bab i pendahuluan a. latar belakang masalahdigilib.uinsgd.ac.id/610/4/4_bab1sd4.pdfsyariah untuk...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga keuangan yang berdasarkan pada prinsip syariat Islam,
merupakan metode baru yang dijadikan alternatif atau solusi untuk mengatasi
permasalahan yang timbul dalam ekonomi. Dimana lembaga keuangan ini
beroperasional sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat Islam, yang didalamnya
menyangkut tata cara bermuamalah yang jauh dari unsur-unsur riba, gharar,
maisir, haram, dan zalim.
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang
yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam yang
melakasanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan
uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian
kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai dengan
syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak masa Rasululloh saw.
Praktik-praktik seperti menerima titipan harta meminjamkan uang untuk
keperluan konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang telah
lazim dilakukan semenjak zaman Rasululloh saw. Dengan demikian, fungsi-
fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan
melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasululloh Saw (Karim, 2004:18).
2
Bank syariah tidak hanya menjalankan fungsi sebagai lembaga
penghimpun dana, namun sebagai lembaga tempat masyarakat dapat memperoleh
pembiayaan untuk keperluan peningkatan usaha ataupun untuk pemenuhan
kebutuhan yang sifatnya konsumtif. Bank syariah dalam hal ini berperan sebagai
lembaga pembiayaan atau investasi kepada masyarakat.
Pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara
Syariah untuk pembiayaan warga yang ingin mendapatkan rumah cukup pesat
belakangan ini. Dari lima Kantor Cabang divisi syariah, permohonan dana untuk
kepemilikan rumah yang dikelola secara syariah terus berkembang, bahkan
melebihi perkembangan perbankan konvesional.
Setiap orang pasti menginginkan memiliki rumah sendiri sebagai tempat
berteduh dikala hujan dan beristirahat dikala malam. Terlebih bagi mereka yang
telah menikah tentunya tidak lengkap rasanya hidup berkeluarga kalau
menumpang pada orang tua. Tetapi sayang harga rumah di perkotaan menjadi
sangat mahal seiring dengan pesatnya pembangunan. Kendala ini menyebabkan
KPR menjadi pilihan alternatif.
Secara konsep perbankan syariah dan konvesional adalah sama-sama
berfungsi sebagai financial intermediary sehingga banyak produk perbankan
syariah tidak berbeda dengan produk bank konvensional dan secara struktural
industri perbankan syariah berdampingan dengan industri perbankan
konvensional, di mana perbankan syariah berusaha untuk secara konsisten
mendukung proses saving-investment. Pada bank syariah juga ada produk dana
seperti tabungan dan deposito seperti wadi’ah dan mudharabah sedang produk
3
kredit (loan) terdapat produk pembiayaan (finance) seperti murabahah, termasuk
untuk pembiayaan rumah (KPR) dan pembangunan property.
Islam telah mengatur ekonomi secara spesifik, ini dimaksud agar umatnya
yang beriman dapat melakukan kegiatannya dibidang ekonomi tidak keluar dari
aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Bentuk dan jenis kegiatan
ini bermacam-macam diantaranya: jual beli (ba’i), membeli barang yang belum
jadi, dengan disebut sifat-sifat dan jenis-jenisnya (salam), gadai (ar-rahn),
pemindahan utang (hiwalah), jaminan utang (ad-dhaman, al-kafalah), perseroan
dagang (Syirkah), titipan (al wadi’ah), pinjam meminjam (al-‘ariyah), hak
pembeli paksa (syuf’ah), membagi modal dengan membagi untung (qiradh),
penggarapan tanah (al-muzaro’ah, al-musyaqoh), membuka tanah baru (hya al-
mawat), dan lain sebagainya (Djazuli, 1993:51).
Di zaman yang serba maju sekarang inipun banyak sekali jenis usaha yang
bermunculan dan dapat berkembang dengan pesat, bukan hanya perusahaan-
perusahaan konvensional akan tetapi perusahaan yang berbasis Islam pun
sekarang ini tidak kalah berkembangnya dalam meramaikan dunia bisnis negeri
kita. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya berbagai bisnis yang ada di Negara
kita, sehingga melahirkan para pembisnis yang berebut tander atau proyek.
Hingga dalam setiap hubungan bisnis melahirkan perikatan-perikatan atau
perjanjian-perjanjian diantara pelaku bisnis.
Pembiayaan istishna’ adalah memesan kepada perusahaan untuk
memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Istishna’
merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesan yang mirip dengan salam
4
yang merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan oleh syariah
(Ascarya, 2011: 96).
Skema istishna’ yang sering di bahas adalah skema yang berlaku diantara
dua pihak saja secara langsung, yakni mustashni’ berhubungan langsung dengan
Shani’. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli
barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli
akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga sistem pembayaran. Menurut
Jumhur fuqaha, ba’i al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad ba’i as-
salam, biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian,
ketentuan ba’i al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad ba’i as-salam (M.
Nur Rianto Al Arif, 2010: 47).
Perbankan syariah yang melaksanakan pembiayaan dengan menggunakan
skema istishna’ ini adalah Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung yang
melatarbelakangi di keluarkannya produk dengan akad istishna’ ini adalah atas
keinginan nasabah untuk pemesanan sesuai dengan pesanan dari nasabah tersebut.
Jenis pembiayaan dengan batasan yang ditentukannya juga harapan dari nasabah
pembiayaan (pelaksana usaha) untuk mendapatkan pesanan yang sesuai serta
minat dari Kantor Cabang untuk memasarkan produk ini, karena target
pertumbuhan pembiayaan dan pendanaan maupun pendapatan dapat terpenuhi.
Adapun dalam prosedur pembiayaan KPR Indensya BTN iB nasabah langsung
memesan rumah ke pihak developer atau bank yang memesankan barangnya ke
5
pihak developer jadi nasabah melakukan akad kembali yaitu akad wakalah
terlebih dahulu dari pihak bank (Wawancara,Obi Hamdani: 02 Mei 2013).
KPR Indensya BTN iB merupakan produk pembiayaan dari BTN Syariah
berupa fasilitas berdasarkan akad istishna’ (pesanan), diperuntukan bagi pemohon
perorangan yang akan membeli rumah dari bank, yang dibangun oleh
pengembang sesuai dengan pesanan dari nasabah.
Sesuai dengan fatwa DSN No. 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual beli istishna’
adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pesanan (pembeli,
mustashni) dan penjual (pembuat, shani).
Dalam bisnis pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan, tapi dalam Islam
sendiri dalam prinsipnya berbagi keuntungan dan kerugian baik antara pelaku
bisnis (mudharib) atau pemilik uang (shahibul mal), sehingga tidak ada yang
dizalimi satu sama lain. Resiko yang dihadapi seperti halnya adanya wanprestasi
atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya
sangat kontradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi semua pihak
yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syariah maupun nasabah, sehingga
tidak boleh ada satupun pihak yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk
perlindungan yang ada dalam syariah Islam adalah adanya mekanisme ta’widh
(ganti rugi) kepada pihak hak-haknya yang dilanggar.
Adapun tabel penentuan ganti rugi keterlambatan pada pembiayaan KPR
Indensya BTN iB adalah sebagai berikut:
(Rp. 67 x 110) dikalikan jumlah hari tunggakan
6
Setelah melihat dari pembahasan diatas masalah yang terdapat didalam
produk KPR indensya BTN iB yaitu mengenai pembayaran ganti rugi (ta’widh)
dalam bentuk nominal, bahwasannya sebagai bentuk proses ganti rugi yang
dikeluarkan oleh salah satu pihak yang merasa kerugian atas biaya yang telah
dikeluarkan oleh bank syariah karena terjadinya penundaan pelunasan oleh
nasabah (Wawancara,Obi Hamdani: 02 Mei 2013).
Kemudian bank syariah akan menggunakan ganti rugi atas keterlambatan
membayar angsuran yang dilakukan nasabah, maka berlakukah ketentuan fatwa
DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi (ta’widh). Ketentuan
umum dan ketentuan khusus fatwa yang dimaksud, yaitu sebagai berikut:
Ketentuan Umum point (4):
“Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real
loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian
yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).”
Ketentuan khusus point (3):
“Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.”
Pembayaran ganti rugi (ta’widh) itu tidak boleh dicantumkan terlebih
dahulu di dalam akad atau tidak boleh ditentukan berdasarkan perkiraan, akan
tetapi pada kenyataannya, aplikasi yang terdapat di BTN Syariah KCS Bandung
itu belum sesuai dengan apa yang telah di fatwakan oleh DSN-MUI.
Dalam aplikasinya bahwa ganti rugi keterlambatan adalah suatu sanksi
atas adanya tunggakan, yang dinyatakan dan diperhitungkan pada prosentase atau
7
jumlah tertentu atas jumlah tunggakan. Dalam produk KPR Indensya BTN iB
mengalokasikan 80% untuk pembiayaan pembelian rumah baru yang nasabah
inginkan dengan masa cicilan selama 5 tahun dengan margin sebesar 6.6934%.
Namun demikian, KPR Indensya BTN iB juga bisa untuk pembiayaan apartemen,
rumah sekunder, hingga tanah kavling (Wawancara,Obi Hamdani; 02 Mei 2013).
Perlu dipahami bersama, ta’widh berbeda dengan ta’zir, walaupun proses
yang terjadi adanya kesamaan dikarenakan kelalaian dengan menunda-nunda
pembayaran. Ta’zir (denda) dana yang dikumpulkan masuk kedalam dana sosial,
biasanya sudah ada dalam perjanjian dan besarnya pun telah ditentukan dan bukan
karena kasus forceu majeur, sedangkan ganti rugi (ta’widh) dananya masuk
sebagai pendapatan bank dan besarnya pun ditentukan sesuai dengan ketentuan
kerugian riilnya serta bukan karena kehilangan kesempatan atau time of value of
money. Fatwa ta’widh ini telah keluar, walaupun sempat tertunda karena para
ulama dan pembuat kebijakan di Bank Indonesia keberatan dengan klausul
ta’widh. Nasabah yang mengulur-ulur pembayaran sudah bisa ditindak dengan
adanya fatwa MUI No.17 tahun 2000 tentang sanksi (ta’zir).
Berdasarkan fatwa tersebut, nasabah yang lalai bisa dikenakan denda atau
ta’zir. Selain itu dananya juga tidak dimasukan pendapatan bank melainkan
sebagai dana sosial, tentu hal ini berbeda dengan ta’widh seperti yang telah
dikatakan sebelumnya. Dan fatwa tentang ta’zir No.17/DSN-MUI/XI/2000 tentu
berbeda dengan fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh.
Hal ini dilakukan agar memberikan manfaat yang lebih luas dan
pemahaman yang baik, agar tidak akan terjadi kesalahpahaman antara pihak bank
8
syariah dengan nasabah. Bagi bank syariah membantu pengelolaan dan kinerja
perusahaan, jika hal ini tidak dilakukan akan berdampak kepada penurunan
kolektibilitas terhadap kinerja bank syariah sendiri, karena kewajiban yang belum
dilunasi. Ini juga sebagai kompetitif terhadap bank konvesional yang menerapkan
bunga dengan mengambil konsep kehilangan kesempatan time valueof money.
Ta’widh tentu berbeda yang diterapkan oleh bank syariah sebagai ganti rugi
terhadap segala biaya-biaya riil yang telah dikeluarkan agar tidak kehilangan
ongkos kerja dan diakui sebagai pendapatan bank syariah.
Dengan konsep ta’widh ini memberikan pembelajaran kepada nasabah
pembiayaan yang nakal dan membantu bank syariah agar mendorong nasabah
untuk melunasi kewajibannya tepat waktu. Bagi nasabah pun akan berpikir ulang
untuk melunasi secepatnya dan sesuai dengan perjanjian.
Dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh
mengenai proses ta’widh sendiri dan aplikasinya dalam bank syariah pada
pembiayaan KPR Indensya BTN iB yang memakai akad istishna’. Oleh karena itu
dalam skripsi ini penulis memilih judul : “TINJAUAN FATWA DSN NO.
43/DSN-MUI/VIII/20004 TENTANG GANTI RUGI (TA’WIDH) PADA
PRODUK KPR INDENSYA BTN iB MELALUI AKAD ISTISHNA’ DI
BANK TABUNGAN NEGARA SYARIAH CABANG BANDUNG”
B. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis memberikan batasan
dalam pembahasan ini hanya berfokus pada ta’widh atau ganti rugi terhadap
9
transaksi pembiayaan KPR Indensya BTN iB melalui akad istishna’ dalam
perbankan syariah.
1. Bagaimana mekanisme pembayaran ta’widh pada produk KPR Indensya BTN
iB melalui akad ba’i al- istishna’ di Bank Tabungan Negara Syariah Cabang
Bandung?
