ta sejuta i dan ii terbaru

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Batubara adalah bahan bakar fosil, dimana di Indonesia tersedia cadangannya dalam jumlah yang cukup melimpah dan diperkirakan mencapai 12 miliar ton (www.djlpe.esdm.go.id). Batubara memiliki sifat heterogen. Apabila dibakar, senyawa anorganik yang ada diubah menjadi bentuk senyawa oksida yang berukuran butir halus berbentuk abu. Produksi batu bara di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 153 juta ton sedangkan pemakaian dalam negeri pada tahun tersebut adalah 108 juta ton. Dalam pembakaran batu bara dihasilkan 5% polutan padat berupa abu dimana 10-20% adalah bottom ash dan 80-90% adalah fly ash dari abu yang dihasilkan (Wardani, 2008 dalam H Laksmi dkk, 2011 ). 1

Upload: renna-febryanita

Post on 19-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bagus

TRANSCRIPT

Page 1: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang

Batubara adalah bahan bakar fosil, dimana di Indonesia tersedia

cadangannya dalam jumlah yang cukup melimpah dan diperkirakan mencapai

12 miliar ton (www.djlpe.esdm.go.id). Batubara memiliki sifat heterogen.

Apabila dibakar, senyawa anorganik yang ada diubah menjadi bentuk

senyawa oksida yang berukuran butir halus berbentuk abu. Produksi batu bara

di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 153 juta ton sedangkan

pemakaian dalam negeri pada tahun tersebut adalah 108 juta ton.

Dalam pembakaran batu bara dihasilkan 5% polutan padat berupa abu

dimana 10-20% adalah bottom ash dan 80-90% adalah fly ash dari abu yang

dihasilkan (Wardani, 2008 dalam H Laksmi dkk, 2011 ). Fly Ash merupakan

limbah yang dihasilkan oleh PLTU yang mana mengkontribusi untuk

pencemaran lingkungan. Akibat buruk dari abu layang terutama ditimbulkan

oleh unsur-unsur Pb, Cr dan Cd yang biasanya terkonsentrasi pada fraksi

butiran yang sangat halus (0,5 – 10 µm). Butiran tersebut mudah melayang

dan terhisap oleh manusia dan hewan, sehingga terakumulasi dalam tubuh

manusia dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan akibat buruk bagi

kesehatan (Dwi, 2011). Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu

1

Page 2: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

terbang batu bara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya

serta mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan. Salah satu alternatif

penanganan limbah tersebut yaitu dengan memanfaatkan abu layang sebagai

katalis.

Abu layang dapat dijadikan katalis karena menunjukkan adanya

kemiripan komponen kimia antara abu layang dan zeoilt sehingga memiliki

sisi aktif yang berpotensi sebagai katalis. Diketahui kandungan abu layang

terdiri dari silika (SiO2) 40-60%, alumina (Al2O3) 20-30%, besi oksida

(Fe2O3) 4-10%, kalsium (CaO) 5-30% kalium (K2O) 0-4% dan sisanya adalah

magnesium, potasium, sodium, titanium dan belerang dalam jumlah yang

sedikit. Lebih lanjut dilaporkan oleh (Husein dkk, 2011) bahwa abu yang

memiliki unsur K (kalium) dapat digunakan sebagai katalis untuk

transesterifikasi trigliserida.

Pada umumnya biodiesel komersial yang diproduksi menggunakan katalis

basa homogen seperti KOH dan NaOH dan reaksi dalam fasa cair. Akan

tetapi, persoalan yang terpantau pada penggunaan katalis alkali, baik NaOH

maupun KOH sangat sensitif terhadap kandungan air dan asam lemak bebas.

Kandungan air dapat menyebabkan saponifikasi ester membentuk sabun.

Selain itu asam lemak bebas dapat bereaksi dengan katalis alkali membentuk

air dan sabun. Keadaan ini merugikan karena konsumsi katalis meningkat dan

berbagai kesulitan dalam proses pemurnian biodiesel (Husein dkk, 2011).

