bab i pendahuluan a. latar...

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada Era Reformasi Indonesia di zaman yang semakin maju, persaiangan yang cukup keras dan teknologi semakin modern yang pada ahirnya membuat masyarakat harus bekerja keras guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Negara Indonesia adalah negara hukum dimana hukum dijadikan panglima tertinggi untuk mewujudkan suatu kebenaran dan keadilan di Indonesia. Hukum adalah suatu rangkaian ugeran atau peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari hidup manusia dalam hidup bermasyarakat. 1 Penegakan hukum di Indonesia masih banyak perlu perbaikan baik dari keorganisasian maupun attitude para aktor-aktor perorangan di masing-masing institusi. Sebagai konsekuensinya nagara hukum, pemberlakuan asas equality before the law harus menjadi garda paling depan, namun ada satu artinya diskriminasi tidak ada artinya tidak ada perbedaan atas siapapun yang mendapat perkara, mulai dari perlakuan penyidikan hingga sidang di pengadilan. Menurut penulis ada beberapa hal yang dapat memepangaruhi perlakuan diskrimainasi dalam proses penanganan hukum yang mempengaruhi pada putusan yang ringan terhadap pelaku, namun ada satu yang sering terjadi karena dari seorang korban yang merupakan kalangan kalangan orang yang lemah, rentan, dana atau kurangnya pengetahuan. Korban-korban ini sering ditemui pada kalangan 1) Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta, 1978), hlm. 13

Upload: dinhnhan

Post on 08-Jun-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada Era Reformasi Indonesia di zaman yang semakin maju, persaiangan

yang cukup keras dan teknologi semakin modern yang pada ahirnya membuat

masyarakat harus bekerja keras guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Negara Indonesia adalah negara hukum dimana hukum dijadikan panglima

tertinggi untuk mewujudkan suatu kebenaran dan keadilan di Indonesia. Hukum

adalah suatu rangkaian ugeran atau peraturan yang menguasai tingkah laku dan

perbuatan tertentu dari hidup manusia dalam hidup bermasyarakat.1

Penegakan hukum di Indonesia masih banyak perlu perbaikan baik dari

keorganisasian maupun attitude para aktor-aktor perorangan di masing-masing

institusi. Sebagai konsekuensinya nagara hukum, pemberlakuan asas equality

before the law harus menjadi garda paling depan, namun ada satu artinya

diskriminasi tidak ada artinya tidak ada perbedaan atas siapapun yang mendapat

perkara, mulai dari perlakuan penyidikan hingga sidang di pengadilan. Menurut

penulis ada beberapa hal yang dapat memepangaruhi perlakuan diskrimainasi

dalam proses penanganan hukum yang mempengaruhi pada putusan yang ringan

terhadap pelaku, namun ada satu yang sering terjadi karena dari seorang korban

yang merupakan kalangan kalangan orang yang lemah, rentan, dana atau

kurangnya pengetahuan. Korban-korban ini sering ditemui pada kalangan

1) Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta, 1978), hlm. 13

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

2

penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dan

kekurangan hak-haknya dalam proses perlindungan hukum karena memang

aksesnya terhambat.

Berbicara mengenai para Penyandang Disabilitas atau Difabel, pada

dasarnya pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Republik Indosnesia

No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat dan Undang-undang Republik

Indonesia No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-undang

tersebut menegaskan bahwa semua masyarakat yang menyandang cacat fisik

ataupun non-fisik yakni merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang

memiliki hak fundamental yang melekat pada dirinya, kemudian para penyadang

cacat tersebut memiliki kewajiban yang sama seperti masyarakat pada umumnya

dalam aspek kehidupan. Berangkat dari hal tersebut, dalam Undang-undang

Republik Indonesia sudah diatur dengan jelas ketentuan-ketentuan dalam

meningkatkan kesejahteraan bagi penyandang cacat, seperti yang termaktub dalam

Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 Pasal 6 menegaskan tentang harus

diberikan haknya kepada penyandang cacat berupa pendidikan, pekerjaan,

perlakuan, aksesibilitas, rehabilitasi, dan mengembangkan potensi, yang mana

semua hal tersebut harus intens diperhatikkan guna menumbuhkembangkan

sumber daya manusia yang berkualitas.2)

Selain itu juga terdapat pada Pasal 3 (a)

Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas yang berbunyi Mewujudkan Penghormatan, Pemajuan, Perlindungan,

2)

Muhammad Ramadhana Alfaris, “Dukungan Sosial dan Aksesibilitas Pendidikan

Inklusi di Perguruan Tinggi Berorientasi Masa Depan dan Kontinuitas” (Laporan Hasil

Karya Tulis Ilmiah Guru SMA Sederajat dan Dosen se-Jawa Timur, Universitas Brawijaya,

Malang, 2017), hlm. 1

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

3

dan Pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar Penyandang Disabilitas

seacara penuh dan setara.

