirlah

ikatan kelompok yang cukup kuat seperti gank-gank pelajar yang mendorong sikap loyalitas

terhadap sesama pelajar. Pada kelompok-kelompok ini, tawuran dapat pecah akibat faktor

spontanitas kolektif untuk membela anggota mereka. Para pelajar yang terlibat tawuran itu

berada dalam organisasi/gank pelajar, yang memiliki norma/aturan untuk membela sesama

temannya. Tawuran pelajar sebagai bentuk protes sosial dari para siswa yang terkoordinasi

kedalalam kelompok sosial (gank-gank) sekolah tersebut kini menjadi highlight yang harus

dibenahi secara bersama dari mulai lingkup terkecil, yakni keluarga, sekolah, masyarakat sekitar,

hingga pemerintah dengan segala kebijakan serta aturan-aturannya.

6 Dikutip dari : http://www.tempo.co/read/news/2011/09/21/079357403/Kurikulum-Kejar-Target-Bisa-Jadi-Penyebab-Tawuran-Pelajar : Kurikulum Kejar Target Bisa Jadi Penyebab Tawuran Pelajar, Rabu, 21 September 2011 | 10:42 WIB.

5

Salah satu siswa kelas II SMAN 8 Yogya, Bety Isnawati (16) mengaku sangat terganggu

dengan ulah sekelompok oknum pelajar yang terlibat tawuran. Selain mengancam keselamatan

pelajar lain, tawuran pelajar juga bisa mencoreng predikat Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan

dan Kota Budaya. Biasanya tawuran pelajar dilakukan oleh geng pelajar antar sekolah, dari

mulai lempar-lemparan botol plastik bekas minuman, batu hingga adu fisik. Hal tersebut biasa

dilakukan usai pulang sekolah di depan gerbang sekolah. Selain membuat takut sesama pelajar,

tawuran juga membuat miris para orangtua yang sedang menjemput anak-anaknya. “Kalau yang

baru pertama kali melihat tawuran secara langsung pasti akan syok, kalau yang sudah sering

lihat biasanya langsung menghindar. Kalau tidak kepala bisa bocor kena lemparan batu”. Ia

menduga terjadinya tawuran karena pelajar butuh penyaluran untuk mengekspresikan kelebihan

energi. Terlebih mereka yang hobi nongkrong sepulang sekolah rentan untuk tawuran. Karena,

biasanya mudah terpengaruh jika ada geng lain yang memancing emosi.

Tujuan yang terdapat dalam pengaturan sistem pendidikan di wilayah Kota Yogyakarta

telah dibentuk untuk dapat mendidik generasi penerus menjadi pribadi yang utuh dan dilandasi

dengan budi pekerti yang luhur. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, budaya luar yang

negatif mudah terserap tanpa adanya filter yang kuat. Perilaku negatif seperti tawuran antar

pelajar menjadi budaya baru yang dianggap dapat mengangkat jati diri mereka yang terlibat

tawuran tersebut. Kekerasan merebak dimana-mana, emosi yang meluap-luap, cepat marah dan

mudah tersinggung, dan ingin menang sendiri telah menjadi bagian hidup yang melekat dalam

pandangan setiap pelajar. Fenomena seperti ini hendaknya tidak dibiarkan hingga berkelanjutan,

jika ini dibiarkan, maka tidak dapat dipungkiri di kemudian hari akan terbentuk generasi yang

tidak bermoral/berbudi pekerti rusak. Penanaman nilai-nilai humanis di sekolah sekarang ini

dirasa telah mengalami kemunduran yang amat pesat.

6

Kasus tawuran pelajar ini menjadi penting untuk diperhatikan karena terjadi di dunia

pendidikan yang bertujuan menyiapkan generasi muda terdidik. Di sisi lain, kekerasan ini dapat

menimpa siapa pun. Misal, ada pelajar yang menjadi korban pengeroyokan hanya karena

memakai seragam sekolah tertentu. Dalam kasus lain, ada pelajar yang menjadi korban

pelampiasan kekerasan karena pelaku tidak menemukan lawan yang dicari. Banyak dari korban

kekerasan mengalami cedera berat atau cacat permanen. Selain itu, kekerasann juga

mengakibatkan terganggunya proses belajar mengajar karena penutupan sementara sekolah-

sekolah yang ikut terlibat kekerasan. Untuk mendapatkan rasa aman, banyak pelajar mengganti

atribut seragam atau harus bergerombol saat berangkat dan pulang sekolah.

Said Priambodo mengemukakan bahwa :

“Tawuran pelajar yang terjadi di Kota Yogyakarta sudah seperti budaya dimana

antara sekolah satu dengan sekolah lain mempunyai sebuah geng. Dan antar geng

tersebut mempunyai dendam turun temurun yang sulit untuk dihapuskan. Namun

sebenarnya jika mempunyai komitmen yang kuat untuk maju maka hal tersebut dapat

dihindari. (mediainfokota.jogjakota.go.id : Walikota : Pelajar Kota Jangan Katrok

08/04/2008)

Said Priambodo juga berpendapat bahwa :

“Perilaku tawuran pelajar terjadi karena pengetahuan pelajar tentang bagaimana

membangun kepercayaan diri (building self confident) masih sangat kurang

sehingga membuat mereka mudah terpengaruh. Untuk itu, saya mengusulkan agar

Pemkot mengadakan kegiatan menggambar mural bersama yang diikuti oleh

anggota geng yang ada di sekolah-sekolah sehingga akan memunculkan rasa

7

memiliki diantara mereka untuk memelihara dan menjaga mural tersebut.”

