bab i pendahuluan a. latar belakang - depkes.go.id. lkj kemkes 201… · di samping pemenuhan...

138
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa tugas kepada Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, sebagai bagian dari pemerintahan Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan dituntut untuk menyelenggarakannya sesuai prinsip- prinsip good governance. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, salah satu azas penyelenggaraan good governance adalah azas akuntabilitas. Azas ini bermakna bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Salah satu wujud akuntabilitas tersebut adalah melalui penyusunan Laporan Kinerja. Di samping pemenuhan prinsip akuntabilitas, Laporan Kinerja juga merupakan pelaksanaan amanat peraturan perundang-undangan terkait, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Pemerintah. Laporan Kinerja ini juga merupakan bentuk pertanggungjawaban Kementerian Kesehatan atas pelaksanaan tugas dan fungsinya selama tahun 2016 sekaligus menjadi alat atau bahan evaluasi guna peningkatan kinerja Kementerian Kesehatan di masa depan. B. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tugas Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kesehatan mempunyai fungsi: 1) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, dan kefarmasian dan alat kesehatan; 2) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan; 3) pengelolaan barang milik negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan; 4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; 5) pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang kesehatan serta pengelolaan tenaga kesehatan; 6) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah; 7) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan; dan 8) pelaksanaan

Upload: tranquynh

Post on 18-Jun-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa tugas kepada Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, sebagai bagian dari pemerintahan Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan dituntut untuk menyelenggarakannya sesuai prinsip-prinsip good governance. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, salah satu azas penyelenggaraan good governance adalah azas akuntabilitas. Azas ini bermakna bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu wujud akuntabilitas tersebut adalah melalui penyusunan Laporan Kinerja. Di samping pemenuhan prinsip akuntabilitas, Laporan Kinerja juga merupakan pelaksanaan amanat peraturan perundang-undangan terkait, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Pemerintah. Laporan Kinerja ini juga merupakan bentuk pertanggungjawaban Kementerian Kesehatan atas pelaksanaan tugas dan fungsinya selama tahun 2016 sekaligus menjadi alat atau bahan evaluasi guna peningkatan kinerja Kementerian Kesehatan di masa depan.

B. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tugas Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kesehatan mempunyai fungsi: 1) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, dan kefarmasian dan alat kesehatan; 2) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan; 3) pengelolaan barang milik negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan; 4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; 5) pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang kesehatan serta pengelolaan tenaga kesehatan; 6) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah; 7) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan; dan 8) pelaksanaan

2

dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Menteri Kesehatan dibantu oleh 8 unit eselon I, 4 Staf Ahli, dan 5 Pusat. Selain itu, Menteri Kesehatan juga mengelola dukungan administrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dijalankan oleh Sekretariat KKI. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1.1 Bagan Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan

Struktur organisasi Kementerian Kesehatan sebagaimana tergambarkan di atas didukung oleh sumber daya manusia sebanyak 52.512 orang pegawai yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan maupun bidang lain yang diperlukan seperti ekonomi, manajemen, keuangan, hukum, dan sebagainya. Pegawai tersebut ditempatkan di seluruh unit eselon I baik di kantor pusat maupun daerah. Selanjutnya pegawai Kementerian Kesehatan tersebar ke dalam Unit Eselon I sebagai berikut: 1) Sekretariat Jenderal sebanyak 2.304 orang; 2) Inspektorat Jenderal sebanyak 313 orang; 3) Ditjen Pelayanan Kesehatan sebanyak 33.542 orang; 4) Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit sebanyak 4.473 orang; 5) Ditjen Kesehatan Masyarakat sebanyak 578 orang; 6) Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan sebanyak 263 orang; 7) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan sebanyak 1.371 orang; dan 8) Badan PPSDM Kesehatan sebanyak 9.668 orang.

3

C. Isu Strategis

Dalam pelaksanaan rencana kerja Kementerian Kesehatan, terdapat beberapa isu strategis atau permasalahan yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1. Besarnya jumlah penduduk Indonesia

Pada Tahun 2015 Indonesia berpenduduk 256.461.700 jiwa sementara laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,19% per tahun. Diperkirakan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar itu, pada tahun 2030 Indonesia akan memiliki penduduk sebanyak 268.074.600 jiwa. Jumlah penduduk yang besar dan laju pertumbuhannya yang tinggi akan berdampak pada layanan kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah. Dua permasalahan yang harus dihadapi adalah isu penduduk miskin dan penduduk lanjut usia (lansia). Dengan bertambahnya penduduk miskin berimplikasi makin besarnya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pemerintah. Meningkatnya populasi lansia berakibat: 1) meningkatnya kebutuhan layanan sekunder dan tersier; 2) meningkatnya kebutuhan layanan home care; dan 3) meningkatnya biaya kesehatan.

2. Disparitas status kesehatan Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat namun masih terdapat kesenjangan status kesehatan baik antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar wilayah perkotaan-perdesaaan. Pada golongan masyarakat miskin angka kematian bayi dan angka kematian balita hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan golongan terkaya. Angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah perdesaan, kawasan timur Indonesia, serta penduduk dengan tingkat pendidikan rendah.

3. Pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan bagian dari SJSN menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Bersamaan dengan bertambahnya jumlah peserta JKN yang mencapai 127.763.851 orang atau 105,1% pada tahun ?? dari target perlu diimbangi dengan peningkatan jumlah fasilitas kesehatan guna menghindari terjadinya antrian panjang yang dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan.

4. Pemberlakuan ASEAN Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) Tahun 2016 merupakan tahun pertama implementasi MEA. Dengan diberlakukannya MEA berimplikasi kepada - bahan pertimbangan penyusunan dan pelaksanaan program di Kementerian Kesehatan Tahun 2016.

4

5. Sustainable Development Goals (SDGs) Kementerian Kesehatan pada tahun 2016 telah mulai mengakomodir implementasi SDGs ke dalam program dan kegiatan Kementerian Kesehatan yang diwujudkan melalui pembentukan Tim Koordinasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals Kementerian Kesehatan di Kementerian Kesehatan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/457/2016 tahun 2016 serta pembentukan Tim Sekretariat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) Kementerian Kesehatan sesuai Keputusan Dirjen Kesehatan Masyarakat Nomor HK.02.03/VII/1053/2016. Terdapat 5 Goals dalam SDGs, yakni Goal 1, 2, 3, 5, dan 6 yang terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Kesehatan. Goal Nomor 1 adalah Penghapusan Kemiskinan, Goal Nomor 2 adalah Penghapusan Kelaparan, Goal Nomor 3 adalah Kesehatan dan Kesejahteraan, Goal Nomor 5 adalah Kesetaraan Gender, dan Goal Nomor 6 adalah tentang Air Bersih dan Sanitasi.

6. Kementerian Kesehatan mengalami proses reorganisasi pada tahun 2016 sesuai dengan Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 yang berakibat pada timbulnya perubahan struktur, nomenklatur unit kerja, serta pergeseran indikator kinerja di lingkungan Kementerian Kesehatan. Tak dipungkiri, proses penyesuaian terhadap perubahan ini mempengaruhi pelaksanaan program dan kegiatan Kementerian Kesehatan pada tahun 2016, termasuk dalam sinkronisasi dan penyelarasan indikator dalam berbagai dokumen perencanaan, penganggaran, dan evaluasi.

7. Isu penganggaran, khususnya terkait pengalihan mekanisme penganggaran

yakni pengalihan alokasi anggaran Tugas Pembantuan (TP) menjadi Dana Alokasi Khusus pada tahun 2016. Pola atau mekanisme baru ini berakibat pada penyesuaian kembali pola atau mekanisme perencanaan dan penganggaran dari unit-unit Kementerian Kesehatan yang sebelumnya memiliki alokasi anggaran TP.

D. Sistematika Laporan Kinerja 1. Bab I Pendahuluan

Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issue) yang sedang dihadapi organisasi.

2. Bab II Perencanaan Kinerja Bab ini menguraikan ringkasan/ikhtisar perjanjian kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2016.

3. Bab III Akuntabilitas Kinerja a. Capaian Kinerja Organisasi

5

Sub bab ini menyajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi.

b. Realisasi Anggaran Sub bab ini menguraikan tentang realisasi anggaran yang digunakan dan telah digunakan untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen Perjanjian Kinerja.

4. Bab IV Penutup Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.

6

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019

Kementerian Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan pada tanggal 29 September 2015. Peraturan baru ini berdampak pada terjadinya perubahan nomenklatur dan atau perubahan posisi sejumlah unit kerja dari kedudukannya semula sehingga menyebabkan ketidaksesuaian penempatan sejumlah indikator yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 sebelumnya. Sebagai langkah penyesuaian, Kementerian Kesehatan telah melakukan perubahan atau revisi dokumen Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 guna menyesuaikan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tersebut. Perubahan yang dilakukan tidak bersifat fundamental dan berskala makro namun lebih pada penyesuaian nomenklatur dan kedudukan indikator-indikator kinerja dalam Renstra agar lebih selaras dengan struktur organisasi yang baru. Dengan tetap memperhatikan visi dan misi Presiden, Kementerian Kesehatan kemudian menetapkan dua tujuan Kementerian Kesehatan pada Tahun 2015-2019, yaitu: 1) meningkatnya status kesehatan masyarakat; dan 2) meningkatnya daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan. Kedua tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak (impact atau outcome). Dalam rangka mencapai tujuan Kementerian Kesehatan, telah ditetapkan strategi Kementerian Kesehatan seperti dalam gambar berikut:

Gambar 2.1 Peta Strategi Kementerian Kesehatan

VISI

PRESIDENT1. MENINGKATNYA STATUS KESEHATAN

MASYARAKAT

Meningkatnya Kemandirian,

Akses & Mutu Sediaan Farmasi

(Obat, Vaksin, Biosimilar) & Alkes

Meningkatnya

Kesehatan

Masyarakat

Meningkatnya

Akses & Mutu

Fasyankes

Meningkatnya Jumlah, Jenis,

Kualitas, dan Pemerataan

Tenaga Kesehatan

SASARAN STRATEGIS

Meningkatnya

Kompetensi &

Kinerja Aparatur

Kemenkes

Meningkatnya

tata kelola

kepemerintahan yang

baik dan bersih

Meningkatnya

Sistem Informasi

Kes. Terintegrasi

ARAH

KEBIJAKAN

KEMENKES:

•Penguatan

primary

health care

(UKP dan

UKM)

•Continum of

care thru life

cycle

•Intervensi

berbasis

health risk

KERANGKA

REGULASI:

KERANGKA

PENDANAAN

PETA STRATEGI KEMENTERIAN KESEHATAN 2015-2019

PR

OG

RA

M G

EN

ER

IK &

TE

KN

IS K

EM

EN

TE

RIA

N

KERANGKA

KELEMBAGA

AN:

Peningkatan

Efektivitas

Organisasi

• Percepatan

Regulasi

• Penyempur-

naan Sistem

JKN

• Peningkatan

Pendanaan

Preventif &

Promotif

• Peningkatan

Efektivitas

Pembiayaan

Kesehatan

Meningkatnya

Pengendalian

Penyakit

Meningkatnya Dayaguna

Kemitraan (DN & LN)

Meningkatnya Integrasi

Perencanaan, Bimtek &

Monev

Meningkatnya

Sinergitas Antar

K/L Pusat &

Daerah

Meningkatnya

Efektivitas

Litbangkes

ARAH

KEBIJAKAN

& STRATEGI

NASIONAL

(RPJMN 2015-

2019)

LINGKUNGAN STRATEGIS: GLOBAL, REGIONAL, NASIONAL

T2. MENINGKATNYA RESPONSIVENESS &

PERLINDUNGAN MASYARAKAT THD

RISIKO SOSIAL & FINANSIAL DI BIDANG

KESEHATAN

KERANGKA

KELEMBAGAAN1 2 3

4 5

6

7

8 9 10

11 12

7

Strategi Kementerian Kesehatan disusun sebagai jalinan strategi dan tahapan-tahapan pencapaian tujuan Kementerian Kesehatan baik yang tertuang dalam Tujuan Satu (T1) maupun Tujuan Dua (T2). Kedua tujuan tersebut diarahkan dalam rangka pencapaian visi dan misi Presiden. Guna mencapai kedua tujuan tersebut, ditetapkanlah 12 Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan yang harus diwujudkan sebagai arah dan prioritas strategis dalam lima tahun mendatang. Kedua belas Sasaran Strategis tersebut membentuk suatu hipotesis jalinan sebab-akibat untuk mewujudkan tercapainya T1 dan T2. Dua belas Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek input (organisasi, sumber daya manusia, dan manajemen); 2) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek penguatan kelembagaan; dan 3) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek upaya strategic. A. Kelompok Sasaran Strategis (SS) pada aspek input adalah sebagai berikut:

1. SS1: Meningkatkan Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih Strategi untuk meningkatkan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih meliputi: a. Mendorong pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, ekonomis dan

ketaatan pada peraturan perundang-undangan. b. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan memperhatikan rasa

keadilan dan kepatutan. c. Mewujudkan pengawasan yang bermutu untuk menghasilkan Laporan

Hasil Pengawasan (LHP) sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan.

d. Mewujudkan tata kelola manajemen Inspektorat Jenderal yang transparan dan akuntabel.

2. SS2: Meningkatkan Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain: a. Menyusun standar kompetensi jabatan struktural untuk semua eselon b. Mengembangkan sistem kaderisasi secara terbuka di internal Kementerian

Kesehatan, misalnya dengan lelang jabatan untuk Eselon 1 dan 2.

3. SS3: Meningkatkan Sistem Informasi Kesehatan Terintegrasi Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: a. Mengembangkan “real time monitoring” untuk seluruh Indikator Kinerja

Program (IKP) dan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Kementerian Kesehatan.

b. Meningkatkan kemampuan SDM pengelola informasi di tingkat kab/kota dan provinsi sehingga profil kesehatan bisa terbit setiap bulan April.

B. Kelompok Sasaran Strategis (SS) pada aspek penguatan kelembagaan:

4. SS4: Meningkatkan Sinergitas Antar Kementerian/Lembaga

8

Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: a. Menyusun rencana aksi nasional program prioritas pembangunan

kesehatan. b. Membuat forum komunikasi untuk menjamin sinergi antar

Kementerian/Lembaga (K/L).

5. SS5: Meningkatkan Daya Guna Kemitraan (Dalam dan Luar Negeri) Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: a. Menyusun roadmap kerjasama dalam dan luar negeri. b. Membuat aturan kerja sama yang mengisi roadmap yang sudah disusun. c. Membuat forum komunikasi antar stakeholders untuk mengetahui

efektivitas kemitraan baik dengan institusi dalam maupun luar negeri.

6. SS6: Meningkatkan Integrasi Perencanaan, Bimbingan Teknis dan Pemantauan Evaluasi Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: a. Penetapan fokus dan lokus pembangunan kesehatan. b. Penyediaan kebijakan teknis integrasi perencanaan dan monitoring dan

evaluasi terpadu. c. Peningkatan kompetensi perencana dan pengevaluasi Pusat dan Daerah. d. Peningkatan kualitas dan pemanfaatan hasil monitoring dan evaluasi

terpadu.

7. SS7: Meningkatkan Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: a. Memperluas kerjasama penelitian dalam lingkup nasional dan internasional

yang melibatkan Kementerian/Lembaga lain, perguruan tinggi dan pemerintah daerah dengan perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan dan percepatan proses alih teknologi.

b. Menguatkan jejaring penelitian dan jejaring laboratorium dalam mendukung upaya penelitian dan sistem pelayanan kesehatan nasional.

c. Aktif membangun aliansi mitra strategic dengan Kementerian/Lembaga Non Kementerian, Pemda, dunia usaha dan akademisi.

d. Meningkatkan diseminasi dan advokasi pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan untuk kebutuhan program dan kebijakan kesehatan.

e. Melaksanakan penelitian dan pengembangan mengacu pada Kebijakan Kementerian Kesehatan dan Rencana Kebijakan Prioritas Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Tahun 2015-2019.

f. Pengembangan sarana, prasarana, sumber daya dan regulasi dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan.

C. Kelompok Sasaran Strategis (SS) pada aspek upaya strategic 8. SS8: Meningkatkan Kesehatan Masyarakat

Strategi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat mencakup pelayanan kesehatan bagi seluruh kelompok usia mengikuti siklus

9

hidup sejak dari bayi sampai anak, remaja, kelompok usia produktif, maternal, dan kelompok usia lanjut (Lansia), yang dilakukan antara lain melalui: a. Melaksanakan penyuluhan kesehatan, advokasi dan menggalang

kemitraan dengan berbagai pelaku pembangunan termasuk pemerintah daerah.

b. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan.

c. Meningkatkan jumlah dan kemampuan tenaga penyuluh kesehatan masyarakat/dan tenaga kesehatan lainnya dalam hal promosi kesehatan.

d. Mengembangkan metode dan teknologi promosi kesehatan yang sejalan dengan perubahan dinamis masyarakat.

