bab i pendahuluan a. latar...

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Radikal bebas saat ini dipercaya sebagai salah satu sumber utama dari penuaan dini dan penyakit degeneratif yang ditakuti manusia. Antioksidan, yakni senyawa yang dapat melawan radikal bebas, adalah harapan besar bagi manusia untuk meningkatkan kualitas kesehatannya. Oleh karena itu pada beberapa dekade ini terus dikembangkan berbagai penelitian mengenai antioksidan baik antioksidan alami dari ekstrak atau isolat tanaman, maupun antioksidan sintetis guna menemukan senyawa-senyawa baru yang berpotensi sebagai antioksidan. Bahan radikal bebas dalam tubuh paling banyak berasal dari oksigen yaitu Reactive Oxygen Species (ROS) yang tebentuk akibat stres oksidatif dan berperansangat penting dalam proses penuaan (Wlascheck dkk, 2001). Radikal bebas dan oksidan diproduksi dari hasil metabolisme sel ataupun dari sumber eksternal. Ketika radikal bebas terakumulasi dan tidak dapat dihancurkan dalam tubuh, maka akan terjadi stres oksidatif dalam tubuh manusia. Proses inilah yang menjadi penyebab kebanyakan dari penyakit degeneratif dan kronis seperti kanker, penyakit autoimun, penuaan, katarak, rheumatoid artritis, penyakit kardiovaskular dan neurodegeneratif. Tubuh manusia memiliki beberapa mekanisme untuk melawan proses stress oksidatif dengan memproduksi antioksidan yang dapat diproduksi dalam

Upload: buidan

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Radikal bebas saat ini dipercaya sebagai salah satu sumber utama dari

penuaan dini dan penyakit degeneratif yang ditakuti manusia. Antioksidan, yakni

senyawa yang dapat melawan radikal bebas, adalah harapan besar bagi manusia

untuk meningkatkan kualitas kesehatannya. Oleh karena itu pada beberapa

dekade ini terus dikembangkan berbagai penelitian mengenai antioksidan baik

antioksidan alami dari ekstrak atau isolat tanaman, maupun antioksidan sintetis

guna menemukan senyawa-senyawa baru yang berpotensi sebagai antioksidan.

Bahan radikal bebas dalam tubuh paling banyak berasal dari oksigen yaitu

Reactive Oxygen Species (ROS) yang tebentuk akibat stres oksidatif dan

berperansangat penting dalam proses penuaan (Wlascheck dkk, 2001). Radikal

bebas dan oksidan diproduksi dari hasil metabolisme sel ataupun dari sumber

eksternal. Ketika radikal bebas terakumulasi dan tidak dapat dihancurkan dalam

tubuh, maka akan terjadi stres oksidatif dalam tubuh manusia. Proses inilah yang

menjadi penyebab kebanyakan dari penyakit degeneratif dan kronis seperti

kanker, penyakit autoimun, penuaan, katarak, rheumatoid artritis, penyakit

kardiovaskular dan neurodegeneratif.

Tubuh manusia memiliki beberapa mekanisme untuk melawan proses

stress oksidatif dengan memproduksi antioksidan yang dapat diproduksi dalam

2

tubuh (internal) maupun diperoleh dari sumber makanan (eksternal). Seiring

bertambahnya usia, sel-sel dalam tubuh turut menurun metabolismenya sehingga

kerentanan terhadap radikal bebas semakin meningkat. Hal itu menyebabkan

faktor penuaan dapat memperburuk kerusakan yang dihasilkan oleh senyawa

radikal bebas sehingga suplementasi antioksidan eksternal sangat diperlukan.

Berdasarkan sumbernya, antioksidan eksternal dibagi menjadi antioksidan

sintetis dan antioksidan alami. Antioksidan sintetis memiliki efektivitas yang

tinggi tetapi kurang aman bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan

terjadinya karsinogensesis. Hal ini menyebabkan pencarian rempah-rempah, buah,

atau tanaman yang memiliki senyawa antioksidan alami menjadi penting untuk

dikembangkan (Pujimulyani, 2003). Antioksidan alami menarik untuk diteliti

karena efikasinya dalam melindungi tubuh dari radikal bebas dan keamananannya

dalam penggunaan jangka panjang.

Beberapa antioksidan alami yang dikenal secara luas adalah senyawa-

senyawa polifenol dan flavonoid. Temu kunci {Boesenbergia pandurata (Roxb.)

Schlecht} adalah salah satu spesies Zingiberaeae yang menghasilkan senyawa

flavonoid. Dalam pengobatan tradisional, secara empiris temu kunci digunakan

untuk peluruh dahak. peluruh gas di perut, penambah nafsu makan, penyembuh

sariawan dan pemacu keluarnya ASI (Sudarsono dkk, 2002).

Rimpang temu kunci memiliki banyak senyawa metabolit primer dan

sekunder. Beberapa senyawa metabolit sekunder diantaranya khas pada temu

3

kunci atau terdapat pula pada tanaman lain dalam jumlah yang sedikit. Metabolit

sekunder disebut senyawa penanda (marker) dan dapat digunakan sebagai penciri

tanaman(Patterson, 2006). Beberapa kandungan senyawa metabolit sekunder dari

rimpang temu kunci antara lain minyak atsiri (rimpang segar 0,06 – 0,32 %) yang

terdiri atas golongan monoterpen, seskuiterpen, turunan fenil propana. Namun

kandungan minyak atsiri kurang tepat dijadikan senyawa penanda karena

keberadaannya relatif sedikit dan penyebaranya luas pada tanaman lain, sehingga

pada temu kunci senyawa penanda yang digunakan adalah pinostrobin.