Selain itu, katalis homogen tersebut dalam kemampuan katalitiknya hanya

dapat dipakai satu kali (Eka dkk, 2012).

2

Page 3: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

Salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah

penggunaan katalis heterogen. Katalis heterogen pada pembuatan biodiesel

mempunyai beberapa keunggulan dikarenakan katalis ini dapat dengan

mudah dipisahkan dari produknya dengan filtrasi atau dekantasi, mudah

diregenerasi serta tidak menghasilkan produk samping berupa sabun jika

bereaksi dengan FFA (Georgogianni dkk, 2009 dalam Ediati dkk, 2012).

Katalis heterogen dalam produksi biodiesel dapat dibedakan menjadi katalis

asam dan basa. Katalis basa heterogen lebih efektif daripada katalis asam

heterogen. Hal ini disebabkan laju reaksi pembuatan biodiesel dengan katalis

basa heterogen lebih cepat daripada katalis asam heterogen (Zabeti dkk, 2009

dalam Ediati dkk, 2012).

Dari penelitian yang dilakukan (Kotwal dkk, 2009) dengan

pemanfaatan katalis heterogen berupa abu layang dan KNO3 dengan metode

impregnasi yang kemudian diaplikasikan untuk transesterifikasi pembuatan

biodiesel menghasilkan rendemen sebesar 87,5 %. Jadi dalam penelitian ini

untuk meningkatkan kinerja dari katalis heterogen, maka dilakukan preparasi

katalis dengan menggunakan impregnasi KI yang diharapkan dapat mengisi

situs aktif pada katalis abu layang sehingga memberikan konversi maksimum

pada biodiesel.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan (Wulan,2011) katalis

yang diteliti menggunakan katalis K3PO4 berpendukung abu layang untuk

3

Page 4: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

pembuatan biodiesel dari Refined Palm Oil. Data yang diperoleh dengan

analisa BET didapat luas permukaan aktif katalis K3PO4 berpendukung abu

layang pada konsentrasi impregnasi K3PO4 4% sebesar 2,192 m2/g dengan

waktu reaksi transesterifikasi selama 60 menit menghasilkan konversi

biodiesel 11,24%. Dalam penelitian ini menggunakan metode konvensional.

Sedangkan penelitian yang dilakukan (Firdaus dkk ,2013) menggunakan

katalis H-Zeolit dengan impregnasi KI/KIO3 untuk produksi biodiesel dari

minyak kelapa sawit dengan luas permukaan katalis 27,236 m2/g dengan

konversi maksimm 87,91%. Dari kedua penelitian tersebut, penelitian

sekarang memiliki keterbaruan yaitu pembuatan biodiesel dari minyak curah

berbantukan gelombang ultrasonik dengan menggunakan katalis heterogen

basa dari abu layang dengan menggunakan variasi konsentrasi KI serta

meneliti pengaruh waktu reaksi untuk mengetahui pengaruh produktifitas ester

sehingga menghasilkan biodiesel yang sesuai standar.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Membuat biodiesel dari minyak curah dengan menggunakan katalis basa

dari abu layang berbantukan gelombang ultrasonik untuk mendapatkan

biodiesel yang sesuai standar.

2. Mengetahui pengaruh konsentrasi aktivasi katalis yang digunakan

terhadap luas permukaan katalis.

4

Page 5: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

3. Mengetahui pengaruh optimasi waktu reaksi pada proses transesterifikasi

dalam pembuatan biodiesel

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan tentang

pemanfaatan abu layang sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel

sehingga meningktkan daya guna dan nilai ekonomi dari penggunaan abu

layang.

Serta mengoptimalkan pemanfaatan minyak curah sebagai bahan baku

pembuatan biodiesel sehingga dapat menanggulangi kebutuhan solar terutama

di daerah Kalimantan Timur.

.