Perlindungan hukum terhadap korban difabel telah diatur secara yuridis

dalam Pasal 5 Undang-undang No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang No.13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban,

sebagai pembanding sebelum perubahan Undang-undang Perlindungan Saksi dan

Korban diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 namun seiring

berjalannya waktu dengan melihat kejadian fakta-fakta di lapangan Undang-

undang Perlindungan Saksi dan Korban mengalami Perubahan menjadi Undang-

undang No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No.13 Tahun

2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi meskipun Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban telah dilakukan perubahan dan disahkan tetap

masih belum tersampaikan seacara kongkrit menegenai hak-hak penyandang

disabilitas (Difabel).

Berangkat dari hal tersebut ternyata Undang-undang Perlindungan Saksi

dan Korban dianggap masih kurang dalam mengedepankan hak-hak penyandang

disabilitas yang harusnya diterima sebagaiamana mestinya seperti pada praktek

pada Putusan Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Ska sebagai bahan analisis dalam kasus

Pencurian dengan kekerasan yang mana korbannya adalah seorang difabel (Tuna

Wicara) tetapi dalam amar putusan tersebut hakim tidak mempertimbangkan

bahwa korbannya adalah seorang difabel selain itu juga korban diperkosa tetapi

hakim hanya mempertimbangkan tindak pidana tersebut dilakukan oleh 2 orang

atau lebih maka dari itu hakim hanya menjatuhkan hukuman terhadap pelaku

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

4

hanya 10 bulan penjara tanpa melihat dan mempertimbangkan bahwa korban

adalah seorang difabel.

Penulis berpendapat bahwa masih terdapat kekosongan norma (Vacuum

norm) yang ada dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-undang No.13 Tahun 2006 mengenai perlindungan saksi

dan korban, sehingga mempengaruhi putusan yang diberikan oleh hakim kepada

pelaku itu ringan. Jika dikaitkan pada Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang No.

19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with

Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), yang

menyatakan pada intinya difabel yang berhadapan dengan hukum diberikan

perlindungan secara khusus yang dikarenakan perbedaan secara fisik mental

dan/atau keduanya dan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No. 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia mengatur tentang penyandang cacat merupakan

kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Persoalan ini menjadi serius jika hal ini hanya dibiarkan tanpa adanya

tindakan tegas dari pemerintah untuk menempatkan difabel mendapatkan akses

publik sebanyak banyaknya, khususnya dalam menegakkan hukum, karena

mereka juga bagian dari para justiciable yang dilindungi konstitusi. Ratifiksi

perjanjian internasional juga telah dilakukan pemerintah yaitu yang terera pada

Undang-undang No.19 Tahun 2011 tentang Convention On The Rights of Person

(Konverensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Walaupun berbagai upaya

pemerintah dalam melindungi korban difabel yang mengalami tindak pidana

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

5

sudah demikian dilakukan namun masih saja peraturan yang dibuat dalam

praktiknya masih ada kendala.3)

Dalam penyelesaian perkara pidana, hukum seringkali melakukan

kekeliruan dengan terlalu mengedepankan hak-hak dari tersangka/terdakwa,

sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi

Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang membahas

HAM, terdapat kecenderungan untuk megkaji hal-hal yang berkaitan dengan

tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban”.4)

Dalam kasus tindak

pidana seringkali ditemukan korban kurang memeperoleh perlindungan hukum

secara memadai, baik perlindungan yang bersifat immaterial maupun materill.

Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti5)

yang memberi

keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga bagi korban hanya memperoleh

keleluasaan dalam memperjuangkan hak-haknya kecil.Badan Pusat Statistik

Kriminal menunjukan bahwa data Kejahatan tindak pidana Pencurian dengan

kekerasan sepanjang 5 tahun terakhir pada tahun 2011 ada 10.097 kejadian lalu

tahun 2012 terdapat 10.672 kejadian,kemudian mengalami kenaikan di tahun

2013 menjadi 10.683 kejadian,di tahun 2014 menurun menjadi 10.414

3)

Alfan Alfian, “Perlindungan Hukum Terhadap Kaum Difabel Korban

Pemerkosaan”, dalam http;//jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/viewFile/615/554 diakses

tanggal 10 Februari 2018 4)

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi (Jakarta, 2011), hlm.

