bab i pendahuluan a. latar...

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dahulu kala masyarakat sudah mengenal pentingnya pemenuhan akan kebutuhan pertukaran dan pengiriman informasi serta barang dan/atau dokumen. Pada zaman dahulu, orang menggunakan burung merpati sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan komunikasi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pertukaran barang dari satu tempat ke tempat lainnya, masyarakat jaman dahulu menggunakan jalur laut seperti kapal ataupun jalur darat seperti berjalan kaki atau menggunakan kereta. Seiring dengan perkembangannya, pemenuhan pertukaran informasi kemudian dilakukan melalui pos, email, fax dan layanan SMS (Short MessageService) oleh beberapa jaringan mobile phone. Alatdan mode transportasi yang canggih seperti telepon dan pesawat yang kini terus berkembang dari hari ke hari, ternyata tidak serta merta menghapus peran pos sebagai media pengangkut/pengiriman barang dan/atau dokumen. Dalam dunia perposan di tanah air, nama besar PT. Pos Indonesia (Persero) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. PT. Pos Indonesia (Persero) merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang bergerak dibidang layanan pos. Adapun layanan yang diberikan oleh PT. Pos Indonesia (Persero) dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos dirumuskan bahwa pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau

Upload: truongphuc

Post on 23-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dahulu kala masyarakat sudah mengenal pentingnya pemenuhan

akan kebutuhan pertukaran dan pengiriman informasi serta barang dan/atau

dokumen. Pada zaman dahulu, orang menggunakan burung merpati sebagai sarana

untuk memenuhi kebutuhan komunikasi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan

pertukaran barang dari satu tempat ke tempat lainnya, masyarakat jaman dahulu

menggunakan jalur laut seperti kapal ataupun jalur darat seperti berjalan kaki atau

menggunakan kereta. Seiring dengan perkembangannya, pemenuhan pertukaran

informasi kemudian dilakukan melalui pos, email, fax dan layanan SMS (Short

MessageService) oleh beberapa jaringan mobile phone. Alatdan mode transportasi

yang canggih seperti telepon dan pesawat yang kini terus berkembang dari hari ke

hari, ternyata tidak serta merta menghapus peran pos sebagai media

pengangkut/pengiriman barang dan/atau dokumen.

Dalam dunia perposan di tanah air, nama besar PT. Pos Indonesia

(Persero) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. PT. Pos Indonesia

(Persero) merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang

bergerak dibidang layanan pos. Adapun layanan yang diberikan oleh PT. Pos

Indonesia (Persero) dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009

tentang Pos dirumuskan bahwa pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau

surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan

layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, dijelaskan

bahwa pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan

paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagean pos

untuk kepentingan umum (Pasal 1 Ayat 1). Mengutip dari Pasal 1 Ayat (1)

penyelenggaraan pos merupakan perwujudan pos dari fungsi pengangkutam, yaitu

memindahkan barag atau orang dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan

maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai antar bangsa. Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa dibentuknya PT Pos Indonesia (Persero) diarahkan

untuk menunjang kebutuhan kepentingan umum dengan mempererat kerja sama

dalam hubungan antar bangsa.1

Salah satu layanan dari PT. Pos Indonesia (Persero) yang bergerak dalam

bidang pengiriman barang dan dokumen adalah Pos Express. Pos Express hadir

sebagai layanan premium dari PT. Pos Indonesia untuk mempercepat layanan

bisnis komunikasi dalam bentuk dokumen surat-surat maupun barang seberat tiga

puluh kilogram. Layanan ini berbeda dengan layanan dari Pos Indonesia yang lain

karena menggunakan resi khusus, memilik jejak lacak, menggunakan kemasan

khusus, dan memiliki jaringan garansi atau asuransi atas nilai barang sehingga

dapat dijamin bahwa barang yang dikirim akan sampai ke tujuan tepat waktu.

1Kurnia Sarta Sitanggang, ”Pelaksanaan Asuransi Terhadap Konsumen Pengguna

Barang Dan Jasa Pos Dalam Pengiriman Surat Dan Paket Pos Domestik Oleh PT. Pos

Indonesia (Persero) Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta” (Skripsi Sarjana, Fak. Hukum Univ.

