bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dahulu kala masyarakat sudah mengenal pentingnya pemenuhan
akan kebutuhan pertukaran dan pengiriman informasi serta barang dan/atau
dokumen. Pada zaman dahulu, orang menggunakan burung merpati sebagai sarana
untuk memenuhi kebutuhan komunikasi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan
pertukaran barang dari satu tempat ke tempat lainnya, masyarakat jaman dahulu
menggunakan jalur laut seperti kapal ataupun jalur darat seperti berjalan kaki atau
menggunakan kereta. Seiring dengan perkembangannya, pemenuhan pertukaran
informasi kemudian dilakukan melalui pos, email, fax dan layanan SMS (Short
MessageService) oleh beberapa jaringan mobile phone. Alatdan mode transportasi
yang canggih seperti telepon dan pesawat yang kini terus berkembang dari hari ke
hari, ternyata tidak serta merta menghapus peran pos sebagai media
pengangkut/pengiriman barang dan/atau dokumen.
Dalam dunia perposan di tanah air, nama besar PT. Pos Indonesia
(Persero) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. PT. Pos Indonesia
(Persero) merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang
bergerak dibidang layanan pos. Adapun layanan yang diberikan oleh PT. Pos
Indonesia (Persero) dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009
tentang Pos dirumuskan bahwa pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau
surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan
layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, dijelaskan
bahwa pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan
paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagean pos
untuk kepentingan umum (Pasal 1 Ayat 1). Mengutip dari Pasal 1 Ayat (1)
penyelenggaraan pos merupakan perwujudan pos dari fungsi pengangkutam, yaitu
memindahkan barag atau orang dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan
maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai antar bangsa. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa dibentuknya PT Pos Indonesia (Persero) diarahkan
untuk menunjang kebutuhan kepentingan umum dengan mempererat kerja sama
dalam hubungan antar bangsa.1
Salah satu layanan dari PT. Pos Indonesia (Persero) yang bergerak dalam
bidang pengiriman barang dan dokumen adalah Pos Express. Pos Express hadir
sebagai layanan premium dari PT. Pos Indonesia untuk mempercepat layanan
bisnis komunikasi dalam bentuk dokumen surat-surat maupun barang seberat tiga
puluh kilogram. Layanan ini berbeda dengan layanan dari Pos Indonesia yang lain
karena menggunakan resi khusus, memilik jejak lacak, menggunakan kemasan
khusus, dan memiliki jaringan garansi atau asuransi atas nilai barang sehingga
dapat dijamin bahwa barang yang dikirim akan sampai ke tujuan tepat waktu.
1Kurnia Sarta Sitanggang, ”Pelaksanaan Asuransi Terhadap Konsumen Pengguna
Barang Dan Jasa Pos Dalam Pengiriman Surat Dan Paket Pos Domestik Oleh PT. Pos
Indonesia (Persero) Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta” (Skripsi Sarjana, Fak. Hukum Univ.
Gajah Mada, Yogyakarta, 2014), hlm. 3
Pos Express diposisikan sebagai salah satu layanan yang memiliki kualitas
produk dan tarif bersaing dalam industri layanan perposan serta memiliki sifat dan
jenis layanan dengan pelayanan khusus/special treatment. Dengan mengusung
slogan yang diunggulkan, „kiriman Anda sehari sampai, PASTI!‟. Produk ini yang
kini menjadi produk andalan dari PT. Pos Indonesia (Persero).2
Dari berbagai tantangan yang dihadapi, PT. Pos Indonesia (Persero)
memiliki sisi lain yang dapat menjadi sebuah keunggulan jika dibandingkan
dengan pesaingnya seperti TIKI, JNE, JNT, PAHALA Express yaitu adalah dari
segi wilayah jangkauan layanannya, segi keberadaan lokasinya, dan
keterjangkauan harga pengirimannya. Dilihat dari segi wilayah jangkauan
layanannya, maka wilayah jangkauan layanan PT. Pos Indonesia (Persero) yang
sangat luas bahkan sampai ke daerah-daerah yang terpencil (pelosok di wilayah
Indonesia).
