bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon...

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dari jaman dahulu hingga sekarang dalam hidupnya pastilah mengalami proses kehidupan. Proses merupakan jalan untuk menuju apa yang hendak dicapai. Melalui sebuah proses inilah akhirnya dapat menghasilkan suatu pemikiran unik yang akhirnya menciptakan suatu bentuk kreativitas. Suatu kreativitas dapat menciptakan berbagai karya, salah satunya karya sastra. Karya sastra dapat dikatakan sebagai hasil pemikiran yang diciptakan oleh seseorang sebagai sarana untuk mengungkapkan buah pikiran, gagasan, perasaan, dan kepercayaan mereka (Robson, S.O, 1994: 8). Wujud karya sastra jumlahnya sangat banyak, salah satunya naskah. Naskah merupakan bentuk karya pada masa lampau yang masih bisa kita lihat dan pelajari. Naskah adalah tempat teks-teks ditulis yang wujudnya nyata dan di dalamnya terdapat tulisan-tulisan sebagai simbol-simbol bahasa, berfungsi untuk menyampaikan dan mengekspresikan hal-hal tertentu (Bani Sudardi, 2003: 10). Naskah sebagai benda yang dilindungi dan dilestarikan, dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang kehidupan sosial dan budaya yang terjadi di masalalu. Peninggalan tulisan, sebagaimana naskah diketahui mampu mengungkap informasi tentang masa lampau secara lebih jelas dibandingkan dengan peninggalan lain (Siti Baroroh Baried et al., 1994: 9). Menurunnya tingkat pengetahuan, perhatian dan kesadaran masyarakat Indonesia khususnya generasi muda terhadap naskah, menyebabkan eksistensi naskah semakin tenggelam dan terabaikan. Naskah seperti tidak memiliki daya

Upload: vunhi

Post on 04-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dari jaman dahulu hingga sekarang dalam hidupnya pastilah

mengalami proses kehidupan. Proses merupakan jalan untuk menuju apa yang

hendak dicapai. Melalui sebuah proses inilah akhirnya dapat menghasilkan suatu

pemikiran unik yang akhirnya menciptakan suatu bentuk kreativitas. Suatu

kreativitas dapat menciptakan berbagai karya, salah satunya karya sastra. Karya

sastra dapat dikatakan sebagai hasil pemikiran yang diciptakan oleh seseorang

sebagai sarana untuk mengungkapkan buah pikiran, gagasan, perasaan, dan

kepercayaan mereka (Robson, S.O, 1994: 8). Wujud karya sastra jumlahnya

sangat banyak, salah satunya naskah. Naskah merupakan bentuk karya pada masa

lampau yang masih bisa kita lihat dan pelajari.

Naskah adalah tempat teks-teks ditulis yang wujudnya nyata dan di

dalamnya terdapat tulisan-tulisan sebagai simbol-simbol bahasa, berfungsi untuk

menyampaikan dan mengekspresikan hal-hal tertentu (Bani Sudardi, 2003: 10).

Naskah sebagai benda yang dilindungi dan dilestarikan, dapat memberikan

pengetahuan kepada pembaca tentang kehidupan sosial dan budaya yang terjadi di

masalalu. Peninggalan tulisan, sebagaimana naskah diketahui mampu

mengungkap informasi tentang masa lampau secara lebih jelas dibandingkan

dengan peninggalan lain (Siti Baroroh Baried et al., 1994: 9).

Menurunnya tingkat pengetahuan, perhatian dan kesadaran masyarakat

Indonesia khususnya generasi muda terhadap naskah, menyebabkan eksistensi

naskah semakin tenggelam dan terabaikan. Naskah seperti tidak memiliki daya

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

2

tarik lagi untuk dipelajari. Sebagian masyakarat juga menganggap bahwa naskah

merupakan benda pusaka yang dikeramatkan dan hanya dimiliki oleh orang-orang

tertentu. Penyimpanan naskah secara pribadi menyebabkan naskah tidak dirawat

secara benar dan naskah sulit untuk dilacak keberadaannya. Penyimpanan naskah-

naskah paling banyak dan dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia pada saat ini

menurut Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1994: 5) berada di Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. Aksara dan bahasa naskah yang sulit dimengerti dimasa

sekarang, membuat naskah tersebut dibiarkan begitu saja tersimpan di museum

maupun perpustakaan tanpa adanya perhatian dari masyarakat dan pada akhirnya

hilang dan rusak karena tidak ditelaah lebih lanjut. Adanya penjualan naskah

secara ilegal turut mempengaruhi kegiatan penelitian, karena menyebabkan

naskah jamak sulit untuk diinventarisasi.

Masyarakat pada masa sekarang cenderung lebih tertarik untuk

mempelajari hasil daripada penelitian naskah seperti kandungan isi naskah (Agus

Aris Munandar, 2015: 23). Pendapat ini sejalan dengan Siti Chamamah Soeratno

(1997: 30) yang menyatakan bahwa karya-karya lama dalam kehidupan masa kini

memiliki fungsi menyimpan sejumlah nilai-nilai luhur warisan nenek moyang

bangsa, meliputi aspek fisik naskah, bahasa, sastra, sejarah, sosial, politik, agama,

kesehatan, dan obat-obatan yang relevan bagi kehidupan masa kini sebagai darma

untuk menyukseskan pembangunan. Walaupun karya-karya lama menyimpan

berbagai informasi penting bagi dunia, kandungan isi naskah tidak akan dapat

dipelajari tanpa adanya penelitian filologi.

Penelitian filologi sangat diperlukan sebagai upaya dalam melakukan

penyelamatan dan pelestarian naskah. Penelitian filologi merupakan kajian yang

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

3

bertujuan untuk memahami suatu kebudayaan masa lampau melalui teks tertulis

dan menyajikan teks secara deksripsi maupun berdasarkan analisa dalam wujud

yang paling tepat atau mendekati aslinya (Bani Sudardi, 2003: 11). Pengkajian ini

juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana penelitian lanjutan dalam berbagai bidang

seperti sastra, antropologi, sosiologi, sejarah, dan agama (Panuti Sudjiman, 1995:

97). Filologi merupakan penelitian awal untuk mendapatkan teks yang bersih dari

kesalahan dan untuk memaparkan kandungan isi naskah, yang selanjutnya hasil

dari penelitian filologi dapat dijadikan bahan kajian oleh peneliti lainnya dalam

berbagai bidang.

Di Indonesia, pemakaian bahasa dan huruf untuk penulisan dalam naskah

beraneka ragam (Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994: 7). Hal ini terbukti dengan

beragamnya pemakaian bahasa dan huruf (aksara) dalam naskah, seperti dalam

naskah Jawa terdapat pemakaian bahasa Jawa dan Arab namun penulisan

menggunakan huruf Jawa. Huruf jawa sendiri secara garis besar dapat dibedakan

menjadi empat bagian yaitu huruf Jawa Kuno, huruf Buda, Huruf Jawa-Baru, dan

Huruf Jawa-bali menurut tulisan pigeaud (dalam Sri Wulan Rujiati Mulyadi,

1994: 7). Selain bentuk dan bahasa naskah yang beragam, naskah menurut Nancy

K. Florida (1991) digolongkan berdasarkan isi yang ada dalam naskah, adalah :

(1) Sejarah; (2) Adat istiadat; (3) Arsitektur; (4) Hukum; (5) Roman sejarah; (6)

Ramalan; (7) Kesusastraan; (8) Piwulang atau ajaran; (9) Wayang; (10) Cerita

wayang; (11) Syair puisi; (12) Roman islam; (13) Ajaran Islam; (14) Sejarah

Islam; (15) Mistik dan tari; (16) Linguistik; (17) Mistik kejawen; (18) Obat-

obatan; (19) lain lain.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

4

Berdasarkan katalog Nancy K. Florida (1993:174) yang berjudul Javanese

Language Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminery Descriptive

Catalogus Level II Peneliti tertarik pada satu naskah dengan judul Serat Pratelan

Miyos-dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana VII Kaprabon

Garebeg Mulud ing Taun Dal 1775. Peneliti tidak menggunakan judul tersebut,

karena sampul depan naskah menunjukkan bahwa naskah berjudul Garebeg

Mulud PB VII, sehingga peneliti menggunakan judul tersebut sebagai judul

penelitian, selanjutnya akan disebut SGM. Penelitian dalam tulisan ini termasuk

dalam naskah kategori (2), yang berisi mengenai adat istiadat.

