bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.ump.ac.id/8009/2/meviana rizki amalia bab...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri dan virus. Penyakit ini diawali dengan beberapa
gejala atau lebih, salah satunya yaitu panas disertai sakit tenggorokan atau
rasa nyeri saat menelan, pilek, batuk berdahak atau kering (Riskesdas,
2013).
Saat ini ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia. Berdasarkan
WHO (2007) ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas
penyakit menular di dunia. Hampir 4 juta orang meninggal akibat ISPA
setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, danorang lanjut usia,
terutama di negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan
menengah. Secara global, tingkat kematian balita mengalami penurunan
sebesar 41%, dari tingkat estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup
pada tahun 1990 menjadi 51 kematian per1000 kelahiran hidup pada tahun
2011 (WHO, 2012). World Health Organization (WHO) memperkirakan
insidensi ISPA di negara berkembang 0,29% kurang lebih 151 juta jiwa dan
negara industri 0,05% kurang lebih 5 juta jiwa (WHO, 2012).
Saftari dalam Syahrani, (2012) menyatakan ISPA merupakan
masalah kesehatan yang utama di Indonesia karena masih tingginya angka
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
2
kejadian ISPA terutama pada balita. Period prevalence ISPA dihitung
dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa
Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007,
Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.
Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25%)
mengalami peningkatan dari tahun 2007 (24%). Karakteristik penduduk
dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%).
Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil
indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah (Kemenkes RI, 2014).
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga 2010 Di Indonesia,
menunjukkan bahwa angka kesakitan ISPA untuk bayi umur kurang dari 1
tahun sebesar 42,4 % anak umur 1–4 tahun 40,6 %, sedangkan angka
kematian untuk bayi sebesar 21 % dan untuk umur 1–4 tahun sebesar 35
%.Sedangkan berdasarkan hasil survei Program Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (P2 ISPA) tahun 2010 menunjukkan
bahwa angka kematian pada Balita sebesar 3 per 1.000 Balita.
Penyakit ISPA juga merupakan masalah kesehatan utama di Jawa
Tengah. Angka tersebut mengalami penurunan pada tahun 2007 yaitu
menjadi 24,29% dan pada tahun 2008 juga mengalami penurunan menjadi
23,63%. Angka ini sangat jauh dari target Survey Penyakit Menular (SPM)
tahun 2010 sebesar 100% (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2008). Angka
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
3
kejadian ISPA di Jawa Tengah pada tahun 2007 mencapai 18,45% (Profil
Kesehatan Indonesia, 2007). Hasil Riset Dasar Kesehatan Nasional
(Kemenkes RI, 2014) diketahui setiap tahunnya 40-60% dari kunjungan di
Puskesmas merupakan penderita penyakit ISPA.
Angka kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh
tingginya frekuensi kejadian kekambuhan pada balita. Periode satu tahun
rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang 3 sampai 5 kali,
sedangkan di daerah perkotaan 6 sampai 8 kali. Penyebab tingginya
kekambuhan pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan
dengan Angka kejadian ISPA termasuk pneumonia yang masih tinggi pada
balita disebabkan oleh tingginya frekuensi kejadian pneumonia pada balita.
Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang 3
sampai 5 kali, sedangkan di daerah perkotaan 6 sampai 8 kali. Penyebab
tingginya kekambuhan pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang
berhubungan dengan ISPA. Berbagai faktor yang mempengaruhi mulai dari
faktor internal dan faktor eksternal yang menyebabkan kambuhnya ISPA
pada balita. Berbagai faktor yang mempengaruhi mulai dari faktor internal
dan faktor eksternal yang menyebabkan kambuhnya ISPA pada balita (Eva,
2009). Salah satu factor eksternalnya adalah pendidikan, dimana pendidikan
orang tua berpengaruh terhadap insidensi ISPA pada anak. Semakin rendah
pendidikan orang tua derajat ISPA yang diderita anak semakin berat.
Demikian sebaliknya, semakin tinggi pendidikan orang tua, derajat ISPA
yang diderita anak semakin ringan (Huriah, 2005). ISPA cenderung lebih
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
4
tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran per kapita
lebih rendah (Riskerdas, 2007).
Selain itu, faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan
penyakit ISPA pada bayi dan balita lebih efektif dilakukan oleh keluarga,
baik yang dilakukan oleh ibu atau keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
Peran keluarga sangat penting dalam menangani ISPA karena penyakit
ISPA termasuk dalam penyakit yang sering diderita sehari-hari di dalam
keluarga atau masyarakat. Penanganan ISPA tingkat keluarga
keseluruhannya dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu perawatan
oleh ibu balita, tindakan yang segera dan pengamatan tentang
perkembangan penyakit balita, dan pencarian pertolongan pada pelayanan
kesehatan (Kemenkes RI, 2011)
Kekambuhan ISPA ini dipengaruhi juga oleh rendahnya daya tahan
tubuh balita, adanya penyakit yang lain dan kondisi lingkungan yang tidak
sehat yang mempengaruhi munculnya penyakit ISPA kembali (WHO,
2008). Kondisi lingkungan yang tidak sehat ini dipengaruhi oleh sikap
seseorang dalam menjaga kesehatan lingkungan sekitar agar terhindar dari
berbagai macam penyakit..