Kandungan lain dari rimpang temu kunci adalah golongan flavonoid yaitu

meliputi pinosembrin(5,7-dihidroksi flavanon), 2’6’dihidroksi-4’-metoksikalkon,

2’4’-dihidroksi-6’-metoksikalkon, boesenbergin A, dan 5,7-dimetoksiflavon

(Sudarsono dkk, 2002).

Zaeoung dkk(2004) melaporkan bahwa rimpang temu kunci dapat

berkhasiat sebagai antikanker. Di Jepang telah ada penelitian yang melaporkan

bahwa rimpang temu kunci sebagai anti oksidan memiliki aktivitas poten (Shindo

dkk, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak rimpang yang larut dalam

etanol dan aseton berefek sebagai antioksidan pada penelitian dengan minyak ikan

sehingga mampu menghambat proses ketengikan (Sunarsih, 1999). Penelitian lain

(Melannisadkk, 2011) memberikan hasil bahwa ekstrak etanol temu kunci

memiliki aktivitas penangkap radikal bebas dengan IC50 140,21 µg/mL dan kadar

fenol total sebesar 89,45 mg/g. Selain itu juga telah diteliti bahwa kandungan

4

flavanoid yaitu pinostrobin yang diisolasi dari serbuk rimpang temu kunci

memiliki kemampuan menginduksi enzim detoksikasi fase II dari mamalia

(Hyundkk, 2006).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang temu

kunci memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC5010,36 µg/mL menggunakan

metode DPPH (Nihlati dkk, 2008). Karyantini (2008) telah melakukan penelitian

bahwa senyawa penanda temu kunci adalah pinostrobin, namun belum dilakukan

uji aktivitas biologinya. Sementara it pada penelitian berikutnya telah diketahui

bahwa pinostrobin mempunyai daya antioksidan sebesar 6268 µmol/L lebih

rendah dari pinosembrin yaitu 5816 µmol/L menggunakan metode DPPH

(Tanjung dkk, 2013). Penelitian terbaru oleh Pramisatuti (2016) menunjukkan

bahwa isolat pinostrobin dan isolat pinosembrin dari rimpang temu kunci

memiliki aktivitas antioksidan dengan metode FRAP masing-masing dengan nilai

kapasitas antioksidan 3,68±0,43 µM/g dan 4,51±4,50 µM/g, dengan metode β-

carotene bleaching mempunyai nilai IC50 masing–masing sebesar 179,29±12,01

µM dan 116,29±5,68 µM. Sedangkan dengan metode NO scavenging masing-

masing memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 469,33±13,33

µM. dan 474,03±13,54 µM. Dibutuhkan beberapa metode uji kapasitas

antioksidan untuk memastikan aktivitas antioksidian suatu senyawa. Hal tersebut

menyebabkan perlunya dilakukan uji kapasitas antioksidan dengan metode yang

lain untuk konfirmasi serta memperjelas mekanisme aktivitas antioksidan

5

senyawa yang terkandung di dalam rimpang temu kunci. Dalam penelitian ini

metode yang digunakan adalah Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity

(CUPRAC).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aktivitas antioksidan pinostrobin dan pinosembrin menggunakan

metode CUPRAC?

2. Senyawa antioksidan mana yang memiliki aktivitas lebih tinggi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Secara keseluruhan tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi

bahan alam yang berpotensi sebagai antioksidan.

2. Tujuan khusus

a. Melakukan isolasi senyawa penanda pinostrobin dan pinosembrin

dari rimpang Temu kunci.

b. Mengetahui kapasitas antioksidan senyawa penanda (marker) isolat

pinostrobin dan pinosembrin dari rimpang Temu kunci dengan

metode CUPRAC.

c. Membandingkan kapasitas antioksidan senyawa pinosembrin

dan pinostrobin.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diusulkan untuk mengeksplorasi potensi antioksidan dari

6

bahan alam khususnya rimpang temu kunci. Hasil penelitian ini akan bermanfaat

untuk memberikan data ilmiah yang valid mengenai cara isolasi senyawa

pinosembrin dan pinostrobin, serta uji kapasitas antioksidannya menggunakan

metode CUPRAC. Penelitian ini dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel

dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi

pengembangan penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Temu kunci {Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schelcht}

Rimpang temu kunci atauBoesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht

(Zingiberaceae) adalah salahsatu tanaman jahe yang ditemukan di Asia Tenggara

(Chahyadi dkk, 2012). Temu kunci tumbuh di daerah tropis dataran rendah

dengan waktu berbunga pada bulan Januari-Februari dan April-Juni. Daerah

distribusi dan habitat tanaman liar adalah di hutan jati dan dapat dibudidayakan

dimana-mana (Anonim, 1977). Rimpang temu kunci merupakan salah satu

rimpang yang banyak digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat.

Rimpang temu kunci merupakan tanaman yang kayaakan senyawa flavanoid dan

fenolik selain minyak atsiri (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991; Nihlatidkk,

2008).