Peneliti mengetahui kategori naskah yang diteliti ini belum ada yang

meneliti naskah SGM, sehingga selanjutnya dilakukan inventarisasi naskah di

beberapa katalog. Hasil penelurusan pada katalog-katalog naskah, tidak

ditemukan judul yang sama ataupun serupa dengan naskah SGM. Naskah ini

tercatat pada katalog Nancy K. Florida yang berjudul Javanese Language

Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminery Descriptive Catalogus

Level II dengan nomor MN 271C atau H 42 (Dalam Katalog Naskah

Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta). Judul naskah SGM ini terdapat

pada cover depan, halaman pertama dan ketiga sedangkan nomor katalog yaitu H

42 dicantumkan dalam cover luar.

Gambar 1: Gambar cover luar naskah SGM

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

5

Gambar 2: Judul ditulis dengan tinta biru pada halaman 1.

Berbunyi : “ Hari Grebeg Moeloed”

Artinya : Hari Garebeg Mulud.

Gambar 3: Judul dalam halaman 3.

Berbunyi : “Punika pratèlanipun miyos Dalêm Kaprabon, Garêbêg Mulud

ing taun Dal”.

Artinya : ini penjelasan keluarnya sang Raja pada saat Garebeg Mulud

tahun Dal

Gambar 4: Tanda tangan penulis

( SGM halaman 1)

Gambar 5: Tanda tangan penulis

(SGM halaman 2)

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

6

Gambar 6: Judul naskah yang tertera pada cover

Naskah SGM ini membahas tentang prosesi upacara yang diadakan ketika

masa pemerintahan Kangjeng Sinuhun Paku Buwana VII. SGM ini ditulis

menggunakan aksara dan bahasa Jawa, serta kata serapan dari bahasa asing.

Berbentuk prosa dengan jumlah halaman sebanyak 19 halaman + 1 halaman

kosong. Berikut kutipan kata serapan bahasa asing yang terdapat dalam SGM :

Gambar 7: Kata serapan

(SGM halaman 5)

Berbunyi : “Dragundêr”

Artinya : Beserta Kerabat

Dalam gambar tersebut terdapat sisipan kata berbahasa Belanda

“Dragundêr” namun yang benar adalah kata “Drahgundêr” yang berarti

“beserta kerabat”.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

7

Naskah-naskah tradisi yang memiliki umur lebih tua dari naskah

SGMsebenarnya masih banyak, namun naskah SGM ini merupakan naskah

tunggal yang perlu dan segera diselamatkan dari kerusakan. Alasan dipilihnya

naskah SGM untuk diteliti dikarenakan oleh dua faktor. Pertama dari segi filologis

dan kedua dari segi isi. Diperlukan adanya kajian filologis untuk mendapatkan

suntingan teks yang bersih dari kesalahan supaya dapat dan mudah dipahami serta

dapat terbaca oleh masyarakat. Adapun masalah-masalah filologis yang ada dalam

naskah SGM adalah terdapat varian lakuna, hiperkorek, ketidakkonsistenan

penulisan, adanya penambahan langsung, berupa coretan sebagai koreksi teks

yang salah, tidak ada tanda penutup cerita dalam akhir teks SGM.

Beberapa masalah filologis yang terdapat dalam teks SGM, yaitu sebagai

berikut:

a. Lakuna adalah bagian yang terlampaui/ kelewatan, baik suku kata, kata,

kelompok kata maupun kalimat.

Gambar 8: Lakuna

(SGM halaman 3)

Dalam gambar tersebut terdapat kalimat berbunyi : “Ingkang

Sinuhun Kajêng Susuhunan”, artinya: Yang Terhormat Kangjeng

Susuhunan. Kutipan tersebut terdapat kekurangan huruf “ng” pada kata

“Kajêng”, dibetulkan berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

8

“Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan”, artinya: yang terhormat

Kangjeng Susuhunan.

b. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal

Gambar 9: Hiperkorek

(SGM halaman 4)

Dalam gambar tersebut tertulis: “...adad sabên”, artinya : adat

kebiasaan. Berdasarkan pertimbangan linguistik, kata “adad”, menjadi

hiperkorek, penulisan yang benar adalah “adat” bukan “adad”.

c. Ketidakkonsistenan penulisan

(a)

Gambar 10: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 6)

Dalam gambar tersebut tertulis: “sami soan wontên ing”, artinya:

semua menghadap di.

(b)

Gambar 11: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 6)

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

9

Dalam gambar tersebut tertulis: “sami sowan wontên ing ngandhap

sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo.

Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “soan” dan “sowan”,

kata “soan” menjadi tidak konsisten karena tidak menggunakan huruf

“wa”melainkan menggunakan huruf “ha”, penulisan yang benar adalah

“sowan”.

(a)

Gambar 12: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 3)

Berbunyi : “ing wanci pukul satêngah wolu”

Artinya : Pada waktu pukul setengah delapan.

(b)

Gambar 13: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 5)

Berbunyi : “wanci jam 8”

Artinya : waktu jam 8.

Dalam kedua gambar tersebut, penulisan penunjukan waktu pada

kata (a) “wolu” menggunakan huruf Jawa, sedangkan (b) “8” penulisan

menggunakan angka Jawa. Seharusnya kata “wolu” yang ditulis dengan

menggunakan angka Jawa diganti menjadi huruf Jawa. Karena sebagian

besar penunjukan waktu dalam naskah tersebut menggunakan huruf Jawa.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

10

(a)

Gambar 14: Ketidak konsistenan (SGM halaman 3)

Berbunyi : “Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan”

Artinya : Yang Terhormat Kangjeng Susuhunan.

(b)

Gambar 15: Ketidakkonsistenan (SGM halaman 7)

Berbunyi : “kalih Radên Mas Riya Jayadiningrat”

Artinya : dengan Radên Mas Riya Jayadiningrat”

Dalam kedua gambar tersebut kata “Susuhunan” menggunakan

“na” murda, sedangkan kata “Diningrat” tidak menggunakan “na”

murda, seharusnya dalam penulisan nama gelar dan nama diri, nama

geografi, dan nama lembaga menggunakan huruf murda. Jadi huruf yang

benar dalam kata “diningrat” adalah menggunakan huruf “na” murda.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

11

d. Adanya penambahan langsung

Gambar 16: Penambahan langsung (SGM halaman 4)

Berbunyi :

Bab kaping 8

Lajêng abdi dalêm Radèn Ngabèhi Suranagara, Radèn Ngabèhi

Tohpati, amêdalakên agêm dalêm titihan. Pandêngan kekalih,

ingkang satunggil dipunagêmi kambil watangan, baludru abrit prabot

mas, èbèg pêthak adêg-adêg cêmêng ciri suwiring, ingkang satunggil

kaambilan cukêl raja, sami baludru abrit...., kasongsongan jêne atal,

kaapit-apit waos kawan, sarta kaurung-urung abdi dalêm Dêmang

bêkêl ing Bai, abdi dalêm mantri Gamêl mantri Panêgar sajajaripun,

sami andhèrèkakên wontên sawingkinging titihan, sami angampil

camêthi utawi carak kaliyan kanthil pirantosan nitih, sangajênging

titihan kajajaran gêlodhog kêkalih, wadhah krakab akaliyan dhalung

ingkang ngrêmbat sami sikêp ing baki, wêdalipu-[5]n titihan Dalêm

dhatêng Pagêlaran, wonten sawetanipun Bangsal Pangrawit.

