bab i pendahuluan a. latar...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan anugerah titipan dari yang maha kuasa sehingga harus dijaga dan dipelihara serta di didik dengan baik agar menjadi anak yang baik dan jauh dari hal- hal yang akan membawa dirinya ke dalam perbuatan atau tindakan pelanggaran hukum pidana. Masa depan bangsa terletak pada anak sebagai generasi penerus bangsa. Anak yang melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana adalah anak yang berhubungan dengan hukum. Oleh karena statusnya masih anak, maka penanganannya-pun harus beda dengan orang dewasa. Anak dalam pengertian yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu pengetahuan, tetapi dapat diperhatikan dari sisi pandang sentralistis kehidupan, seperti agama, hukum dan sosiologis yang menjadikan anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. 1 Anak membutuhkan perawatan dan perhatian, karena sifat, fisik dan mentalnya masih labil, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial. Demi mewujudkan kesejahteraan anak dan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi, 1 Maulana Hasan Wadang, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2000), hlm. 1

Upload: trinhlien

Post on 27-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan anugerah titipan dari yang maha kuasa sehingga harus dijaga

dan dipelihara serta di didik dengan baik agar menjadi anak yang baik dan jauh dari hal-

hal yang akan membawa dirinya ke dalam perbuatan atau tindakan pelanggaran hukum

pidana. Masa depan bangsa terletak pada anak sebagai generasi penerus bangsa. Anak

yang melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana adalah anak yang berhubungan

dengan hukum. Oleh karena statusnya masih anak, maka penanganannya-pun harus beda

dengan orang dewasa.

Anak dalam pengertian yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu

pengetahuan, tetapi dapat diperhatikan dari sisi pandang sentralistis kehidupan, seperti

agama, hukum dan sosiologis yang menjadikan anak semakin rasional dan aktual dalam

lingkungan sosial.1

Anak membutuhkan perawatan dan perhatian, karena sifat, fisik dan mentalnya

masih labil, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik

fisik, mental maupun sosial. Demi mewujudkan kesejahteraan anak dan memberikan

jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

1 Maulana Hasan Wadang, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Gramedia

Widiasarana, 2000), hlm. 1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

2

maka diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang

menjamin pelaksanaan dan menjamin hak-hak anak secara khusus.

Status dan kondisi anak di Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah

pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak di Indonesia masih

dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai kegiatan bermain, belajar

dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diawarnai data

kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.2

Kekerasan yang dialami oleh anak ada kecenderungan untuk melakukan

kekerasan terhadap anak lainnya, sehingga terjadilah anak sebagai korban kekerasan dan

anak sebagai pelaku kekerasan. Persoalan ini muncul ketika para pendidik khususnya

dan orang tua lengah dalam memberikan pelajaran terhadap anak, sehingga anak mudah

bergaul dengan orang lain yang hidup dengan penuh kekerasan dan pelanggaran hukum

pidana seperti anak melakukan pencurian, pemerkosaan, dan menjadi pengedar obat-

obatan terlarang sejenis sabu dan norkoba.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak tersebut termasuk pelanggaran

hukum pidana yang dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, karena setiap pelanggaran hukum pidana tidak

ditujukan untuk orang dewasa, tetapi untuk subjek hukum, tanpa dibedakan apakah

2 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cetakan ke 1, (Bandung: Nuansa., 2006), hlm.

13

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

3

pelakunya masih tergolong anak atau orang dewasa, sedangkan anak termasuk subjek

hukum, sehingga ada perbedaan penanganan.

Menurut BPS, setiap tahunnya terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran

hukum yang dilakukan anak-anak di bawah usia 16 tahun. Pada tahun 1994 terdapat

9.442 perkara. Pada tahun 1995 menurun yaitu 4.724 perkara. Sebagian perkara

berkenaan dengan tindak kriminal ringan seperti pencurian, dari seluruh anak yang

ditangkap hanya hanya sekitar separuh yang diajukan ke pengadilan dan 83% dari

mereka kemudian dipenjarakan (Departemen sosial RI).3

Persoalan anak yang bermasalah dengan hukum (anak yang berhadapan dengan

hukum) di era modern ini semakin marak seiring dengan perkembangan teknologi

informasi yang dapat disalahgunakan oleh anak, keadaan ini disebut juga dengan

kenakalan remaja.