9. SS9: Meningkatkan Pengendalian Penyakit

1) Untuk mengendalikan penyakit menular maka strategi yang dilakukan melalui:

a. Perluasan cakupan akses masyarakat (termasuk skrining cepat bila ada dugaan potensi meningkatnya kejadian penyakit menular seperti Mass Blood Survey untuk malaria) dalam memperoleh pelayanan kesehatan terkait penyakit menular terutama di daerah-daerah yang berada di perbatasan, kepulauan dan terpencil untuk menjamin upaya memutus mata rantai penularan.

b. Untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan penanggulangan penyakit menular dibutuhkan strategi innovative dengan memberikan otoritas pada petugas kesehatan masyarakat (Public Health Officer), terutama hak akses pengamatan faktor risiko dan penyakit dan penentuan langkah penanggulangannya.

c. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam membantu upaya pengendalian penyakit melalui community base surveillance berbasis masyarakat untuk melakukan pengamatan terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan masalah kesehatan dan melaporkannya kepada petugas kesehatan agar dapat dilakukan respon dini sehingga permasalahan kesehatan tidak terjadi.

d. Meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan dalam pengendalian penyakit menular seperti tenaga epidemiologi, sanitasi dan laboratorium.

e. Peningkatan peran daerah khususnya kabupaten/kota yang menjadi daerah pintu masuk negara dalam mendukung implementasi pelaksanaan International Health Regulation (IHR) untuk upaya cegah tangkal terhadap masuk dan keluarnya penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

f. Menjamin ketersediaan obat dan vaksin serta alat diagnostik cepat untuk pengendalian penyakit menular secara cepat.

2) Untuk penyakit tidak menular maka perlu melakukan deteksi dini secara proaktif mengunjungi masyarakat karena ¾ penderita tidak tahu kalau dirinya menderita penyakit tidak menular terutama pada para pekerja. Di

10

samping itu perlu mendorong kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS untuk menerapkan kawasan bebas asap rokok agar mampu membatasi ruang gerak para perokok.

3) Meningkatnya kesehatan lingkungan, strateginya adalah: a. Penyusunan regulasi daerah dalam bentuk peraturan Gubernur,

Walikota/Bupati yang dapat mengerakkan sektor lain di daerah berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan penyehatan lingkungan seperti peningkatan ketersediaan sanitasi dan air minum layak serta tatanan kawasan sehat.

b. Meningkatkan pemanfaatan tenologi tepat guna sesuai dengan kemampuan dan kondisi permasalahan kesehatan lingkungan di masing-masing daerah.

c. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam wirausaha sanitasi. d. Penguatan POKJA Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL)

melalui pertemuan jejaring AMPL, Pembagian peran SKPD dalam mendukung peningkatan akses air minum dan sanitasi.

e. Peningkatan peran Puskesmas dalam pencapaian kecamatan/kabupaten Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS) minimal satu Puskesmas memiliki satu Desa SBS.

f. Meningkatkan peran daerah potensial yang melaksanakan strategi adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim.

10. SS10: Meningkatkan Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan Untuk meningkatkan akses dan mutu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), maka upaya yang akan dilakukan adalah: a. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan sarana

prasarana dan alat kesehatan yang sesuai standar. b. Optimalisasi fungsi FKTP, dimana tiap kecamatan memiliki minimal satu

Puskesmas yang memenuhi standar. c. Mewujdukan dukungan regulasi yaitu melalui penyusunan kebijakan dan

NSPK FKTP. d. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan nakes antara lain melalui

penguatan konsep dan kompetensi Dokter Layanan Primer (DLP) serta nakes strategis.

e. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan ke Pemerintah Daerah dalam rangka penguatan manajemen Puskesmas oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

f. Mewujudkan sistem manajemen kinerja FKTP melalui instumen penilaian kinerja.

Untuk meningkatkan akses dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan rujukan, maka strategi yang akan dilakukan adalah: a. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan sarana

prasarana dan alat kesehatan di RS yang sesuai standar.

11

b. Mewujudkan penerapan sistem manajemen kinerja RS sehingga terjamin implementasi Patient Safety, standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan keperawatan.

c. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan untuk percepatan mutu pelayanan kesehatan serta mendorong RSUD menjadi BLUD.

d. Optimalisasi peran UPT vertikal dalam mengampu Fasyankes daerah. e. Mewujudkan berbagai layanan unggulan (penanganan kasus tersier) pada

Rumah Sakit rujukan nasional secara terintegrasi dalam academic health system.

f. Mewujudkan penguatan sistem rujukan dengan mengembangkan sistem regionalisasi rujukan pada tiap provinsi (satu rumah sakit rujukan regional untuk beberapa kabupaten/kota) dan sistem rujukan nasional (satu Rumah Sakit rujukan nasional untuk beberapa provinsi).

g. Mewujudkan kemitraan yang berdaya guna tinggi melalui program sister hospital, kemitraan dengan pihak swasta, KSO alat medis, dan lain-lain.

h. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan tenaga kesehatan.

11. SS11: Meningkatkan Jumlah, Jenis, Kualitas dan Pemerataan Tenaga Kesehatan Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: a. Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan berbasis Tim (Team Based). b. Peningkatan distribusi tenaga yang terintegrasi, mengikat, dan lokal

spesifik. c. Pengembangan insentif baik material dan non material untuk tenaga

kesehatan dan SDM Kesehatan. d. Peningkatan produksi SDM Kesehatan yang bermutu. e. Penerapan mekanisme registrasi dan lisensi tenaga dengan uji kompetensi

pada seluruh tenaga kesehatan. f. Peningkatan mutu pelatihan melalui akreditasi pelatihan. g. Pengendalian peserta pendidikan dan hasil pendidikan. h. Peningkatan pendidikan dan pelatihan jarak jauh. i. Peningkatan pelatihan yang berbasis kompetensi dan persyaratan jabatan. j. Pengembangan sistem kinerja.

12. SS12: Meningkatkan Akses, Kemandirian dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat

Kesehatan. Untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat dibutuhkan komitmen politik yang tinggi. Strategi yang perlu dilakukan dari berbagai upaya antara lain: a. Regulasi perusahaan farmasi memproduksi bahan baku dan obat

tradisional dan menggunakannya dalam produksi obat dan obat tradisional dalam negeri, serta bentuk insentif bagi percepatan kemandirian nasional.

b. Regulasi penguatan kelembagaan dan sistem pengawasan pre dan post market alat kesehatan.

12

c. Pokja Academy Business Government and Community (ABGC) dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan dalam negeri.

d. Regulasi penguatan penggunaan dan pembinaan industri alat kesehatan dalam negeri.

e. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan tenaga kesehatan tentang pentingnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan dalam negeri yang berkualitas dan terjangkau.

f. Mewujudkan Instalasi Farmasi Nasional sebagai center of excellence manajemen pengelolaan obat, vaksin dan perbekkes di sektor publik.

g. Memperkuat tata laksana HTA dan pelaksanaannya dalam seleksi obat dan alat kesehatan untuk program pemerintah maupun manfaat paket JKN.

h. Percepatan tersedianya produk generik bagi obat-obat yang baru habis masa patennya.

i. Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.

j. Menjadikan tenaga kefarmasian sebagai tenaga kesehatan strategis, termasuk menyelenggarakan program PTT untuk mendorong pemerataan distribusinya.

k. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional melalui penguatan manajerial, regulasi, edukasi serta sistem monitoring dan evaluasi.

Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan akan dicapai melalui 9 (sembilan) program, yaitu:

1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya; 2. Program Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu

Indonesia Sehat (KIS); 3. Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian

Kesehatan; 4. Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 5. Program Kesehatan Masyarakat; 6. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; 7. Program Pelayanan Kesehatan; 8. Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 9. Program Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia

Kesehatan.

Setiap Unit Eselon I akan bertanggung jawab terhadap satu program tersebut, kecuali Sekretariat Jenderal yang akan melaksanakan dua program. Pembagian tanggung jawab pelaksanaan program untuk setiap eselon I adalah sebagai berikut:

1. Sekretariat Jenderal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya serta Program Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS);

13

2. Inspektorat Jenderal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Kesehatan;

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;

4. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Kesehatan Masyarakat. ;

5. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;

6. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan;

7. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan;

8. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

B. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, Rencana Kerja, dan Rencana Kerja dan

Anggaran Tahun 2016 merupakan periode yang memunculkan kerumitan tersendiri bagi Kementerian Kesehatan dalam menyelaraskan perencanaan yang tercantum dalam dokumen perencanaan jangka menengah (Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019) dengan dokumen perencanaan tahunan (Rencana Kerja Pemerintah atau RKP, Rencana Kerja K/L atau Renja K/L, dan Rencana Kerja dan Anggaran K/L atau RKA-K/L). Aspek pertama terkait dengan terjadinya penataan organisasi sebagai konsekuensi terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan pada tanggal 29 September 2015. Regulasi ini menyebabkan beberapa hal, yakni: 1) tidak sinkronnya nomenklatur unit organisasi yang terdapat dalam Renstra dengan Permenkes tersebut; 2) penempatan indikator pada suatu unit kerja sebagaimana tercantum di dalam Renstra menjadi tidak selaras lagi dengan Permenkes tersebut; Sasaran yang menjadi indikator kinerja pada masing-masing 12 Sasaran Strategis sebagai berikut: 1. Sasaran Strategis Kesatu: Meningkatnya Kesehatan Masyarakat, dengan sasaran

yang akan dicapai adalah: a. Meningkatnya persentase persalinan di fasilitas kesehatan; b. Menurunnya persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik; c. Meningkatnya persentase kabupaten dan kota yang memiliki kebijakan

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

2. Sasaran Strategis Kedua: Meningkatnya Pengendalian Penyakit, dengan sasaran yang akan dicapai adalah:

14

a. Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan; b. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

tertentu; c. Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan

kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah; d. Menurunnya prevalensi merokok pada usia ≤ 18 Tahun.

3. Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dengan sasaran

yang akan dicapai adalah: a. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas yang terakreditasi; b. Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD yang terakreditasi.

4. Meningkatnya akses, kemandirian, dan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan,

dengan sasaran yang akan dicapai adalah: a. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas; b. Jumlah bahan baku obat, obat tradisional serta alat kesehatan yang diproduksi

di dalam negeri; c. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi

syarat.

5. Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas dan Pemerataan Tenaga Kesehatan, dengan sasaran yang akan dicapai adalah: a. Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan; b. Persentase RS kab/kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3

dokter spesialis penunjang; c. Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya.

6. Meningkatnya sinergitas antar Kementerian/Lembaga, dengan sasaran yang akan

dicapai adalah: a. Meningkatnya jumlah kementerian lain yang mendukung pembangungan

kesehatan; b. Meningkatnya persentase kab/kota yang mendapat predikat baik dalam

pelaksanaan SPM.

7. Meningkatnya daya guna kemitraan dalam dan luar negeri, dengan sasaran yang akan dicapai adalah: a. Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan; b. Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya

untuk mendukung kesehatan; c. Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan yang

diimplementasikan.

8. Meningkatnya integrasi perencanaan, bimbingan teknis dan pemantauan-evaluasi, dengan sasaran yang akan dicapai adalah: a. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan

terintegrasi dari berbagai sumber;

15

b. Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu.

9. Meningkatnya efektivitas penelitian dan pengembangan kesehatan, dengan sasaran yang akan dicapai adalah: a. Jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI; b. Jumlah rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan

kesehatan yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan;

c. Jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi masyarakat.

10. Meningkatnya tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih, dengan sasaran

yang akan dicapai adalah: a. Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian

negara ≤1%.

11. Meningkatnya kompetensi dan kinerja aparatur Kementerian Kesehatan, dengan sasaran yang akan dicapai adalah: a. Meningkatnya persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian

Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan; b. Meningkatnya persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai

kinerja minimal baik.

12. Meningkatnya sistem informasi kesehatan terintegrasi, dengan sasaran yang akan dicapai adalah: a. Meningkatnya persentase Kab/Kota yang melaporkan data kesehatan prioritas

secara lengkap dan tepat waktu; b. Persentase ketersediaan jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk

akses pelayanan e-health.

C. Perjanjian Kinerja Tahun 2016 Perjanjian Kinerja merupakan amanat dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Dokumen Perjanjian Kinerja merupakan dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja. Penjabaran Renstra Kementerian Kesehatan ke dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2016 beserta rincian indikator dan targetnya adalah sebagai berikut:

16

Tabel 2.1. Perjanjian Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2016

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target

(1) (2) (3) (4)

1 Meningkatnya Kesehatan Masyarakat

1 Persentase persalinan di fasilitas kesehatan

77%

2 Persentase ibu hamil kurang energi kronik

22.7%

3 Persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Kebijakan Perilaku Hidup Sehat dan Bersih

50%

4 Persentase Kab/Kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan

25%

2 Meningkatnyan Pengendalian Penyakit

1 Persentase penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu

10%

2 Persentase Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah

46%

3 Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun

6.4%

3 Meningkatnya akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehataan

1 Jumlah Kecamatan yang memiliki minimal 1 puskesmas yang terakreditasi

700

2 Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD yang terakreditasi

190

4 Meningkatnya akses, kemandirian, dan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan

1 Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas

80%

2 Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri

14

3 Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat

77%

5 Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas dan Pemerataan Tenaga Kesehatan

1 Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan

2.000

2 Persentase RS kab/kota kelas C yang 35%

17

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target

(1) (2) (3) (4)

memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang

3 Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya (kumulatif)

21.510

6 Meningkatnya sinergitas antar Kementerian/Lembaga

1 Jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan

40%

2 Persentase kab/kota yang mendapat predikat baik dalam pelaksanaan SPM

45%

7 Meningkatnya daya guna kemitraan dalam dan luar negeri

1 Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan

8

2 Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung kesehatan

6

3 Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan yang diimplementasikan

9

8 Meningkatnya integrasi perencanaan, bimbingan teknis dan pemantauan-evaluasi

1 Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai sumber

16

2 Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu

34

9 Meningkatnya efektivitas penelitian dan pengembangan kesehatan

1 Jumlah hasil penelitian yang didaftarkanHKI

8

2 Jumlah rekomendasi dan kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan kesehatan yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan

24

3 Jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi masyarakat

3

10 Meningkatnya tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih

Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian Negara ≤ 1%

91%

18

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target

(1) (2) (3) (4)

11 Meningkatnya kompetensi dan kinerja aparatur Kementerian Kesehatan

1 Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan

70%

2 Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik

85%

12 Meningkatnya sistem informasi kesehatan integrasi

1 Persentase Kab/Kota yang melaporkan data kesehatan prioritas secara lengkap dan tepat waktu

40%

2 Persentase tersedianya jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk akses pelayanan e-health

20%

Jumlah anggaran yang dialokasikan pada Tahun 2016 untuk mencapai seluruh sasaran tersebut adalah Rp47.758.757.903.000,00 (empat puluh tujuh triliun tujuh ratus lima puluh delapan miliar tujuh ratus lima puluh tujuh juta Sembilan ratus tiga ribu rupiah).

19

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA A. Capaian Kinerja Organisasi

Capaian kinerja organisasi Kementerian Kesehatan pada tahun 2016 akan diuraikan menurut Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan. Sebagaimana disebutkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019, terdapat 12 Sasaran Strategis yang akan dicapai oleh Kementerian Kesehatan dalam kurun waktu lima tahun. Uraian capaian kedua belas Sasaran Strategis tersebut adalah sebagai berikut:

1) Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Kesehatan Masyarakat

Sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, maka Kementerian Kesehatan bertugas untuk terus mengupayakan peningkatan status kesehatan masyarakat. Kondisi atau status kesehatan masyarakat dapat digambarkan melalui indikator-indikator yang bersifat dampak (impact atau outcome), yakni Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), serta tingkat atau persentase Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Namun dalam Laporan Kinerja ini, karena hasil pengukuran indikator-indikator tersebut hanya dapat diperoleh melalui suatu survey pada populasi atau masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak setiap tahun diselenggarakan, maka indikator yang digunakan adalah indikator antara (proxy) yang relevan dengan sasaran strategis dimaksud.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

empat Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 3.1 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 1:

Meningkatnya Kesehatan Masyarakat

SS1: Meningkatnya Kesehatan Masyarakat

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

1a. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan 77% 77,3% 100,4%

1b. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) 22,7% 16,2% 140,1%

1c. Persentase kabupaten dan kota yang memiliki kebijakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

50% 53, 3% 106,6%

1d. Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan

25% 33,5% 133,8%

Uraian tentang keempat IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan Pertolongan persalinan merupakan bagian dari proses pelayanan persalinan. Guna mendapatkan hasil yang optimal, pelayanan persalinan memerlukan penanganan oleh tenaga kesehatan (dokter/bidan) dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. IKU ini bertujuan untuk menjamin setiap ibu bersalin

20

memperoleh pelayanan persalinan yang sesuai standar sehingga pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan dihitung dengan formulasi sebagai berikut: Jumlah ibu bersalin di wilayah kerja Puskesmas yang mendapat pertolongan

sesuai standar oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dalam kurun waktu satu tahun

X 100%

Jumlah sasaran ibu bersalin yang ada di wilayah kerja Puskesmas dalam kurun waktu satu tahun yang sama

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) memperlihatkan bahwa cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan atau Pf menunjukkan tren positif. Pada tahun 2007, data Riskesdas menyatakan cakupan persalinan di fasilitas kesehatan mencapai 41,6%, meningkat menjadi 56,8% pada tahun 2010, dan terus meningkat menjadi 70,4% pada tahun 2013. Pada tahun 2014, berdasarkan hasil pengumpulan data rutin pada Direktorat Bina Kesehatan Ibu Kementerian Kesehatan diperoleh angka cakupan persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 73,3%. Dari data-data tersebut, Kementerian Kesehatan menetapkan target cakupan persalinan di fasilitas kesehatan tahun 2016 sebesar 77,3%.