7

Gambar 1. Rimpang Temu Kunci (Dokumentasi pribadi)

Keterangan gambar :

Tanaman :Temu Kunci

Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht

Sinonim :Curcuma rotunda L, Kaemferia pandurat Roxb,Gastrochilus

pandurata (Roxb.) Ridley, Boesenbergia pandurate L

Nama simplisia:Rimpang Temu Kunci (Boesenbergia Rhizoma) (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991)

a. Taksonomi Tanaman

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Anak kelas : Zingiberidae

Bangsa : Zingiberales (Scitamineae)

Suku : Zingiberaceae

Marga : Boesenbergia

Jenis : Boesenbergia pandurata Roxb. Schlecht

(Backer, 1965)

b. Morfologi

Tanaman temu kunci memiliki perawakan berbentuk herba rendah dan

8

merayap didalam tanah dengan pertumbuhan selama satu tahun setinggi 0,3-

0,9 meter. Batang asli temu kunci berada di dalam tanah sebagai rimpang,

berwarna kuning-coklat, berbau aromatik, dan memiliki panjang sekitar 5-30

cm dengan diameter batang sebesar 0,5-2 cm. Daun temu kunci umumnya

sebanyak 2-7 helai, tangkai daun beralur, tidak berambut, dan memiliki

panjang antara 7-16 cm. Pelepah daun temu kunci umumnya memiliki

panjang yang sama dengan tangkai daun, helai daun tegak, bentuk lanset

lebar atau agak jorong, ujung daun runcing, permukaan halus tetapi bagian

bawah agak berambut terutama sepanjang pertulangan, warna helai daun

hijau muda dengan lebar sekitar 5-11 cm. Temu kunci memiliki bunga yang

berbentuk seperti susunan bulir tidak berbatas. Bunga temu kunci tumbuh

diketiak daun, dilindungi oleh 2 spatha dengan panjang tangkai bunga 4-11

cm. Kelopak bunga temu kunci berjumlah 3 buah lepas dan berbentuk

runcing. Mahkota bunga temu kunci berwarna merah muda atau kuning-putih

dan berjumlah 3 buah,bagian atas tajuk berbelah-belah, berbentuk lanset

dengan lebar 4 mm dan panjang 18 mm. Benangsari temu kunci berbentuk

fertil besar, berjumlah satu, kepala sari bentuk garis membuka secara

memanjang. (Anonim, 2010; Sudarsono dkk, 2002). Sementara itu akar temu

kunci merupakan akar serabutyang berwarna kekuningan (Syamsuhidayat

dan Hutapea, 1991).

c. Kandungan kimia

9

Rimpang temu kunci mengandung 1,2 % minyak atsiri (rimpang segar

0,06% - 0,32% minyak atsiri) dengan komponen utama berupa monoterpene

dan seskuiterpen. Kandungan lain rimpang temu kunci adalah turunan

fenilpropan yang meliputi geranial, neral, kamfora, zingiberen, d-penen,

kamfen, 1,8-sineol (eukaliptol), d-borneol, geraniol, osimen, dimetoksi-4(-2-

propenil), miristin, linalil, propamoat, asam sinamat, kmafen hidrat, propenil

guaikol, dihidrokarveol, linalool; etil-sinamat, etil p-metoksi sinamat,

panduartin A, dan asam kavisinat. Rimpang temu kunci juga mengandung

berbagai flavonoid yaitu pinosembrin (5,7-dihidroksi flavanon), 2’,6’-

dihidroksi-4’-metoksi kalkon, pinostrobin (5-hidroksi-7-metoksi flavanon),

alpinetin, kardamomin, 2’,4’-dihidroksi-6’-metoksi kalkon, boesenbergin A,

5,7-dimetoksiflavon (Sudarsono dkk, 2002;Tewtrakul dkk, 2009). Flavonoid

terprenilasi juga dimiliki oleh rimpang temu kunci, diantaranya adalah

geranil-2,4-dihidroksi-6-fenetibenzoat (1’R,2S,6”R)-2-hidroksi isopanduratin

A, (2R)-8-geranil pinostrobin, (±)-6 metoksi panduratin A, (2S)-7,8-

dihidroksi-5-hidroksi-2-metil-2-(4”-metil-3”-pentenil)-8-fenil-2H,6H-

benzo[1,2-b:5,4-b’] dipiran-6-on (Anonim, 2010 ; Shindo dkk, 2006).

d. Kegunaan temu kunci

Panduratin A dalam rimpang temu kunci merupakan derivat kalkon yang

mempunyai efek biologis seperti anti inflamasi (Tewtrakul dkk, 2009;

Tuchinda dkk, 2002) analgetik, antikanker dan antioksidan (Chahyadi dkk,

2012; Hyun dkk, 2006 ; Melannisa dkk, 2011), anti angiogenik,

neuroprotektif, kemopreventif (Seniya dkk, 2013). Minyak atsiri rimpang

10

temu kunci berefek pada pertumbuhan Entamoeba coli,Staphyllococus aureus

dan Candida albians, selain itu dapat pula berefek padapelarutan batu ginjal

kalsium secara in vitro. Perasan dan infus rimpang temu kunci memiliki daya

analgetik dan antipiretik Disamping itu dapat mempunyai efek

menggugurkan, responsi dan berpengaruh pada berat, janin tegas, tikus

(Sudarsono dkk, 2002).

Rimpang tanaman temu kunci ini dikenal sebagai gingseng Thailand dan

telah digunakan untuk pengobatan asam urat, alergi dan gangguan

pencernaan(Pangchaeroen, 2002; Tewtrakul dkk, 2009). Boesenbergia

pandurata Holtt secara lokal dikenal di Thailand sebagai Kra-Chai

dengan family Zingiberaceae yang memiliki aroma yang khas dan rasa

sedikit pedas pada rimpang segarnya. Rimpang temu kunci umum digunakan

di Asia Tenggara sebagai bahan makanan dan obat-obatan tradisional untuk

pengobatan beberapa penyakit seperti mulut kering, ketidaknyamanan perut,

leukorrhea dan disentri (Saralampdkk, 1996; Tewtrakul dkk, 2009). Rimpang

dari tanaman ini digunakan untuk pengobatan dispepsia dan dimanfaatkan

sebagai pengobatan sendiri oleh pasien AIDS di Thailand. Temu kunci juga

secara empiris digunakan sebagai antibakteri, antijamur, anti-inflamasi,

analgesik, antipiretik, antispasmodik, antitumor, (Poerwono dkk, 2010) dan

insektisida (Hwang dkk, 2004; Cheenprachadkk, 2006) antivirus, anti

penuaan, anti obesitas, (Chahyadi dkk, 2014).