Kenakalan (anak) remaja merupakan suatu perbuatan yang dilakukan kaum

remaja yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di masyarakat. Kenakalan

remaja dapat dibedakan menjadi kenakalan biasa dan kenakalan yang merupakan tindak

pidana. Kenakalan remaja yang merupakan tindak pidana, perbuatannya diancam dengan

hukuman pidana.4

3 Ibid, hlm. 83. 4 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Cetakan ke 2, (Jakarta: Djambatan,

2005), hlm. 4

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

4

Kenakalan anak dan remaja sangat bervariasi, dapat ditinjau dari segi

penyimpangan nilai atau pelanggaran hukum. Anak laki-laki lebih banyak melakukan

pelanggaran hukum yang disertai kekerasan dibandingkan anak perempuan, selanjutnya

anak dari golongan masyarakat bawah lebih banyak melakukan pelanggaran hukum

dibandingkan anak golongan menengah ke atas (karena masalah ekonomi, penegakan

hukum dan statistik).5 Oleh karena itu, anak membutuhkan pengayoman agar tidak

melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana.

Kenakalan anak remaja ini dibuktikan dengan beberapa kasus yang berhasil

ditangani oleh pihak kepolisian Unit PPA Polres Malang Kota, di antaranya adalah kasus

penangkapan pada hari Rabu Tanggal 02 November tahun 2016 jam 09.000 oleh IPDA

Yuliana Plantika NRP 92070848 jabatan kanit PPA Satreskrim Polres Malang Kota

bersama beberapa penyidik lainnya. Penangkapan ini dilakukan terhadap Muhammad

Adi Suparman pekerja kuli bangunan alamat Jln. S. Supriadi II B Kel. Sukun, Kec.

Sukun Kota Malang, yang bersangkutan ditangkap berdasarkan bukti permulaan yang

cukup yang bersangkutan di duga ada keterkaitan tindak pidana persetubuhan terhadap

anak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 29 Oktober 2016 pukul 19.00.

WIB di jalan Klayatan GG 1 Kec. Sukun Kota Malang.

5 Abu Huraerah, Op.Cit, hlm. 84

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

5

Kejadian penangkapan ini bermula bahwa Mohammad Adi Suparman

diamankan oleh pelapor/korban beserta saksi-saksi selanjutnya di bawa ke Polres

Malang Kota karena diduga melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang

kemudian diserahkan kepada petugas untuk dilakukan penangkapan.

Kasus terbaru Pebruari tahun 2017 adalah kasus asusila yang dilakukan oleh

Rendra Yuwangga umur 21 Tahun warga Desa Jatiguwi Kecamatan Sumberpucung

melakukan asusila terhadap Andryani Candra Luckyta umur 16 tahun warga Desa

Trenyang Kecamatan Sumberpucung sebagai korban. Keduanya memang memiliki

hubungan asmara, tetapi kondisi Andryani Candra Luckyta masih berstatus anak,

akhirnya Rendra Yuwangga ditangkap oleh pihak kepolisian Polres Malang Kota atas

laporan kedua orang tua Andryani Candra Luckyta. Dalam suasana ditahan, keduanya

dinikahkan di Polres Malang Kota. Pernikahan Rendra Yuwangga dan Andryani Candra

Luckyta atas kesepakatan kedua pihak keluarga tersangka dan korban, dan nantinya

bukti pernikahan ini akan menjadi pertimbangan hakim saat persidangan.

Sasaran perlindungan bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus

berdasarkan konvensi hak-hak anak, salah satunya adalah anak-anak dalam konflik

dengan hukum (children in conflict with law), agar mereka:6

1. Tidak mendapat penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang keji, tidak

manusiawi, atau merendahkan martabat.

