bab i pendahuluan a. latar belakang masalahdigilib.uinsgd.ac.id/401/4/4_bab1sd4.pdf · sangat...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga,
namun realitas menunjukkan bahwa angka perceraian kian meningkat. Banyak
perkawinan yang mengalami “kemandegan”, di dalam perkawinan itu hanya
sekedar bertahan atau menjalani rutinitas dan kewajiban tanpa kehangatan dan
kemesraan. Kini pada sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak
dianggap lagi sebagai pranata sosial yang sakral sehingga ketika terjadi masalah
atau perselisihan, perceraian langsung menjadi pilihan. Sering pula terjadi
pasangan suami istri saling menyerang, menuduh dan memfitnah. Bayangkan
orang yang dulu saling mencintai, hidup bersama dalam suka dan duka, punya
harapan untuk mereguk kebahagiaan, berakhir dengan perceraian. Padahal, ikatan
perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata dan tidak sedikit perceraian terjadi
pada mereka yang baru berumah tangga. Apapun alasannya setiap perceraian
selalu membekas luka yang mendalam terutama bagi anak-anak yang
dilahirkannya.
Setiap hari kantor Pengadilan Agama selalu disibukkan dengan urusan
pasangan yang akan bercerai. Berita-berita di media cetak dan elektronik pun tak
kalah serunya dengan isu kandasnya perkawinan para selebritis. Kenyataan itu
sangat kontras dengan gambaran dan impian setiap orang tentang perkawinan
dengan sejuta harapan indah dan kebahagiaan.
2
Secara teoritis terpenuhinya ekonomi keluarga dianggap mampu
memberikan jaminan terhadap kebutuhan pihak-pihak yang berhak untuk
memperoleh nafkah, juga dianggap mampu mengantisipasi akibat negatif dari
kemungkinan adanya pihak-pihak yang melalaikan tanggung jawabnya.
Berkaitan dengan kewajiban memenuhi ekonomi keluarga adakalanya suami
mampu dan adakalanya dia seorang yang tidak mampu. Terpenuhinya ekonomi
keluarga besar sekali pengaruh dan fungsinya dalam membina rumah tangga
bahagia, aman tenteram dan sejahtera. Sebaliknya tidak terpenuhinya ekonomi
keluarga menjadi penyebab terjadinya pertengkaran dan kekacauan dalam rumah
tangga yang berakibat perceraian. Kecukupan ekonomi mempunyai pengaruh
yang sangat penting untuk menuju keluarga yang bahagia.
Masalah ekonomi merupakan faktor yang sangat rentan dalam menimbulkan
problem rumah tangga, baik masalah ekonomi yang cukup bahkan berlebihan
hingga masalah ekonomi yang kurang bahkan sangat berkekurangan atau masalah
dalam pengaturan keuangan keluarga (Umay M. Dja‟far Shiddieq, 2004: 109).
Adanya kelalaian dalam memenuhi ekonomi keluarga sehingga pihak yang
dinafkahinya menjadi terlantar merupakan permasalahan yang sering terjadi di
kalangan keluarga Islam, terutama pada masyarakat yang kurang pengetahuannya
tentang kewajiban memenuhi ekonomi keluarga. Akibatnya tidak sedikit istri dan
anak-anak yang terlantar dibiarkan begitu saja oleh ayahnya tanpa pembelaan.
Inilah yang menjadi alasan perceraian umum diajukan oleh pasangan suami
istri, karena jika pernikahan dilanjutkan akan membawa kemudharatan bagi
keduanya bahkan keluarga dan agama. Alasan tersebut kerap diajukan apabila
3
kedua pasangan atau salah satunya menemukan ketimpangan dalam perkawinan
yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk mempertimbangkan
perceraian. Sebagaimana telah diketahui dewasa ini, salah satu penyebab yang
menimbulkan pertengkaran dan keretakan dalam rumah tangga adalah kondisi
ekonomi keluarga.
Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada
di bawah Mahkamah Agung, yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan,
salah satunya adalah Pengadilan Agama Bandung. Pengadilan agama ini memiliki
kewenangan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berada di bawah
wewenang Peradilan Agama sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,
diantaranya berwenang dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
tingkat pertama dalam hal perkawinan.
Menurut ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama Bandung, sebab
berdasarkan data yang penulis peroleh jumlah perkara perceraian di Pengadilan
Agama Bandung dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, dan
perceraian paling banyak dilakukan oleh isteri yang gugat cerai. Jumlah perkara
perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Bandung pada tahun 2010 sebanyak
3629 perkara, sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 4116 perkara perceraian.
Adapun faktor perceraian di Pengadilan Agama Bandung disebabkan antara
lain: poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak
4
ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, penganiayaan, dihukum, cacat
biologis, gangguan pihak ketiga dan tidak ada keharmonisan.1
Dari dua belas penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama
Bandung, faktor ekonomi menempati posisi yang tinggi sebagai penyebab
perceraian. Dalam hal ini pihak suami tidak mampu mencukupi dan memenuhi
kebutuhan rumah tangga sehingga kehidupan rumah tangganya menjadi tidak
harmonis, sering terjadi perselisihan dan percekcokan yang akhirnya terjadi
perceraian antara pasangan suami istri (pasturi).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul FAKTOR EKONOMI
SEBAGAI ALASAN GUGATAN PERCERAIAN (Studi Putusan-Putusan
Pengadilan Agama Bandung Tahun 2011).
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka dapat diajukan pertanyaan
penelitian:
1. Bagaimana prosedur gugat cerai di Pengadilan Agama Bandung karena
alasan ekonomi?
2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Bandung dalam
menyelesaikan gugatan perceraian dengan alasan ekonomi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian dan perumusan masalah penelitian
yang telah peneliti uraikan diatas, maka tujuan diadakan penelitian adalah :
1 Data ini diperoleh dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama Bandung.
5
1. Untuk mengetahui prosedur gugat cerai di Pengadilan Agama Bandung
karena alasan ekonomi.
2. Untuk menjelaskan pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim
Pengadilan Agama Bandung dalam menyelesaikan gugatan perceraian
dengan alasan ekonomi.
D. Kerangka Pemikiran
Setiap manusia menginginkan kehidupan perkawinannya dapat
berlangsung terus hingga akhir hayatnya. Hal ini diperkuat sebagaimana dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa
prinsip perkawinan adalah suatu akad yang suci yang dibangun oleh suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang kekal dan bahagia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan rumah tangga tak luput dari
permasalahan-permasalahan yang timbul baik disengaja maupun tidak disengaja
yang mana dapat menimbulkan perselisihan dalam rumah tangga. Faktor-faktor
penyebab terjadinya perselisihan diantaranya adalah faktor ekonomi. Kesulitan
ekonomi, menjadi masalah krusial yang dapat memicu pertengkaran antara suami
istri.
Islam telah mengatur mengenai hak kewajiban suami kepada istri dalam
keluarga. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 233 yang
berbunyi:
“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma'ruf” (QS. Al-Baqarah: 233).
6
Rasulullah SAW bersabda:
وال تضرة. ذا اكتسيت وال تقبح الىجه ٳ ذا طعمت واكسهب ٳ نى شئت واطعمهب ٲ ائت حرثك
“Datangilah ladangmu (istrimu) dari mana kamu suka, berilah ia makan
apabila kamu makan, berilah ia pakaian apabila kamu memakai pakaian, jangan
menampar mukanya, dan janganlah kamu memukuli (dia)”.
Hadis ini di-takhrij oleh Abu Dawud (1/334), dan Ahmad (5/3/5) dari Bahz
ibn Hakim: “Ayahku telah bercerita kepadaku dari kakekku, ia mengatakan: Saya
berkata: “Ya Rasulullah, istri-istri kami, apa yang boleh kami lakukan kepada
mereka dan apa yang harus kami tinggalkan?” Rasulullah s.a.w. bersabda:…
(Sabda Nabi sama dengan redaksi hadis di atas).
Menurut Muhammad Nashiruddin al-Albani (2006: 406). Hadis ini hasan
dari segi sanad-nya, karena ada perselisihan menyolok mengenai Bahz ibn
Hakim, seorang perawi yang shadûq, sebagaimana disebutkan dalam at-Taqrîb.
Adapun ayahnya (Ibnu Mu‟awiyah ibn Hidah), hadisnya diriwayatkan oleh
sekelompok perawi tsiqah, dan oleh Ibnu Hibban (1/24) dinyatakan tsiqah.
Suami-istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil
keputusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin disusun kembali.
Walaupun dalam ajaran islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian,
namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci
oleh Nabi (Satria Effendi M. Zein, 2004: 97).
Untuk mencapai perdamaian antara suami istri bilamana tidak dapat
diselesaiakan oleh mereka, maka Islam mengajarkan agar diselesaikan melalui
hakam, yaitu dengan mengutus satu orang yang dipercaya dari pihak laki-laki dan
7
satu orang dari pihak perempuan untuk berunding sejauh mungkin untuk
didamaikan. Dalam Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 35 Allah berfirman:
...
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan...”2
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh
ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan
kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan
perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah
perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
(selanjutnya disebut UUPA) dan Pasal 115 KHI.
Tata cara perceraian menurut pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai
berikut:3
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami dan
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan sendiri.
2 An-Nisa (4) :35.
3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
8
Hakim dalam suatu lembaga peradilan memegang peranan penting karena
hakim dalam hal ini bertindak sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara
yang diajukan ke pengadilan. Tugas pokok dari pada hakim adalah menerima,
memeriksa, dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim
menerima perkara, jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya
perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara (wo
kein Klager ist, ist kein Richter nemo judex sine actore). Kemudian hakim
meneliti perkara dan akhirnya mengadili yang berarti memberi kepada yang
berkepentingan hak atau hukumnya (Sudikno Mertokusumo, 2009: 117).
Pada saat menangani perkara perceraian hakim tidak serta merta
memutuskan perceraian akan tetapi hakim juga mempertimbangkan hukum sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Hakim hanya bisa menjatuhkan
memutuskan perceraian apabila perceraian tersebut sesuai dengan aturan
perundang-undangan.
Adapun hal-hal yang dapat dipakai untuk mengajukan gugatan perceraian
diatur dalam Pasal 39 ayat 2 menentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian
harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri. dan dipertegas lagi di dalam Pasal 19 ayat 1 Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
9
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu: (a) suami melanggar
taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Terkait masalah ketidakmampuan suami memenuhi ekonomi keluarga bila
istri merelakannya tidak menjadi persoalan, tetapi jika istri tidak suka, tidak rela
dan tidak sabar menghadapi suaminya maka pihak istri boleh mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat
tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
suami. Jika Istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami,
gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat kediaman suaminya. Hak untuk memohon memutuskan ikatan perkawinan
10
ini dalam hukum Islam disebut khulu‟, yaitu salah satu cara melepaskan ikatan
perkawinan yang datang dari pihak istri dengan kesediaannya membayar ganti
rugi, yaitu dengan mengembalikan mahar kepada suami.
E. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Analisis isi (content analysis)
adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu
informasi tertulis atau tercetak dalam media masa. Analisis isi dapat digunakan
untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, baik surat kabar, berita radio, iklan
televisi maupun bahan dokumentasi lain (Dadang Kuswana, 2011: 249).
Pada penelitian ini yaitu terhadap putusan-putusan gugat cerai karena faktor
ekonomi tahun 2011 yang dijadikan bahan penelitian ini. Metode ini digunakan
berdasarkan karakteristik yang disesuaikan dengan masalah, tujuan, dan kerangka
berfikir penelitian ini, yang berfokus pada isi putusan tersebut dikaitkan dengan
hukum tertulis dan tidak tertulis yang dijadikan dasar pada putusan tersebut, serta
nilai-nilai hukum yang digali dan ditemukan dalam putusan Pengadilan itu.
2. Sumber Data
Penentuan sumber data dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data utama
yaitu:
a. Sumber data primer berupa teks (naskah) salinan putusan-putusan
Pengadilan Agama Bandung termasuk berita acara persidangan, surat-surat
kelengkapan perkara, dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan
perkara tersebut. Terlebih juga informasi atau keterangan yang diperoleh
11
dari para Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini dan para pihak
yang berperkara, yang berhubungan dengan perkara tersebut.
b. Sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan
pokok bahasan atau inti permasalahan penelitian ini.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data merupakan cara atau metode tertentu guna
memperoleh data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tekhnik
pengumpulan data yang digunakan yaitu:
a. Wawancara (Interview)
Merupakan suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan
tanya jawab secara lisan kepada Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung yang
berkaitan dengan permasalahan dari objek yang diteliti.
Menurut Cik Hasan Bisri (2001: 64). Alat pengumpulan data itu dapat
berupa suatu daftar pertanyaan terstruktur dan rinci, yang disebut kuesioner
(questionaire); atau secara garis besar dan dijadikan sebagai pedoman dalam
melakukan wawancara, yang kemudian dikenal sebagai panduan wawancara
(interviewguide). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang tidak
menyimpang dari pokok permasalahan yang peneliti teliti.
b. Dokumentasi
Yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dokumen-dokumen yang
ada hubungannya dengan masalah ekonomi keluarga tidak terpenuhi menjadi
12
alasan gugatan perceraian dan data yang diperoleh dari data tertulis yaitu buku-
buku maupun tulisan yang berkaitan dengan persoalan yang diteliti.