5

Page 6: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Biodiesel

Biodiesel merupakan sejenis bahan bakar diesel yang diproses dari bahan

hayati terutama minyak nabati dan lemak hewan dan secara kimiawi dinyatakan

sebagai monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber dari

golongan lipida (Darnoko, 2000 dalam Laksono, T, 2013). Menurut Subdit

Pengelolaan Lingkungan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Ditjen

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Biodiesel adalah senyawa alkil ester

yang diproduksi melalui proses alkoholisis (transesterifikasi) antara

trigliserida dengan metanol atau etanol dengan bantuan katalis basa menjadi

alkil ester dan gliserol atau esterifikasi asam-asam lemak (bebas) dengan

metanol atau etanol dengan bantuan katalis basa menjadi senyawa alkil

ester dan air. Produk dari biodiesel sendiri tergantung pada minyak nabati yang

digunakan sebagai bahan baku serta pengolahan pendahuluan dari bahan baku

tersebut. Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu

operasi proses produksi, lamanya waktu pencampuran atau kecepatan

pencampuran alkohol.

Terminologi biodiesel berasal dari persetujuan Department of Energy (DOE),

The Environmental Protection Agency (EPA) dan The American Society of

Testing Materials (ASTM) sebagai salah satu energi alternatif untuk mesin diesel

6

Page 7: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

(ASTM, 2002; DOE, 2009; EPA 2009 ). Biodiesel telah banyak digunakan

sebagai bahan bakar pengganti solar. Agar dapat digunakan sebagai bahan bakar

pengganti solar, biodiesel harus mempunyai kemiripan sifat fisik dan kimia

dengan minyak solar. Salah satu sifat fisik yang penting adalah viskositas.

Sebenarnya, minyak lemak nabati sendiri dapat dijadikan bahan bakar, namun,

viskositasnya terlalu tinggi sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan

bahan bakar mesin diesel.

Biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan dengan solar. Biodiesel

memiliki tingkat polusi yang lebih rendah dari pada solar dan dapat digunakan

pada motor diesel tanpa modifikasi sedikitpun (Briggs, 2004 dalam Dyah, P,

2011). Biodiesel dianggap tidak menyumbang pemanasan global sebanyak bahan

bakar fosil. Mesin diesel yang beroperasi dengan menggunakan biodiesel

menghasilkan emisi karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar,

partikulat, dan udara beracun yang lebih rendah dibandingkan dengan mesin

diesel yang menggunakan bahan bakar petroleum (Gerpen,2004 dalam Dyah, P,

2011).

2.1.1 Standar Mutu biodiesel

Dari peraturan pengujian biodiesel berdasarkan peraturan dirjen migas No.

002/P/DM/MIGAS/1979 tanggal 25 mei 1979 tentang spesifikasi bahan bakar

minyak dan gas dan standar pengujian SNI (Standart Nasional Indonesia) dapat

dianalisa :

7

Page 8: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

Tabel 2.1 Syarat Mutu Biodiesel (SNI-04-7182-2006)

No Parameter Satuan Nilai

1 Massa jenis pada 40 C Kg/m3 850-890

2 Viskositas kinematik pd 40 C mm2/s (cSt) 2,3-6,0

3 Angka setana Min. 51

4 Titik nyala (mangkok tertutup) C Min. 100

5 Titik kabut C Maks. 18

6Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50C)

Maks. No 3

7Residu karbon

- Dalam contoh asli, atau- Dalam 10% ampas distilasi

%-massa Maks. 0,05Maks. 0,30

8 Air dan sedimen %-vol Maks. 0,05*

9 Temperature distilasi 90% C Maks. 360

10 Abu tersulfatkan %-massa Maks. 0,02

11 Belerang ppm-m (mg/kg) Maks. 100

12 Fosfor Ppm-m (mg/kg) Maks. 10

13 Angka asam Mg-KOH/g Maks. 0,8

14 Gliserol bebas %-massa Maks. 0,02

15 Gliserol total %-massa Maks. 0,24

16 Kadar ester alkil %-massa Min. 96,5

17 Angka iodium%-massa (g-12/100g)

Maks. 115

18 Uji halphen Negatif

Catatan dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum 0,01 % -vol

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2006

8

Page 9: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

2.2 Minyak Curah

Salah satu kebutuhan penting yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia

adalah minyak goreng. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah

dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak nabati adalah

minyak yang berasal dari tumbuhan dapat berasal dari kelapa, sawit,kedelai,

kacang tanah, jagung dll. Minyak yang berasal dari tumbuhan kaya akan asam

lemak tidak jenuh seperti linoleat, linolenat dan arakidonat. Adapun persyaratan

mutu minyak goreng sesuai dengan standar SNI 01-3741-2002 sebagai berikut :