2. Bagaimana implementasi fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang ganti rugi (ta’widh) pada Produk KPR Indensya BTN iB di Bank
Tabungan Negara Syariah Cabang bandung?
C. Tujuan Penelitian
Tidak terlepas dari rumusan masalah yang di atas, maka penulis akan
memaparkan mengenai tujuan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui mekanisme pembayaran ta’widh produk KPR Indensya
BTN iB melalui akad ba’i al-istishna di Bank Tabungan Negara Syariah
Cabang Bandung;
2. Untuk mengetahui konsep ta’widh pada fatwa MUI No.43/DSN-
MUI/VIII/2004 dalam produk KPR Indensya BTN iB di Bank Tabungan
Negara Syariah Cabang Bandung.
D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Akademisi
Dari hasil observasi yang dilakukan ini diharapkan dapat menjadi sumber
referensi dan sarana pemikiran bagi kalangan para akademisi dalam menujang
penelitian lainnya.
10
2. Bagi Perusahaan
Dengan penelitian yang dilakukan penulis sekiranya dapat menjadi
masukan dan tambahan referensi untuk dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan dan evaluasi untuk kemajuan dan perkembangan Bank Tabungan
Negara Syariah Cabang Bandung.
3. Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan akan proses ta’widh pada
pembiayaan KPR Indensya BTN iB dalam bank syariah dan mengetahui pula
akan perbandingan antara konsep dan aplikasi.
E. Kerangka Pemikiran
Pembiayaan yang dilakukan bank sering disebut kredit. Kredit merupakan
suatu kalimat yang diambil dari bahasa Latin yaitu kreditum yang berarti
kepercayaan akan kebenaran atau crade yang berarti saya percaya. Dalam bahasa
Yunani kredit adalah credere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan ini
berdasarkan atas sebuah perjanjian bank yang dilakukan secara sah di depan
pejabat kredit yang berwenang (secara notarial) maupun dilakukan tanpa
ketentuan hukum yang kuat (dibawah tangan). Adakalanya kredit dinyatakan
hanya sebagai janji untuk membayar uang atau sebagai izin menggunakan dana
orang lain (Pandia frianto, 2005:194).
Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah
11
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan
(Muhammad, 2005:17).
Sehingga dapat didefinisikan, pengertian pembiayaan adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan terhadap bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut dalam waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil (Kasmir, 2005:194).
Salah satu bentuk implementasi hukum Islam dalam bidang ekonomi
adalah praktik pembiayaan istishna’ di bank syariah. Transaksi ba’i al-istishna’
merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak
ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu
berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnnya kepada pembeli akhir. Kedua
belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran
dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada
masa yang akan datang (Muhammad Syafi’i Antonio, 2011: 113).
Prinsip istishna’ ini diaplikasikan di bank syariah sebagai salah satu
prinsip atau produk dalam usaha penyaluran dana kepada masyarakat. Di bank
syariah ba’i al-istishna’ dipraktikkan sebagai produk pembelian suatu barang
dengan pesanan nasabah dengan harga yang sudah ditentukan dan nasabah boleh
mencicil pembayarannya ataupun bayar dimuka harga pokok. Lebih riilnya,
prinsip ba’i al-istishna’ di bank syariah dikedepankan Produk Pembiayaan KPR
Indensya BTN iB Melalui Akad ba’i al-Istishna’.
12
Dasar hukum ba’i al-istishna’ terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 282
yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Syaamil Al-Qur’an,
2002:48).
Islam menganjurkan agar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
harus bersikap adil, artinya tidak kurang tidak lebih dari yang semetinya. Semua
kegiatan untuk melakukan usaha atau bermuamalah pada dasarnya diperbolehkan,
baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan individu maupun kebutuhan kelompok.
Tetapi, tidak semua jual beli itu halal, melainkan bisa berubah menjadi haram
sampai ada nash yang mengharamkannya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul
fikih yang berbunyi:
أال صل في العقود والوعا هلة الصحة حتى يقو م الد ليل على البطلالى والتحر ين
Asal atau pokok dalam masalah transaksi dan muamalah adalah sah, sehingga ada
dalil yang membatalkan dan yang mengharamkannya
Selain yang dilarang, semua kegiatan yang dilakukan dalam
memfungsikan harta pada prinsipnya dibolehkan, baik dalam rangka pemenuhan
kebutuhan individual maupun dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat
(Hendi Suhendi, 2002: 18).
Berkenaan dengan hal itu, Islam secara universal telah memberikan
pedoman bagi kegiatan ekonomi berupa prinsip-prinsip dan asas-asas dalam
13
muamalah. Juhaya S. Praja (2000: 14) menyebutkan terdapat beberapa prinsip
hukum ekonomi Islam, antara lain:
1. Prinsip la yakun dawlatan bayn al-agniya, yakni prinsip hukum ekonomi yang
menghendaki pemerataan dalam pendistribusian harta kekayaan;
2. Prinsip antaradin, yakni pemindahan hak kepemilikan atas harta yang
dilakukan secara sukarela;
3. Prinsip tabadul al-manafi’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan
kepasa asas manfaat;
4. Prinsip takaful al-ijtima’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan
kepada kepentingan solidaritas sosial;
5. Prinsip haq al-lah wa hal al-adami, yakni hak pengelolaan harta kekayaan
yang didasarkan kepada kepentingan milik bersama, di mana individu maupun
kelompok dapat saling berbagi keuntungan serta diatur dalam suatu
mekanisme ketatanegaraan di bidang kebijakan ekonomi.
Di samping prinsip-prinsip tersebut, dalam sistem ekonomi Islam
dijelaskan pula berbagai ketentuan yang terangkum dalam asas-asas muamalah.
Ahmad Azhar Basyir (1994: 190-191) telah menjelaskan tentang asas-asas
muamalah dalam hukum ekonomi Islam, antara lain:
1. Asas kehormatan manusia (QS 17: 70);
2. Asas kekeluargaan dan kemanusiaan (QS 49: 13);
3. Asas gotong-royong dalam kebaikan (QS 5: 2);
4. Asas keadilan, kelayakan dan kebaikan (QS 16: 90);
5. Asas menarik manfaat dan menghindari madharat (QS 2: 282);
14
6. Asas kebebasan dan kehendak (QS 2: 30);
7. Asas kesukarelaan (QS 4: 39).
Prinsip-prinsip dan asas-asas muamalah tersebut merupakan pijakan
mendasar bagi perumusan nilai-nilai dasar etika bisnis Islami. Demikian halnya
untuk menjamin praktik bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan asas-asas
muamalah, umat muslim dapat menjabarkan berbagai bentuk akad (musyarakah,
mudharabah, murabahah, qard, rahn, istihna’ dan sebagainya) di lembaga-
lembaga keuangan syariah (bank dan non bank). Saat ini, penerapan prinsip-
prinsip dan asas-asas muamalah di lembaga perbankan syariah bukan lagi
merupakan tuntutan umat muslim, tetapi telah menjadi kebutuhan umum.
Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung merupakan lembaga
keuangan bank yang telah menggunakan istishna’ sebagai salah satu prinsip dan
produknya, yakni Produk Pembiayaan KPR Indensya BTN iB Melalui Akad ba’i
al-istishna’. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mekanisme Produk
Pembiayaan KPR Indensya BTN iB Melalui Akad ba’i al-istishna’ di Bank
Tabungan Negara Syariah tampaknya merupakan inovasi dengan meluncurkan
beragam produk pembiayaan unggulan. Adapun diantaranya yaitu Fasilitas
pembiayaan KPR yang menggunakan akad murabahah dan istishna’ untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pemilikan rumah yang dianggap halal
dan sesuai dengan ketentuan syariah.
Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan
dengan bahan baku dari perusahaan, maka kontrak/akad istishna’ muncul. Agar
akad istishna’ menjadi sah, harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan
15
barang harus memiliki spesifikasi yang jelas yang telah disepakati bersama.
Dalam istishna’ pembayaran dapat diaplikasikan untuk industri dan barang
manufaktur.
Kontrak istishna’ menciptakan kewajiban moral bagi perusahaan untuk
memproduksi barang pesanan pembeli. Sebelum perusahaan mulai
memproduksinya, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan
memberitahukan sebelumnya kepada pihak yang lain. Namun demikian, apabila
perusahaan sudah memulai produksinya, kontrak istishna’ tidak dapat diputuskan
secara sepihak (Ascarya, 2011: 96).
Secara umum keputusan fatwa DSN-MUI tentang pembiayaan istishna’
dapat dibedakan menjadi tiga, pertama ketentuan mengenai pembayaran istishna’,
kedua, ketentuan mengenai barang dan ketiga, ketentuan mengenai hukum
pembiayaan. Adapun ketentuan pembiayaan istishna’ dalam ketentuan mengenai
pembayaran meliputi hal-hal berikut , kumpulan fatwa DSN-MUI, No: 06/ DSN-
MUI/IV/2000.
Pertama: Ketentuan Tentang Pembayaran
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat;
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan;
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua: Ketentuan Tentang Barang
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang;
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
16
3. Penyerahannya dilakukan kemudian;
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan;
5. Pembeli (mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya;
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan;
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan pemesa
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan
akad.
Ketiga: Ketentuan mengenai hukum pembiayaan dalam istishna’ adalah:
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya
mengikat;
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku
pula pada jual beli istishna’;
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Sebagai bentuk jual beli forward, istishna’ mirip dengan salam. Namun,
ada beberapa perbedaan di antara keduanya, antara lain:
1. Objek istishna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam
bisa untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak
diproduksi lebih dahulu.
17
2. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan dalam
harga dalam akad istishna’ tidak harus dibayar penuh di muka, melainkan
dapat juga dicicil atau dibayar di belakang.
3. Akad salam efektif tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara dalam
istishna’ akad dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi.
4. Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian penting dari akad salam,
namun dalam akad istishna’ tidak merupakan keharusan.
5. Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna’,
pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti
Bahwa jika perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat
untuk menerima barang dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam
istishna’ dapat dikaitkan dengan waktu penyerahan jadi, boleh disepakati bahwa
apabila terjadi keterlambatan penyerahan harga dapat dipotong sejumlah tertentu
per hari keterlambatan (Ascarya, 2011: 98).
BTN Syariah Cabang Bandung merupakan lembaga keuangan bank yang
telah menggunakan produk KPR Indensya BTN iB yaitu fasilitas pembiayaan
berdasarkan akad istishna’ (pesanan), diperuntukkan bagi pemohon perorangan
yang akan membeli rumah dari bank, yang dibangun oleh pengembang sesuai
dengan pesanan. Dalam istishna’ pembayaran dapat dimuka, dicicil sampai
selesai, atau di belakang. Mengenai sistem pembayarannya apabila nasabah
terlambat membayar cicilan sampai waktu yang ditentukan maka nasabah akan
dikenakan biaya ganti rugi keterlambatan dalam bentuk nominal yang terdapat
pada pembayaran KPR Indensya BTN iB, bahwasannya jika suatu nasabah telat
18
dalam membayar pada waktu yang telah ditentukan tetapi nasabah tersebut belum
bisa membayarnya maka nasabah tersebut akan dikenakan ganti rugi (ta’widh).
Perbankan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang
dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Namun, adakalanya dalam menjalankan
transaksi para pihak dihadapkan sejumlah resiko yang bisa menyebabkan
terjadinya kerugian. Resiko tersebut diantaranya bisa disebabkan wanprestasi atau
kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syariah yang sangat melindungi
kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik bank syariah maupun nasabah,
sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-hak nya. Salah satu
bentuk perlindungan yang ada dalam syariah adalah adanya mekanisme ta’widh
(pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-hak nya dilanggar. Sedangkan yang
dimaksud dengan ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi
akibat pelanggaran atau kekeliruan.
Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang
diperhitungkan dengan jelas, yaitu kerugian yang terjadi secara riil akibat
penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari
keterlambatan pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya riil yang dikeluarkan
dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
Besar ganti rugi (ta’widh) harus disesuaikan dengan kerugian riil (real
loss), bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss). Hal ini
karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret.
19
Fatwa adalah pendapat ulama yang merupakan respons terhadap
pertanyaan atau situasi yang ada pada zamannya yang muncul karena perubahan
yang dialami oleh masyarakatnya karena perubahan pola hidup atau karena
perkembangan teknologi. Oleh karena itu, fatwa merupakan pendapat ulama
dalam rangka turut serta menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat. Oleh karena itu, fatwa bersifat domestik, situasional, dan temporal.