Artinya :

Bab ke 8

Kemudian abdi dalem Raden Ngabehi Suranagara dan Raden Ngabehi

Tohpati mengeluarkan kendaraan Raja. Kedua kendaraan tersebut

yang satu diberi kelapa batangan, baludru merah peralatan emas, kain

alas penyangga berwarna hitam ciri pinggirannya, sedangkan yang

satu diambilkan Cukel Raja, juga kain baludru berwarna merah.......,

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

12

terbungkus kain kuning gading, terapit empat tumbak, serta diiringi

oleh abdi dalem Demang Bekel dari Bai, abdi dalem Mantri Panegar

sejajarnya, semua abdi dalem mengikuti di belakang kendaraan,

semua membawa cambuk atau Carak dan gantungan peralatan

mengendara, di depan kendaraan dijajari dua Gelodhog yang

memanggul tempat rodhong dan kendhil besar, semua membawa di

nampan, kendaraan Raja keluar-[5]nya menuju Pagelaran, di timur

Bangsal Pangrawit..

Penambahan langsung pada teks di atas ditandai dengan garis

bawah pada teks asli. Penambahan langsung dilakukan dengan cara

menyisipkan tulisan di belakang kalimat untuk melengkapi kalimat yang

dianggap kurang lengkap.

e. Berupa coretan sebagai koreksi teks yang salah

Gambar 17: Coretan sebagai koreksi yang salah (SGM halaman 4)

Berbunyi : “agêmi prabot watangan, baludru abrit prabot mas”

Artinya : memakai perabot batangan, bludru merah peralatan emas.

Dalam gambar tersebut tertulis kata “kambil”, kata tersebut

merupakan pembetulan dari coretan sebagai koreksi yang salah dari kata

“prabot”.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

13

f. Tidak ada tanda penutup cerita (Wasanapada) dalam akhir teks SGM.

Gambar 18: Tidak ada tanda Wasanapada (SGM halaman 19)

Dalam gambar di atas tertulis: “mênggah abdi dalem prajurit

Tamtama, Miji Pinilih, Jayeng Astra, Jayataka, Jager Rajêgwêsi,

Kawandasa Cêmêng, Kawandasa Abrit, Saragêni.”, yang artinya : tanpa

terkecuali abdi dalem prajurit Tamtama, Miji Pinilih, Jayeng Astra,

Jayantaka, Jager Rajegwesi, Kawandasa Cemeng, Kawandasa Abrit,

Sarageni. Setelah kata “Saragêni” tidak ada tanda penutup cerita atau

Wasanapada, yang berbunyi “titi” sebagai tanda bahwa naskah tersebut

sudah selesai ditulis.

Bukti kesalahan tulis di atas terdapat dalam naskah SGM. Berdasarkan

pada kesalahan tulis yang ditemukan, maka SGM perlu diadakan suntingan teks

dengan mengkritisi naskah secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal

tersebut untuk menentukan naskah yang mendekati aslinya, sesuai dengan cara

kerja penelitian filologi.

Kedua, segi isi naskah SGM sangat menarik untuk mengungkap prosesi

upacara yang terkandung di dalamnya, mengingat SGM merupakan naskah

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

14

tentang tradisi atau upacara tradisional, yaitu upacara adat istiadat kebudayaan

Jawa, khususnya di lingkungan Karaton Surakarta.

Garebeg sendiri memiliki makna (1) riyaya gedhe ing sasi Mulud, Pasa

lan Besar, atau Grebeg (2) brebeg banget (ing kuping), sedangkan Mulud

memiliki arti (1) dina wiyosan lan sedane K.N. Mukamad, 12 Rabingulawal, (2) -

an: slametan ing sasi Mulud, slawatan ing sasi Mulud (Poerwadarminta, 1939).

Menurut Soepanto, et al. (1991-1992: 55) Garebeg Mulud ialah garebeg yang

diselenggarakan pada bulan Mulud, atau bulan Rabiulawal. Garebeg Mulud

merupakan suatu perayaan hari kelahiran dan kematian Nabi Muhammad SAW

yang dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiulawal atau Mulud dengan ditandai

dengan keluarnya raja beserta Gunungan.

Upacara Garebeg Mulud tidak bisa lepas dari perayaan Sekaten sebagai

tradisi keagamaan yang berlangsung dari tanggal 5-12 Rabiulawal (Ani Rostiyati,

et al., 1994/1995: 76). Dapat disimpulkan bahwa upacara Garebeg Mulud dan

Sekaten saling berkaitan, karena Garebeg Mulud merupakan upacara yang

dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiulawal, sedangkan Sekaten merupakan

perayaan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan pada tanggal 5-

12 rabiulawal. Tradisi Sekaten di Surakarta adalah merupakan kelanjutan daripada

perayaan Sekaten di Demak dan tradisi tersebut dihubungkan dengan kelahiran

Nabi Muhammad S.A.W (Waldiya, 1981: 53).

Pelaksanaan upacara Garebeg Mulud pada tanggal 12 Rabiulawal tahun

Dal dalam SGM dimulai dengan mempersiapkan alat-alat yang nantinya akan

digunakan dalam upacara Garebeg Mulud seperti pemindahan gamelan Sekaten

dari Masjid Agung ke Sitinggil sebelah utara, penanaman umbul-umbul, hingga

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

15

memepersiapkan dan memindahkan gunungan. Hampir setiap peralatan yang akan

digunakan dalam upacara Garebeg Mulud diberi sesajen berupa gula dan kelapa,

kembar mayang. Setiap prosesi atau kegiatan diiringi Gendhing khas upacara

Garebeg Mulud.

Setelah semua peralatan selesai dipersiapkan dan diletakkan sesuai dengan

tempatnya. Para Punggawa Keraton pun mempersiapkan diri sesuai posisi yang

seharusnya dan setiap posisi punggawa dijelaskan dalam setiap bab dalam teks

SGM. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini :

Wanci jam 8 abdi dalêm prajurit sêdaya sami lumêbêt, ingkang dados

pangajêng prajurit Tamtama, anuntên prajurit Miji Pinilih, anuntên

prajurit Jayèng Astra, anuntên prajurit Carangan, dumuginipun ing

palataran lajêng kèndêl baris, prajurit Tamtama baris wontên

salèripun ing paringgitan, prajurit Miji Pinilih baris wontên

sakidulipun panggung Sangga Buwana, prajurit Jayèng Astra baris

wontên sawètanipun ing pandhapi, prajurit Carangan baris wontên

sawetanipun ing pandhapi ijêm, sêdaya wau lajêng sami amêndhêt

satandaripun piyambak-piyambak.

Artinya: Pada pukul 8.00 (delapan) abdi dalem prajurit semua masuk,

yang menjadi pimpinan, prajurit Tamtama, kemudian prajurit Miji

Pinilih, kemudian prajurit Jayeng Astra, kemudian prajurit Carangan,

sesampainya di palataran berhenti dan berbaris, prajurit Tamtama

berbaris di sebelah utara Paringgitan, prajurit Miji Pinilih berbaris di

selatan Panggung Sangga Buwana, prajurit Jayeng Astra baris di timur

Pendhapa, prajurit Carangan baris di sebelah timur Pendhapa hijau.