Berdasarkan hasil pelaporan data rutin pada Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan pada akhir tahun 2016 mencapai 77,3%. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator kinerja persalinan di fasilitas dinilai baik karena telah berhasil mencapai target yang ditetapkan sebesar 77%. Hasil cakupan di setiap provinsi terlihat pada grafik berikut.

21

Grafik 3.1 Cakupan Persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan per provinsi Tahun 2016

Dibalik pencapaian cakupan persalinan di fasilitas kesehatan pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil realisasi kinerja dengan kriteria baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu:

1. Penyelenggaraan Kelas Ibu Hamil di Puskesmas. Kelas Ibu Hamil adalah kelompok belajar yang pesertanya adalah para ibu hamil dengan jumlah peserta maksimal sepuluh orang. Fasilitator Kelas Ibu Hamil adalah bidan atau tenaga kesehatan dengan menggunakan perlengkapan atau paket Kelas Ibu Hamil yang meliputi Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA), Flip Chart atau Lembar Balik, Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil, dan Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil. Metoda pelaksanaannya berupa kegiatan tatap muka dalam kelompok untuk belajar bersama dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu hamil mengenai kehamilan, persalinan, nifas, Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan, pencegahan komplikasi, perawatan bayi baru lahir dan aktivitas fisik atau senam ibu hamil.

2. Pelaksanaan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) oleh Puskesmas Titik berat kegiatan P4K adalah monitoring ibu hamil dan bersalin sebagai deteksi dini guna menghindari terjadinya risiko kesehatan pada ibu hamil dan bersalin. Bidan berperan sebagai fasilitator yang membangun komunikasi persuasif dan setara di wilayah kerjanya guna mewujudkan kerjasama dengan ibu, keluarga, dan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan menyadarkan masyarakat bahwa

22

persalinan di fasilitas kesehatan akan menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.

3. Pemberian pelayanan antenatal minimal 4 kali pada ibu hamil Pelayanan antenatal adalah pelayanan yang diberikan kepada ibu hamil ketika melakukan pemeriksaan kehamilan. Pelayanan antenatal lengkap tediri dari: a) timbang badan dan ukur tinggi badan; b) ukur tekanan darah; c) menilai status gizi (ukur lingkar lengan atas atau LiLA); d) ukur tinggi fundus uteri; e) tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin; f) skrining status imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan pemberian imunisasi TT bila diperlukan; g) pemberian tablet besi atau Tablet Tambah Darah (TTD) sebanyak 90 tablet selama kehamilan; h) tes laboratorium sederhana (tes golongan darah, Hemoglobin atau Hb, Glucoprotein Urin) dan atau tes laboratorium berdasarkan indikasi (HbsAg, Sifilis, HIV, Malaria, TB); i) tata laksana kasus; dan j) temu wicara atau konseling, termasuk P4K dan KB Pasca Persalinan (KB PP). Melalui kegiatan ini diharapkan dapat dideteksi secara dini adanya masalah, gangguan, atau kelainan dalam kehamilan sehingga dapat dilakukan penanganan dengan cepat dan tepat.

4. Pelaksanaan sosialisasi pentingnya persalinan di fasilitas kesehatan hingga ke tingkat Puskesmas.

5. Penerbitan dan penerapan regulasi Pemerintah Daerah (Pemda) yang mendukung persalinan di fasilitas kesehatan.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah:

1. Berdasarkan data cakupan persalinan di fasilitas kesehatan per provinsi pada tahun 2016, masih terlihat adanya disparitas atau kesenjangan antar provinsi. Terdapat sepuluh provinsi yang berhasil mencapai cakupan persalinan di fasilitas kesehatan lebih tinggi dari rata-rata nasional, dengan Provinsi Jawa Timur sebagai provinsi yang tertinggi cakupannya yaitu sebesar 95,9%. Pada sisi lain, 20 provinsi lainnya masih berada di bawah cakupan nasional, dengan tiga provinsi yang memiliki cakupan paling rendah adalah Provinsi Maluku (10,3%), Provinsi Maluku Utara (17,8%), dan Provinsi Papua (26,5%).

2. Masih belum meratanya distribusi tenaga kesehatan di Indonesia,

khususnya di wilayah-wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. 3. Keadaan geografis di wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan

menyulitkan masyarakat, khususnya ibu hamil untuk dapat mengakses fasilitas kesehatan.

23

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Program Kemitraan Bidan dan Dukun. Program tersebut

mendorong terciptanya kejelasan peran dan tugas antara bidan dan dukun dengan tujuan akhir mewajibkan persalinan dirujuk ke bidan dan tidak lagi dilaksanakan oleh dukun.

2. Upaya lain adalah dengan penyelenggaraan Rumah Tunggu Kelahiran, yakni suatu tempat atau rumah yang berlokasi di dekat fasilitas kesehatan yang disediakan bagi ibu hamil yang telah mendekati waktu persalinannya. Selama menunggu kelahirannya, ibu hamil akan mendapat pemantauan, pemeriksaan dan perawatan dari tenaga kesehatan.

Grafik 3.2 Target dan Realisasi Persentase Persalinan di Fasilitas Kesehatan Tahun 2015-2016

Bila dilihat perbandingan capaian persalinan di fasilitas kesehatan pada beberapa tahun seperti tergambar pada grafik III-2, terlihat bahwa persentase persalinan di fasilitas kesehatan pada tahun 2016 lebih rendah dibandingkan tahun 2015. Capaian yang lebih rendah pada tahun 2016 disebabkan belum lengkapnya data cakupan persalinan di fasilitas kesehatan dari seluruh wilayah di Indonesia ketika Laporan Kinerja ini disusun. Dengan demikian, ketika seluruh data telah terkumpul masih mungkin terjadi peningkatan cakupan persalinan di fasilitas kesehatan.

Pada grafik III-3 dapat dilihat pula bahwa dengan hasil capaian pada tahun 2016 yang masih on track serta tren data Riskesdas tahun-tahun sebelumnya yang menunjukkan kecenderungan meningkat, dapat diperkirakan target pada tahun 2019 sebesar 85% (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) masih mungkin tercapai. Untuk menjamin terpenuhinya hal tersebut, maka ke depan perlu terus dilakukan pendampingan ke daerah-daerah serta secara konsisten menerapkan “sistem pelaporan satu pintu”.

24

Grafik 3.3 Persentase Persalinan di Fasilitas Kesehatan Tahun 2015-2019

b. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) Kurang Energi Kronik (KEK) salah satu keadaan malnutrisi yang berlangsung menahun (kronik). Keadaan KEK terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa jenis zat gizi yang dibutuhkan. Penyebabnya adalah jumlah zat gizi yang dikonsumsi kurang, mutunya rendah atau keduanya. Pada ibu hamil, KEK dapat menyebabkan risiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Keadaan KEK harus segera ditindaklanjuti agar tidak menyebabkan terjadinya BBLR. Dengan mengurangi kejadian BBLR maka risiko kematian bayi atau neonatal dapat diturunkan. Semakin rendah cakupan persentase ibu hamil KEK dari target yang ditetapkan, maka semakin baik capaian indikator. Persentase ibu hamil KEK dihitung dengan formulasi sebagai berikut: Jumlah ibu hamil yang diukur lingkar lengan atasnya dengan menggunakan

pita LiLA dengan hasil kurang dari 23,5 cm pada periode tertentu X 100%

Jumlah ibu hamil yang diukur lingkar lengan atasnya pada periode tertentu

Penetapan target indikator ini disusun berdasarkan data Riskesdas Tahun 2013 yang menunjukkan persentase ibu hamil KEK sebesar 24,2%. Angka ini kemudian ditetapkan sebagai target persentase ibu hamil KEK pada tahun 2015. Dengan menetapkan asumsi bahwa persentase ibu hamil KEK akan turun 1,5% setiap tahunnya, dimana pada tahun 2016 ditargetkan sebesar 22,7%, sehingga di tahun 2019 persentase ibu hamil KEK diharapkan menjadi 18,2%. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG), diketahui persentase ibu hamil KEK pada tahun 2016 adalah sebesar 16,2%. Hasil ini dinilai masih cukup baik karena berada di bawah target yang ditetapkan pada tahun 2016.

25

Capaian kinerja pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan atau faktor, yaitu: 1. Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan tambahan.

Pada tahun 2016, Kementerian Kesehatan hanya dapat menargetkan 50% ibu hamil KEK di Indonesia dapat memperoleh makanan tambahan karena terbatasnya alokasi anggaran (APBN) yang tersedia. Namun dengan komitmen dan kerja keras semua pihak terkait, hasil capaiannya ternyata mampu melebihi yang ditargetkan, yaitu sebesar 79,1% ibu hamil KEK mendapat makanan tambahan. Perkembangan atau tren cakupan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil KEK menunjukkan tren yang positif seperti terlihat pada grafik berikut.

Grafik 3.4 Tren Realisasi Pemberian PMT Ibu Hamil KEK dibandingkan

Target Pemberian PMT Ibu Hamil KEK Tahun 2015-2019

13%

50%

65%

80%

95%

36%

79,10%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2015 2016 2017 2018 2019

Target

Realisasi

2. Persentase ibu hamil yang mendapat tablet tambah darah (TTD).

Zat besi dan asam folat merupakan salah satu zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh ibu hamil. Bahkan sebelum kehamilan, seorang wanita direkomendasikan untuk mencukupi kebutuhan zat besinya. Kekurangan zat besi dan asam folat pada ibu hamil dapat menimbulkan anemia. Anemia pada ibu hamil berisiko terhadap terjadinya hambatan pertumbuhan janin sehingga bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan risiko tinggi terjadinya neural tube defect (NTD), perdarahan pada saat persalinan, dan dapat berlanjut setelah persalinan yang dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya. Kementerian Kesehatan telah menyadari risiko tersebut dan telah menetapkan langkah pencegahan terjadinya anemia gizi besi. Salah satu upayanya adalah dengan upaya pemberian tablet tambah darah kepada ibu hamil. Tablet tambah darah (Tablet Fe) adalah tablet besi folat yang setiap tabletnya mengandung 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat. Selama kehamilan, seorang ibu hamil mendapat minimal 90 tablet.

26

Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilaksanakan tahun 2015 cakupan ibu hamil yang mendapat TTD 90 tablet selama kehamilannya mencapai 75,4%, sedangkan ditahun 2016 mengalami peningkatan menjadi 80,4% (ada kenaikan 5%). Perbandingan target dan hasil capaian pada tahun 2015 dan 2016 serta target hingga tahun 2019 dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik 3.5 Tren Capaian Pemberian TTD pada Ibu Hamil dibandingkan Target Pemberian TTD pada Ibu Hamil Tahun 2015-2019

82%85%

90%95%

98%

75.40%80.40%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

2015 2016 2017 2018 2019

Target Realisasi

Hasil capaian ibu hamil yang mendapat TTD 90 tablet selama kehamilannya memperlihatkan tren peningkatan realisasi dari tahun 2015-2016, namun masih dibawah target pertahunnya. Kementerian Kesehatan akan terus berupaya untuk mendorong tercapainya target ibu hamil yang mendapatkan TTD pada akhir tahun 2019.

3. Penyelenggaraan Kelas Ibu Hamil dan pelayanan antenatal di Puskesmas.

Kelas Ibu Hamil serta pelayanan antenatal dapat menjadi sarana sosialisasi akan pentingnya mengkonsumsi gizi seimbang dan tablet tambah darah selama kehamilan serta pemantauan kepatuhan ibu hamil untuk mengkonsumsi TTD.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Data ibu hamil di Indonesia sebagai sasaran program masih perlu divalidasi.

2) Pengetahuan serta kesadaran ibu hamil dan remaja putri tentang gizi

seimbang masih belum memadai.

27

3) Terbatasnya alokasi anggaran untuk penyediaan PMT dan TTD bagi ibu hamil dan remaja putri.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut

1) Pelaksanaan validasi data ibu hamil yang membutuhkan makanan tambahan (PMT);

2) Pemberian konseling kepada ibu hamil tentang gizi seimbang;

3) Penyediaan PMT dan TTD sesuai jumlah ibu hamil yang menjadi sasaran

atau target;

4) Peningkatan status kesehatan remaja putri sebagai calon ibu melalui kegiatan pemberian TTD dan pendidikan tentang gizi seimbang.

Perbandingan capaian kinerja pada tahun 2015 dan tahun 2016 dapat dilihat pada grafik berikut. Terlihat bahwa ketika target turun, cakupan realisasi Ibu Hamil KEK justru meningkat dari 13,3% pada tahun 2015 menjadi 16,2%.

Grafik 3.6 Perbandingan Target dan Capaian Persentase Ibu Hamil KEK Tahun 2015-2016

Hasil capaian persentase ibu hamil KEK dibandingkan target pada tahun 2015-2019 dapat dilihat pada grafik berikut.

28

Grafik 3.7 Tren Realisasi dibandingkan Target Cakupan Ibu Hamil KEK Tahun 2015-2019

Sumber data: Pemantauan status gizi tahun 2015 dan tahun 2016

Berdasarkan grafik diatas persentase ibu hamil KEK diperoleh dari Pemantauan Status Gizi. Capaian pada tahun 2015 dan tahun 2016 masih cukup baik karena berada di bawah target tahunannya. Namun capaian pada tahun 2016 ternyata lebih tinggi dibandingkan tahun 2015, hal Ini perlu menjadi perhatian untuk memenuhi target tahun 2019. Dari aspek metodologi survei, dapat diperoleh penjelasan terjadinya peningkatan persentase ibu hamil KEK pada tahun 2016 bila dibandingkan dengan tahun 2015. Faktor dalam metodologi survei yang menyebabkan peningkatan persentase ibu hamil KEK pada tahun 2016 adalah terkait dengan pengambilan sampel. Pada tahun 2015, sampel yang disurvei hanya ibu hamil yang ditemukan di rumah tangga yang mempunyai balita dengan jumlah kurang lebih 5.000 ibu hamil. Sedangkan pada tahun 2016, sampel ibu hamil tidak hanya di rumah tangga yang mempunyai balita namun wajib dicari di setiap klaster termasuk yang berada di luar rumah tangga sampel. Jumlah sampel pun meningkat menjadi 53.000 ibu hamil. Faktor berikutnya terkait dengan penetapan Standard Error (SE) Perbedaan jumlah dan metoda pengambilan sampel menyebabkan terjadinya perbedaan SE. SE berhubungan dengan validitas hasil survei. Semakin tinggi SE berarti semakin rendah validitas hasil suatu survei. Pada tahun 2015 survei menggunakan SE lebih tinggi dibandingkan SE yang diterapkan pada tahun 2016. Dengan demikian, hasil survei pada tahun 2016 lebih valid bila dibandingkan dengan hasil survei tahun 2015. Untuk itu, capaian persentase ibu hamil KEK pada tahun 2015 tidak dapat dibandingkan seutuhnya dengan capaian persentase ibu hamil KEK pada tahun 2016.

29

c. Persentase kabupaten dan kota yang memiliki kebijakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang biasa disingkat PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang, keluarga, atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan. Meskipun PHBS mencakup hal yang sangat luas, misalnya istirahat cukup, buang sampah pada tempatnya, hingga mengendalikan emosi, namun lingkup PHBS dalam indikator ini dibatasi dalam sepuluh indikator PHBS yang diterapkan di rumah tangga, yaitu: 1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2. Pemberian ASI ekslusif pada bayi; 3. Penimbangan bayi dan Balita setiap bulan; 4. Menggunakan air bersih; 5. Mencuci tangan memakai sabun;

Gambar 3.1 Kegiatan PHBS

6. Menggunakan jamban sehat; 7. Memberantas jentik nyamuk; 8. Makan buah dan sayur setiap hari; 9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari; dan 10. Tidak merokok di dalam rumah.

Penetapan IKU dalam Renstra didasarkan pada data Riskesdas Tahun 2013 yang memperlihatkan rendahnya kesadaran masyarakat untuk selalu menjaga kesehatan diri dan lingkungan sekitarnya. Data Riskesdas 2013 menunjukkan hanya 55% rumah tangga di Indonesia yang mempraktikan PHBS. Rendahnya kesadaran masyarakat ini berhubungan dengan paradigma masyarakat Indonesia yang memandang masalah kesehatan dari aspek kuratif saja. Paradigma semacam ini pun masih dijumpai pada sebagian penyelenggara pemerintahan dan stakeholder pembangunan di daerah. Paradigma ini terlihat pada kebijakan publik yang diterbitkan dan alokasi anggaran kesehatan yang lebih menitikberatkan pada aspek kuratif. Berdasarkan kenyataan di atas, IKU ini bertujuan untuk mendukung penerapan PHBS melalui penerbitan kebijakan atau regulasi di daerah (kabupaten/kota). IKU ini bersifat positif, semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

30

Capaian indikator ini dihitung dengan cara sebagai berikut:

Jumlah kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS (dapat berupa Peraturan Daerah, Peraturan Bupati/Walikota, Instruksi Bupati/Walikota, Surat Keputusan Bupati/Walikota, Surat Edaran/Himbauan Bupati/Walikota) pada tahun tertentu

X 100%

Jumlah seluruh kabupaten/kota pada tahun tersebut

Berdasarkan data Riskesdas Tahun 2013 yang memperlihatkan bahwa cakupan rumah tangga yang mempraktikkan PHBS sebesar 55%, maka disusunlah target capaian persentase kabupaten dan kota yang memiliki kebijakan PHBS pada tahun 2015 sebesar 40% yang akan meningkat hingga 80% pada akhir tahun 2019. Menindaklanjuti hasil Riskesdas Tahun 2013, rumah tangga yang melakukan PHBS disesuaikan menjadi cakupan kabupaten/kota yang mengeluarkan kebijakan PHBS. Di Tahun 2016 Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 274 kabupaten/kota atau 53,3% (dari 514 kabupaten/kota). Hasil tersebut telah melampaui target yang ditetapkan pada tahun 2016 sebesar 50%. Hasil capaian di setiap provinsi terlihat pada grafik berikut.