25

5)

Alat Bukti menurut Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:

1. Keterangan saksi,

2. Keterangan ahli,

3. Surat,

4. Petunjuk, dan

5. Keterangan terdakwa

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

6

kejadian,pada tahun 2015 naik menjadi 10.759 kejadian.6)

Salah satu contoh kasus

yang mewakili adalah : Kasus Pencurian dengan kekerasan sesuai praktek yang

terjadi di Surakarta pada tanggal 4 Desember 2012 yang telah diputus dengan

Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Ska di Pengadilan Negeri Surakarta. Sesuai dengan

amar Putusan Ketua Majelis Hakim bahwa Putusan tersebut melalui beberapa

pertimbangan. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, terdakwa

dan barang bukti dalam perkara ini, Majelis Hakim memperoleh fakta-fakta

sebagai berikut :7)

1. Bahwa, benar pada hari Selasa tanggal 4 Desember 2012 sekitar jam

04.15 di dalam komplek makam Cina “MOJO” Jebres Surakarta

Terdakwa bersama dengan teman-temannya yakni saksi TRIANTO

Als. TRIMAN Bin DARSO RIYADI, saksi SURYA ATMAJA Als

RUNDI Bin SUGIMIN telah menyetubuhi saksi korban secara

bergantian;

2. Bahwa, benar persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa bersama-

sama temannya tidak ada upaya paksa atau kekerasan tetapi atas janji

terdakwa dan teman-temannya akan memberikan uang kepada saksi

korban;

3. Bahwa, benar selesai terdakwa melakukan persetubuhan dengan saksi

korban, mereka pergi dan kemudian dengan mengendarai sepeda

6)

Lihat Anonim, ”Badan Pusat Statistik Kriminal” dalam https://bps.go.id/website/pdf

publikasi/Statistik-Kriminal-2016.pdf, diakses pada tanggal 13 November 2017

7)

Lihat Anonim, “Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia” dalam

https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/a4957bbe574383f0ea619ee03820e3e7, diakses pada

tanggal 14 November 2017

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

7

motor saksi bersama teman-temannya bersama saksi korban mutar ke

arah palur;

4. Bahwa, benar setelah bertemu dengan saksi DWI SUHARDI dan

SURYA ATMAJA Alias RUNDI di Plazza Palur mereka kembali ke

kuburan jebres karena terdakwa bersama teman-temannya ingin

melakukan persetubuhan kembali terhadap saksi korban;

5. Bahwa, benar selanjutnya terdakwa berhasil membujuk saksi korban

masuk ke komplek pekuburan tersebut dan tiba-tiba terdakwa

mendorong saksi korban samapi terjatuh dan terdakwa mengambil tas

saksi korban;

6. Bahwa, benar selanjutnya terdakwa pergi bersama teman-temannya

dan meninggalkan saksi korban dan setelah terdakwa sampai ke

lapangan Benowo Palur berhenti kemudian dompet milik saksi korban

tersebut dibuka oleh terdakwa yang ternyata isi dompet tersebut ada

uangnya sebesar Rp.153.000,- (seratus lima puluh tiga ribu rupiah);

7. Bahwa, benar selanjutnya uang tersebut diambil oleh terdakwa

bersama-sama temanya untuk membeli mie dan rokok;

8. Bahwa, benar terdakwa mengaku bersalah atas perbuatan yang telah

dilakukan oleh terdakwa bersama teman-temannya terhadap saksi

korban;

9. Bahwa, benar terdakwa mengenal barang bukti dalam perkara ini

berupa:

- 1 (satu) buah dompet plastic warna hitam putih,

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

8

- 1 (sattu) unit sepeda motor Suzuki thunder warna biru No.Pol

AD 6949 HK,

- 1 (satu) unit sepeda motor Yanaha Yupiter warna merah

No.Pol AD 6697 YP,

- Uang tunai sebesar Rp.115.000

10. Bahwa, atas perbuatan yang terdakwa lakukan tersebut, terdakwa

mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulanginya;

Menimbang, bahwa untuk menyingkat putusan ini maka segala sesuatu

yang terjadi dimuka persidangan sebgaimanadiuraikan dalam Berita Cara

Persidangan dianggap telah termuat dalam putusan ini;

Menimbang, bahwa utnuk menyatakan seseorang telah melakukan tindak

pidana maka semua unsur-unsur dari tindak pidana yag di dakwakan haruslah

terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, Maka Majelis Hakim akan

memepertimbangkan Dakwaan Penuntut Umum tersebut;

Menimbang, bahwa terdakwa diajukan ke persidangan dengan Dakwaan

Subsideritas yakni:

Primair : Melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP;

Subsidair : Melanggar pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP;

Menimbang, bahwa Majelis terlebih dahulu akan mempertimbangkan

dakwaan primair yaitu melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP yang unsur-

unsurnya sebagai berikut:

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

9

1. Barang siapa;

2. Mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain;

3. Dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama;

4. Dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum;

5. Perbuatan tersebut didahului, disertai atau diikuti dengan

kekerasan terhadap seseorang dengan maksud untuk

mempersiapkan atau mempermudan pencurian atau dalam

hal tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan

diri sendiri atau peserta lainnya untuk tetap menguasai

barang yang dicuri;

Memperhatikan akan Pasal-pasal dari Undang-undang yang bersangkutan

khususnya pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP serta pasal-pasal dalam Undang-undang

No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHP:

MENGADILI:

1. Menyatakan bahwa Terdakwa AGUS TRI WAHYONO Als

SUWANDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “PENCURIAN DENGAN KEKERASAN”

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana

penjara 10 (sepuluh) bulan.