4. Pendekatan Penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan dua pendekatan yaitu:
a. Pendekatan yuridis, yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Pendekatan normatif, yaitu pendekatan terhadap materi-materi yang diteliti
dengan mendasarkan pada penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an, al-Hadits serta
pandangan para ahli hukum yang berkompeten dalam hal ini.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan tahap pertengahan dari serangkaian tahap dalam
sebuah penelitian yang mempunyai fungsi yang sangat penting. Hasil penelitian
yang dihasilkan harus melalui proses analisis data terlebih dahulu agar dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya (Haris Herdiansyah, 2010: 158). Analisis
data disebut juga pengolahan data dan panafsiran data yaitu rangkaian kegiatan
penelaahan, pengelompokkan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar
sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah (Nurul Zuriah, 2006:
191). Metode yang digunakan untuk menganalisa data adalah metode induktif,
yaitu penarikan kesimpulan yang berawal dari satuan pengetahuan yang bersifat
khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan umum.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Ekonomi
1. Pengertian Ekonomi
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk individu yang sekaligus juga
sebagai makhluk sosial. Sejak Kehidupan manusia berjalan terus, sepanjang
perjalanan hidup itu pula manusia tidak pernah lepas dari kebutuhan. Sejak
manusia mengenal hidup bergaul, tumbuhlah suatu masalah yang harus
dipecahkan bersama-sama, yaitu bagaimana setiap manusia memenuhi kebutuhan
hidup mereka masing-masing. Kebutuhan seseorang tidak mungkin dapat
dipenuhi oleh dirinya sendiri.
Ketika beranjak dewasa, kebutuhan manusia semakin bertambah. Semula
hanya membutuhkan makanan dan minuman, kemudian bertambah dengan
kebutuhan-kebutuhan lain, seperti pakaian, tempat tinggal, perabot rumah tangga,
kendaraan bermotor, dan rumah mewah. Setelah kebutuhan yang satu terpenuhi,
maka akan segera muncul kebutuhan yang lain. Kebutuhan hidup manusia untuk
memenuhi, menghasilkan, dan membagi-bagikannya dinamakan ekonomi
(Abdullah Zaky Al-Kaaf, 2002: 11).
Ekonomi berasal dari bahasa Yunani (Grek) yang terdiri dari dua kata, yaitu
oikos dan nomos. Oikos artinya rumah tangga dan nomos artinya aturan dalam
memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga.
Rumah tangga dalam pengertian ekonomi adalah rumah tangga dalam arti
luas, yang meliputi rumah tangga keluarga, rumah tangga perusahaan, rumah
14
tangga Negara, dan rumah tangga dunia. Dalam setiap kebutuhan rumah tangga
diperlukan aturan agar kegiatan rumah tangga dapat berjalan dengan baik dan
setiap anggotanya dapat hidup makmur sejahtera (Kardiman, Endang Mulyadi,
Achmad Kusriadi, 2003:9).
“Manusia adalah makhluk multi dimensional. Di dalam diri manusia
terdapat aspek-aspek yang menggerakan manusia bertindak dan membutuhkan sesuatu. Beberapa aspek tersebut biasanya memberikan dasar pijakan bagi
pengembangan sesuatu itu dibuat dalam rangka untuk memenuhi apa yang dibutuhkan manusia” (Muhammad,2004: 25).
Meskipun kebutuhan manusia cukup banyak (jenis dan jumlahnya), tetapi
jika ditelusuri lebih seksama ternyata tiap orang mempunyai tingkat kebutuhan
yang berbeda-beda. Perbedaan tingkat kebutuhan ini disebabkan beberapa faktor
yang diantaranya adalah faktor ekonomi. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu
berhadapan dengan masalah ekonomi, paling tidak untuk mempertahankan hidup
seperti kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan.
Meski setiap orang berbeda, namun semua orang dikenal memiliki dua
kebutuhan, yakni kebutuhan asasi (primer) secara terbatas dan kebutuhan kamali
(sekunder dan tersier) serta keinginan bersifat tidak terbatas. Kebutuhan lahir atau
kebutuhan fisik termasuk kedalam kebutuhan asasi sehingga wajib dipenuhi.
Dalam memenuhi kebutuhan ini sumber daya yang disediakan di alam ini akan
mampu memenuhinya. Di lain pihak, naluri yang tidak terkontrol dapat
melahirkan kebutuhan kamali dan keinginan yang tidak terbatas. Jika hal ini harus
dipenuhi, boleh jadi sumber daya yang ada tidak akan mencukupinya.
Maka disinilah kepentingan mendudukkan posisi manusia secara benar
dalam ilmu dan sistem ekonomi agar ketersediaan sumber daya yang ada di alam
15
ini tidak dijadikan sebagai permasalahan utama ekonomi. Pandangan yang
memasukkan semua kebutuhan manusia tidak terbatas dan wajib dipenuhi
bertentangan dengan realitas yang ada. Kenyataannya, banyak orang yang tidak
memiliki mobil mewah, rumah besar, harta melimpah dapat hidup dengan
bahagia. Mereka tidak memiliki resiko yang mengancam kehidupan, kesehatan,
dan jiwanya karena kondisi itu.
Islam menganggap bahwa kebutuhan fisik sebagai kebutuhan asasi mutlak
harus dipenuhi dengan berbagai mekanisme, baik sebagai tanggung jawab
individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Oleh karena itulah Allah SWT
memberikan keringanan (rukhshah) kepada orang-orang yang terpaksa melakukan
sesuatu yang diharamkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan asasinya itu
sendiri. Hal ini semata-mata agar orang tersebut dapat bertahan hidup dari
keadaan darurat. Sebaliknya kebutuhan kamali tidak mutlak untuk dipenuhi bila
beberapa hal tidak mampu memenuhinya (M. Sholahuddin, 2007: 22).
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pemenuhan kebutuhan fisik
merupakan pemenuhan yang wajib dilakukan agar manusia tidak mengalami
kerusakan organ tubuh, penyakit, dan kematian. Karenanya, masing-masing
individu berkewajiban menggerakkan segenap potensi dan kemampuannya untuk
hal ini. Setiap individu bekerja untuk mendapatkan nafkah bagi dirinya dan
tanggungannya. Masyarakat berkewajiban membantu tetangga, kerabat atau
anggota masyarakat lainnya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan asasinya
sendiri. Sedangkan negara bertanggung jawab terhadap seluruh pemenuhan
kebutuhan asasi warga negaranya.
16
2. Pengaruh Ekonomi Terhadap Keluarga
Keluarga diartikan sebagai suatu masyarakat terkecil yang sekaligus
merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Hubungan antara individu
dengan kelompok disebut primari group. Kelompok yang melahirkan individu
dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Dalam
kebudayan kita dewasa ini dapat ditemukan berbagai macam variasi keluarga,
baik variasi dari struktur, taraf hidup, maupun filsafat hidup keluarga. Ada
keluarga inti yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anak (nucler family). Ada pula
keluarga besar (extended family) yang anggotanya merupakan keluarga inti
ditambah dengan anggota keluarga lain.
Dari segi taraf hidup, kita temukan keluarga terdidik, keluarga yang mampu,
kurang mampu atau kombinasi dari variasi-variasi tadi dan lain-lain.
Namun bagaimanapun, dalam keanekaragamannya dapat dijumpai suatu
persamaan yang esensial dari keluarga, yaitu mengenai fungsinya. Paling sedikit
ada dua fungsi utama yang harus di jalankan oleh keluarga. Fungsi ini sangat
mendasar, bila tidak terpenuhi akan membuat keluarga itu tidak berarti. Fungsi
tersebut adalah:
1. Keluarga sebagai suatu unit yang berfungsi memberi atau memenuhi kepuasan
primer-biologik pada anggotanya, seperti:
Kepuasan seksual bagi suami isteri
Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan dan pembiayaan keperluan
primer (utama) lainnya bagi anggota keluarga.
17
2. Keluarga sebagai suatu unit yang berfungsi membudayakan manusia. Karena
keluarga adalah “An institution to which we owe our humanity”. (Suatu
lembaga yang menjunjung harkat kemanusiaan). Termasuk dalam kategori ini,
fungsi keluarga untuk mengembangakan kehidupan:
Emosional anggota keluarga, dengan memberinya rasa aman, terlindungi,
diakui, dihargai, diinginkan, disayangi dan sebagainya.
Sosialisasi anggota keluarga, hingga perilaku masing-masing tidak
menyulitkan dalam melakukan penyesuaian diri antara satu sama lain
(Sanusi, Badri dan Syafruddin, 1996: 13).
Adapun fungsi keluarga yang lain adalah fungsi edukasi, fungsi proteksi
(fungsi perlindungan), fungsi rekreasi, fungsi religius, dan fungsi ekonomis.
Keluarga merupakan suatu kesatuan ekonomis, lebih-lebih zaman dahulu
dalam masyarakat pertanian, keluarga dan perusahaan, ruang keluarga dan ruang
kerja perusahaan, personalia kerja dan personalia perusahaan adalah satu.
Sekarang keadaan demikian telah banyak berubah, akan tetapi keluarga
sebagai kesatuan ekonomis pada umumnya masih banyak berlaku. Karena itu
ekonomi keluarga sangat vital bagi kehidupan keluarga .
Ekonomi berperan sebagai upaya dalam membebaskan keluarga dari
cengkrama kemelaratan. Dengan ekonomi yang cukup atau bahkan tinggi,
keluarga akan dapat hidup sejahtera dan tenang. Lalu apakah yang disebut dengan
keluarga sejahtera atau bahagia? Sebab kebahagiaan tidaklah sama bagi setiap
orang. Kebahagiaan sifatnya adalah sangat perseorangan. Orang yang satu
berbeda dengan yang lain. Akan tetapi meskipun demikian dapatlah ditinjau
18
kebutuhan pokok dari manusia yang mendatangkan kebahagiaan atau
kesejahteraan tersebut.
Adapun yang dikatakan sejahtera, aman, tenteram dan bahagia ialah apabila
keluarga itu dapat memenuhi semua kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan-
kebutuhan pokok manusia yang mendatangkan kesejahteraan yaitu :
1. Kebutuhan jasmaniah yang meliputi : makanan, pakaian, perumahan,
keuangan, dan lain-lain.
2. Kebutuhan rokhaniah yang meliputi : rasa aman, tenteram, rasa puas, rasa
harga diri, rasa tanggungjawab, dihormati, disayangi dan lain-lain (Sutari
Imam Barnadib, 1995: 126-127).
Dalam realita kehidupan bahwa besar kecilnya penghasilan mempunyai
hubungan erat dengan standar kehidupan dan tingkatan sosial ekonomi serta besar
kecilnya penghasilan dapat menentukan terhadap tercapai tidaknya kebutuhan dan
keinginan anggota keluarga. Sebaliknya dari kegagalan yang dialami akan
mengakibatkan rasa ketidaktenangan jiwa dan bahkan dapat mendorong
seseorang untuk bertindak nekat kearah yang negatif merugikan diri sendiri dan
orang lain atau merusak dan meresahkan masyarakat.
Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap harapan orang tua akan
masa depan anaknya serta harapan anak itu sendiri. Keluarga yang keadaan
ekonominya sangat lemah mungkin menganggap anaknya lebih sebagai beban
hidup daripada pembawa kebahagiaan keluarga. Sikap semacam ini, disadari atau
tidak tercermin dalam ucapan dan tingkah laku orang tua.
19
Sedangkan mereka yang keadaan ekonominya kuat mempunyai lebih
banyak kemungkinan memenuhi kebutuhan material anak dibandingkan dengan
yang lemah. Akan tetapi keadaan itu belum menjamin pelaksanaan ekonomi
keluarga sebagaimana semestinya. Karena penyalahgunaan materi dalam rangka
pembelanjaan keluarga yang berlebihan atau tidak seimbang dapat menimbulkan
hal-hal yang tidak diharapkan (M.I Soelaeman, 1994: 107).
Untuk mengatur ekonomi keluarga agar kebutuhan dari masing-masing
keluarga terpenuhi, maka harus teliti memilah dan memilih antara kebutuhan
primer dan kebutuhan sekunder serta pelengkap yang lain. Semuanya itu harus
disesuaikan dengan kemampuan atau penghasilan keluarga yang diperoleh,
sehingga tidak terperosok dalam pemborosan, kesombongan atau bahkan
sebaliknya kesengsaraan atau mendorong berlakunya penyimpangan dari hukum
atau peraturan.
Suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab dalam mencari
nafkah dan memelihara kelangsungan hidup keluarga. Surah An-Nisa ayat 34
menyatakan bahwa “Laki-laki itu pengurus atas perempuan-perempuan karena
Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian dan dengan sebab
(nafkah) yang mereka belanjakan dari harta-harta mereka”.
“Sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga tanggung jawabnya lebih dititik beratkan kepada suasana rumah terutama bidang perbelanjaan. Tetapi kalau istri mempunyai penghasilan sendiri walaupun tidak sebagai kewajibannya mencari
nafkah, maka dalam pembiayaan dan pendidikan anak yang dilakukan dengan penghasilannya akan mendapat pahala” (Abdul Djamali, 1997: 94).
Sebagai seorang istri harus mempertimbangkan kondisi suami dan
memahami situasi. Ia harus sadar bahwa rezki sudah ditentukan Allah. Karena itu,
20
ia harus rela dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Sikap rela terhadap
kehendak dan putusan Allah adalah sumber ketenangan hamba dan menjadi
surganya di dunia.
Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya
seperti ini, “Banyak sekali istri yang memberatkan suaminya dengan berbagai
macam tuntutan hingga suami terpaksa berutang untuk memenuhi keinginannya.
Para istri mengira bahwa itu sudah menjadi haknya. Apakah anggapan ini benar?
Syaikh menjawab, “ini adalah bentuk pergaulan buruk istri terhadap suaminya
(Syaikh Mahmud al-Mashri, 2011: 123). Maka tidak dihalalkan bagi seorang
wanita meminta nafkah lebih banyak, atau melebihi kebiasaan yang berlaku
disekitarnya, meskipun suami mampu memenuhinya.
3. Bentuk dan Kadar Nafkah
Ulama fikih membagi nafkah atas dua macam :
(1) Nafkah diri sendiri.
Dalam hal ini, seseorang harus mendahulukan nafkah untuk dirinya dari
nafkah kepada orang lain, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW: “Mulailah
dengan diri engkau, kemudian bagi orang yang berada dibawah tanggung
jawabmu” (HR. Muslim, Ahmad Bin Hanbal, Abu Dawud, dan an-Nasa‟I dari
Jabir bin Abdullah).
(2) Nafkah seseorang kepada orang lain.
Kewajiban nafkah terhadap orang lain, menurut kesepakatan ahli fikih,
terjadi disebabkan oleh tiga hal: (a) hubungan perkawinan, (b) hubungan
kekerabatan, (c) hubungan kepemilikan (tuan terhadap hambanya).
21
Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan
dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang
berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat. (Sulaiman Rasjid, 2000:
421). Kaidah dasar dalam hal ini adalah firman Allah yang berbunyi, “Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya” (QS. Ath-Thalaq:
7).
Jika istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung
nafkahnya, istri mengurus segala kebutuhan, seperti makan, minum, pakaian,
tempat tinggal. Dalam hal ini istri, istri tidak berhak meminta nafkah dalam
jumlah tertentu, selama suami melaksanakan kewajibannya itu (Sayyid Sabiq,
1981: 85).
Jika suami bakhil, yaitu tidak memberi nafkah secukupnya kepada istri
tanpa alasan yang benar, maka istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu
baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Hakim boleh
memutuskan berapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh istri serta
mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan
oleh istri ternyata benar (H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani, 2009: 164).
Istri boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik,
sekalipun tanpa sepengetahuan suami untuk mencukupi kebutuhannya apabila
suami melalaikan kewajibannya. Orang yang mempunyai hak boleh mengambil
haknya sendiri jika mampu melakukannya, berdasarkan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa‟i dari
„Aisyah:
22
“Dari „Aisyah r.a. sesungguhnya Hindun binti „Utbah pernah bertanya
“Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir. Ia tidak
mau memberi nafkah kepadaku sehingga aku harus mengambil darinya tanpa
sepengetahuannya”. Maka Rasulullah SAW. bersabda, “Ambillah apa yang
mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik” (HR. Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, dan Nasa‟i).
Hadits diatas menunjukkan bahwa kadar nafkah diukur menurut kebutuhan
istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak tanpa mengesampingkan
kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri. Oleh karena itu, kadar nafkah berbeda
menurut keadaan, zaman, tempat, dan keberadaan manusia.
Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam manetapkan kadar nafkah
yang wajib diberikan suami terhadap isterinya. Jumhur Ulama, selain Mazhab
Syafi‟i, menetapkan bahwa jumlah nafkah itu diberikan secukupnya. Mereka tidak
mengemukakan jumlah pasti dalam penentuan nafkah tersebut, tetapi hanya
menetapkan sesuai dengan kemampuan suami (QS. At-Thalaq (65) ayat 7).
Menurut jumhur ulama, nafkah wajib yang dikeluarkan suami terhadap isterinya
disesuakan dengan kondisi dan situasi suami dan keadaan setempat.
Lain halnya dengan pendapat Mazhab Syafi‟i, menurut mereka nafkah
berupa makanan yang wajib diberikan suami terhadap isterinya ditentukan sejalan
dengan kemampuan suami. Hal tersebut dinyatakan Allah SWT yang artinya:
”Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu” (QS. Al-
maidah (5) ayat 89). Jumlah nafkah minimal yang harus dibayarkan suami
menurut mereka sama dengan jumlah kafarat sumpah yang dibayarkan pada satu
23
orang, yaitu satu mudd (675 gram). Alasan mereka ialah karena Allah menetapkan
kafarat sesuai dengan nafkah pada isteri.
Adapun yang berkaitan dengan masalah pakaian, para ulama sepakat bahwa
suami wajib memberikan pakaian kepada istrinya, jika istri telah menyerahkan
dirinya dan menyatakan kesanggupannya melaksanakan kewajiban terhadap
suami.
Untuk tempat tinggal, suami juga berkewajiban menyediakannya dengan
membeli sendiri, menyewa, meminjam, atau didapatkan melalui wakaf seseorang.
Firman Allah SWT:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka”.4
Ibnu Qudamah berpendapat, “Jika nafkah papan (tempat tinggal) bagi
wanita yang dicerai saja diwajibkan, maka tentu lebih wajib bagi wanita yang
masih berstatus sebagai istri, sebab seorang istri membutuhkan tempat tinggal
untuk melindungi diri dari intipan dan pandangan orang, juga untuk beradaptasi
melakukan hubungan seksual dan menyimpan perhiasan. Namun, tempat tinggal
disesuaikan dengan kondisi ekonomi keduanya (Shalahuddin Sulthan, 2006: 99).
4 At-Thalaq (65): 6.
24
B. Tinjauan Umum tentang Perceraian
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Dalam fiqih, perceraian dikenal dengan istilah talak. Secara etimologis talak
berasal dari akar kata thallaqa artinya hillu al-qiyyadi al-irsal dan al-tarqi atau
fakka, yang semuanya berarti melepas ikatan. Makna yang dikehendaki dengan
ikatan disini adalah ikatan yang bersifat bisa diraba, seperti ikatan hewan, ataupun
yang bersifat maknawi, seperti ikatan batin (Syafiq Hasyim, 2001:167-168).
Menurut bahasa, talak berarti menceraikan atau melepaskan. Sedang
menurut syara‟ yang dimaksud talak ialah memutuskan tali perkawinan yang sah,
baik seketika atau di masa mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan
kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut
(Anshori Umar, TT: 386).
Ada tiga definisi talak yang dikemukakan ulama fikih. Definisi pertama
dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali. Menurut mereka, talak
adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan
datang dengan lafal khusus. Ungkapan “secara langsung” dalam definisi tersebut
adalah talak yang hukumnya langsung berlaku ketika lafal talak selesai diucapkan,
tanpa terkait dengan syarat atau masa yang akan datang. Definisi kedua
dikemukakan oleh Mazhab Syafi‟i. Menurut mereka, talak adalah pelepasan akad
nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu. Definisi ini mengandung
pengertian bahwa hukum talak itu berlaku secara langsung, baik dalam talak raj’i
maupun dalam talak ba’in. Definisi ketiga dikemukakan oleh Mazhab Maliki.
25
Menurut mereka,.talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya
kehalalan suami-isteri (Abdul Azis Dahlan, 2006: 1777).
Dari tiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa talak adalah lepasnya
ikatan perkawinan antara suami dan istri secara langsung akibat akibat
pengucapan lafal talak yang dilakukan oleh suami sehingga gugurnya kehalalan
hubungan antara suami dan istri.
Melihat tujuan perkawinan, tentulah perceraian tidak disukai oleh syari‟at
Islam, karena perceraian itu menimbulkan malapetaka, bukan saja buat suami istri,
tetapi juga kepada anak-anak dan keturunan. Tetapi adalah suatu kenyataan pula,
bahwa dalam pergaulan itu timbul hal-hal yang tidak diinginkan oleh kedua belah
pihak, timbul persengketaan tersebab soal-soal perselisihan faham. Kalau
perselisihan dan persengketaan itu tidak dapat diatasi lagi, maka jalan lain tidak
ada selain cerai, hubungan diputuskan (Siradjuddin Abbas, 2008:269).
Di dalam Al-Qur‟an banyak ayat yang berbicara tentang masalah talak.
Diantara ayat-ayat yang menjadi dasar hukum bolehnya menjatuhkan talak
tersebut adalah firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 229 dan surah
at-Talaq (65) ayat 1 yang artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar)”. Dalam sunnah
Rasulullah SAW dikatakan bahwa: “Pekerjaan halal yang paling dibenci Allah
adalah talak” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin
Umar).
Berdasarkan ayat dan hadits diatas dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya
talak itu dibolehkan namun sesungguhnya sangat dibenci oleh Allah. Untuk itu
26
perlu dilakukan dengan cara yang makruf yaitu berdasarkan alasan yang kuat dan
tepat agar tidak menimbulkan kezaliman bagi salah satu pihak (istri). Apabila
suami akan menceraikan isterinya dengan tergesa-gesa, maka itu adalah perbuatan
yang tidak benar. Sebab siapa tahu kemarahan dan kebencian sekarang akan
menimbulkan kebaikan yang banyak di masa yang akan datang.
Oleh sebab itu, agar tidak ada penyesalan dikemudian hari hendaknya
terlebih dahulu harus dipikirkan secara matang dampak dari adanya perceraian.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah
dengan mereka secara patut”.5
2. Macam-Macam Perceraian
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, dibagi menjadi dua macam,
yaitu :
a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah.
Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri
yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2. Istri dapat segera melakukan iddah, bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci.
5 An-Nisaa (4): 19.
27
3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, di
pertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid.
b. Talak Bid‟i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Termasuk talak
bid‟i ialah:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik di
permulaan haid maupun di pertengahannya.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah
digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai
ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
a. Talak Sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan
tegas. Imam Syafi‟i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk
talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq dan sarah, ketiga ayat itu disebut
dalam Al-Qur‟an dan hadits.
b. Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau
samar-samar, seperti suami berkata kepada istrinya: “Selesaikan sendiri
segala urusanmu”, “Janganlah engkau mendekati aku lagi” atau “Pergilah
engkau dari tempat ini sekarang juga”. Ucapan-ucapan tersebut
mengandung kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain.
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk
kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
28
a. Talak Raj‟i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pertama
kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Dr. As-Siba‟i mengatakan bahwa talak raj‟i adalah talak uang untuk
kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaruan
akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian. Jika
dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak rujuk maka kedudukan talak
menjadi talak ba‟in; kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami
ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah
baru dan dengan mahar yang baru pula (Abdul Rahman Gazali, 2008:197).
b. Talak Ba‟in, yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli, dan
talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya.
Talak ba‟in ada dua macam, yaitu talak ba’in shugra dan talak ba’in
kubra. Talak ba‟in shugro yaitu memutuskan tali suami istri begitu talak
diucapkan. Karena ikatan perkawinannya telah putus, maka istrinya kembali
menjadi orang asing (lain) bagi suaminya (Sayyid Sabiq, 1990: 67).
Karenanya ia tidak halal bersenang-senang dengan perempuan Bekas
suami berhak untuk kembali kepada istrinya yang tertalak ba‟in sughra dengan
akad nikah dan mahar baru selama ia belum kawin dengan laki-laki lain
Sedangkan talak ba‟in kubra, yaitu memutuskan tali perkawinan. Tetapi
talak ba‟in kubra tidak menghalalkan bekas suami meruju‟ perempuannya lagi,
kecuali setelah perempuannya tersebut kawin dengan laki-laki dalam arti kawin
yang sebenarnya dan pernah disetubuhi tanpa ada niat kawin tahlil.
29
Ditinjau dari segi suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak ada
beberapa macam, yaitu : talak dengan ucapan, talak dengan tulisan, talak
dengan isyarat dan talak dengan utusan.
3. Alasan Perceraian menurut Undang-undang
Dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI dinyatakan
bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Mohd.
Idris Ramulyo, 1999: 152-153).
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat tambahan mengenai alasan
terjadinya perceraian yang berlaku khusus kepada suami istri (pasangan
perkawinan) yang memeluk agama Islam, yaitu:
30
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga (Zainuddin Ali, 2006: 75).
4. Akibat Hukum Perceraian
a. Terhadap Hubungan Suami Istri
Dalam suatu perkawinan tidak tertutup kemungkinan akan timbulnya satu
perselisihan atau pertengkaran yang berkaitan terjadinya perceraian antara suami
istri. Perceraian antara suami istri dan mereka memiliki anak, maka dalam surat
Ath-Thalaq dijelaskan mengenai akibat hukum perceraian dimana suami
berkewajiban memberikan upahnya, si istri berkewajiban menjaga, memelihara
anak tersebut jika ia yang berhak merawat dan membesarkan anak tersebut.
Apabila dalam perceraian yang bersalah adalah si istri maka terhadapnya
tidak ada biaya yang menjadi tanggungan suaminya. Seorang istri yang telah
ditalak oleh suaminya maka ia mempunyai masa iddah tiga quru‟ (tiga kali suci),
seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah: 228. Menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan tiga quru‟ yaitu tiga
kali suci dari haid atau sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari barulah si
istri habis masa iddahnya dan boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.
Seorang wanita yang belum pernah digauli oleh suaminya tetapi ia telah
bercerai dengan suaminya dan apabila ia belum menikah lagi dengan laki-laki lain
maka ia tidak mempunyai masa iddah dan dapat langsung menikah dengan laki-
laki pilihannya (Surat Al-Baqarah: 236).