Grafik 3.8 Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Kebijakan PHBS di Masing-Masing Provinsi Tahun 2016

23

33

19

1211

10

1715

7 78

6

27

35

5

38

910

22

14 1413

10

5

1513

17

25

6 6

1110

29

14

9

1210

7 79 9

14

6

34

3

13

34

5

18

9 9

46 6

9

42

57

4

22

65

8

21

2

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Ace

h

Sum

atera U

tara

Sum

atera B

arat

Riau

Jam

bi

Be

ngku

lu

Sum

atera Se

latan

Lamp

un

g

Ba

be

l

Ke

pri

Ba

nte

n

DK

I Jakarta

Jaw

a Ba

rat

Jaw

a Ten

gah

DI Y

ogyakarta

Jaw

a Timu

r

Ba

li

NTB

NTT

Kalb

ar

Kalte

ng

Kalse

l

Kaltim

Kaltara

Sulu

t

Sulte

ng

Sultra

Sulse

l

Sulb

ar

Go

ron

talo

Ma

luku

Ma

lut

Pap

ua

Pap

ua B

arat

Jumlah Kab/Kota Kab/Kota yang memiliki kebijakan PHBS

Hasil pencapaian pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, ditunjang oleh sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Penguatan teknis dan pendampingan pelaksanaan kegiatan promosi

kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di daerah. 2) Peningkatan kapasitas tenaga promosi kesehatan di daerah.

31

3) Pelaksanaan advokasi terhadap pemerintah daerah.

Meski hasilnya cukup baik, terdapat tantangan yang harus diatasi guna mencapai target 80% kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS pada akhir tahun 2019. Tantangan tersebut adalah: 1) Adanya pemekaran daerah yang belum akan berhenti pada waktu dekat. 2) Komitmen kepala daerah terhadap masalah kesehatan selain masalah

kuratif atau pengobatan orang sakit.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan meningkatkan koordinasi dengan lintas sektor terkait, untuk memperkuat advokasi terkait kebijakan PHBS di pusat dan daerah.

Hasil capaian persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS dibandingkan target pada tahun 2015-2019 dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik 3.9 Tren Realisasi dibandingkan Target Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Kebijakan PHBS Tahun 2015-2019

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

2015 2016 2017 2018 2019

40

%

50

%

60

%

70

% 80

%

44

%

53

.30

%

Target Capaian

Dari grafik di atas, tren capaian persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS menunjukkan kecenderungan hasil yang positif. Namun demikian, dalam rangka mencapai target kinerja pada akhir tahun 2019 masih memerlukan kerja keras dan komitmen bersama.

d. Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan Lingkungan memiliki kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat selain faktor-faktor perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan, serta faktor genetika atau keturunan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik fisik, kimia,

32

biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan pada kabupaten/kota dapat dicapai dengan kriteria minimal empat dari enam kriteria yang meliputi: 1) Memiliki desa/kelurahan yang melaksanakan STBM minimal 20%. 2) Menyelenggarakan kabupaten/kota sehat. 3) Melakukan pengawasan kualitas air minum minimal 30%. 4) Tempat penyedia makanan (TPM) memenuhi syarat kesehatan minimal 8%. 5) Tempat-tempat umum (TTU) memenuhi syarat kesehatan minimal 30%. 6) RS melaksanakan pengelolaan limbah medis minimal 10%.

Dengan adanya peningkatan kualitas kesehatan lingkungan akan mendorong tercapainya lingkungan yang sehat mulai dari kualitas air minum, penyediaan makanan dan tempat-tempat umum termasuk pengelolaan limbah medis di rumah sakit. IKU akan dianggap semakin baik bila capaian lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas lingkungan dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan

dalam kurun waktu satu tahun X 100%

Jumlah seluruh kabupaten/kota dalam kurun waktu satu tahun yang sama

Capaian kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan pada akhir tahun 2016 mencapai 33,5% dari target yang ditetapkan tahun 2016 sebesar 20%. Realisasi persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan per provinsi dapat dilihat pada grafik berikut.

33

Gambar 3.2 Peta Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan (IKU) Per Propinsi Tahun 2016

Pada tahun 2016, dari 514 kab/kota terdapat 172 kab/kota telah memenuhi kualitas kesling. Terdapat 5 propinsi (15 %) yang berada di zona hijau (76-100 % kab/kota di propinsi tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Gorontalo, DIY, Sumatera Barat, Jambi dan NTB; 8 propinsi (24 %) berada di zona kuning (51-75 % kab/kota di propinsi tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Riau, Kep. Bangka Belitung, Jawa Barat, Banten, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat; 8 propinsi (24 %) berada di zona oranye (26-50 % kab/kota di propinsi tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Bengkulu, Kep. Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara; dan terakhir 13 propinsi (37 %) masih berada di zona merah (0-25 % kab/kota di propinsi tersebut memenuhi kualitas kesling). Dibalik pencapaian persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Pelaksanaan review Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) guna

menyesuaikan dengan perkembangan kondisi yang terjadi, antara lain review Permenkes Nomor 736 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengawasan Kualitas Air Minum. Merevisi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pasar Sehat yang lebih bersifat mengikat secara internal Kementerian Kesehatan menjadi Peraturan Menteri Kesehatan yang lebih dapat mengikat secara eksternal.

34

2) Melengkapi NSPK yang diperlukan, seperti a) Juknis Pelaksanaan RPAM Komunal; b) Modul Monev PKAM; c) Modul Teknis Penyehatan Air; d) Pedoman Standar Peralatan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas; e) Modul Pelatihan Radioland; f) Juknis PP; g) Pedoman Pengamanan Pestisida terhadap Kesehatan; h) Standar Baku Mutu Biomarker; dan i) Pedoman Pengamanan Dampak Radiasi.

3) Peningkatan kapasitas petugas untuk pelaksanaan kegiatan kesehatan lingkungan melalui kegiatan Orientasi Teknis Penyehatan Air, Workshop Healthy and Green Building Office (Kantor Sehat), Pelatihan Pra Kedaruratan Bidang Kesehatan Lingkungan/Kejadian Luar Biasa (KLB), Capacity Building Bidang Radiasi, Training of Trainer (ToT) Inspektur HSP (Hygiene Sanitasi Pangan) yang kompeten.

4) Pemberian dukungan sarana dan prasarana kepada dinas kesehatan

kabupaten/kota, Puskesmas, dan Kelompok Kerja (Pokja) Pasar yang terpilih berdasarkan usulan. Sarana prasarana yang diberikan mencakup: a) sanitasi kesehatan lingkungan kit sebanyak 345 paket; b) penguji kualitas air (water test kit) sebanyak 76 paket; c) uji keamanan pangan (food contamination kit dan food security VVIP kit) sebanyak 39 paket; d) sarana supply sanitasi (cetakan jamban) sebanyak 283 paket; e) peralatan radioland sebanyak 10 paket; f) alat pembersih pasar dan alat pelindung diri sebanyak 10 paket; g) alat kedaruratan kesehatan lingkungan (alat penjernih udara) sebanyak 11 paket; h) bufferstock kedaruratan kesehatan lingkungan sebanyak 11 paket.

5) Dukungan anggaran kepada daerah melalui pengalokasian anggaran

Dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pelaksanaan kegiatan kesehatan lingkungan.

6) Pengembangan jejaring lintas program dan sektor guna mendukung pelaksanaan kesehatan lingkungan, termasuk menjalin kemitraan dengan TNI, Majelis Ulama Indonesia, PKK, dan Pramuka.

7) Penerbitan Surat Edaran yang mewajibkan setiap kabupaten atau kota mengadopsi satu pasar untuk Percontohan Pasar Sehat.

8) Menyelenggarakan kegiatan penilaian untuk memberi semangat pelaksanaan kegiatan kesehatan lingkungan di daerah, seperti penilaian kabupaten/kota sehat, lingkungan bersih sehat, kantor sehat, sekolah sehat, kantin sehat, pelabuhan sehat, toilet sehat, dan sebagainya.

9) Pembangunan sistem monitoring yang berkualitas dan akuntabel melalui sistem monitoring berbasis jaringan (web based) dan sms gateway.

35

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Jumlah dan mutu tenaga kesehatan lingkungan di Puskesmas masih

kurang. Hal ini dipersulit dengan seringnya terjadi mutasi tenaga kesehatan di kabupaten/kota.

2) Sarana dan prasarana untuk mendukung pembinaan dan pengawasan kesehatan lingkungan masih kurang.

3) Kualitas jaringan internet di kabupaten/kota yang masih belum stabil dan merata menyebabkan implementasi sistem pelaporan berbasis internet kurang optimal.

4) Pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesehatan lingkungan masih kurang.

Upaya atau alternatif solusi Kementerian Kesehatan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pembinaan, sosialisasi terpadu terkait kegiatan kesehatan lingkungan,

termasuk meningkatkan kapasitas petugas atau tenaga kesehatan.

2) Penyediaan dukungan sarana dan prasarana termasuk pengalokasian anggaran dekonsentrasi dan DAK guna mendukung kegiatan kesehatan lingkungan di daerah.

3) Sosialisasi dalam rangka pemantapan implementasi sistem monev pelaporan kesehatan lingkungan berbasis elektronik, termasuk menguatkan jejaring dengan lintas program dan lintas sektor terkait.

4) Melanjutkan kegiatan penilaian ke daerah untuk meningkatkan perhatian dan awareness atau kesadaran Pemda dan masyarakat tentang kesehatan lingkungan.

36

Grafik 3.10 Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota Yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019

Pada tahun 2016, target indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi

Kualitas Kesehatan Lingkungan sebesar 25 % dan realisasi indikator tersebut

sebesar 33.5 %. Itu berarti pada tahun 2016, realisasi indikator telah mencapai

target indikator yang ditetapkan. Pada tahun 2015, target indikator tersebut

sebesar 20 % dan realisasi indikator tersebut sebesar 27.6 %. Itu berarti pada

tahun 2015, realisasi indikator tersebut juga telah mencapai target indikator

yang ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa trend realisasi indikator

tersebut senantiasa mencapai target indikator setiap tahunnya.

2) Sasaran Strategis 2: Meningkatnya Pengendalian Penyakit

Angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) sangat berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa beban ganda penyakit atau burden of disease. Beban tersebut ditimbulkan dari masih tingginya kejadian penyakit menular dan pada saat yang sama kejadian penyakit tidak menular menunjukkan kecenderungan semakin meningkat. Guna menjawab tantangan permasalahan tersebut, maka Kementerian Kesehatan telah menetapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit. Langkah-langkah pencegahan tersebut selanjutnya dirumuskan menjadi sejumlah indikator-indikator untuk mengukur capaian kinerjanya.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

tiga Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

37

Tabel 3.2 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 2: Meningkatnya Pengendalian Penyakit

SS2: Meningkatnya Pengendalian Penyakit

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

2a. Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

10% 50,26% 502,6%

2b. Persentase Kab/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah

46% 47,17% 102,5%

2c. Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤18 Tahun

6,4% 8,8% 62,5%

Uraian tentang keempat IKU tersebut adalah sebagai berikut:

1. Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan komitmen global salah satunya adalah Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). PD3I yang saat ini menjadi program prioritas pemerintah adalah Tuberculosis, Hepatitis B, Polio, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hemophilus influenza type B serta campak, yang beberapa diantaranya sering menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) dibeberapa daerah. Pencegahan dan pengendalian PD3I dilakukan dengan dua intervensi utama yaitu imunisasi dan surveilans. Imunisasi merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti sangat cost effective. Pada tanggal 27 Maret 2014 Regio Asia Tenggara telah mendeklarasikan pernyataan bebas polio dimana Indonesia termasuk salah satu negara yang menerima sertifikat tersebut. Eradikasi polio merupakan kesepakatan internasional yang ditetapkan sebagai salah satu resolusi dalam sidang World Health Assembly (WHA) Mei 1988 untuk dicapai secara global pada tahun 2020.

Selain pencapaian dalam hal eradikasi polio, Indonesia kini juga sedang bersiap menuju eliminasi campak pada tahun 2020 dan kontrol rubella/CRS tahun 2020. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk eliminasi campak dan control rubella/CRS tahun 2020 sesuai dengan target global yaitu mencapai cakupan imunisasi campak dosis pertama lebih dari 95% di tingkat nasional dan Kota/Kota, menurunkan angka insiden campak menjadi kurang dari 5 per 1.000.000 penduduk setiap tahun dan mempertahankannya, menurunkan angka kematian campak minimal 95% dan melakukan konfirmasi laboratorium campak 100% terhadap kasus-kasus klinis dari seluruh Kota/Kota.

38

Pada tahun 2016 Indonesia divalidasi oleh Tim WHO dan Unicef dalam rangka pencapaian Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal. Hasil dari validasi Indonesia dinyatakan sudah Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal yang dibuktikan telah terimanya sertifikat Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal oleh Menteri Kesehatan di Srilanka.

Indikator Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 yakni persentase penurunan Kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline tahun 2013 - jumlah kasus PD3I tertentu pada tahun berjalan

X 100% Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline tahun 2013

Penentuan jenis penyakit berdasarkan program yang dilaksanakan. Indikator ini telah mencapai target pada tahun 2016. Persentase penurunan kasus dihitung dari baseline data jumlah kasus tahun 2013 yakni sebanyak 17.055 kasus yang terdiri dari Difteri 775 kasus, Tetanus Neonatorum 78 kasus, Campak 11.521 kasus, dan Pertussis 4.681 kasus. Pada tahun 2016 tercatat sebanyak 8.484 kasus yang terdiri dari Difteri sebanyak 340 kasus, Tetanus Neonatorum 14 kasus, Campak 6.890 kasus dan Pertusis 1.240 kasus. Terjadi penurunan kasus sebesar 8.571 kasus dengan presentase penurunan sebesar 50,26% dibandingkan angka kasus tahun 2013.

Grafik 3.11 Kasus PD3I Tahun 2013 dan Tahun 2016

39

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, penurunan kasus PD3I pada tahun 2015 sebesar 41.1% dari target 7% dan tahun 2016 penurunan kasus sebesar 50.26% dari target 10% maka indikator ini telah mencapai target selama 2 tahun berjalannya Renstra Kemenkes tahun 2015-2019.

Tercapainya target ini antara lain didukung dengan adanya penguatan imunisasi rutin, penguatan surveilans PD3I, penguatan jejaring dan koordinasi mekanisme kerja antar lintas program dan sektor, peningkatan kapasitas petugas surveilans PD3I dan evaluasi pelaksanaan program surveilans PD3I di daerah dengan melakukan monitoring, pertemuan evaluasi dan melakukan feedback kinerja dengan upaya yang dilaksanakan antara lain: 1) Menyelenggarakan peningkatan kapasitas petugas surveilans PD3I 2) Mempertahankan kinerja Surveilans AFP dan PD3I lainnya 3) Melakukan penguatan jejaring kerja surveilans PD3I dengan klinisi dan

laboratorium. 4) Melakukan pertemuan dengan Komite ahli Eradikasi Polio, Komite

Surveilans AFP dan Komite Ahli Campak dan Rubela/CRS untuk mendapatkan rekomendasi untuk pencapaian indikator.

5) Mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan kasus PD3I berbasis website.

6) Monitoring dan Evaluasi surveilans PD3I 7) Melakukan feedback ke provinsi yang ditujukan pada Kepala Daerah

dengan tembusan pada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Disamping Upaya diatas, penurunan PD3I juga didukung dengan adanya peningkatan cakupan imunisasi dasar lengkap.

Meski capaian indikator berhasil tetapi beberapa tantangan perlu menjadi perhatian antara lain: 1) Cakupan imunisasi yang belum merata di semua wilayah. 2) Penggantian petugas yang tinggi sehingga belum terlatih. 3) Kurangnya komitmen dan dukungan Pemerintah Daerah baik provinsi dan

kab/kota untuk program surveilans PD3I melalui penganggaran yang tidak berkelanjutan

4) Penanggulangan KLB tidak tuntas dan efektif baik di tingkat provinsi maupun kab/kota sehingga kasus PD3I tetap ada.

5) Fasilitas pelayanan kesehatan swasta belum terlibat dalam sistem pelaporan.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan beberapa hal sebagai berikut: 1) Penguatan/revitalisasi komitmen Pemerintah Daerah melalui advokasi pada

pemerintah daerah tentang dukungan anggaran dan operasional surveilans PD3I.

2) Mendorong Kepala Dinas dan jajarannya ikut memperkuat dan memantau kemajuan Erapo di wilayahnya.

40

3) Memberikan umpan balik rutin secara berjenjang terhadap capaian indikator penemuan kasus PD3I.

4) Mengusulkan kegiatan surveilans PD3I untuk daerah melalui dana dekonsentrasi dan DAK.

5) Melibatkan praktek swasta dalam penemuan kasus secara bertahap serta mengaktifkan Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) dan Hospital Record Review (HRR).

6) Meningkatkan peran jejaring organisasi profesi dalam penemuan kasus. 7) Mengadakan pertemuan validasi data di setiap tingkat. 8) Melakukan pengkajian efektifitas penanggulangan KLB.