6 Ibid, hlm. 85

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

6

2. Tidak ada hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi orang yang umurnya di

bawah 18 tahun.

3. Tidak seorangpun anak akan direnggutkan kebebasannya secara melawan hukum.

Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan harus sesuai dengan hukum dan hanya

digunakan sebagai langkah tarakhir dan untuk masa yang sesingkat-singkatnya.

4. Setiap anak yang direnggut kebebasannya akan:

a. Akan diperlakukan secara manusiawi dan menghargai martabat kemanusiaan.

b. Dipisahkan dari tahanan atau napi dewasa, kecuali jika hal yang sebaliknya

dianggap sesuai dengan kepentingan terbaik untuk anak.

c. Tetap mempunyai hak untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua, atau

anggota keluarganya.

d. Mempunyai atas akses segera kepada bantuan hukum dan bantuan lain juga

untuk mempertanyakan legalitas perenggutan kebebasannya dan mendapat

putusan segera menyangkut hal itu.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak telah memberikan jalan keluar bagi anak yang melakukan tindak pidana

dengan memberikan jalan diversi. Menurut Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa Diversi

adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke

proses di luar peradilan pidana.

Beberapa kasus yang terjadi di kota Malang sebagaimana data pada Polres

Malang Kota sejak tahun 2014, jumlah yang diversi sampai dengan tahun 2016, menarik

untuk dikaji pelaksanaan kasus Mohammad Adi Suparman Berita Acara Pemeriksaan

Pelaku (BAP) pada haru Rabu tanggal 02 November 2016 yang dilakukan oleh Setiawan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

7

pangkat AIPTU NRP. 773120254, selaku penyidik pembantu pada kantor yang sama

berdasarkan Surat Keputusan Kapolda Jatim Nomor: Skep/12/VIII/201, tanggal 29

Agustus 2016, dari paparan tersebut, maka diangkat sebuah penelitian dengan judul:

Analisis Hukum tentang Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak

Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak: Studi di Unit PPA Polres Malang

Kota.

B. Perumusan Masalah

Setelah penulis mengidentifikasi problematika anak yang berhadapan dengan

hukum di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi kriteria untuk menentukan diversi terhadap anak pelaku tindak

pidana dalam sistem peradilan pidana anak?

2. Bagaimana pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem

peradilan pidana anak ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Harapan penulis yang menjadi tujuan dicapainya penulisan hukum ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis apa yang menjadi kriteria untuk

menentukan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan

pidana anak.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

8

b. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku

tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak.

2. Kegunaan Penulisan

Setelah tujuan dicapai dalam penulisan ini, maka tentunya ingin

memberikan manfaat dalam penulisan hukum ini baik manfaat secara teoritis

maupun praktis sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat untuk

memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, pidana

khususnya dalam menganalisis persoalan pelaksanaan diversi terhadap anak

pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Pemerintah

Hasil analisis penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian

mengenai pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam

sistem peradilan pidana anak. Hal ini dimaksudkan apakah pelaksanaan

diversi bagi anak pelaku tindak pidana sudah tepat mengingat yang namanya

pidana harus diselesaikan dengan hukum.

2) Bagi Masyarakat

Dapat digunakan sebagai informasi ilmiah yang akan menambah

pengetahuan mengenai analisis hukum tentang pelaksanaan diversi terhadap

anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak.

3) Bagi Mahasiswa

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

9

Dapat digunakan sebagai bahan kajian perbandingan jika mahasiswa

melakukan penelitian yang berkaitan dengan anak sebagai pelaku tindak

pidana.