Hal inilah yang membedakan antara PT. Pos Indonesia (Persero)
dibandingkan dengan para pesaingnya (pihak swasta). Kini PT. Pos Indonesia
(Persero) telah mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam pengembangan bidang
perposan di Indonesia dengan memanfaatkan insfrastruktur jejaring yang
dimilikinya. Yang saat ini telah mencapai hingga sekitar 24.000 titik layanan yang
menjangkau 100 persen kota/kabupaten, hampir 100 persen kecamatan dan 42
persen kelurahan/desa, dan 940 lokasi transmigrasi terpencil,sehingga terdapat
jumlah total 4.006 unit Kantor Pos yang ditambah dengan adanya 1.811 mobil pos
2 Lihat Anonim, “Pos Express” dalam http://www.posindonesia.co.id/index.php/pos-
express/, diakses pada tgl. 07 Juni 2017
yang sudah dilengkapi dengan teknologi secara onliine sehingga satu sama
lainnya terhubung secara real time.3
Dari beberapa keunggulan tersebut, seharusnya membuat PT. Pos
Indonesia (Persero) mampu mempertahankan kepercayaan yang diberikan
konsumen. Apabila pelaku usaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar
dengan jumlah konsumen yang besar pula, maka mau tidak mau pelaku usaha
harus mampu memberikan pelayanan dan perlindungan yang baik yang sesuai
dengan mutu standar yakni baik, aman, nyaman, dan tentunya dapat terjangkau
oleh daya beli seluruh lapisan masyarakat. Adanya sebuah kewajiban untuk
memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan mutu standar yang telah
ditetapkan merupakan salah satu upaya untuk melindungi konsumennya.
Kewajiban pemberian perlindungan terhadap konsumennya, telah disebutkan
dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Namun, kita sering
mendapat kesan atau pengalaman negatif bahwa mengirim surat dengan pos itu
“tidak terjamin”, dalam arti “bisa diterima bisa pula tidak”. Apalagi jika kita
mengirim atau menerima barang atau paket.”4
Resiko diatas tidak saja disebabkan dari pihak pos sendiri melainkan juga
dari pihak konsumen. Dengan adanya isi perjanjian, PT. Pos Indonesia (Persero)
menggunakan ketentuan/syarat pengiriman Pos Express yang tertuang dalam point
yang terdapat pada resi/tanda bukti pengiriman (consigment note), yang sudah
mendapat kata sepakat/persetujuan dari para pihak (PT Pos dan konsumen), maka
3
Lihat Anonim, “Berita Tentang Pos” dalam
http://www.postel.go.id/berita_tentang_pos, diakses pada tgl. 07 Juni 2017 4Lihat KK Raharjo. “Pak Pos Yang Jujur”, dalam Kompas, 06 Desember 2017, hlm. 7
timbullah perikatan bagi keduanya yaitu adanya hak dan kewajiban masing-
masing pihak.
Dalam perjanjian yang terjadi antara pengirim dengan PT. Pos Indonesia
(Persero) tidak selamanya sesuai dengan yang dikehendaki oleh para pihak. Sering
terjadi bahwa salah satu pihak merasa dirugikan dalam perjanjian itu. Demikian
halnya dengan perjanjian antara pengirim dengan PT. Pos Indonesia (Persero),
dimana PT. Pos Indonesia (Persero) tidak melaksanakan atau memenuhi
kewajibannya dalam perjanjian sehingga terjadi wanprestasi. Ada beberapa
macam wanprestasi yaitu:5
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Bentuk-bentuk wanprestasi antara lain adalah surat dan paket pos
terlambat, rusak, atau hilang.6
Adapun data dari Manager Akuntansi untuk jumlah konsumen pengguna
jasa Pos Express di Kantor Pos Malang pada bulan Oktober 2017 sebanyak 3427
transaksi, dengan kiriman berupa dokumen maupun barang.7 Sedangkan dan data
dari pihak customer service/custumer care untuk ketidaksesuaian layanan Pos
Express mengalami 4 kompain disepanjang bulan Oktober, diantaranya
keterlambatan kiriman sebanyak 3, kerusakan kiriman sebanyak 1, dan kehilangan
5R. Setiawan , Pokok-Pokok Hukum Perjanjian (Jakarta, 1999), hlm. 18
6Deni Eka Putra, ”Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Pengiriman Surat
dan Barang pada PT. Pos Indonesia (Persero) Cabang Padang” (Skripsi Sarjana, Fak. Hukum
Univ. Andalas, Padang, 2011), hlm. 5 7Geolika Marita, Wawancara, Kantor Pos, Malang, 09 Desember 2017
sebanyak 0. Keterlambatan kiriman semata-mata bukan saja kesalahan dari pihak
pos, melainkan juga kesalahan dari pihak pengirim maupun penerima. Semisal
alamat kurang lengkap/tidak jelas, tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi,
atau kediaman si penerima kosong/tutup. Komplain-komplain tersebut
dilayangkan langsung kepada customer care maupun laporan melalui telepon
kepada petugas loket/kepala kantor.8
Tentunya keadaan yang demikian sangat merugikan kepentingan
konsumen yang selalu berada diposisi yang lemah apabila dibandingkan dengan
pelaku usaha yang cenderung dominan. Perlindungan atas kepentingan konsumen
diperlukan, mengingat bahwa dalam kenyataannya pada umumnya konsumen
selalu berada di pihak yang dirugikan.9
Kebanyakan pihak yang dirugikan
cenderung memilih untuk diam daripada berusaha untuk memperjuangkan hak-