3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan akan

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Memerintahkan terdakwa dalam tahanan.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

10

5. Menetapkan barang bukti berupa :

- 1 (satu) buah dompet plastik warna hitam putih,

- 1 (sattu) unit sepeda motor Suzuki thunder warna biru No.Pol

AD 6949 HK,

- 1 (satu) unit sepeda motor Yanaha Yupiter warna merah

No.Pol AD 6697 YP,

- Uang tunai sebesar Rp.115.000

Dari Kasus yang ada bisa menggambarkan bahwa pemerintah harus

menjamin hak-hak korban, kepastian, keamanan dan penegakan hukum dalam

kasus tindak pidana Pencurian dengan kekerasan, dan apabila dikaitkan dengan

ketentuan di atas, tentunya keadilan bagi korban perlu dilakukan pengkajian

secara normatif bahwa telah terjadi kekosongan norma (Vacuum Norm) pada

Undang-undang No 31 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang No. 13 Tahun

2006 mengenai Perlindungan Saksi dan Korban dengan cara merinci kualifikasi

korban dalam keadaan cacat misalnya Tuna Wicara dan juga menambahkan Pasal

atau Norma yang berkaitan dengan Difabel yang berhadapan dengan hukum

dalam Undang-undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,

Undang-undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang

No.19 Tahun 2011 tentang Konverensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan juga

melakukan Rekonstruksi Perlindungan hak-hak korban perlu dilakukan sebagai

upaya memberikan perlindungan maksimal dan membuka akses seluas-luasnya

bagi korban untuk memperjuangkan kembali hak-haknya.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

11

Berdasarkan permasalahan dan fakta-fakta yang telah diuraikan diatas

maka penyusun tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai “Perlindungan

Hukum terhadap Korban (Difabel) dari Tindak Pidana Pencurian dengan

Kekerasan: STUDI PUTUSAN PN. Surakarta No.78/Pid.B/2013”

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk perlindungan norma terhadap korban Difabel selama

ini dari tindak pidana pencurian dengan kekerasan seperti pada praktek

dalam Putusan Nomor 78/Pid.B/2013/PN.Ska?

2. Bagaimana rekonstruksi norma dan perlindungan hukum kedepannya

atas difabel yang menjadi korban tindak pidana pencurian dengan

kekerasan agar mendapatkan perlindungan yang adil?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan hukum ini adalah

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan norma terhadap korban

difabel selama ini dari Tindak Pidana Pencurian dengan kekerasan

seperti pada praktekputusan hakim 78/Pid.B/2013/PN.Ska.

b. Untuk mengetahui rekonstruksi norma dan perlindungan hukum

kedepannya terhadap difabel mendapatkan perlindungan yang adil.

2. Kegunaan Penulisan

Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan yang telah

dipaparkan, maka penulisan ini mempunyai kegunaan untuk

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

12

memberikan manfaat dan masukan terhadap sasaran penulisan ini

sendiri maupun penulis. Adapun kegunaan dari penulisan hukum ini

adalah:

a. Kegunaan Teoritis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat digunakan sebagai bentuk

pengembangan ilmu pengetahuan dalam ruang lingkup hukum

pidana, khususnya mengenai perlindungan difabel sebagai korban

tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

b. Kegunaan Praktis

Penyusunan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat atau kegunaan:

1) Bagi Pemerintah

Penulisan hukum ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

dalam pembaharuan hukum pidana khususnya pembentukan

rancangan KUHPidana ke depan.

2) Bagi Masyarakat

Penulisan hukum ini diharapkan menjadi tambahan ilmu

pengetahuan mengenai aturan hukum terhadap tindak pidana

pencurian dengan kekerasan dan mengethui bentuk

perlindungan norma selama ini terhadap Difabel yang menjadi

korban tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

3) Bagi Universitas Widyagama

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

13

Penulisan hukum ini diharapkan dapat dijadikan referensi

dalam kepustakaan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana

dalam lingkungan universitas.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Difabel

Pengertian Difabel / penyandang cacat sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat dijelaskan bahwa : Penyandang cacat adalah setiap

orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat

mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk

melakukan secara selayaknya yang terdiri dari:

a. Penyandang cacat fisik adalah kececatan yang mengakibatkan

gangguan pada fungsi tubuh antara lain gerak tubuh, penglihatan,

pendengaran, dan kemampuan berbicara.