4) Bagi Fakultas Hukum

Dapat dijadikan sebagai tambahan referensi di perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, mengingat referensi dari

skripsi merupakan hasil penelitian.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Anak Dalam Perspektif Hukum

Di dalam peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi

internasional serta pendapat ahli terdapat beberapa pengertian anak sebagai berikut:

a. Anak Menurut KUHP

Menurut KUHP Pasal 45 menjelaskan, dalam hal penuntutan pidana

terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum

umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya

yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya,

tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan

kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan

atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497,

503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua

tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

10

pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau

menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

b. Anak Menurut Hukum Perdata

Sedangkan menurut Burgerlijk Wetboek (BW) Pasal 330 menjelaskan

bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21

(dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

c. Anak Menurut Hukum Ketenagakerjaan

Menurut Pasal 1 angka (26) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan bahwa yang dimaksud anak adalah setiap orang yang

berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.

d. Anak dalam Hukum Perlindungan Anak

Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perlindungan

Anak menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.

e. Anak Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak

Sedangkan pengertian anak yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (1)

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa anak

adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)

tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

kawin.

f. Anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak menjelaskan pengertian tentang anak, tetapi

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

11

memberikan pengertian anak yang bermasalah dengan batasan-batasan umurnya,

yaitu:

1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik

dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak

yang menjadi saksi tindak pidana.

2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut

Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut

Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun

yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara

pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

g. Anak Menurut Undang-Undang Perkawinan

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, memberikan batasan usia, bahwa seorang pria hanya diijinkan

kawin apabila telah mencapai usia 19 tahun, dan pihak wanita mencapai 16

tahun. Penyimpangan atas batasan umur tersebut hanya dapat dimintakan

dispensasi kepada Pengadilan.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

12

h. Anak dalam Undang-Undang Perdagangan Orang

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa

anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.

i. Anak dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejehteraan anak,

menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 (dua puluh

satu) tahun dan belum menikah.

j. Anak dalam The Minimum Age Convention

Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 Tahun 1973

memberikan pengertian tentang anak bahwa anak adalah seseorang berusia 15

(lima belas) tahun ke bawah.

k. Anak dalam Convention on The Rights of The Child

Dalam Convention on The Rights of The Child tahun 1989 yang telah

diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990

Tentang Pengesahan Convention on the Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak

Anak) disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 (delapan belas)

tahun ke bawah.

l. Anak Menurut Unicef

Sementara itu, Unicef mendefinisikan bahwa anak adalah sebagai

penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

13

Mendasarkan beberapa pengertian anak yang tersebar dibeberapa peraturan

perundang-undangan tersebut, maka yang disebut anak sesuai dengan batasan usia

yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan itu. Jika keluar dari

batas usia yang telah ditetapkan di atas, maka sudah bukan dalam kategori anak. Jika

anak melakukan tindak pidana, maka ia diberikan alternatif penyelesaiannya melalui

upaya diversi.

2. Pengertian Diversi

Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang

menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara

atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan

kebijakan yang dimiliknya.7

Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani

pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada

kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi

keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh

keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat

penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut

discretion atau diskresi.8

7 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,

(Medan: USU Press , 2010), hlm. 1. 8 Ibid, hlm. 2

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

14

Sementara menurut Wahyudi diversi bagi pelaku anak adalah untuk

menyediakan alternatif yang lebih baik dibanding dengan prosedur resmi

beracara di pengadilan.9

Bahkan saat ini mayoritas anak yang berhadapan dengan hukum,

terutama yang dibawa ke sistem peradilan pidana, hakim menjatuhkan pidana tetap

perampasan kemerdekaan. Efek negatif disebabkan oleh adanya proses pengadilan

pidana yaitu efek negatif sebelum pemeriksaan perkara, ini timbul karena

terdapat sumbersumber tekanan seperti: pertanyaan yang tidak simpatik; anak harus

menceritakan kembali peristiwa yang tidak menyenangkan; menunggu

persidangan; dan pemisahan dengan keluarga. Efek negatif ketika proses

persidangan terhadap anak dikarenakan adanya tata ruang pengadilan;

berhadapan dengan korban, dan para saksi; berbicara dihadapan para petugas

pengadilan. Efek negatif setelah persidangan terhadap anak, hal ini disebabkan

dengan adanya putusan hakim.10

Dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Indonesia Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah

pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses

di luar peradilan pidana.