(mediainfokota.jogjakota.go.id : Walikota : Pelajar Kota Jangan Katrok 08/04/2008)

Tulisan diatas merupakan sedikit gambaran mengenai penyebab meletusnya ratusan

tawuran antar pelajar yang terjadi di wilayah Kota Yogyakarta. Bahkan para guru yang

bermaksud melerai ternyata justru menjadi korban tawuran massal, kepalanya bocor terkena

lemparan batu dari oknum remaja sekolah yang sedang berhuru-hara.

“Agar tidak menjadi potensi penyulut terjadinya tawuran pelajar beberapa

tahun terakhir Dinas Pendidikan juga menyeragamkan identitas sekolah. Jika

sebelumnya kelengkapan seragam sekolah bertuliskan nama sekolah masing-masing.

Namun sekarang diseragamkan menjadi Pelajar Kota Yogyakarta. Hal ini untuk

mengantisipasi terjadinya tawuran yang seringkali hanya beberapa pelajar namun

meluas menjadi antar sekolah”. (Orang tua Dan Masyarakat Tak Bisa Masa Bodoh ;

Tawuran Pelajar, Solidaritas atau Cari Perhatian. Kedaulatan Rakyat Online : Edisi

Khusus 05/02/2010 08:39:06)

Tahun 2008 Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mengeluarkan aturan Tata Tertib dalam

pengaturan atribut (badge sekolah) terhadap pelajar setingkat Sekolah Menengah di wilayah

Kota Yogyakarta. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa atribut (badge) bagi para pelajar SMA

di Kota Yogyakarta kini berganti dari yang awalnya “SMA Negeri “x” Yogyakarta” menjadi

“Pelajar Kota Yogyakarta”. Kebijakan uniformisasi atribut lokasi sekolah ini terbentuk sebagai

keprihatinan & usaha antisipatif Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta terhadap maraknya aksi

tawuran pelajar. Atribut seragam pelajar SMA di Kota Yogyakarta ini dirancang sebagai

pencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat antar pelajar SMA dan juga sebagai penghapus

8

identitas (kolektif) sekolah dalam upayanya mencegah tawuran antar pelajar. Sebelum

dikeluarkannya kebijakan ini, masayarakat umumnya dapat mengenali seorang siswa dari badge

lokasinya. Tetapi sekarang atribut lokasi pelajar Sekolah-sekolah Menengah di Kota Yogyakarta

diseragamkan, sehingga sulit untuk mengenali asal sekolah seorang siswa bila tanpa bertanya

kepada siswa tersebut atau seragam khas sekolahnya masing-masing. Badge lokasi seragam tiap-

tiap sekolah menengah di Kota Yogyakarta sejak Juni 2008 sudah tidak dapat lagi dipakai

sebagai identitas dari masing-masing sekolah.

Analisis kebijakan publik membutuhkan keahlian untuk menggunakan berbagai metode

penelitian serta argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis

masalah-masalah sosial yang mungkin timbul sebagai efek samping dari diterapkannya suatu

kebijakan. Karena intervensi dari pemerintah melibatkan keahlian-keahlian dalam merumuskan

kebijakan publik serta menganalisis implikasi-implikasi yang nantinya ditimbulkan oleh suatu

kebijakan dalam sistem sosial. Dalam menganalisis kebijakan, kita dituntut untuk bisa berfikir

rasional, memadukan berbagai sudut pandang (multidisiplin), yakni pendekatan sosial-budaya,

lingkungan, kontekstual, basic needs masyarakat, keamanan, kesejahteraan, dll. Untuk dapat

menganalisanya bukan lah suatu perkara yang mudah dan tidak sederhana seperti yang

dibayangkan.

Fenomena tawuran antar pelajar SMA di Kota Yogyakarta coba diantisipasi oleh para

pihak yang berwenang dalam dunia pendidikan. Agar tidak menjadi potensi penyulut terjadinya

tawuran pelajar pada Juni 2008, Dinas Pendidikan menyeragamkan atribut identitas sekolah. Jika

sebelumnya kelengkapan seragam sekolah bertuliskan nama sekolah masing-masing. Namun

sekarang diseragamkan menjadi Pelajar Kota Yogyakarta. Hal ini untuk mengantisipasi

terjadinya tawuran yang seringkali bermula dari hanya beberapa pelajar namun meluas menjadi

9

antar sekolah. Oleh karena itu Dinas Pendidikan coba melakukan reformasi pendidikan pada

seragam sekolah sebagai bentuk antisipasi tawuran, dengan menyeragamkan atribut badge lokasi

sekolah, diharapkan para siswa sulit untuk mengenali musuhnya yang berasal dari sekolah lain.

Kajian mengenai tawuran serta geng pelajar sebelumnya telah dihadirkan oleh Muhammad

Dwiki Prastianto, mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan angkatan 2008 dengan skripsinya

yang berjudul Pergulatan Membangun Identitas. Studi ini lebih mengarah pada forrmasi,

kontestasi dan dinamika pergulatan identitas geng pelajar GNB di Kota Yogya pada tahun 2005-

2010. Sedangkan tulisan ini lebih mengarah kepada analisa terhadap kebijakan yang berperan

sebagai bentuk antisipasi terhadap tawuran pelajar yang terjadi di Kota Yogyakarta sejak tahun

2008.