Gajah Mada, Yogyakarta, 2014), hlm. 3

Pos Express diposisikan sebagai salah satu layanan yang memiliki kualitas

produk dan tarif bersaing dalam industri layanan perposan serta memiliki sifat dan

jenis layanan dengan pelayanan khusus/special treatment. Dengan mengusung

slogan yang diunggulkan, „kiriman Anda sehari sampai, PASTI!‟. Produk ini yang

kini menjadi produk andalan dari PT. Pos Indonesia (Persero).2

Dari berbagai tantangan yang dihadapi, PT. Pos Indonesia (Persero)

memiliki sisi lain yang dapat menjadi sebuah keunggulan jika dibandingkan

dengan pesaingnya seperti TIKI, JNE, JNT, PAHALA Express yaitu adalah dari

segi wilayah jangkauan layanannya, segi keberadaan lokasinya, dan

keterjangkauan harga pengirimannya. Dilihat dari segi wilayah jangkauan

layanannya, maka wilayah jangkauan layanan PT. Pos Indonesia (Persero) yang

sangat luas bahkan sampai ke daerah-daerah yang terpencil (pelosok di wilayah

Indonesia).

Hal inilah yang membedakan antara PT. Pos Indonesia (Persero)

dibandingkan dengan para pesaingnya (pihak swasta). Kini PT. Pos Indonesia

(Persero) telah mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam pengembangan bidang

perposan di Indonesia dengan memanfaatkan insfrastruktur jejaring yang

dimilikinya. Yang saat ini telah mencapai hingga sekitar 24.000 titik layanan yang

menjangkau 100 persen kota/kabupaten, hampir 100 persen kecamatan dan 42

persen kelurahan/desa, dan 940 lokasi transmigrasi terpencil,sehingga terdapat

jumlah total 4.006 unit Kantor Pos yang ditambah dengan adanya 1.811 mobil pos

2 Lihat Anonim, “Pos Express” dalam http://www.posindonesia.co.id/index.php/pos-

express/, diakses pada tgl. 07 Juni 2017

yang sudah dilengkapi dengan teknologi secara onliine sehingga satu sama

lainnya terhubung secara real time.3

Dari beberapa keunggulan tersebut, seharusnya membuat PT. Pos

Indonesia (Persero) mampu mempertahankan kepercayaan yang diberikan

konsumen. Apabila pelaku usaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar

dengan jumlah konsumen yang besar pula, maka mau tidak mau pelaku usaha

harus mampu memberikan pelayanan dan perlindungan yang baik yang sesuai

dengan mutu standar yakni baik, aman, nyaman, dan tentunya dapat terjangkau

oleh daya beli seluruh lapisan masyarakat. Adanya sebuah kewajiban untuk

memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan mutu standar yang telah

ditetapkan merupakan salah satu upaya untuk melindungi konsumennya.

Kewajiban pemberian perlindungan terhadap konsumennya, telah disebutkan

dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Namun, kita sering

mendapat kesan atau pengalaman negatif bahwa mengirim surat dengan pos itu

“tidak terjamin”, dalam arti “bisa diterima bisa pula tidak”. Apalagi jika kita

mengirim atau menerima barang atau paket.”4

Resiko diatas tidak saja disebabkan dari pihak pos sendiri melainkan juga

dari pihak konsumen. Dengan adanya isi perjanjian, PT. Pos Indonesia (Persero)

menggunakan ketentuan/syarat pengiriman Pos Express yang tertuang dalam point

yang terdapat pada resi/tanda bukti pengiriman (consigment note), yang sudah

mendapat kata sepakat/persetujuan dari para pihak (PT Pos dan konsumen), maka

3

Lihat Anonim, “Berita Tentang Pos” dalam

http://www.postel.go.id/berita_tentang_pos, diakses pada tgl. 07 Juni 2017 4Lihat KK Raharjo. “Pak Pos Yang Jujur”, dalam Kompas, 06 Desember 2017, hlm. 7

timbullah perikatan bagi keduanya yaitu adanya hak dan kewajiban masing-

masing pihak.

Dalam perjanjian yang terjadi antara pengirim dengan PT. Pos Indonesia

(Persero) tidak selamanya sesuai dengan yang dikehendaki oleh para pihak. Sering

terjadi bahwa salah satu pihak merasa dirugikan dalam perjanjian itu. Demikian

halnya dengan perjanjian antara pengirim dengan PT. Pos Indonesia (Persero),

dimana PT. Pos Indonesia (Persero) tidak melaksanakan atau memenuhi

kewajibannya dalam perjanjian sehingga terjadi wanprestasi. Ada beberapa

macam wanprestasi yaitu:5

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Bentuk-bentuk wanprestasi antara lain adalah surat dan paket pos

terlambat, rusak, atau hilang.6

Adapun data dari Manager Akuntansi untuk jumlah konsumen pengguna

jasa Pos Express di Kantor Pos Malang pada bulan Oktober 2017 sebanyak 3427

transaksi, dengan kiriman berupa dokumen maupun barang.7 Sedangkan dan data

dari pihak customer service/custumer care untuk ketidaksesuaian layanan Pos

Express mengalami 4 kompain disepanjang bulan Oktober, diantaranya

keterlambatan kiriman sebanyak 3, kerusakan kiriman sebanyak 1, dan kehilangan

5R. Setiawan , Pokok-Pokok Hukum Perjanjian (Jakarta, 1999), hlm. 18

6Deni Eka Putra, ”Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Pengiriman Surat

dan Barang pada PT. Pos Indonesia (Persero) Cabang Padang” (Skripsi Sarjana, Fak. Hukum