Semua tadi kemudian saling mengambil posisi masing-masing.

Dijelaskan pula dalam naskah ini peralatan yang dibawa oleh para

punggawa dan disebutkan tugas abdi dalem, selain itu dibahas juga pakaian yang

dikenakan Sinuhun Kangjeng Susuhunan ketika datang di Pendapa. Seperti yang

terdapat di dalam bab ke 17 :

“Ing wanci jam sêdasa, ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan miyos

têdhak ing Mandhapi Agêng, lênggah ing dhampar, suku mas majêng

mangalèr, lêlèmèk baludru abrit rinenda bara, agêm agêman dalêm

Kaprabon kampuwan kuluk biru nèm, agêm dalêm rasukan baludru

cêmêng, angagêm bintang kaprabon, paningsêt pathola cêmêng, agêm

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

16

dalêm calana baludru cêmêng, rinenda Mas sinilih-asih, ngagêm

canela tinarètès ing sêla byur, para èstri angampil-ampil upacara

Dalêm kaprabon, sami alênggah wontên adatipun ingkang sampun

kalampahan”.

Artinya: Di waktu pukul sepuluh, yang terhormat Kangjeng

Susuhunan keluar datang di Pendapa Ageng, duduk di Singgasana,

kakinya menghadap ke arah barat, beralaskan kain baludru berwarna

merah berendakan gemerlap, pakai-pakaian Raja mahkota berwarna

biru muda, pakaian Raja baju dari kain baludru berwarna hitam,

memakai bintang Kerajaan, memakai pengikat dari sutra halus

berwarna hitam, pakaian Raja celana dari kain baludru hitam,

berendakan emas berselang-seling, memakai sepatu (selop) yang

berenda berkilau/gemerlap, para wanita membawa upacara Kerajaan,

semua duduk di tempat biasanya yang sudah berjalan.

Dijelaskan bahwa upacara Garebeg Mulud merupakan upacara yang

berbeda dengan upacara garebeg lainnya. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan di

bawah ini:

..Nanging garêbêg têtiga, Mulud ingkang botên panuju ing taun Dal,

utawi Garêbêg Siyam, Garêbêg Bêsar, garêbêg tetiga wau dados

satunggal kemawon, sabab pakurmatanipun tuwin samukawisipun sami

botên wontên sanèsipun, amung Garêbêg Mulud taun Dal punika

ingkang sanès.

Artinya : Tetapi Garebeg ketiga, Mulud yang tidak di tahun Dal atau

Garebeg Pasa, Garebeg Besar, Garebeg tadi menjadi satu saja, karena

penghormatan juga semuanya sama tidak ada perbedaannya, hanya

Garebeg Mulud tahun Dal inilah yang berbeda.

Menurut sampel di atas, isi dari naskah SGM sangat menarik dan dapat

bermanfaat bagi masyarakat. Kelihatannya Garebeg Mulud merupakan acara

menarik bagi masyarakat, sehingga mendapat pernghormatan tersendiri. Hingga

sekarang, perayaan Garebeg Mulud masih menarik perhatian masyarakat dan para

peneliti. Hal ini terbukti dengan adanya penelitian-penelitian terdahulu yang

berkaitan dengan Perayaan Garebeg Mulud atau Sekaten, namun diluar penelitian

pada bidang kajian filologis. Naskah SGM sudah dialihaksarakan oleh Dra.

Mulyani, setelah diteliti ternyata masih ada kesalahan dalam alihaksara tersebut.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

17

Penjelasan di atas dapat dijadikan tolok ukur mengapa naskah SGM harus

dikaji lebih lanjut, baik secara filologis maupun isinya, mengingat masih banyak

permasalahan-permasalahan yang ada di dalam teks yang perlu dianalisis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti

dapat merumuskan masalah dalam penelitian teks SGM adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana teks dari naskah SGM yang dipandang benar, bersih dari

kesalahan?

2. Bagaimanakah prosesi dan makna simbolis pada upacara Garebeg Mulud

PB VII yang terkandung dalam naskah SGM?

C. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian terhadap SGM yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Menyajikan dan memperoleh teks SGM yang dipandang benar, bersih dari

kesalahan.

2. Mengungkapkan prosesi dan makna simbolis upacara Garebeg Mulud

pada masa PB VII yang terkandung di dalam teks SGM.

D. Batasan Masalah

Pembahasan yang dikaji dari naskah ini sangat beragam. Untuk itu

diperlukan adanya batasan masalah, supaya tidak terjadi pelebaran pembahasan

dalam penelitian ini. Batasan masalah dapat dilihat dari salah satu sudut pandang,

yaitu disiplin ilmu yang digeluti oleh peneliti. Naskah ini dapat dikaji dalam

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

18

berbagai ilmu diantaranya dalam ilmu sastra, filsafat, semiotik, sintaksis, filologi,

dan lainnya. Banyaknya masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini dan latar

belakang disiplin ilmu peneliti sangat mempengaruhi penelitian ini. Bidang ilmu

peneliti adalah bidang filologi, maka dari itu penelitian ini lebih menekankan

kajian filologi tradisional dan kajian isi dalam teks SGM yang tersimpan di Reksa

Pustaka Pura Mangkunegaran, Surakarta. Filologi tradisional mengupas

permasalahan melalui cara kerja filologis, sedangkan kajian isi mendeskripsikan

prosesi, serta makna simbolis dalam upacara Garebeg Mulud tahun Dal pada masa

pemerintahan Kangjeng Paku Buwana VII yang terkandung dalam teks SGM.

E. Landasan Teori

1. Pengertian Filologi

Filologi adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk

memahami kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-

naskah klasik (Bani Sudardi, 2003: 7). Sudibyo (2007: 107) menyatakan bahwa

secara etimologis, filologi berarti ketertarikan dan keterpesonaan terhadap kata.

Hal ini sejalan dengan pendapat Siti Baroroh Baried et al., (1994:1) yang

menjelaskan bahwa kata filologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani

philologia yang terdiri dari dua kata yaitu philos yang berarti “cinta” dan logos

yang berarti “kata”. Sehingga filologi dapat diartikan sebagai “cinta kata” atau

“senang bertutur”, yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang

ilmu”, dan “senang kesastraan” atau “senang kebudayaan”.

Menurut Hartini (2014: 3) filologi merupakan ilmu yang menyelidiki

berbagai peninggalan nenek moyang masa lampau yang tertulis di atas kertas,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

19

lontar, dluwang, kulit kayu, nipah dan sebagainya. Istilah filologi dalam sejarah

perkembangannya mengalami perubahan dan perkembangan, menurut Edwar

Djamaris (2002: 3) Pengertian filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya

adalah naskah-naskah lama.

Bani Sudardi (2003: 7) menyatakan bahwa filologi merupakan suatau

disiplin ilmu yang bertujuan untuk memahami kebudayaan suatu bangsa melalui

teks-teks yang tertulis di dalam naskah-naskah klasik. Filologi dalam arti luas

adalah ilmu yang mempelajari segala segi kehidupan di masa lalu seperti yang

ditemukan dalam tulisan dan di dalamnya tercakup bahasa, sastra, adat istiadat,

hukum, dan lain sebagainya (Achadiati Ikram, 1997: 1). Pengertian filologi dapat

disimpulkan sebagai ilmu yang mengkaji bahasa, sastra, dan budaya dari masa

lalu yang terkandung di dalam sebuah teks yang bertujuan untuk mengungkapkan

makna dan isi dari sebuah naskah. Dengan melakukan pengkajian filologi, bangsa

yang memiliki naskah tersebut dapat mengtetahui latar belakang budaya yang

berkaitan dengan pandangan hidup, kepercayaan, dan adat-istiadat (Panuti

Sudjiman, 1995: 97).