B. Rumusan Masalah

Tetapi kemudian langkah uniformisasi ini memunculkan pertanyaan baru, mengapa

kebijakan penyeragaman atribut sekolah ini tidak mampu mengantisipasi tawuran pelajar SMA

di Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Seiring & sejalan dengan rumusan masalah tersebut, maka penelitian mengenai kebijakan

pendidikan ini bertujuan :

1. Mengevaluasi kebijakan pendidikan mengenai penyeragaman atribut sekolah ini

terhadap tawuran antar pelajar SMA di Kota Yogyakarta

2. Mengetahui apakah kebijakan penyeragaman badge sekolah ini tepat atau tidak dalam

mengantisipasi konflik identitas antar pelajar SMA Kota Yogyakarta

10

3. Untuk mengetahui apakah hanya dengan kebijakan penyeragaman atribut sekolah ini

saja tawuran antar pelajar di Kota Yogyakarta dapat diantisipasi

D. Landasan Teori

D.1. Evaluasi Efektifitas Kebijakan Publik

Kebijakan publik hadir pada setiap jalannya pemerintahan, yang menjadi bagian dari salah

satu upaya untuk mencapai tujuan hidup bernegara. Ada beberapa pendekatan yang dapat

diambil untuk melihat perspektif dasar suatu proses pembuatan kebijakan, salah satunya yakni

pendekatan kebijakan publik sebagai dimensi manajemen konflik. Dimensi kajian kebijakan

publik ini sangat mengedepankan problem solving. Pada dimensi ini lebih memusatkan

perhatiannya untuk dapat mengelola konflik antara masyarakat dengan pemerintah.

Proses Umum Pembentukan Kebijakan Publik :

diikuti

hasilnya

menghasilkan

Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Perumusan Masalah

Agenda Pemerintah

Forecasting+Formulasi Kebijakan

Rekomendasi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Kinerja & Dampak

Kebijakan

Monitoring + Evaluasi Kebijakan

KEBIJAKAN BARU

11

Secara teoritik, siklus terakhir dalam proses kebijakan adalah evaluasi, yang bertujuan

memberikan informasi mengenai kinerja dari suatu kebijakan setelah diimplementasikan.

Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) dilakukan untuk melihat sejauh mana tujuan dan sasaran

yang telah dicapai oleh target group, evaluasi terhadap implementasi, kinerja dan dampak. Akan

tetapi proses evaluasi tidak hanya dilakukan ketika di akhir kebijakan saja, tapi dimulai secara

menyeluruh sejak awal implementasi kebijakan sampai pada akhir periode kebijakan. Lalu

dilakukan proses pengecekan, apakah kebijakan ini sudah menghasilkan dampak yang

diinginkan. Hal ini dilakukan sejak implementasi untuk melihat seberapa tingkat kinerja dan

sejauh mana tujuan & sasaran dari sebuah kebijakan yang telah diimplementasikan tersebut

dicapai. Evaluasi adalah the appraisal of assesstment of policy including its

content implementation and impact : penilaian atau pengukuran kebijakan termasuk isi, implementasi

dan dampaknya.7

Implementasi kebijakan melibatkan usaha dari pembuat kebijakan untuk mempengaruhi

birokrat agar mengatur perilaku kelompok yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Untuk 7 Anderson. 1990. Public Policy Making.

12

kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan sebagai implementornya,

sedangkan untuk kebijakan yang besar maka usaha implementasinya akan melibatkan banyak

institusi. Selama implementasi, sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun

strateginya. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun

sasaran sering terjadi pada proses implementasi ini. Implementasi merupakan proses kompleks

yang melibatkan berbagai aktor serta menggunakan berbagai sumber daya dalam pelaksanaanya

dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, selain itu implementasi merupakan tahapan yang

krusial dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kebijakan.

Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, analis menggunakan tipe

kriteria untuk mengevaluasi hasil kebijakan tersebut.

Kriteria evaluasi menurut Dunn sebagai berikut : 8

1. Efektivitas, apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?

Berkenaan dengan apakah suatu kebijakan telah mencapai hasil (akibat) dan

tujuan yang diharapkan.

2. Efisiensi, seberapa banyak diperlukannya usaha untuk mencapai hasil yang

diinginkan?

Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan efektifitas.

3. Kecukupan, seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan dalam memecahkan

masalah?

8 William N Dunn, 2000 : Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Hal 61.

13

Berkenaan dengan seberapa jauh tingkat efektifitas dapat memuaskan kebutuhan,

nilai. Kriteria kecukupan menekankan pada hubungan antara kebijakan dan hasil

yang diharapkan.

4. Pemerataan, apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada

kelompok yang berbeda?

Erat kaitannya dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi

akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

5. Responsivitas, apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai

kelompok tertentu?

Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan,

preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Responsivitas

merupakan kriteria penting, karena merupakan analisis yang dapat memuaskan

semua kriteria lainnya, yakni efektifitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.

Masih dikatakan gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok

yang semestinya diuntungkan dari adanya kebijakan.

6. Ketepatan, apakah hasil/tujuan yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Ketepatan berhubungan dengan rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang

ketepatan kebijakan tidak berkenaan hanya dengan satuan kriteria, tetapi dua atau

lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai dari tujuan

kebijakan dan pada asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.

Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, penelitian kali ini akan

mengambil salah satu tipe kriteria untuk mengevaluasi hasil kebijakan seperti yang telah

diungkapkan oleh Dunn diatas dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan

14

Publik, yakni evaluasi efektifitas kebijakan. Meskipun evaluasi kebijakan memiliki banyak jenis,

kriteria maupun corak, bagi keperluan dalam penelitian ini telah dipilih fokus evaluasi terhadap

efektifitas kebijakan karena dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi dilakukan

dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.9 Evaluasi

kebijakan ditujukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu : Proses pembuatan kebijakan, Proses

implementasi kebijakan, Konsekuensi kebijakan, dan yang terahkir untuk mengetahui Efektivitas

dampak kebijakan.10 Sedangkan menurut Finance, ada empat dasar tipe evaluasi sejalan dengan

tujuan yang ingin dicapai.11 Keempat tipe ini adalah evaluasi kecocokan (appropriateness

evaluation), evaluasi efektivitas (effectiveness evaluation), evaluasi efisiensi (efficiency

evaluation) dan evaluasi meta (meta-evaluations).