Univ. Andalas, Padang, 2011), hlm. 5 7Geolika Marita, Wawancara, Kantor Pos, Malang, 09 Desember 2017

sebanyak 0. Keterlambatan kiriman semata-mata bukan saja kesalahan dari pihak

pos, melainkan juga kesalahan dari pihak pengirim maupun penerima. Semisal

alamat kurang lengkap/tidak jelas, tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi,

atau kediaman si penerima kosong/tutup. Komplain-komplain tersebut

dilayangkan langsung kepada customer care maupun laporan melalui telepon

kepada petugas loket/kepala kantor.8

Tentunya keadaan yang demikian sangat merugikan kepentingan

konsumen yang selalu berada diposisi yang lemah apabila dibandingkan dengan

pelaku usaha yang cenderung dominan. Perlindungan atas kepentingan konsumen

diperlukan, mengingat bahwa dalam kenyataannya pada umumnya konsumen

selalu berada di pihak yang dirugikan.9

Kebanyakan pihak yang dirugikan

cenderung memilih untuk diam daripada berusaha untuk memperjuangkan hak-

haknya atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan. Keberadaan konsumen

yang demikian haruslah mendapatkan perlindungan yang lebih baik karena

sesungguhnya pengabaian terhadap perlindungan konsumen dengan sendirinya

adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) baik dalam tatanan

masyarakat secara individu maupun keseluruhan.10

Oleh karena itu, PT. Pos Indonesia (Persero) harus senantiasa selalu

memberikan perlindungannya kepada konsumen agar hak-hak konsumen dapat

terlindungi. Hal ini karena apabila praktek monopoli disertai dengan tidak adanya

8Dini Hasan, Wawancara, Kantor Pos, Malang, 09 Desember 2017

9Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Medan, 2006), hlm. 4

10Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya

(Bandung, 2003), hlm. 13

perlindungan konsumen, maka telah meletakkan posisi konsumen dalam tingkat

yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha.11

Karena semakin hari permasalahan semakin bertambah dan beraneka

ragam. Sehingga peraturan dianggap perlu sebagai dasar untuk melakukan suatu

tindakan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan

permasalahan yang ada. Salah satu fungsi hukum yaitu memberikan perlindungan

kepada masyarakat.12

Menyadariakan hal ini dan pentingnya profesionalitas perusahaan yang

bergerak dalam bidang jasa dalam menindaklanjuti/mengatasi komplain

konsumen yang masuk, penulis tertarik untuk memilih topik pertanggungjawaban

Pos Express terhadap ketidaksesuaian layanan Pos Express. Topik inilah yang

kemudian melatarbelakangi penulis untuk menulis penelitian dengan judul

“Pertanggungjawaban PT. Pos Indonesia (Persero) terhadap ketidaksesuaian

layanan Pos Express ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban PT. Pos Indonesia (Persero) terhadap

ketidaksesuaian layanan Pos Express?

11

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta, 2003),

hlm. 1 12

Celina Tri Siwi Kristanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2011), hlm. 13

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa

Pos Express dilihat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui upaya yang diambil PT. Pos Indonesia (Persero)

dalam mempertanggungjawabkan ketidaksesuaian layanan Pos

Express.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna

jasa Pos Express.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat pada umumnya, baik pengguna jasa Pos Express maupun

masyarakat bukan pengguna jasa Pos Express. Diharapkan masyarakat

lebih mengerti hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa.

2. Bagi Pemerintah

Sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan dan peraturan

terhadap perlindungan hukum bagi konsumen dan pelaku usaha, sehingga

ada perlindungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha.

3. Bagi Universitas

Penelitian hukum ini diharapkan sebagai dasar pengembangan penulisan

hukum dan bahan masukan untuk mengembangkan hukum perlindungan

konsumen.