11

2. Pinostrobin

Senyawa ini merupakan flavonoid dengan rumus struktur C16H14O4

dengan titik lebur 112-113°C (100-101°C). Senyawa ini diisolasi dari tanaman

Boesenbergia pandurata, Myrica pensylvanoca, Piper sp, Onychium siliculosum,

Aniba riparia. Larix dahurica, Helichrysum polycladum, Prunu cerasus, Agonis

spathulata, Pinus, Alnus dan Populus sp.(Chapman dan Hall, 1994).

Pinostrobinmerupakan flavonoid utama dalam rimpang temu kunci.

3. Pinosembrin

Senyawa ini merupakan flavonoid dengan rumus struktur C15H12O4

dengan titik lebur 192-193°C. Isolasi dari tanaman Pinus cembra, daun

Eucalyptus sieberi, Baccharis glutinosa, Hymenoclea monogyna, Alnus

sieboldiana, Acacia, Alpinia,Artemisia, Glycyrrhiza, Myrica, Chromolaera,

Camptonia, Dodoncea, Chrysothamnus, Helichrysum, Iryanthera, larix, Prunus,

Pinus, Citrus, Alnus, Populus, Aniba, Eucalyptus (Chapman dan Hall, 1994).

a b

Gambar 2. Struktur pinostrobin (a) dan pinosembrin (b)

4. Radikal bebas

Oksidan adalah senyawa penerima elektron yakni senyawa yang dapat

menarik elektron (Syahbana dan Bahalwan, 2002). Sedangkan radikal bebas

12

adalah suatu atom, gugus atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya yang mungkin terbentuk

melalui reaksi oksidasi atau reduksi suatu elektron atau pecahan homolisis suatu

ikatan rangkap. Untuk mengembalikan keseimbangan, radikal bebas tersebut

akan berusaha keras mendapatkan elektron dari molekul lain didekatnya atau

melepas elektronnya yang tidak mempunyai pasangan (Dalimartha dan

Soedibyo, 1999).

Radikal bebas dikenal dengan istilah ROS (reactive oxygen spesies) yaitu

sebuah terminologi yang mencakup semua molekul berikatan oksigen yang

reaktif, termasuk redikal bebas. ROS memiliki beberapa bentuk yaitu radikal

hidroksil, radikal anion superperoksida, hidrogen peroksida, oksigen tunggal,

radikal oksida nitrit, radikal hipoklorit, dan berbagai macam peroksida lipid.

Semua molekul itu mampu bereaksi dengan membran lipid, asam nukleat, protein,

enzin, serta molekul kecil lainnya sehingga menghasilkan kerusakan selular

(Wlascheck dkk, 2001).

Reaksi yang melibatkan radikal bebas berlangsung dalam tiga tahap, yaitu

inisiasi, propagansi, dan terminasi (Hudson, 1990).

Gambar 3. Reaksi oksidasi lipid tak jenuh (Hudson, 1990)

13

ROS terbentuk dengan banyak cara, diantaranya :

a. Konsekuensi metabolisme aerobik. Hampir 90% oksigen digunakan pada

sistem transport electron pada mitokondria sel yang menghasilkan molekul

tidak stabil.

b. Pembakaran oksidatif dari fagosit (sel darah putih) sebagai bagian mekanisme

penghancuran virus atau bakteri dan denaturasi antigen asing.

c. Metabolisme xenobiotik seperti detoksifikasi bahan beracun yang berasal dari

luar tubuh. (Wlascheck dkk, 2001)

Antisipasi terhadap terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh dapat

dilakukan dengan mengatur pola makan dan mengkonsumsi makanan tambahan

(suplemen) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber antioksidan untuk meredam

terbentuknya radikal bebas (Regina dkk, 2008; Tanjung, 2013). Radikal bebas

yang merusak tubuh umumnya dinetralisir oleh antioksidan. Senyawa yng

tergolong dalam kelompok antioksidan ini alan menyerahkan satu atau lebih

elektronnya kepada radikal bebas sehingga menjadi molekul yang normal

kembali dan menghentikan berbagai kerusakan yang ditimbulkannya (Dalimartha

dan Soedibyo, 1999).

5. Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,

membersihkan, menahan pembentukan maupun meniadakan efek spesies oksigen

reaktif atau radikal bebas (Hermani dan Raharjo,2005). Antioksidan merupakan

substansi nutrisi maupun non-nutrisi yang terkandung dalam bahan pangan, yang

mampu mencegah atau memperlambat terjadinya kerusakan oksidatif dalam

14

tubuh. Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau

reduktan/reduktor. Antioksidan mampu menghambat reaksi oksidasi dengan cara

mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel

dapat dicegah. Senyawa ini mempunyai berat molekul kecil tapi

mampumenginaktivasi reaksi oksidasi dengan mencegah terbentuknya radikal

(Winarsi, 2007; Tamat dkk, 2007).