b. Penyandang cacat mental adalah kelainan dalam tingkah laku baik

kelainan bawaan maupun akibat dari penyakit.

c. Penyandang cacat fisik dan cacat mental adalah keadaan seseorang

yang menyandang dua jenis kelainan sekaligus.8)

Pengertian ini sama dengan pengertian penyandang cacat yang dimuat

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya

Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Undang-undang

8)

Biro Hukum Departemen Sosial RI, Peraturan RI Nomor 43 Tahun 1998 Tentang

Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

14

Penyandang Disabilitas juga diatur dalam Undang-undang No.8 tahun

2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mana dalam Pasal 1 ayat (1)

menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas adalah adalah setiap orang

yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik

dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan

lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi

secara penuh dan efektif dengan warganegara lainnya berdasarkan

kesamaan hak . Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, menerangkan bahwa penyandang cacat

merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh

perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Beberapa definisi tentang difabel yaitu : menurut Itinerant service of

blend children, difabel adalah seseorang yang ketunaannya sedemikian,

sehingga mata tidak berfungsi sama sekali dalam program pendidikan

tanpa melalui sistem Braile, audio aids dan perlengkapan khusus yang

diberikan untuk mencapai pendididkan secara efektif tanpa menggunakan

sisa penglihatannya.9)

“Sedangkan menurut Frans Harsanah

Sastradiningrat, seseorang dinyatakan difabel jika mengalami kerusakan

penglihatan setelah mengalami koreksi maksimal tetap memerlukan

pendekatan khusus didalam pendidikannya”.10)

9)

Branata, Pengertian Dasar Pendidikan Luar Biasa (Jakarta, 1975), hlm.53 10)

Frans Harsana Sastra Diningrat, Implikasi Psikologi Sosial Tunanetra (Jakarta, 1980),

hlm. 6

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

15

2. Pengertian Korban

Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang

No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang No.13 Tahun 2006

mengenai Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.11)

Selain itu korban

juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun

2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan korban, Pasal 1 ayat (3)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

“Pengertian korban menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang

mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.12)

Sedangkan pengertian korban menurut Sahetapy, korban adalah orang

perorangan atau badan hukum yang menderita luka-luka kerusakan atau

kerugian lainnya yang dirasakan baik secara fisik maupun kejiwaan.

11)

Titon Slamet Kurnia, Reparasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Di Indonesia

(Bandung, 2005), hlm. 6-7 12)

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Jakarta, 1993), hlm. 65

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

16

Kerugian tersebut tidak harus dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga

dilihat dari segi ekonomi, politik, maupun sosial budaya.13)

a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya

kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah

menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu;14)

1. Nonparticipating victims adalah mereka yang

menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut

berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai

karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu,

3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan

atau pemicu kejahatan.

4. Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau

memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi

korban.

5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya

sendiri.

b. Menurut Mendelshon, berdsarkan derajat kesalahannya korban

dibedakan menjadi lima macam yaitu:15)

1. Yang sama sekali tidak bersalah;

13)

Romli Atmasasmita, Penulisan Karya Ilmiah Masalah Santunan Terhadap Korban

Tindak Pidana (Jakarta, 1991-1992), hlm. 9. 14)

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi (Jakarta:

2007), hlm. 124. 15)

Rena Yulia, Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan (Yogyakarta, 2010),

hlm. 52.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

17

2. Yang jadi korban karena kelalaiannya;

3. Yang sama salahnya dengan pelaku;

4. Yang lebih bersalah dari pelaku

5. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini

pelaku dibebaskan)

c. Pengelompokan Korban menurut Sellin dan Wolfgang dibedakan

sebagai berikut:16)

1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau

perorangan (bukan kelompok)

2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan

hukum.

3. Tertiary victimization, yaitu korban bermasyarakat luas.

4. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya

konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.

3. Pengertian Tindak Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut

dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman,

karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih

tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja

dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberap orang

sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah

16)

Ibid, hlm. 63.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

18

melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum

pidana ini disebut tindak pidana (strafbaar feit).17)

Tindak pidana merupakan penderitaan baik berupa fisik maupun

psikis, ialah perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas,

terganggunya ketentraman batin. Hal ini bukan dirasakan oleh pelaku

kejahatannya saja, akan tetapi semua masyarakat pada umumnya. Pidana

berarti hukuman. Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang

dilakukan setiap orang/subyek hukum yang berupa kesalahan dari bersifat

melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.18)

Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang

hukum lain, hukum perdata, hukum ketatanegaraan dan hukum tata usaha

pemerintah, yang oleh pembentuk Undang-undang ditanggapi dengan suatu

hukuman pidana. Maka sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana

adalah sifat melanggar hukum.19)