Atas dasar itulah, Ibn Qayyim al-Jawziyah (w. 751 H) menyusun kaidah yang
sangat terkenal, yaitu fatwa dapat berubah karena perubahan tempat, waktu,
keadaan, niat, dan kebiasaan (taghayyur al-fatwa bi hasab tahgahyyur al-azminat
wa al-amkinat wa al-niyat wa al-‘awa’id) (Jaih Mubarak, 2004:vii).
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil
rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama.
Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia
dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (Muhammad Syafi’i
Antonio, 2001:32).
Dewan Pengawas Syariah (DSN) sebagai lembaga yang berfungsi
mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah dan memberi fatwa bagi
produk-produk yang berkembang oleh lembaga keuangan syariah, telah
mengeluarkan fatwa tentang ganti rugi (ta’widh) ini dituangkan dalam fatwa
DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 sebagai berikut:
Pertama:Ketentuan Umum
1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang melakukan
sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian
20
pada pihak lain.
2 Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3 Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4 Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss)
yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian
yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang
hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
5 Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah
dan ijarah.
6 Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan
oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian
keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Kedua : Ketentuan Khusus
1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak
(pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata
cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya
lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
21
Ketiga: Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Perbankan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang
dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Namun, adakalanya dalam menjalankan
transaksi para pihak dihadapkan sejumlah resiko yang bisa menyebabkan
terjadinya kerugian. Resiko tersebut diantaranya bisa disebabkan wanprestasi atau
kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran (Karim, 2004:254).
F. Langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan langkah-langkah penelitian
sebagai berikut:
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini ditentukan di Bank Tabungan Negara Syariah Cabang
Bandung Jl.Cicendo No.16. Alasan memilih lokasi ini karena lokasi tersebut dekat
dengan lokasi tempat tinggal penulis dan juga merupakan Kantor Cabang
Pembantu dari BTN Pusat. Selain itu, BTN juga merupakan salah satu bank
syariah yang paling banyak diminati dalam menawarkan Produk KPR kepada
masyarakat di Bandung dan Jawa Barat pada khususnya, serta di Indonesia pada
umumnya.
22
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Studi Kasus.
Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan suatu satuan analisis secara utuh
sebagai suatu satuan yang terintegrasi (Cik Hasan Bisri, 2001:62). Dalam
penelitian berkenaan dengan Pelaksanaan Ganti Rugi (ta’widh) yang dihubungkan
dengan fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VIII/2004 dalam produk pembiayaan KPR
Indensya BTN iB melalui akad istishna’ di Bank Tabungan Negara Syariah
Cabang Bandung.
3. Sumber Data
Untuk mempermudah penelitian, dikumpulkan sumber data yang terbagi
ke dalam dua kategori yaitu:
a. Sumber Data Primer
Dalam penelitian ini dikumpulkan sumber data primer, yaitu berupa data
yang bersumber dari hasil wawancara Sumber dengan karyawan BTN Syariah
Cabang Bandung mengenai mekanisme pembayaran ganti rugi (ta’widh) dalam
produk pembiayaan KPR Indensya BTN iB melalui akad istishna’.
b. Sumber Data Sekunder
Untuk mendukung sumber data primer, dalam hal ini dikumpulkan juga
sumber data sekunder, yaitu berupa buku-buku, dan sumber bacaan lain yang
ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif.
Data kualitatif adalah suatu jenis data yang merupakan jawaban atas pertanyaan
23
penelitian yang diajukan terhadap masalah yang telah dirumuskan pada tujuan
yang telah ditetapkan serta dihubungkan dengan masalah yang dibahas yaitu
tentang mekanisme pembayaran ganti rugi (ta’widh) dalam Produk KPR Indensya
BTN iB di BTN Syariah Cabang Bandung.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi yang dilakukan oleh penulis adalah pengamatan secara
langsung terhadap praktik ganti rugi (ta’widh) yang dihubungkan dengan
fatwa DSN MUI dalam produk pembiayaan KPR Indensya BTN iB melalui
akad istishna’ di Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung. Tujuan
dari observasi ini adalah untuk memperoleh data yang sebenar-benarnya
dengan melakukan pengamatan secara langsung mengenai ganti rugi
(ta’widh) yang dihubungkan dengan fatwa DSN MUI dalam pelaksanaan
pembiayaan KPR Indensya BTN iB melalui akad istishna’ di Bank Tabungan
Negara Syariah Cabang Bandung.
b. Wawancara
Merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan mengajukan
pertanyaan yang telah ditentukan kepada responden yang ada hubungannya
secara langsung dengan penelitian ini.
24
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan digunakan sebagai sarana untuk pengumpulan data
yang bersifat kualitatif dengan cara mencari data dari buku, artikel dan
sumber-sumber tertulis lainnya. Hasil dari studi kepustakaan ini dapat
dijadikan landasan atau sumber data pelengkap mengenai konsep, teori, dan
fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi (ta’widh) dan
penerapannya dalam produk pembiayaan KPR Indensya BTN iB melalui akad
istishna’ di bank syariah.
6. Analisis Data
Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan
metode kualitatif dengan menggunakan teknik analisis campuran deduktif dan
induktif. Dalam pelaksanaannya analisis data dilakukan melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut:
a. Menginventarisasi data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik sumber
data primer maupun sumber data sekunder;
b. Mengklasifikasikan data ke dalam satuan-satuan sesuai dengan rumusan
masalah dan tujuan penelitian;
c. Menghubungkan data antara teori dengan praktik sebagaimana disusun
dalam kerangka pemikiran;
d. Menganalisis seluruh data secara deduktif dan induktif, sehingga diperoleh
kesimpulan.
25
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG GANTI RUGI (TA’WIDH) PADA PRODUK
KPR INDENSYA BTN iB MELALUI AKAD ISTISHNA’ DALAM SISTEM
EKONOMI ISLAM
A. Konsep Produk-produk Perbankan Syariah
Tujuan pengenalan produk perbankan syariah adalah agar setelah kita
mengenal produk-produk apa yang terdapat di perbankan syariah, selanjutnya kita
akan mampu untuk menyusun strategi pemasaran yang tepat bagi produk-produk
tersebut. Sebab tanpa pengenalan produk yang akan dijual, maka akan
mengakibatkan penyusunan strategi pemasaran yang tidak efektif. Hal ini akan
menyebabkan strategi pemasaran yang dilakukan oleh pihak bank tidak tepat
sasaran dan akhirnya produk yang ditawarkan tidak diterima oleh masyarakat
(M.Nur Rianto Al Arif, 2010:33).
Secara garis besar produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah
menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Produk penghimpunan dana (funding)
Produk-produk pengimpunan dana bank syariah ditujukan untuk
mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara
yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan
mobilisasi dana merupakan hal penting karena Islam secara tegas mengutuk
penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif
dalam rangka mencapai tujuan sosial ekonomi Islam. Dalam hal ini, bank syariah
melakukannya tidak dengan prinsip bunga (riba), melainkan dengan prinsip-
26
prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, terutama wadi’ah (titipan), qardh
(pinjaman), mudharabah (bagi hasil).
Produk-produk penghimpunan dana ada tiga, yaitu:
a. Tabungan
Tabungan adalah bentuk simpanan (wadi’ah) nasabah yang bersifat
likuid, hal ini memberikan arti produk ini dapat diambil sewaktu-waktu
apabila nasabah membutuhkan, namun bagi hasil yang ditawarkan kepada
nasabah penabung kecil. Akan tetapi jenis penghimpunan dana tabungan
merupakan produk penghimpunan yang lebih minimal biaya bagi pihak bank
karena bagi hasil yang ditawarkannya pun kecil namun biasanya jumlah
nasabah yang menggunakan tabungan lebih banyak daripada produk
penghimpunan yang lain.
b. Deposito
Deposito adalah bentuk simpanan nasabah yang mempunyai jumlah
minimal tertentu, jangka waktu tertentu dan bagi hasilnya lebih tinggi
daripada tabungan dengan prinsip mudharabah. Nasabah membuka deposito
dengan jumlah minimal tertentu dengan jangka waktu yang telah disepakati,
sehingga nasabah tidak dapat mencairkan dananya sebelum jatuh tempo yang
telah disepakati, akan tetapi bagi hasil yang ditawarkan jauh lebih tinggi
daripada tabungan biasa maupun tabungan berencana. Produk penghimpunan
dana ini biasanya dipilih oleh nasabah yang memiliki kelebihan dana
sehingga selain bertujuan untuk menyimpan dananya, bertujuan pula untuk
salah satu sarana berinvestasi.
27
c. Giro
Giro adalah bentuk simpanan (wadi’ah) nasabah yang tidak diberikan
bagi hasil, dan pengambilan dana menggunakan cek, biasanya digunakan oleh
perusahaan atau yayasan dan atau bentuk badan hukum lainnya dalam proses
keuangan mereka. Dalam giro meskipun pihak bank tidak memberikan bagi
hasil, namun pihak bank berhak memberikan bonus kepada nasabah yang
besarnya tidak ditentukan di awal tergantung kepada kebaikan pihak bank.
2. Produk penyaluran dana (financing)
Pembiayaan dalam perbankan syariah menurut Al-Harran (1999) dapat
dibagi tiga, yaitu:
a. Return bearing financing, yaitu bentuk pembiayaan yang secara
komersial menguntungkan, ketika pemilik modal mau menanggung
resiko kerugian dan nasabah juga memberikan keuntungan.
b. Return free financing, yaitu bentuk pembiayaan yang tidak untuk
mencari keuntungan yang lebih ditujukan kepada orang yang
membutuhkan (poor), sehingga tidak ada keuntungan yang dapat
diberikan.
c. Charity financing, yaitu bentuk pembiayaan yang memang diberikan
kepada orang miskin dan membutuhkan, sehingga tidak ada keuntungan
yang dapat diberikan.
Produk-produk pembiayaan bank syariah, khususnya pada bentuk pertama,
ditunjukan untuk menyalurkan investasi dan simpanan masyarakat ke sektor riil
dengan tujuan produktif dalam bentuk investasi bersama (investment financing)
28
yang dilakukan bersama mitra usaha (kreditor) menggunakan pola bagi hasil
(mudharabah dan musyarakah) dan dalam bentuk investasi sendiri (trade
financing) kepada yang membutuhkan pembiayaan menggunakan pola jual beli
(murabahah, salam, dan istishna’) dan pola sewa (ijarah dan ijarah muntahiya
bitamlik).
Dari sekian banyak produk pembiayaan bank syariah, tiga produk
pembiayaan utama yang mendominasi portofolio pembiayaan bank syariah, yaitu:
1) Pembiayaan modal kerja
Kebutuhan pembiayaan modal kerja dapat dipenuhi dengan
berbagai cara, antara lain:
a. Bagi hasil
Kebutuhan modal kerja usaha yang beragam, seperti untuk
membayar tenaga kerja, rekening listrik dan air, bahan baku, dan
sebagainya, dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan
akad mudharabah atau musyarakah. Dengan berbagi hasil, kebutuhan
modal kerja pihak pengusaha terpenuhi, sementara kedua belah pihak
mendapatkan manfaat dari pembagian resiko yang adil. Agar bank syariah
dapat berperan aktif dalam usaha dan mengurangi kemungkinan resiko.
b. Jual beli
Kebutuhan modal kerja usaha perdagangan untuk membiayai
barang dagangan dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual beli
dengan akad mudharabah. Dengan berjual beli, kebutuhan modal
29
pedagang terpenuhi dengan harga tetap, sementara bank syariah mendapat
keuntungan margin tetap dengan meminimalkan risiko.
2) Pembiayaan investasi
Kebutuhan pembiayaan investasi dapat dipenuhi dengan berbagai
cara, antara lain:
a. Bagi hasil
Kebutuhan invetasi secara umum dapat dipenuhi dengan
pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah,
sebagai contoh, pembuatan pabrik baru, perluasan pabrik, usaha baru,
perluasan usaha, dan sebagainya.
Dengan cara ini bank syariah dan pengusaha berbagi risiko usaha
yang saling menguntungkan dan adil. Agar bank syariah dapat berperan
aktif dalam kegiatan usaha dan mengurangi kemungkinan risiko, seperti
moral, hazard, maka bank dapat memilih untuk menggunakan akad
musyarakah.
b. Jual beli
Kebutuhan investasi sebagiannya juga dapat dipenuhi dengan
pembiayaan berpola jual beli dengan akad mudharabah. Sebagai contoh,
pembelian mesin, pembelian kendaraan untuk usaha, dan sebagainya.
Dengan cara ini bank syariah mendapatkan keuntungan margin jual beli
dengan risiko yang minimal. Sementara itu, pengusaha mendapatkan
kebutuhan investasinya dengan perkiraan biaya yang tetap dan
mempermudah perencanaan.