E. Tinjauan pustaka

1. Definisi Pertanggungjawaban

Di dalam sebuah Kamus Hukum, Hamzah menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan tanggung jawab adalah “suatu keharusan bagi seseorang

untuk melaksanakan dengan selayak-layaknya apa yang diwajibkan

kepadanya”.13

Menurut Bahri, yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah “suatu

kewajiban dari seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan

kepadanya atau yang pernah dijanjikannya maupun yang telah

disanggupinya.14

Di dalam bukunya, Shidarta mengatakan bahwa prinsip tanggung

jawab sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku

usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku

usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawab. Jika ada

pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.15

Ada 2 (dua) prinsip penting mengenai tanggungjawab yang termuat

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang diakomodasi, prinsip yang pertama yaitu tanggung jawab

produk dan prinsip yang kedua adalah tanggung jawab profesional.Tanggung

jawab produk atau product liability sendiri mengacu pada tanggung jawab

yang dilakukan oleh produsen. Jadi, apabila ada konsumen yang merasa

13 Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta, 1986), hlm. 98

14 Bahri, Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik (Bandung, 1993), hlm. 325

15Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 1999), hlm. 50

dirugikan oleh produsen, maka konsumen tersebut berhak menuntut ganti rugi

kepada produsen16

, sedangkan produsen mempunyai tanggung jawab untuk

menggantikan ganti rugi kepada konsumen. Tanggungjawab professional

mengacu pada tanggung jawab yang berhubungan dengan jasa professional

yang diberikan pada klien.

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat

penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus

pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis

siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa tanggung jawab dapat

dibebankan kepada pihak-pihak terkait.17

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dikemukakan sebagai berikut:

a. Prinsip tanggung jawab karena kesalahan (liability based on fault).

Prinsip ini sudah cukup lama berlaku, baik dalam hukum pidana

maupun hukum perdata. Dalam sistem hukum perdata kita

misalnya, ada prinsip perbuatan melawan hukum (onrechtmatige

daad) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata. Tanggung jawab seperti ini kemudian

diperluas dengan vicarious liability, yakni tanggung jawab

majikan, pimpinan perusahaah terhadap pegawainya atau orang tua

terhadap anaknya, sebagimana diatur dalam pasal 1367 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata.

16

Ibid., hlm. 65 17

Ibid., hlm. 72

b. Prinsip praduga bertanggung jawab (presumption of liability

principle). Seseorang atau tergugat dianggap bertanggung jawab

sampai ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Dengan demikian beban pembuktian ada padanya. Asas ini lazim

pula disebut sebagai pembuktian ada padanya. Asas ini lazim pula

disebut sebagi pembuktian terbalik (omkering van bewijslast).

Undang-undang Perlindungan Konsumen menganut teori ini

berdasarkan Pasal 19 ayat 5. Ketentuan ini menyatakan bahwa

pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab kerusakan jika dapat

dibuktikan bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan konsumen.

c. Prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of

Nonliability Principle). Prinsip ini menggariskan bahwa tergugat

tidak selamanya bertanggung jawab. Apabila melihat Pasal 24 ayat

2 Undang-undang Perlindungan Konsumen, penjual yang menjual

lagi produknya kepada penjual lainnya dibebaskan dari tanggung

jawab jika penjual lainnya tersebut melakukan perubahan atas

produk tersebut.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability). Prinsip ini

merupakan kebalikan dari prinsip pertama. Dengan prinsip ini

tergugat harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita

konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada

dirinya. Jika melihat rumusan pasal yang relevan dengan

pengaturan pertanggungjawaban pelaku usaha, tidak terlihat adanya

rumusan yang secara expressis verbis menyatakan Undang-undang

Perlindungan Konsumen menganut prinsip strict liability.

e. Prinsip tanggung jawab terbatas (limitation of liability). Prinsip ini

menguntungkan para pelaku usaha karena mencantumkan klausul

eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini

dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat 1 huruf a dan g Undang-undang

Perlindungan Konsumen.18

Sanksi pidana terhadap pelaku usaha terdapat pada Pasal 61 – 63

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada

Pasal 62 ayat (2) memiliki ancaman pidana paling lama 5 (lima) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00.

Namun perlu diingat jika pemberlakuan sanksi pidana merupakan

jalan yang paling akhir jika penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak

tercapai. Para pihak (baik konsumen dan pelaku usaha) hendaknya

menyelesaikan sengketanya melalui jalur di luar pengadilan terlebih dahulu

baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga

Pengaduan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) maupun cara-cara di

luar pengadilan lainnya.

2. Perseroan Terbatas (PT)

Perseroan Terbatas atau PT adalah badan hukum yang didirikan

berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar

18

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen(Jakarta, 2005),hlm. 155

yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang

ditetapkan dalam undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya. 19

Karakteristik utama dari Perseroan Terbatas adalah merupakan badan

hukum (yuridical entity).20

Sebagai badan hukum Perseroan Terbatas adalah

pengemban hak dan kewajiban. Sebagai pengemban hak dan kewajiban

Perseroan Terbatas dapat menjadi pemilik suatu kebendaan, dapat melakukan

penuntutan atau tindakan hukum lainnya, dapat memikul kewajiban seperti

membayar utang, menyelesaikan pekerjaan berdasarkan kontrak. 21

3. Definisi Pos

Definisi pos menurut Pasal 1 Undang-Uundang Nomor 38 Tahun

2009 tentang Pos,bahwa pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau

surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan,

dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.