Menurut Vos Menggunakan istilah

strafbaarfeit yaitu suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh

peratutan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya

dilarang dengan ancaman pidana.20)

Sedangkan menurut Pompe

memberikan pengertian strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran terhadap

norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan

pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan

17)

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Jakarta, 2013), hlm. 23-24 18)

Sie-Infokum Ditama Bin BangKum, Tindak Pidana dan Tindak Korupsi (Jakarta:

2010), hlm. 7. 19)

Wirdjono, Pradjodikoro, Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia (Bandung:

2003), hlm.1 20)

Bambang Poernomo, Op. Cit. hlm. 91.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

19

kesejahteraan umum,21)

sedangkan Van Hamel menyatakan bahwa

strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-

undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dialkukan dengan

kesalahan.22)

a) Jenis-jenis Tindak Pidana

Tindak Pidana dapat dibedakan atas dasar tertentu,yaitu sebagai

berikut:

1. Menurut sistem KUHPidana dibedakan antara kejahatan

(misddrivjen) yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran

(overtredingen) yang dimuat dalam Buku II.

2. Menurut cara merumuskannya,dibedakan antara tindak pidana

formil (formeel delicten) dan tindak pidana mati (materieel

delicten).

3. Berdasarkan bentuk kesalahan,dibedakan antara tindak pidana

yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan.

Sedangkan tindak piadana tidak dengan sengajan adalah tindak

pidana yang dalam rumusannya mengandung kelalaian atau culpa.

4. Berdasarakan macam perbuatannya,dpat dibedakan antara tindak

pidana aktif /positif atau disebut tindak pidana komisi.

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya.

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana

umum dan tindak pidana khusus .

21)

Wirdjono, Pradjodikoro, Op. Cit. hlm. 63. 22)

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Jakarta, 2011), hlm. 99.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

20

7. Dilihat dari subjek hukumnya,dapat dibedakan antara tindak pidana

yang dapat dilakukan semua orang (communia) dengan tindak

pidana yang dpat diklakukan oleh orang yang memiliki kualitas

pribadi tertentu.

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan.

9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan.

10. Berdasarkan hukum yang dilindungi.

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu

larangan,dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana

berangkai.23)

b) Unsur-unsur Tindak Pidana

Pada umumnya para ahli menyatakan unsur-unsur peristiwa

pidana yang juga disebut tindak pidana atau delik terdiri atas unsur

subjektif dan objektif. Menurut “R. Abdoel Djamali, peristiwa pidana

yang juga disebut tindak pidana atau delict ialah suatu perbuatan dan

rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana”.24)

Suatu

peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa hukum dapat

dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur

pidananya.unsur-unsur tersebut dari:25)

a. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan

dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang

23)

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana (Yogyakarta, 2012), hlm. 28. 24)

R Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi (Jakarta, 2006), hlm.

175 25)

Ibid, hlm. 23.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

21

dengan ancaman hukum.Yang dijadikan titik utama dari pengertian

Objektif disini adalah tindakannya.

b. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak

dikehendaki oleh undang-undang . Sifat unsur ini mengutamakan

adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

Dilihat dari unsur-unsur tindak pidana ini,maka suatu perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan suapaya dapat

dikatakan sebagai peristiwa pidana .syarat-syarat yang harus dipenuhi

peristiwa pidana sebagai berikut:

1. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya, memang benar-benar ada

suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang.

Kegiatan ini terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat

dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam

ketentuan hukum,Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum

yang berlaku pada saat itu.Pelakunya memang benar-benar telah

berbuat seperti yang terjadi.

3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.

maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh sesorang atau

beberapa orang dapat dibuktikan sebagai perbuatan yang disalahkan

oleh ketentuan hukum.

4. Harus berlawanan dengan hukum.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

22

5. Harus tersedia ancaman hukumannya.Maksutnya kalau ada yang

mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan

tertentu.26)

4. Pengertian Pencurian

Pengertian umum mengenai pencurian adalah mengambil barang

orang lain,dari segi bahasa (etimolog) pencurian berasal dari kata “curi”

yang mendapat awalan “pe”,dan akhiran “an”. Arti dari kata curi adalah

sembunyi-sembunnyi atau tidak dengan jalan yang sah atau melakukan

pencurian secara sembunyi-sembunyi atau tidak dengan diketahui orang

lain perbuatan yang dilakukannya itu. Mencuri berati mengambil milik

orang lain secara tidak sah atau melawan hukum. Orang yang mencuri

barang yang merupakan milik orang lain disebut pencuri. Sedangkan

pencurian sendiri berarti perbuatan atau perkara yang berkaitan dengan

mencuri. Menurut Pasal 362 KUHPidana pencurian adalah27)

: “Barang

siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik

orang lain,dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam

karena pencurian,dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

pidana denda paling banyak enam puluh rupiah”

a. Jenis-jenis dan Unsur-unsur Pencurian

Adapun jenis pencurian yang dirumuskan dalam pasal 362-

367 KUHPidana yaitu:

26)

Amir Ilyas, Op. Cit. hlm. 30. 27)

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta, 2003), hlm. 128.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

23

1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHPidana)

2. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan

berkualifikasi (Pasal 363 KUHPidana).