31
b. Terhadap Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
Fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit perkawinan yang
dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut rumah tangga
yang menghantamnya. Akibat dari bubarnya perkawinan itu, tidak sedikit pula
anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang
berkepanjangan. Terhadap adanya perbedaan keinginan dari kedua orang tua anak
tersebut, timbul berbagai masalah hukum dalam penguasaan anak jika telah
bercerai (Abdul Manan, 2005: 423).
Dalam hukum Islam pemeliharaan anak disebut dengan “Al-Hadhinah”
yang merupakan masdar dari kata “Al-Hadhanah” yang berarti mengasuh atau
memelihara bayi (Hadhanah as shabiyya). Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa
ibu adalah orang yang berhak melakukan hadhanah. Namun mereka berpendapat
dalam hal-hal yang lain terutama lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang
paling berhak setelah ibu dan juga syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh.
Selama tidak ada hal yang menghalangi untuk memelihara anak-anak, maka
ibulah yang harus melaksanakan hadhanah, maka hak hadhanah berpindah ke
tangan orang lain dalam kerabat ibu garis lurus ke atas. Apabila kerabat ibu dalam
garis lurus ke atas berhalangan, maka yang lebih berhak adalah kerabat dari ayah
dari anak tersebut, terutama kerabat dalam garis lurus keatas. Manakala anak yang
masih kecil itu sama sekali tidak punya kerabat di antara muhrim-muhrimnya itu
atau mempunyai kerabat tetapi tidak cakap bertindak untuk melaksanakan
hadhanah, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa wanita yang pantas
menjadi ibu pengasuh dari anak-anak tersebut.
32
Kewajiban orang tua terhadap anak secara tegas diatur dalam Pasal 45
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa:
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 juga diatur mengenai
putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya. Semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai putusan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa
ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Pasal tersebut bahwa kedua orang tua harus bertanggung jawab terhadap
anak-anaknya meskipun perkawinan telah putus. Bapak dan Ibu tetap
berkewajiban mengurus masa depan anak-anaknya yang dalam pelaksanaannya
tentu saja dilakukan oleh salah satu pihak. Kewajiban orang tua itu tetap berlaku
33
meskipun kekuasaan orang tua dicabut. Kewajiban orang tua ini berlangsung
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Akan tetapi bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara jelas diatur tentang akibat
putusnya hubungan perkawinan. Pasal 149 KHI menyebutkan bahwa salah satu
akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena talak adalah bekas suami wajib
memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan, termasuk didalamnya biaya
pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
Mengenai akibat putusnya hubungan perkawinan karena (gugat cerai) diatur
dalam pasal 156 KHI. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa anak yang belum
mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah
meninggal dunia. Bagi anak yang telah mumayyiz berhak memilih ayah atau ibu.
Semua biaya nafkah anak menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
c. Terhadap Pembagian Harta Bersama
Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat,
diantaranya adalah pembagian harta bersama. Harta bersama adalah harta yang
didapat atau diperoleh selama perkawinan. Harta tersebut akan menjadi harta
bersama, jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada
pada saat dilangsungkan pernikahan, kecuali harta yang dapat itu diperoleh dari
34
hadiah atau warisan atau bawaan masing-masing suami istri yang dimiliki
sebelum dilangsungkan pernikahan, seperti tercantum pada pasal 35 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (Wasman, Wardah Nuroniyah, 2011: 219).
Menurut undang-undang perkawinan, apabila putus perkawinan karena
perceraian harta bersama harus diselesaikan menurut hukumnya masing-masing
yaitu:
Pasal 35
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur dalam hukumnya
masing-masing.
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 85: Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri
35
Pasal 86 (1) : Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
harta istri dalam perkawinan.
Pasal 86 (2) : Harta istri tetap dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Dalam ayat-ayat tersebut Kompilasi Hukum Islam bertentangan bunyinya,
karena hukum Islam pada prinsipnya tidak dikenal harta campur kecuali dengan
syirkah (perkongsian), namun apabila dalam kehidupan sehari-hari antara suami
istri mencampurkan hartanya maka otomatis terjadi percampuran harta.
Pasal 96 (1) : apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup terlama.
Pasal (97) : Janda atau duda hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut maka harta yang diperoleh suami istri karena
usahanya, adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya
suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya mengurus rumah tangga beserta
anak-anak di rumah.
36
BAB III
FAKTOR EKONOMI SEBAGAI ALASAN GUGATAN PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA BANDUNG TAHUN 2011
A. Deskripsi Pengadilan Agama Bandung
1. Dasar Hukum dan Sejarah Pembentukannya
Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Bandung :
1. Pengadilan Agama Bandung dibentuk berdasarkan Stbl. 1882 No.152 dan
153 untuk Jawa Madura dan Stbl. 1937 No.116 dan 639 untuk Luar Jawa
dan Madura dengan nama Raad Agama.
2. Stbl. 1937 No.638 dan 639 untuk Kalimantan.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Undang-Undang Tentara
Jepang (Osamu Saerie) tanggal 7 Maret 1942.
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, jo
Undang-Undang No. 4/2004;
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-
Undang No. 3/2006; jo No. 50/2009;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1946 tentang Mahkamah Islam
Tinggi dan Pengadilan Agama.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Peradilan Agama/Mahkamah Syari‟ah untuk luar Jawa, Madura, dan
Kalimantan Selatan.
37
9. Undang-Undang No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung jo Undang-
Undang No. 5/2004, jo Undang-Undang No. 3/2009;
10. Keppres No. 21/2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan
Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara
dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung;
11. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004;
12. Peraturan Presiden RI Nomor 13 Tahun 2005 tentang Sekretariat
Mahkamah Agung RI;
13. Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Kepaniteraan
Mahkamah Agung RI;
14. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/018/SK/III/2006
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung RI;
15. Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor
MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Mahkamah Agung RI;
Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Bandung
Pengadilan Agama Bandung berdiri kurang lebih pada tahun 1882. Asumsi
ini didasarkan atas :
a. Bandung sebagai wilayah administratif, sudah ada semenjak tahun
berdirinya yaitu tahun 1810.
b. Berdirinya Pengadilan Agama Jawa Madura adalah tahun 1882.
38
Dua hal tersebut kiranya dapat dijadikan suatu sandaran atas berdirinya
Pengadilan Agama Bandung, dengan pertimbangan bahwa:
a. Sebagai wilayah administratif, sudah ada terlebih dahulu jauh sebelum
berdirinya Pengadilan Agama Jawa Madura.
b. Tahun 1882, sebagai tonggak berdirinya Pengadilan Agama Jawa Madura,
secara implisit adalah Bandung, mengingat Bandung adalah gugusan kota di
pulau Jawa.
Dari sejak berdirinya hingga pasca kemerdekaan, yakni tepatnya tahun 1972
Pengadilan Agama beralamat di komplek Masjid Agung di Jalan Dalem Kaum
dengan dipimpin oleh seorang Penghulu Recht yang disebut Hup Penghulu atau
Kepala Penghulu (Sekarang Ketua Pengadilan Agama).
Sampai dengan pertengahan tahun 1972, Pengadilan Agama Bandung masih
berkantor di komplek Masjid Agung di Dalem Kaum yang secara umum memiliki
kekuatan tenaga pegawai Pengadilan Agama sebanyak 9 orang, yang terdiri dari 1
orang Ketua merangkap Hakim Ketua, 1 orang Wakil Ketua, 2 orang Hakim
Anggota Tetap, 1 orang Girifir (sekarang Panitera), 1 orang Jurutulis (tenaga
administrasi), dan sisanya sebagai Pesuruh.
Kemudian pada tanggal 12 Juli 1972 kantornya dipindahkan ke Jalan
Garuda menjadi satu dengan kantor penerangan Agama Islam Propinsi Jawa Barat
(sekarang menjadi Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat).
Alasan kepindahan tersebut karena kantor itu akan dibongkar dalam rangka
peluasan Masjid Agung.
39
Di jalan Garuda, Pengadilan Agama Bandung hanya menempati beberapa
lokal saja. sehingga volume kerja yang dihadapi, dirasa kurang memadai.
Pada tahun 1976/1977 mulai menerima Pegawai Negeri Sipil (Guna
peningkatan Sumber Daya Manusia) juga disaat seluruh Pengadilan Agama
mendapat Daftar Isian Proyek (DIP), maka dibangunlah gedung yang nantinya
dipergunakan sebagai kantor/balai sidang yang lebih respresentatif, tidak
menumpang dan tidak pindah-pindah lagi. Dan pada tahun 1976 untuk wilayah
hukum Bandung Raya memiliki 2 (dua) Pengadilan Agama, yaitu Pengadilan
Agama Bandung dan Pengadilan Agama Cimahi.
Pada tanggal 1 April 1978, Pengadilan Agama Bandung resmi menempati
bangunan baru yang berdiri di atas tanah seluas 600 m2, dengan Hak Sewa Guna
Pakai dari Pemkot Bandung, yang sampai akhir Tahun 2007 setelah melakukan
perluasan bangunan Gedung Kantor Pengadilan Agama Bandung mencapai 500
m2, yang terletak di Jalan Tangkuban Perahu No. 14 (sekarang dikenal Jalan
Pelajar Pejuang 45 No.8 Bandung) .
Seiring dengan berjalannya waktu, pada tanggal 11 Pebruari 2008 Bapak
Ketua Mahkamah Agung RI, Bapak Bagir Manan, meresmikan Gedung Kantor
Pengadilan Agama Bandung yang baru, yang terletak di Jalan Terusan Jakarta No.
120 Antapani Kota Bandung.
Gedung Kantor Pengadilan Agama Bandung yang baru ini mulai
operasional pada tanggal 18 Pebruari 2008, satu minggu setelah acara peresmian.
Gedung Kantor Pengadilan Agama Bandung yang baru dan lebih refresentatif ini,
40
dibangun di atas tanah yang luasnya 2.444 m2, dengan luas bangunan 1.000 m2
(dua lantai), sehingga total keseluruhan luas bangunan 2.000m2.
2. Wilayah Hukumnya
Wilayah hukum Pengadilan Agama Bandung terdiri dari 30 kecamatan dan
151 kelurahan, yaitu:
1. Kecamatan Bandung Kulon : 8 Kelurahan
2. Kecamtan Babakan Ciparay : 6 Kelurahan
3. Kecamatan Bojongloa Kaler : 5 Kelurahan
4. Kecamatan Bojongloa Kidul : 6 Kelurahan
5. Kecamatan Astanaanyar : 6 Kelurahan
6. Kecamatan Regol : 7 Kelurahan
7. Kecamatan Lengkong : 7 Kelurahan
8. Kecamatan Bandung Kidul : 4 Kelurahan
9. Kecamatan Buahbatu : 4 Kelurahan
10. Kecamatan Rancasari : 4 Kelurahan
11. Kecamatan Cibiru : 4 Kelurahan
12. Kecamatan Ujungberung : 5 Kelurahan
13. Kecamatan Arcamanik : 4 Kelurahan
14. Kecamatan Antapani : 5 Kelurahan
15. Kecamatan Kiaracondong : 6 Kelurahan
16. Kecamatan Batununggal : 8 Kelurahan
17. Kecamatan Sumur Bandung : 4 Kelurahan
18. Kecamatan Andir : 6 Kelurahan
19. Kecamatan Cicendo : 6 Kelurahan
20. Kecamatan Bandung Wetan : 3 Kelurahan
21. Kecamatan Cibeunying Kidul : 6 Kelurahan
22. Kecamatan Cibeunying Kaler : 4 Kelurahan
23. Kecamatan Coblong : 6 Kelurahan
24. Kecamatan Sukajadi : 6 Kelurahan
41
25. Kecamatan Sukasari : 4 Kelurahan
26. Kecamatan Cidadap : 3 Kelurahan
27. Kecamatan Gedebage : 4 Kelurahan
28. Kecamatan Panyileukan : 4 Kelurahan
29. Kecamatan Cinambo : 4 Kelurahan
30. Kecamatan Mandalajati : 4 Kelurahan
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bandung
Berdasarkan pasal 9, 10 dan 11 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan
pasal 107 dan 105 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Struktur Organisasi
Pengadilan Agama Bandung terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, Wakil Panitera, Wakil Sekretaris, Panitera Muda Gugatan,
Panitera Muda Permohonan, Panitera Muda Hukum, Ka.Sub.Bag. Kepegawaian
Ka.Sub.Bag. Umum, Ka.Sub.Bag. Keuangan, Panitera Pengganti, dan Juru Sita,
Juru Sita Pengganti.
Adapun susunan struktur kepegawaian Pengadilan Agama Bandung adalah
sebagai berikut:
1. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kelas 1A Bandung
Ketua/Wakil Ketua : Drs. Enas Nasai, SH.
Panitera/Sekretaris : Drs. H. Deden Nazmudin, SH.
Wakil Panitera : Wahid Hilmi, SH.MH.
Wakil Sekretaris : Drs. Safe‟i Agustian
Pan Mud Gugatan : Ahmad Mujahidin, S.Ag.
Pan Mud Permohonan : Abdul Hakim, SH. SHI.
Pan Mud Hukum : Hj. Muntiamah, SH.
42
Ka.Sub.Bag.Kepegawaian : Budi Ansyori, SE.
Ka.Sub.Bag.Umum : Abdul Ghaffar Mubtadi, SHI.
Ka.Sub.Bag.Keuangan : Endang Kanawijaya, SH.
