ta sejuta i dan ii terbaru
DESCRIPTION
bagusTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang
Batubara adalah bahan bakar fosil, dimana di Indonesia tersedia
cadangannya dalam jumlah yang cukup melimpah dan diperkirakan mencapai
12 miliar ton (www.djlpe.esdm.go.id). Batubara memiliki sifat heterogen.
Apabila dibakar, senyawa anorganik yang ada diubah menjadi bentuk
senyawa oksida yang berukuran butir halus berbentuk abu. Produksi batu bara
di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 153 juta ton sedangkan
pemakaian dalam negeri pada tahun tersebut adalah 108 juta ton.
Dalam pembakaran batu bara dihasilkan 5% polutan padat berupa abu
dimana 10-20% adalah bottom ash dan 80-90% adalah fly ash dari abu yang
dihasilkan (Wardani, 2008 dalam H Laksmi dkk, 2011 ). Fly Ash merupakan
limbah yang dihasilkan oleh PLTU yang mana mengkontribusi untuk
pencemaran lingkungan. Akibat buruk dari abu layang terutama ditimbulkan
oleh unsur-unsur Pb, Cr dan Cd yang biasanya terkonsentrasi pada fraksi
butiran yang sangat halus (0,5 – 10 µm). Butiran tersebut mudah melayang
dan terhisap oleh manusia dan hewan, sehingga terakumulasi dalam tubuh
manusia dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan akibat buruk bagi
kesehatan (Dwi, 2011). Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu
1
terbang batu bara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya
serta mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan. Salah satu alternatif
penanganan limbah tersebut yaitu dengan memanfaatkan abu layang sebagai
katalis.
Abu layang dapat dijadikan katalis karena menunjukkan adanya
kemiripan komponen kimia antara abu layang dan zeoilt sehingga memiliki
sisi aktif yang berpotensi sebagai katalis. Diketahui kandungan abu layang
terdiri dari silika (SiO2) 40-60%, alumina (Al2O3) 20-30%, besi oksida
(Fe2O3) 4-10%, kalsium (CaO) 5-30% kalium (K2O) 0-4% dan sisanya adalah
magnesium, potasium, sodium, titanium dan belerang dalam jumlah yang
sedikit. Lebih lanjut dilaporkan oleh (Husein dkk, 2011) bahwa abu yang
memiliki unsur K (kalium) dapat digunakan sebagai katalis untuk
transesterifikasi trigliserida.
Pada umumnya biodiesel komersial yang diproduksi menggunakan katalis
basa homogen seperti KOH dan NaOH dan reaksi dalam fasa cair. Akan
tetapi, persoalan yang terpantau pada penggunaan katalis alkali, baik NaOH
maupun KOH sangat sensitif terhadap kandungan air dan asam lemak bebas.
Kandungan air dapat menyebabkan saponifikasi ester membentuk sabun.
Selain itu asam lemak bebas dapat bereaksi dengan katalis alkali membentuk
air dan sabun. Keadaan ini merugikan karena konsumsi katalis meningkat dan
berbagai kesulitan dalam proses pemurnian biodiesel (Husein dkk, 2011).
Selain itu, katalis homogen tersebut dalam kemampuan katalitiknya hanya
dapat dipakai satu kali (Eka dkk, 2012).
2
Salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah
penggunaan katalis heterogen. Katalis heterogen pada pembuatan biodiesel
mempunyai beberapa keunggulan dikarenakan katalis ini dapat dengan
mudah dipisahkan dari produknya dengan filtrasi atau dekantasi, mudah
diregenerasi serta tidak menghasilkan produk samping berupa sabun jika
bereaksi dengan FFA (Georgogianni dkk, 2009 dalam Ediati dkk, 2012).
Katalis heterogen dalam produksi biodiesel dapat dibedakan menjadi katalis
asam dan basa. Katalis basa heterogen lebih efektif daripada katalis asam
heterogen. Hal ini disebabkan laju reaksi pembuatan biodiesel dengan katalis
basa heterogen lebih cepat daripada katalis asam heterogen (Zabeti dkk, 2009
dalam Ediati dkk, 2012).