Evaluasi efektivitas menguji dan menilai apakah program kebijakan tersebut menghasilkan

dampak yang diharapkan? Apakah tujuan yang dicapai dapat terwujud? Apakah dampak yang

diharapkan sebanding dengan usaha yang telah dilakukan? Tipe evaluasi ini memfokuskan diri

pada mekanisme pengujian berdasar tujuan yang ingin dicapai yang biasanya secara tertulis

tersedia dalam setiap kebijakan publik. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melakukan

evaluasi terhadap pelaksanaan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogya Nomor

188/1472/tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Walikota mengenai Penyusunan

Tata Tertib Sekolah maka kriteria evaluasi yang digunakan adalah efektivitas (effectiveness). Hal

ini dikarenakan peneliti ingin mengetahui apakah kebijakan penyeragaman atribut sekolah ini

9 Hanafi & Guntur, 1984: 16 dalam Miftahudin, 2009 : Evaluasi Kebijakan Peraturan Walikota Semarang Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Sistem Dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik Di Kota Semarang.

10 Wibawa, Samodra, dkk, 1994 : Evaluasi Kebijakan Publik. Hal : 9

11 Finance (1994 : 4) dalam Miftahudin, 2009 : Evaluasi Kebijakan Peraturan Walikota Semarang Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Sistem Dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik Di Kota Semarang.

15

membuahkan hasil dan dampak kebijakan yang diharapkan, serta apakah tujuan yang diinginkan

telah tercapai.

Efektivitas implementasi kebijakan setidaknya bisa dilihat melalui 2 perspektif, yang

pertama : dari sudut proses (implementasi), yaitu menekankan pada konsistensi antara

pelaksanaan program atau kebijakan dengan policy guidelines, yang merupakan petunjuk dan

ketentuan pelaksanaan program yang dibuat oleh pembuat program, yang mencakup antara lain

cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan pemanfaatan program.12 Program

dinyatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan policy guidelines yang telah di tentukan.

Kedua : dari perspektif outcome, suatu program dikatakan berhasil jika program tersebut

menghasilkan dampak seperti yang diharapkan.

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh :13

1. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan menuntut agar implementor mengetahui apa

yang harus dilakukan dan tujuan serta sasaran kebijakan. Tujuan kebijakan ini harus

dikirim kepada kelompok sasaran (target groups) sehingga dapat mengurangi

kerusakan/kekurangan dari implementasi. Bila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas

dan tidak diketahui oleh kelompok sasaran, maka akan terjadi perlawanan dari

kelompok sasaran. Komunikasi menjadi pentiing karena : setiap pelaksana harus

memahami apa yang dilakukan, pelaksana harus memahami juklak, pelaksana harus

konsisten terhadap juklak, sering ditemukan hambatan dalam menyampaikan informasi

12 Dwiyanto, 1999 : Evaluasi Program Kebijakan Pemerintah. Hal 1.

13 George C Edward III. 1980 : Implementing Public Policy.

16

terhadap tingkatan organisasi yang berlapis-lapis, semakin baik komunikasi maka akan

semakin baik pula implementasinya.

2. Sumberdaya

Dalam implementasi kebijakan memerlukan berbagai sumber daya dalam rangka

mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Bila substansi dari kebijakan sudah

disosialisasikan secara jelas, maka implementor harus memiliki sumberdaya untuk

melaksanakannya agar kebijakan dapat berjalan secara efektif, dapat berwujud

sumberdaya manusia, yaitu kompetensi aktor yang menjalankan (implementor), dan

sumberdaya finansial (keuangan). Seperti dijelaskan oleh Jones dalam Widodo dalam

pelaksanaan kebijakan tersebut menuntut adanya beberapa syarat, antara lain adanya

orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasional, yang dalam hal ini sering

disebut resources. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanyalah sebuah konsep belaka.

Sumberdaya menyangkut staff yang memadai dan berkeahlian sesuai dengan

kebutuhan, informasi tentang kebijakan, wewenang yang dimiliki pelaksana, serta

fasilitas yang ada.

3. Disposisi

Adalah watak & karakter para implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan

demokratis. Jika implementor memiliki watak (disposisi) yang baik, maka mereka akan

menjalankan kebijakan dengan lancar tanpa hambatan seperti yang diinginkan oleh

para perumus kebijakan. Sebaliknya bila implementor bersikap berbeda dengan para

pemuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan nantinya tidak akan bisa

menjadi efektif. Sikap pelaksana ini meliputi sikap dan dukungan dari aparat pelaksana

kebijakan serta perilaku birokrasi.

17

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi yang bertugas melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap implementasi kebijakan. Pelaku utama dalam implementasi

kebijakan adalah para birokrat, dalam kasus ini yakni Dinas Pendididkan yang

merupakan dinas terkait dengan kebijakan ini. Struktur organisasi yang

mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap

implementasi dari suatu kebijakan.

Jadi unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yakni unsur

pelaksana, program yang dilaksanakan serta target groups (kelompok sasaran). Dengan demikian

implementasi kebijakan sebenarnya merupakan suatu kegiatan yang cukup strategis yang

seharusnya dilakukan oleh para decision maker dan atau stakeholder guna mendapatkan policy

outcome yang diharapkan, sehingga dengan melalui langkah studi implementasi ini diharapkan

dapat menjawab beberapa pertanyaan tentang mengapa setiap kebijakan yang diharapkan dalam

pelaksanaannya tidak atau belum dapat dicapai sesuai standarisasi yang ditetapkan. Studi

implementasi berusaha untuk menangkap proses implementasi dan faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan/efektivitas kebijakan dan kegagalan implementasi sehingga pada

saatnya nanti kebijakan yang diformulasikan menjadi semakin berkualitas yang pada gilirannya

kebijakan pemerintah tersebut akan memberikan tingkat kepuasan yang signifikan bagi publik

atau pemerintah.