Grafik 3.12 Persentase Penurunan Kasus PD3I

Tahun 2015-2016

Grafik diatas menunjukan penurunan kasus yang sangat signifikan dari tahun 2015 dan 2016. Pada tahun 2015 ditargetkan penurunan kasus PD3I sebesar 7% capaian sebesar 41,1%. Pada tahun 2016 ditargetkan penurunan kasus PD3I sebesar 10% capaian sebesar 50,26%.

41

Grafik 3.13 Persentase Penurunan Kasus PD3I Tahun 2015-2019

Dari grafik diatas terlihat bahwa capaian penurunan kasus PD3I tahun 2016 telah melampaui target yang ditetapkan ditahun 2019.

2. Persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah Kemudahan mobilisasi manusia sebagai hasil kemajuan teknologi transportasi selain memberi dampak positif, memberikan pula pengaruh negatif berupa ancaman mudahnya importasi dan eksportasi penyakit menular dari satu negara ke negara lainnya, misalnya Polio, Severe Acute Respiratory Sindrome (SARS), Flu Burung, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Ebola, dan sebagainya.

Pada tahun 2007, 194 negara anggota Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) telah menyetujui upaya pencegahan penyebaran penyakit lintas negara melalui pemberlakuan International Health Regulations (IHR) tahun 2005. IHR 2005 bertujuan untuk mencegah, melindungi, dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dengan melakukan tindakan sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi tanpa menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional. Regulasi internasional ini mewajibkan setiap negara untuk meningkatkan kapasitas inti guna mencapai tujuan IHR.

Pendekatan surveilance, preparedness, dan response harus dibangun di setiap wilayah untuk menjamin suatu negara mempunyai kemampuan tersebut. Hal itu berarti penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di setiap pintu gerbang negara harus berjalan dengan optimal. Indonesia dinilai oleh WHO telah

42

mengimplementasikan IHR 2005 secara penuh. Sejalan dengan hal tersebut, kekarantinaan kesehatan di wilayah (provinsi, kabupaten, dan kota) harus dapat mengikuti pemberlakukan IHR tersebut. Karantina di wilayah mencakup karantina rumah, karantina rumah sakit (isolasi), karantina wilayah administratif dan pembatasan aktivitas sosial hingga skala besar harus dapat dijalankan dengan kerjasama lintas sektor. Oleh karenanya dipandang penting sekali bagi suatu daerah memiliki rencana darurat (contigency plan) dalam rangka menghadapi kedaruratan kesehatan yang potensial terjadi di wilayah masing-masing. IKU ini bertujuan untuk mengukur kesiapan wilayah (kabupaten dan kota) dalam mengatasi kedaruratan kesehatan yang pada akhirnya dapat mengurangi kejadian kesakitan dan kematian akibat penyakit menular. IKU ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kabupaten/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam

penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah

X 100% Jumlah kabupaten/kota yang memiliki pintu masuk internasional

Dari 106 Kab/Kota yang memiliki pintu masuk internasional, sebanyak 29 Kab/Kota telah memiliki rencana kontijensi pada tahun 2015 dan 21 Kab/Kota pada tahun 2016 sehingga sampai dengan tahun 2016 tercapai 50 kab/kota yang menyusun dokumen rencana kontinjensi. Capaian persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah pada tahun 2016 adalah sebesar 47,2%. Angka capaian ini cukup baik karena telah melebih target yang ditetapkan pada tahun 2016 sebesar 46%.

Keberhasilan meraih capaian yang cukup baik pada tahun 2016 didukung oleh sejumlah langkah atau upaya, yaitu:

1) Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi IHR 2005, kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor risiko kedaruratan kesehatan masyarakat;

2) Melakukan penilaian capaian kapasitas inti IHR 2005 di pintu masuk negara, wilayah dan nasional dengan melibatkan lintas sektor terkait;

3) Melaksanakan workshop penyusunan rencana kontijensi mencakup konsep pedoman penyusunan rencana kontijensi (RenKon), identifikasi potensi kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM), membangun komitmen lintas sektor, dan pengumpulan data dasar;

4) Melaksanakan kegiatan penyusunan RenKon KKM dengan melibatkan seluruh lintas sektor Pemda terkait;

5) Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kabupaten/kota.

43

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Adanya persepsi dari lintas sektor yang beranggapan bahwa dokumen

kebijakan yang telah disusun bersama hanya menjadi tanggung jawab dinas kesehatan saja;

2) Kualitas dokumen kebijakan yang disusun pada tahun 2016 sangat dipengaruhi oleh komitmen dan dukungan pendanaan. Komponen anggaran penyusunan kebijakan bervariasi antar daerah. Sebagian daerah memiliki anggaran yang cukup untuk membiayai seluruh proses penyusunan kebijakan sejak dari penyusunan draft hingga sosialisasinya, namun daerah lainnya memiliki anggaran terbatas yang hanya cukup untuk membiayai penyusunan kebijakan dan sosialisasi saja. Terjadinya efisiensi anggaran menyebabkan jadwal penyusunan RenKon menjadi bergeser.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Melakukan advokasi dan atau sosialisasi kepada Pemda untuk

menyamakan persepsi dan meningkatkan komitmen; 2) Mendorong Pemda kabupaten/kota agar menghilangkan hambatan

administrasi untuk menjamin terlaksananya kegiatan sesuai rencana yang telah disusun, termasuk memberikan bimbingan dan pendampingan agar kabupaten/kota dapat menerapkan metoda pelaksanaan kegiatan penyusunan kebijakan yang fleksibel, termasuk menerapkan desain kegiatan yang interaktif (diskusi, table top discussion, simulasi, dan sebagainya);

3) Mendorong Pemda kabupaten/kota untuk menggali sumber daya baik manusia, dana, dan sumber daya lainnya yang diperlukan untuk kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.

Bila dilihat perbandingan target dan capaian persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah pada tahun 2015-2106 dapat dilihat pada grafik berikut.

44

Grafik 3.14 Persentase Kabupaten/Kota yang Mempunyai Kesiapsiagaan dalam Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Berpotensi Wabah

Tahun 2015-2016

29 4627.4 47.2

2015 2016

PERSENTASE KABUPATEN/KOTA YANG MEMPUNYAI KESIAPSIAGAAN DALAM PENANGGULANGAN

KEDARURATAN KESEHATAN MASYARAKAT YANG BERPOTENSI WABAH

Target Capaian

Bila dilihat perbandingan target dan capaian persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah pada tahun 2015-2019 dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik 3.15 Persentase Kabupaten/Kota yang Mempunyai Kesiapsiagaan dalam Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Berpotensi Wabah

Tahun 2015-2019

45

3. Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤18 Tahun

Merokok merupakan salah satu faktor risiko bersama (common risk factor) yang dapat menyebabkan Penyakit Tidak Menular (PTM). Namun merokok merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Bila prevalensi merokok dapat diturunkan, diharapkan angka prevalensi PTM dapat diturunkan pula. IKU ini bertujuan untuk menggambarkan upaya pengendalian PTM dan faktor risikonya dengan melihat tingkat keparahan kondisi konsumsi rokok di masyarakat. Usia anak-anak dan remaja dipilih sebagai ukuran karena usia tersebut rentan terpengaruh oleh kebiasaan merokok orang dewasa, dan merokok pada usia tersebut mempercepat dampak buruk merokok bagi kesehatan. IKU akan dianggap baik bila realisasinya lebih rendah atau lebih kecil dari yang ditargetkan. Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤18 Tahun dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah anak di Indonesia yang berusia 10-18 tahun yang diketahui sebagai perokok melalui pengambilan data faktor risiko baik berupa survei atau metoda lainnya

X 100% Jumlah semua anak Indonesia yang berusia 10-18 tahun di Indonesia yang terdata di tahun

tersebut (data BPS)

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan terdapat 90 juta jiwa atau 36,3% penduduk di Indonesia adalah perokok. Dari jumlah tersebut, 12% diantaranya adalah perokok usia remaja (13-15 tahun). Sedangkan perokok usia 10-14 tahun meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Dari data yang ada diketahui 239.000 perokok adalah anak-anak berusia kurang dari 10 tahun. Survei yang dilaksanakan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi merokok pada usia ≤18 tahun mencapai 7,2%. Data tersebut telah dijadikan baseline oleh Kementerian Kesehatan dalam menetapkan target capaiannya pada tahun 2015 sebesar 6,9% dan pada akhir tahun 2019 sebesar 5,4%. Berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan pada tahun 2016, prevalensi merokok pada usia ≤18 tahun sebesar 8,8%. Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi merokok mencapai 7.2%, yang berarti terjadi peningkatan prevalensi merokok pada usia ≤18 tahun. Jika dibandingkan dengan target tahun 2016 sebesar 6,4%, maka indikator prevalensi merokok pada usia ≤18 tahun tidak mencapai target.

46

Grafik 3.16 Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun Tahun 2016-2019

Capaian yang tidak mencapai target disebabkan oleh hal sebagai berikut: 1) Masih rendahnya kesadaran masyarakat akan bahayanya konsumsi rokok; 2) Belum maksimalnya advokasi dan sosialisasi tentang pengendalian

konsumsi tembakau; 3) Belum optimalnya koordinasi lintas program dan lintas sektor untuk

mengendalikan konsumsi tembakau; 4) Masih terbatasnya daerah yang memiliki dan mengimplementasikan

kebijakan KTR. 5) belum maksimalnya pemberian edukasi, diseminasi informasi, serta

dukungan kebijakan dari jajaran pemerintahan.

Tren realisasi dan target Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤18 belum dapat disajikan karena pada tahun 2015 tidak diperoleh data capaiannya. Namun berdasarkan data hasil survei pada tahun 2013 bila dibandingkan dengan hasil survei pada tahun 2016 telah terjadi peningkatan prevalensi merokok pada usia ≤18 dari 7,2% pada tahun 2013, meningkat menjadi 8,8% pada tahun 2016. Untuk menurunkan prevalensi merokok pada usia ≤18 pada akhir tahun 2019 sebesar 5,4% sesuai yang ditargetkan perlu komitmen dan kerja keras dari semua elemen di pemerintahan dan masyarakat. Dalam rangka mengetahui kinerja Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤18 Tahun, Kementerian Kesehatan menetapkan dua indikator rutin guna memantau kemajuan upaya yang mendukung penurunan prevalensi merokok pada usia ≤18 Tahun, yaitu: 1) persentase kab/kota yang memiliki peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR); dan 2) persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan KTR minimal 50% di sekolah. Perkembangan kemajuan indikator persentase kab/kota yang memiliki peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada tahun 2015 dan 2016 terlihat pada grafik berikut.

47

Grafik 3.17 Persentase Kab/Kota yang Memiliki Peraturan tentang KTR Tahun 2015-2016

Perkembangan kemajuan indikator persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan KTR minimal 50% di sekolah pada tahun 2015 dan 2016 terlihat pada grafik berikut.

Grafik 3.18 Persentase Kab/Kota yang Melaksanakan Kebijakan KTR Minimal 50% di Sekolah

Tahun 2015-2016 Meskipun perkembangan capaian kinerja kedua indikator rutin tersebut menunjukkan tren positif namun belum cukup untuk mendukung pencapaian target Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤18 Tahun. Masih kurang dari 50% kabupaten atau kota di Indonesia yang memiliki peraturan tentang KTR dan melaksanakan kebijakan KTR minimal 50% di sekolah. Kementerian Kesehatan telah mengupayakan langkah-langkah untuk mengatasi kendala-kendala dalam mencapai target IKU ini, antara lain dengan:

48

1) Meningkatkan pemberian edukasi dan penyebaran informasi kepada masyarakat melalui berbagai media cetak maupun elektronik;

2) Me-review dan mengevaluasi implementasi KTR di daerah yang telah memiliki peraturan KTR;

3) Melakukan sosialisasi dan tindak lanjut hasil review implementasi KTR; 4) Mendorong lintas sektor terkait untuk melakukan penegakan hukum (law

enforcement) secara konsisten di daerah yang telah memiliki kebijakan dan peraturan terkait;

5) Mendorong pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian dampak rokok dan implementasi KTR;

6) Meningkatkan kapasitas tenaga, baik tenaga kesehatan maupun tenaga pendidikan guna implementasi KTR di sekolah;

7) Menyediakan dan meningkatkan kapasitas layanan Quit Line (layanan konsultasi jarak jauh upaya berhenti merokok);

8) Mendorong peningkatan komitmen daerah untuk mendukung pengendalian konsumsi tembakau;

9) Menyusun pedoman survailans KTR, pedoman penyakit dampak rokok, dan sebagainya;

10) Mensinergikan kegiatan pengendalian tembakau melalui Strategis MPOWER (6 langkah kongkrit dalam pengendalian tembakau dan mencegah kematian akibat tembakau), yang mencakup monitoring konsumsi produk tembakau dan perlindungan terhadap paparan asap rokok.

3) Sasaran Strategis 3: Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pelayanan Kesehatan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di bidang kesehatan bertugas untuk terus meningkatkan status kesehatan masyarakat, diantaranya dengan meningkatkan akses dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 3.3 Capaian IKU pada Sasaran Strategis:

Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan

SS2: Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

3a. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi

700 1.308 186,8%

3b. Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi

190 201 105,8%

49

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut: a. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas menyatakan Puskesmas harus didirikan di setiap kecamatan. Namun demikian, pada satu kecamatan dapat didirikan lebih dari satu Puskesmas dengan memperhatikan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk dan aksesibilitas. Peraturan tersebut menyatakan pula bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, Puskesmas wajib diakreditasi secara berkala paling sedikit tiga tahun sekali oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dengan demikian semakin banyak Puskesmas terakreditasi maka akan lebih menjamin terjadinya peningkatan mutu pelayanan di Puskesmas. IKU ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan mutu pelayanan di Puskesmas. Semakin banyak kecamatan yang memiliki minimal satu Puskesmas terakreditasi maka semakin meningkat akses dan mutu pelayanan kesehatan tingkat pertama. IKU ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter dan Dokter Gigi, Akreditasi adalah pengakuan yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi standar akreditasi. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi dihitung dengan menghitung jumlah seluruh kecamatan yang memiliki minimal satu Puskesmas yang terakreditasi. Kementerian Kesehatan telah menetapkan target jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi tahun 2015 sebesar 350 dan diharapkan terus bertambah hingga 5.600 kecamatan pada akhir tahun 2019. Pada tahun 2016, target yang ditetapkan adalah sebesar 700 kecamatan. Berdasarkan hasil laporan Komisi Akreditasi hingga tanggal 31 Desember 2016, jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi pada akhir tahun 2016 mencapai 1.308 kecamatan.

50

Grafik 3.19 Jumlah Kecamatan yang Memiliki Minimal 1 Puskesmas yang Tersertifikasi Akreditasi tahun 2015 - 2016

Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi dinilai baik karena telah melebihi target yang ditetapkan sebesar 700 kecamatan. Secara nasional total puskesmas yang terakreditasi sampai dengan tahun 2016 sejumlah 1479 di 1308 kecamatan, 320 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Hingga 2016, telah tercapai 23,36% dari jumlah kecamatan yang ditargetkan pada akhir 2019. Bila tren peningkatan yang positif ini dapat dipertahankan, dan bahkan ditingkatkan, diharapkan target pada akhir tahun 2019 dapat tercapai.

51

Grafik 3.20 Jumlah Kecamatan yang Memiliki Minimal 1 Puskesmas Terakreditasi Tahun 2015-2019

Dibalik pencapaian kinerja yang menunjukkan hasil baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Memberikan dukungan anggaran melalui Dana Alokasi Khusus (DAK)

Bidang Kesehatan dan Dekonsentrasi untuk melengkapi atau meningkatkan sarana prasarana, alat kesehatan, serta proses pelaksanaan akreditasi.

2) Menyediakan minimal satu tim Pelatih Pendamping Akreditasi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dan minimal satu tim surveyor di setiap provinsi.

3) Menyusun rencana akreditasi Puskesmas yang mencakup jumlah Puskesmas dan distribusi Puskesmas yang diusulkan akreditasi setiap bulannya. Rencana ini akan berguna untuk menghitung antisipasi kebutuhan surveyor dengan lebih tepat.

4) Menyediakan dan mendistribusikan buku-buku pedoman penyelenggaraan Puskesmas dan pelaksanaan akreditasi Puskesmas ke provinsi dan kabupaten/kota.

5) Memberikan bimbingan teknis oleh Komisi Akreditasi dan Kementerian Kesehatan ke daerah dalam rangka persiapan akreditasi.

6) Mengadakan advokasi dan sosialisasi ke para pemangku kepentingan guna mendapatkan dukungan percepatan akreditasi Puskesmas. Salah satu upayanya adalah mencantumkan akreditasi Puskesmas ke dalam rancangan Peraturan Pemerintah tentang Urusan Pemerintahan Konkuren (PPUPK) sehingga dapat memaksa Pemerintah Pusat dan Pemda untuk bersama-sama melaksanakan akreditasi Puskesmas.

7) Membangun sistem pelaporan akreditasi FKTP real time berbasis jaringan.

52

8) Melakukan evaluasi teknis penyelenggaraan akreditasi Puskesmas dalam rapat kerja Komisi Akreditasi FKTP.

Meski hasilnya baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Adanya hambatan dalam aspek administrasi keuangan, khususnya dalam

pencairan anggaran yang telah dialokasikan ke daerah, antara lain terkait pergantian pejabat berwenang, pejabat berwenang tersangkut masalah hukum, adanya perubahan kebijakan di daerah, keterkaitan dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau lintas sektor lainnya, dan sebagainya.