haknya atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan. Keberadaan konsumen
yang demikian haruslah mendapatkan perlindungan yang lebih baik karena
sesungguhnya pengabaian terhadap perlindungan konsumen dengan sendirinya
adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) baik dalam tatanan
masyarakat secara individu maupun keseluruhan.10
Oleh karena itu, PT. Pos Indonesia (Persero) harus senantiasa selalu
memberikan perlindungannya kepada konsumen agar hak-hak konsumen dapat
terlindungi. Hal ini karena apabila praktek monopoli disertai dengan tidak adanya
8Dini Hasan, Wawancara, Kantor Pos, Malang, 09 Desember 2017
9Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Medan, 2006), hlm. 4
10Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya
(Bandung, 2003), hlm. 13
perlindungan konsumen, maka telah meletakkan posisi konsumen dalam tingkat
yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha.11
Karena semakin hari permasalahan semakin bertambah dan beraneka
ragam. Sehingga peraturan dianggap perlu sebagai dasar untuk melakukan suatu
tindakan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan
permasalahan yang ada. Salah satu fungsi hukum yaitu memberikan perlindungan
kepada masyarakat.12
Menyadariakan hal ini dan pentingnya profesionalitas perusahaan yang
bergerak dalam bidang jasa dalam menindaklanjuti/mengatasi komplain
konsumen yang masuk, penulis tertarik untuk memilih topik pertanggungjawaban
Pos Express terhadap ketidaksesuaian layanan Pos Express. Topik inilah yang
kemudian melatarbelakangi penulis untuk menulis penelitian dengan judul
“Pertanggungjawaban PT. Pos Indonesia (Persero) terhadap ketidaksesuaian
layanan Pos Express ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban PT. Pos Indonesia (Persero) terhadap
ketidaksesuaian layanan Pos Express?
11
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta, 2003),
hlm. 1 12
Celina Tri Siwi Kristanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2011), hlm. 13
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa
Pos Express dilihat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui upaya yang diambil PT. Pos Indonesia (Persero)
dalam mempertanggungjawabkan ketidaksesuaian layanan Pos
Express.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna
jasa Pos Express.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat pada umumnya, baik pengguna jasa Pos Express maupun
masyarakat bukan pengguna jasa Pos Express. Diharapkan masyarakat
lebih mengerti hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa.
2. Bagi Pemerintah
Sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan dan peraturan
terhadap perlindungan hukum bagi konsumen dan pelaku usaha, sehingga
ada perlindungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha.
3. Bagi Universitas
Penelitian hukum ini diharapkan sebagai dasar pengembangan penulisan
hukum dan bahan masukan untuk mengembangkan hukum perlindungan
konsumen.
E. Tinjauan pustaka
1. Definisi Pertanggungjawaban
Di dalam sebuah Kamus Hukum, Hamzah menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan tanggung jawab adalah “suatu keharusan bagi seseorang
untuk melaksanakan dengan selayak-layaknya apa yang diwajibkan
kepadanya”.13
Menurut Bahri, yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah “suatu
kewajiban dari seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan
kepadanya atau yang pernah dijanjikannya maupun yang telah
disanggupinya.14
Di dalam bukunya, Shidarta mengatakan bahwa prinsip tanggung
jawab sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku
usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku
usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan
konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawab. Jika ada
pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.15
Ada 2 (dua) prinsip penting mengenai tanggungjawab yang termuat
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang diakomodasi, prinsip yang pertama yaitu tanggung jawab
produk dan prinsip yang kedua adalah tanggung jawab profesional.Tanggung
jawab produk atau product liability sendiri mengacu pada tanggung jawab
yang dilakukan oleh produsen. Jadi, apabila ada konsumen yang merasa
13 Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta, 1986), hlm. 98
14 Bahri, Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik (Bandung, 1993), hlm. 325
15Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 1999), hlm. 50
dirugikan oleh produsen, maka konsumen tersebut berhak menuntut ganti rugi
kepada produsen16
, sedangkan produsen mempunyai tanggung jawab untuk
menggantikan ganti rugi kepada konsumen. Tanggungjawab professional
mengacu pada tanggung jawab yang berhubungan dengan jasa professional
yang diberikan pada klien.