Dalam prakteknya sering terjadi kegagalan dalam implementasi. Sebaik apa pun kebijakan

yang telah diputuskan, jika implementasinya tidak dipersiapkan & direncanakan dengan baik,

maka tujuan dari kebijakan tersebut tidak akan tercapai. Oleh karena itu implementasi kebijakan

merupakan suatu proses yang melibatkan sumber daya manusia, dana, dan kemampuan

18

organisasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu & kelompok). Sedangkan

pelaksanaan kebijakan ialah suatu upaya mewujudkan kebijakan yang masih abstrak ke dalam

realita kehidupan yang nyata. Pelaksanaan kebijakan kemudian menimbulkan hasil (output),

dampak (out-comes), manfaat (benefits), dan efek (impacts) yang nantinya akan dirasakan oleh

target groups.

Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang

diinginkan. Yang seringkali terjadi adalah kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat

sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang

telah dijalankan telah meraih dampak yang diinginkan.

Indikator Evaluasi Kebijakan

Indikator untuk mengukur hasil/kinerja menurut Lembaga Administrasi Negara, yaitu input,

proses, output, outcome (hasil), manfaat dan impact (dampak/efek).14

a. Input (masukan) adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pelaksanaan kebijakan dapat

menghasilkan output yang sesuai dengan yang telah ditentukan.

b. Proses ialah segala hal yang menunjukkan usaha untuk mengolah input menjadi

output.

c. Output (keluaran) yakni sesuatu yang diharapkan langsung dicapai oleh suatu

kebijakan.

d. Outcome (dampak) yaitu sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output

kebijakan pada jangka menengah (efek langsung) yang terasa.

14 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2000 : Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

19

e. Impact (dampak) merupakan pengaruh positif ataupun negatif yang timbul di setiap

indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.

Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga

secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan atau perlu

diperbaiki sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan. Evaluasi yang dilakukan akan

menggunakan tipe Ex-past evaluation. Ex-past evaluation adalah proses evaluasi yang dilakukan

setelah program selesai. Merupakan bentuk evaluasi klasik, yakni dilakukan setelah kebijakan

dijalankan, untuk mengukur efek & dampak kebijakan yang telah diimplementasikan selama

beberapa waktu. PBB mendefinisikan ex-past evaluation sebagai proses yang diambil setelah

pengimplementasian program, memeriksa efek dan akibat dari program, dan juga ditujukan

untuk mendapatkan informasi tentang :15

o Efektifitas program dalam meraih tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

o Kontribusinya terhadap target-target perencanaan dan pengembangan

sektoral ataupun nasional.

o Akibat jangka panjang sebagai hasil dari proyek.

Bank Dunia mendefinisikan ex-past evaluation sebagai sebuah usaha untuk mereview (mengkaji

ulang) secara komprehensif pengalaman dan akibat atau efek dari program sebagai sebuah basis

untuk desain formulasi kebijakan di masa depan.16 The ex-past secara definisi adalah sebuah

aktivitas yang diambil setelah penyelesaian program atau kebijakan.

15 PBB, 1978 : 9 dalam Mathur. K. Inayatullah. 1980. Monitoring And Evaluation Of Rural Development : Some Asian Experiences. Hal : 58. 16 Carnea dan Tepping, 1977 : 12 dalam Inayatullah 1980 : 59.

20

Dalam kasus kebijakan penyeragaman badge ini, evaluasi dilakukan secara ex-past

evaluation karena kebijakan harus diukur sejauh mana pencapaian tujuannya, kebijakan yang

telah diterapkan mampukah menjawab masalah yang sedang dihadapi, serta untuk dapat

mengetahui hasil & dampak dari suatu kebijakan diperlukan beberapa waktu sejak kebijakan

tersebut diimplementasikan. Sebab jika evaluasi dilakukan terlalu cepat, maka hasil & dampak

dari kebijakan belum terlihat. Oleh karena itu diperlukan tenggang waktu yang lebih panjang

dalam melakukan evaluasi. Untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan

penyeragaman badge sekolah ini baru bisa dilakukan setelah beberapa bulan kemudian, dengan

monitoring yang dilakukan tiap bulannya. Karena pada awal minggu baru masuk tahap

sosialisasi, bulan pertama mulai memasuki tahap implementasi, yakni pembagian badge yang

baru ke tiap-tiap sekolah. Bulan-bulan selanjutnya mulai dilihat perkembangannya, dan dapat

diketahui hasil serta dampaknya dari implementasi penyeragaman badge sekolah. Pada bulan-

bulan berikutnya sudah dapat diketahui berapa persen dari SMA-SMA yang ada di Kota

Yogyakarta yang telah menerapkan kebijakan penyeragaman badge sekolahnya menjadi “Pelajar

Kota Yogyakarta” dan seperti apa dampaknya terhadap jumlah tawuran, apakah intensitas

tawuran semakin turun dibandingkan dengan sebelum diterapkannya penyeragaman badge

sekolah.