2) Waktu penyampaian usulan akreditasi dari daerah sering terlambat, bahkan menumpuk di triwulan keempat. Ini tidak sejalan dengan roadmap yang telah ditetapkan.

3) Kendala sumber daya manusia yang meliputi keterbatasan jumlah dan kompetensi tenaga surveyor, mutasi tenaga pendamping akreditasi, belum optimalnya waktu kerja semua anggota Komisi Akreditasi FKTP, dan keterbatasan tenaga pendukung atau administrasi di Komisi Akreditasi FKTP.

4) Mekanisme pengajuan berkas kelengkapan survei, pencatatan, dan pelaporan pelaksanaan akreditasi masih manual. Ini memperlambat update kemajuan yang dicapai.

5) Adanya kesulitan dalam memperoleh informasi untuk mengkonfirmasi kesesuaian antara usulan dari daerah sesuai hasil reviu DAK Bidang Kesehatan dengan menu yang disetujui.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Memotivasi daerah untuk dapat memanfaatkan sumber dana lain, tidak

hanya bergantung kepada alokasi APBN; 2) Melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk

menghilangkan hambatan administrasi atau mempercepat pencairan dana DAK Bidang Kesehatan.

3) Mengusulkan agar DAK Non Fisik terpisah dari sektor non kesehatan. 4) Mengirim surat edaran ke seluruh provinsi agar dapat menyampaikan

usulan survei per triwulan, tidak menumpuk usulan di akhir tahun. 5) Memberi sanksi bagi daerah memutasi tenaga pendamping atau pelatih

pendamping, misal dengan tidak mengakomodir usulan DAK daerah tersebut.

6) Menggantikan anggota Komisi Akreditasi yang tidak aktif melalui revisi peraturan terkait.

7) Merekrut tenaga surveyor yang telah purna bakti dan berpengalaman kerja di Puskesmas.

8) Menambah tenaga administrasi di Komisi Akreditasi, misalnya dengan penyediaan tenaga tidak tetap (honorer).

9) Menerapkan aplikasi berbasis jaringan pada tahun 2017. 10) Menyediakan ruang sekretariat bagi Komisi Akreditasi.

53

b. Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi

Rumah Sakit Umum Daerah yang biasa disingkat dengan RSUD adalah tipe Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemda (provinsi, kabupaten atau kota). Pasal 40 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa dalam rangka peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal tiga tahun sekali. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit, yang dimaksud dengan Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa Rumah Sakit itu memenuhi Standar Pelayanan Rumah Sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit secara berkesinambungan. IKU ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan mutu pelayanan di RSUD. Semakin banyak kabupaten yang memiliki minimal satu RSUD terakreditasi maka semakin meningkat akses dan mutu pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. IKU ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi dihitung dengan menjumlahkan seluruh kab/kota yang memiliki minimal satu RSUD tersertifikasi akreditasi nasional. Cara pengukuran hasil adalah dengan dibuktikan adanya sertifikat akreditasi untuk Rumah Sakit yang diterbitkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Berdasarkan laporan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) per tanggal 31 Desember 2016, jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi pada akhir tahun 2016 mencapai 201 kabupaten/kota. Bila dilihat perbandingan capaian jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi pada beberapa tahun seperti tergambar pada grafik xxx, terlihat bahwa pada tahun 2015 capaiannya masih belum memuaskan karena tidak mencapai jumlah RSUD yang ditargetkan. Namun demikian pada tahun 2016, terjadi peningkatan signifikan (mencapai 105,8%) jumlah RSUD yang terakreditasi.

54

Grafik 3.21 Jumlah Kab/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang Tersertifikasi Akreditasi Nasional tahun 2015 – 2016

Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi dinilai cukup baik karena telah melebih target yang ditetapkan sebesar 190 kabupaten/kota. Dibalik pencapaian jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Menyusun Rencana Aksi berupa penyusunan regulasi di bidang mutu dan

akreditasi pelayanan kesehatan dan pembinaan di bidang mutu dan akreditasi pelayanan kesehatan.

2) Menyusun Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) Petunjuk Teknis Standar Akreditasi Rumah Sakit. Saat ini menggunakan versi 2012 yang berisi empat standar, yaitu: a) Hak pasien dan keluarga (HPK); b) Sasaran Keselamatan Pasien (HKP); c) Menajemen dan Penggunaan Obat (MPO); dan d) Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS).

3) Menyiapkan indikator mutu di pelayanan kesehatan rujukan. Saat ini didapatkan 12 indikator wajib terkait mutu pelayanan kesehatan rujukan.

4) Memberikan pendampingan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Standar Internasional (Joint Commision Internasional/JCI) pada Rumah Sakit rujukan nasional. Pada tahun 2016, pendampingan dilakukan pada delapan Rumah Sakit sebagai berikut: a) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta; b) RSUP Sanglah Denpasar;

55

c) RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung; d) RSUP M. Hoesin Palembang; e) RSUP H. Adam Malik Medan; f) RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado; g) RSUD dr. Soetomo Surabaya; h) RSUP dr. M. Djamil Padang; i) RSUD dr. Soedarso Pontianak.

5) Memberikan pendampingan (bersama dengan Tim KARS) pada RSUD yang berstatus Rumah Sakit Rujukan Regional dan RSUD lainnya yang menjadi target akreditasi.

6) Memfasilitasi dinas kesehatan provinsi agar dapat melakukan pendampingan akreditasi bagi RSUD Kelas C dan Kelas D.

7) Memfasilitasi pertemuan bimbingan teknis Tim Pokja Akreditasi Rumah Sakit yang telah terakreditasi paripurna. Tim Pokja Akreditasi tersebut selanjutnya akan menjadi Tim Pendamping Akreditasi Kementerian Kesehatan.

8) Memberikan pelatihan pada tenaga dinas kesehatan pada 34 provinsi sebagai surveyor/verifikator.

3) Memberikan dukungan pendanaan kepada daerah melalui pengalokasian anggaran DAK Bidang Kesehatan dan Dekonsentrasi.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Terdapat beberapa Pemda yang belum mengalokasikan dana untuk

akreditasi rumah sakit, keterlambatan pencairan dana DAK Non Fisik menemui hambatan karena terdapat ketidaksesuaian Rencana Anggaran Biaya (RAB) dengan Juknis DAK serta kendala administrasi dalam proses pencairannya. Di sisi lain, alokasi anggaran Dekonstrasi (APBN) terhambat dengan adanya kebijakan self blocking dan penghentian kegiatan untuk sementara waktu sehingga penggunaan anggaran untuk akreditasi tidak optimal.

2) Panjangnya proses akreditasi dan banyaknya Rumah Sakit yang mengusulkan akreditasi menyebabkan timbulnya antrian Rumah Sakit yang akan diakreditasi (waiting list RS) di KARS.

3) Masih adanya masalah-masalah Sumber Daya Manusia, misalnya penunjukkan pejabat/tenaga di Rumah Sakit tidak berdasarkan pada peraturan yang berlaku (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2015), kurangnya komitmen dari jajaran pejabat dan staf di Rumah Sakit untuk melaksanakan Akreditasi, SDM Rumah Sakit belum sesuai dengan Kelas Rumah Sakit, belum adanya budaya kerja yang mendukung Akreditasi, dan masih minimnya pelatihan bagi SDM Rumah Sakit untuk mendukung Akreditasi. Di sisi lain, Pemda masih belum mampu mengatasi masalah mutasi tenaga yang kerap terjadi. Selain itu kemampuan SDM pada dinas kesehatan provinsi masih kurang dalam menjalankan perannya sesuai peraturan yang berlaku (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2012).

56

4) Belum memadainya sarana dan prasarana di Rumah Sakit.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Memperbaiki pengalokasian dan proses penggunaan anggaran yang

mendukung Akreditasi Rumah Sakit baik dari APBN (Dekonsentrasi) dan DAK. Selain itu terus mendorong Pemda untuk menggali sumber pendanaan Akreditasi dari APBD.

2) Memperbaiki penyusunan jadwal Akreditasi bersama dengan KARS untuk menyesuaikan dengan target indikator Rumah Sakit terakreditasi.

3) Melakukan advokasi ke dinas kesehatan provinsi untuk mengatur jadwal pendampingan ke RSUD yang menjadi target dalam satu tahun anggaran.

4) Mendorong peningkatan keterlibatan dinas kesehatan provinsi dan kab/kota dalam persiapan Akreditasi Rumah Sakit.

5) Melakukan koordinasi lintas sektor dalam rangka menguatkan komitmen Pemda dalam penyiapan SDM sesuai standar pelaksanaan Akreditasi Rumah Sakit.

6) Menguatkan komitmen jajaran pejabat dan staf Rumah Sakit melalui penandatanganan Pakta Integritas.

7) Melakukan sosialisasi budaya kerja untuk meningkatkan budaya mutu yang dipersyaratkan dalam Akreditasi.

Hingga 2016, telah tercapai 41,79% dari jumlah Kab/kota yang ditargetkan pada akhir 2019. Bila tren peningkatan yang positif ini dapat dipertahankan, dan bahkan ditingkatkan, diharapkan target pada akhir tahun 2019 dapat tercapai.

Grafik 3.22 Jumlah Kab/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD Terakreditasi

Tahun 2015-2019

57

4) Sasaran Strategis 4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Dalam Sistem Kesehatan Nasional, sediaan farmasi dan alat kesehatan merupakan

salah satu subsistem dalam kelompok komponen pengelolaan kesehatan di samping komponen upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian sediaan farmasi dan alat kesehatan memiliki peran strategis untuk berjalannya pengelolaan kesehatan nasional.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

tiga Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut

Tabel 3.4 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

SS4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

4a. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas

80% 81,57% 101,96%

4b. Jumlah bahan baku obat, obat tradisional serta alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri

14 23 164,29%

4c. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat

77% 94,80% 123,12

Uraian tentang ketiga IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas Pelayanan kesehatan di Puskesmas dapat terlaksana dengan optimal bila obat dan vaksin cukup tersedia. Kementerian Kesehatan telah menetapkan obat dan vaksin yang harus tersedia di Puskesmas, yaitu:

NO NAMA OBAT BENTUK SEDIAAN

1 Albendazol Tablet

2 Amoxicillin 500 mg Tablet

3 Amoxicillin Sirup

4 Deksametason Tablet

5 Diazepam 5 mg/mL Injeksi

6 Epinefrin (Adrenalin) 0,1% (sebagai HCL) Injeksi

7 Fitomenadion (Vitamin K) Injeksi

8 Furosemid 40 mg Tablet

9 Garam Oralit Serbuk

10 Glibenklamid Tablet

58

11 Kaptopril Tablet

12 Magnesium Sulfat 20 % Injeksi

13 Metilergometrin Maleat 0,200 mg-1 ml Injeksi

14 Obat Anti Tuberculosis dewasa Tablet

15 Oksitosin Injeksi

16 Parasetamol 500 mg Tablet

17 Tablet Tambah Darah Tablet

18 Vaksin BCG Injeksi

19 Vaksin TT Injeksi

20 Vaksin DPT/ DPT-HB/ DPT-HB-Hib Injeksi

Obat dan vaksin terpilih karena dinilai paling dibutuhkan dalam mendukung terselenggaranya pelayanan kesehatan di Puskesmas.

IKU ini bertujuan untuk memantau ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kumulatif item obat yang tersedia di (n) Puskesmas X 100%

Jumlah (n) Puskesmas yang melapor X jumlah total item obat indikator Berdasarkan hasil pelaporan pada bulan November 2016, persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tahun 2016 mencapai 81,57% Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator ini dinilai cukup baik karena telah melebihi target yang ditetapkan pada tahun 2016 sebesar 80%. Data pelaporan diperoleh dari 1.133 Puskesmas dari total 1.328 Puskesmas sampel. Pada tahun 2016 seluruh provinsi telah menyampaikan laporannya. Hasil cakupan di setiap provinsi terlihat pada grafik berikut.

59

Grafik 3.23 Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas per provinsi Tahun 2015-2016

Dibalik pencapaian persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu:

60

1) Penyediaan dukungan anggaran melalui mekanisme DAK maupun Dekonsentrasi.

2) Pemantapan sistem e-Logistik. 3) Pembinaan dan bimbingan teknis.

Walaupun hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah 1) Masih belum optimalnya koordinasi antara Pemda kabupaten/kota dan

Pemda Provinsi. 2) Penyampaian laporan bulanan ke dinas kesehatan provinsi masih belum

mengikuti Petunjuk Teknis Pemantauan yang telah disusun dan disosialisasikan oleh Kementerian Kesehatan.

3) Jumlah dan kompetensi tenaga kefarmasian di Puskesmas masih terbatas. Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Membangun koordinasi yang lebih baik antara Pemda provinsi dan Pemda

kabupaten/kota, dan Puskesmas, khususnya terkait pelaporan data ketersediaan obat dan vaksin.

2) Memberikan feed back dari Kementerian Kesehatan atas laporan yang telah disampaikan.

3) Melakukan pembinaan dan pemberian reward kepada petugas atau pengelola data di daerah.

Pada grafik 3.24 dapat dilihat bahwa realisasi capaian pada tahun 2015-2016 masih on track serta menunjukkan tren positif. Peningkatan capaian pada tahun 2016 juga didukung oleh ketaatan pelaporan dari daerah. Bila pada tahun 2015 masih terdapat empat provinsi yang tidak menyampaikan laporan, maka pada tahun 2016 seluruh provinsi menyampaikan laporannya. Bila kecenderungan positif ini terus dipertahankan, dapat diperkirakan target pada tahun 2019 sebesar 90% (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) akan tercapai. Untuk menjamin terpenuhinya hal tersebut, perlu kerja keras, koordinasi lebih erat, dan inovasi-inovasi lain yang mungkin dilakukan.

Grafik 3.24 Target dan Realisasi Persentase

Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2019

77%80%

83%86%

90%

79,38%81,57%

70%

75%

80%

85%

90%

95%

2015 2016 2017 2018 2019

Target

Realisasi

61

b. Jumlah bahan baku obat, obat tradisional serta alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri

Pemerintah terus berusaha meningkatkan status kesehatan masyarakat. Salah satu upaya yang penting untuk ditempuh adalah dengan menekan biaya untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat. Obat dan alat kesehatan memiliki kontribusi cukup besar dalam pembiayaan kesehatan. Karena itu, Kementerian Kesehatan mengambil kebijakan untuk mendorong agar bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dapat diproduksi di dalam negeri. Diharapkan dengan melakukan produksi di dalam negeri, harga obat dan alat kesehatan dapat ditekan sekaligus mengurangi ketergantungan pada luar negeri. IKU ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan atau perkembangan produksi obat, obat tradisional, dan alat kesehatan di dalam negeri. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Jumlah bahan baku obat, obat tradisional serta alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri dihitung dengan cara menjumlahkan jenis bahan baku obat yang siap diproduksi, dan/atau dibuat di Indonesia serta jenis alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri setiap tahunnya secara kumulatif. Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Kesehatan, target jumlah bahan baku obat, obat tradisional, serta alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri tahun 2016 mencapai 23 item. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator kinerja ini dinilai cukup baik karena telah melebih target yang ditetapkan pada tahun 2016 sebesar 14 item. Rincian bahan baku obat, obat tradisional, serta alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri hingga tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5 Tabel Daftar Bahan Baku Obat, Obat Tradisional, serta Alat Kesehatan Yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2016

No. Uraian/Item

Bahan Baku Obat/Obat Tradisional

Tahun 2015

1 a Ekstrak Terstandar Daun Kepel (Stelechocarpus burahol (BI) Hook. F. & Th)

2 b Ekstrak Umbi Bengkoang (Pachyrrizhus erosus L.)

3 c Ekstrak Aktif Terstandar Daun Mimika (Azadirachta indica)

4 d Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L.)

5 e Pemanis Alami Glikosida Steviol

6 f Ekstrak Terstandar Strobilanthesis crispus L.

7 g Ekstrak Terstandar Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa)

8 h Karagenan Pharmaceutical Grade

Tahun 2016

9 a Kristal PGV-6

10 b Kristal HGV-6

62

11 c Kristal GVT-6

12 d Fraksi Gel dan Fraksi Antrakinon Terstandar Daun Lidah Buaya (Aloe vera)

13 e Ekstrak Terstandar Daun Sendok (Plantago major)

14 f Fraksi Polisakarida Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.)

15 g Phlobaphene

16 h Fraksi Bioaktif Biji Pala (Myristica fragrans Houtt)

Alat Kesehatan

17 a Karixa Renograf

18 b Triton Synthetic-Biological Sutures

19 c Triton T-Skin Marker

20 d Domas Flexi-Cord Progressive

21 e Orthindo Pedide Screw Titanium

22 f ID Biosens Dengue NS1

23 g Ina-Shunt Semilunar Flushing Valve System

Walaupun pencapaian indikator ini pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Membentuk Kelompok Kerja Kemandirian bahan baku obat yang

beranggotakan kementerian/lembaga serta stakeholder terkait. 2) Melakukan kerjasama dan memfasilitasi penelitian dengan lembaga

penelitian (BPPT dan LIPI) dan perguruan tinggi, antara lain mengadakan kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjajaran.