Tabel 2.2 Syarat Mutu Minyak Goreng (SNI 01-3741-2002)

Tabel 2.2 Syarat Mutu Minyak Goreng Menurut SNI 01-3741-2002.

9

Page 10: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

Terdapat dua jenis minyak goreng yang beredar dipasaran berdasarkan

jenis kemasannya yaitu minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah.

Minyak goreng curah adalah minyak goreng bermutu rendah karena mengalami

penyaringan sederhana atau satu kali penyaringan sehingga warnanya tidak jernih

disebabkan banyaknya fraksi padatan. Selain itu, minyak goreng curah umumnya

mengandung asam lemak jenuh yang lebih tinggi. Minyak goreng curah akan

mengalami penurunan kualitas jauh lebih cepat daripada minyak goreng

berkualitas bagus karena adanya proses oksidasi (Dewi,dkk.,2012). Selama proses

menggoreng, ikatan rangkap yang terdapat dalam asam lemak tidak jenuh akan

teroksidasi karena pengaruh panas yang akan dipercepat oleh adanya oksigen,

logam tembaga ataupun besi. Proses oksidasi ini menyebabkan ikatan rangkapnya

jadi jenuh, bahkan dapat menyebabkan timbulnya perubahan posisi geometri dari

ikatan rangkap, yang tadinya sis menjadi trans. Minyak trans dapat menyebabkan

timbulnya berbagai penyakit seperti kanker. Salah satu pemicu timbulnya minyak

trans yaitu menggoreng dengan minyak yang banyak (deep frying) dan suhu

tinggi.

Selain itu kandungan air pada minyak goreng dapat menyebabkan

ketengikan (ranciditas) disebakan proses hidrolisis yang merubah minyak menjadi

asam lemak bebas. Kandungan air banyak terdapat terutama pada minyak goreng

curah. Hal ini disebabkan proses pembuatan minyak curah biasanya dilakukan

dengan cara yang sederhana atau satu kali penyaringan.

Sedangkan dari segi perlindungan konsumen, minyak goreng curah tidak

memenuhi hak konsumen (Perlindungan Konsumen) karena tidak mencantumkan

10

Page 11: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

informasi produk seperti merk, nama produsen, berat bersih, tanggal kadaluarsa

dan informasi penting lainnya. Saat ini  juga telah diterbitkan Peraturan Menteri

Perindustrian Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan SNI Wajib Minyak

Goreng Sawit.

2.3 Limbah padat abu layang batubara ( Fly Ash )

Abu batubara sebagai limbah tidak seperti gas hasil pembakaran, karena

merupakan bahan padat yang tidak mudah larut dan tidak mudah menguap

sehingga akan lebih merepotkan dalam penanganannya. Apabila jumlahnya

banyak dan tidak ditangani dengan baik, maka abu batubara tersebut dapat

mengotori lingkungan terutama yang disebabkan oleh abu yang beterbangan di

udara dan dapat terhisap oleh manusia dan hewan juga dapat mempengaruhi

kondisi air dan tanah di sekitarnya sehingga dapat mematikan tanaman. Akibat

buruk terutama ditimbulkan oleh unsur-unsur Pb, Cr dan Cd yang biasanya

terkonsentrasi pada fraksi butiran yang sangat halus ( 0,5 – 10 µm). Butiran

tersebut mudah melayang dan terhisap oleh manusia dan hewan, sehingga

terakumulasi dalam tubuh manusia dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan

akibat buruk bagi kesehatan.