Beberapa faktor penyebab kebijakan tidak memperoleh dampak yang diinginkan, seperti :

Sumber daya yang tidak memadai

Cara pengimplementasiannya yang tidak tepat

Masalah publik sering disebabkan oleh banyak faktor, tetapi kebijakan yang dibuat hanya

mengatasi satu faktor saja

Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat mengurangi dampak yang diinginkan

21

Tujuan-tujuan kebijakan yang tidak sebanding bahkan bertentangan satu sama lain

Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari masalahnya

Banyaknya masalah publik yang tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dengan satu

kebijakan

Timbul maslaah baru, sehingga mendorong pengalihan perhatian dan tindakan

Sifat dari masalah yang akan dipecahkan.17

E. Definisi Konseptual

E.1. Kebijakan Publik

Suatu keputusan aturan/regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk dapat mengatur

keberlangsungan hajat hidup orang banyak, baik itu sumber daya alam, sumber daya

manusia, kesehatan, pendidikan, informasi, keamanan, komunikasi, ekonomi, politik,

ketenaga kerjaan, dll demi kesejahteraan warga negaranya. Kebijakan dapat dikatakan

menjadi kebijakan “publik” karena menyangkut kepentingan/urusan publik, masyarakat

umum, atau orang banyak.

Kebijakan merupakan instrumen pemerintahan yang menyentuh berbagai bentuk

kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun civil society. Kebijakan publik hadir pada

setiap jalannya pemerintahan, yang menjadi bagian dari salah satu upaya untuk mencapai

tujuan hidup bernegara. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau

pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian

sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, rakyat banyak,

penduduk, masyarakat, serta warga negara. Kebijakan seringkali didefinisikan sebagai

sebuah tindakan yang dilakukan pemegang kekuasaan untuk memastikan tujuan-tujuan

17 James E Anderson, 1996 : Public Policy Making

22

yang telah dirumuskan dan disepakati oleh publik agar dapat tercapai semuanya. Kebijakan

publik merupakan proses penggunaan kewenangan negara yang berkesperimen terhadap

nasib orang banyak.

E.2. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi berasal dari Bahasa Inggris, “evaluation” yang berarti penilaian atau penaksiran.

Sedangkan menurut pengertian, istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk

mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya

dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan. Evaluasi mengandung

pengertian : suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Jadi, evaluasi

kebijakan adalah suatu aktivitas yang bermaksud untuk mengetahui dan menilai sejauh

mana efektifitas sebuah kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan pada konstituennya

dan sejauhmana tujuannya tercapai. Evaluasi akan menilai keterkaitan antara teori

(kebijakan) dengan prakteknya (implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah

dampak tersebut sesuai dengan yang diperkirakan atau tidak.

F. Definisi Operasional

F.1. Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik :

- Kebijakan pendidikan bersifat Top Down, hanya berasal dari Dinas Pendidikan

sebagai pemerintah yang berwenang mengeluarkan kebijakan.

- Kebijakan yang dikeluarkan tidak memperhatikan aspirasi/kebutuhan masyarakat

pendidikan yang sebenarnya.

- Kebijakan pendidikan harus dipatuhi oleh semua murid tanpa bertanya terlebih

dahulu apa persoalan utamanya.

23

F.2 Evaluasi Efektifitas Kebijakan :

Dilihat dari :

- Proses implementasi kebijakan : konsistensi pelaksanaan kebijakan di lapangan

dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) yang dibuat oleh policy makers.

- Outcome (dampak yang ditimbulkan) : kebijakan berhasil jika program-program yang

dicanangkan meraih dampak yang diinginkan.

G. Metode Penelitian

Penelitian Analisis Kebijakan Penyeragaman Atribut Sekolah ini disusun dengan proses

yang sangat panjang, dimulai dari penyusunan kerangka penelitian sampai proses pengambilan

data di lapangan. Proses ini dimulai dengan meneliti sejarah tawuran antar pelajar di Kota

Yogya. Diantaranya dengan membaca media-media elektronik dari skala lokal hingga tingkat

nasional, mengikuti perkembangan peristiwa tawuran pelajar yang terkini, langsung dari

beberapa pelajar SMA di Kota Yogya. Bertemu dengan berbagai jenis pelajar, dari mulai yang

dikatakan “cupu” hingga yang terkenal “nakal” di sekolahnya.

Penting untuk diingat bahwa pembicaraan mengenai “tawuran antar pelajar” ini merupakan

masalah yang sensitif bagi kalangan di Dinas Pendidikan Kota Yogya, karena menurut Kasi

Kesiswaan Pengembangan Pendidikan Pemuda & Olahraga (Disdikpora) Kota Yogya, tawuran

yang dilakukan diluar jam sekolah itu berarti bukan tawuran pelajar. Jadi Dinas Pendidikan tidak

terima dengan stigma “tawuran Pelajar”, karena apa yang dilakukan pelajar diluar jam sekolah

itu sudah beralih tanggung jawabnya menjadi kepada orang tua dan masyarakat. Artinya tawuran

tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tawuran pelajar. Beberapa informan sulit untuk

mengungkapkan sejak kapan peristiwa tawuran pelajar di Kota Yogya mulai terjadi, karena

peristiwa ini merupakan warisan turun temurun yang tidak diketahui apa, kapan, mengapa dan

24

bagaimana itu bisa terjadi. Dalam rangka pencarian data tersebut, peneliti juga mempelajari

berbagai dokumen pendukung seperti arsip peraturan walikota mengenai tata tertib nomor 24

tahun 2008, mulai dari petunjuk pelaksanaan hingga petunjuk teknisnya. Data-data kemudian

dikumpulkan dan diolah dalam klasifikasi-klasifikasi yang sesuai dengan sistematika bab,

kemudian ditulis dalam laporan ini.

G.1. Jenis Penelitian : Penelitian Kualitatif dengan Metode Studi Kasus

Tujuan dari penelitian ini ialah menunjukkan kemampuan dari kebijakan penyeragaman

atribut sekolah dalam mengantisipasi konflik identitas antar pelajar SMA di Kota Yogyakarta.