2. Objek Filologi

Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Siti Baroroh Baried et

al., (1994: 57) berpendapat bahwa naskah pada umumnya berupa buku atau bahan

tulisan tangan (handscrift atau manuscrift) dengan memakai daun, lontar,

dluwang, kulit kayu, rotan, bambu, dan kertas. Teks sendiri memiliki arti

kandungan atau muatan naskah berupa abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja

dan memuat berbagai ungkapan pikiran serta perasaan penulis yang disampaikan

kepada pembacanya. Teeuw, A. (1984: 253) memiliki pendapat tentang naskah

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

20

dan teks. Naskah akan dipakai dalam arti manuskrip, tulisan tangan : versi adalah

wujud sebuah karya, sedangkan istilah teks dipakai secara umum untuk wujud

sebuah tulisan.

Istilah teks dan naskah memiliki makna yang berbeda dalam istilah

filologi. Menurut Bani Sudardi (2003: 10) Istilah teks menunjukkan sesuatu yang

abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang konkret. Dapat disimpulkan

bahwa filologi mempelajari kebudayaan masa lalu melalui teks-teks tertulis, yang

ditulis di suatu bahan yang disebut dengan naskah. Teks yang berasal dari masa

lalu tertulis di dalam sebuah naskah yang memiliki nilai budaya dapat disebut

sebagai objek penelitian filologi.

Sarjana barat pada masa lalu menekankan bahwa teks Indonesia berguna

untuk dipelajari karena mungkin dalam teks mengandung informasi penting yang

bermanfaat bagi ahli sejarah, antropolog, linguis, maupun mahasiswa teologia

(Robson, S.O, 1994: 7).

3. Langkah Kerja Penelitian Filologi

Edwar Djamaris (2002: 9) membagi langkah kerja penelitian filologi ke

dalam 6 tahapan, meliputi inventarisasi naskah (pengumpulan data), deskripsi

naskah, pertimbangan dan pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah

yang asli (autografi) atau naskah yang berwibawa, transliterasi naskah, suntingan

teks. Menurut Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), langkah kerja

penelitian filologi terdiri atas: penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah,

observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah dan

penenerjemahan teks. Sedangkan langkah kerja penelitian filologi dalam

kumpulan makalah filologi menurut Edi S. Ekadjati (1992: 1-8), terdiri dari

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

21

inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, pemilihan teks yang

akan diterbitkan, ringkasan isi naskah, alih aksara, dan penyajian teks. Dalam

praktiknya penanganan naskah SGM menggunakan langkah kerja menurut Edwar

Djamaris, yang dikombinasikan dengan langkah kerja menurut Manassa. Terdapat

modifikasi dengan tidak menggunakan langkah perbandingan naskah dalam

penanganan naskah, mengingat naskah SGM merupakan naskah tunggal dan tidak

ada naskah lain yang bisa digunakan untuk perbandingan. Langkah perbandingan

naskahyang tidak digunakan berupa pertimbangan dan pengguguran naskah,

dasar-dasar penentuan naskah yang asli (autografi) atau naskah yang berwibawa,

dan penentuan naskah dasar.

Langkah kerja penelitian filologi dalam naskah SGM dijelaskan secara

terperinci, sebagai berikut :

a. Penentuan Sasaran Penelitian

Pemilihan naskah sebagai objek kajian diperlukan mengingat jenis naskah

sangat beragam, sehingga seorang peneliti harus menentukan sasaran penelitian

sebagai langkah awal dalam penelitian. Secara umum jenis, isi, bentuk, bahasa,

aksara, alas penulisan, dan asal naskah berbeda-beda. Berdasarkan aksara

penulisan ada naskah yang bertuliskan huruf Arab, Jawa, Bali, Sasak, pegon,

makasar dan Batak. Penggunaan Bahasa juga beragam, menggunakan bahasa

Jawa, Sunda, Makasar, Minangkabau, Bugis dan Banjar. Adapula naskah yang

ditulis pada kertas, kulit kayu, atau rotan dan daun lontar. Dari segi bentuk,

naskah dibedakan menjadi dua yaitu berbentuk puisi dan berbentuk prosa.

Keragaman pada isi naskah juga dijumpai, diantaranya sejarah atau babad,

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

22

kesusastraan, ajaran atau piwulang, adat istiadat, roman, cerita dongeng, agama,

cerita wayang, primbon, silsilah, dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, penentuan sasaran penelitian yang ingin

diteliti menjadi terbantu. Sasaran yang dipilih oleh peneliti adalah naskah

bertuliskan Jawa carik (manuscripts) yang ditulis pada kertas, berbentuk prosa

atau gancaran dan berisi tentang adat istiadat yang dilakukan oleh Kraton

Surakarta Hadiningrat. Bentuk tersebut telah terangkum secara menyeluruh di

dalam naskah SGM.

b. Inventarisasi Naskah

Inventarisasi naskah dilakukan melalui metode pustaka, seperti yang

diungkapkan oleh Edwar Djamaris (2002: 10) bahwa “pengumpulan data itu

dilakukan dengan metode studi pustaka”. Inventarisasi naskah dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara pertama mendata naskah di katalog-katalog naskah yang

terdapat di tempat-tempat penyimpanan naskah baik di museum maupun

perpustakaan, kemudian mengumpulkan naskah SGM yang berjudul sama dan

sejenis. Hasil dari pendataan dan pengumpulan naskah SGM kemudian dijadikan

sebagai objek penelitian.

Inventarisasi yang dilakukan pada naskah SGM melalui 9 (sembilan)

katalog berikut :

1. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java A

Preminary Descriptive catalogus Volume I, II, dan III ( Nancy K.

Florida, 1994),

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

23

2. Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book

in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet-Sutanto,

1983),

3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sana

Budaya Yogyakarta ( T. E Behrend, 1990),

4. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta

(T. E Behrend et al., 1994),

5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3A dan 3B (Edy

Sedyawati, et al., 1998),

6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia (Lindstay, 1994).

7. Katalog Naskah Carik Koleksi Museum Radya pustaka Surakarta

8. Katalog Naskah Sasanapustaka Karaton Surakarta

9. Katalog Naskah Pura Mangkunegaran Surakarta.

Berdasarkan kesembilan katalog yang disebutkan di atas, tidak ditemukan

judul yang sama atau serupa dengan naskah SGM, sehingga dapat disumpulkan

bahwa naskah SGM merupakan naskah tunggal.

c. Observasi Pendahuluan

Peneliti Setelah mendapatkan hasil dari inventarisasi naskah diberbagai

katalog, kemudian melakukan observasi untuk mengecek keberadaan naskah dan

keadaan naskah. Observasi merupakan kegiatan pengamatan yang dilakukan

dengan pancaindra sebagai alat bantunya untuk mendapatkan data penelitian

(Burhan Bungin, 2008: 115). Observasi pendahuluan dapat dilakukan dengan cara

mengecek data secara langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

24

yang diungkapkan oleh katalog. Tempat koleksi naskah SGM adalah Reksa

pustaka Pura Mangkunegaran. Setelah didapatkan objek yang dimaksud yaitu

SGM, kemudian langkah selanjutnya yang dilakukan dengan cara

mendeskripsikan naskah atau identifikasi naskah.

d. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986: 2) ialah uraian

ringkas naskah secara terperinci. Deskripsi naskah wajib dilakukan untuk

mengetahui informasi tentang naskah dan sejauh mana isi mengenai naskah yang

dijadikan data penelitian. Deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan

informasi tentang judul naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah,

keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, keadaan naskah, nomor naskah,

tempat penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal

naskah, jumlah baris setiap halaman, huruf,aksara, tulisan, cara penulisan, bahan

naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, asal-

usul naskah, fungsi sosial naskah, serta ikhtisar teks atau cerita.