30
Kebutuhan investasi yang memerlukan waktu untuk membangun
juga dapat dipenuhi dengan akad istishna’, misalnya untuk industri
berteknologi tinggi, seperti industri pesawat terbang, industri pembuatan
lokomotif, dan kapal, selain berbagai tipe mesin yang dibuat oleh
perusahaan atau bengkel besar. Selain itu, akad istishna’ juga dapat
diaplikasikan dalam industri kontruksi, misalnya, gedung, apartemen,
rumah sakit, sekolah, universitas, dan sebagainya.
c. Sewa
Kebutuhan aset invetasi yang biayanya sangat tinggi dan
memerlukan waktu lama untuk memproduksinya pada umumnya tidak
dilakukan dengan cara berbagi hasil atau kepemilikan karena risikonya
terlalu tinggi atau kebutuhan modalnya tidak terjangkau. Kebutuhan
investasi seperti itu dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola sewa
dengan akad ijarah atau ijarah muntahiya bittamlik . Sebagai contoh,
pembiayaan pesawat terbang, kapal, dan sejenisnya. Selain itu,
pembiayaan ijarah dapat juga digunakan untuk pembiayaan peralatan
industri, mesin-mesin pertanian, dan alat-alat transportasi.
Dengan cara ini bank syariah dapat mengambil manfaat dengan
tetap menguasai kepemilikan aset dan pada waktu yang sama menerima
pendapatan dan sewa. Penyewa juga mengambil manfaat dari skim itu
dengan terpenuhinya kebutuhan investasi yang mendesak dan mencapai
tujuan dalam waktu yang wajar tanpa harus mengeluarkan biaya modal
yang besar.
31
3) Pembiayaan aneka barang, perumahan, dan properti
Kebutuhan pembiayaan aneka barang dapat dipenuhi dengan
berbagai cara antara lain:
a. Bagi hasil
Kebutuhan barang konsumsi, perumahan, atau properti dapat
dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad musyarakah
mutanaqisah, misalnya, pembelian mobil, sepeda motor, rumah,
apartemen, dan sebagainya.
Dengan cara ini bank syariah dan nasabah bermitra untuk membeli
aset yang diinginkan nasabah. Aset tersebut kemudian disewakan kepada
nasabah. Bagian sewa dari nasabah digunakan sebagai cicilan pembelian
porsi aset yang dimiliki oleh bank syariah, sehingga pada periode tertentu
(saat jatuh tempo) aset tersebut sepenuhnya telah dimiliki oleh nasabah.
b. Jual beli
Kebutuhan barang konsumsi, perumahan, atau properti apa saja
secara umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual beli dengan
akad mudharabah.
Dengan akad ini bank syariah memenuhi kebutuhan nasabah
dengan membelikan aset yang dibutuhkan nasabah dari supplier kemudian
menjual kembali kepada nasabah dengan mengambil margin keuntungan
yang diinginkan. Selain mendapat keuntungan margin bank syariah juga
hanya menanggung risiko yang minimal. Sementara itu, nasabah
mendapatkan kebutuhan asetnya dengan harga yang tetap.
32
c. Sewa
Kebutuhan barang konsumsi, perumahan, atau properti apa saja
secara umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual beli dengan
akad ijarah muntahiya bittamlik.
Dengan akad ini bank syariah membeli aset yang dibutuhkan
nasabah kemudian menyewakannya kepada nasabah dengan perjanjian
pengalihan kepemilikan di akhir periode dengan harga yang disepakati di
awal akad. Dengan cara ini bank syariah tetap menguasai kepemilikan aset
selama periode akad dan pada waktu yang sama menerima pendapatan dari
sewa. Sementara itu, nasabah terpenuhi kebutuhannya dengan biaya yang
dapat diperkirakan sebelumnya.
Dari ketiga produk pembiayaan utama tersebut di atas, akad
berpola bagi hasil dan jual beli selalu dapat diterapkan untuk memenuhi
kebutuhan nasabah yang bervariasi.Selain itu, akad murabahah merupakan
akad yang paling luas penggunaannya karena mudah diterapkan dan
berisiko kecil, sehingga tidak mengherankan jika porsi terbesar portofolio
bank syariah menggunakan akad murabahah.
Akad bagi hasil merupakan akad yang dipercaya lebih
mencerminkan esensi bank syariah untuk mendorong kelancaran usaha
produktif di sektor riil. Oleh karena itu, akad bagi hasil seharusnya
menjadi akad utama produk pembiayaan bank syariah, dan bank syariah
selayaknya berkembang menuju memperbesar porsi pembiayaan bagi hasil
dalam portofolionya.
33
3. Produk jasa (service)
Produk-produk jasa perbankan dengan pola lainnya pada umumnya
menggunakan akad tabarru’ yang dimaksudkan tidak untuk mencari keuntungan,
tetapi dimaksudkan sebagai fasilitas pelayanan kepada nasabah dalam melakukan
transaksi perbankan. Oleh karena itu bank sebagai penyedia jasa hanya
membebani biaya administrasi. Jasa perbankan golongan ini yang bukan termasuk
akad tabarru’ adalah akad sharf yang merupakan akad pertukaran uang dengan
uang dan ujr yang merupakan bagian dari ujrah (sewa) yang dimaksudkan untuk
mendapatkan upah (ujrah) atau fee (Ascarya, 2011:112).
Jasa perbankan tersebut antara lain berupa:
a. Sharf (jual beli valuta asing)
Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf.
Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, perehannya harus dilakukan pada
waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta
asing ini. Prinsip ini dipraktikan pada bank syariah devisa yang meiliki ijin
untuk melakukan jual beli valuta asing.
b. Wadi’ah (titipan)
Jenis produk jasa tambahan yang dapat diterapkan adalah wadi’ah,
namun wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad al-amanah. Aplikasi
perbankan wadi’ah yad al-amanah adalah penyewaan kotak simpanan (safe
deposit box) sebagai sarana penitipan barang berharga nasabah. Bank
mendapat imbalan sewa dan jasa tersebut (M. Nur Rianto Al Arif, 2010:58).
34
c. Ijarah (sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan
(safedeposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian).
Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut (Adiwarman Karim,
2004:112).
B. Konsep Pembiayaan di Bank Syariah
Dengan semakin berkembangnya perekonomian suatu negara, semakin
meningkat pula permintaan/kebutuhan pendanaan untuk membiayai proyek-
proyek pembangunan. Namun, dana pemerintahan yang bersumber dari APBN
sangat terbatas untuk menutup kebutuhan dana di atas, karenanya pemerintah
menggandeng dan mendorong pihak swasta untuk ikut serta berperan dalam
membiayai pembangunan potensi ekonomi bangsa. Pihak swastapun, secara
individual maupun kelembagaan, kepemilikan dananya juga terbatas untuk
memenuhi operasional dan pembangunan usahanya. Dengan keterbatasan
kemampuan financial lembaga negara dan swasta tersebut, maka perbankan
nasional memegang peranan penting dan strategis dalam kaitannya penyediaan
permodalan pengembangan sektor-sektor produktif.
Kaitan antara bank dengan uang dalam suatu unit bisnis adalah penting,
namun di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya ketidakadilan,
ketidakjujuran dari satu pihak ke pihak lain (bank dengan nasabahnya).
Kedudukan bank syariah dalam hubungan dengan para nasabah adalah sebagai
mitra investor dan pedagang, sedang dalam hal bank pada umumnya,
hubungannya adalah sebagai kreditor atau debitur.
35
Pembiayaan selalu berkaitan dengan aktifitas bisnis. Untuk itu, sebelum
masuk ke masalah pengertian pembiayaan, perlu diketahui apa itu bisnis. Bisnis
adalah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses
penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Pelaku bisnis
dalam menjalankan bisnisnya sangat membutuh sumber modal. Jika pelaku tidak
memiliki modal secara cukup, maka ia akan berhubungan dengan pihak lain,
seperti bank, untuk mendapatkan suntikan dana, dengan melakukan pembiayaan.
Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah
teknisnya disebut aktiva produktif. Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva
produktif adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta
asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah,
penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan
kontijensi pada rekening administratif serta Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
(Peraturan Bank Indonesia No.5/7/PBI/2003 tanggal 19Mei 2003) (Muhammad,
2005:17).
Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan menjadi dua kelompok
(Muhammad, 2005:18), yaitu :
1. Tujuan pembiayaan untuk tingkat makro adalah untuk meningkatkan
ekonomi masyarakat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha,
36
peningkatan produktifitas, membuka lapangan kerja baru, terjadinya
distribusi pendapatan.
2. Tujuan pembiayaan untuk tingkat mikro adalah untuk memaksimalkan
laba, meminimkan resiko, pendayagunaan sumber ekonomi, dan
penyaluran kelebihan dana.
Sesuai dengan akad pengembangan produk, maka bank syariah memiliki
banyak jenis pembiayaan. Adapun jenis produk/ jasa pembiayaan pada bank
syariah adalah Produk Pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah Indensya BTN iB
dengan akad Istishna’.
C. Konsep Akad Istishna’
1. Pengertian Istishna’
Salah satu skim fiqih yang paling populer digunakan dalam perbankan
syariah adalah skim jual beli istishna’. Transaksi ba’i al-istishna’ ini hukumnya
boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak masa awal tanpa
ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.
Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna’ adalah akad
jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan
penjual (pembuat, mustashni’).
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan
pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli
murabahah di mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar
37
cicilan, dalam jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun
uangnya juga sama-sama dibayar secara cicilan.
Dengan demikian, metode pembayaran pada jual beli murabahah muajjal
sama persis dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna’, yakni sama-
sama dengan sistem angsuran (installment). Satu-satunya hal yang membedakan
antara keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Dalam murabahah muajjal,
barang diserahkan di muka, sedangkan dalam istishna’ barang diserahkan di
belakang, yakni pada akhir periode pembiayaan. Hal ini terjadi, karena biasanya
barangnya belum dibuat/belum wujud (Adiwarman Karim, 2004:125).
Misalnya, seseorang akan membeli/ memesan rumah dan mengajukan
pembiayaan kepada bank dan pihak bank mencari supplier/ produsen pembuat
rumah tersebut, dan rumah tersebut dibeli oleh pihak bank, pihak bank menjual
lagi kepada nasabah dengan harga asal + margin, tetapi nasabah bisa mencicil
angsuran selama waktu tertentu (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:113).
Beberapa pakar dan ahli fiqih mendefinisikan istishna’ dengan berbagai
formulasi yang berbeda-beda. Firdaus (2005:4) mengemukakan pendapat para
fuqaha bahwa ba’i al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad ba’i as-
salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian,
ketentuan ba’i al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad ba’i as-salam.
Dalam literatur fiqih klasik, masalah istishna’ mulai mencuat setelah
menjadi pokok bahasan madzhab Hanafi, seperti yang dikemukakan dalam
Majalat Al-Arqam Al-Adhiyat Pasal 388 s/d 392 serta dikembangkan oleh para
ahli ilmu fiqih. Akademi Fiqih Islam pun menjadikan masalah ini sebagai salah
38
satu bahasan khusus.Karena itu, kajian akad ba’i al-istishna ’ini didasarkan pada
ketentuan yang dikembangkan oleh fiqih Hanafi, dan perkembangan fiqih
selanjutnya dilakukan fukaha kontemporer.
Akad istishna’ juga identik dengan ijarah, ketika bahan baku untuk
produksi berasal dari pemesan, sehingga produsen (shani’) hanya memberikan
jasa pembuatan dan ini identik dengan akad ijarah. Berbeda dengan jasa
pembuatan bahan bakunya dari produsen (shani’), karena jasa tersebut dinamakan
akad istishna’ (Ismail Nawawi, 2012:130).
Dalam istishna’ paralel, penjual membuat akad istishna’ kedua dengan
subkontraktor untuk membantunya memenuhi kewajiban akad istishna’ pertama
(antara penjual dan pemesan). Pihak yang bertanggung jawab pada pemesan tetap
terletak pada penjual tidak dapat dialihkan pada subkontraktor karena akad terjadi
antara penjual dan pemesan bukan pemesan dengan subkontraktor. Sehingga
penjual tetap bertanggung jawab atas hasil kerja subkontraktor.
Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas (a)
jumlah yang telah dibayarkan; dan (b) penyerahan barang pesanan sesuai dengan
spesifikasi dan tepat waktu.
Dalam akad, spesifikasi aset yang dipesan harus jelas, bila produk yang
dipesan adalah rumah maka luas bangunan, model rumah dan spesifikasi harus
jelas, misalnya menggunakan bata merah kayu jati, lantai keramik merk Roman
ukuran 40 x 40, toileteries merk TOTO dan lain sebagainya. Dengan spesifikasi
yang rinci, diharapkan persengketaan dapat dihindari.