Tujuan ini dapat dijelaskan secara deskriptif melalui metode kualitatif. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan studi kasus sebagai metodenya, studi

kasus mengangkat fenomena kasus tawuran pelajar yang marak terjadi di Kota Yogya. Peneliti

terjun langsung ke lapangan, mengamati apa yang terjadi, dan berbicara langsung kepada para

informan.

Fokus penelitiannya ialah analisis terhadap kebijakan penyeragaman badge sekolah,

apakah mampu mengatasi/mengurangi tawuran, atau tidak berdampak sama sekali terhadap

tingkat tawuran pelajar di Kota Yogya, hingga tawuran masih marak terjadi, atau bahkan tiap

tahun meningkat jumlahnya. Maka penggunaaan studi kasus menjadi hal yang dilakukan dalam

penelitian ini. Ini dapat menjelaskan pula bagaimana kebijakan tersebut dapat muncul ke

permukaan, apakah dengan bertanya langsung dengan para pelajar sebagai sasaran kebijakan

atau hanya berangkat dari sebuah asumsi dasar dari Dinas Pendidikan sebagai

pembentuk/pembuat kebijakan.

25

G.2. Fokus Analisis Penelitian

Fokus analisis dalam penelitian ini ialah kebijakan penyeragaman atribut sekolah dan

hubungannya terhadap tingkat kasus-kasus tawuran pelajar SMA yang berada di wilayah Kota

Yogyakarta. Untuk memperjelas penelitian, diperlukan fokus terhadap evaluasi efektifitas

kebijakan dan anailisis terhadap beberapa SMA yang berada di wilayah kota Yogya. Peneliti

hanya fokus kepada beberapa SMA saja di wilayah ini, diantaranya adalah SMAN 6 Yogyakarta,

SMAN 9 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, dan SMA Muhammadiyah II

Yogyakarta. Keempat SMA itu dipilih karena SMA-SMA tersebut dipandang memiliki geng

pelajar yang terbesar serta terkenal yang seringkali memunculkan beberapa kasus tawuran di

wilayah Kota Yogya. Data yang diperoleh dibagi menjadi dua bagian, yakni data utama dan data

pendukung. Data utama didapatkan dari wawancara dan observasi langsung dengan informan,

dan data pendukung bersumber dari dokumen-dokumen seperti catatan, rekaman, buku, literatur

dan media yang menjadi dukungan penguat argumen dalam menyajikan data.

G.3. Metode Pengumpulan Data

Tehnik yang digunakan ialah analisis kebijakan dengan cara mengevaluasi kebijakan untuk

mendapatkan data-data yang diperlukan. Wawancara, merupakan salah satu yang dilakukan

untuk mendapatkan dan mengumpulkan data primer. Dalam mengumpulkan data, penulis dan

narasumber berhadapan langsung, dan wawancara yang dilakukan secara terbuka dengan

melakukan dialog dan bercerita mengenai sejarah tawuran pelajar di Kota Yogya serta kebijakan

penyeragaman atribut sekolah untuk mengantisipasi tawuran pelajar tersebut. Wawancara di

laukan secara terbuka dengan para stakeholder yang terlibat kebijakan, terutama kelompok

sasarannya yakni beberapa pelajar SMA di Kota Yogyakarta.

26

Ada beberapa sumber bukti dalam pengumpulan data. Dalam penelitian ini, sumber bukti

tersebut dibagi dalam dua tipe yaitu utama dan pendukung, yang saling melengkapi satu sama

lain sebagai rangkaian data. Bukti utamanya ialah; pertama, wawancara dengan informan yang

mengetahui perihal tawuran pelajar di kota Yogya. Peneliti menggantungkan hampir sebagian

besar data dari hasil wawancara dengan informan. Objektivitas dalam wawancara dilakukan

dengan mengambil informan yang berbeda, dari mulai kalangan pelajar itu sendiri, guru-guru

sekolah, Dinas Pendidikan, hingga masyarakat sekitar tempat-tempat tawuran terjadi. Contohnya

informan dari kalangan pelajar SMA di Kota Yogya yang sering melihat tawuran baik secara

langsung, maupun yang hanya mendengar ceritanya saja. Mereka melihat aksi tawuran pelajar

tersebut sebagai dampak dari beratnya jam belajar yang dibebankan kepada mereka yang tidak

mampu mengaktualisasikan dirinya kedalam yang berujung kepada aktifitas-aktifitas yang

negatif seperti aksi corat-coret tembok, tawuran dsb..

Lain lagi informan dari kalangan guru-guru sekolah, menurut mereka aksi tawuran pelajar

disebabkan karena kelebihan energi dari beberapa siswa yang ingin diakui keberadaan di

sekolahnya, karena kebanyakan dari mereka tidak menyukai kegiatan ekskul, maka kelebihan

energi tersebut akhirnya disalurkan kepada hal-hal negatif seperti vandalism, tawuran dsb.

Informan berhak menunjuk informan lain untuk ikut menyumbangkan data. Tetapi penelitilah

yang menentukan apakah informan baru memiliki kapasitas dan relevansi dengan kasus tawuran

pelajar. Wawancara dilakukan secara informal namun fokus terhadap bahasan, panduan

digunakan agar peneliti tidak keluar dari alur pertanyaan yang harusnya diajukan.