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis
siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa tanggung jawab dapat
dibebankan kepada pihak-pihak terkait.17
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Prinsip tanggung jawab karena kesalahan (liability based on fault).
Prinsip ini sudah cukup lama berlaku, baik dalam hukum pidana
maupun hukum perdata. Dalam sistem hukum perdata kita
misalnya, ada prinsip perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Tanggung jawab seperti ini kemudian
diperluas dengan vicarious liability, yakni tanggung jawab
majikan, pimpinan perusahaah terhadap pegawainya atau orang tua
terhadap anaknya, sebagimana diatur dalam pasal 1367 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
16
Ibid., hlm. 65 17
Ibid., hlm. 72
b. Prinsip praduga bertanggung jawab (presumption of liability
principle). Seseorang atau tergugat dianggap bertanggung jawab
sampai ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Dengan demikian beban pembuktian ada padanya. Asas ini lazim
pula disebut sebagai pembuktian ada padanya. Asas ini lazim pula
disebut sebagi pembuktian terbalik (omkering van bewijslast).
Undang-undang Perlindungan Konsumen menganut teori ini
berdasarkan Pasal 19 ayat 5. Ketentuan ini menyatakan bahwa
pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab kerusakan jika dapat
dibuktikan bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan konsumen.
c. Prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of
Nonliability Principle). Prinsip ini menggariskan bahwa tergugat
tidak selamanya bertanggung jawab. Apabila melihat Pasal 24 ayat
2 Undang-undang Perlindungan Konsumen, penjual yang menjual
lagi produknya kepada penjual lainnya dibebaskan dari tanggung
jawab jika penjual lainnya tersebut melakukan perubahan atas
produk tersebut.
d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability). Prinsip ini
merupakan kebalikan dari prinsip pertama. Dengan prinsip ini
tergugat harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada
dirinya. Jika melihat rumusan pasal yang relevan dengan
pengaturan pertanggungjawaban pelaku usaha, tidak terlihat adanya
rumusan yang secara expressis verbis menyatakan Undang-undang
Perlindungan Konsumen menganut prinsip strict liability.
e. Prinsip tanggung jawab terbatas (limitation of liability). Prinsip ini
menguntungkan para pelaku usaha karena mencantumkan klausul
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini
dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat 1 huruf a dan g Undang-undang
Perlindungan Konsumen.18
Sanksi pidana terhadap pelaku usaha terdapat pada Pasal 61 – 63
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada
Pasal 62 ayat (2) memiliki ancaman pidana paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00.
Namun perlu diingat jika pemberlakuan sanksi pidana merupakan
jalan yang paling akhir jika penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak
tercapai. Para pihak (baik konsumen dan pelaku usaha) hendaknya
menyelesaikan sengketanya melalui jalur di luar pengadilan terlebih dahulu
baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga
Pengaduan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) maupun cara-cara di
luar pengadilan lainnya.
2. Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Terbatas atau PT adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
18
N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen(Jakarta, 2005),hlm. 155
yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya. 19
Karakteristik utama dari Perseroan Terbatas adalah merupakan badan
hukum (yuridical entity).20
Sebagai badan hukum Perseroan Terbatas adalah
pengemban hak dan kewajiban. Sebagai pengemban hak dan kewajiban
Perseroan Terbatas dapat menjadi pemilik suatu kebendaan, dapat melakukan
penuntutan atau tindakan hukum lainnya, dapat memikul kewajiban seperti
membayar utang, menyelesaikan pekerjaan berdasarkan kontrak. 21
3. Definisi Pos
Definisi pos menurut Pasal 1 Undang-Uundang Nomor 38 Tahun
2009 tentang Pos,bahwa pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau
surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan,
dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.