Abu terbang batubara umumnya dibuang di ash lagoon atau ditumpuk

begitu saja di dalam area industri. Penumpukan abu terbang batubara ini

menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai

pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai

ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini

11

Page 12: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan

campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki

berbagai kegunaan yang amat beragam:

1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan

2. Bahan penggosok (polisher)

3. Filler aspal, plastik, dan kertas

4. Pengganti dan bahan baku semen

5. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)

6. Konversi menjadi zeolit dan adsorben

Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit

listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), besi oksida (Fe2O3), kalsium (CaO)

dan sisanya adalah magnesium, potasium, sodium, titanium, dan belerang dalam

jumlah yang sedikit.

Tabel 2.4. Komposisi Kimia Salah Satu Jenis Abu Terbang Batubara

12

Page 13: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

2.3.1 Pemanfaatan Abu Layang

Abu layang yang merupakan limbah padat pembakaran batubara, dapat

dimanfaatkan sebagai bahan dasar sintetis zeolit karena mengandung komponen

utama silika (SiO2) dan alumina (Al2O3) yang secara kimia sesuai dengan

komponen kerangka zeolit. Zeolit merupakan alumino silikat mikropori dengan

ukuran pori yang seragam, dan memiliki luas permukaan dan stabilitas termal

yang tinggi sehingga zeolit banyak dimanfaatkan untuk padatan pendukung

katalis, tipe zeolit yang banyak digunakan sebagai padatan pendukung katalis

adalah zeolit Y (tipe faujasit). Abu layang yang mempunyai luas permukaan

sekitar 2 – 3 m2/gram dapat mengalami peningkatan luas permukaan hingga 250 –

650 m2/gram dalam bentuknya sebagai faujasit (Chang dan Shih, 1998

dalam Krislina, dkk, 2012).

Terjadinya perubahan luas permukaan dan kapasitas pertukaran ion pada zeolit

dari abu layang tersebut, dapat dikembangkan dalam aplikasinya sebagai adsorben

logam–logam berbahaya pada limbah cair dan sebagai katalis maupun pengemban

katalis.

2.4 Gelombang Ultrasonik

Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan

frekuensi di atas 20 kHz. Gelombang ini dapat merambat dalam medium padat,

cair dan gas (Lailiyah, dkk 2012). Kecepatan gelombang ultrasonik berbeda-beda

untuk medium yang berlainan. Di dalam zat cair, gelombang ultrasonik merambat

13

Page 14: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

secara longitudinal dengan kecepatan rata-rata 1.540 m/s (Cameron dan

Skofronick, 1978).

Penggunaan gelombang ultrasonik memberikan pengaruh positif untuk

menaikkan produk metil ester. Kecepatan reaksi meningkat karena efek kavitasi,

termal, dan mekanik yang dihasilkan gelombang ultrasonik yang memberikan

energi yang sangat besar. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,

penggunaan gelombang ultrasonik terbukti dapat mempercepat reaksi,

mengurangi jumlah katalis yang dipakai dan mengurangi rasio minyak terhadap

alkohol yang dipakai dibandingkan reaksi tanpa menggunakan bantuan

gelombang ultrasonik. Hal ini disebabkan gelombang ultasonik dapat

meningkatkan perubahan kimia dan fisis suatu media melalui pembentukan dan

pemecahan gelembung-gelembung kavitasi yang terjadi secara simultan dan terus

menerus. Kavitasi adalah salah satu efek akibat adanya gelombang ultrasonik

di dalam cairan. Jika pada cairan diradiasikan gelombang ultrasonik, maka

tekanan cairan tersebut akan bertambah pada saat gelombang ultrasonik

mempunyai amplitudo positif dan akan berkurang pada saat amplitudo

negatif, akibat perubahan tekanan ini maka gelembung-gelembung gas atau

uap yang biasanya ada di dalam cairan akan terkompresi pada saat tekanan

cairan naik dan akan terekspansi pada saat tekanan turun (Trisnobudi, 2001).