39
Harga pun harus disepakati berikut cara pembayarannya, apakah
pembayaran 100% dibayarkan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai
waktu tertentu. Begitu harga disepakati, maka selama masa akad harga tidak dapat
berubah walaupun biaya produksi meningkat, sehingga perjanjian harus
memperhitungkan hal ini. Perubahan harga hanya dimungkinkan apabila
spesifikasi atas barang yang dipesan berubah.
Begitu akad disepakati maka akan mengikat para pihak yang bersepakat
dan pada dasarnya tidak dapat dibatalkan, kecuali:
1. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau
2. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Akad berakhir apabila kewajiban kedua belah pihak telah terpenuhi atau
kedua belah pihak bersepakat untuk menghentikan akad (Sri Nurhayati dan
Wasilah, 2011:210).
Melihat definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kontrak
istishna’ pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Selanjutnya pembuat
barang membuat barang sendiri atau melalui jasa pihak ketiga dengan spesifikasi
yang telah disepakati. Kedua belah pihak sepakat atas harga serta sistem
pembayaran, apakah akan dibayar di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan
sampai waktu tertentu (Atang Abdul Hakim, 2011:239).
40
Gambar 2.1
Skema Pembiayaan Istishna’
(Sumber: Widyaningsih, Bank dan Ansuransi Islam di Indonesia. Hal 110)
Ada perbedaan pendapat mengenai istishna’ ini, bahwa istishna’ dilarang
karena pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual. Sedangkan
yang berpendapat, bahwa istishna’ dibolehkan atas dasar istihsan, karena
beberapa alasan berikut:
a. Praktik istishna’ telah dilakukan secara luas dan terus-menerus tanpa ada
keberatan sama sekali.
b. Di dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma ulama.
c. Keberadaan istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat.
d. Istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak
selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Pada kegiatan usaha jual beli dengan istishna’ ini juga dapat dilakukan
istishna’ parallel yang dilakukan oleh bank kepada pihak lain. Hal ini diatur
konsumen
(pembeli)
Bank
penjual
(4)Pesan
(5) Jual
Produsen
pembuat
(1) Beli
konsumen
(pembeli)
Bank
penjual
(2)Pesan
(3) Jual
41
dalam fatwa DSN No.22/DSN-MUI/III/2002 mengenai jual beli istishna’ parallel
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika LKS (Lembaga Keuangan Syariah) melakukan transaksi istishna’,
untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, ia dapat melakukan
istishna’ lagi dengan pihak lain pada objek yang sama, dengan syarat
istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna' kedua.
b. LKS (Lembaga Keuangan Syariah) selaku mustashni’ tidsak
diperkenankan untuk memungut MDC (margin during construction) dari
nasabah (shani’), karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
c. KetentuanNo. 06/DSN-MUI/VI/2000 juga berlaku pada ketentuan
istishna’ parallel (Widyaningsih, 2005:110).
2. Dasar Hukum Istishna’
Dasar hukum ba’i al-istishna’terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 282
yang berbunyi:
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk
waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya (Syaamil Al-
Qur’an, 2002:48).
Ayat di atas dipertegas pula dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi yang berbunyi:
perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
42
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
dan menghalalkan yang haram.
Masyarakat telah mempraktikan istishna’ secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan istishna’ sebagai
kasus ijma’ atau konsesus umum. Istishna’ sah sesuai dengan aturan umum
mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan
syariah. Segala sesuatu yang memiliki kemaslahatan atau kemanfaatan bagi umum
serta tidak dilarang syariah, boleh dilakukan. Tidak ada persoalan apakah hal
tersebut telah dipraktikan secara umum atau tidak (Sri Nurhayati dan Wasilah,
2011:212).
Islam menganjurkan agar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
harus bersikap adil, artinya tidak kurang tidak lebih dari yang semestinya. Semua
kegiatan untuk melakukan usaha atau bermuamalah pada dasarnya diperbolehkan,
baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan individu maupun kebutuhan kelompok.
Tetapi, tidak semua jual beli itu halal, melainkan bisa berubah menjadi haram
sampai ada nash yang mengharamkannya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul
fikih yang berbunyi:
الصحة حتى يقو م الد ليل على البطلالى والتحر ينأال صل في العقود والوعا هلة
Asal atau pokok dalam masalah transaksi dan muamalah adalah sah, sehingga ada
dalil yang membatalkan dan yang mengharamkannya (Hendi Suhendi, 2002: 18).
43
3. Rukun dan Syarat Istishna’
a. Rukun
1) Aqid, yaitu shani’ (orang yang membuat/ produsen) atau penjual,
dan mustashni’ (orang yang memesan/ konsumen), atau pembeli.
2) Objek akad (Ma’kud alaih), yaitu ‘amal (pekerjaan), barang yang
dipesan, dan harga atau alat pembayaran.
3) Shigah, ijab dan qabul (serah terima) (Ahmad Wardi, 2010:255).
b. Syarat
1) Barang (Mashnu’). Di antaranya adalah agar mashnu’ atau barang
yang menjadi objek kontrak harus diperinci sedemikian rupa untuk
menghilangkan ketidakjelasan mengenai barang. Perincian itu
meliputi:
a. Jenis, misalnya mashnu’itu berupa rumah;
b. Tipe, apakah mashnu’ itu berupa rumah tipe RSS;
c. Kualitas, bagaimana spesifikasi teknisnya dan hal lainnya;
d. Kuantitas, berapa jumlah unit atau berat mashnu’ tersebut.
2) Harga. Harga harus ditentukan berdasarkan aturan yaitu:
a. Harus diketahui semua pihak;
b. Bisa dibayarkan pada waktu akad secara cicilan, atau
ditangguhkan pada waktu tertentu pada masa yang akan
datang.
44
4. Sifat Akad Istishna’
Akad istishna’ adalah akad yang ghair lazim, baik sebelum pembuatan
pesanan maupun sesudahnya. Oleh karena itu, bagi masing-masing pihak ada hak
khiyar untuk melangsungkan akad atau membatalkannya, dan berpaling dari akad
sebelum mustashni’ (pemesan/konsumen) melihat barang yang dibuat/ dipesan.
Apabila shani’ (pembuat/produsen) menjual barang yang dibuatnya sebelum
dilihat oleh mustashni’ (konsumen) maka hukum akadnya sah, karena akadnya
ghair lazim, dan objek akadnya bukan benda yang dibuat itu sendiri, melainkan
sejenisnya yang masih ada dalam tanggungan (Ahmad Wardi, 2010:255).
D. Konsep Produk KPR Syariah
1. Pengertian KPR Syariah
Salah satu kegiatan bank yang tidak lepas dari bunga ialah penyediaan
Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dalam penyelenggaraan kredit pemilikan rumah
ini terlibat unit-unit usaha lain, seperti Perseroan Terbatas (PT) yang
melaksanakan penyediaan lokasi tanah dan pembangunan rumah.
Hal-hal yang ditetapkan oleh penyelenggaraan KPR antara lain harga jual
kontan, uang muka, suku bunga, angsuran bulanan dan beban-beban lain yang
harus dibayar oleh pembeli (debitur) misalnya biaya penyambungan listrik,
provisi bank dan biaya notaris ( Chuzaimah T, 1995:71).
KPR Syariah adalah salah satu produk pembiayaan (financing) dari bank
syariah yang membantu keluarga Indonesia untuk dapat mewujudkan impiannya
untuk memiliki rumah idamannya sendiri bagi keluarga tercinta termasuk renovasi
dan pembangunan rumah, selain itu KPR Syariah juga bisa membiayai pembelian
45
apartement baru/bekas, ruko, tanah kavling dan alih pembiayaan dari bank
konvesional (Suzanna Hardjono, 2008:25).
Pada prinsipnya ada tiga akad yang dapat digunakan dalam transaksi KPR
Syariah yaitu ba’i al-murabahah, ba’i al-istishna’ dan ijarah muntahiya bi tamlik
(IMBT) atau yang sering disebut dengan istilah sewa beli.KPR Syariah yang
sekarang ditawarkan sebagian besar bank syariah masih menggunakan akad ba’i
al-murabahah. Dengan prinsip ba’i al-murabahah, bank akan membeli rumah,
kemudian, rumah tersebut dijual kembali kepada nasabah dengan pembayaran
secara angsuran. Sedangkan dengan prinsip ba’i al-istishna’, nasabah bisa
langsung memesan rumah kepada bank dengan pembayarannya pun secara
angsuran. Dan prinsip IMBT, bank syariah akan menyewakan rumah selama
jangka waktu tertentu, dan pada masa akhir sewa bank akan menjual rumah
dimaksud kepada nasabah.
2. Jenis-jenis KPR Syariah
Di Indonesia, saat ini dikenal dua jenis KPR Syariah, yaitu sebagai
berikut:
a. KPR Syariah Subsidi, yaitu semua kredit yang diperuntukkan bagi
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dalam rangka memenuhi
kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah yang telah dimiliki.Bentuk
subsidi yang diberikan berupa subsidi meringankan kredit dan subsidi
menambah dana pembangunan atau perbaikan rumah. Kredit subsidi ini
diatur tersendiri oleh Pemerintah, sehingga tidak setiap masyarakat yang
mengajukan kredit dapat diberikan fasilitas ini. Secara umum batasan yang
46
diterapkan oleh Pemerintah dalam memberikan subsidi adalah penghasilan
pemohon dan maksimum kredit yang diberikan.
b. KPR Syariah Non Subsidi, yaitu suatu KPR Syariah yang diperuntukkan
bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas dalam rangka
memenuhi kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah yang telah
dimiliki.
3. Syarat-syarat Pengajuan KPR Syariah
Dalam semua pembiayaan istishna’ termasuk pembiayaan KPR Syariah,
terdapat rukun yang dikristalisasikan sebagai berikut:
a. Pihak yang berakad
1) Penjual;
2) Pembeli.
b. Objek yang diakadkan
1) Barang yang dipesan;
2) Harga/ alat pembayaran.
c. Akad/ shigat
1) Serah (ijab);
2) Terima (kabul).
4. Praktik KPR Syariah
a. KPR Syariah yang Menggunakan Akad Ba’i al-Murabahah
Dalam praktek perbankan syariah, akad ba’i al-murabahah umumnya
menggunakan jenis pembayaran secara tangguh atau cicilan. Jadi, ba’i al-
murabahah merupakan transaksi jual beli, dimana bank bertindak sebagai
47
penjual dan nasabah sebagai pembeli. Akad jenis ini adalah salah satu bentuk
akad bisnis yang mencari keuntungan yang bersifat pasti (certainly return)
dan telah diketahui dimuka (pre-determiner return). Ba’i al-murabahah
sendiri merupakan penjualan suatu barang dengan harga asal dengan
tambahan keuntungan sejumlah yang disepakati bersama. Dengan sistem ba’i
al-murabahah yang ditetapkan dalam pembiayaan KPR ini berarti pihak bank
syariah harus memberitahukan harga perolehan atau harga asal rumah yang
dibeli dari developer kepada nasabah KPR Syariah dan menentukan suatu
tingkat keuntungan (profit margin) sebagai tambahan (Muhammad Syafi’i
Antonio, 1999:21).
Gambar 2.2
Skema pembiayaan KPR Syariah dengan skim ba’i al-murabahah.
1a Developer perumahan menjual rumah kepada pihak bank syariah secara
tunai.
1b Bank Syariah membeli kepada developer selaku supplier secara tunai.
2a Bank Syariah menjual rumah sebesar harga pokok/ asal ditambah
keuntungan yang disepakati bersama, kepada nasabah KPR Syariah
secara tangguh/ angsuran.
2b Nasabah membeli kepada bank syariah secara angsuran.
SUPPLIER BANK
NASABAH
1b 2b
1a 2a
(Sumber: Adiwarman A. Karim, Bank Islam. Hal. 116)
48
b. KPR Syariah yang Menggunakan Akad Istishna’
Dalam konsep fiqh muamalah, akad yang dapat digunakan oleh
perbankan syariah dalam menjalankan produk KPR Syariah adalah skim
istishna’. Salah satu bank yang memiliki produk KPR Syariah dengan
menggunakan skim istishna’ ini adalah BTN Syariah. Dalam fatwa DSN-
MUI dijelaskan bahwa jual beli istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan pesyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual (pembeli).
Pada prinsipnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli
dengan cara pembayaran mengansur (installment) yang hampir sama dengan
transaksi ba’i al-murabahah. Perbedaannya terletak pada penyerahan barang
yang menjadi objek transaksi. Dalam ba’i al-murabahah barang diserahkan
dimuka, sedangkan dalam istishna’, barang diserahkan di belakang, yakni
pada akhir periode pembayaran.
Dalam KPR dengan skim ini, bank sebagai agen pemesan dan penjual.