Tubuh manusia mempunyai sistem pertahanan antioksidan yang diproduksi

secara kontinue untuk menangkal atau meredam radikal bebas. Beberapa sistem

pertahanan antioksidan tersebut adalah:

a. Antioksidan gizi, meliputi asam askorbat (vitamin C), tokoferol

tokotrienol(vitamin E), karotenoid (vitamin A), dan seyawa dengan berat

molekul rendah seperti glutation dan asam liopat.

b. Antioksidan enzim, meliputi superoksida dismutase (SOD), glutation

peroksida, dan glutation reduktase yang menjadi katalis pada reaksi

pemadaman (inaktivasi) radikal bebas.

c. Protein pengikat logam, seperti ferritin, lactoferin, albumin, dan

seruloplasmin yang menangkap ion bebas dan ion tembaga yang mampu

mengkatalis reaksi oksidatif.

d. Antioksidan fitokimia yang tersebar pada berbagai jenis tanaman. Contoh

antioksidan ini adalah polifenol, fenol, dan flavonoid (Percival, 1998).

Bila jumlah senyawa radikal bebas melebihi jumlah antioksidan alami dalam

tubuh maka radikal bebas akan menyerang komponen lipid, protein dan DNA.

Sehingga tubuh kita membutuhkan asupan antioksidan yang mampu melindungi

tubuh dari serangan radikal bebas tersebut (Winarsi, 2007; Prakash, 2001).

15

Berdasarkan mekanisme kerja dan sumbernya antioksidan digolongkan

menjadi tiga yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan

tersier. Antioksidan primer disebut juga sebagai antioksidan internal, yaitu

antioksidan yang diproduksi secara alami dan berkelanjutan oleh tubuh.

Antioksidan primer merupakan jenis antioksidan enzimatis, yaitu mampu

memberikan atom hidrogen kepada radikal bebas sehingga radikal bebas ini

menjadi lebih stabil. Mekanisme kerja antioksidan primer adalah dengan cara

mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal bebas

yang telah terbentuk menjadi lebih stabil dan kurang reaktif dengan cara memutus

reaksi berantai (polimerisasi) atau dikenal dengan istilah juga chain-breaking-

antioxidant (Winarsi, 2007). Contoh antioksidan primer adalah enzim superoksida

dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH) (Winarsi, 2007;

Prakash, 2001).

Antioksidan sekunder disebut juga sebagai antioksidan eksternal atau

antioksidan non-enzimatis, yaitu antioksidan yang tidak diproduksi secara alami

oleh tubuh dan didapatkan dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari

radikal bebas atau dengan cara menangkap radikal bebas (free

radicalscavenging). Sehingga radikal bebas tidak akan berekasi dengan

komponen seluler. Antioksidan sekunder terdiri dari antioksidan alami dan

antioksidan sintetik. Antioksidan lamai dapat ditemukan pada sayuran dan buah –

buahan. Komponen yang terkandung didalamnya adalah viatmin C, vitamin E, β–

16

karoten, flavanoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin, isokatekin, asam lipoat,

billirubi dan albumin, likopen dan klorofil (Winarsi, 2007). Antioksidan sintetik

dibuat dibuat dari bahan-bahan kimiaantara lain butylated hydroxyanisol (BHA),

butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhidroquinone (TBHQ) dan propil

gallat (PG) (Heodkk, 2005).

Antioksidan tersier meliputi suatu enzim DNA-repair dan metionin

sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler

yang rusak akibat aktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA akibat radikal bebas

dpat dicirikan oleh rusaknya single atau double strain pada gugus basa dan non-

basa (Winarsi, 2007).

Antioksidan penting untuk kesehatan dan kecantikan serta mempertahankan

mutu produk pangan. Di bidang kesehatan dan kecantikan, antioksidan berfungsi

untuk mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah,

penuaan dini, dan lain-lain. Antioksidan juga mampu menghambat reaksi oksidasi

dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga

kerusakan sel dapat dicegah. Reaksi oksidasi dengan radikal bebas sering terjadi

pada molekul protein, asam nukleat, lipid dan polisakarida (Winarsi, 2007).

Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai mampu menurunkan resiko

terkena penyakit degeneratif seperti kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis,

osteoporosis dan lain-lain. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan

dapat meningkatkan status imunologi dan menghambat timbulnya penyakit

degeneratif akibat penuaan. Kecukupan antioksidan secara optimal dibutuhkan

17

oleh semua kelompok umur (Winarsi, 2007).

6. Ekstraksi

Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diaupkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang

diinginkan (Anonim, 1986).

Rimpang temu kunci diekstraksi menggunakan metode maserasi dan

remaserasi. Maserasi merupakan cara penyarian sedehana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari

akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel dan melarutkan zat

aktif. Adanya perbedaan konsentrasi larutan zat aktif didalam dengan di luar sel ,

maka larutan yang terpekat akan keluar. Peristiwa tersebut terulang sehingga

terjadi kesetimbangan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel. Peristiwa

tersebut terjadi secara kontinyu sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara

larutan zat aktif di dalam kompartemen di dalam sel dengan kompartemen di luar

sel (Anonim, 1986). Keuntungan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan

yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugiannya adalah cara

pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna (Anonim, 1986).

Remaserasi adalah metode ektraksi dimana terjadi pengulangan penambahan

pelarut setelah dilakukan penyaringan manserat pertama, dan seterusnya. Pelarut

kedua ditambahkan sebanyak jumlah pelarut pertama(Anonim, 1986).