3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)

4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHPidana)

5. Pencurian dengan penjatuhan pencabutan hak (Pasal 366

KUHPidana).

Mengenai unsur-unsur pencurian sebagaimana yang diatur

dalam pasal 362 KUHPidana terdiri terdiri atas unsur-unsur

objektif dan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif sebagai

berikut:

1. Unsur-unsur objektif :

a) mengambil;

b) suatu barang /benda

c) sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.

2. Unsur Subjektif:

a) Dengan maksud

b) Memiliki untuk dirinya sendiri

c) Secara melawan hukum

Dengan melihat makna dari tiap-tiap unsur maka terlihat

bentuk dan jenis perbuatan seperti apa yang dimaksudkan sebagai

pencurian menurut KUHPidana:

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

24

1. Unsur Objektif

a) Mengambil

Perbuatan “mengambil” bermakna sebagai” setiap

perbuatan yang bertujuan untuk membawa atau mengalihkan

suatu barang ke tempat lain. Perlu diketahui arti kata dari

mengambilitu sendiri. Baik undang-undang ternyata tidak

pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang dimaksud

dengan perbuatan mengambil.28)

b) Suatu barang/benda

Dalam perkembangannya pengertian “barang” atau

“benda” tidak hanya terbatas pada benda atau barang

terwujud dan bergerak,tetapi termasuk dalam pengertian

barang/benda tidsak terwujud dan tidak bergerak .

c) Yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain

Benda atau barang yang diambil itu haruslah

merupakan barang/benda yang dimiliki baik sebagian atau

seluruhnya oleh orang lain. Jadi yang terpenting dari unsur

ini adalah keberadaan pemiliknya .karena benda atau barang

yang tidak ada pemiliknya, karena atau barang yang tidak

ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek.

2. Unsur Subjektif

28)

Ibid, hlm. 30.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

25

a. Dengan Maksud

Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana

dirumuskan demikian,unsur dengan maksud menunjuk

dengan maksud tersebut ditujukan untuk menguasai benda

yang diambilnya itu untuk dirinya sendiri secara melawan

hukum atau tidak sah, Walaupun pembentuk undang-

undang menyatakan tegas bahwa tindak pidana pencurian

seperti yang dimaksud dalam pasal 362 KHUPidana harus

dilakukan dengan sengaja, Tetapi tidak disangka lagi bahwa

tindak pidana pencurian tersebut harus dilakukan dengan

sengaja.

b. Memiliki untuk dirinya sendiri

Istilah memiliki untuk dirinya sendiri seringkali

diterjemahkan dengan istilah menguasai. Namun seseorang

yang mengambil benda/barang pada dasarnya belum

sepenuhnya menjadi pemilik dari barang yang diambilnya

tetapi baru menguasai barang tersebut. Secara melawan

hukum

Unsur “melawan hukum” memiliki hubungan erat

dengan unsur “menguasai untuk dirinya sendiri. Unsur

“melawan hukum” ini akan memberikan penekanan pada

suatu perbuatan “menguasai”, agar perbuatan “menguasai”

itu dapat berubah kedudukan menjadi perbuatan yang dapat

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

26

dipidana. Secara umum melawan hukum berarti

bertentangan dengan hukum yang berlaku baik yang tertulis

maupun yang tidak tertulis. 29)

5. Pencurian dengan Kekerasan

Pencurian dengan kekerasan adalah pencurian yang dilakukan dengan

kekerasan baik kekerasan itu terjadi sebelum maupun sesaat setelah pelaku

melakukan aksinya, tidak penting apakah pencurian itu dilakukan dengan

kekerasan fisik langsung atau tidak langsung ataupun kekerasan psikis,

yang terpenting adalah pencurian itu adalah pelaku membuat orang

„disekitarnya‟ tidak berdaya terhadapnya. Tindak pidana pencurian dengan

kekerasan itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 365

KUHPidana, yang rumusannya sebagai berikut :30)

“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun

pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan

atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk

mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal

tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau

peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang dicuri.

(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :

Ke-1 Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah

rumah atau dipekarangan tertutup yang ada rumahnya,

diberjalan.

Ke-2 Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan

bersekutu;

Ke-3 Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak

atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Ke-4 Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun.