Dari penelitian yang dilakukan (Kotwal dkk, 2009) dengan
pemanfaatan katalis heterogen berupa abu layang dan KNO3 dengan metode
impregnasi yang kemudian diaplikasikan untuk transesterifikasi pembuatan
biodiesel menghasilkan rendemen sebesar 87,5 %. Jadi dalam penelitian ini
untuk meningkatkan kinerja dari katalis heterogen, maka dilakukan preparasi
katalis dengan menggunakan impregnasi KI yang diharapkan dapat mengisi
situs aktif pada katalis abu layang sehingga memberikan konversi maksimum
pada biodiesel.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan (Wulan,2011) katalis
yang diteliti menggunakan katalis K3PO4 berpendukung abu layang untuk
3
pembuatan biodiesel dari Refined Palm Oil. Data yang diperoleh dengan
analisa BET didapat luas permukaan aktif katalis K3PO4 berpendukung abu
layang pada konsentrasi impregnasi K3PO4 4% sebesar 2,192 m2/g dengan
waktu reaksi transesterifikasi selama 60 menit menghasilkan konversi
biodiesel 11,24%. Dalam penelitian ini menggunakan metode konvensional.
Sedangkan penelitian yang dilakukan (Firdaus dkk ,2013) menggunakan
katalis H-Zeolit dengan impregnasi KI/KIO3 untuk produksi biodiesel dari
minyak kelapa sawit dengan luas permukaan katalis 27,236 m2/g dengan
konversi maksimm 87,91%. Dari kedua penelitian tersebut, penelitian
sekarang memiliki keterbaruan yaitu pembuatan biodiesel dari minyak curah
berbantukan gelombang ultrasonik dengan menggunakan katalis heterogen
basa dari abu layang dengan menggunakan variasi konsentrasi KI serta
meneliti pengaruh waktu reaksi untuk mengetahui pengaruh produktifitas ester
sehingga menghasilkan biodiesel yang sesuai standar.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membuat biodiesel dari minyak curah dengan menggunakan katalis basa
dari abu layang berbantukan gelombang ultrasonik untuk mendapatkan
biodiesel yang sesuai standar.
2. Mengetahui pengaruh konsentrasi aktivasi katalis yang digunakan
terhadap luas permukaan katalis.
4
3. Mengetahui pengaruh optimasi waktu reaksi pada proses transesterifikasi
dalam pembuatan biodiesel
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan tentang
pemanfaatan abu layang sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel
sehingga meningktkan daya guna dan nilai ekonomi dari penggunaan abu
layang.
Serta mengoptimalkan pemanfaatan minyak curah sebagai bahan baku
pembuatan biodiesel sehingga dapat menanggulangi kebutuhan solar terutama
di daerah Kalimantan Timur.
.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Biodiesel
Biodiesel merupakan sejenis bahan bakar diesel yang diproses dari bahan
hayati terutama minyak nabati dan lemak hewan dan secara kimiawi dinyatakan
sebagai monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber dari
golongan lipida (Darnoko, 2000 dalam Laksono, T, 2013). Menurut Subdit
Pengelolaan Lingkungan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Ditjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Biodiesel adalah senyawa alkil ester
yang diproduksi melalui proses alkoholisis (transesterifikasi) antara
trigliserida dengan metanol atau etanol dengan bantuan katalis basa menjadi
alkil ester dan gliserol atau esterifikasi asam-asam lemak (bebas) dengan
metanol atau etanol dengan bantuan katalis basa menjadi senyawa alkil
ester dan air. Produk dari biodiesel sendiri tergantung pada minyak nabati yang
digunakan sebagai bahan baku serta pengolahan pendahuluan dari bahan baku
tersebut. Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu
operasi proses produksi, lamanya waktu pencampuran atau kecepatan
pencampuran alkohol.
Terminologi biodiesel berasal dari persetujuan Department of Energy (DOE),
The Environmental Protection Agency (EPA) dan The American Society of
Testing Materials (ASTM) sebagai salah satu energi alternatif untuk mesin diesel
6
(ASTM, 2002; DOE, 2009; EPA 2009 ). Biodiesel telah banyak digunakan
sebagai bahan bakar pengganti solar. Agar dapat digunakan sebagai bahan bakar
pengganti solar, biodiesel harus mempunyai kemiripan sifat fisik dan kimia
dengan minyak solar. Salah satu sifat fisik yang penting adalah viskositas.
Sebenarnya, minyak lemak nabati sendiri dapat dijadikan bahan bakar, namun,
viskositasnya terlalu tinggi sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan
bahan bakar mesin diesel.
Biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan dengan solar. Biodiesel
memiliki tingkat polusi yang lebih rendah dari pada solar dan dapat digunakan
pada motor diesel tanpa modifikasi sedikitpun (Briggs, 2004 dalam Dyah, P,
2011). Biodiesel dianggap tidak menyumbang pemanasan global sebanyak bahan
bakar fosil. Mesin diesel yang beroperasi dengan menggunakan biodiesel
menghasilkan emisi karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar,
partikulat, dan udara beracun yang lebih rendah dibandingkan dengan mesin
diesel yang menggunakan bahan bakar petroleum (Gerpen,2004 dalam Dyah, P,
2011).
2.1.1 Standar Mutu biodiesel
Dari peraturan pengujian biodiesel berdasarkan peraturan dirjen migas No.
002/P/DM/MIGAS/1979 tanggal 25 mei 1979 tentang spesifikasi bahan bakar
minyak dan gas dan standar pengujian SNI (Standart Nasional Indonesia) dapat
dianalisa :
7
Tabel 2.1 Syarat Mutu Biodiesel (SNI-04-7182-2006)
No Parameter Satuan Nilai
1 Massa jenis pada 40 C Kg/m3 850-890
2 Viskositas kinematik pd 40 C mm2/s (cSt) 2,3-6,0
3 Angka setana Min. 51
4 Titik nyala (mangkok tertutup) C Min. 100
5 Titik kabut C Maks. 18
6Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50C)
Maks. No 3
7Residu karbon
- Dalam contoh asli, atau- Dalam 10% ampas distilasi
%-massa Maks. 0,05Maks. 0,30
8 Air dan sedimen %-vol Maks. 0,05*
9 Temperature distilasi 90% C Maks. 360
10 Abu tersulfatkan %-massa Maks. 0,02
11 Belerang ppm-m (mg/kg) Maks. 100
12 Fosfor Ppm-m (mg/kg) Maks. 10
13 Angka asam Mg-KOH/g Maks. 0,8
14 Gliserol bebas %-massa Maks. 0,02
15 Gliserol total %-massa Maks. 0,24
16 Kadar ester alkil %-massa Min. 96,5
17 Angka iodium%-massa (g-12/100g)
Maks. 115
18 Uji halphen Negatif
Catatan dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum 0,01 % -vol
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2006
8
2.2 Minyak Curah
Salah satu kebutuhan penting yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia
adalah minyak goreng. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah
dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak nabati adalah
minyak yang berasal dari tumbuhan dapat berasal dari kelapa, sawit,kedelai,
kacang tanah, jagung dll. Minyak yang berasal dari tumbuhan kaya akan asam
lemak tidak jenuh seperti linoleat, linolenat dan arakidonat. Adapun persyaratan
mutu minyak goreng sesuai dengan standar SNI 01-3741-2002 sebagai berikut :
Tabel 2.2 Syarat Mutu Minyak Goreng (SNI 01-3741-2002)
Tabel 2.2 Syarat Mutu Minyak Goreng Menurut SNI 01-3741-2002.
9
Terdapat dua jenis minyak goreng yang beredar dipasaran berdasarkan
jenis kemasannya yaitu minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah.
Minyak goreng curah adalah minyak goreng bermutu rendah karena mengalami
penyaringan sederhana atau satu kali penyaringan sehingga warnanya tidak jernih
disebabkan banyaknya fraksi padatan. Selain itu, minyak goreng curah umumnya
mengandung asam lemak jenuh yang lebih tinggi. Minyak goreng curah akan
mengalami penurunan kualitas jauh lebih cepat daripada minyak goreng
berkualitas bagus karena adanya proses oksidasi (Dewi,dkk.,2012). Selama proses
menggoreng, ikatan rangkap yang terdapat dalam asam lemak tidak jenuh akan
teroksidasi karena pengaruh panas yang akan dipercepat oleh adanya oksigen,
logam tembaga ataupun besi. Proses oksidasi ini menyebabkan ikatan rangkapnya
jadi jenuh, bahkan dapat menyebabkan timbulnya perubahan posisi geometri dari
ikatan rangkap, yang tadinya sis menjadi trans. Minyak trans dapat menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit seperti kanker. Salah satu pemicu timbulnya minyak
trans yaitu menggoreng dengan minyak yang banyak (deep frying) dan suhu
tinggi.
Selain itu kandungan air pada minyak goreng dapat menyebabkan
ketengikan (ranciditas) disebakan proses hidrolisis yang merubah minyak menjadi
asam lemak bebas. Kandungan air banyak terdapat terutama pada minyak goreng
curah. Hal ini disebabkan proses pembuatan minyak curah biasanya dilakukan
dengan cara yang sederhana atau satu kali penyaringan.