18

7. Fraksinasi

Ekstrak kasar tanaman, mikroba, atau matriks hewan memiliki komponen

yang sangat banyak dan rumit. Oleh karena itu, senyawa tunggal murni dari

ekstrak tidak dapat dihasilkan dari satu kali metode pemisahan tunggal. Proses

untukmemperoleh suatu senyawa tunggal memerlukan fraksinasi dari ekstrak

kasar tanaman. (Sarker dan Nahar, 2012). Proses pemisahan melibatkan

pembagian ekstrak menjadi fraksi – fraksi tertentu. Tipe fraksinasi tergantung dari

sampel dan tujuan pemisahannya. Biasanya kolom dijalankan dan eluat

dipisahkan menjadi fraksi-fraksi yang dapat diatur, diikuti dengan analisis fraksi

untuk mendeterminasi kandungan senyawa yang diinginkan. Secara jelas,

mengkoleksi eluat ke dalam fraksi–farksi yang lebih kecil dimaksudkan agar

beberapa fraksi berisi senyawa murni. Meskipun pada kenyataannya tetap

dibutuhkan pengolahan lebih lanjut dalam menganalisa setiap fraksi(Cannel dan

Richad, 1998).

Salah satu cara fraksinasi adalah kromatografi cair vakum (KCV).

Kromatografi cair menggunakan vakum sekarang sering digunakan untuk

memisahkan campuran senyawa-senyawa produk alam atau untuk memurnikan

senyawa yang telah diketahui secara cepat. Campuran senyawa dieluasi dengan

fase gerak bantuan vakum (Mukti, 2008). Kromatografi vakum cair merupakan

salah satu kromatografi kolom khusus yang biasanya menggunakan silika gel

sebagai adsorben. Alat yang digunakan adalah corong Buchner berkaca masir atau

kolom pendek dengan diameter cukup besar (Kristanti dkk, 2008).

19

Kromatografi cair vakum (Vaccum Liquid Chromathography) merupakan

metode yang sering digunakan untuk memisahkan komponen organik netral di

laboratorium. Fase diam yang sering digunakan adalah silika gel dan alumina.

Jika senyawa terikat kuat pada fase diam silika gel dan alumina dapat digunakan

selulosa, charcoal, florisil, poloamida dan magnesium oksida (Mukti, 2008).

Kolom kromatografi berisi fase diam dikemas kering dalam keadaan vakum

sehingga diperoleh kerapatan maksimum. Vakum kemudian dihentikan, pelarut

yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan fase diam kemudian

divakum lagi. Kolom di hisap sampai kering dan siap pakai. Cuplikan dilarutkan

dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian atas kolom atau

pada lapisan pra fase diam (tanah, diatome, celite, dsb) dan dihisap perlahan-

lahan. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dari pelarut

yang kepolarannya rendah, lalu ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap

sampai kering (Hostettman dkk,1995).

Hasil pemisahan yang kurang baik disebabkan oleh beberapa hal antara lain

elusi harus dihentikan pada setiap pergantian fase gerak, pengisian sampel pada

bagian atas kolom tidak rata, dan reolusi yang terbatas karena kolom yang

digunakan pendek (Mukti, 2008).

8. Isolasi

Faktor terpenting dalam mendesain protokol isolasi adalah memperhatikan

sifat senyawa target yang terdapat di dalam ekstrak tanaman ataupun fraksi.

Senyawa target yang telah diketahui sifat molekulnya secara umum akan sangat

20

membantu dalam memastikan proses isolasi. Sifat umum yang penting untuk

diketahui berkaitan dengan kelarutan, sifat asam basa, tingkat stabilitas dan

ukuran molekulnya (Sarker dan Nahar, 2012).

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode

pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang

sering dipakai adalah 0,5 - 2 mm. Ukuran plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm.

Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah

bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum

digunakan adalah silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan

cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak

sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat

dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis.

Pelarut yang baik untuk melarutkan cuplikan adalah pelarut yang mudah

menguap. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang

dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut

pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling

permukaan bagian dalam bejana (Hostettmann dkk, 1995). Kebanyakan penjerap

KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi

letak pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Untuk

mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet yaitu dengan cara

menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot kedua sisi dengan

21

penyemprot (Hostettmann dkk, 1995). Setelah pita ditampakkan dengan cara yang

tidak merusak maka senyawa yang tidak berwarna dengan penjerap dikerok dari

plat kaca. Cara ini berguna untuk memisahkan campuran beberapa senyawa

sehingga diperoleh senyawa murni (Gritter dan Gritter,1991).

9. Kromatografi lapis tipis

Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan tertentu yang ditemukan oleh

Tswett pada tahun 1903. Menurut Rohman (2009) kromatografi merupakan teknik

analisis yang digunakan secara luas untuk analisis senyawa obat, baik dalam

sediaan farmasi atau dalam cairan biologis. Hal ini disebabkan karena

kromatografi dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun analisis kuantitatif.

Pada dasarnya semua kromatografi merupakan sistem dengan dua fase yaitu

fase tetap dan fase gerak (Sastroharmidjojo, 2007). Menurut Gritter (1991)

kromatografi memiliki keuntungan dalam pelaksaan yang lebih sederhana,

penggunaan waktu yang singkat dan mempunyai kepekaan dan kemempuan

memisahkan yang tinggi. Metode kromatografi juga dapat digolongkan

berdasarkan jenis pemisahan zat yang berlangsung atau berdasar fase yang

digunakan. Pembagiannya meliputi kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis,

kromatografi gas yang dibagi menjadi kromatografi gas-cair dan kromatigrafi gas-

padat, kromatografi cair kinerja tinggi, kromatografi penukar ion, kromatografi

afinitas, kromatografi gel.

Kromatografi lapis Tipis (KLT) merupakan kromatografi yang fase diamnya

difiksasikan sebagai lapisan tipis pada penyangga seperti kaca atau gelas atau

22

lembaran alumunium, alumunium oksida, celite, kalsium hidroksida, damar

penukar ion, magnesium fosfat, poliamida, sephadex, polivinil pirolidon, selulosa

dan campuran dua bahan diatas atau lebih (Harbone, 1987; Stahl, 1985).