Aktivitas kavitasi ditentukan oleh banyaknya gelembung yang pecah

selama mendapat radiasi gelombang ultrasonik. Ultrasonik dapat menciptakan

gelembung-gelembung kecil atau kavitasi mikro yang dapat digunakan untuk

sintesis biodiesel ketika kavitasi pecah. Pecahnya kavitasi akibat frekuensi tinggi

14

Page 15: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

terjadi pada temperatur lebih dari 1.0000C dan tekanan 100 bar. Temperatur dan

tekanan yang sangat tinggi tersebut dapat menjadi sebagai sarana inti untuk

mengubah suatu material jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses

kovensional menggunakan panas dan tekanan tinggi (Suslick dan Price, 1999).

Metode ultrasonik merupakan teknologi proses untuk menghasilkan

material berukuran nano yang disebabkan terbentuknya kavitasi akibat frekuensi

gelombang ultrasonik yang dipancarkan pada larutan. Proses ultrasonik dapat pula

digunakan untuk homogenisasi larutan dari campuran berbagai bahan dan

komponen (Suslick dkk, 1999).

Efek yang lain adalah efek termal merupakan absorpsi energi gelombang

ultrasonik yang menyebabkan suhu medium meningkat. Besar absorpsi energi

gelombang ultrasonik ini tergantung pada viskositas, massa jenis, dan impedansi

medium, serta frekuensi gelombang yang diberikan. Gelombang ultrasonik yang

melalui medium juga mengalami pengurangan energi, karena sebagian energinya

diabsorpsi oleh medium akibatnya suhu medium meningkat (Sabbagha, 1980).

Salah satu efek yang lain adalah efek mekanik merupakan gelombang

ultrasonik yang merambat di dalam medium yang mengakibatkan adanya getaran

partikel di dalam medium itu. Getaran ini terjadi pada semua intensitas, sehingga

dapat menyebabkan efek mekanik terhadap partikel di dalam medium. Efek

mekanik ini dapat menimbulkan percepatan partikel, getaran tekanan, tekanan

pancaran dan gaya gesek (Sabbagha, 1980).

2.5 Transesterifikasi

15

Page 16: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi

trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol

dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol

monohidrik yang menjadi kandidat sumber atau pemasok gugus alkil, adalah

metanol yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan

reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di

sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam

lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida

menjadi metil ester dapat dilihat sebagai berikut:

CH2OCOR'''|

CH3OHKatalis

CH2OH|

R'''COOCH3

CHOCOR''|

+ CH3OH CHOH|

+ R''COOCH3

CH2OCOR' CH3OH CH2OH R'COOCH3

Trigliserida Metanol Gliserol Metil Ester

Gambar 2.1 Reaksi Pembentukan Metil Ester

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa

adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan

dengan lambat (Mittlebatch, 2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi

transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.

Reaksi transesterifikasi sebenarnya berlangsung dalam 3 tahap sebagai berikut:

16

Page 17: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

Gambar 2.2 Tahapan Reaksi Transesterifikasi

Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester metil asam-asam

lemak.

Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu:

a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi

b. Memisahkan gliserol

c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm )

2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi

Pada intinya, tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu

menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang

maksimum. Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta

perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut (Freedman,

1984):

a) Pengaruh air dan asam lemak bebas

Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam

yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar

17

Page 18: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu,

semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan

bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang.

Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami

reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

b) Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah

3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester

dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1

dapat menghasilkan konversi 98% (Bradshaw & Meuly, 1944). Secara

umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang

digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan sema kin bertambah.

Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-

99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang

terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.

c) Pengaruh jenis alkohol

Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi

dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.

d) Pengaruh jenis katalis

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila

dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer

untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium

hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH3 ), dan kalium metoksida

18

Page 19: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

(KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat

(metoksida). Reaksi ransesterifikasi akan menghasilkan konversi yang

maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak nabati. Jumlah

katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5%-b minyak nabati untuk

natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium hidroksida.

e) Metanolisis Crude dan Refined Minyak Nabati

Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak nabati

refined. Namun apabila produk metil ester akan digunakan sebagai bahan

bakar mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang

telah dihilangkan getahnya dan disaring.

f) Pengaruh temperatur

Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30-65°C (titik

didih metanol sekitar 65°C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang

diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat.