Pos Indonesia adalah penyedia jasa pos yang berbasis informasi dan

bernilai tinggi bagi masyarakat diseluruh nusantara serta dapat berkompetisi

dalam industri pos global. Objek yang dipertukarkan melalui media/jasa

layanan pos berupa "informasi" tidak hanya berwujud fisik, tetapi cenderung

berwujud virtual yang didalamnya waktu dan ruang merupakan komoditi

yang bernilai tinggi bagi konsumen. Oleh karena itu, dalam era bisnis pos

yang berbasis informasi, pemanfaatan teknologi informasi semakin hari

semakin menjadi salah satu faktor kunci yang memegang peran penting

19

Lihat Lampiran Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 20

Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,

Koperasi, Yayasan dan Wakaf (Bandung, 1999), hlm. 2954 21

Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Dagang Indonesia (Malang, 2012), hlm. 220

dalam menentukan dan mewujudkan visi perusahaan pemberian jasa berbasis

informasi memungkinkan perusahaan dapat mengembangkan data pos

sebagai bentuk layanan yang dapat memberikan nilai tambah bagi pelanggan

serta menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan.

4. Pos Express

Pos Express merupakan layanan milik PT. Pos Indonesia (Persero)

untuk pengiriman cepat dan aman dengan jangkauan luas ke seluruh wilayah

Indonesia. Menjadi pilihan tepat dan terpecaya untuk mengirim dokumen,

surat, paket serta barang dagangan online.22

Layanan ini berbeda dengan layanan pos yanglain karena

menggunakan resi khusus, memilik jejak lacak, menggunakan

kemasankhusus, dan memiliki jaringan garansi atau asuransi atas nilai barang.

Produk Pos Express dirancang mempunyai fitur sebagai berikut:

a. Menggunakan resi khusus.

b. Trackdan trace.

c. Packaging.

d. Money back guaranted.

Pos Express diposisikan sebagai layanan yang memiliki kualitas

produk dan tarif bersaing dalam industri layanan pos serta memiliki sifat

dan jenis layanan dengan special treatment.

22

Lihat Anonim, “Pos Express” dalam http://www.posindonesia.co.id/index.php/pos-

express/, diakses pada tgl. 07 Juni 2017

5. Definisi Konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-

Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer

atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah

arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang

menggunakan barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi

arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi

Eropa (MEE), kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya

berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat, kata ini dapat diartikan lebih

luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban

tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang

bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan

oleh korban yang bukan pemakai.23

Menurut Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos,

konsumen yang dimaksud adalah pengguna layanan pos. Pengguna layanan

pos adalah setiap orang yang menggunakan layanan pos dari PT. Pos

Indonesia (Persero).

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dalam Pasal 1 angka 2, mendefinisikan konsumen yakni “setiap

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat ,baik

23

Cellina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2008), hlm. 23-

24

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end

user/pengguna akhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barang

dan/atau jasa tersebut. Pengertian konsumen dalam arti umum adalah

pemakai pengguna dan atau pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan

tertentu.24

6. Perlindungan Konsumen

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perlindungan berasal dari kata

lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan

membentengi.25

Berdasar perintah yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD NKRI

1945 alinea ke 4 (empat), negara mempunyai kewajiban untuk melindungi

segenap warga negaranya dari segala macam bahaya yang mengancam, baik

fisik maupun kejiwaan, perasaan takut, serta bahayanya yang mengancam

harta bendanya, serta dengan tidak memandang apakah bahaya tersebut

berasal dari dalam maupun luar negeri. Dalam konteks ini negara mempunyai

kewajiban melindungi warga negaranya dalam kapasitas sebagai konsumen

barang dan jasa, sehingga konsumen dapat terlindungi dari bahaya yang dapat

mengancam jiwanya, kesehatan, maupun kerugian terhaddap harta

bendanya.26

24

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung, 2008), hlm. 38 25

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2008), hlm. 864 26

Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan Yang

Menyesatkan(Bogor, 2010), hlm. 8

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen,

yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen”.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen tersebut cukup memadai.

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum” diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-

wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan

perlindungan konsumen.27

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang

diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku

usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak

konsumen.28

Adanya asas kepastian hukum juga dimaksud agar baik pelaku usaha

maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian

hukum.29

7. Definisi Pelayanan Publik

Pengertian pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publikadalah kegiatan atau rangkaian kegiatan

dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan

27

Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2010),

hlm. 2 28

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan (Jakarta, 2008), hlm. 4-5 29

Burhanuddin Susamto, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen Dan Serifikat

Halal (Malang, 2011), hlm. 3-4

perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,

jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

No.63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan

pelayanan publik. Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dapat dikatakan bahwa pelayanan publik merupakan

suatu bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa

publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh

instansi pemerintah.