Sikap terhadap sakit atau penyakit adalah bagaimana penilaian atau
pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, cara
penularan penyakit, dan cara pencegahan penyakit ISPA (Bimo dalam
Sunaryo, 2004).
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
5
Banjarnegara 1 didapatkan data bahwa jumlah kunjungan pasien ISPA
secara keseluruhan pada bulan Januari sampai September 2017 yaitu sebesar
2035 kasus atau 26,3% dari jumlah pasien.
Dari hasil wawancara dengan beberapa tenaga kesehatan di
puskesmas Banjarnegara 1 diperoleh data bahwa angka kejadian ISPA di
puskesmas Banjarnegara memang tergolong tinggi karena setiap bulannya
penyakit ISPA selalu masuk dalam 10 besar penyakit yang paling banyak di
puskemas. Wawancara juga di lakukan kepada orang tua yang memiliki
anak dengan Penyakit ISPA. Dari 6 pasien sebanyak 3 mengalami
kekambuhan lebih dari 1 kali. Dari 6 orang yang di wawancarai 4 orang
dengan pendidikan SD kurang memahami cara bersikap pada penanganan
ISPA, dan kurang paham penyebab ISPA yang terjadi pada anaknya,
sedangkan 2 orang lainnya dengan pendidikan SMP dan SMA, cukup
paham penyebab ISPA dan tata cara penangana ISPA.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian dengan judul "Hubungan Faktor Predisposing (Pendidikan,
Perilaku dan Sikap) dengan Kejadian Kekambuhan ISPA Pada Balita di
Puskesmas Banjarnegara 1.
B. Rumusan Masalah
Saat ini ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia. Berdasarkan
WHO (2007) ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
6
penyakit menular didunia. Hampir 4 juta orang meninggal akibat ISPA
setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia,
terutama di negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan
menengah. Salah satu Faktor penyebabnya adalah faktor ekstrinsik yang
meliputi kepadatan hunian, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, kelembaban,
letak dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok,
penghasilan keluarga serta faktor ibu baik pendidikan, sikap ibu, maupun
perilaku ibu.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan
faktor predisposing (pendidikan, perilaku dan sikap) dengan kejadian
kekambuhan ISPA pada Balita di Puskesmas Banjarnegara 1 ?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan faktor predisposing (pendidikan, perilaku
dan sikap) dengan kejadian kekambuhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Banjarnegara 1.
2. Tujuan Khusus
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
7
a. Mengidentifikasi karakteristik Balita di Puskesmas Banjarnegara 1
berdasarkan: umur balita, jenis kelamin, jenis pekerjaan ibu dan
tingkat pendidikan ibu.
b. Menganilisis hubungan tingkat pendidikan Ibu dengan kejadian
kekambuhan ISPA pada Balita di Puskesmas Banjarnegara 1.
c. Menganilisis hubungan perilaku dengan kejadian kekambuhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Banjarnegara 1.
d. Menganilisis hubungan sikap dengan kejadian kekambuhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Banjarnegara 1.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan terutama yang berkaitan dengan
topik penelitian, yaitu hubungan faktor predisposing (pendidikan,
perilaku dan sikap) dengan kejadian kekambuhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Banjarnegara 1.
2. Bagi Responden
Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi responden sebagai
informasi tentang pendidikan, perilaku dan sikap dengan kejadian
kekambuhan ISPA pada Balita di Puskesmas Banjarnegara 1.
3. Bagi instansi terkait
Sebagai bahan informasi yang dapat bermanfaat bagi dinas kesehatan
dan instansi terkait untuk memberikan perencanaan ataupun
implementasi yang baik dan tepat melalui program kesehatan dan
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
8
tumbuh kembang anak Balita.
4. Bagi ilmu pengetahuan
Sebagai tambahan pustaka dalam meningkatkan ilmu pengetahuan
khususnya terkait hubungan faktor predisposing (pendidikan, perilaku
dan sikap) dengan kejadian kekambuhan ISPA pada balita dan sebagai
acuan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti lebih lanjut
mengenai kejadian ISPA pada Balita.