2.6 Katalis

Katalis merupakan substansi senyawa kimia yang dapat menaikkan laju

reaksi dan terlibat di dalam reaksi kimia walaupun zat itu tidak ikut bereaksi

secara permanen. Zat tersebut dapat diambil kembali pada akhir reaksi.

Peningkatan laju reaksi ini diakibatkan oleh adanya reaksi baru yang diciptakan

dengan energi aktivasi yang lebih rendah, sehingga katalis dapat berfungsi

mengarahkan suatu reaksi kearah yang diinginkan. Katalis tersebut dapat

mengarahkan produk yang diinginkan dengan selektivitas yang lebih tinggi,

19

Page 20: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

sehingga hasil reaksi yang diperoleh memiliki selektivitas yang relatif tinggi

(Istadi, 2011 dalam Nugroho, 2013).

2.6.1 Parameter Katalis

Untuk menilai baik tidaknya suatu katalis, ada beberapa parameter yang

harus diperhatikan antara lain:

a. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis mengkonversi reaktan menjadi produk

yang diinginkan.

b. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi di antara

beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang diinginkan dapat

diperoleh dengan produk sampingan seminimal mungkin.

c. Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas

seperti keadaan semula.

d. Rendeman katalis / Yield, yaitu jumlah produk tertentu yang terbentuk

untuk satuan setiap reaktan yang terkonsumsi.

e. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan

selektivitas katalis seperti semula.

2.6 .2 Jenis-Jenis Katalis

Berikut penjelasan dari 3 jenis katalis :

a. Katalis Homogen

Dikatakan katalis homogen, karena memiliki fasa yang sama antara reaktan

dan produk dalam suatu reaksi. Dalam pengoperasian katalis, katalis harus

dipisahkan pada akhir reaksi bersama produk (Istadi, 2011 dalam Nugroho,

2013). Pada katalis homogen karena produk reaksi juga memiliki fasa yang

20

Page 21: Ta Sejuta i Dan II Terbaru

sama dengan katalisnya maka sulit untuk memisahkan katalis tersebut, maka

perlu adanya kondisi operasi seperti suhu dan tekanan yang disesuaikan oleh

kinerja katalis, sehingga katalis dapat dipisahkan. 

b. Katalis Heterogen

Dikatakan katalis heterogen, karena memiliki fasa yang berbeda antara reaktan

dan produk. Dalam pengoperasian katalis, katalis heterogen cenderung lebih

mudah uutnuk dipisahkan karena fasa yang digunakan berbeda dengan produk

reaksinya. Katalis heterogen juga mudah dibuat dan mudah diletakkan pada

reaktor karena fasa yang berbeda dengan pereaktannya (Istadi, 2011 dalam

Nugroho, 2013). Adanya beda fasa pada katalis dan pereaktan, maka

mekanisme reaksi menjadi sangat kompleks. Fenomena antar muka menjadi

sesuatu yang sangat penting dan berperan. Laju reaksi dikendalikan oleh

fenomena-fenomena adsorbsi,absorbsi dan desorbsi.  

c. Katalis Enzim

Katalis enzim juga biasa disebut biokatalisis. Katalis enzim merupakan katalis

yang memiliki keunggulan sifat (aktivitas tinggi, selektivitas dan spesifitas)

sehingga dapat dapat membantu proses – proses kimia kompleks pada kondisi

lunak dan ramah lingkungan. Enzim hanya dapat bereaksi pada range suhu

tertentu dikarenakan apabila terlalu tinggi maka protein dalam enzim akan

terdenaturasi dan enzim tidak dapat bekerja secara optimal. Adapun

kelemahannya antara lain sangat mahal, sering tidak stabil,mudah terhambat,

tidak dapat diperoleh kembali setelah dipakai.

21