Penyelenggara pelayanan publik dilaksanakan oleh Instansi

Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).30

Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah

memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas

pelayanan publik yang profesional, dalam KEPMENPAN

No.63/Kep/M.PAN/7/2003 azas-azas pelayanan publik tercermin dari:31

30

Lihat Anonim, “Pelayanan Publik” dalam

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik, diakses tgl. 27 November 2017 31

Dwi Richa Farokha, ”Kualitas Pelayanan Pengiriman Pos Express Di PT. Pos

Indonesia Cabang Baratajaya Surabaya” (Skripsi Sarjana, Fak. Hukum Univ. Tujuhbelas

Agustus, Surabaya, 2015), hlm. 60

a. Transparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang

membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang undangan.

c. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan

dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

d. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan

publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan

masyarakat.

e. Keamanan hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, agama, ras,

golongan, gender dan status ekonomi.

f. Keseimbangan hak dan kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan

kewajiban masing- masing pihak.

Dalam proses kegiatan pelayanan diatur juga mengenai prinsip

pelayanan sebagai pegangan dalam mendukung jalannya kegiatan. Adapun

prinsip pelayanan publik menurut KEPMENPAN No.63/Kep/M.PAN/7/2003

antara lain:

a. Kesederhanaan

Prosedur pelayanan public tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan

mudah dilaksanakan.

b. Kejelasan

1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik.

2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam

memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/ sengketa

dalam pelaksanaan pelayanan publik.

3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaiakan dalam kurun waktu

yang telah ditentukan

d. Akurasi

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.

e. Keamanan

Proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan kepastian

hukum.

f. Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan public atau pejabat yang ditunjuk

bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian

keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

g. Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan

pendukunglainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi

telekomunikasi dan informatika (telematika).

h. Kemudahan akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah

dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi

telekomunikasi dan informatika.

i. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan

Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta

memberikan pelayanan dengan ikhlas.

j. Kenyamanan

Lingkunagan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang

nyaman, bersih,rapi, lingkungan yang indah dan sehat srta dilengkapi

fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan

lain-lain.

8. Perjanjian Baku (standard contract)

Yang mendasari berlakunya perjanjian baku adalah asas-asas hukum

perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan

syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian

yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya

dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk

merundingkan atau meminta perubahan. Menurut Hondius dalam Purwahid

Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-

syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih

akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih

dahulu isinya. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap

dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.32

Sedangkan Az Nasution memaparkan bahwa perjanjian dengan

klausula baku merupakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu

yang cenderung lebih “menguntungkan” bagi pihak yang mempersiapkan

atau merumuskannya. Az Nasution berpendapat apabila dalam keadaan

normal pelaksanaan perjanjian diperkirakan akan terjadi sesuatu masalah,

maka dipersiapkan sesuatu untuk penyelesaiannya dalam perjanjian

tersebut.33

32

Lihat Anonim, “Asas Kebebasan Berkontrak” dalam

https://legalbanking.wordpress.com/asas-kebebasan-berkontrak-dalamstandard-kontrak-perjanjian-

baku-dalam-bidang-bisnis-dan-perdagangan/, diakses pada tgl. 09 Desember 2017 33

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2002), hlm . 94

Perjanjian standar adalah perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh

salah satu pihak dan di dalam perjanjian tersebut sudah tercetak dalam bentuk

formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika

perjanjian tersebut ditandatangai umumnya para pihak hanya mengisikan

data-data informative saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-

klausulanya, dimana pihak lain dalam perjanjian tersebut mempunyai

kesempatan atau hanya memiliki kesempatan guna menegosiasi maupun

mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut.

Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan perjanjian baku

tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya

pada posisi “take it or leave it”.

Dalam suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya

perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang

halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut,

maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para

pihak yang membuatnya.34

Pada dasarnya, perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan

sejak detik tercapainya kata sepakat.Berlakunya asas konsensualisme menurut

hukum perjanjian Indonesia, memantapkan adanya kebebasan berkontrak.

Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka

perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.