Deskripsi naskah dapat dilakukan apabila peneliti dapat bertemu langsung

dengan naskah yang dijadikan sebagai data penelitian. Kegiatan tersebut

dilakukan untuk mengecek data dan mendapatkan informasi valid secara langsung

mengenai naskah.

e. Transliterasi

Transliterasi menurut Edwar Djamaris (2002: 19) merupakan suatu

penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Panuti

Sudjiman (1995: 99) menyatakan bahwa transliterasi merupakan penggantian

suatu huruf dalam teks dengan huruf yang lainatau lebih dikenal dengan nama alih

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

25

aksara. Dua tugas pokok yang harus dilakukan peneliti dalam melakukan

transliterasi yaitu menjaga keaslian bahasa khususnya dalam hal penulisan kata

dan menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku. Tugas tersebut

bertujuan untuk melindungi dan menjaga keabsahan data mengenai bahasa yang

digunakan dalam naskah serta memudahkan pembaca untuk memahami teks.

Penyajian bahan transliterasi haruslah lengkap, supaya dalam penelitian

mudah dibaca dan dipahami. Penyusunan kalimat dalam transliterasi harus jelas

disertai tanda-tanda baca, pembagian alinea dan bab yang diteliti dan disesuaikan

dengan ejaan yang berlaku supaya mempermudah dalam kegiatan pengolahan

data. Digunakan beberapa kamus dalam kegiatan transliterasi untuk menyesuaikan

ejaan bahasa Jawa yang berlaku saat ini, yakni Bausastra Jawa karangan W. J. S.

Poerwodarminta tahun 1939 dan Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) karangan

Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta tahun 2001.

f. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Suntingan teks merupakan hasil kritik teks yang disajikan dalam bentuk

asli berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam naskah yang telah bersih dari

kesalahan. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krites artinya “seorang hakim”.

Kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks

pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk mengembalikan

teks ke bentuk aslinya (constitutio textus) sebagaimana diciptakan oleh

penciptanya (Siti Baroroh Baried et al.,1994: 61). Metode yang tepat digunakan

dalam kritik teks adalah metode edisi standar. Metode edisi standar digunakan

apabila naskah tidak ada pembanding atau merupakan naskah tunggal (Bani

Sudardi, 2003: 60). Metode standar digunakan karena isi naskah merupakan cerita

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

26

biasa, bukan dianggap sebagai cerita suci atau penting dalam keagamaan atau

sejarah, sehingga teks tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa

(Edwar Djamaris, 2002: 24).

Hasil kritik teks kemudian dimasukkan ke dalam suntingan teks dengan

cara memasukkan varian-varian yang terdapat dalam teks ke dalam aparat kritik

(Bani Sudardi, 2003: 58). Suntingan teks SGM tidak disajikan dalam bentuk

aksara asli teks lagi melainkan sudah dalam bentuk aksara latin. Penyajian dalam

bentuk latin dilakukan supaya mempermudah pembaca untuk memahami isi teks.

Aparat kritik atau apparatus criticus merupakan catatan pembetulan varian-varian

atau keterangan hasil kerja perbandingan naskah yang tempatnya biasa berada di

bawah teks atau di bawah terjemahan (Edi S. Ekadjati, 1992: 6). Menurut Edwar

Djamaris (2002: 8) Kelainan bacaan berupa kata-kata yang salah atau bacaan yang

salah di dalam naskah juga ditampilkan dalam aparat kritik. Aparat kritik

merupakan suatu pertanggungjawaban ilmiah atas suntingan filologis (Bani

Sudardi, 2003: 58).

Wujud Kelainan bacaan tersebut dapat berupa Korupsi atau bagian naskah

yang rusak, penambahan, pengurangan, perbedaan bacaan, kekhasan

bacaan hanya dalam satu tempat saja, huruf yang seharusnya ditulis ganda

hanya ditulis satu (Haplografi), penulisan ganda, penghilangan satu baris

teks, saut de meme au de meme (kelewatan akibat adanya dua kata yang

sama dalam satu baris/bagian) yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan

oleh penulis (Bani Sudardi, 2003: 56).

g. Terjemahan

Terjemahan merupakan suatu pengalihan makna yang sepadan dalam hal

isi dan bahasa dengan cara mengalihkan teks sumber ke teks bahasa sasaran yang

dilakukan secara lengkap dan terperinci. Pengalihan makna dilakukan dengan

maksud untuk mempermudah pemahaman terhadap isi teks dari suatu naskah,

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

27

sehingga masyarakat yang tidak menguasai bahasa naskah aslinya tetap dapat

mempelajari dan menyebarluaskan naskah (Darusuprapta, 1984: 27).

Seorang peneliti dalam melakukan penerjemahan memiliki potensi

berbeda dengan peneliti lainnya. Hal tersebut terjadi karena peneliti memiliki

kemampuan dalam menemukan makna yang belum diketahui artinya dengan pasti

secara tepat dari sebuah kata ( Edy Sedyawati, 1998: 3).

Metode penerjemahan isi atau makna digunakan dalam penelitian ini

karena teks SGM berbentuk prosa, sehingga dapat mempermudah dalam

penyampaian kandungan isi atau makna dari teks SGM. Penerjemahan naskah

SGM juga dilakukan untuk mempermudah masyarakat luas yang tidak mengerti

aksara jawa untuk membaca, memahami, dan menikmati teks SGM, maka dari itu

diperlukan adanya terjemahan dari bahasa jawa ke dalam bahasa indonesia.

4. Pengertian Upacara Adat dan Garebeg Mulud

Upacara merupakan suatu perayaan yang diselenggarakan karena adanya

suatu peristiwa penting (Sudarmanto, 2008: 378). Kata “adat” dalam Kamus

Bahasa Indonesia Lengkap (2007) memiliki makna aturan atau konvensi yang

telah ada sejak jaman nenek moyang, sedangkan kata “istiadat” berarti kebiasaan.

Adat istiadat dapat dikatakan sebagai aturan di masyarakat sejak masa lampau

yang mengikat dan menjadi suatu kebiasaan. Upacara adat dapat disimpulkan

sebagai suatu perayaan yang selalu diadakan karena adanya peristiwa penting

yang telah ada di masyarakat sejak jaman dahulu dan menjadi suatu aturan yang

mengikat hingga sekarang.

Upacara adat bisa disebut juga dengan selamatan karena di dalamnya

diadakan doa-doa yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

28

kepada Tuhan YME. Ani Rostiyati, et al., (1994/1995: 1) menyatakan bahwa

aktivitas upacara atau selamatan merupakan salah satu usaha manusia sebagai

jembatan yang menghubungkan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia ritus

atas (makhluk halus/Tuhannya) dengan harapan leluhur, roh halus dan Tuhannya

akan memberikan berkah keselamatan di dunia. Selamatan adalah versi Jawa dari

upacara keagamaan yang paling umum di dunia karena melambangkan kesatuan

mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di dalam kegiatan tersebut (Geertz,

Clifford, 1989: 13).

Upacara adat yang masih ada hingga sekarang salah satunya adalah

upacara Muludan atau Garebeg Mulud. Upacara Garebeg Mulud merupakan

upacara yang digunakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW

setiap tanggal 12 Maulud yang ditandai dengan keluarnya Gunungan Raja yang di

iring dari Keraton hingga pada akhirnya didoakan dan dibagikan kepada

masyarakat di depan Masjid Agung. 12 mulud: hari yang menurut konvensi, nabi

dilahirkan da meninggal dunia, muludan tersebut disebut dengan slametan

(Geertz, Clifford, 1989: 105). Upacara Garebeg Mulud ini masih diselenggarakan

hingga sekarang di tiga keraton, yakni Keraton Yogyakarta, Surakarta, dan

Cirebon.