Sedangkan dari segi perlindungan konsumen, minyak goreng curah tidak
memenuhi hak konsumen (Perlindungan Konsumen) karena tidak mencantumkan
10
informasi produk seperti merk, nama produsen, berat bersih, tanggal kadaluarsa
dan informasi penting lainnya. Saat ini juga telah diterbitkan Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan SNI Wajib Minyak
Goreng Sawit.
2.3 Limbah padat abu layang batubara ( Fly Ash )
Abu batubara sebagai limbah tidak seperti gas hasil pembakaran, karena
merupakan bahan padat yang tidak mudah larut dan tidak mudah menguap
sehingga akan lebih merepotkan dalam penanganannya. Apabila jumlahnya
banyak dan tidak ditangani dengan baik, maka abu batubara tersebut dapat
mengotori lingkungan terutama yang disebabkan oleh abu yang beterbangan di
udara dan dapat terhisap oleh manusia dan hewan juga dapat mempengaruhi
kondisi air dan tanah di sekitarnya sehingga dapat mematikan tanaman. Akibat
buruk terutama ditimbulkan oleh unsur-unsur Pb, Cr dan Cd yang biasanya
terkonsentrasi pada fraksi butiran yang sangat halus ( 0,5 – 10 µm). Butiran
tersebut mudah melayang dan terhisap oleh manusia dan hewan, sehingga
terakumulasi dalam tubuh manusia dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan
akibat buruk bagi kesehatan.
Abu terbang batubara umumnya dibuang di ash lagoon atau ditumpuk
begitu saja di dalam area industri. Penumpukan abu terbang batubara ini
menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai
pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai
ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini
11
abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan
campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki
berbagai kegunaan yang amat beragam:
1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan
2. Bahan penggosok (polisher)
3. Filler aspal, plastik, dan kertas
4. Pengganti dan bahan baku semen
5. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)
6. Konversi menjadi zeolit dan adsorben
Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit
listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), besi oksida (Fe2O3), kalsium (CaO)
dan sisanya adalah magnesium, potasium, sodium, titanium, dan belerang dalam
jumlah yang sedikit.
Tabel 2.4. Komposisi Kimia Salah Satu Jenis Abu Terbang Batubara
12
2.3.1 Pemanfaatan Abu Layang
Abu layang yang merupakan limbah padat pembakaran batubara, dapat
dimanfaatkan sebagai bahan dasar sintetis zeolit karena mengandung komponen
utama silika (SiO2) dan alumina (Al2O3) yang secara kimia sesuai dengan
komponen kerangka zeolit. Zeolit merupakan alumino silikat mikropori dengan
ukuran pori yang seragam, dan memiliki luas permukaan dan stabilitas termal
yang tinggi sehingga zeolit banyak dimanfaatkan untuk padatan pendukung
katalis, tipe zeolit yang banyak digunakan sebagai padatan pendukung katalis
adalah zeolit Y (tipe faujasit). Abu layang yang mempunyai luas permukaan
sekitar 2 – 3 m2/gram dapat mengalami peningkatan luas permukaan hingga 250 –
650 m2/gram dalam bentuknya sebagai faujasit (Chang dan Shih, 1998
dalam Krislina, dkk, 2012).
Terjadinya perubahan luas permukaan dan kapasitas pertukaran ion pada zeolit
dari abu layang tersebut, dapat dikembangkan dalam aplikasinya sebagai adsorben
logam–logam berbahaya pada limbah cair dan sebagai katalis maupun pengemban
katalis.
2.4 Gelombang Ultrasonik
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan
frekuensi di atas 20 kHz. Gelombang ini dapat merambat dalam medium padat,
cair dan gas (Lailiyah, dkk 2012). Kecepatan gelombang ultrasonik berbeda-beda
untuk medium yang berlainan. Di dalam zat cair, gelombang ultrasonik merambat
13
secara longitudinal dengan kecepatan rata-rata 1.540 m/s (Cameron dan
Skofronick, 1978).