Kromatografi juga memiliki keuntungan yang khas dalam pelaksanaannya yaitu

keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya (Harbone, 1987).

Pada KLT, lapisan tipis berlaku sebagai fase diam yang cenderung meyerap

(mengabsorpsi) komponen, sedang pelarut yang bergerak melalui lapisan tipis

tersebut sebagai fase gerak yang cenderung melarutkan komponen. KLT

biasadigunakan dengan cara pengembangan naik didalam bejana yang dindingnya

dilapisi kertas saring sehingga atmosfer didalam bejana homogen atau jenuh

dengan pelarut (fase gerak). Campuran yang akan dipisahkan, merupakan cairan

yang ditotolkan yang berupa bercak atau pita (titik awal). Setelah pelat diletakkan

dalam bejana tertutup rapat yang berisis larutan pengembang yang cocok,

pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pegembangan). Pemisahan ini

terjadi dikarenakan perbedaan sifat antara zat-zat itu. Deteksi senyawa pada pelat

KLT dilakukan dengan penyemprotan pereaksi penampak bercak, atau diamati

dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm atau pelat yang mengandung

indikator fluoresensi.

Posisi bercak dinyatakan dengan angka Rf (retention factor) ialah jarak

antara titik penotolan dengan suatu bercak dibandingkan dengan jarak rambat.

Angka Rf antara 0,00 sampai 1,00, jika Rf bernilai 1,00 maka bercak berada

diatas rambat. Angka rambat merupakan bilangan pecahan yang sulit dalam

23

pengucapan maupun penulisannya, oleh karena itu lebih disukai pemakaian angka

yang 100 kalinnya Rf yaitu hRf (Gritter dan Gritter, 1991; Sastroharmidjojo,

2007).

hRf = Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal x 100

Jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal 10. Spektrofotometri UV-Visibel

Spektrofotometer UV-Visibel adalah alat yang digunakan untuk mengukur

transmitansi, reflektansi dan absorbsi dari cuplikan sebagai fungsi dari

panjanggelombang. Metode pengukuran seperti ini disebut spektrofotometri UV-

Visibel(UV-Vis). Spektrofotometer sesuai dengan namanya merupakan alat yang

terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari

spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur

intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer

digunakan untuk mengukur energi cahaya secara relatif jika energi tersebut

ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang

gelombang. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum sinar tampak

yang sinambung dan monokromatis. Sel pengabsorbsi untuk mengukur perbedaan

absorbsi antara cuplikan dengan blanko ataupun pembanding (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Spektrofotometri UV-Vis mengukur serapan cahaya di daerah ultraviolet

(200–350 nm) dan sinar tampak (350–800 nm) oleh suatu senyawa. Serapan

cahaya UV atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi

24

elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital

keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi.

Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu dari sekian banyak

instrumen yang biasa digunakan dalam menganalisa suatu senyawa kimia.

Spektrofotometer umum digunakan karena kemampuannya dalam menganalisa

begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal preparasi sampel

apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa.

Warna yang diserap oleh suatu senyawa merupakan warna komplementer

dari warna yang teramati. Beberapa warna yang diamati dan warna

komplementernya terdapat pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Panjang gelombang dan warna yang diserap pada spektrofotometer UV-Vis

(Gandjar dan Rohman, 2007)

Panjang Warna terlihat Warna

gelombang Komplementer

<400 Ultraviolet -

400-450 Violet Kuning

450-490 Biru Jingga

490-550 Hijau Merah

550-580 Kuning Ungu

580-650 Jingga Biru

650-700 Merah Hijau

>700 Inframerah -

25

Sinar dari sumber cahaya akan dibagi menjadi dua berkas oleh cermin

yang berputar pada bagian dalam spektrofotometer. Berkas pertama akan

melewati kuvet berisi blanko, sementara berkas kedua akan melewati kuvet berisi

sampel. Blanko dan sampel akan diperiksa secara bersamaan. Adanya blanko,

berguna untuk menstabilkan absorbsi akibat perubahan voltase dari sumber

cahaya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Spektrofotometri uv-vis mengacu pada hukum Lambert-Beer. Apabila cahaya

monokromatik melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut akan

diserap, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi akan dipancarkan. Hukum

Lambert-beer dirumuskan sebagai berikut:

P = Po 10

abc

-log P/P = abc

-log T = abc

A = abc

Dimana : T= transmisi

A= absorbansi

a= absorptivitas (tergantung satuan konsentrasi ); a(ppm) dan ε (Molar)

b=tebal media/kuvet

c=konsentrasi larutan

Hukum Lambert-beer berlaku apabila :

a. Konsentrasi harus rendah

b. Zat yang diukur harus stabil

c. Cahaya yang dipakai harus monokromatis

d. Larutan yang diukur harus jernih

(Gandjar dan Rohman, 2007)

26

11. Uji kapasitas antioksidan metode CUPRAC

Reagen CUPRAC adalah CuCl2 yang dikombinasi dengan neokuproin

pada larutan buffer ammonium asetat pH 7. Reagen tersebut membentuk

kompleks Cu(II)-bis-neokuproin sebagai pereaksi kromogenik. Kompleks Cu(II)-

bis-neokuproin akan bereaksi dengan senyawa antioksidan lalu tereduksi menjadi

kompleks Cu(I)-neokuproin yang berwarna kuning dan memberikan serapan

maksimal pada panjang gelombang 450 nm.