Ada sejarah lisan yang mewartakan bahwa dahulu kala para raja Jawa

selalu menyelenggarakan selamatan kerajaan (dalam bahasa Jawa disebut

wilujengan nagari) setiap tahun baru dengan sebutan rajawedha, memiliki makna

kitab suci raja atau kebajikan raja (B. Soelarto, 1993: 9). Herry Lisbijantoro

(2013: 38) menyatakan bahwa Garebeg Mulud sebenarnya merupakan

penyempurnaan dari upacara rajawedha (dalam agama Hindu), yang bertujuan

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

29

untuk memohon berkah serta keselamatan dari para dewa untuk kerajaan dan

penduduk kerajaan supaya terhindar dari wabah penyakit yang dilakukan setiap

awal tahun. Tujuan dari upacara kurban adalah untuk memohon keselamatan,

perlindungan untuk raja dan rakyatnya kepada Tuhan YME.

Banyak orang menyebut Garebeg Mulud dengan sebutan sekaten.

Garebeg mulud dan sekaten memang dilaksanakan dalam bulan yang sama

rabiulawal, akan tetapi keuda acara tersebut pelaksanaannya berbeda hari, namun

saling berkaitan. Garebeg Mulud merupakan acara pengeluaran hajad dalem

berupa Gunungan dalem yang dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiulawal tahun Dal

untuk memperingati kelahiran dan kematian nabi Muhammad SAW. Sekaten

merupakan acara untuk memeriahkanperingatan kelahiran dan kematian Nabi

Muhammad SAW berupa keramaian di alun-alun yang diadakan selama 7 hari

sebelum tanggal 12 rabiulawal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat B. Soelarto

(1993: 12) yang menyatakan bahwa “Sekaten merupakan sebutan untuk perayaan

dan keramaian selama seminggu sebelum hari kelahiran nabi dalam bulan

rabiulawal”.

5. Simbolisme

Kata simbol sendiri berasal dari bahasa Yunani “Symbolon” yang berarti

ciri atau tanda yang memberikan sesuatu kepada seseorang (Suwardi Endraswara,

2012: 171). Simbol digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan

tentang aturan seperti pesan-pesan agama, nilai-nilai budaya, norma-norma yang

ada di dalam masyarakat supaya dapat dijalankan dan tetap dilestarikan.

Simbol atau lambang menurut Budiono Herusatoto (2008: 18) adalah

“sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

30

obyek”. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan sesuatu

hal yang digunakan sebagai perantara untuk memahami suatu obyek. Sebagai

contoh, apabila dalam suatu upacara kita memakai sesaji berupa gula dan kelapa,

gula dan kelapa dijadikan sebuah simbol dari keberanian dan kesucian. Ada 3

teori makna yang menerangkan perilaku manusia berdasarkan teori simbolik,

yakni :

a) Seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu didasarkan pada

makna yang ada didalam sesuatu tersebut, b) Makna sesuatu muncul

jika hal tersebut berada di lingkungan interaksi manusia, c) Seseorang

akan memegang makna tersebut untuk dijadikan referensi dan

interpretasi jika orang tersebut berhadapan dengan orang lain (Jonathan

Sarwono, 2006: 198).

Upacara adat mengandung simbolisme yang sangat menonjol karena pada

dasarnya simbolisme dalam masyarakat tradisional merupakan upaya pendekatan

manusia kepada Tuhannya yang mengatur kehidupan manusia dan membawakan

pesan religi kepada generasi mendatang yang selalu dilaksanakan (Budiono

Herusatoto, 2008: 48-49). Oleh karena itu, upacara adat akan tetap dilaksanakan

hingga nanti oleh generasi penerusnya walaupun dalam pelaksanaannya terdapat

sedikit perbedaan. Simbolisme yang ada dalam upacara adat tidak terbentuk

dengan sendirinya, namun terbentuk melalui pengalaman dan kebiasaan

masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Suwardi Endraswara (2012: 171)

yang menyatakan bahwa Simbol-simbol tersebut merupakan ciri dari keseluruhan

tingkah laku dan pemikiran manusia, sehingga manusia disebut sebagai animal

symboliticum.

Dalam budaya Jawa, bentuk-bentuk simbolisme sangat beragam dalam

segala hal dan dalam segala bidang. Bentuk-bentuk simbolisme itu menurut

Budiono Herusatoto (2008: 155-156) dikelompokkan dalam 3 macam tindakan,

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

31

yaitu a) tindakan simbolis dalam religi, b) tindakan simbolis dalam tradisi, c)

tindakan simbolis dalam kesenian.

Prosesi upacara Garebeg Mulud PB VII di naskah SGM mengandung

simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut tidak dapat dibaca secara langsung

melainkan harus melalui pemahaman. Seperti gunungan yang jika dipelajari dapat

diartikan sebagai perwujudan simbol.

6. Penelitian yang Relevan dengan Penelitian Naskah SGM

Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Perayaan Garebeg

Mulud maupun Sekaten yaitu :

(a) Unsur-Unsur Agama Islam dalam Adat Garêbêg Mulud di Karaton

Kasunanan Surakarta oleh Suwito, pada tahun 1992. (020. Uns. Suw. 92).

Penelitian ini memaparkan tentang pelaksanaan Adat Garebeg di Kraton

Kasunanan Surakarta baik Adat Garebeg Besar, Pasa, maupun Garebeg Mulud.

menjelaskan juga tentang perayaan Sekaten sebagai media Dakwah Islam,

memandang Selamatan Gunungan dari sudut Agama Islam, dan usaha-usaha

lembaga Islam dalam menanamkan ajaran Islam dalam adat Garebeg Mulud.

(b) Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton

Surakarta. Skripsi. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2010.

Santoso.

Penelitian ini secara umum membahas tentang latar belakang adanya

Tradisi Garebeg Maulud di Kraton Surakarta, prosesi dan Ritual Upacara

Garebeg Mulud secara lengkap, dan juga membahas tentang nilai-nilai pendidikan

Islam dalam masing-masing Gunungan. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

32

barang-barang yang dijual dalam perayaan sekaten juga dibahas dalam penelitian

ini.

(c) Tinjauan Secara Filosofis Terhadap Makna Simbol Upacara Gunungan

Dalem Sekaten Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. 2008. Nunik

Umiyati (085.Tin. Nun).

Penelitian ini menjelaskan secara umum mengenai pengertian, bentuk, dan

fungsi Upacara dan Simbol. Selain itu gambaran umum Karaton Kasunanan

Surakarta Hadiningrat tentang Kondisi Ekonomi, Keagamaan, serta Sejarah atau

lambang bangunan-bangunan keraton. Dijelaskan pula tentang gambaran umum

dalam upacara Gunungan Sekaten baik selama persiapan, prosesi maupun makna

serta memaparkan dimensi simbol dalam gunungan sekaten, secara dimensi

simbol, ketuhanan,dan Kemanusiaan.

F. Data dan Sumber Data

Data merupakan hasil dari sebuah sumber data, berupa naskah dan teks.