Bank syariah memesan kepada developer, Sebuah rumah yang kriteria-
kriterianya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh nasabah. Rumah yang
dimaksudkan ini adalah rumah yang memang belum wujud dan baru dimulai
pembangunannya setelah ada pemesanan dari pihak bank syariah.Pihak bank
syariah kemudian menjual rumah tersebut kepada nasabah secara angsuran
tetapi penyerahannya adalah pada waktu akhir periode pembayaran.
Adapun harga jual bank syariah adalah harga awal rumah tersebut dari
pengembang ditambah biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh bank syariah
49
beserta tingkat keuntungan yang besarnya haruslah disepakati terlebih dahulu
antara nasabah dengan bank syariah. Ketentuan mengenai besarnya harga jual
rumah kepada nasabah ini berlaku selama akad berlangsung.
Gambar 2.3 Skema KPR Syariah dengan skim istishna’.
(Sumber: Adiwarman A Karim, Bank Islam. Hal. 100)
1a Nasabah memesan rumah kepada bank syariah dengan kriteria tertentu
yang telah ditentukan.
1b Bank membeli rumah kepada developer perumahan sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan oleh nasabah.
1c Bank menjual kepada nasabah (tetapi penyerahan barangnya pada akhir
pembiayaan) dan nasabah membayar dengan cara mengangsur.
c. KPR Syariah yang Menggunakan Akad Ijarah Muntahiya Bi Tamlik
Akad transaksi lain yang dapat digunakan untuk pembiayaan KPR
Syariah adalah skim ijarah muntahiya bi tamlik (IMBT). Ijarah atau sering
juga disamakan dengan pure leasing adalah pemberian kesempatan kepada
penyewa untuk mengambil kemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka
BANK NASABAH
SUPPLIER 1
b
1c
1a
50
waktu tertentu dengan imbalan yang bseranya telah disepakati (Karnaen
Perwaatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, 1999:29).
Pada prinsipnya, transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan
manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milih). Jadi pada
dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tetapi
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila dalam transaksi jual beli,
objek transaksinya adalah barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya
adalah barang maupun jasa.
Berdasarkan akad ijarah ini, bank syariah menyewakan rumah sebagai
objek akadnya, kepada nasabah. Meskipun pada prinsipnya tidak terjadi
pemindahan kepemilikan (hanya pemanfaatan rumah), tetapi pada akhir masa
sewa bank syariah dapat menjual atau menghibahkan rumah yang
disewakannya kepada nasabah. Model transaksi seperti ini, dalam perbankan
syariah dikenal dengan nama ijarah muntahiya bi tamlik.
Ijarah muntahiya bi tamlik (IMBT) merupakan kombinasi antara sewa
menyewa (ijarah) dengan jual beli atau hibah di akhir sewa. Dalam ijarah
muntahiya bi tamlik (IMBT) ini terjadi pemindahan hak milik barang, dengan
dua cara (Adiwarman Karim, 2010:156):
1) Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir sewa.
2) Ijarah dengan janji akan memberikan hibah pada akhir sewa.
Dalam praktek transaksi ijarah, pilihan untuk menjual barang di akhir
masa sewa, biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk
membayar sewa relatif kecil.Karena sewa yang dibayarkan kecil, akumulasi
51
nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum
mencukupi harga beli barang tersebut beserta margin keuntungan yang
ditetapkan oleh pihak bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut,
bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, maka harus membeli
barang itu di akhir sewa.
Sedangkan alternatif pilihan untuk menghibahkan barang di akhir
masa sewa biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk
membayar sewa relatif lebih besar.Karena sewa yang dibayarkan relatif besar,
akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga
beli barang dan margin keuntungan yang telah ditetapkan oleh pihak bank
syariah.
Gambar 2.4 Skema KPR Syariah dengan akad IMBT
(Sumber: Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah. Hal. 104)
Berdasarkan pola pemindahan hak milik dalam ijarah muntahiya bi
tamlik (IMBT), maka pembiayaan KPR Syariah yang dijalankan oleh
SUPPLIER
BANK
OBJEK NASABAH
1 pesan objek
2 beli objek 3a a
kad
4
bay
ar
3 pengiriman
5 Alih kepemilikan
Kepemilikan
52
perbankan syariah menggunakan pola kedua, yaitu transaksi ijarah dengan
adanya perjanjian antara pihak bank syariah dengan nasabah bahwa bank
syariah akan menghibahkan rumah (yang dibiayai KPR) pada akhir masa
sewa kepada nasabah.
Salah satu bank syariah di Indonesia yang menggunakan skim ijarah
muntahiya bi tamlik (IMBT) dalam mengeluarkan produk pembiayaan KPR
Syariah adalah BMI (Bank Muamalat Indonesia).
5. Tujuan dan Manfaat KPR Syariah
Pada dasarnya tujuan KPR Syariah sama seperti KPR Konvesional,
yaitu membantu seseorang atau keluarga memiliki rumah yang diinginkan,
sesuai dengan kemampuan financial mereka melalui sistem mencicil. Namun
terdapat perbedaan antara keduanya yang menjadi manfaat dari KPR Syariah
yaitu terletak pada transaksinya.
Pada awal transaksi bank syariah bertindak sebagai pembeli rumah
yang diinginkan konsumen. Selanjutnya, rumah tersebut dijual kembali
kepada konsumen dengan pembayaran bertahap. Dalam transaksinya bank
syariah bertindak sebagai penjual, sedangkan nasabah sebagai end user
bertindak sebagai pembeli.
Perbedaan mendasar prinsip transaksi tersebut berimplikasi cukup
besar terhadap proses transaksi selanjutnya, yakni jumlah angsuran tetap
mengandung konsekuensi berapapun suku bunga yang terjadi di pasar,
berbeda dengan angsuran pada KPR Syariah yakni tidak akan berubah.
Jumlah angsuran tetap hingga akhir jangka waktu pembiayaan.
53
Manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan KPR Syariah
selanjutnya adalah pertama, terletak pada dana yang kita keluarkan dalam
membeli rumah tidak perlu dana besar. Rumah merupakan sebuah asset yang
memiliki nilai yang sangat besar. Karena nilainya besar itu harga sebuah
rumah juga tentu tidak semurah komoditi lainnya, maka dengan
menggunakan KPR Syariah tidak perlu mengeluarkan dana yang besar di
awal; kedua, dengan membeli sebuah rumah secara KPR Syariah bisa
langsung ditempati tanpa harus menunggu KPR tersebut lunas. Sama seperti
ketika kita mengkredit sebuah kendaraan bermotor; ketiga, harga sebuah
rumah meningkat terus. Selain emas, properti atau rumah adalah sebuah
komoditi yang nilainya tahap terhadap inflasi. Dengan nilai yang terus
meningkat dibandingkan dengan uang kertas, properti atu rumah bisa menjadi
tabungan masa depan yang lebih prospektif dibandingkan deposito manapun
(Hasil wawancara,Oby Hamdani: 07 Mei 2013).
E. Konsep Ganti Rugi (Ta’widh)
1. Pengertian Ganti Rugi (Ta’widh)
Kata al-ta’widh berasal dari kata i’wadha, yang artinya ganti atau
konpensasi.Sedangkan al-ta’widh sendiri secara bahasa berarti mengganti (rugi)
atau membayar konpensasi.Adapun menurut istilah adalah menutup kerugian
yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan (Wahbah al-Zuhaily, 1998:87).
Adanya dhaman (tanggung jawab) untuk menggantikan atas sesuatu yang
merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “Bahaya (beban berat)
dihilangkan”, (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya (beban berat) termasuk
54
didalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui pemberian ganti
rugi.Kerugian disini adalah segala gangguan yang menimpa seseorang, baik yang
menyangkut dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang terwujud
dalam bentuk terjadinya pengurangan kuantitas, kualitas ataupun manfaat.
Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak
menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad atau
menyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril kemungkinan
sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian moril. Misalnya seorang
dokter dengan membukakan rahasia pasiennya yang diminta untuk disembunyikan
sehingga menimbulkan rasa malu pada pasien tersebut (Syamsul
Anwar,2007:355). Dalam kasus ini tentu saja yang berhubungan dengan harta
kekayaan atau sesuatu yang telah dikeluarkan.
2. Dasar Hukum Ta’widh
a. Qs. Al-Maidah (5):1
....
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu...
Perkataan ‘aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu
bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang
menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang
berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan
dua buah janji (‘ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan
antara yang satu dengan yang lain disebut perikatan (‘aqad) (Hendi
Suhendi, 2010:45).
55
Qs. Al-Baqarah (2):194
.... Oleh sebab itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia
setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa
(Syaamil Al-Qur’an, 2002:30).
b. Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari
Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Nasa’i dari
Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibn Majah dari Abu
Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar,
Malik dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah):
مطل ا لغني ظلم Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kezaliman.
c. Kaidah Fiqih
يِمحا تحر على ليل د ل يد ن ا أال حة با ال ا ت مال لمعا ا في آلصل اPada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.
3. Ketentuan Umum dan Ketentuan Ta’widh
Hal ini mengingatkan secara tradisional, setiap bentuk penambahan apa
pun terhadap pokok pembiayaan merupakan bentuk-bentuk riba’. Namun, PBI
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu berkenaan
56
dengan pengaturan ganti rugi (ta’widh) dalam pembiayaan yang dimaksud
memberi kemungkinan pengenaan ganti rugi dalam hal dan dengan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut (Andrian Sutendi, 2009:64).
a. Ketentuan umum
1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real
loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta
murabahah dan ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah
apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
b. Ketentuan khusus
57
1. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah
sesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya
bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian
yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) karena adanya peluang
yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan
tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya
lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
4. Perbedaan antara ta’widh, dan ta’zir
Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi
akibat pelanggaran atau kekeliruan dengan ketentuan kerugian riil yang dapat
diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan
bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss/ al-fursah al-dha’iah) (Kamil dan Fauzan,
2007:831).
Ganti rugi dalam pandangan hukum perdata yakni menutup kerugian atas
segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak dan
terjadi kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur begitu pula dengan kerugian berupa
kehilangan keuntungan (bunga) yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditur (Subekti, 2001:47).
58
Sedangkan ta’zir adalah sanksi terhadap nasabah mampu yang menunda-
nunda pembayaran dengan sengaja atau tidak ada kemauan dan i’tikad yang baik
untuk membayar hutangnya.
BAB III
59
TINJAUAN FATWA DSN NO.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG GANTI
RUGI (TA’WIDH) DALAM PRODUK KPR INDENSYA BTN iB
MELALUI AKAD ISTISHNA’ DI BTN SYARIAH CABANG BANDUNG
A. Mekanisme Pembayaran Ta’widh Pada Pembiayaan KPR Indensya BTN
iB Melalui Akad Istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung
1. Proses Pembiayaan Produk KPR Indensya BTN iB Melalui Akad Ba’i al-istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung
KPR adalah singkatan dari Kredit Pemilikan Rumah. Jadi KPR adalah
pembiayaan yang diberikan oleh bank untuk membantu anggota masyarakat guna
membeli rumah berikut tanah untuk dihuni sendiri, berdasarkan antara bank dan
nasabah, yang mewajibkan nasabah untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan margin keuntungan.
Secara umum, proses pembiayaan produk KPR Indensya BTN iB melalui
akad ba’i al-istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung tidak jauh berbeda
dengan praktik proses pembiayaan di perbankan syariah pada umumnya. Proses
tersebut terbagi dalam beberapa tahapan yang sudah diatur dalam ketentuan
internal perbankan. Tahapan secara berurutan dari awal pembiayaan diajukan oleh
calon Nasabah hingga akhirnya permohonan disetuji dan direalisasikan.
Bahwa Pelayanan kredit dan pembiayaan kepemilikan rumah merupakan
salah satu jenis produk pembiayaan yang ditawarkan oleh BTN Syariah kepada
masyarakat dalam bentuk KPR Indensya BTN iB. KPR Indensya BTN iB tersebut
pada umunya diberikan kepada masyarakat menengah ke atas dalam bentuk jual
beli pesanan rumah yang dilakukan secara angsuran atau kredit. Dalam
pembiayaan ini biasanya pihak bank sudah bekerjasama dengan pihak developer
sebagai supplier (penyedia rumah) sehingga nasabah membayar uang muka
60
(urbun) langsung kepada pihak developer. Dalam hal permohonan pembiayaan
dan pemenuhan syarat-syarat KPR nasabah dibantu oleh pihak developer, namun
jika nasabah juga dapat mengurus sendiri permohonan pembiayaannya
(Wawancara,Obi Hamdani: 01 Mei 2013).
Secara ringkas skema berikut menggambarkan proses pembiayaan KPR
Indensya BTN iB melalui akad ba’i al-istishna’.