9 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 53 10 Ibid, hlm. 4

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

15

Sedangkan di dalam kamus ilmiah populer, diversi diartikan hiburan, atau

pengalihan. Tetapi baik hiburan maupun pengalihan intinya memberikan ruang

khusus bagi anak pelaku tindak pidana agar diselesaikan di ruang khusus, yaitu di

luar peradilan.

3. Sistem Peradilan Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem merupakan satu kesatuan yang utuh satu sama lain saling

ketergantungan. Menurut Muladi, pengertian sistem harus dilihat dalam konteks,

baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu

bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti

gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling

ketergantungan.11

Pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada

Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri mengacu kepada Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, dan

ketentuan hukum materiilnya mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).12

11 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: BP Universitas Diponegoro,

1995), hlm. 23 12 M. Khalid Ali, “Kajian Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Kebijakan

Hukum Pidana”, dalam stih-malang.ac.id upload 2015/12, diakses 2 Oktober 2016, hlm. 1

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

16

Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di

Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice

Science. Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana merupakan

sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.13

Menurut Michael King sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, ada 7

(tujuh) model Sistem Peradilan Pidana adalah sebagai berikut:14

a. Due Process Model (DPM)

Model ini menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang

bagaimana sistem harus bekerja sesuai dengan gagasan-gagasan atau sifat yang

ada dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-hak

terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk diadili secara adil,

persamaan di depan hukum dan peradilan.

b. Crime Control Model (CCM)

Model ini sistem yang bekerja dalam menurunkan atau mencegah dan

mengekang kejahatan dengan menuntut dan menghukum mereka yang bersalah.

13 Mardjono Reksodiputro, Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan

Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas

Indonesia, 1994), hml. 84-85, dalam M. Khalid Ali, Ibid, hlm. 2 14 Lilik Mulyadi, Peradilan Terorisme Kasus Bom Bali, (Jakarta: Djambatan., 2005), hlm.

67, selanjutnya lihat M. Khalid Ali, “Kajian Sistem Peradilan. Ibid, hlm. 3-4

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

17

Lebih menjaga dan melayani masyarakat. Polisi harus berjuang melawan

kejahatan.

c. Medical Model (diagnosis, predection and treatment selection)

Model ini menggambarkan satu dari pertimbangan masing-masing

tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang

melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui

pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasaan untuk memperingatkan

pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial.

d. Bureaucratic Model

Model ini bertujuan menekan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa

diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien.

Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama.

Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka

penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil

saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan

pembuktian.

e. Status Passage Model Model ini bertujuan menekan bahwa pelanggar harus diadili di depan

umum dan dijatuhi hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan

pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman perlu untuk

menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum yang kebal dari

masyarakat. Hukum publik dan ungkapan pencelaan dalam rehabilitasi dapat

menyebabkan perasaan malu para pelanggar.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

18

f. Power Model

Model ini bertujuan bahwa sistem peradilan pidana pada dasarnya

memperkokoh peranan penguasa sebagai pembuat hukum dan sekaligus

menerapkannya di masyarakat. Hukum pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi

oleh kepentingan dari golongan yang dominan, seperti ras, jenis kelamin dan

lain-lain.

g. Just Desert Model (Just Desert Model & Just Punishment)

Model ini bertujuan agar setiap orang yang bersalah harus dihukum

sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tersangka harus diperlakukan sesuai

dengan hak asasinya, sehingga hanya mereka yang bersalah yaang dihukum.

Juga memberi ganti kerugian kepada yang bersalah.

Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim

dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan

penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya

terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas dan

wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya

(actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, Pasal 1 angka (1) menyatakan, bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak adalah

keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,

mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani

pidana.

Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

19

a. Pelindungan;

b. Keadilan;

c. Nondiskriminasi;

d. Kepentingan terbaik bagi Anak;

e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;

g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;

h. Proporsional;

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;

j. penghindaran pembalasan.