Pos Indonesia adalah penyedia jasa pos yang berbasis informasi dan
bernilai tinggi bagi masyarakat diseluruh nusantara serta dapat berkompetisi
dalam industri pos global. Objek yang dipertukarkan melalui media/jasa
layanan pos berupa "informasi" tidak hanya berwujud fisik, tetapi cenderung
berwujud virtual yang didalamnya waktu dan ruang merupakan komoditi
yang bernilai tinggi bagi konsumen. Oleh karena itu, dalam era bisnis pos
yang berbasis informasi, pemanfaatan teknologi informasi semakin hari
semakin menjadi salah satu faktor kunci yang memegang peran penting
19
Lihat Lampiran Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 20
Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan dan Wakaf (Bandung, 1999), hlm. 2954 21
Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Dagang Indonesia (Malang, 2012), hlm. 220
dalam menentukan dan mewujudkan visi perusahaan pemberian jasa berbasis
informasi memungkinkan perusahaan dapat mengembangkan data pos
sebagai bentuk layanan yang dapat memberikan nilai tambah bagi pelanggan
serta menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan.
4. Pos Express
Pos Express merupakan layanan milik PT. Pos Indonesia (Persero)
untuk pengiriman cepat dan aman dengan jangkauan luas ke seluruh wilayah
Indonesia. Menjadi pilihan tepat dan terpecaya untuk mengirim dokumen,
surat, paket serta barang dagangan online.22
Layanan ini berbeda dengan layanan pos yanglain karena
menggunakan resi khusus, memilik jejak lacak, menggunakan
kemasankhusus, dan memiliki jaringan garansi atau asuransi atas nilai barang.
Produk Pos Express dirancang mempunyai fitur sebagai berikut:
a. Menggunakan resi khusus.
b. Trackdan trace.
c. Packaging.
d. Money back guaranted.
Pos Express diposisikan sebagai layanan yang memiliki kualitas
produk dan tarif bersaing dalam industri layanan pos serta memiliki sifat
dan jenis layanan dengan special treatment.
22
Lihat Anonim, “Pos Express” dalam http://www.posindonesia.co.id/index.php/pos-
express/, diakses pada tgl. 07 Juni 2017
5. Definisi Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer
atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah
arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi
arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.
Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE), kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya
berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat, kata ini dapat diartikan lebih
luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban
tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang
bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan
oleh korban yang bukan pemakai.23
Menurut Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos,
konsumen yang dimaksud adalah pengguna layanan pos. Pengguna layanan
pos adalah setiap orang yang menggunakan layanan pos dari PT. Pos
Indonesia (Persero).
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dalam Pasal 1 angka 2, mendefinisikan konsumen yakni “setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat ,baik
23
Cellina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2008), hlm. 23-
24
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end
user/pengguna akhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barang
dan/atau jasa tersebut. Pengertian konsumen dalam arti umum adalah
pemakai pengguna dan atau pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan
tertentu.24
6. Perlindungan Konsumen
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perlindungan berasal dari kata
lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi.25
Berdasar perintah yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD NKRI
1945 alinea ke 4 (empat), negara mempunyai kewajiban untuk melindungi
segenap warga negaranya dari segala macam bahaya yang mengancam, baik
fisik maupun kejiwaan, perasaan takut, serta bahayanya yang mengancam
harta bendanya, serta dengan tidak memandang apakah bahaya tersebut
berasal dari dalam maupun luar negeri. Dalam konteks ini negara mempunyai
kewajiban melindungi warga negaranya dalam kapasitas sebagai konsumen
barang dan jasa, sehingga konsumen dapat terlindungi dari bahaya yang dapat
mengancam jiwanya, kesehatan, maupun kerugian terhaddap harta
bendanya.26
24
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung, 2008), hlm. 38 25
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2008), hlm. 864 26
Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan Yang
Menyesatkan(Bogor, 2010), hlm. 8
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen tersebut cukup memadai.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum” diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-
wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen.27
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang
diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku
usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen.28
Adanya asas kepastian hukum juga dimaksud agar baik pelaku usaha
maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.29
7. Definisi Pelayanan Publik
Pengertian pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publikadalah kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
27
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2010),
hlm. 2 28
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan (Jakarta, 2008), hlm. 4-5 29
Burhanuddin Susamto, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen Dan Serifikat
Halal (Malang, 2011), hlm. 3-4
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No.63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan
pelayanan publik. Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dapat dikatakan bahwa pelayanan publik merupakan
suatu bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa
publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh
instansi pemerintah.