2. Kelompok Fungsional Kepanitraan
a. Panitera Pengganti:
1) H. Hidayat, S.Ag.
2) Hj. N. Juriah, SH.
3) Irna Resmiana, SH.
4) Tintin Aisah, SH.
5) Ida Frieda Djufri, S.Ag. MH.
6) Moh Hasan Sodiq A, SHI.
7) Taufik Ahmad, SH.
8) Dewi Sulami, SHI.
9) Nenden Sobariyah, SH.
10) Gungun Gunawan, SH.
b. Juru Sita:
1) H. Uwes, SH.
2) H.Agus Salim, S.HI.
c. Juru Sita Pengganti:
1) Siti Maemunah.
2) Asep Ruchyana, SH.
3) Asep Syamsudin
4) Dian Legiansah
43
5) Moh Febriansyah, SH.
6) Jaenudin Ramdhan, SHI.
7) Titin Rihantingsih, S.Sy.
8) Ratih Puspitasari
9) Eli Fatmawati
10) Asep Abdul Azis, SHI.
11) Umar Dani, S.Sy.
3. Majelis Hakim:
a. Drs. H. Abdul Fatah, SH.
b. Drs. H. Encep Hasan
c. Drs. Asep Gupron, SH.
d. Drs. Mustopa, SH.
e. Drs. Muhadir, SH.
f. Drs. H. Kamaludin, MH.
g. Drs. Mohamad Jumhari, SH.MH.
h. Drs. Nandang Nurdin. MH.
i. Drs. Anang P, SH.MH.
j. Bua Eva Hidayah, SH., MH.
k. Drs. H. Tata Taufiqurrohman, SH., MH.
l. Drs. H. Bahrul Hayat, SH.
m. Drs. H. Ramlan Marzuki, SH., MH.
n. Dra. Hj. Upi Komariah, SH., MH.
o. H.A. Shobur Hasan Supardi, SH.
44
p. Drs. H. Baim As‟ari
B. Data Umum Perceraian di Pengadilan Agama Bandung
Pengadilan Agama Bandung telah menerima dan memeriksa 5.546 perkara
pada tahun 2011, mayoritas perkara tersebut adalah mengenai perceraian
berjumlah 4116 perkara. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 1
JUMLAH PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
BANDUNG TAHUN 2011
No BENTUK PERKARA PERKARA
YANG DITERIMA
PERKARA
YANG DIPUTUS
1 Cerai Talak 1047 890
2 Cerai Gugat 3119 2788
Jumlah 4116 3678
Tabel 2
FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA BANDUNG TAHUN 2011
PERKARA YANG DITERIMA-PERKARA YANG DIPUTUS
No FAKTOR PENYEBAB JUMLAH PERKARA YANG
DIPUTUS
1 Moral
Poligami tidak sehat
Krisis Akhlak
Cemburu
2
8
1
2 Meninggalkan kewajiban
Kawin Paksa
45
Ekonomi
Tidak ada tanggung jawab
Kawin di bawah umur
-
1118
396
-
3 Penganiayaan 1
4 Dihukum -
5 Terus menerus berselisih
Cacat biologis
Gangguan Pihak Ketiga
Tidak ada keharmonisan
-
602
2.037
Jumlah 4.165
Masing-masing faktor prnyebab perceraian tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Moral
Keberadaan moral sangat penting bagi kehidupan manusia, baik dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa maupun dalam kehidupan keluarga
(rumah tangga) jika salah atau satu atau kedua belah pihak terikat perkawinan
tidak bermoral maka dapat berakibat pada rusaknya hubungan perkawinan, yang
berujung pada perceraian. Faktor penyebab perceraian karena moral meliputi
poligami tidak sehat, krisis akhlak dan cemburu.
a. Poligami tidak sehat
Poligami adalah beristri lebih dari satu, sekalipun agama Islam
membolehkan poligami tetapi pertanggung jawaban, syarat-syarat poligami berat.
46
Untuk berpoligami laki-laki harus memenuhi syarat poligami, adapun syarat
tersebut antara lain:
1. Berlaku adil dalam pembagian giliran, nafkah, dan kasih sayang yang
membawa kepada pertanggung jawaban yang penuh.
2. Keadilan nafkah bukanlah berarti jumlah yang sama, melainkan melihat
kebutuhan rumah tangganya masing-masing. Jika istri pertama anaknya
banyak itu nafkahnya harus dilebihkan dari istri yang beranak sedikit.
3. Keadilan kasih sayang jangan dilihat dari cantiknya seseorang. Kasih
sayang itu diperlukan untuk semuanya sehingga semua istrinya mendapat
lindungan dan pertanggungjawaban dari suaminya.
4. Suami boleh poligami bila ternyata istrinya mandul (tidak mempunyai
anak) (Hadiyah Salim, 1993: 77-78).
Apabila seorang suami yang berpoligami tetapi tidak memenuhi keempat
syarat diatas, dan salah satu istri tidak terima diperlakukan tidak adil maka dapat
menimbulkan pertengkaran, tidak tercapai kehidupan yang harmonis, hingga
berujung pada perceraian.
b. Krisis Akhlak
Krisis akhlak merupakan penyebab perceraian yang termasuk kategori
moral. Seorang calon suami istri, ketika hendak melakukan pernikahan dituntut
untuk membangun kepribadian secara utuh karena krisis akhlak mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam membina kelangsungan hidup keluarga.
Membangun kepribadian mempunyai arti penting dalam membina keluarga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah dalam rangka membangun keluarga yang
47
harmonis. Maka apabila seseorang akan berumah tangga, seharusnya
mempersiapkan diri, mendidik agar mempunyai budi pekerti yang baik dan
kepribadian para pihak yang terkait dalam perkawinan hendaknya dilandasi oleh
keutuhan agama maupun lainnya yaitu norma hukum, norma sosial dan norma
sopan santun.
c. Cemburu
Cemburu secara umum adalah fenomena yang sehat, karena jika tidak ada
cemburu di tengah masyarakat, niscaya akan banyak hal yang diharamkan Allah
SWT dilanggar manusia. Meskipun begitu bukan berarti cemburu itu halal secara
mutlak, karena ada cemburu yang dapat menghancurkan rumah tangga bukan
membangun. Cemburu model ini adalah cemburu gila dan buta, yang tidak
membedakan antara yang benar dan yang batil. Cemburu ini berawal dari
kecurigaan antara suami dan istri. Jika cemburu buta ini terjadi antara suami istri
maka akan berakibat kehancuran dalam rumah tangga hingga berujung pada
perceraian.
2. Meninggalkan Kewajiban
Suami berkewajiban memenuhi kebutuhan istri sesuai dengan
kemampuannya, begitu juga dengan istri berkewajiban memenuhi kebutuhan
suami. Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan hal-hal yang termasuk
kategori meninggalkan kewajiban meliputi:
48
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami istri bersama.
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
c. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama, nusa dan bangsa.
d. Sesuai dengan kewajibannya suami menanggung:
1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
3. Biaya pendidikan bagi anak
e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat 4 huruf a dan
b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
f. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
g. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.
Adapun sebab-sebab suami istri meninggalkan kewajibannya adalah:
1) Kawin paksa
Perkawinan merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh agama bagi orang
yang mampu menjalani hidup berumah tangg. Oleh karena itu orang tua yang
mempunyai anak gadis yang sudah dianggap mampu untuk melaksanakan
49
perkawinan, hendaknya menikahkan mereka. Dalam menikahkan anaknya
hendaknya orang tua meminta izin pada anaknya. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menentukan bahwa perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Pasal 16 ayat (1 dan 2)
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa: (1) perkawinan atas persetujuan
calon mempelai. (2) bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga
berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
2) Ekonomi
Ekonomi sangat besar sekali pengaruh dan fungsinya dalam membina
rumah tangga yang bahagia, aman tenteram dan sejahtera. Salah satu penyebab
krisis perkawinan dan yang menimbulkan pertengkaran dan kekacauan dalam
rumah tangga ialah masalah ekonomi. Kelancaran dalam rumah tangga sangat
dipengaruhi oleh kelancaran kestabilan ekonomi, segala kebutuhan rumah tangga
yang beraneka ragam macamnya dapat terpenuhi jika ekonominya lancar,
sebaliknya kericuhan rumah tangga sering terjadi yang diakhiri oleh perceraian
disebabkan oleh masalah ekonomi yang tidak mendukung kebutuhan pangan,
pakaian dan tempat tinggal.
Terkait masalah ketidakmampuan suami memenuhi ekonomi keluarga
dalam kelangsungannya seperti makan, sandang, dan perumahan, bila istri tidak
rela dan tidak sabar maka pihak istri dapat mengajukan gugatan cerai. Tetapi
alasan ini pun dipertimbangkan lebih dahulu terutama dalam ketidakcukupan
kalau tidak mengganggu kelangsungan hidup keluarga sehari-hari bahkan ada
50
suatu harapan dalam menambah penghasilan, maka tidak perlu dilakukan
perceraian.
3) Tidak Ada Tanggung Jawab
Apabila sudah terjadi akan nikah secara sah maka mulai saat itulah antara
suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban baik hak dan kewajiban terhadap
istri maupun hak dan kewajiban istri terhadap suami. Selain suami dan istri
mempunyai hak dan kewajiban, suami istri juga mempunyai tanggung jawab yang
harus dipenuhi, tanggung jawab bersama antara suami dengan istri, tanggung
jawab terhadap keluarga dan tanggung jawab terhadap tetangga.
Perkara perceraian yang disebabkan karena tidak adanya tanggung jawab
umumnya terkait dengan pelanggaran taklik talak yang diucapkan setelah terjadi
akad nikah yaitu:
a. Apabila suami telah meninggalkan istrinya selama 6 bulan berturut-turut
b. Apabila suami tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya selama 3 bulan
lamanya.
c. Atau menyakiti badan jasmani si istri
d. Apabila suami tidak memperdulikan atau membiarkan istri 6 bulan lamanya.
Jadi apabila suami tidak adanya tanggung jawab atau melanggar taklik talak
maka istri boleh mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.
4) Kawin dibawah umur
Kawin di bawah umur biasanya terjadi karena kemauan pihak laki-laki
ataupun pihak perempuan yang usianya belum cukup menurut undang-undang
atau pada usia muda (belum matang) secara lahiriyah (fisik, kemampuan kerja)
51
bathiniyah (mental belum labil atau jiwa mudanya masih kuat mendominasi).
Sebab lain kawin di bawah umur adalah nikah hamil yang bertujuan
menyelamatkan kehormatan keluarga.
Kondisi rumah tangga pernikahan yang dilakukan di bawah umur beraneka
ragam. Biasanya kehidupan rumah tangganya masih bergantung pada orang tua,
mereka masih tinggal bersama orang tua. Kadangkala pertengkaran kecil sering
menyertai kehidupan rumah tangga mereka, baik karena keegoisan masing-masing
pihak, maupun kesalahpahaman yang bisa menyebabkan pertengkaran atau
kadangkala kecemburuan yang tidak pasti alasannya.
Perceraian yang terjadi karena kawin di bawah umur biasanya terjadi karena
salah satu pihak atau kedua belah pihak belum siap hidup berumah tangga.
3. Penganiayaan
Penganiayaan terhadap istri seperti melakukan pemukulan, melukai dan
menganiaya merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Jika
suami telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga pada istrinya, maka istri
dapat mengajukan perceraian. Hukum positif telah menentukan bahwa jika salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak-pihak tersebut dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.6
4. Dihukum
Dihukum bisa digunakan sebagai alasan perceraian, jika sudah memenuhi
ketentuan dalam undang-undang. Ketentuan tersebut adalah salah satu pihak
6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Jo. PP. Nomor 9 Tahun
1975, Pasal 19 Huruf d Jo Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116 huruf d.
52
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan tersebut berlangsung.7
5. Terus Menerus Berselisih
Dalam membangun bahtera rumah tangga kehidupan keluarga tidak
selamanya berjalan secara mulus, namun terkadang muncul permasalahan yang
dapat mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran. Alasan perselisihan terus
menerus mencakup:
a. Cacat biologis
Kesehatan jasmani menjadi bagian penting bagi suami istri dalam menjalani
kehidupan keluarga, keberadaan jasmani yang sehat diharapkan dapat membantu
suami istri untuk memenuhi kewajiban. Jika salah satu pihak mempunyai cacat
biologis atau fisik dimungkinkan dapat menghambat atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri, sehingga tujuan perkawinan
untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah dapat terhalang untuk
itu aturan memperbolahkan mengajukan permohonan atau gugatan perceraian
dengan alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.8
b. Gangguan Pihak Ketiga
Adanya gangguan pihak ketiga adakalanya muncul dari keluarga salah satu
atau kedua belah pihak yang selalu ikut campur dalam rumah tangga tersebut.
Gangguan pihak ketiga juga dapat terjadi dari pihak lain, baik suami mempunyai
7 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 Huruf c. Jo Kompilasi Hukum Islam Pasal 116
Huruf c. 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Jo. PP. Nomor 9 Tahun
1975, Pasal 19 Huruf e Jo Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116 huruf e.