Narasumber yang dipilih ialah : Pertama, informan dari ranah negara yakni KASI

Kesiswaan bagian Pengembangan Pendididkan Pemuda & Olahraga (Disdikpora) Kota

Yogyakarta. Informan ini adalah pengawas dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas

27

Pendidikan dalam mengatasi tawuran pelajar. Kedua, guru-guru dari beberapa SMA di Kota

Yogya (bapak Malik guru B.K. SMAN 4 Yogya, ibu Sri Wahyuningsih, bapak Budi, bagian

Kesiswaan SMAN 9 Yogya, Ibu Endang dan ibu Nur Handayani guru B.K. SMA 9 Yogya, Ibu

Susi bagian Humas SMA 4 Yogya) yang menjadi penengah dalam konflik antar pelajar serta

eksekutor dalam kebijakan penyeragaman badge sekolah ini. Guru-guru sekolah dipilih sebagai

informan dilihat dari kuasanya untuk menerapkan aturan penyeragaman atribut sekolah serta

kapasitas pengetahuannya tentang situasi tawuran pelajar di Kota Yogya. Ketiga, informan yang

menjadi sumber data bagi peneliti adalah para siswa yang terkait dan yang tidak, serta para

alumni yang terkait dengan tawuran pelajar SMA di Kota Yogya seperti : (Barkah angkatan

2003 SMA Muhammadiyah I Yogya, Yudhis angkatan 2006 SMA 6 Yogya, Agung angkatan 2007

SMA Muhammadiyah I Yogya, Damar, Angga angkatan 2007 SMA 9 Yogya, Reza angkatan

2003 SMA Muhammadiyah II Yogya, Aam angkatan 2009 SMA 6 Yogya, Faruk angkatan 2008

SMA 10 Yogya, Gembos alumni SMA 11 Yogya, Gunung angakatn 2005 SMA Muhammadiyah II

Yogya, Rendy angkatan 2008 SMA 9 Yogya, Yeyes angkatan 2010 Kolese De Brito, Adi angkatan

2008 SMA 9 Yogya, dan Aldhino angkatan 2005 SMA Muhammadiyah II Yogya). Sumber data

ini dipilih sebagai informan untuk mendapatkan informasi dari sudut pandang aktor/pelaku yang

pernah mengalamu tawuran pelajar.

Ada beberapa sumber bukti yang mendukung penelitian ini, yakni pertama, data dokumen

yang berkaitan dengan kebijakan penyeragaman atribut sekolah, seperti Peraturan Walikota

Yogyakarta nomor 24 tahun 2008 tentang pedoman penyusunan Tata Tertib Sekolah, Lampiran

Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Juni 2008 serta artikel di media massa cetak dan

elektronik yang berkaitan dengan tawuran pelajar di Kota Yogya. Kedua, data arsip yang berisi

tingkat tawuran pelajar di Kota Yogya di dalamnya. Bukti-bukti pendukung ini digunakan untuk

28

menguatkan argumen yang dibangun, yakni bahwa kebijakan ini dikeluarkan untuk

mengantisipasi tawuran pelajar di Kota Yogya. Untuk mendapatkan data, saya mengunjungi

Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta sebagai pemerintah yang berwenang merumuskan &

mengeluarkan kebijakan, serta masyarakat pendidikan seperti para pelajar, pelajar yang tidak

ikut tawuran, pelajar yang terlibat tawuran, alumni, guru-guru sekolah & para masyarakat yang

biasanya berada di sekitar wilayah aktif tawuran.

G.4. Kendala Teknis Lapangan

Penulis kesulitan untuk mendapatkan data mengenai tingkat statistik tawuran pelajar di

Kota Yogya yang pertama, Badan pusat Statistik wilayah Yogya ternyata tidak memiliki data

mengenai tingkat tawuran pelajar yang ada di wilayah kota Yogya, dan yang kedua ialah karena

data mengenai tawuran dianggap data yang tergolong dirahasiakan oleh pemerintah, dan dilarang

untuk diedarkan oleh Polda Yogya. Hal tersebut yang mengakibatkan akses terhadap data yang

dirasa sangat sulit, dan data yang ada pun pada akhirnya hanya merupakan fakta permukaan

dengan klarifikasi narasumber saja.

H. Sistematika Bab

Tulisan ini akan dibagi kedalam lima bab. Bagian pertama ialah pendahuluan yang akan

mengkerangkai seluruh bagian. Ini merupakan bab yang memuat latar belakang, rumusan

masalah dan tujuan penelitian serta landasan teoritik yang menjadi basis konsep yang melandasi

penelitian ini.

Bagian kedua tulisan memaparkan tentang arena, asal mula dan pemetaan aktor konflik,

melalui proses mapping tawuran pelajar sebagai arena konflik, serta identifikasi aktor-aktor yang

bergulat didalamnya. Pemetaan dilakukan untuk mendeskripsikan siapa saja yang terlibat dalam

29

konflik Aktor-aktor dalam tulisan ini secara garis besar dibagi menjadi tiga kelas; pertama,

negara yang memiliki kewenangan untuk mengelola konflik dengan mengeluarkan kebijakan.

Kedua, para “pelajar” sebagai pelaku tawuran. Ketiga, guru-guru dan masyarakat yang meliputi

warga sekitar yang terkena dampak tawuran pelajar.

Bagian ketiga tulisan berisi mengenai peran Dinas Pendidikan Kota Yogya sebagai aktor

utama dalam menengahi konflik tawuran pelajar dengan penyeragaman atribut sekolah sebagai

kebijakan antisipasinya. Dinas Pendidikan selaku pemerintah memiliki kekuatan untuk memaksa

warganya untuk melaksanakan serta mematuhi sistem, yakni kebijakan penyeragaman atribut

sekolah.

Bagian keempat berisikan tentang inti dari solusi konflik melalui “peraturan sekolah”,

yakni Penghilangan Identitas Atribut Sekolah, serta Implikasinya, baik positif atau negatif.

Bagian kelima merupakan kesimpulan hasil penelitian yang merupakan hasil dari jawaban

rumusan masalah.