Penyelenggara pelayanan publik dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).30
Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah
memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas
pelayanan publik yang profesional, dalam KEPMENPAN
No.63/Kep/M.PAN/7/2003 azas-azas pelayanan publik tercermin dari:31
30
Lihat Anonim, “Pelayanan Publik” dalam
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik, diakses tgl. 27 November 2017 31
Dwi Richa Farokha, ”Kualitas Pelayanan Pengiriman Pos Express Di PT. Pos
Indonesia Cabang Baratajaya Surabaya” (Skripsi Sarjana, Fak. Hukum Univ. Tujuhbelas
Agustus, Surabaya, 2015), hlm. 60
a. Transparansi
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan.
c. Kondisional
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan
dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
d. Partisipatif
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat.
e. Keamanan hak
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, agama, ras,
golongan, gender dan status ekonomi.
f. Keseimbangan hak dan kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan
kewajiban masing- masing pihak.
Dalam proses kegiatan pelayanan diatur juga mengenai prinsip
pelayanan sebagai pegangan dalam mendukung jalannya kegiatan. Adapun
prinsip pelayanan publik menurut KEPMENPAN No.63/Kep/M.PAN/7/2003
antara lain:
a. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan public tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan
mudah dilaksanakan.
b. Kejelasan
1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik.
2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/ sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan publik.
3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
c. Kepastian waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaiakan dalam kurun waktu
yang telah ditentukan
d. Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
e. Keamanan
Proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan kepastian
hukum.
f. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan public atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukunglainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi dan informatika (telematika).
h. Kemudahan akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah
dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.
i. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta
memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan
Lingkunagan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih,rapi, lingkungan yang indah dan sehat srta dilengkapi
fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan
lain-lain.
8. Perjanjian Baku (standard contract)
Yang mendasari berlakunya perjanjian baku adalah asas-asas hukum
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian
yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya
dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Menurut Hondius dalam Purwahid
Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-
syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih
akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih
dahulu isinya. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap
dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.32
Sedangkan Az Nasution memaparkan bahwa perjanjian dengan
klausula baku merupakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu
yang cenderung lebih “menguntungkan” bagi pihak yang mempersiapkan
atau merumuskannya. Az Nasution berpendapat apabila dalam keadaan
normal pelaksanaan perjanjian diperkirakan akan terjadi sesuatu masalah,
maka dipersiapkan sesuatu untuk penyelesaiannya dalam perjanjian
tersebut.33
32
Lihat Anonim, “Asas Kebebasan Berkontrak” dalam
https://legalbanking.wordpress.com/asas-kebebasan-berkontrak-dalamstandard-kontrak-perjanjian-
baku-dalam-bidang-bisnis-dan-perdagangan/, diakses pada tgl. 09 Desember 2017 33
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2002), hlm . 94
Perjanjian standar adalah perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh
salah satu pihak dan di dalam perjanjian tersebut sudah tercetak dalam bentuk
formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika
perjanjian tersebut ditandatangai umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informative saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-
klausulanya, dimana pihak lain dalam perjanjian tersebut mempunyai
kesempatan atau hanya memiliki kesempatan guna menegosiasi maupun
mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut.
Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan perjanjian baku
tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya
pada posisi “take it or leave it”.
Dalam suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang
halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut,
maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para
pihak yang membuatnya.34
Pada dasarnya, perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan
sejak detik tercapainya kata sepakat.Berlakunya asas konsensualisme menurut
hukum perjanjian Indonesia, memantapkan adanya kebebasan berkontrak.
Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka
perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
34
Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak (Yogyakarta, 2012), hlm. 26
9. Teori Penegakan Hukum
Pengertian penegakan hukum menurut Dictionary of Law
CompleteEditionadalah sanksi hukum; pelakasanaan kontra prestasi yang
mengakibatkankerugian bagi pelanggar ketentuan perundangan yang ada dan
diputus padatingkat pengadilan baik berupa denda maupun pembekuan
kegiatan yangberkaitan dengan aktivitas industri.35
Tugas penegakan hukum bukan semata-mata berarti
pelaksanaanperundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di
Indonesiakecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law
enforcement begitu populer.36
Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif
dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu,
memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in
concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil
dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum
formal.37
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan
hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 38
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
35
M. Marwan dan Jimmy, Dictionary of Law Complete Edition(Surabaya,2009), hlm.
399 36
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta,
2013), hlm. 7 37
Dellyana, Konsep Penegakan Hukum (Yogyakarta, 1998), hlm. 32 38
Ibid., hlm. 33
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan
menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, karena hendak mengkaji
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Kantor Pos Malang yang berada di Jalan
Merdeka Selatan Nomor 5 Kota Malang.