53
WIL (wanita idaman lain) maupun istri mempunyai PIL (pria idaman lain)
sehingga salah satu pihak meninggalkan tanggung jawabnya yang harus dipenuhi
terhadap keluarganya. Mereka telah melupakan keluarga dan kewajiban yang
harus dilaksanakan karena perhatiannya telah terbagi pada WIL atau PIL-nya, hal
ini bisa disebut perselingkuhan.
c. Tidak Ada Keharmonisan
Pada dasarnya setiap orang yang berumah tangga selalu mendambakan
keluarga yang harmonis. Ada kesesuaian dan kecocokan diantara suami istri serta
mampu mengatasi perbedaan yang ada secara baik dan tetap bertujuan
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Keluarga yang tidak harmonis akan menjadi suatu hal yang tidak
menyenangkan dan tidak memberi kenyamanan bagi masing-masing pihak.
Ketidakharmonisan tersebut pada akhirnya menimbulkan perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus kemudian berujung pada perceraian.
C. Putusan Gugatan Perceraian Karena Faktor Ekonomi di Pengadilan
Agama Bandung
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, bahwa di Pengadilan Agama
Bandung tahun 2011 terdapat 1118 putusan perceraian terkait ekonomi sebagai
alasan perceraian. Tetapi disini penulis hanya membahas tiga putusan tahun 2011.
Dari ketiga putusan tersebut diuraikan sebagai berikut:
Kasus 1
Putusan Nomor: 21/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
54
Pengadilan Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata pada tingkat pertama dan telah menjatuhkan putusan atas perkara sebagai
berikut dalam perkara antara: ERNAWATY AS binti ANDA SURYANA, Umur
36 Tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, tempat kediaman di Jalan
Karangtineung Dalam No. 70 RT. 01 RW. 04 Kelurahan Cipedes Kecamatan
Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”. Melawan
TANTAN YULIANTO bin EMAN SULAEMAN, Umur 42 Tahun, agama Islam,
pekerjaan Serabutan, tempat kediaman di Jalan Karangtinggal Dalam No. 26 RT.
06 RW.11 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya
disebut sebagai “Tergugat”.
Penggugat berdasarkan surat gugatannya tanggal 3 Januari 2011, dan
terdaftar pada kepaniteraan Pengadilan Agama Bandung. Nomor:
21/Pdt.G/2011/PA.Bdg. mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat adalah istri sah Tergugat yang menikah pada tanggal 26
September 1999, dengan kutipan akta nikah nomor: 416/59/IX/1999 tanggal
27 September 1999, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung.
2. Bahwa setelah perkawinan penggugat dengan tergugat tinggal bersama di
Jalan Karangtinggal Dalam No. 26 RT. 06 RW.11 Kelurahan Cipedes
Kecamatan Sukajadi Kota Bandung hingga sekarang, karena berselisih
kemudian Penggugat keluar dari rumah dan sekarang tinggal di Jalan
Karangtineung Dalam No. 70 RT. 01 RW. 04 Kelurahan Cipedes
Kecamatan Sukajadi Kota Bandung.
55
3. Bahwa dari perkawinannya tersebut telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak
yang bernama:
1. AZKA AQILAH FADHILLAH, Lahir tanggal 29 Juli 2001
2. ALI FAYZAN ABDILLAH, lahir tanggal 16 Juli 2003
3. MUHAMMAD HUSSAIN ABDALA, lahir tanggal 10 Februari 2007
4. Bahwa dari sejak perkawinan tersebut hingga akhir Tahun 2009 rumah
tangga antara Penggugat dan Tergugat berjalan rukun dan harmonis
sebagaimana layaknya suatu rumah tangga yang baik, akan tetapi sejak
tahun 2010 antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang sulit untuk didamaikan.
5. Bahwa penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut
dikarenakan faktor ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap
Penggugat.
6. Bahwa karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka
mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat menjadi benar-
benar tidak rukun lagi, dan sampai sekarang telah pisah rumah selama 4
bulan.
7. Bahwa penggugat telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga
bersama tergugat bahkan Penggugat telah meminta bantuan kepada keluarga
akan tetapi tidak berhasil.
Berdasarkan kepada apa yang diuraikan diatas Penggugat memohon kepada
Ketua Pengadilan Agama Bandung untuk memanggil Penggugat dan Tergugat
56
agar hadir di muka persidangan, memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan penggugat
2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra dari Tergugat kepada Penggugat
3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum
Atau apabila pengadilan berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya.
Setelah melakukan pemeriksaan dan persidangan terhadap perkara tersebut,
Majelis Hakim menetapkan putusan sebagai berikut:
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 130 HIR Jo Pasal 82
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009, Majelis Hakim telah berusaha semaksimal mungkin
mengupayakan perdamaian, agar kedua belah pihak berperkara bisa hidup rukun
kembali membina rumah tangga dan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung
RI No. 1 Tahun 2008, Majelis Hakim sesuai kesepakatan kedua belah pihak
berperkara, telah menunjuk Sdr. Drs. H. IDANG HASAN, S. SH. MH. Selaku
mediator untuk melakukan mediasi, namun upaya tersebut gagal.
Menimbang, bahwa yang menjadi alasan pokok diajukannya gugatan
perceraian oleh Penggugat yaitu bahwa sejak tahun 2010 antara Penggugat dengan
Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk
didamaikan, hal tersebut terjadi karena faktor ekonomi, tergugat kurang
57
bertanggung jawab terhadap Penggugat, maka mengakibatkan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat menjadi benar-benar tidak rukun lagi, dan sampai
sekarang telah pisah rumah selama 4 (empat) bulan, oleh karena demikian
Penggugat memohon agar Pengadilan menjatuhkan talak Tergugat kepada
Penggugat.
Menimbang, bahwa Tergugat telah memberikan jawaban secara lisan yang
pada pokoknya Tergugat membenarkan seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat dan
Tergugat tidak keberatan untuk bercerai.
Menimbang, bahwa memperhatikan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 guna untuk mengetahui sejauhmana kondisi rumah tangga
Penggugat dengan Tergugat, Majelis Hakim perlu mendengar keterangan saksi-
saksi dari keluarga atau orang terdekat kepada Penggugat dan Tergugat.
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, Penggugat
dan Tergugat telah mengajukan bukti berupa Photo Copy Surat Kutipan Akta
Nikah yang diberi tanda P.1 dan mengajukan saksi yang terdiri dari 2 (dua) orang
saksi yaitu: CACIH SARSIH binti CECE CASMEDI dan YON AIDIL bin
WISHAR.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 yaitu Fotokopi kutipan Akta
Nikah Nomor: 416/59/IX/1999 tanggal 27 September 1999 yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Sukajadi Kota Bandung yang telah dicocokan dengan
aslinya dan dibubuhi materai secukupnya, harus dinyatakan terbukti bahwa
Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang terikat dalam perkawinan yang
sah.
58
Menimbang, bahwa saksi-saksi yang diharapkan oleh Penggugat dan
Tergugat tersebut pada pokoknya menerangkan bahwa mereka mengetahui sudah
kondisi rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sejak tahun 2010 diantara
mereka sering bertengkar, yang disebabkan karena masalah ekonomi yang selalu
tidak mencukupi, dimana Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat
pada saat sekarang telah pisah rumah selama 5 (lima) bulan.
Menimbang, bahwa kedua saksi penggugat juga menerangkan bahwa selaku
keluarga mereka telah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat, tetapi
tidak berhasil karenanya saksi sudah tidak sanggup lagi mendamaikan kedua
belah pihak.
Menimbang bahwa fakta dipersidangan menunjukkan, sampai pada tahap
kesimpulan penggugat tetap bersikeras ingin bercerai dengan Tergugat dan upaya
mediasi pun tidak membuahkan hasil.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, Majelis Hakim
berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat benar sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang sudah tidak ada harapan untuk dipertahankan
lagi, sehingga rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah pecah sedemikian
rupa (marriage breakdown).
Menimbang, bahwa kondisi rumah tangga Penggugat dan Tergugat
sebagaimana digambarkan diatas, sudah jauh dari hakekat dan tujuan perkawinan
yang sebenarnya sebagaimana yang dicita-citakan didalam Pasal 1 Undang-
undang nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam dimana
perkawinan itu bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
59
sakinah, mawaddah dan rahmah, karenanya mempertahankan ikatan rumah tangga
antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak akan bermaslahat lagi.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka Penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya,
karenanya alasan perceraian sebagaimana diatur pada Pasal 39 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Jis Pasal 19 huruf (f) Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi, dengan
demikian gugatan Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat patut dikabulkan.
Menimbang, bahwa selama perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah
bergaul sebagaimana layaknya suami istri (ba‟da dukhul) dan belum pernah
bercerai, maka berdasarkan ketentuan Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam talak
yang dijatuhkan adalah talak satu ba‟in sughra.
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai
Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, maka
biaya timbul dalam perkara ini harus dibebankan kepada Penggugat.
Mengingat, segala ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
dan hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini.
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat
2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro Tergugat TANTAN YULIANTO bin
EMAN SULAEMAN kepada Penggugat ERNAWATY binti ANDA
SURYANA
60
3. Membebankan biaya perkara sejumlah Rp. 171.000,- (seratus tujuh puluh
satu ribu rupiah) kepada Penggugat.
Demikian putusan ini dijatuhkan di Bandung pada hari Rabu tanggal 02
Februari 2011 Masehi bertepatan dengan tanggal 28 Shafar 1432 Hijriyyah, oleh
kami Drs. MUHADIR, SH. Sebagai Ketua Majelis dan Drs. ZEZEN ZAENAL
ABIDIN serta Drs. H. IDANG HASAN, S. SH. MH., masing-masing sebagai
Hakim Anggota. Putusan tersebut diucapkan oleh Majelis tersebut pada hari itu
juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota
serta KOSMARA, SH sebagai panitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat
dan Tergugat.
Kasus 2
Putusan Nomor: 871/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
Pengadilan Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
pada tingkat pertama dan telah menjatuhkan putusan atas perkara sebagai berikut
dalam perkara antara: Aah Kurniati, Umur 34 Tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu
Rumah Tangga, bertempat tinggal di Jalan Cipedes No. 37 RT. 04 RW. 06
Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya disebut
sebagai “Penggugat”. Melawan Dadang Rahmat Arifin, Umur 42 Tahun, agama
Islam, pekerjaan Pegawai Swasta, bertempat tinggal di Jalan Cipedes No. 37 RT.
04 RW. 06 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya
disebut sebagai “Tergugat”.
61
Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 15 Maret 2011, yang
telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bandung dalam register perkara
Nomor: 871/Pdt.G/2011/PA.Bdg. mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 31 Januari 1993, Penggugat telah melangsungkan
perkawinan dengan Tergugat dihadapan Pegawai Pencatat Nikah pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung. Kutipan Akta
Nikah Nomor: 740/38/II/1993 tanggal 09 Februari 1993.
2. Bahwa setelah perkawinan tersebut penggugat dengan tergugat tinggal
bersama di Jalan Cipedes No. 37 RT. 04 RW. 06 Kelurahan Cipedes
Kecamatan Sukajadi Kota Bandung hingga sekarang Penggugat tetap
tinggal di alamat tersebut, karena berselisih kemudian Penggugat keluar dari
rumah dan sekarang tinggal di Jalan Cisaranten No. 25 RT. 02 RW. 06
Kelurahan Cisaranten Wetan Kecamatan Cinambo Kota Bandung.
3. Bahwa dari perkawinannya tersebut telah dikaruniai 2 (dua) orang anak
masing-masing bernama:
1. Hera Oktavia Anjani, lahir tanggal 23 Oktober 1993
2. Wine Gloria Tifani, lahir tanggal 10 Mei 2003
4. Bahwa dari sejak perkawinan tersebut hingga tahun 2004 rumah tangga
antara Penggugat dan Tergugat berjalan rukun dan harmonis sebagaimana
layaknya suatu rumah tangga yang baik, akan tetapi sejak tahun 2005 antara
Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang sulit untuk didamaikan.
62
5. Bahwa penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut
dikarenakan Faktor Ekonomi, Tergugat kurang bertanggungjawab terhadap
Penggugat dan Tergugat memiliki wanita idaman lain (WIL).
6. Bahwa karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka
mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat menjadi benar-
benar tidak rukun lagi, dan sampai sekarang telah pisah rumah selama 6
(enam) tahun.
7. Bahwa penggugat telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga
bersama tergugat bahkan Penggugat telah meminta bantuan kepada keluarga
akan tetapi tidak berhasil.
Berdasarkan kepada apa yang diuraikan diatas Penggugat memohon kepada
Ketua Pengadilan Agama Bandung untuk memanggil Penggugat dan Tergugat
agar hadir di muka persidangan, memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat
2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra dari Tergugat kepada Penggugat
3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum
- Mohon putusan yang seadil-adilnya.
Setelah melakukan pemeriksaan dan persidangan terhadap perkara tersebut,
Majelis Hakim menetapkan putusan sebagai berikut:
TENTANG HUKUMNYA
63
Menimbang, bahwa sesuai dengan Pasal 82 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, Majelis Hakim telah mendamaikan para Penggugat, akan tetapi tidak
berhasil.
Menimbang, bahwa dari dalil Penggugat butir (1) dihubungkan dengan
Kutipan Akta Nikah (P.1) tersebut diatas, harus dinyatakan bahwa sejak tanggal
31 Januari 1993 antara Penggugat dengan Tergugat telah terikat oleh perkawinan
yang sah.
Menimbang, bahwa dalam persidangan Tergugat telah tidak datang
menghadap ke persidangan, oleh karenanya harus dinyatakan bahwa Tergugat
yang telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadap ke persidangan,
tidak hadir.