Penggunaan gelombang ultrasonik memberikan pengaruh positif untuk
menaikkan produk metil ester. Kecepatan reaksi meningkat karena efek kavitasi,
termal, dan mekanik yang dihasilkan gelombang ultrasonik yang memberikan
energi yang sangat besar. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,
penggunaan gelombang ultrasonik terbukti dapat mempercepat reaksi,
mengurangi jumlah katalis yang dipakai dan mengurangi rasio minyak terhadap
alkohol yang dipakai dibandingkan reaksi tanpa menggunakan bantuan
gelombang ultrasonik. Hal ini disebabkan gelombang ultasonik dapat
meningkatkan perubahan kimia dan fisis suatu media melalui pembentukan dan
pemecahan gelembung-gelembung kavitasi yang terjadi secara simultan dan terus
menerus. Kavitasi adalah salah satu efek akibat adanya gelombang ultrasonik
di dalam cairan. Jika pada cairan diradiasikan gelombang ultrasonik, maka
tekanan cairan tersebut akan bertambah pada saat gelombang ultrasonik
mempunyai amplitudo positif dan akan berkurang pada saat amplitudo
negatif, akibat perubahan tekanan ini maka gelembung-gelembung gas atau
uap yang biasanya ada di dalam cairan akan terkompresi pada saat tekanan
cairan naik dan akan terekspansi pada saat tekanan turun (Trisnobudi, 2001).
Aktivitas kavitasi ditentukan oleh banyaknya gelembung yang pecah
selama mendapat radiasi gelombang ultrasonik. Ultrasonik dapat menciptakan
gelembung-gelembung kecil atau kavitasi mikro yang dapat digunakan untuk
sintesis biodiesel ketika kavitasi pecah. Pecahnya kavitasi akibat frekuensi tinggi
14
terjadi pada temperatur lebih dari 1.0000C dan tekanan 100 bar. Temperatur dan
tekanan yang sangat tinggi tersebut dapat menjadi sebagai sarana inti untuk
mengubah suatu material jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses
kovensional menggunakan panas dan tekanan tinggi (Suslick dan Price, 1999).
Metode ultrasonik merupakan teknologi proses untuk menghasilkan
material berukuran nano yang disebabkan terbentuknya kavitasi akibat frekuensi
gelombang ultrasonik yang dipancarkan pada larutan. Proses ultrasonik dapat pula
digunakan untuk homogenisasi larutan dari campuran berbagai bahan dan
komponen (Suslick dkk, 1999).
Efek yang lain adalah efek termal merupakan absorpsi energi gelombang
ultrasonik yang menyebabkan suhu medium meningkat. Besar absorpsi energi
gelombang ultrasonik ini tergantung pada viskositas, massa jenis, dan impedansi
medium, serta frekuensi gelombang yang diberikan. Gelombang ultrasonik yang
melalui medium juga mengalami pengurangan energi, karena sebagian energinya
diabsorpsi oleh medium akibatnya suhu medium meningkat (Sabbagha, 1980).
Salah satu efek yang lain adalah efek mekanik merupakan gelombang
ultrasonik yang merambat di dalam medium yang mengakibatkan adanya getaran
partikel di dalam medium itu. Getaran ini terjadi pada semua intensitas, sehingga
dapat menyebabkan efek mekanik terhadap partikel di dalam medium. Efek
mekanik ini dapat menimbulkan percepatan partikel, getaran tekanan, tekanan
pancaran dan gaya gesek (Sabbagha, 1980).
2.5 Transesterifikasi
15
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi
trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol
dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol
monohidrik yang menjadi kandidat sumber atau pemasok gugus alkil, adalah
metanol yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan
reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di
sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam
lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida
menjadi metil ester dapat dilihat sebagai berikut:
CH2OCOR'''|
CH3OHKatalis
CH2OH|
R'''COOCH3
CHOCOR''|
+ CH3OH CHOH|
+ R''COOCH3
CH2OCOR' CH3OH CH2OH R'COOCH3
Trigliserida Metanol Gliserol Metil Ester
Gambar 2.1 Reaksi Pembentukan Metil Ester
Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa
adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan
dengan lambat (Mittlebatch, 2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.
Reaksi transesterifikasi sebenarnya berlangsung dalam 3 tahap sebagai berikut:
16
Gambar 2.2 Tahapan Reaksi Transesterifikasi
Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester metil asam-asam
lemak.
Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu:
a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi
b. Memisahkan gliserol
c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm )
2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi
Pada intinya, tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu
menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang
maksimum. Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta
perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut (Freedman,
1984):
a) Pengaruh air dan asam lemak bebas
Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam
yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar
17
kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu,
semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan
bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang.
Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami
reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.
b) Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah
Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah
3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester
dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1
dapat menghasilkan konversi 98% (Bradshaw & Meuly, 1944). Secara
umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang
digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan sema kin bertambah.
Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-
99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang
terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.
c) Pengaruh jenis alkohol
Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi
dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.
d) Pengaruh jenis katalis
Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila
dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer
untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium
hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH3 ), dan kalium metoksida
18
(KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat
(metoksida). Reaksi ransesterifikasi akan menghasilkan konversi yang
maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak nabati. Jumlah
katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5%-b minyak nabati untuk
natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium hidroksida.
e) Metanolisis Crude dan Refined Minyak Nabati
Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak nabati
refined. Namun apabila produk metil ester akan digunakan sebagai bahan
bakar mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang
telah dihilangkan getahnya dan disaring.
f) Pengaruh temperatur
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30-65°C (titik
didih metanol sekitar 65°C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang
diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat.
2.6 Katalis
Katalis merupakan substansi senyawa kimia yang dapat menaikkan laju
reaksi dan terlibat di dalam reaksi kimia walaupun zat itu tidak ikut bereaksi
secara permanen. Zat tersebut dapat diambil kembali pada akhir reaksi.
Peningkatan laju reaksi ini diakibatkan oleh adanya reaksi baru yang diciptakan
dengan energi aktivasi yang lebih rendah, sehingga katalis dapat berfungsi
mengarahkan suatu reaksi kearah yang diinginkan. Katalis tersebut dapat
mengarahkan produk yang diinginkan dengan selektivitas yang lebih tinggi,
19
sehingga hasil reaksi yang diperoleh memiliki selektivitas yang relatif tinggi
(Istadi, 2011 dalam Nugroho, 2013).
2.6.1 Parameter Katalis
Untuk menilai baik tidaknya suatu katalis, ada beberapa parameter yang
harus diperhatikan antara lain:
a. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis mengkonversi reaktan menjadi produk
yang diinginkan.
b. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi di antara
beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang diinginkan dapat
diperoleh dengan produk sampingan seminimal mungkin.
c. Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas
seperti keadaan semula.
d. Rendeman katalis / Yield, yaitu jumlah produk tertentu yang terbentuk
untuk satuan setiap reaktan yang terkonsumsi.
e. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan
selektivitas katalis seperti semula.
2.6 .2 Jenis-Jenis Katalis
Berikut penjelasan dari 3 jenis katalis :
a. Katalis Homogen
Dikatakan katalis homogen, karena memiliki fasa yang sama antara reaktan
dan produk dalam suatu reaksi. Dalam pengoperasian katalis, katalis harus
dipisahkan pada akhir reaksi bersama produk (Istadi, 2011 dalam Nugroho,
2013). Pada katalis homogen karena produk reaksi juga memiliki fasa yang
20
sama dengan katalisnya maka sulit untuk memisahkan katalis tersebut, maka
perlu adanya kondisi operasi seperti suhu dan tekanan yang disesuaikan oleh
kinerja katalis, sehingga katalis dapat dipisahkan.
b. Katalis Heterogen
Dikatakan katalis heterogen, karena memiliki fasa yang berbeda antara reaktan
dan produk. Dalam pengoperasian katalis, katalis heterogen cenderung lebih
mudah uutnuk dipisahkan karena fasa yang digunakan berbeda dengan produk
reaksinya. Katalis heterogen juga mudah dibuat dan mudah diletakkan pada
reaktor karena fasa yang berbeda dengan pereaktannya (Istadi, 2011 dalam
Nugroho, 2013). Adanya beda fasa pada katalis dan pereaktan, maka
mekanisme reaksi menjadi sangat kompleks. Fenomena antar muka menjadi
sesuatu yang sangat penting dan berperan. Laju reaksi dikendalikan oleh
fenomena-fenomena adsorbsi,absorbsi dan desorbsi.
c. Katalis Enzim
Katalis enzim juga biasa disebut biokatalisis. Katalis enzim merupakan katalis
yang memiliki keunggulan sifat (aktivitas tinggi, selektivitas dan spesifitas)
sehingga dapat dapat membantu proses – proses kimia kompleks pada kondisi
lunak dan ramah lingkungan. Enzim hanya dapat bereaksi pada range suhu
tertentu dikarenakan apabila terlalu tinggi maka protein dalam enzim akan
terdenaturasi dan enzim tidak dapat bekerja secara optimal. Adapun
kelemahannya antara lain sangat mahal, sering tidak stabil,mudah terhambat,
tidak dapat diperoleh kembali setelah dipakai.
21