Peneliti hendak mengkaji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009
tentang Pos dalam hal pertanggungjawaban PT. Pos Indonesia (Persero)
terhadap ketidaksesuain layanan Pos Express, oleh sebab itu alasan penting
yang menjadi pertimbangan mendasar penulis dalam pemilihan lokasi
penelitian ini karena semua kegiatan Pos Express dilaksanakan, termasuk
didalamnya adalah proses pengolahan data transaksi, pengiriman dokumen,
komplain konsumen hingga tata cara penanganannya,dan sebagainya.
Disamping itu, alasan pragmatis juga menjadi pertimbangan penulis
dalam penelitian ini, pertimbangannya adalah unsur keterjangkauan lokasi
penelitian ini oleh peneliti, baik dilihat dari segi tenaga maupun dari segi
efisisensi waktu.Pelaksanaan penelitian di lokasi yang dipilih tidak
menimbulkan masalah dalam kaitannya dengan kemampuan tenaga peneliti.
Satu hal yang sangat membantu dalam melakukan penelitian di lokasi pilihan
ini adalah masalah dana. Peneliti tidak dituntut biaya dalam melakukan
penelitiannya. Pemilihan lokasi penelitian ini juga dapat memberikan efisiensi
waktu, karena tepatnya yang sangat strategis dan mudah dijangkau.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan permasalahan
dan tujuan penelitian, dibagi ke dalam 2 (dua) jenis data yaitu:
a. Data primer
Menurut Soemitro, data primer yaitu data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat39
. Sedangkan menurut Moeleong, sumber data
primer adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau
diwawancarai.
Sumber data primer dalam penelitian ini berupa informasi langsung
dari pihak-pihakKantor Pos Malang, selain itu data diperoleh dari
responden yakni konsumen pengguna jasa Pos Express di Kantor Pos
Malang dan Kantor Pos Lawang. Sumber primer dalam penelitian ini
adalah:
1) Responden
Responden adalah orang yang memberikan informasi, dan
merupakan sumber data utama dalam suatu penelitian. Responden
dalam penelitian ini adalah konsumen pengguna jasa Pos Express di
Kantor Pos Malang yang melakukan komplain mengenai kiriman
dokumen/barangnya yang mengalami keterlambatan, kerusakan
maupun kehilangan.
39
Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta, 1990), hlm. 52
2) Informan
Informan adalah orang yang memberikan segala informasi yang
dibutuhkan tentang situasi dan latar belakang penelitian. Informan
dalam penelitian ini adalah Kepala Kantor Pos Malang, manager
akuntansi,customer service, dan petugas loket.
b. Data sekunder.
Menurut Lofland selain kata-kata atau tindakan sebagai sumber data
utama, data tambahan seperti dokumen dan lain-lain merupakan sumber
data yang dapat dilihat dari segi sumber data. Dalam penelitian ini juga
diperlukan data sekunder yang berfungsi sebagai pelengkap/ pendukung
data primer.
Bahan-bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat di bagi
atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber tertulis, sumber dari arsip-
arsip, dokumen-dokumen pribadi, dan dokumen resmi.40
Adapun data sekunder yang membahas mengenai perlindungan hukum
terhadap pengguna jasa pos adalah:
1) UUD NKRI 1945.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Pemerintah lainnya.
3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos dan Peraturan
Pemerintah lainnya.
40
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, 2002), hlm. 113
4. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian membutuhkan sarana untuk menamukan dan
mengetahui lebih mendalam mengenai gejala-gejala tertentu yang terjadi di
masyarakat. Dengan demikian kebenaran penelitian tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebagai tindak lanjut dalam
memperoleh data-data sebagaimana yang diharapkan, maka penulis
melakukan teknik pengambilan data yang berupa:
a. Penelitian lapangan (field research)
Pada bagian ini penulis mengadakan pengumpulan data dengan cara
berinteraksi langsung dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini
melakukan teknik interview (wawancara) yakni penulis melakukan
tanya jawab secara langsung kepada Kepala Kantor Pos Malang,
manager akuntasnsi, bagian customer service dan petugas loketguna
memperoleh data yang akurat.