34

Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak (Yogyakarta, 2012), hlm. 26

9. Teori Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum menurut Dictionary of Law

CompleteEditionadalah sanksi hukum; pelakasanaan kontra prestasi yang

mengakibatkankerugian bagi pelanggar ketentuan perundangan yang ada dan

diputus padatingkat pengadilan baik berupa denda maupun pembekuan

kegiatan yangberkaitan dengan aktivitas industri.35

Tugas penegakan hukum bukan semata-mata berarti

pelaksanaanperundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di

Indonesiakecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law

enforcement begitu populer.36

Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif

dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu,

memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in

concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil

dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum

formal.37

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan

hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 38

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

35

M. Marwan dan Jimmy, Dictionary of Law Complete Edition(Surabaya,2009), hlm.

399 36

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta,

2013), hlm. 7 37

Dellyana, Konsep Penegakan Hukum (Yogyakarta, 1998), hlm. 32 38

Ibid., hlm. 33

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan

menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, karena hendak mengkaji

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kantor Pos Malang yang berada di Jalan

Merdeka Selatan Nomor 5 Kota Malang.

Peneliti hendak mengkaji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009

tentang Pos dalam hal pertanggungjawaban PT. Pos Indonesia (Persero)

terhadap ketidaksesuain layanan Pos Express, oleh sebab itu alasan penting

yang menjadi pertimbangan mendasar penulis dalam pemilihan lokasi

penelitian ini karena semua kegiatan Pos Express dilaksanakan, termasuk

didalamnya adalah proses pengolahan data transaksi, pengiriman dokumen,

komplain konsumen hingga tata cara penanganannya,dan sebagainya.

Disamping itu, alasan pragmatis juga menjadi pertimbangan penulis

dalam penelitian ini, pertimbangannya adalah unsur keterjangkauan lokasi

penelitian ini oleh peneliti, baik dilihat dari segi tenaga maupun dari segi

efisisensi waktu.Pelaksanaan penelitian di lokasi yang dipilih tidak

menimbulkan masalah dalam kaitannya dengan kemampuan tenaga peneliti.

Satu hal yang sangat membantu dalam melakukan penelitian di lokasi pilihan

ini adalah masalah dana. Peneliti tidak dituntut biaya dalam melakukan

penelitiannya. Pemilihan lokasi penelitian ini juga dapat memberikan efisiensi

waktu, karena tepatnya yang sangat strategis dan mudah dijangkau.

3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan permasalahan

dan tujuan penelitian, dibagi ke dalam 2 (dua) jenis data yaitu:

a. Data primer

Menurut Soemitro, data primer yaitu data yang diperoleh secara

langsung dari masyarakat39

. Sedangkan menurut Moeleong, sumber data

primer adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau

diwawancarai.

Sumber data primer dalam penelitian ini berupa informasi langsung

dari pihak-pihakKantor Pos Malang, selain itu data diperoleh dari

responden yakni konsumen pengguna jasa Pos Express di Kantor Pos

Malang dan Kantor Pos Lawang. Sumber primer dalam penelitian ini

adalah:

1) Responden

Responden adalah orang yang memberikan informasi, dan

merupakan sumber data utama dalam suatu penelitian. Responden

dalam penelitian ini adalah konsumen pengguna jasa Pos Express di

Kantor Pos Malang yang melakukan komplain mengenai kiriman

dokumen/barangnya yang mengalami keterlambatan, kerusakan

maupun kehilangan.

39

Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta, 1990), hlm. 52

2) Informan

Informan adalah orang yang memberikan segala informasi yang

dibutuhkan tentang situasi dan latar belakang penelitian. Informan

dalam penelitian ini adalah Kepala Kantor Pos Malang, manager

akuntansi,customer service, dan petugas loket.

b. Data sekunder.

Menurut Lofland selain kata-kata atau tindakan sebagai sumber data

utama, data tambahan seperti dokumen dan lain-lain merupakan sumber

data yang dapat dilihat dari segi sumber data. Dalam penelitian ini juga

diperlukan data sekunder yang berfungsi sebagai pelengkap/ pendukung

data primer.

Bahan-bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat di bagi

atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber tertulis, sumber dari arsip-

arsip, dokumen-dokumen pribadi, dan dokumen resmi.40

Adapun data sekunder yang membahas mengenai perlindungan hukum

terhadap pengguna jasa pos adalah:

1) UUD NKRI 1945.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan Peraturan Pemerintah lainnya.

3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos dan Peraturan

Pemerintah lainnya.