Data yang diperoleh dari penelitian merupakan data empiris yang valid

(Sugiyono, 2014: 2). Data penelitian dapat digunakan sebagai data primer dan

sekunder karena SGM merupakan naskah tunggal. Data dalam penelitian ini

adalah naskah dan teks SGM dengan nomor katalog H42. Penelitian ini juga

menggunakan data sekunder untuk menunjang penelitian. Data sekunder terbagi

menjadi dua yakni bahan pustaka dan hasil wawancara, keduanya terkait tradisi

Garebeg Mulud. Naskah yang bersih dari kesalahan menjadi sumber data untuk

analisis isi.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

33

Sumber data adalah sesuatu yang dapat menghasilkan data dan merupakan

tempat dari data tersebut dihasilkan. Tanpa adanya sumber data, tidak akan

diperoleh sebuah data (Sutopo, 2002: 49). Sumber data dalam penelitian ini

berupa tempat dan narasumber (informan). Tempat dalam sumber data penelitian

ini adalah penyimpanan naskah SGM Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran

Surakarta. Narasumber dalam penelitian ini adalah Budayawan yakni KGPH.

Dipokusumo. Data yang ingin didapat dari narasumber berupa informasi

mengenai prosesi upacara Garebeg Mulud yang dapat dijadikan sebagai data

sekunder untuk kajian isi.

G. Metode dan Teknik

1. Bentuk dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian filologi. Penelitian filologi

menggunakan objek kajian berupa manuskrip (naskah tulisan tangan) dengan

mendasarkan pada pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian ini

merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang menghasilkan prosedur analisis menggunakan pendekatan

kualitatif yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara

kuantifikasi (Moleong, Lexy J., 2014: 6).

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk

menggambarkan, menuliskan, melukiskan, melaporkan objek penelitian pada saat

ini berdasarkan data yang ditemukan melalui pendekatan kualitatif yang bersifat

deskriptif. Menurut Sutopo (2002: 111) penelitian ini mengarah pada

pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai gambaran keadaan tentang

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

34

apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan data yang ada di lapangan. Penelitian

kualitatif memusatkan perhatiannya pada pengumpulan data kualitatif yang

berupa informasi kualitatif yang disampaikan secara lisan maupun tertulis.

Kebenaran menurut penelitian kualitatif bergantung pada dunia realitas empirik

dan konsensus dalam masyarakat ilmuwan (S. Nasution, 1996: 6). Dalam

penelitian kualitatif peneliti berbaur menjadi satu dengan yang diteliti sehingga

peneliti dapat memahami persoalan dari sudut pandang yang diteliti itu sendiri

(Jonathan Sarwono, 2006: 194).

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik

content analysis dan wawancara. Teknik content analysis ini mencatat isi penting

tentang makna yang tersirat tidak sekedar mencatat makna yang tersurat dalam

dokumen atau arsip (Yin dalam Sutopo, 2002 : 69-70). Secara teknis content

analysis mencakup upaya: a) klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam

komunikasi, b) menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, dan c)

menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi (Noeng Muhadjir,

2000: 68).

Content analysis menggunakan arsip dan dokumen sebagai sumber data

pokok dalam penelitian kesejarahan, terutama untuk mendukung proses

interpretasi dari setiap peristiwa yang diteliti (Sutopo, 2002: 69). Sumber data

dalam penelitian ini berupa naskah dan teks SGM serta teks yang telah bersih dari

kesalahan.

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dengan langkah-langkah

sebagai berikut (a) membaca beberapa katalog naskah yang tersimpan di

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

35

perpustakaan atau museum yang ada, (b) mendatangi beberapa tempat lokasi yang

memiliki koleksi naskah baik koleksi pribadi maupun koleksi naskah umum

(dijaga) kemudian mendaftar judul, (c) mengecek dan memastikan kebenaran

naskah ke lokasi penyimpanan naskah dan mengadakan pengamatan untuk

memastikan keberadaan naskah ke lokasi penyimpanan naskah dan mengadakan

pengamatan, (d) menemui naskah yang dimaksudkan yaitu naskah SGM,

selanjutnya mengambil gambar naskah SGM dengan kamera digital tanpa

menggunakan blits supaya tidak merusak naskah, (e) mentransfer data ke dalam

komputer melalui program ACDsee photo Manager 21 dan Microsoft Office

Picture Manager Setelah semua data diperoleh (f) melakukan pengeditan dengan

menggunakan Program Photoscape supaya gambar terlihat jelas, (g) data dipindah

ke Microsoft Office 2007 untuk dijadikan bahan pengkajian filologis dan kajian

isi, (h) setelah itu mencari data sekunder dengan mengumpulkan referensi (buku-

buku, jurnal, makalah, artikel) tentang Garebeg Mulud.

Teknik wawancara dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara

mendalam (tidak terstruktur). Wawancara mendalam merupakan proses

memperoleh penjelasan untuk mendapatkan data penelitian tanpa menggunakan

pedoman wawancara, melalui cara tanya jawab dengan sambil bertatap muka

antara pewawancara dan informan (Burhan Bungin, 2008: 108). Sugiyono (2014:

233) menyatakan bahwa wawancara tak berstruktur (unstructrured interview)

adalah kegiatan wawancara yang dilakukan secara bebas tanpa menggunakan

pedoman wawancara yang sudah disusun secara sistematis dan lengkap untuk

pengumpulan sebuah data. Wawancara mendalam atau tidak berstruktur dilakukan

dengan budayawan yakni KGPH Dipokusumo pada tanggal 28 April 2016 di

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

36

Ruang Dosen Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi. Wawancara ini

dilakukan untuk menggali informasi secara mendalam tentang objek penelitian

yang belum dimengerti oleh peneliti yaitu Garebeg Mulud.

3. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan menggunakan teknik

penyuntingan naskah tunggal yang sesuai dengan kajian filologis. Objek

penelitian berupa naskah tunggal, dengan menggunakan analisis berupa edisi

standar. “Metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam

penyuntingan teks naskah tunggal” (Edwar Djamaris, 2002: 24). Digunakannya

edisi standar dalam penelitian ini, karena isi dalam naskah SGM ini dianggap

sebagai hal yang biasa dan bukan merupakan sesuatu yang dianggap suci atau

sakral. Namun, langkah kerja dengan menggunakan perbandingan naskah dan

dasar-dasar penentuan naskah dasar yang akan ditransliterasi tidak berlaku dalam

penggarapan naskah tunggal ini.

Menurut Edwar Djamaris (2002: 24), hal-hal yang perlu dilakukan dalam

edisi standar antara lain, yaitu :

1. mentransliterasi teks

2. membetulkan kesalahan teks

3. membuat catatan perbaikan

4. memberi komentar atau tafsiran

5. membagi teks menjadi beberapa bagian; dan

6. menyusun daftar kata-kata sukar.

Edisi standar ini bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam memahami

dan membaca teks.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · sawo”, artinya : semua menghadap di bawah pohon sawo. Dalam kedua gambar tersebut tertulis kata “ soan ” dan “sowan” , kata

37

Setelah memperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan, kemudian

dilanjutkan dengan analisis data kedua dengan menggunakan teknik analisis isi.

Dalam KBBI (2007) interpretasi merupakan pemberian kesan, pendapat dan

pandangan terhadap sesuatu. Analisis isi dilakukan dengan tujuan untuk

mengungkap isi yang terkandung di naskah atau teks. Jawaban atas tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini menggunakan simpulan akhir. Penarikan

simpulan mengacu pada analisis data dengan menyajikan hasil dari suntingan teks

yang telah bersih dari kesalahan dan isi teks yang telah ditelaah.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini diuraikan sistematika berupa:

I. Pendahuluan

Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, landasan teori, data dan

sumber data, metode dan teknik, dan sistematika penulisan.

II. Analisis Data

Analisis Data merupakan bagian yang memaparkan hasil analisis dari

permasalahan yang dibahas dalam penelitian, yaitu mengenai kajian

filologis dan kajian isi naskah SGM.

III. Penutup

Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar

pustaka dan lampiran-lampiran.