3) Mendorong hilirisasi penelitian di bidang alat kesehatan. 4) Membentuk jejaring dengan stakeholder terkait, misal institusi penelitian,

kalangan industri, dan asosiasi pengusaha. 5) Melakukan bimbingan teknis pada pelaku usaha yang akan membangun

industri alat kesehatan. 6) Melakukan sosialisasi dan promosi peningkatan penggunaan alat

kesehatan dalam negeri termasuk kepada fasilitas pelayanan kesehatan serta menyelenggarakan pameran alat kesehatan dalam negeri.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: a) Data-data hasil penelitian belum terkoordinasi dengan optimal antar

lembaga penelitian maupun dengan industri alat kesehatan. b) Rendahnya pemanfaatan alat kesehatan dalam negeri di fasilitas

kesehatan. c) Masih terbatasnya produk alat kesehatan dalam negeri yang tercantum

dalam e-catalogue.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasinya sebagai berikut:

63

1) Meningkatkan kerjasama lintas sektor antar lembaga penelitian, industri, dan pemerintah melalui forum Academic-Bussiness-Government-Community Collaboration (ABGC).

2) Melaksanakan sosialisasi penggunaan alat kesehatan dalam negeri kepada user (pengguna), baik di fasilitas pelayana kesehatan maupun dinas kesehatan.

3) Menyampaikan usulan pencantuman produk alat kesehatan ke dalam negeri dalam e-catalogue kepada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Bila dilihat perbandingan capaian indikator ini pada beberapa tahun seperti tergambar pada grafik 3.25, terlihat bahwa hasil capaian pada tahun 2016 masih on track dan menunjukkan kecenderungan meningkat, sehingga dapat diperkirakan target pada tahun 2019 sebanyak 35 item (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) masih mungkin tercapai. Untuk menjamin terpenuhinya hal tersebut, maka perlu kerja keras dan upaya-upaya terobosan dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait.

Grafik 3.25 Target dan Realisasi Jumlah Bahan Baku Obat, Obat Tradisional, serta Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2015-2019

c. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi

syarat Kementerian Kesehatan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengendalian pasca pemasaran (post-market) untuk memastikan bahwa alat kesehatan dan PKRT yang telah memiliki ijin edar dapat terus menerus memenuhi persyaratan keamanan, mutu, manfaat, dan penandaan yang telah disetujui. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan sampling produk alat kesehatan dan PKRT. Kegiatan sampling dilakukan dalam rangka pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap keamanan, mutu, dan manfaat alat kesehatan dan PKRT yang beredar di Indonesia. Indikator ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keamanan mutu alat kesehatan dan PKRT yang beredar. Indikator ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

64

Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah sample alat kesehatan dan PKRT yang diuji dan memenuhi syarat X 100%

Jumlah sampel alat kesehatan dan PKRT yang diuji Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan pada tahun 2016, persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat pada akhir tahun 2016 mencapai 94,80%. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat dinilai cukup baik karena telah melebih target yang ditetapkan sebesar 77%. Dibalik pencapaian cakupan persalinan di fasilitas kesehatan pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut. Indikator yang terkait dengan kegiatan atau upaya tersebut, yaitu: 1) Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai

standar. 2) Persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas. 3) Persentase Instalasi Farmasi kabupaten/kota yang melakukan manajemen

pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar. 4) Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara

pembuatan yang baik (Good Manufacturing Product/GMP atau Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik/CPAKB).

5) Persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practices. 6) Jumlah industri yang memanfaatkan bahan baku dan obat tradisional

produksi dalam negeri. 7) Persentase kepuasan klien terhadap dukungan manajemen. Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah 1) Belum tersedianya pedoman teknis untuk meningkatkan kapasitas petugas

dalam pelaksanaan sampling. 2) Belum terdapat standar kompetensi petugas terkait sampling, baik di

Pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. 3) Masih terdapat Standar Nasional Indonesia (SNI) alat kesehatan yang

belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh Laboratorium Pengujian, dan telah berusia lebih dari 10 tahun.

4) Laboratorium yang terakreditasi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) masih terbatas. Pengujian alat kesehatan sphygmomanometer hanya tersedia di BPFK dan LIPI.

5) Jumlah dan kemampuan laboratorium uji produk komprehensif (uji yang meliputi seluruh parameter pengujian suatu produk alat kesehatan) masih terbatas di Indonesia.

65

6) Belum optimalnya sosialisasi e-watch alat kesehatan untuk melaporkan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) alat kesehatan dan atau PKRT.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1) Menyusun pedoman teknis pelaksanaan sampling. 2) Meningkatkan kapasitas petugas pelaksana sampling. 3) Menyusun SNI alat kesehatan agar lebih implementatif. 4) Memfasilitasi koordinasi lintas sektor dalam rangka penerapan standar

laboratorium uji produk alat kesehatan dan PKRT yang terakreditasi. 5) Melaksanakan sosialisasi e-watch alat kesehatan. 6) Menyelenggarakan pertemuan kajian penerapan SNI alat kesehatan wajib

dengan melibatkan stakeholder terkait. 7) Melakukan survei dan verifikasi untuk melakukan pendataan seluruh

laboratorium di Indonesia beserta kapabilitasnya.

Pada grafik 3.26 dapat dilihat bahwa dengan hasil capaian pada tahun 2016 masih on track serta cenderung meningkat, dengan demikian dapat diperkirakan target pada tahun 2019 sebesar 83% (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) masih mungkin tercapai.

Grafik 3.26 Target dan Realisasi Persentase Produk Alat Kesehatan dan PKRT di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2015-2019

5) Sasaran Strategis 5: Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan Pemerataan Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam rangka terselenggaranya pelayanan

kesehatan masyarakat. Pemerintah terus mengupayakan pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan guna memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

tiga Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

66

Tabel 3.6 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 5: Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan Pemerataan Tenaga Kesehatan

SS5: Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan Pemerataan Tenaga Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

5a. Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan

2.000 1.618 80,9%

5b. Persentase RS kabupaten/kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang

35% 45,2% 129,14%

5c. Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya

21.510 37.830 175,87%

Uraian tentang ketigas IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas menyebutkan bahwa sumber daya di Puskesmas terdiri dari tenaga kesehatan dan non kesehatan. Tenaga kesehatan di Puskesmas terdiri dari: 1) dokter atau dokter layanan primer; 2) dokter gigi; 3) perawat; 4) bidan; 5) tenaga kesehatan masyarakat; 6) tenaga kesehatan lingkungan; 7) ahli teknologi laboratorium medik; 8) tenaga gizi; dan 9) tenaga kefarmasian.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan lima jenis tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat, dan tenaga analisis kesehatan. IKU ini bertujuan untuk menjamin Puskesmas untuk memiliki sumber daya yang diperlukan guna melaksanakan fungsinya secara optimal. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan dihitung dengan cara menghitung jumlah absolut Puskesmas yang telah terpenuhi tenaga kesehatan sesuai standar, terutama untuk tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat, dan analis kesehatan.

67

Berdasarkan hasil pemetaan data SDM kesehatan, jumlah tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan pada akhir tahun 2016 adalah sebanyak 1.000.780 tenaga. Sebanyak 289.465 tenaga kesehatan dari jumlah tersebut bekerja di 9.756 Puskesmas, namun distribusinya di setiap Puskesmas belum merata. Pada tahun 2016 diperoleh data bahwa terdapat 1.618 Puskesmas telah memiliki minimal lima jenis tenaga kesehatan. Jumlah tersebut belum memenuhi target pada tahun 2016 2.000 Puskesmas yang memiliki minimal lima jenis tenaga kesehatan. Hasil capaian pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil di bawah target dipengaruhi oleh sejumlah hal, yaitu: 2) Masih belum optimalnya dukungan lintas sektor, termasuk Pemda. 3) Jumlah lulusan tenaga kesehatan yang bersedia ditempatkan di Puskesmas

di wiayah DTPK masih terbatas. 4) Regulasi yang diperlukan untuk mendukung pencapaian indikator ini belum

seluruhnya tersedia.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Melanjutkan progam Nusantara Sehat yang bertujuan untuk memperkuat pelayanan kesehatan primer untuk mewujudkan Indonesia Sehat melalui peningkatan jumlah, distribusi, komposisi, dan mutu tenaga kesehatan. Pendekatannnya adalah team-based atau pengiriman tenaga berbasis tim yang terdiri dari berbagai jenis tenaga kesehatan.

Gambar 3.3 pelepasan Tim Nusantara Sehat Periode I Tahun 2016 oleh

Bapak Wakil Presiden

2) Meluncurkan program penugasan khusus individu, serupa dengan

Nusantara Sehat namun bersifat individual, dan tidak dibatasi hanya tenaga dokter, dokter gigi, dan bidan seperti program Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang lebih dahulu dilaksanakan.

3) Mendayagunakan lulusan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan di seluruh fasilitas pelayana kesehatan.

4) Menyusun dan mempercepat penerbitan NSPK urusan pemerintahan yang mengatur penempatan SDM Kesehatan.

68

5) Mendorong peran aktif Pemda dalam pemenuhan tenaga kesehatan. Pada grafik 3.27 dapat dilihat bahwa hasil capaian pada tahun 2015 dan 2016 belum sesuai dengan target yang direncanakan. Hasil ini menyebabkan target pada akhir tahun 2019 sebanyak 5.600 Puskesmas memiliki minimal lima jenis tenaga (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) masih memerlukan usaha ekstra keras untuk mencapainya. Perlu lebih banyak inovasi, terobosan, alternatif strategi untuk mendukung pencapaian indikator ini.

Grafik 3.27 Target dan Capaian Jumlah Puskesmas yang Minimal Memiliki Lima Jenis Tenaga Kesehatan Tahun 2015-2019

b. Persentase RS kabupaten/kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang

Dalam rangka menjalankan fungsinya, Rumah Sakit memerlukan sumber daya yang memadai. Salah satu sumber daya yang dibutuhkan adalah tenaga kesehatan. Pada Rumah Sakit Kelas C, kebutuhan akan dokter spesialis sangat penting. Kementerian Kesehatan telah menetapkan IKU ini bertujuan untuk menjamin mutu pelayanan Rumah Sakit. Ada pun dokter spesialis dasar yang dimaksud adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi, dokter spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter spesialis bedah. Sedangkan tiga dokter spesialis penunjang adalah dokter spesialis radiologi, dokter spesialis anestesi, dan dokter spesialis patologi klinik. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Persentase RS kabupaten/kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang dengan formulasi sebagai berikut:

69

Jumlah RS kabupaten/kota kelas C yang telah terpenuhi 4 dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang

X 100%

Total jumlah RSUD kabupaten/kota kelas C

Berdasarkan hasil pemantauan, dari 314 RS kabupaten/kota kelas C yang terdata, telah terdapat 142 RS yang memiliki empat dokter spesialis dasar dan tiga dokter spesialis penunjang atau 45,22%. Berdasarkan data tersebut, capaian indikator kinerja ini dinilai cukup baik karena telah melebih target yang ditetapkan pada tahun 2016 sebesar 35%.

Dibalik pencapaian kinerja indikator ini pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Mengadakan program penugasan khusus residen. Berdasarkan Permenkes

nomor 9 tahun 2013 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan, residen adalah dokter atau dokter gigi yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis. Residen terdiri dari Residen Senior dan Residen Pasca Jenjang I. Residen Senior adalah dokter/dokter gigi yang sedang menempuh pendidikan spesialis yang khusus dan sudah memasuki tahap akhir pendidikan di rumah sakit pendidikan atau di rumah sakit lainnya yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan. Sementara yang dimaksud dengan Residen Pasca Jenjang I adalah dokter/dokter gigi yang mendapatkan bantuan pendidikan dokter spesialis/dokter gigi spesialis dari Kementerian Kesehatan yang telah menyelesaikan pendidikan jenjang I. Penugasan khusus residen ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan di DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan), DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan) dan RS kelas C dan kelas D di Kabupaten/Kota yang memerlukan pelayanan medik spesialistik. Untuk tahun 2016 ini, jumlah residen yang ditempatkan melalui penugasan khusus sebanyak 678 orang.

2) Memberikan bantuan biaya pendidikan dokter spesialis/dokter gigi spesialis bagi para dokter dan dokter gigi. Berdasarkan Permenkes nomor 44 tahun 2015 tentang Program Bantuan Pendidikan Dokter Spesialis/Pendidikan Dokter Gigi Spesialis, perencanaan kebutuhan Program Bantuan PDS/PDGS mengutamakan pemenuhan 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar dan 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik. Empat pelayanan medik spesialis dasar yang dimaksud meliputi Obstetri dan Ginekologi, Bedah, Anak dan Penyakit Dalam. Sementara empat spesialis penunjang yang dimaksud adalah Anestesi, Radiologi, Patologi Klinik, dan Rehabilitasi Medik. Sementara untuk program pendidikan dokter gigi spesialis, berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan PPSDMK, diprioritaskan untuk Bedah Mulut, Konservasi Gigi dan Penyakit Mulut. Setelah selesai masa pendidikan, mereka wajib mengikuti masa pengabdian yang lamanya telah diatur dalam Permenkes tersebut. Untuk tahun 2016, jumlah peserta baru penerima bantuan biaya pendidikan dokter spesialis/dokter gigi spesialis adalah sebanyak 396 orang, yang terdiri dari angkatan XVI sebanyak 150

70

orang dan angkatan XVII sebanyak 246 orang. Rendahnya jumlah peserta baru penerima bantuan pendidikan ini salah satunya dikarenakan rendahnya tingkat kelulusan di fakultas kedokteran dan kedokteran gigi.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Melakukan update dan pengayaan modul pembelajaran secara terus

menerus. 2) Memantapkan program e-learning PPDS/PPDGS berbasis website yang

telah dikembangkan sejak tahun 2014. 3) Melakukan pemantauan atas program pembelajaran jarak jauh untuk

mengetahui apakah telah tepat sasaran.

c. Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional disebutkan pula bahwa sumber daya manusia kesehatan baik tenaga kesehatan maupun tenaga pendukung/penunjang kesehatan wajib memiliki kompetensi untuk mengabdikan dirinya di bidang kesehatan. IKU ini bertujuan untuk memastikan terjadinya peningkatan kinerja dengan cara meningkatkan kompetensi SDM Kesehatan. IKU ini bersifat kumulatif dan akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya dihitung dengan cara menjumlahkan SDM Kesehatan yang mendapat sertifikat pada pelatihan teknis dan fungsional terakreditasi, ditambah dengan jumlah jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang ditingkatkan kapasitasnya dan jumlah peserta baru penerima bantuan pendidikan.

Berdasarkan hasil pemantauan data rutin Kementerian Kesehatan, jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya adalah sebanyak 37,830 orang, atau tercapai 175,87 % dari target yang ditetapkan sebesar 21.510 orang Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator kinerja ini dinilai cukup baik karena telah melebih target yang ditetapkan. Untuk tahun 2016, jumlah peserta baru penerima bantuan pendidikan sebanyak 1.499 orang, dengan rincian 1.103 orang mengikuti tugas belajar untuk jenjang pendidikan D-III, D-IV, S-1, S-2, S-3 dan profesi, serta 396 orang penerima bantuan program pendidikan dokter spesialis/dokter gigi spesialis. Sementara jumlah SDM Kesehatan yang mendapatkan pelatihan pada pelatihan terakreditasi pada tahun 2016 adalah 34.142 orang. Serta tenaga pendidik dan kependidikan yang ditingkatkan kapasitasnya melalui pelatihan sebanyak 2.189 orang. Jumlah SDM Kesehatan yang diberikan pelatihan pada pelatihan terakreditasi untuk tahun 2016 adalah sebanyak 34.142 orang. Sementara jumlah tenaga pendidik dan kependidikan yang ditingkatkan kapasitasnya pada tahun 2016 adalah sebanyak 2.189

71

Pada grafik 3.28 dapat dilihat bahwa dengan hasil capaian pada tahun 2015 dan tahun 2016 yang masih on track, melebihi yang ditargetkan serta tren perkembangannya masih positif. Bila dilakukan proyeksi, maka pada akhir tahun 2019 diperkirakan target sebanyak 56.910 orang akan dapat dicapai.

Grafik 3.28 Target dan Capaian Jumlah SDM Kesehatan yang Ditingkatkan

Kompetensinya Tahun 2015-2019

6) Sasaran Strategis 6: Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga

Kementerian Kesehatan menyadari bahwa upaya mencapai tujuan pembangunan kesehatan akan sulit terlaksana tanpa adanya dukungan dari kementerian atau lembaga lainnya di pemerintahan. Untuk itu Kementerian Kesehatan menetapkan sasaran strategis: meningkatnya sinergitas antar kementerian/lembaga.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

dua Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 3.7 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 6:

Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga

SS6: Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

6a. Jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan

40% 61,76% 154,40%

6b. Persentase kab/kota yang mendapat predikat baik dalam pelaksanaan SPM

45% 46,5 103,3%

72

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut: a. Jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan

Suatu kementerian dikategorikan mendukung pembangunan kesehatan bila kementerian tersebut telah menjalin suatu kerjasama yang dituangkan ke dalam dokumen tertulis. Dokumen tersebut dapat berupa Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Surat Keputusan Bersama (SKB), Surat Edaran Bersama (SEB), Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU), Peraturan Menteri, dan sebagainya. IKU bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan kementerian lain dalam program kesehatan sehingga sasaran pembangunan nasional di bidang kesehatan dapat tercapai. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kementerian yang mendukung pembangunan kesehatan X 100%

Jumlah seluruh kementerian kesehatan

Pada tahun 2016, terdapat 34 kementerian di Kabinet Kerja, dan 20 diantaranya telah mencatatkan kerjasama dengan Kementerian Kesehatan dalam berbagai bentuknya. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan dinilai baik karena telah berhasil mencapai target yang ditetapkan sebesar 40%. Kementerian-kementerian yang telah bekerjasama terlihat pada tabel berikut.