Gambar 3.1 Skema Pembiayaan KPR Indensya BTN iB
(Sumber: Kantor BTN Syariah Cabang Bandung)
Tahapan prosedur PKS dan KPR Indensya BTN iB dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Lakukan analisis kelayakan kerjasama KPR BTN Indensya BTNiB
terhadap Developer dan Proper yang diajukan.
2. Jika layak dan disetujui Kepala Cabang, usulkan ke kantor Pusat untuk
dimintakan Ijin Prinsip (khusus untuk CV atau perorangan)
pembayaran
kewajiban pencairan btn syariah
(penjual)
nasabah
(pemesan)
produsen
(developer)
jual
Pesan
Wakil &
pesan Pesan & beli
61
3. Tandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Developer dengan
persyaratan minimal:
a) Perijinan Lokasi: SHM/SHGB, Ijin Lokasi, Site Plan disetujui dan IMB
dalam proses.
b) Lokasi siap bangun.
c) Infrastruktur dalam proses pembangunan.
Dalam pelaksanaan proses pembiayaan produk KPR Indensya BTN iB
melalui akad ba’i al-istishna’, ada beberapa petugas bank yang terlibat, yaitu:
a. Account officer yaitu petugas bank yang melakukan proses anlisis suatu
permohonan pembiayaan, menuangkannya dalam suatu usulan untuk
mendapatkan persetujuan dan ketika pembiayaan terealisasi seorang
account officer melakukan fungsi monitoring agar pembiayaan tersebut
lancar hingga akhirnya lunas tepat waktu.
b. Komite pembiayaan yaitu pejabat bank yang mempunyai kewenangan
untuk memberikan keputusan persetujuan pembiayaan. Pejabat umumnya
dibagi berdasarkan kelas atau level kantor, mulai dari level cabang,
area/wilayah, divisi pembiayaan kantor pusat, hingga mencapai level
direksi dan komisaris.
c. Pejabat operasional yaitu pejabat yang berwenang untuk mengeksekusi
pembiayaan yang sudah disetujui dan dilakukan pengikatan, dengan
mencairkan dana pembiayaan ke rekening Nasabah.
62
d. Bagian administrasi atau bagian Legal yaitu petugas bank yang
bertanggung jawab untuk melakukan dokumentasi dan penyimpanan atas
seluruh berkas pembiayaan dan bukti kepemilikan jaminan.
2. Persyaratan dalam Proses Pembiayaan Produk KPR Indensya BTN iB Melalui Akad Ba’i al-istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung
Sebelum debitur memperoleh pembiayaan terlebih dahulu harus melalui
tahapan-tahapan penilaian mulai dari pengajuan proposal pembiayaan dan
dokumen-dokumen yang diperlukan, pemeriksaan keaslian dokumen, analisis
pembiayaan sampai dengan pembiayaan diluncurkan. Tujuan prosedur pemberian
pembiayaan adalah untuk memastikan kelayakan suatu pembiayaan, diterima atau
ditolak.
KPR Indensya BTN iB diperuntukkan bagi pemohon atau calon nasabah
yang memenuhi pesyaratan dan dengan tujuan penggunaan untuk membeli rumah,
rumah toko, apartemen dan jenis rumah tinggal lainnya dan atau berikut tanah
guna dimiliki dan dipergunakan sendiri.
Adapun syarat umum KPR Indnesya BTN iB melalui akad ba’i al-
istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung yaitu:
a. Warga Negara Indonesia (WNI)
b. Usia minimal 21 tahun atau telah menikah dan berwenang melakukan tinda-
kan hukum.
c. Pada saat pembiayaan lunas usia tidak lebih dari 65 tahun.
d. Memiliki penghasilan yang menurut perhitungan BTN dapat menjamin
kelangsungan angsuran (pokok+marjin) s.d. pembiayaan lunas.
e. Minimum masa kerja/usaha 1 (satu) tahun.
63
f. Tidak memiliki kredit/pembiayaan bermasalah (IDI BI clear).
g. Pemohon yang masih berstatus sebagai nasabah di BTN atau Bank/Lembaga
Pembiayaan harus memiliki kemampuan membayar yang cukup untuk
membayar angsuran (pokok+marjin) atas seluruh pembiayaan (yang ada
maupun yang akan diminta).
h. Menyampaikan NPWP Pribadi atau SPT Psl 21 Form A1untuk pemohon
dengan jumlah pembiayaan > Rp.50 juta.
Persyaratan dalam pengajuan KPR Indensya BTN iB yang harus dipenuhi
akad ba’i al-istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung tidak terlepas dari
dokumen-dokumen berikut:
Tabel 3.1. Persyaratan Produk KPR Indensya BTN iB
Dokumen Karyawan Wiraswasta Profesional
Formulir Pengejuan Lengkap
FC KTP/Kartu Identitas FC Kartu Keluarga
FC Kartu Keluarga
FC Surat Nikah/Cerai
FC SK Pegawai
- - FC Slip Gaji
- - Surat Keterangan Penghasilan - FC Rekening GR/TBG 3 bln terakhir
Laporan keuangan 3 bln terakhir - - FC NPWP/ SPT PPh Ps.21
FC Ijin Usaha,SIUP,TDP,Akta pdrn - - FC Ijin Praktek - - FC Setifikat dan IMB
Sumber: Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung
64
Permohonan pembiayaan dan syarat-syarat KPR diajukan ke BTN Syariah
Cabang Bandung lalu team pembiayaan KPR memverifikasi kelengkapan berkas
syarat-syarat KPR (prescanning) setelah berkas dinilai sudah lengkapmaka pihak
bank meninjau ke lapangan (On The Spot) atau melihat langsung rumah yang
akan dibeli, memverifikasi calon nasabah apakah berkas yang diberikan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya dari calon nasabah.
Dalam memperoleh pembiayaan KPR Indensya BTN iB melalui beberapa
tahapan yaitu:
1. Calon nasabah meminta informasi pembiayaan KPR Indensya BTN iB,
setelah memahami dan menyetujui pengambilan KPR, calon nasabah
mengambil formulir sebagai berikut:
2. Nasabah datang kembali dengam membawa formulir aplikasi yang sudah
lengkap disertai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
a. Form aplikasi pembiayaan
b. Form keterangan instansi dan penjualan
c. Surat kuasa pemotongan gaji
3. Analisis.
Adapun persyaratan dalam realisasi pembiayaan KPR Indensya BTN iB
melalui akad ba’i al-istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung yaitu:
1) Bank akan merealisasikan pembiayaan berdasarkan prinsip istishna’
berdasarkan akad ini, setelah Nasabah terlebih dahulu memenuhi
seluruh persyaratan sebagai berikut:
65
a. Menyerahkan kepada bank seluruh dokumen yang disyaratkan oleh
bank termasuk tetapi tidak terbatas pada dokumen bukti diri
Nasabah, dokumen kepemilikan jaminan dan atau surat lainnya yang
berkaitan dengan akad ini dan pengikatan jaminan, yang ditentukan
dalam surat Persetujuan Pemberian Pembiayaan (SP-3) dari bank.
b. Nasabah wajib membuka dan memelihara rekening giro atau
tabungan pada bank selama Nasabah wajib mempunyai fasilitas
pembiayaan dari bank.
c. Menandatangani akad wakalah pembiayaan KPR Indensya, akad ini
serta perjanjian pengikatan jaminan yang disyaratkan oleh bank.
d. Menyetorkan uang muka pembelian dan/ atau biaya-biaya yang
disyaratkan oleh bank sebagai yang tercantum dalam Sp-3.
2) Realisasi pencairan pembiayaan sebagaimana tersebut pada no 1, akan
dilakukan oleh bank secara sekaligus atau bertahap kepada pengembang
sesuai jadwal pembayaran melalui rekening Escrow.
3) Sejak ditandatanganinya akad ini telah diterimanya rumah pesanan oleh
Nasabah, maka risiko atas rumah tersebut sepenuhnya menjadi
tanggung jawab Nasabah dan dengan ini Nasabah membebaskan bank
dari segala tuntutan dan atau ganti rugi berupa apapun atas resiko
tersebut.
4) Dalam hal pembiayaan telah direalisir dan rumah sedang dikerjakan,
maka Nasabah tidak dapat membatalkan akad dengan alasan apapun,
66
termasuk namun tidak terbatas pada hasil akhir dari rumah yang
diserahkan oleh bank atau Kuasa Bank kepada Nasabah.
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam biaya PraRealisasi pembiayaan
KPR Indensya BTN iB melalui akad ba’i al-istishna’ di BTN Syariah Cabang
Bandung yaitu:
1. Biaya PraRealisasi
a. Biaya administrasi (berdasarkan tearing plafon)
b. Biaya appraisal
c. Biaya asuransi jiwa & kebakaran (single premium)
d. Biaya Notaris
e. Biaya SKMHT/APHT
f. Blokir dana 1x angsuran
2. Lain-lain
a. Pembayaran angsuran melalui pendebetan rekening di Tabungan
b. Pembayaran angsuran I dilakukan ulang pada tanggal realisasi 1 bulan
berikutnya
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam dana sebelum akad pembiayaan
KPR Indensya BTN iB melalui akad ba’i al-istishna’ di BTN Syariah cabang
Bandung yaitu:
1. Biaya proses
a. Adminitrasi: Untuk KPR Rumah Baru dan Lama
Untuk KPR Indnesya BTN iB (pesanan)
b. Notaris
67
c. Akta Pemasangan Hak Tanggungan (AHPT) (SKMHT)
2. Asuransi jiwa dan kebakaran
3. Tabungan wajib mengendap s/d pembiayaan lunas (diblokir)
(untuk KPR Subsidi 1x angsuran + Rp. 500.000,-)
Pesyaratan lain/tambahan dalam pembiayaan KPR Indensya BTN iB
melalui akad ba’i al-istishna’ di BTN Syariah cabang bandung yaitu:
1. Performance Developer
a. Perumahan yang pernah dibangun
b. Riwayat kerjasama KPR Inden sebelumnya dengan bank.
c. Performance KPR pada proper yg pernah dibangun
d. Profil Keuangan terkait kemampuan melakukan buy back guarantee.
2. Performance Perumahan yang Dikerjasamakan
a. Kelengkapan dokumen perijinan: Ijin lokasi, site plan, IMB, sertifikat,
peil banjir, dukungan PLN dan PDAM.
b. Kesiapan fisik: Jalan masuk, infrastruktur dan blok kavling lokasi.
3. Kesediaan konsumen/calon Nasabah untuk Akad Sebelum Rumah Jadi.
a. Surat pernyataan menyetujui membeli tanah&rumah keadaan belum
terbangun/proses pembangunan, serta surat pernyataan tidak
mengkaitkan proses pembangunan dengan proses pembayaran
angsuran.
Mekanisme produk KPR Indensya BTN iB melalui akad ba’i al-istishna’
yang dilakukan oleh BTN Syariah Cabang Bandung mulai dari pengajuan
permohonan KPR Indensya sampai dengan realisasi pencairan dana pembiayaan
68
sudah tepat dan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.06/DSN-
MUI/VI/2000 baik dalam ketentuan tentang pembayaran dalam bank syariah
maupun ketentuan istishna’ kepada Nasabah. Mekanisme tersebut dilakukan
sebagai upaya BTN Syariah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap
transaksinya, agar tidak menyalahi syara’ dan ketentuan perundang-undangan
perbankan yang berlaku di Indonesia.
Untuk lebih jelasnya bagaimana pengakuan dan pengukuran transaksi
pembiayaan KPR Indensya BTN iB melalui akad istishna’, dapat dilihat dari
perhitungan contoh berikut:
Pada tanggal 15 Mei 2013, Budiana mengajukan permohonan pembiayaan
untuk pembelian sebuah rumah dengan harga Rp. 656.914.109,- dimana Budiana
membayar uang muka sebesar Rp. 234.566.119,- kepada developer, setelah bank
melakukan penilaian terhadap permohonan tersebut Budiana memiliki
kesanggupan mengangsur selama 5 tahun (60 bulan) biaya angsuran per bulan Rp.
10.948.600. Bank melakukan kesepakatan dengan mengambil margin keuntungan
6,5420 % per tahun.
3. Mekanisme Pembayaran ta’widh dalam pembiayaan KPR Indensya BTN iB Melalui Akad Istishna’ di BTN Syariah Cabang Bandung
Kegiatan pembiayaan (financing) merupakan salah satu tugas pokok bank,
yaitu memberikan fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-
pihak yang deficit unit.
Salah satu skim fiqh yang paling populer digunakan dalam perbankan
syariah adalah akad jual beli istishna’. Istishna’ merupakan salah satu bentuk jual
beli yang bersifat amanah. Dalam teknis perbankan, istishna’ adalah jual beli
69
antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan
dimana barang diserahkan di belakang, yakni pada akhir periode pembiayaan.