b. Penelitian pustaka (library research)
Dalam penelitian ini penulis memperoleh data melalui jalan
membaca buku, majalah, koran, jurnal ilmiah dan literature lainnya
yang mempunyai keterkaitan dengan materi pembahasan.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan
suatu analisis data. Analisis data adalah proses menganalisis dan
mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga
dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti
disarankan oleh data.41
Analisis data dapat dilakukan dengan cara induktif, artinya dimulai
dari lapangan atau fakta empiris dengan terjun ke lapangan mempelajari,
menganalisis, menafsir dan akhirnya menarik kesimpulan dari fenomena yang
dijumpai di lapangan.Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif.Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan
bersamaan dengan proses pengumpulan data.
Berikut adalah langkah-langkah dalam melakukan analisis data adalah
sebagai berikut:
a. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pencarian, pemilihan, pemfokusan dan
penyederhanaan data yang relevan dengan masalah yang
diteliti.Data yang dihasilkan dari wawancara dan dokumentasi
merupakan data yang masih kompleks. Untuk itu data yang
dihasilkan dari wawancara, dokumentasi dikumpulkan dan
disederhanakan sesuai dengan jenis dan sifatnya masing-masing
kemudian dicari maknanya yang mendasar. Oleh karena itu peneliti
melakukan pemilihan data yang dapat menjawab permasalahan
mengenai perlindungan hukum bagi konsumen PT. Pos Indonesia
(Persero) atas ketidaksesuaian layanan Pos Express.
41
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, 2002), hlm. 104
b. Unitisasi dan kategorisasi
Data yang telah disederhanakan dan dipilih kemudian disusun
secara sistematis ke dalam suatu unit dengan sifatnya masing-
masing dengan menonjolkan hal-hal yang bersifat pokok dan
penting. Unit-unit yang terkumpul dipilih-pilih kemudian
dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ada sehingga dapat
memberikan gambaran yang jelas dari hasil penelitian.
c. Display data
Display data dilakukan dengan melihat gambaran keseluruhan data
yang diperoleh selama penelitian. Pada tahap ini data yang
diperoleh telah dikategorisasi kemudian disajikan ke dalam bentuk
narasi konstruktif yang berupa informasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data dalam bentuk
narasi konstruktif ini dimaksudkan untuk menginterpretasikan data
secara sistematis untuk selanjutnya di analisis guna mengambil
kesimpulan.
d. Pengambilan kesimpulan
Data yang telah diinterpretasikan secara sistematis tersebut
kemudian dianalisis dengan perspektif tertentu untuk memperoleh
kesimpulan dan diadakan pembuktikan keotentikan data.
Pengambilalihan kesimpulan dilakukan dengan cara berpikir
induktif, yaitu dari hal-hal yang khusus diarahkan kepada hal-hal
yang umum untuk mengetahui jawaban dari permasalahan dalam
penelitian ini.
G. Sistematika penulisan
Penulisan hukum ini akan disusun dalam 4 (empat) bab dengan
sistematika:
1. Bab I Pendahuluan adalah bagian yang mengantarkan pembaca untuk
dapat memahami gambaran awal secara menyeluruh tentang topik-topik
yang akan dibahas yang berisi latar belakang, permasalahan, penegasan
istilah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan hukum
2. Bab II Hasil Penelitian adalah data-data yang akan menguraikan teori-teori
yang melandasi pola pikir penulis dalam menyusun penulisan hukum,
yaitu pengertian Pos, tugas PT. Pos Indonesia (Persero), pengertian Pos
Express, produk Pos Express, penggantian klaim ganti rugi, pengertian
konsumen, hak dan kewajiban konsumen, pengertian pelaku usaha, hak
dan kewajiban pelaku usaha.
3. Bab III Analisis Hasil Penelitian adalah berisi tentang analisis hasil
penelitian pada Bab II. Suatu pernyataan mengenai penerapan dari hasil
penelitian.
4. Bab IV Penutup berisi kesimpulan dari hasi penelitian yang ditarik dari
analisis data dan pembahasan. Ada pula saran yang berisi perbaikan-
perbaikan atau masukan-masukan dari penulis yang berkaitan dengan
penelitian. Peneliti juga dapat mengemukakan persoalan baru yang muncul
dari penelitian tersebut untuk dijadikan penelitian selanjutnya.