Sampel dapat bertindak sebagai antioksidan apabila sampel memiliki

potensial reduksi yang lebih rendah daripada potensial reduksi Cu(I/II)-

neokuproin sebesar 0,6 V. (Apak dkk, 2004). Reaksi yang terjadi pada metode

CUPRAC dinyatakan dalam Gambar 4.

n Cu (Nc)22+

+ Ar(OH)n n Cu(Nc)2+

+ Ar(=O)n + n H+

Gambar 4. Reaksi pada metode CUPRAC

(Apak dkk, 2007)

Metode CUPRAC memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode uji

antioksidan lainnya diantaranya :

a. Reagen CUPRAC dapat dengan cepat mengoksidasi antioksidan thiol,

sedangkan metode FRAP hanya dapat mengukur antikosidan tipe thiol

seperti glutation dengan negatif error.

b. Reagen CUPRAC bersifat selektif karena CUPRAC memiliki potensial

redoks yang lebih rendah daripada pasangan Fe(III)/Fe(II) yang muncul

dalam fenantrolin. Potensial standar reduksi dari pasangan Cu(II,I)-

neukuproin adalah sekitar 0,6 V, yaitu mendekati kepada ABTS sehingga

gula sederhana dan asam sitrat yang bukanlah benar-benar antioksidan

27

tidak akan teroksidasi oleh reagen CUPRAC.

c. Reagen CUPRAC jauh lebih stabil dan mudah didapatkan daripada raegen

kromogenik radikal seperti DPPH dan ABTS. Kemampuan tembaga

mereduksi senyawa antioksidan dapat digunakan untuk mengukur sampel

biologis secara tidak langsung tetapi memiliki refleks yang efisien kepada

kemampuan total antioksidan dari sampel meskipun tidak ada senyawa

radikal utama yang digunakan pada metode ini.

d. Metode CUPRAC mudah diaplikasikan di laboratorium konvensional

menggunakan peralatan standar seperti kalorimeter daripada peralatan

yang lebih canggih tetapi harus menggunakan instrumental teknik yang

mahaluntuk analisis.

e. Reaksi redoks yang memunculkan warna dari khelat Cu(I)-neukuproin

relatif lebih tidak sensitif terhadap parameter lain (udara, cahaya matahari,

solven, pH) dibandingkan reagen radikal seperti DPPH.

f. Kurva absorbansi CUPRAC versus konsentrasi linear sempurna pada

berbagai macam konsentrasi, tidak seperti metode lain yang membentuk

kurva polinominal. Metode ini secara sempurna mengikuti pengenceran,

sebagaimana kurva absorbansi dengan konsentrasi dari pengenceran

ekstrak melewati asalnya. Absorbtivitas molar cukup tinggi untuk secara

sensitif menetapkan sebagian besar antioksidan fenolik.

g. Nilai total kapasitas antioksidan dari berbagai antioksidan yang ditemukan

dengan metode CUPRAC adalah stabil (Apak dkk, 2013).

28

G. Landasan Teori

Rimpang temu kunci mengandung flavonoid pinosembrin dan pinostrobin

(Sudarsono,2009). Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder fenolik

yang memiliki aktivitas antioksidan dan pengkelat yang signifikan (Heim dkk,

2002).

Penelitian dari Tanjung dkk (2013) menunjukkan bahwa pinostrobin dan

pinosembrin dari Kaempheria panduratamampu menangkap radikal bebas dengan

metode DPPHsebesar 5816 µg/mL dan 6268 µg/mL. Penelitian terbaru oleh

Pramisatuti (2016) menunjukkan bahwa isolat pinostrobin dan isolat pinosembrin

dari rimpang temu kunci Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schelcht memiliki

aktivitas antioksidan dengan metode FRAP masing-masing dengan nilai kapasitas

antioksidan 3,68±0,43 µM/g dan 4,51±4,50 µM/g, dengan metode β-carotene

bleaching mempunyai nilai IC50 masing–masing sebesar 179,29±12,01 µM dan

116,29±5,68 µM. Sedangkan dengan metode NO scavenging masing-masing

memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 469,33±13,33 µM. dan

474,03±13,54 µM.

Pinosembrin memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada

pinostrobin menggunakan metode DPPH oleh Tanjung dkk(2013),β-carotene

bleaching,dan NO scavenging(Pramiastuti, 2016). Ji-wu dkk (2002) melaporkan

bahwa flavonoid yang memiliki gugus OH pada posisi meta (5,7) pada cincin A

nya memiliki efek OH-scavenging yang lebih tinggi daripada yang tidak memiliki

29

gugus hidroksil. Pinosembrin memiliki OH pada posisi meta (5,7) di cincin A-nya

sementara pinostrobin hanya memiliki satu OH di posisi lima.

Untuk memastikan aktivitas antioksidan suatu sampel, diperlukan lebih

dari satu metode uji.Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity (CUPRAC)

adalah salah satu metode pengujian kapasitas antioksidan yang mudah, murah,

dan lebih stabil dibandingkan metode uji lainnya (Apakdkk 2013). Oleh karena itu

CUPRAC dipilih sebagai metode yang digunakan untuk mengukur kapasitas

antioksidan senyawa pinosembrin dan pinostrobin dari rimpang temu kunci.

H. Hipotesis

1. Senyawa isolat pinostrobin dan pinosembrin menunjukkan adanya aktivitas

antioksidan menggunakan metode Cupric Ion Reducing Antioxidant

Capacity.

2. Senyawa isolat pinosembrin memiliki kapasitas antioksidan yang lebih

tinggi daripada isolat pinostrobin.