5. Penelitian Terkait
a. Montasser et al (2012) meneliti tentang “Assessment and
Classification of Acute Respiratory Tract Infections among
Egyptian Rural Children”, penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari masalah ISPA (infeksi saluran pernafasan akut)
menurut pedoman IMCI (pengelolaan terpadu penyakit anak-anak)
dan menemukan hubungannya dengan faktor-faktor terkait yang
berbeda. Penelitian ini merupakan penelitian Studi cross sectional
diikuti dengan studi komparatif terhadap klasifikasi ISPA yang
berbeda. Tempat penelitian Rumah Sakit Terpadu Met-Mazah di
desa Met-Mazah, Dakahlia Governorate, Mesir. Penelitian
dilakukan terhadap seratus anak di bawah 5 tahun yang dipilih
dengan pengambilan sampel secara sistematis melalui periode 6
bulan. Sebagian besar kasus ISPA di bawah dua tahun. Pneumonia
berat atau penyakit yang sangat parah sedikit lebih tinggi di antara
anak laki-laki dan mereka memiliki riwayat kelahiran 6 dan lebih
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
9
dengan tidak ada perbedaan yang signifikan. Lebih dari setengah
(60%) dari mereka dengan ukuran keluarga ≥ 6 menderita
pneumonia berat atau penyakit yang sangat parah dengan perbedaan
statistik yang signifikan (p = 0,005). ISPA secara bermakna
berhubungan dengan usia anak, ukuran keluarga, dan riwayat
imunisasi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian diatas adalah peneliti
menilai dan mengklasifikasi infeksi saluran pernapasan akut
sedangkan peneliti menganalisis faktor predisposing (pendidikan,
perilaku dan sikap) dengan kejadian kekambuhan ISPA pada Balita
di Puskesmas Banjarnegara 1. Persamaan pada penelitian ini adalah
sama-sama menganalisi kejadian ispa pada balita.
b. Firdausia (2013) meneliti tentang “Hubungan Tingkat Pendidikan
Dan Pekerjaan Ibu Dengan Perilaku Pencegahan Ispa Pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Gang Sehat Pontianak”, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan
pekerjaan ibu dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita di
wilayah kerja puskesmas gang sehat pontianak. Penelitian ini
merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional.
Hasil didapatkan 28 responden sebagai sampel. Sebagian besar
responden memiliki perilaku pencegahan cukup (46,4%), sebanyak
42,9% responden memiliki perilaku pencegahan baik, dan 10,7%
berperilaku pencegahan kurang. hasil analisis melalui uji
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
10
kolmogorov-smirnov menunjukkan terdapat hubungan antara
tingkat pendidikan dengan perilaku pencegahan ispa pada balita
(p=0,001), dan terdapat hubungan antara pekerjaan dengan perilaku
pencegahan ispa pada zalita (p=0,013). Ibu dengan pendidikan lebih
tinggi memiliki perilaku pencegahan lebih baik, begitu juga ibu yang
tidak bekerja.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian diatas adalah penelitian
di atas menggunakan desain analitik sedangkan peneliti
menggunakan desain case control. Persamaan pada penelitian ini
adalah sama-sama meneliti tentang kejadian ISPA.
c. Yudav et al (2013) meneliti tentang “Risk Factors for Acute
Respiratory Infections in Hospitalized Under Five Children in
Central Nepal”. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif
berbasis rumah sakit. Hasil Sebanyak 200 kasus dan 200 kontrol
didaftarkan. Berbagai risiko Faktor yang terkait dengan ISPA secara
bertahap adalah logistik regresi adalah jenis kelamin laki-laki,
tempat tinggal pedesaan, kepadatan penduduk, sejarah ISPA di
keluarga manapun anggota dalam dua minggu dan kekurangan gizi.
Itu Faktor risiko yang tidak signifikan secara statistik adalah masa
bayi, status ekonomi, orang tua buta huruf, bahan bakar masak selain
LPG, berat lahir rendah, prematuritas, kurang pemberian ASI
eksklusif, kekurangan vitamin A dan imunisasi yang tidak lengkap.
Perbedaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan adalah
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
11
peneliti ini menganalisis faktor risiko untuk infeksi pernapasan akut
di rumah sakit di bawah lima tahun di Nepal tengah sedangkan
peneliti menganalisis faktor predisposing (pendidikan, perilaku dan
sikap) dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas
Banjarnegara 1. Persamaan pada penelitian ini adalah sama
menganalisis kejadian ispa pada balita.
d. Syamsi (2016) meneliti tentang “Hubungan Tingkat Pendidikan
Dan Pengetahuan Ibu Balita Tentang Dengan Kejadian Ispa Pada
Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Bontosikuyu Kabupaten
Kepulauan Selayar”, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu balita dengan
kejadian Ispa pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bontosikuyu
Kabupaten Kepulauan Selayar. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif menggunakan metode cross sectional. Hasil analisa
bivariat didapatkan uji Chi-square test. Pada variabel ini adalah ρ =
0.06, sehingga menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA. Pada Balita diwilayah
kerja Puskesmas Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar. Hasil
uji Chi- square test pada variable ini adalah ρ = 0.004. Perbedaan
penelitian ini dengan yang peneliti lakukan adalah penelitian di atas
menggunakan desain deskriptifsedangkan peneliti menggunakan
desain case control. Persamaan pada penelitian ini adalah
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
12
menggunakan variabeltingkat pendidikan ibu dan sama
menggunakan variabel terikat kejadian ispa pada balita.
Hubungan Faktor Predisposing..., MEVIANA RIZKI AMALIA, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018