Dalam prakteknya nasabah yang memesan untuk membeli barang dan
mengajukan pembiayaan kepada bank dan pihak bank mencari supplier/ produsen
dengan spesifikasi dan harga yang telah disesuaikan dengan keinginannya. Atas
dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari supplier yang dikehendaki
oleh nasabahnya, kemudian menjualnya kembali secara tangguh kepada nasabah
yang bersangkutan, tetapi nasabah bisa mencicil angsuran selama waktu tertentu.
Sesuai dengan pendapat Sudarsono, 2007:94 bahwa ta’widh adalah ganti
rugi yang berupa denda yang diberikan pihak bank kepada nasabah, karena
nasabah tersebut melakukan pelanggaran dengan sengaja terhadap ketentuan akad
dan menimbulkan kerugian bagi pihak bank disebabkan karena nasabah
wanprestasi.
Nasabah yang tidak memenuhi janji berarti ia telah melakukan
wanprestasi, wanprestasi dapat berupa:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya apa
yang dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
(Mariam Darus Badrul Zaman, 2001:18-19).
Nasabah yang wanprestasi akan diberikan sanksi berupa ganti rugi atas
kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan
70
sengaja atau karena melalaikan melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad di awal perjanjian pembiayaan (financing) dan mengakibatkan
kerugian kepada bank.
Dalam Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung praktek ganti
rugi yang dilakukan dengan adanya memberikan sanksi atau denda kepada
nasabah yang melakukan penundaan, padahal debitur mampu membayarnya. Hal
ini dilakukan sebagai bentuk pendisiplinan nasabah agar mendapatkan efek jera.
Dalam proses pengenaan ta’zir atau denda dana yang diterima masuk ke
dalam dana kebajikan bukan pendapatan bank syariah, adapun dengan ta’widh
masuk ke dalam dana pendapatan bank syariah sesuai kerugian yang telah
dikeluarkan.
Ketentuan ta’widh yang harus diperhatikan adalah:
a. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
b. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real
loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
c. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah
sesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank
untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potensial loss).
71
d. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata
cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
e. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
me-nimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta
murabahah dan ijarah.
Dalam proses ta’widh ini sudah dijelaskan pada fatwa DSN-MUI
No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh dan menjadi sumber kekuatan hukum
tertentu yang ditegaskan atau dikuatkan lagi pada Peraturan Bank Indonesia
No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasrkan Prinsip Syariah.
Dengan peraturan dan fatwa di atas menunjukan bahwa bank khususnya
Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung diperbolehkan untuk
menerapkan ta’widh terhadap nasabah yang lalai sehingga terjadi kerugian.
Kerugian yang dimaksud adalah kerugian secara rill atas biaya yang telah
dikeluarkan oleh bank syariah karena terjadinya penundaan pelunasan oleh
nasabah, seperti biaya telepon dan biaya administrasi.
Dalam pembiayaan KPR Indensya BTN iB Akad yang digunakan dalam
praktek ta’widh tersebut dengan menggunakan akad istishna’ yaitu akad jual beli
dalam bentuk pemesanan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (mustashni’) dan penjual (shani’) yang disepakati
dan pembayaran secara angsur dalam jangka waktu yang telah disetujui oleh
kedua belah pihak, apabila anggota mengalami keterlambatan tanggal angsuran
maka dikenakan ta’widh atas biaya riil yang dikeluarkan oleh pihak bank syariah.
72
Karena nasabah telat membayar angsuran BTN Syariah mengeluarkan dana
berupa biaya administrasi, seluruh biaya ini akan dibebankan kepada nasabah dan
besarnya ganti rugi (ta’widh) ini dilakukan di awal akad. Namun di dalam
ketentuan fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Ketentuan Khusus point
ke (3) “Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad”.
Sanksi ta’widh merefleksikan kerugian yang diderita bank akibat tidak
terbayarnya hutang tepat waktu. Karena bank Islam melihat “tingkat laba normal”
untuk menetapkan sanksi ta’widh. Karena bank Islam tidak berurusan dengan
bunga, semua penundaan dalam pembayaran angsuran ketika tidak dilunasi sesuai
dengan kesepakatan tentu mengakibatkan kerugian yang serius pada bank,
sehingga bank memberikan konpensasi terhadap nasabah yang sengaja melalaikan
kewajibannya. Berdasarkan aturan syariah bahwa tidak boleh ada kerugian pada
pihak manapun dalam kontrak istishna’ yang merupakan dasar transaksi.
Oleh karena itu, kedua belah pihak sepakat bahwa dalam hal
keterlambatan pembayaran angsuran, bank memiliki hak tanpa ada keberatan atau
penyangkalan untuk meminta konpensasi atas segala kerugian yang diakibatkan
oleh penunggakan pembayaran. Meskipun hutang dalam jual beli istishna’ adalah
tetap, dalam arti bahwa jumlah hutang tidak dapat berubah setelah kontrak
ditandatangani oleh bank dan pembeli (nasabah), bank dapat melindungi
investasinya jika si pembeli (nasabah) tidak membayar tepatwaktu.
Semua itu menunjukan bahwa dalam sampai penyelesaian hutangpun,
bank Islam telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar hutang dilunasi
73
tepat waktu, dan jika tidak kerugian yang diderita bank akan ditanggung oleh
nasabah (Muhammad, 2005:135).
B. Implementasi Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang
Ganti Rugi (Ta’widh) Dalam Droduk KPR Indensya BTN iB di Bank
Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung
Fatwa adalah pendapat ulama yang merupakan respons terhadap
pertanyaan atau situasi yang ada pada zamannya yang muncul karena perubahan
yang dialami oleh masyarakatnya karena perubahan pola hidup atau karena
perkembangan teknologi. Oleh karena itu, fatwa merupakan pendapat ulama
dalam rangka turut serta menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat. Oleh karena itu, fatwa bersifat domestik, situasional, dan temporal.
Atas dasar itulah, Ibn Qayyim al-Jawziyah (w. 751 H) menyusun kaidah yang
sangat terkenal, yaitu fatwa dapat berubah karena perubahan tempat, waktu,
keadaan, niat, dan kebiasaan (taghayyur al-fatwa bi hasab tahgahyyur al-azminat
wa al-amkinat wa al-niyat wa al-‘awa’id) (Jaih Mubarak, 2004:vii).
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil
rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama.
Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia
dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (Muhammad Syafi’i
Antonio, 2001:32).
Lembaga Keuangan Syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan
yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi
yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. Namun, adakalanya
dalam menjalankan transaksi di lembaga keuangan syariah para pihak dihadapkan
74
pada sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian. Resiko tersebut
diantaranya bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah untuk
menunda-nunda pembayaran.
Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan Syariah Islam yang sangat
melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik lembaga keuangan
syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan
hak-hak nya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam syariah islam adalah
mekanisme ta’widh (ganti rugi) kepada pihak yang hak-hak nya yang dilanggar.
Sedangkan dimaksud dengan ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan.
DSN-MUI memperbolehkan ta’widh berdasarkan beberapa ketentuan,
salah satunya karena bank dalam melayani nasabah membutuhkan biaya tambahan
apabila terjadi permasalahan dalam pembiayaan atau penundaan pembiayaan,
maka dikeluarkan biaya riil untuk mengeluarkan dana berupa biaya administrasi,
seluruh biaya ini akan dibebankan kepada nasabah tersebut dengan pengenaan
ta’widh. Karena denda (ta’zir) yang selama ini diterapkan kepada nasabah yang
menunda-nunda pembayaran tidak masuk ke dalam pendapatan bank melainkan
masuk ke dalam dana kebajikan.
Dalam prosesnya ta’widh beda dengan riba karena bukan sebagai
tambahan pinjaman. Oleh karena itu, fatwa ini dikeluarkan untuk kemaslahatan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak bank dalam rangka melindungi hak
nya. Misalnya, untuk kebutuhan biaya transport, biaya telepon, makan, minum
dan lain-lain yang dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahan, sedangkan pihak
75
peminjam atau debitur haruslah mengganti itu semuanya sesuai yang dikeluarkan
berdasarkan laporan atau bukti-bukti yang ada.
Besaran nominal dalam ta’widh tidak bisa ditentukan sejak awal akad
perjanjian dilakukan, perhitungan berdasarkan nominal riil yang telah dikeluarkan
oleh bank syariah selama proses penagihan pembiayaan KPR Indensya BTN iB.
Berbeda dengan denda yang dikeluarkan, sudah didasarkan pada ketentuan yang
telah ditetapkan oleh setiap bank.
Ketentuan khusus fatwa ini dikeluarkan bahwa ganti rugi yang diterima
dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak pendapatan bagi pihak yang
menerimanya, jumlah ganti rugi besarnya harus tetap dengan kerugian riil dan tata
cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak, besarnya ganti rugi tidak
boleh dicantumkan di dalam akad.
1. Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang ta’widh diantaranya:
a. Pendapat Wahbah al-Zuhaili mengenai ta’widh adalah menutup
kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.
b. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-
Bunuk al-Islamiyah, Ta’widh adalah Ganti rugi karena penundaan
pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang
terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu
merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.
c. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh
`Isham Anas al-Zaftawi, Kerugian harus dihilangkan berdasarkan
kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti;
sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda
76
pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang
dirugikan.
2. Ketetapan Fatwa MUI tentang ta’widh
a. Ketentuan Umum
1) Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada
pihak lain.
2) Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan
dengan jelas.
3) Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil
yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya
dibayarkan.
4) Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil
(real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut
dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potentialloss)
karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-
furshah al-dha-i’ah).
5) Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad)
yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’
serta murabahah dan ijarah.
77
6) Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam
musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak
dibayarkan.
b. Ketentuan Khusus
1) Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui
sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
2) Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil
dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3) Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4) Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara
danbiaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
78
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian diatas pada bab-bab sebelumnya, maka bab ini
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Mekanisme pembayaran ta’widh pada pembiayaan KPR Indensya BTN
iB adalah sebagai berikut: pertama mendaftarkan diri menjadi nasabah
BTN Syariah, lalu mengajukan permohonan pembiayaan dan
melampirkan syarat-syarat sesuai ketentuan bank, dengan menjelaskan
spesifikasi barang yang diinginkan, lalu pihak Bank BTN Syariah
mengadakan analisis kelayakan usaha dan survey lokasi,
menginformasikan harga barang dan harga jual, setelah disepakati, pihak
developer membangun rumah yang diinginkan oleh nasabah, lalu
diadakan akad istishna’. kedua mekanisme pembayaran ta’widh ini
karena adanya penundaan pelunasan oleh nasabah dalam pembiayaan
KPR Indensya BTN iB. Dalam praktiknya BTN Syariah menerapkan
prinsip ta’widh tersebut terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan,
khususnya dalam penundaan pelunasan oleh nasabah dalam pembiayaan
KPR Indensya namun proses ta’widh ini dicantumkan di awal akad
dalam bentuk nominal.
2. Implementasi fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti
rugi (ta’widh) dalam produk KPR Indensya BTN iB melalui akad
istishna’ adalah ganti rugi yang diterima dalam transaksi LKS dapat
79
diakui sebagai hak pendapatan bagi pihak yang menerimanya, jumlah
ganti rugi besarnya harus tetap dengan kerugian riil dan tata cara
pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak, besarnya ganti rugi
tidak boleh dicantumkan dalam akad. Setiap tambahan dalam pinjaman
akan menjadi bunga, tapi beda dengan ta’widh karena prosesnya bukan
sebagai tambahan pinjaman. Hal ini didasarkan kemaslahatan, karena di
dalam Islam dianjurkan untuk saling tolong menolong dan tidak
mendzhalimi satu sama lain. Sehingga perlulah dibuat suatu sistem yang
mengatur agar proses ini tidak terjadi kesalahan dan dirugikan satu sama
lain, maka dikeluarkanlah fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang ganti rugi (ta’widh).
B. Saran
Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung dapat meningkatkan
sosialisasi Bank Syariah dengan berbagai produk perbankan yang dimiliki Bank
Tabungan Negara Syariah Cabang Bandung termasuk produk KPR Indensya BTN
iB. Hal ini dianggap penting karena masyarakat kita pada umumnya tidak
mengetahui berbagai produk yang dimiliki Bank Tabungan Negara Syariah
Cabang Bandung dan memberikan sesuatu yang lebih baik.
Bank syariah haruslah berhati-hati dalam memberikan pembiayaan
terhadap nasabah, karena apabila terjadi kesalahan yang rugi juga pihak bank.
Setelah proses ini telah sesuai dengan prosedur haruslah membuat akad yang lebih
jelas dan transparan agar masing-masing pihak tidak saling dirugikan atau
terdzhalimi.