Menimbang, bahwa alasan Penggugat sebagaimana dalam positanya
tersebut adalah bahwa dari sejak tahun 2005 antara Penggugat rumah tangganya
sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan faktor ekonomi, Tergugat
kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat dan Tergugat memiliki wanita
idaman lain, bahkan antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah rumah selama
6 (enam) tahun.
Menimbang, bahwa dari dalil-dalil Penggugat dihubungkan dengan
keterangan saksi EEN KARNENGSIH binti UHA dan ASEP SAEFUL KAMAL,
S.Ag., yang pada pokoknya kedua saksi tersebut menerangkan bahwa rumah
tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak rukun lagi, sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena faktor ekonomi, Tergugat
tidak bertanggung jawab terhadap Penggugat dan Tergugat memiliki wanita
64
idaman lain, akhirnya mereka telah pisah rumah dan sudah diusahakan
perdamaian akan tetapi ternyata tidak berhasil, dapat disimpulkan bahwa antara
Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit
didamaikan, oleh karenya harus dinyatakan bahwa perkawinan tersebut telah
pecah, sehingga tujuan perkawinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan bertujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan sebagaimana ditegaskan dalam Al-
Qur‟an Surat Ar-Ruum ayat 21, bahwa dijodohkannya laki-laki dan perempuan ini
sebagai suami istri agar tercapai kehidupan yang tenteram dan selalu terjalin rasa
saling mencintai dan saling menyayangi, tidak akan tercapai.
Menimbang, bahwa berdasarkan kenyataan dan pertimbangan tersebut,
harus dinyatakan bahwa cerai gugat tersebut telah memenuhi alasan perceraian
yang diatur dalam pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis pasal 19
huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam. Sehingga cukup beralasan dan tidak melawan hukum,
sehingga oleh karenanya harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat
dapat dikabulkan dengan verstek.
Menimbang, bahwa perkara tersebut termasuk bidang perkawinan, maka
berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, biaya perkara harus
dibebankan kepada Penggugat.
Memperhatikan, ketentuan hukum yang berlaku dan berkaitan dengan
perkara tersebut.
65
MENGADILI
1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi dan patut
untuk menghadap di persidangan, tidak hadir
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek
3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro Tergugat DADANG RAHMAT
ARIFIN bin SULAEMAN terhadap Penggugat AAH KURNIATI binti
UHA
4. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sejumlah Rp. 271.000,-
(dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).
Demikian diputuskan di Bandung pada hari Kamis tanggal 28 April 2011
M. bertepatan dengan tanggal 24 Jumadil Awal 1432 H. oleh kami Dra. Hj. EUIS
KARTIKA, Sebagai Hakim Ketua, Drs. ASEP GUPRON, SH. dan Drs.
MOHAMAD JUMHARI, SH., MH. masing-masing sebagai Hakim Anggota,
putusan mana diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum
dengan dihadiri oleh ROJUDIN, M.Ag. sebagai Panitera Pengganti pada
Pengadilan Agama tersebut, dihadapan Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.
Kasus 3
Putusan Nomor:843/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
Pengadilan Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
pada tingkat pertama dan telah menjatuhkan putusan atas perkara sebagai berikut
dalam perkara Cerai Gugat yang diajukan oleh Istri, Umur 38 Tahun, agama
Islam, pekerjaan Pegawai Swasta, bertempat tinggal di Komplek Bumi
Panyileukan Blok F3 No.32 RT. 02 RW. 05 Kelurahan Cipadung Kidul
66
Kecamatan Panyileukan Kota Bandung. Selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”.
Melawan Suami, Umur 43 Tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Swasta,
bertempat tinggal di Jalan Panti Asuahan No. 47B RT. 03 RW. 02. Kelurahan
Jurang Manggu Timur Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang, sekarang tidak
diketahui tempat tinggalnya diwilayah Indonesia. Selanjutnya disebut sebagai
“Tergugat”.
Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 11 Maret 2011, dan
telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bandung dalam register perkara
Nomor: 843/Pdt.G/2011/PA.Bdg. pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 03 Mei 1996, Penggugat telah melangsungkan
perkawinan dengan Tergugat dihadapan Pegawai Pencatat Nikah pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Coblong Kota Bandung. Kutipan Akta
Nikah Nomor: 107/19/V/1996 tanggal 03 Mei 1996.
2. Bahwa setelah perkawinan tersebut penggugat dengan tergugat tinggal
bersama di bertempat tinggal di Komplek Bumi Panyileukan Blok F3 No.32
RT. 02 RW. 05 Kelurahan Cipadung Kidul Kecamatan Panyileukan Kota
Bandung, hingga sekarang Penggugat dan Tergugat tetap tinggal di alamat
tersebut.
3. Bahwa dari perkawinan tersebut telah dikaruniai 2 (dua) orang anak masing-
masing bernama:
1. RIZKY AULYA PRATAMA, lahir tanggal 15 April 1997.
2. M. FADHIL IHSAN F, lahir tanggal 20 Juni 2002.
67
4. Bahwa dari sejak perkawinan tersebut hingga tahun 2004 rumah tangga
antara Penggugat dengan Tergugat berjalan rukun dan harmonis
sebagaimana layaknya suatu rumah tangga yang baik, akan tetapi sejak
tahun 2005 antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran yang sulit untuk didamaikan.
5. Bahwa penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut
dikarenakan Faktor Ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap
Penggugat, Tergugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
terhadap Penggugat.
6. Bahwa karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka
mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat menjadi benar-
benar tidak rukun lagi, dan sudah tidak ada harapan untuk bersatu kembali.
7. Bahwa Penggugat telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga
bersama Tergugat bahkan Penggugat telah meminta bantuan kepada
keluarga akan tetapi tidak berhasil.
Berdasarkan kepada apa yang diuraikan diatas, maka dengan ini Penggugat
memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Bandung untuk memanggil
Penggugat dan Tergugat agar hadir di muka persidangan, memeriksa perkara dan
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat
2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro dari Tergugat terhadap Penggugat
4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum
- Mohon putusan yang seadil-adilnya.
68
Setelah melakukan pemeriksaan dan persidangan terhadap perkara
tersebut, Majelis Hakim menetapkan putusan sebagai berikut:
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendamaikan agar Penggugat
bersabar dan meneruskan rumah tangganya dengan Tergugat akan tetapi tidak
berhasil.
Menimbang bahwa berdasarkan dalil Penggugat pada posita poin 1 (satu),
dan keterangan saksi serta bukti (P.1), maka pertama-tama harus dinyatakan
terbukti bahwa antara Penggugat dengan Tergugat masih terikat dalam
perkawinan yang sah.
Menimbang, bahwa Penggugat telah hadir ke persidangan dan telah
memberikan keterangan dan penjelasan secukupnya.
Menimbang, bahwa Tergugat tidak datang menghadap ke persidangan dan
tidak pula menyuruh orang lain sebagai kuasanya, walaupun kepadanya telah
dipanggil secara patut dan sah melalui RRI dengan Nomor:
843/Pdt.G/2011/PA.Bdg., tanggal 26 April 2011 dan tanggal 26 Mei 2011,
ketidakhadiran Tergugat tersebut telah ternyata tidak disebabkan oleh suatu
halangan yang sah menurut Undang-undang, oleh karena itu Tergugat harus
dinyatakan tidak pernah hadir ke persidangan dan berdasarkan pasal 125 (1) HIR
perkara ini harus diputus secara verstek.
Menimbang, bahwa Penggugat telah mendalilkan bahwa rumah Tangganya
dengan Tergugat sejak tahun 2005 sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang disebabkan karena faktor ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab
69
terhadap Penggugat dan Tergugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap Penggugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan para saksi yang diajukan Penggugat
bernama EVIYANTI binti DADANG dan SANTI NURHAYATI binti
WARJONO, telah membenarkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat
sekarang ini sudah tidak rukun dan harmonis lagi karena faktor ekonomi,
Tergugat tidak bertanggung jawab terhadap Penggugat dan ada kekerasan dalam
rumah tangga serta tergugat telah pergi meninggalkan Penggugat tanpa memberi
nafkah wajib kepada Penggugat dan sekarang Tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya serta tanpa kabar berita, yang sampai sekarang telah pisah rumah
selama kurang lebih 6 (enam) tahun.
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil gugatan Penggugat dan bukti
saksi, Majelis Hakim telah mendapatkan fakta dipersidangan, bahwa rumah
tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak rukun dan harmonis lagi
karena faktor ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat,
dan ada kekerasan dalam rumah tangga serta Tergugat telah pergi meninggalkan
Penggugat tanpa memberi nafkah wajib kepada Penggugat dan sekarang Tergugat
tidak diketahui tempat tinggalnya serta tanpa kabar berita, yang sampai sekarang
telah pisah rumah selama 6 (enam) tahun, atas kejadian tersebut Penggugat tidak
mempercayai lagi Tergugat dan sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan
rumah tangga dengan Tergugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis Hakim
berpendapat bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah sulit untuk
70
dirukunkan lagi, oleh karena itu telah cukup bukti alasan gugatan Penggugat
sesuai maksud pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis pasal 19 huruf
(f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 (f) Kompilasi
Hukum Islam, maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan verstek dengan
menjatuhkan talak satu bain sughro Tergugat terhadap Penggugat.
Menimbang, bahwa dalam perkara ini telah timbul biaya, maka berdasarkan
pasal 89 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 harus dibebankan kepada Penggugat.
MENGADILI
1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi dan patut
untuk menghadap di persidangan, tidak hadir
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek
3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro Tergugat terhadap Penggugat
4. Membebankan biaya perkara sejumlah Rp. 361.000,- (tiga ratus enam puluh
satu ribu rupiah) kepada Penggugat.
Demikian diputuskan di Bandung pada hari Senin tanggal 05 September
2011 M. bertepatan dengan tanggal 07 Syawal 1432 H. oleh kami Drs. MUGHNI
MUHARROR, M.Hum, sebagai Hakim Ketua, Drs. H. ABDUL FATAH, SH. dan
Drs. H. IDANG HASAN. S., MH. masing-masing sebagai Hakim Anggota,
putusan mana diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum
dengan dihadiri oleh Hj. MUNTHIAMAH, SH. sebagai Panitera Pengganti pada
Pengadilan Agama tersebut, dihadapan Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.
71
72
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP GUGATAN
PERCERAIAN KARENA FAKTOR EKONOMI
A. Alasan Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama Bandung
Meningkatnya kebutuhan ekonomi memaksa pasangan suami istri harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali
perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih
apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.
Gugatan perceraian dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan perkembangan
zaman yang modern, seperti hidup di lingkungan orang kaya yang berbeda
profesi, istri mengikuti gaya hidup teman-temannya yang hidup serba kemewahan,
sementara penghasilan suami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Begitupun dalam kehidupan rumah tangga seperti tingkat kebutuhan yang
semakin meningkat, harga semua kebutuhan pokok semakin mahal sementara
penghasilan suami kecil, tingkat kesadaran suami akan tanggung jawab untuk
memenuhi ekonomi keluarga sangat minim, dan antara suami dan istri tidak saling
memahami satu sama lain. Setelah diselidiki ternyata kasus gugat cerai di
Pengadilan Agama Bandung ini dipengaruhi oleh kultur sosial dan budaya
masyarakat Bandung yang life style-nya diatas rata-rata.
Selain itu gugatan perceraian karena faktor ekonomi di Pengadilan Agama
Bandung lebih dominan disebabkan:
a. Penghasilan suami yang kecil tidak seimbang dengan kebutuhan yang
diperlukan istri dan anaknya;
73
b. Suami tinggal di rumah istri (mertua);
c. Suami bersikap cuek/ tidak mau memberi nafkah terhadap istri;
d. Istri banyak menuntut nafkah yang lebih akan tetapi suami tidak
mampu memenuhi permintaan istri;
e. Suami malas/tidak sungguh-sungguh dalam bekerja.9
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan gugatan perceraian karena
faktor ekonomi di Pengadilan Agama Bandung pada tahun 2011 mengalami
peningkatan, hal ini dapat dibuktikan dengan laporan tahunan Pengadilan Agama
dalam hal ini faktor ekonomi pada tahun 2011 sebanyak 1118 perkara. Apabila di
presentasekan gugat cerai karena faktor ekonomi sekitar 70% dari 70% perkara
gugatan perceraian. Perkara tersebut kebanyakan diajukan oleh masyarakat pada
umumnya menengah kebawah dan pernikahan yang rata-rata lima
tahun/pernikahan yang masih muda.
Ada beberapa hal yang patut dikaji secara kritis dari putusan pengadilan dan
hasil penelitian yang penulis peroleh antara lain:
Pemahaman hakim terhadap tidak terpenuhinya ekonomi keluarga menjadi
alasan pihak istri mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Dalam hal suami yang
tidak memberi nafkah istrinya, tetapi ia mempunyai harta yang disimpan oleh
istrinya, maka istrinya tidak berhak mengajukan gugatan perceraian kepada
pengadilan, karena pihak istri dibolehkan agama mengambil harta suaminya yang
ada padanya sekedar keperluan nafakahnya dan anak-anaknya (Kamal Muchtar,
2004: 217).