4. Tinjauan Hukum Penyidikan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Pemeriksaan suatu kasus tindak pidana di Kepolisian akan dilakukan proses

penyidikan oleh pihak kepolisian. Menurut KUHAP dijelaskan, bahwa yang

dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.15 Untuk mengumpulkan bukti-

bukti tentang suatu tindak pidana, maka penyidik melakukan beberapa tindakan yang

harus dilakukan, di antaranya adalah pemanggilan tersangka dan saksi,

penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

15 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

20

Menurut Kuffal, suatu semboyan penting dalam hukum acara pidana

yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan

sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya

dibebankan kepadanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang

dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan

mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian

penyidikan.16

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang ini untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pengertian

penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya

persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah

pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa

yang patut diduga merupakan tindak pidana.17

16 H.M.A. Kuffal. Penerapan Kuhap Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press,

2008), hlm. 47. 17 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2002), hlm. 99-100

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

21

Pengertian penyidikan dalam bahasa Belanda disejajarkan dengan

pengertian opsporing. Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti

pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh

undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar

yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.18

5. Aspek Hukum Terhadap Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum

dalam Proses Peradilan

Konvensi Hak Anak merupakan instrument internasional dalam

penyelenggaraan perlindungan anak. Konvensi ini berdasar pada 4 (empat) prinsip,

antara lain suara anak di dengar dan kepentingan baik bagi anak. Selain itu, secara

tegas Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada Tahun 1990.

Konsekuensinya, sejak itu Indonesia tunduk pada ketentuan internasional.19

Dalam Konvensi Hak Anak, hak anak dikelompokkan ke dalam 5 (lima)

kelompok, yaitu: (1) hak dan kebebasan sipil. (2) lingkungan keluarga dan

18 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 120

19 Tb. Rachmat Sentika, “Peran Ilmu Kemanusiaan Dalam Meningkatkan Mutu Manusia

Indonesia Melalui Perlindungan Anak Dalam Rangka Mewujudkan AnakIndonesia yang Sehat,

Cerdas Ceria, Berakhlak Mulia dan Terlindungi”, dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 11 Tahun 6,

Agustus 2007, diakses 2 Oktober 2016, hlm. 234

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

22

pemeliharaan alternatife. (3) kesehatan dan kesejahteraan dasar. (4) pendidikan,

kegiatan liburan dan budaya. (5) perlindungan khusus.20

Untuk mempercepat terimplementasinya KHA di tingkat kota pada

masingmasing Negara Pihak, Unicef memperkenalkan Child Friendly City pada

Konferensi Kota Istambul, 1996. Inti dari inisiatif ini adalah mengarahkan pada

transformasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak dari kerangka hukumke

dalamdefinisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan

program yang ramah anak.21

Demi pengembangan ke pribadian secara penuh dan serasi, anak hendaknya

tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan keluarga yang bahagia penuh kasih

sayang dan pengertian. Anak harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan

pribadi dalam masyarakat dan dibesarkan dalam suasana yang dinyatakan dalam

piagam PBB khususnya dalam semangat perdamaian, bermartabat, tenggang rasa,

kemerdekaan, perdamaian, kesetiakawanan.22

Kemudian diadakan deklarasi Jenewa tahun 1924 tentang Hak-Hak Asasi

Anak, menyatakan perlunya perluasan pelayanan khusus bagi anak, hal ini disetujui

oleh majelis PBB pada tahun 1959 dan diakui dalam deklarasi Hak Asasi Manusia

20 Ibid.

21 Ibid. 22 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, cetakan ke-2, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2003), hlm. 104

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

23

sedunia, dalam perjanjian internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik anak

memerlukan pengayoman dan pemeliharaan khusus termasuk pertumbuhannya

sebelum dan sesudah kelahiran.23

Menurut I Gede Arya B. Wiranaya, pada dasarnya terdapat 2 (dua) hak dasar

pada manusia termasuk anak, yaitu:24

Pertama, hak manusia, yaitu hak yang melekat pada manusia dan secara

asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup

manusia, bersifat tetap dan utam, tidak dapat dicabut, tidak tergantung

dengan ada atau tidaknya orang lain disekitarnya. Dalam sekala yang lebih

luas hak asasi menjadi asas undang-undang. Wujud hak ini diantaranya

berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi atas

nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan

mengeluarkan pendapat, emansipasi wanita.