29)

Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Special Delicten) (Jakarta, 2015), hlm. 75. 30)

Ibid , hlm. 79

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

27

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama

waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan

mengakibatkan luk a berat atau kematian dan dilakukan oleh dua

orang atau lebih”.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis

normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk

menemukan suatu aturan hukum, prinsip-psinsip hukum maupun doktrin-

doktrin hukum guna menjawab isu yang dihadapi.31)

Selain itu metode

penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya.2

2. Metode Pendekatan

Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam

penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach)

dilakukan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan dengan isi dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani;

pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.33)

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan dalam suatu

penelitian dapat berwujud bahan hukum yang diperoleh melalui bahan-

31)

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta, 2007), hlm. 35. 2)

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang, 2007),

hlm. 57. 33)

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. hlm. 93-95

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

28

bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari masyarakat. Bahan

hukum yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan bahan hukum

primer, sedangkan bahan yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dan

dokumentasi disebut bahan hukum sekunder.34)

Sesuai dengan pembedaan tersebut, penelitian hukum dapat dibedakan

menjadi dua yaitu: penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

doktrinal, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data

sekunder, penelitian hukum empiris atau penelitian hukum yang

mempergunakan data primer35)

, yang oleh penulis digunakan juga sebagai

data pendukung dalam penelitian ini, bukan sebagai data utama karena

sebagai tambahan interpretasi dari peran serta itu sendiri.

Bahan hukum sekunder di bidang hukum (dipandang dari sudut

kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi :

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif atau artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.36)

Dalam hal ini meliputi:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

34)

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta, 1990),

hlm. 10 35)

Ibid, hlm. 26. 36)

Ronny Hanitijo Soemitro, Loc. Cit. hlm. 10.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

29

3. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi

Manusia.

5. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan korban, Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan Undang-undang No.13 Tahun 2006 mengenai

Perlindungan Saksi dan Korban.

6. Undang-undang No.15 tahun 2003 tentang Penggantian yang

bersifat Materiil dan Immaterial.

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat memepunyai Hak dan Kesempatan.

8. Undang-undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang

Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang

Disabilitas.

9. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer adalah37)

buku-buku, artikel, jurnal

hukum, rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah

37)

Jhonny Ibrahim, Loc. Cit. hlm. 57.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

30

para sarjana, hasil-hasil penelitian, yang tentunya mempunyai

relevansi dengan apa yang hendak diteliti.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam hal pengumpulan bahan hukum, baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik

permasalahan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu peneliti

mengumpulkan bahan-bahan hukum dari berbagai peraturan perundang-

undangan, buku-buku, artikel, jurnal ilmiah, makalah, hasil penelitian

pakar hukum dan kliping koran serta melakukan browsing internet

mengenai segala hal yang terkait dengan permasalahan di atas.

5. Metode Analisis Bahan Hukum

“Adapun metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif

kualitatif yaitu menyajikan kajian pada data-data yang diperoleh dari objek

penelitian. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan

data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala

lainnya”.38)

Maksudnya adalah bahan hukum yang diperoleh dalam

penelitian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan

dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang

telah dirumuskan.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini akan disusun dalam 4 (empat) bab dengan

sistematika sebagai berikut :

38)

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, 2007), hlm. 10

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/f4ebcbc1860520ad25e78b88be2fee70.pdf2 penyandang disabilitas (Difabel) yang mendapatkan perlakuan diskriminasi

31

BAB I : PENDAHULUAN

Di dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan keguanaan penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II : HASIL PENELITIAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian berupa bahan yang diperoleh dari

beberapa referensi, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang meliputi

perlindungan norma terhadap korban Difabel selama ini seperti pada Putusan

No. 78/Pid.B/2013/PN/Ska dan bagaimana rekonstruksi norma dan

perlindungan hukum kedepannya terhadap difabel untuk mendapatkan

perlindungan hukum yang adil.

BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN

Pada bab ini membahas hasil penelitian yang meliputi :

1. Bagaimana bentuk perlindungan norma terhadap korban Difabel selama

ini dari tindak pidana pencurian dengan kekerasan seperti pada praktek

dalam Putusan Nomor 78/Pid.B/2013/PN.Surakarta?

2. Bagaimana rekonstruksi norma dan perlindungan hukum kedepannya atas

difabel yang menjadi korban tindak pidana pencurian dengan kekerasan

agar mendapatkan perlindungan yang adil?

BAB IV : PENUTUP

Bab penutup ini berisi tentang kesimpulan-kesimpulan dari analisis

permasalahan yang telah di bahas dalam bab-bab awal dan juga berisi saran-

saran kontruktif dari penulis terhadap berbagai permasalahan yang ada.