40

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, 2002), hlm. 113

4. Teknik Pengumpulan Data

Suatu penelitian membutuhkan sarana untuk menamukan dan

mengetahui lebih mendalam mengenai gejala-gejala tertentu yang terjadi di

masyarakat. Dengan demikian kebenaran penelitian tersebut dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebagai tindak lanjut dalam

memperoleh data-data sebagaimana yang diharapkan, maka penulis

melakukan teknik pengambilan data yang berupa:

a. Penelitian lapangan (field research)

Pada bagian ini penulis mengadakan pengumpulan data dengan cara

berinteraksi langsung dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini

melakukan teknik interview (wawancara) yakni penulis melakukan

tanya jawab secara langsung kepada Kepala Kantor Pos Malang,

manager akuntasnsi, bagian customer service dan petugas loketguna

memperoleh data yang akurat.

b. Penelitian pustaka (library research)

Dalam penelitian ini penulis memperoleh data melalui jalan

membaca buku, majalah, koran, jurnal ilmiah dan literature lainnya

yang mempunyai keterkaitan dengan materi pembahasan.

5. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan

suatu analisis data. Analisis data adalah proses menganalisis dan

mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga

dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti

disarankan oleh data.41

Analisis data dapat dilakukan dengan cara induktif, artinya dimulai

dari lapangan atau fakta empiris dengan terjun ke lapangan mempelajari,

menganalisis, menafsir dan akhirnya menarik kesimpulan dari fenomena yang

dijumpai di lapangan.Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah

metode deskriptif kualitatif.Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan

bersamaan dengan proses pengumpulan data.

Berikut adalah langkah-langkah dalam melakukan analisis data adalah

sebagai berikut:

a. Reduksi data

Reduksi data adalah proses pencarian, pemilihan, pemfokusan dan

penyederhanaan data yang relevan dengan masalah yang

diteliti.Data yang dihasilkan dari wawancara dan dokumentasi

merupakan data yang masih kompleks. Untuk itu data yang

dihasilkan dari wawancara, dokumentasi dikumpulkan dan

disederhanakan sesuai dengan jenis dan sifatnya masing-masing

kemudian dicari maknanya yang mendasar. Oleh karena itu peneliti

melakukan pemilihan data yang dapat menjawab permasalahan

mengenai perlindungan hukum bagi konsumen PT. Pos Indonesia

(Persero) atas ketidaksesuaian layanan Pos Express.

41

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, 2002), hlm. 104

b. Unitisasi dan kategorisasi

Data yang telah disederhanakan dan dipilih kemudian disusun

secara sistematis ke dalam suatu unit dengan sifatnya masing-

masing dengan menonjolkan hal-hal yang bersifat pokok dan

penting. Unit-unit yang terkumpul dipilih-pilih kemudian

dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ada sehingga dapat

memberikan gambaran yang jelas dari hasil penelitian.

c. Display data

Display data dilakukan dengan melihat gambaran keseluruhan data

yang diperoleh selama penelitian. Pada tahap ini data yang

diperoleh telah dikategorisasi kemudian disajikan ke dalam bentuk

narasi konstruktif yang berupa informasi mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data dalam bentuk

narasi konstruktif ini dimaksudkan untuk menginterpretasikan data

secara sistematis untuk selanjutnya di analisis guna mengambil

kesimpulan.

d. Pengambilan kesimpulan

Data yang telah diinterpretasikan secara sistematis tersebut

kemudian dianalisis dengan perspektif tertentu untuk memperoleh

kesimpulan dan diadakan pembuktikan keotentikan data.

Pengambilalihan kesimpulan dilakukan dengan cara berpikir

induktif, yaitu dari hal-hal yang khusus diarahkan kepada hal-hal

yang umum untuk mengetahui jawaban dari permasalahan dalam

penelitian ini.

G. Sistematika penulisan

Penulisan hukum ini akan disusun dalam 4 (empat) bab dengan

sistematika:

1. Bab I Pendahuluan adalah bagian yang mengantarkan pembaca untuk

dapat memahami gambaran awal secara menyeluruh tentang topik-topik

yang akan dibahas yang berisi latar belakang, permasalahan, penegasan

istilah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan hukum

2. Bab II Hasil Penelitian adalah data-data yang akan menguraikan teori-teori

yang melandasi pola pikir penulis dalam menyusun penulisan hukum,

yaitu pengertian Pos, tugas PT. Pos Indonesia (Persero), pengertian Pos

Express, produk Pos Express, penggantian klaim ganti rugi, pengertian

konsumen, hak dan kewajiban konsumen, pengertian pelaku usaha, hak

dan kewajiban pelaku usaha.

3. Bab III Analisis Hasil Penelitian adalah berisi tentang analisis hasil

penelitian pada Bab II. Suatu pernyataan mengenai penerapan dari hasil

penelitian.

4. Bab IV Penutup berisi kesimpulan dari hasi penelitian yang ditarik dari

analisis data dan pembahasan. Ada pula saran yang berisi perbaikan-

perbaikan atau masukan-masukan dari penulis yang berkaitan dengan

penelitian. Peneliti juga dapat mengemukakan persoalan baru yang muncul

dari penelitian tersebut untuk dijadikan penelitian selanjutnya.