Kedua, hak undang-undang (legal rights), yaitu hak yang diberikan oleh

undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia. Oleh karena

diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas tertuang di dalam sejumlah

peraturan perundang-undangan. Barang siapa yang tidak memenuhi

23 Ibid. 24Muladi (ed), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat, Cetakan Pertama, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 229

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

24

ketentuan undang-undang, maka kepadanya dikenakan sanksi yang

ditentukan oleh pembentuk undang-undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

dijelaskan dengan rinci di dalam Bab III sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengenai hak dan kewajiban anak sebagai

berikut:

Kemudian, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25 Setiap anak berhak atas

suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.26Setiap anak berhak

untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat

kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.27

Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat

menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak

tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang

25 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 26 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

27 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

25

lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.28 Setiap

anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.29

Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakatnya. Selain hak anak tersebut, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga

berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki

keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.30

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya

demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.31

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul

dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,

bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangandiri.32

28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

29 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

30 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 31 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

32 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

26

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.33 Setiap anak selama

dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung

jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

1. Diskriminasi;

2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

3. Penelantaran;

4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

5. Ketidakadilan; dan

6. Perlakuan salah lainnya.

Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman.34 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,

kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan

pertimbangan terakhir.35

33 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 34 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

35 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

27

Sedangkan dalam proses pengadilan, ada beberapa hak-hak anak yang harus

dibedakan dengan orang pelaku tindak pidana orang dewasa, yaitu sebagai berikut:36

1 Pemeriksaan di sidang tertutup untuk umum;

2 Pemberitaan harus menggunakan singkatan baik nama anak, orang tua, wali atau

orang tua asuh;

3 Terdakwa didampingi orangtua, wali, orangtua asuh, penasihat hukum,

pembimbing kemasyarakatan ter-masuk dalam pemeriksaan saksi;

4 Orangtua, wali atau orangtua asuh wajib hadir dalam sidang;

5 Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai

dengan umurnya;

6 Dipisahkan dari orang dewasa;

7 Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

8 Melakukan kegiatan rekreasional;

9 Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak

manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

10 Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

11 Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan

dalam waktu yang paling singkat;

12 Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak

memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

36 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

28

13 Tidak dipublikasikan identitasnya;

14 Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh

Anak;

15 Memperoleh advokasi sosial;

16 Memperoleh kehidupan pribadi;

17 Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

18 Memperoleh pendidikan;

19 Memperoleh pelayananan kesehatan; dan

20 Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Kemudian ketika anak yang berhadapan dengan hukum ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan Anak, maka juga harus dibedakan penempatannya, agar

anak tidak terkontaminasi dengan yang dewasa, yaitu:

1. Harus terpisah dari orang dewasa;

2. Dapat ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan

pemerintah/swasta syaratnya: Kepala LP mengajukan izin kepada Menteri

Kehakiman;

3. Anak yang telah berumur 18 tahun harus dipindah ke LP, tapi ditempatkan

terpisah dari yang telah berumur 21 tahun atau lebih

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

29

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum, menurut Soerjono Soekanto,

penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka

juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan- permasalahan yang

timbul di dalam segala yang bersangkutan.37

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kantor Polres Malang Kota, hal ini

dimaksudkan bahwa disamping bidang tugas, penelitian di Polres Malang Kota juga

terdapat kasus yang menarik untuk dijadikan bahan kajian.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data 1) Data Primer, adalah data dasar atau data pokok yang diperoleh dari tempat

penelitian di mana penulis melakukan penelitian.

2) Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur (studi

kepustakaan) yang ada hubungannya dengan rumusan masalah sebagai isu

hukum.