9 Wawancara dengan Bapak Mohamad Jumhari, Hakim Pengadilan Agama Bandung, di Bandung,
24 April 2013.
74
Hakim memahami bahwa standar pemberian nafkah sangat relatif karena
tidak adanya ketentuan yang pasti, maka hakim dalam pertimbangan hukumnya
dengan mengkaitkan pada penghasilan suami, jenis profesi dan kebutuhan istri.
Untuk wilayah Bandung UMR (Upah Minimum Regional)-nya hampir 2 juta
lebih. Gaji PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Bandung dengan gaji 2-3 juta itu tidak
cukup dengan kebutuhan primer sehari-hari. Hal ini bukan berarti mempermudah
seorang istri mengajukan perceraian. Sebab putusan yang dikeluarkan hakim
berdasarkan pertimbangan dengan melihat fakta atau peristiwa yang terjadi selama
persidangan, bukti yang diajukan para pihak dan pemahaman hakim atas beberapa
pasal yang terdapat pada undang-undang.
Hakim mengabulkan gugatan perceraian karena ekonomi selain berdasarkan
pada undang-undang yang berlaku di Indonesia dan Hukum Islam hakim juga
mempertimbangkan sepanjang ekonomi ini tidak menjadi masalah rumah tangga
maka aman rumah tangga. Tetapi apabila ekonomi menimbulkan
masalah/percekcokan dan timbul kebencian istri terhadap suaminya, sehingga
hubungan menjadi renggang, dan kehilangan gairah dalam berumah tangga
apabila perceraian itu diputuskan akan membawa kearah kebaikan dan
kemaslahatan bagi pihak suami maupun istri. Hakim dalam memutuskan perkara
tidak hanya menggunakan alasan ekonomi sebagai alasan pokok tetapi juga
menggunakan alasan bahwa antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan.
Selain itu untuk memperkuat hakim dalam memutuskan perkara yaitu dengan
menilai duduk perkara, bukti-bukti autentik dan saksi-saksi yang membenarkan
kejadian sehingga gugatan perceraian tersebut dikabulkan.
75
Upaya hakim dalam mendamaikan para pihak terdapat dalam pasal 82 yaitu
pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak tapi terbatas diruang persidangan. Sesuai dengan
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 melalui upaya mediasi yaitu cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator. Mediator disini adalah pihak netral yang membantu para
pihak dalam proses perundingan mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Upaya
damai ini dilakukan dalam rangka memperkecil angka perceraian dan dalam
rangka mengeliminir persoalan banding. Jadi apabila kedua belah pihak baik, bisa
mengeliminir persoalan maka tidak banding dan otomatis mengurangi angka
banding dan kasasi. Sangat disayangkan dalam upaya damai ini ternyata tidak
sampai 5% hanya 3% saja yang berhasil didamaikan, hal ini disebabkan karena
percekcokan antara Penggugat dan Tergugat sudah parah, dan sebelumnya mereka
sudah berunding di rumah, jadi di Pengadilan Agama hanya tinggal menunggu
keputusannya saja.
Jika dalam upaya damai ternyata tergugat tidak hadir dalam sidang
(verstek), maka jatuhlah talak suami kepada istri. Dalam pertimbangan hakim
apabila dipertahankan rumah tangga tidak maslahat. Perbedaan pendapat apabila
perkara tersebut diputus dengan verstek maka tidak perlu dibuktikan selama
gugatan itu benar, tidak bertentangan dengan hukum, petitumnya benar dan
76
tergugat/kuasanya tidak hadir dalam sidang setelah dipanggil secara sah dan patut,
maka telah membenarkan dalil atau alasan gugatan yang diajukan oleh penggugat
sehingga perkara tersebut dapat diputus tanpa kehadiran tergugat.
B. Prosedur Gugat Cerai Karena Alasan Ekonomi
Prosedur Gugatan Cerai karena Alasan Ekonomi terdapat pada Buku II
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, bahwa gugatan
perceraian diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami. Jika Istri meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin suami, gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat kediaman suaminya. Hak untuk memohon
memutuskan ikatan perkawinan ini dalam hukum Islam disebut khulu‟, yaitu salah
satu cara melepaskan ikatan perkawinan yang datang dari pihak istri dengan
kesediaannya membayar ganti rugi, yaitu dengan mengembalikan mahar kepada
suami.
Proses sidang perceraian bisa dilakukan, bila gugatan atau permohonan cerai
sudah didaftarkan dan diregister oleh Panitera Pengadilan yang berwenang
mengadilinya. Kemudian Ketua Pengadilan terkait, akan menunjuk majelis hakim
yang bertugas untuk menyidangkan kasus tersebut. Sekaligus menentukan jadwal
sidang pertama dari gugatan tersebut.
Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan
Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat.
77
Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar dipedomani
Pasal 73 s/d Pasal 86 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975 (Mahkamah
Agung RI, 2010: 219-220).
Pasal 73 UUPA :
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri gugatan perceraian
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta pusat.
(Zainuddin Ali, 2006: 82)
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur
dalam Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan
diatur dalam pasal 74, 75, dan 76 UUPA dan Pasal 133, 134, dan 135 KHI.
Pasal 74 UUPA :
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak
mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai
bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang
78
berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan
bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75 UUPA :
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan
diri kepada dokter.
Pasal 76 ayat (2) UUPA :
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-
masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.
Pasal 76 ayat (2) UUPA di atas, merupakan penjabaran garis hukum dari
Firman Allah dalam Surah An-Nisaa‟ (4) ayat 35, yang kemudian mengambil
bentuk lembaga yang disebut BP-4. Selanjutnya, fungsi lembaga tersebut diatur
dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, yaitu
bahwa Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua
belah pihak dan dapat diminta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan
Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat. Adapun tindakan hukum selama proses
perkara di pengadilan berlangsung, menghindari berbagai kemungkinan hal-hal
yang bersifat negatif di antara suami istri. Hal ini diatur dalam Pasal 77 UUPA.
Pasal 77 UUPA :
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
79
pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu
rumah.
Pasal 78 UUPA :
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat,
pengadilan dapat:
1. Menerima nafkah yang ditanggung suami;
2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak
3. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak istri (Juhaya S Praja, 1994: 112).
Pasal 79 UUPA:
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum
adanya putusan Pengadilan.
Pasal 80 UUPA:
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau gugatan perceraian
didaftarkan di kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup
Pasal 81 UUPA:
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
80
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung
sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 82 UUPA:
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi,
kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak
dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang
secara khusus dikuasakan untuk itu.
Pasal 83 UUPA:
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian
baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum
perdamaian tercapai.
Pasal 84 UUPA:
(1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa
bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat
kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian
dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah
pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dimaksud dalam ayat (1) yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula
81
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan
oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut pada bagian pinggir daftar catatan
perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada
Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di
Indonesia
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada
para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
Pasal 85 UUPA:
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau Pejabat
Pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian
bagi bekas suami atau isteri atau keduanya. Karena itu amat penting pengiriman
salinan putusan dimaksud. Sebab akan mendatangkan kerugian dari berbagai
pihak yang membutuhkannya (Ibid, hal: 114).
Pasal 86 UUPA:
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu
perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam
82
lingkungan Peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
tentang hal itu.
C. Pertimbangan Hukum yang Digunakan Oleh Majelis Hakim dalam
Menyelesaikan Perkara Gugat Cerai Karena Faktor Ekonomi
Adapun pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara
ekonomi sebagai alasan perceraian dikembalikan pada akibatnya. Bahwa tidak
adanya ekonomi mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus,
maka hakim mengembalikan pada pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 Undang-
undang perkawinan jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI yang menjelaskan bahwa antara suami istri
terus menerus berselisih dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi untuk hidup
rukun dalam rumah tangga.
Alasan Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung menggunakan pasal 19
huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI,
karena ketika pasal tersebut muncul penyebabnya kebanyakan didukung oleh
faktor ekonomi. Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung dalam ranah
kajiannya melihat kepada faktornya terlebih dahulu, ketika faktor ditemukan apa
yang muncul, ternyata yang muncul pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI. Ketika Majelis Hakim
membuat suatu pertimbangan yaitu ekonomi menyebabkan timbulnya
percekcokan terus menerus, tetap yang di pakai adalah pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI. Jadi
83
bedakan antara faktor penyebab menimbulkan alasan. Alasan berdasarkan pasal,
sedangkan faktor menimbulkan alasan ini.
1. Putusan Nomor: 21/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
Pada pemeriksaan Nomor: 21/Pdt.G/2011/PA.Bdg. dapat diketahui bahwa
rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat telah goyah. Hal ini dikarenakan
Tergugat kurang bertanggung jawab dalam hal pemberian ekonomi terhadap
Penggugat, maka mengakibatkan rumah tangga Penggugat dan Tergugat menjadi
benar-benar tidak rukun lagi, dan sampai saat ini Penggugat dan Tergugat telah
pisah rumah selama 4 (empat) bulan.
Dalam perkara tersebut Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung
memutuskan perceraian dengan dasar hukum Pasal 39 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Jis Pasal 19 huruf (f) Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Menurut penulis sangat tepat, karena
setelah diteliti duduk perkara yang ditambah lagi adanya bukti-bukti autentik dan
saksi-saksi yang telah membenarkan kejadian tersebut yakni memang benar antara
Penggugat dan Tergugat sering terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan hidup
rukun lagi.
2. Putusan Nomor: 871/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
Dalam memutuskan perkara Nomor 871/Pdt.G/2011/PA.Bdg. Majelis
Hakim menggunakan dasar hukum Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 jis pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal
116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam karena antara suami istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan faktor ekonomi, Tergugat tidak
84
bertanggung jawab terhadap Penggugat dan Tergugat memiliki wanita idaman
lain. Antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah selama 6 tahun. Menurut
penulis tepat karena berdasarkan keterangan dari para saksi sudah terbukti bahwa
antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang
sulit untuk didamaikan sehingga tujuan perkawinan sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan
bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa tidak tercapai.
3. Putusan Nomor: 843/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
Tindakan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan Penggugat dengan
dasar hukum Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam, yakni antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Menurut penulis sangat tepat berdasarkan duduk perkara ditambah lagi bukti-bukti
autentik dan keterangan para saksi sudah terbukti bahwa rumah tangga antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat akan hidup rukun dan harmonis lagi.
Hal ini dikarenakan Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat,
Tergugat tidak memberikan nafkah wajib kepada Penggugat dan apabila terjadi
perselisihan dan pertengkaran Tergugat suka menyakiti badan jasmani Penggugat
sehingga karena tidak tahan lalu Penggugat pisah rumah dengan Tergugat selama
kurang lebih 6 (enam) tahun lamanya dan sekarang tergugat tidak diketehui
alamatnya. Menurut Penulis lebih tepat lagi kalau perkara tersebut didasarkan
85
pada Pasal 19 huruf (a) Peraturan Pemerintah. No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116
huruf (d) Kompilasi Hukum Islam. Yakni salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yakni penganiayaan batin dimana seorang istri dibiarkan
begitu saja, tidak diperlakukan sebagaimana layaknya suami istri.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap skripsi dengan tema
yang penulis angkat, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosedur gugat cerai di Pengadilan Agama Bandung mengacu kepada Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yaitu terdapat pada pasal 73
sampai dengan Pasal 86 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan
pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
2. Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus dan menyelesaikan
perkara tersebut dikembalikan terhadap akibat tidak terpenuhinya ekonomi
keluarga, yaitu berakibat tidak adanya ketentraman, keharmonisan dan
kebahagiaan dalam membangun rumah tangga, sering terjadinya perselisihan
dan pertengkaran secara terus menerus, sehingga tujuan perkawinan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa tidak tercapai.
B. Saran
Saran yang dapat penulis kemukakan sehubungan dengan analisis yang
penulis lakukan terhadap ekonomi sebagai alasan gugatan perceraian adalah:
1. Pengadilan Agama
Perlu diberikan pemahaman atau penyuluhan kepada masyarakat Bandung
tentang pentingnya pembinaan keluarga sejahtera, serta memberikan pemahaman
87
lain tentang hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga, serta sosialisasi
undang-undang perkawinan pada masyarakat agar memiliki kesadaran hukum,
melalui pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini Pengadilan Agama dan instansi
terkait, dibawahnya (KUA), Depag. Dengan cara terjun ke desa-desa.
2. Suami-Istri
a. Hendaknya sebelum melakukan pernikahan antara calon suami-istri lebih
dimantapkan dalam hal persiapan batin agar dalam pernikahan tercipta
kehidupan yang hermonis antara suami istri serta dapat bertahan seumur
hidup.
b. Bagi pasangan suami-isteri hendaknya saling memahami, saling terbuka
dalam rumah tangga untuk memecahkan masalah yang dihadapi, sehingga
tidak terjadi disharmonis dalam keluarga. Langkah yang ditempuh adalah
dengan cara mengemukakan permasalahan yang ada, kemudian
permasalahan tersebut dibicarakan bersama dan dicari jalan keluarnya
bersama-sama, salah satunya adalah harus ada yang mengalah dan saling
menyadari satu sama lain, sehingga perselisihan cepat terselesaikan dengan
damai
3. Masyarakat
Hendaknya dilakukan penyuluhan yang menyangakut hukum perceraian
dengan segala aspeknya, guna merangsang kokohnya ikatan perkawinan dan
mengurangi angka perceraian.
88
Peranan Badan Pembinan Penasehat Pelestarian Perkawinan (BP-4) harus
lebih ditingkatkan lagi sehingga masalah perkawinan dapat diatasi sehingga
perceraian dapat diatasi.