37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press., 2007), hlm. 43

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

30

3) Data tersier, adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap data primer dan sekunder.

b. Sumber Data

Penulisan hukum ini menggunakan tiga jenis sumber data yang masing

diperoleh adalah sebagai berikut:

1) Data Primer, adalah data-data yang diperoleh dari sumber responden yang

telah ditentukan untuk diwawancarai dan memberikan keterangan mengenai

pengaturan pelaksanaan diversi anak pelaku tindak pidana, dan dokumen

terkait dengan anak dalam kasus-kasus anak yang berhadapan dengan

hukum.

2) Data Sekunder, adalah data yang bersumber dari buku-buku, makalah

ilmiah, artikel-artikel, putusan pengadilan, Undang-Udang Dasar Negara RI

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015

Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum

Berumur 12 (dua belas) Tahun.

3) Data tersier, adalah data yang bersumber dari kamus Bahasa Indonesia,

kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data baik data primer, sekuder, maupun tersier dalam

penulisan hukum ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Untuk data primer cara pengumpulannya dilakukan melalui wawancara.

Pengumpulan data melalui tanya jawab terhadap pihak-pihak di Polres Malang

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

31

Kota yang telah ditetapkan sebagai responden dan juga melakukan observasi di

Polres Malang Kota, dan juga studi dokumen yang terkait dengan anak,

karenanya akan memperoleh data dan informasi secara yang tepat dari

sumbernya.

b. Untuk data sekunder cara pengumpulannya dilakukan melalui pengkajian

terhadap buku, makalah hukum, artikel yang biasa dikenal dengan studi

kepustakaan (library research), peraturan perundang-undangan, dan data dari

media elektronik yang berkaitan dengan rumusan masalah.

c. Untuk data tersier cara pengumpulannya dilakukan melalui studi terhadap kamus

hukum maupun kamus bahasa Indonesia, indeks.

5. Pengambilan Sampel dan Penentuan Responden

Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan non random sampling

(tidak secara acak) yang penentuannya menggunakan cara purporsive sampling atau

tidak secara acak. Artinya penulis langsung menentukan tempat penelitian dan

petugas yang dapat dimintai keterangan atau wawancara untuk mendapatkan data

dan informasi terkait dengan pelaksanaan diversi anak pelaku tindak pidana.

Menurut Hilman Hadikusuma, metode sampling cara penarikan sampel atau

pengambilan contoh, lokasi yang akan disurve dan diamati, atau para responden

yang akan diwawancarai.38 Dalam hal adalah Unit PPA Polres Malang Kota.

38 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum,

(Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 70

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

32

Sementara itu, sampel responden yang akan dijadikan responden dalam

penelitian ini, yaitu:

a. Unit PPA Satreskrim Polres Malang Kota;

b. Anak Pelaku Tindak Pidana.

6. Metode Analisis Data

Metode analisis data ini dilakukan secara kualitatif. Secara kualitatif artinya

menguraikan bahan secara beruntun dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,

logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan

interpretasi data.39

Analisis data hukum dilakukan secara komprehensif dan lengkap.

Komprehensif artinya analisis data secara mendalam dan menyeluruh sesuai dengan

rumusan masalah. Lengkap artinya tidak ada data yang terlupan dari hasil analisis ini

terkait dengan pelaksanaan diversi anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan

pidana anak di Indonesia yang hasilnya sajikan dalam uraian dan tabel.

F. Sistematika Penulisan

Penyusunan penulisan hukum ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab dengan

sistematika sebagai berikut:

39 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2004), hlm. 86- 87

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/305f559628ec0a5e88dc...jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,

33

BAB I : PENDAHULUAN

Bab I pendahuluan berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan

penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : HASIL PENELITIAN

Merupakan bab hasil penelitian yang telah dicantumkan dalam perumusan

masalah tentang Kriteria untuk menentukan diversi terhadap anak pelaku

tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak, tentang Pelaksanaan

diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana

anak.

BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini akan dijelaskan hasil penelitian yang diuraikan dalam bab II

yaitu analisis tentang Kriteria untuk menentukan diversi terhadap anak

pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak, analisis tentang

Pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem

peradilan pidana anak.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dianalisis, dan

saran/rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan diversi anak di masa

mendatang.