Tabel 3.8 Kementerian Lain yang Mendukung Pembangunan Kesehatan

Tahun 2016

No Nama Kementerian Dukungan Program Pembangunan Kesehatan

1 Kementerian Perencanana Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/BAPPENAS)

1. Mendukung koordinasi implementasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) di tingkat nasional.

2 Kementerian Dalam Negeri 1. Mendukung Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas).

2. Penyusunan dan Implementasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.

3. Dukungan penyelenggaraan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu).

4. Dukungan pelaksanaan kegiatan bersumber dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)

3 Kementerian Keuangan 1. Mendukung Germas 2. Koordinasi dalam pengalokasian Dana

73

Alokasi Khusus Bidang Kesehatan. 3. Koordinasi dalam pengalokasian Bantuan

Operasional Kesehatan.

4 Kementerian Pemuda dan Olah Raga

Mendukung Germas

5 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Mendukung Germas

6 Kementerian Agama 1. Mendukung Germas 2. Koordinasi pelayanan kesehatan haji 3. Koordinasi penyelenggaraan Pos Kesehatan

Pesantren 4. Koordinasi dalam Vaksinasi TT Calon

Pengantin

7 Kementerian Pertanian 1. Mendukung Germas. 2. Mendukung pelaksanaan Keluarga Sadar

Gizi (Kadarzi).

8 Kementerian Kelautan dan Perikanan

1. Germas

9 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

1. Mendukung Germas. 2. Koordinasi pelaksanaan program Rumah

Sehat

10 Kementerian Perhubungan 1. Germas 2. Mendukung program Keselamatan

Berkendara

11 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

1. Mendukung Germas

12 Kementerian Perdagangan 1. Mendukung Germas 2. Mendukung produksi dan distribusi alat

kesehatan

13 Kementerian Ketenagakerjaan 1. Mendukung Germas

14 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

1. Mendukung Germas

15 Kementerian Komunikasi dan Informasi

1. Mendukung Germas

16 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1. Mendukung Germas

17 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

1. Mendukung program Desa Siaga. 2. Mendukung Desa Sehat

18 Kementerian Perindustrian 1. Mendukung Riset Tanaman Obat dan Jamu 2. Mendukung Produksi dan Distribusi Farmasi

19 Kementerian Sosial 1. Mendukung pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional

20 Kementerian Perhubungan 1. Mendukung program Keselamatan Berkendara

21 Kementerian Pertahanan 1. Mendukung program Nusantara Sehat

74

Pencapaian Iku ini pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Dukungan kebijakan pimpinan nasional.

Tiga fokus utama pembangunan nasional yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo adalah: 1) Infrastuktur; 2) Pembangunan Manusia; dan 3) Kebijakan Deregulasi Ekonomi. Pada fokus pembangunan manusia, tiga hal yang terkait dengan Kementerian Kesehatan adalah: 1) Mewujudkan Keluarga Indonesia Sehat; 2) Program Nusantara Sehat; dan 3) Mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional.

2) Kebijakan Pimpinan Kementerian Kesehatan Pada tahun 2016 telah dimulai pendekatan baru atau paradigma baru dalam kebijakan pembangunan kesehatan. Secara paralel, Kementerian Kesehatan menjalankan pendekatan pembangunan kesehatan yang bersifat lebih komprehensif. Ketika di internal Kementerian Kesehatan diluncurkan Program Indonesia Sehat melalui pendekatan Keluarga yang dikenal dengan Program Keluarga Sehat, di lingkup nasional terdapat program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat atau Germas. Kedua program dimaksud merupakan penjabaran dari seluruh komponen pengelolaan kesehatan sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional, yaitu 1) upaya kesehatan; 2) penelitian dan pengembangan kesehatan; 3) pembiayaan kesehatan; 4) sumber daya manusia kesehatan; 5) sediaan farmasi alat kesehatan, dan makanan; serta 6) pemberdayaan masyarakat.

3) Menyelenggarakan koordinasi antar Kementerian Kesehatan dengan kementerian lain Secara proaktif Kementerian Kesehatan terus melakukan koordinasi, sosialisasi, dan advokasi kepada kementerian lain dalam jajaran pemerintahan guna memperoleh dukungan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan. Forum yang rutin dilaksanakan antara lain dalam kesempatan Rapat Kabinet, Rapat Koordinasi lintas kementerian, maupun dalam penyelenggaraan Rapat Kerja Kesehatan Nasional setiap tahunnya.

Meski hasilnya cukup baik, masih terdapat tantangan yang perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Pemahaman atau persepsi tentang program kesehatan di berbagai

kementerian masih berbeda-beda. 2) Masih terdapatnya ego sektoral atau ego kementerian yang dapat

menyebabkan terhambatnya program pembangunan kesehatan. Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan terus melakukan pendekatan persuasif, advokasi, serta komunikasi lebih intensif dengan seluruh kementerian terkait.

75

Bila dilihat perbandingan dengan tahun sebelumnya seperti tergambar pada grafik xxx, terlihat bahwa jumlah kementerian yang mendukung pembangunan kesehatan pada tahun 2016 lebih banyak dibandingkan tahun 2015. Pada tahun 2015 baru 12 kementerian yang mendukung pembangunan kesehatan, meningkat menjadi 21 kementerian pada tahun 2016. Setelah dilakukan perhitungan, perbandingan antara kenaikan persentase target dan persentase capaian pada tahun 2015 dan tahun 2016 memperlihatkan bahwa ketika target bertambah 20% (dari 20% menjadi 40%), realisasi melesat lebih tinggi yakni sebesar 26,47% (dari 35,29% menjadi 61,76%).

Grafik 3.29 Jumlah Kementerian Lain yang Mendukung Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2016

Indikator ini merupakan indikator yang bersifat dinamis. Meskipun indikator ini bersifat positif (semakin banyak semakin baik), namun penetapan target setiap tahunnya menyesuaikan dengan kebijakan dan perkembangan situasi nasional. Dengan demikian, capaian setiap tahun belum dapat dibandingkan dengan target yang ingin dicapai pada tahun 2019.

b. Persentase kabupaten/kota yang mendapat predikat baik dalam pelaksanaan

SPM Standar Pelayanan Minimal atau SPM, merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Daerah Kabupaten/kota. SPM dimaksud meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja dan target tahun 2010-tahun 2015. Perkembangan yang terjadi pada saat Laporan Kinerja ini disusun, SPM Bidang Kesehatan tengah dalam proses perubahan sekaligus peningkatan kedudukan hukumnya dari semula berupa Peraturan Menteri Kesehatan akan ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah. Rancangan SPM yang baru memberikan perubahan cukup mendasar pada konsep SPM sebelumnya. Konsep SPM Bidang Kesehatan sebelumnya lebih merupakan kinerja program kesehatan

76

sedangkan pada konsep yang baru SPM Bidang Kesehatan lebih diarahkan kepada kinerja Pemerintah Daerah (Pemda). IKU ini disusun ketika SPM masih menganut konsep yang lama dengan tujuan untuk mengetahui kepatuhan daerah kabupaten/kota dalam implementasi SPM. IKU ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Persentase kabupaten/kota yang mendapat predikat baik dalam pelaksanaan SPM dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kabupaten/kota yang mendapat predikat baik dalam pelaksanaan SPM X 100% Jumlah seluruh kabupaten/kota

Rencana Strategis Kementerian Kesehatan menetapkan target indikator ini pada tahun 2019 sebesar 80%. Target pada setiap tahunnya ditetapkan sesuai arahan atau kebijakan pimpinan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, termasuk pertambahan jumlah kabupaten/kota yang terjadi pada tahun dimaksud. Pada tahun 2016, Kementerian Kesehatan telah menetapkan sebesar 45% kabupaten/kota mendapat predikat baik dalam pencapaian SPM Bidang Kesehatan.

Pengukuran capaian indikator ini pada tahun 2016 menggunakan data yang telah dikumpulkan pada tahun 2015. Hal ini dilakukan karena capaian SPM pada tahun 2016 baru akan dilaporkan pada tahun 2017. Berdasarkan data yang dihimpun di Kementerian Kesehatan pada tahun 2016, terdapat 239 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota telah mendapat predikat baik dalam pelaksanaan SPM atau mencapai 46,5%. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator ini pada tahun 2016 dinilai baik karena telah melebihi target yang ditetapkan sebesar 45%. Bila dibandingkan capaian pada tahun 2016 dengan capaian tahun sebelumnya, akan terlihat terjadinya peningkatan sebagaimana terlihat pada grafik berikut.

77

Grafik 3.30 Persentase Kabupaten/Kota yang Mendapat Predikat Baik pada Tahun 2015-Tahun 2016

Pencapaian pada tahun 2016 yang melampaui target tersebut didukung oleh sejumlah upaya, yaitu: 1) Menyelenggarakan pertemuan koordinasi periodik tingkat pusat dan

daerah, antara lain dalam forum Rapat Kerja Kesehatan Nasional. 2) Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan disseminasi kepada Pemerintah

Daerah. 3) Melakukan pembinaan wilayah kepada daerah binaan. 4) Meningkatkan pengawasan melalui monitoring dan evaluasi penerapan

SPM di daerah, serta 5) Melaksanakan koordinasi lintas sektor dan program.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Adanya keterbatasan sumber daya di daerah kabupaten/kota dalam

mengimplementasikan SPM. 2) Proses pengumpulan data capaian SPM secara berjenjang sejak dari

Puskesmas hingga ke Pusat masih memerlukan perhatian mengingat kondisi di lapangan yang bervariasi antar daerah.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Memberikan dukungan dalam pendanaan baik melalui anggaran Dekonsentrasi maupun Dana Alokasi Khusus.

2) Secara berkesinambungan mengupayakan terselenggaranya pelatihan atau capacity building terkait pencapaian target-target indikator SPM.

Setelah melihat kecenderungan yang terjadi pada tahun 2015-2016, serta menggunakan asumsi kenaikan realisasi capaian setiap tahun sebesar 16,50% seperti yang terjadi pada tahun 2015-2016, maka dapat diperkirakan realisasi yang akan dicapai pada tahun 2019 adalah 96%. Capaian tersebut telah melebih yang ditargetkan pada tahun 2019 sebesar 80%. Namun demikian, capaian sebesar 96% hanya akan dapat dicapai dengan upaya keras untuk mempertahankan, dan bila mungkin meningkatkan persentase kenaikan realisasi setiap tahunnya.

78

Grafik 3.31 Persentase Kabupaten/Kota yang Mendapat Predikat Baik dalam Pelaksanaan SPM Tahun 2015-2019

7) Sasaran Strategis 7: Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 3.9 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 7:

Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri

SS7: Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

7a. Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan

8 11 137,5%

7b. Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung kesehatan

6 6 100%

7c. Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan yang diimplementasikan

9 9 100%

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan Keberhasilan pembangunan kesehatan dipengaruhi oleh banyak determinan, yaitu determinan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Dengan demikian pembangunan kesehatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan masyarakat saja, tetapi juga dunia usaha dan swasta. Salah satu potensi besar yang merupakan peran serta dunia usaha dan swasta dalam pembangunan kesehatan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)-nya. Upaya tersebut diperkuat dengan adanya kesepakatan bersama antara Kementerian Kesehatan dengan Dunia Usaha dan Swasta.

79

Sampai dengan tahun 2016 terdapat 11 badan usaha yang memanfaatkan CSR-nya untuk mendukung program kesehatan, yaitu 1) PT. Sanghiang Perkasa; 2) PT. Pertamina Bina Medika; 3) PT. Fresenius Medical Care Indonesia; 4) PT. Megasari Makmur; 5) PT. Tempo Inti Media, Tbk; dan 6) PT. Boehringer Ingelheim Indonesia. 7) PT. K-24 Indonesia; 8) PT. Herlina Indah; 9) PT. Media Inovasi Global; 10) PT. Merck Sharp Dohme Pharma; serta 11) Center For Indonesia Medical Student`s Activities (CIMSA). Dengan demikian capaian di tahun 2016 telah melebihi target yang ditetapkan, sehingga persentase realisasi sebesar 137,5% . Pemanfaatan CSR oleh badan usaha sampai dengan tahun 2016 didukung oleh hal-hal sebagai berikut: 1) Tumbuhnya kesadaran dunia usaha akan pentingnya keberlangsungan

perusahaan, dimana kegiatan CSR juga merupakan salah satu bagian dari kampanye branding dan citra postif perusahaan.

2) Iklim investasi yang kondusif mendorong munculnya perusahan-perusahaan baru sebagai calon mitra potensial.

Selain itu, upaya lainnya yang dilakukan untuk mencapai target di tahun 2016, antara lain: 1) Menyusun buku terkait kegiatan CSR. 2) Melakukan sosialisasi program prioritas kesehatan kepada dunia

usaha/swasta. 3) Menyusun MoU/Perjanjian Kerja Sama atau PKS dengan dunia

usaha/swasta dengan Kementerian Kesehatan. 4) Melaksanakan orientasi modul CSR bagi pengelola program promosi

kesehatan. 5) Melakukan monitoring pelaksanaan kegiatan PKS dengan dunia usaha.

Hal-hal yang masih menjadi tantangan dalam mencapai target indikator ini adalah sebagai berikut: 1) Beberapa dunia usaha hanya ingin bentuk kerja sama sponsorship dalam

event tertentu yang tidak mengikat dan berkelanjutan. 2) Perbedaan Aturan/kebijakan dan proses administrasi antara Kementerian

Kesehatan dan dunia usaha, sehingga membutuhkan waktu untuk berkoordinasi lebih lanjut dalam penyusunan MoU dan Perjanjian Kerja Sama.

Alternatif solusi yang diupayakan adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan upaya advokasi secara formal maupun informal kepada

dunia usaha terkait pentingnya peran serta dunia usaha dalam upaya pembangunan kesehatan.

2) Menginformasikan dan menekankan kembali bahwa pelaksanaan kerjasama diarahkan pada kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan.

80

3) Melakukan koordinasi terkait legal aspek antara Legal Officer perusahaan dengan Kementerian Kesehatan.

Bila dibandingkan realisasi yang dicapai pada tahun 2015 dan tahun 2016 maka akan terlihat bahwa capaian kinerja pada tahun 2016 lebih baik dibandingkan realisasi tahun 2015, dimana ada penambahan 6 dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan di tahun 2016, sehingga sampai dengan tahun 2016 terdapat 11 dunia usaha.

Grafik 3.32 Target dan Realisasi Dunia Usaha yang Memanfaatkan CSR Untuk Program Kesehatan Tahun 2015-Tahun 2016

Selanjutnya bila diproyeksikan dalam perbandingan jangka menengah seperti terlihat pada grafik 3.33, maka 20 dunia usaha yang menjadi target 2019 akan tercapai.

Grafik 3.33 Target dan Realisasi Dunia Usaha yang Memanfaatkan CSR Untuk Program Kesehatan Tahun 2015-2019

81

b. Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung kesehatan

Organisasi Kemasyarakatan (ormas) merupakan kelompok potensial yang dapat diberdayakan untuk meningkatkan perilaku sehat masyarakat karena mereka memiliki sumber daya sampai di grass root. Kementerian Kesehatan menggalang peran serta ormas, baik ormas keagamaan, kepemudaan, maupun wanita untuk meningkatkan jangkauan akses informasi kesehatan dan pemberdayaan program kesehatan prioritas terhadap masyarakat luas. Sampai dengan tahun 2016 terdapat 6 ormas yang memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung program kesehatan masyarakat yaitu 1) Nahdlatul Ulama (NU), 2) Pergerakan Wanita Nasional Indonesia (Perwanas), 3) Aisyah, 4) Muslimat Nadhlatul Ulama 5) Perdhaki, dan 6) Pramuka. Sehingga capaian telah memenuhi target yang ditetapkan ditahun 2016 sebesar 6 ormas (100%) Langkah-langkah yang telah ditempuh pada tahun 2016 guna meraih target yang ditetapkan mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Melaksanakan sosialisasi program kerjasama peningkatan peran serta

ormas dan pihak lain. 2) Penyusunan dan penguatan rencana kinerja organisasi kemasyarakatan

dan pihak lain. 3) Pengembangan pedoman peran serta ormas dan pihak lain dalam

mendukung perilaku sehat. 4) Pengembangan, review, dan pencetakan buku petunjuk pelaksanaan

kegiatan organisasi kemasyarakatan. 5) Fasilitasi peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan. 6) Koordinasi pengembangan pengorganisasian masyarakat di lintas program.

Hal-hal yang mendukung tercapainya target yang ditetapkan pada tahun 2016 adalah sebagai berikut: 1) Adanya jaminan hukum terhadap kebebasan berorganisasi bagi setiap

anggota masyarakat mendorong afiliasi masyarakat ke dalam organisasi kemasyarakatan yang baru maupun organisasi kemasyarakatan yang sudah mapan dan memiliki basis massa yang luas.

2) Permasalahan kesehatan adalah salah satu tema sentral yang juga menjadi fokus dan perhatian organisasi kemasyarakatan yang ada selain isu sosial lainnya seperti lingkungan hidup, keagamaan, pembangunan, dan lain sebagainya.

Realisasi capaian kinerja indikator ini masih menghadapi sejumlah tantangan yaitu: 1) Belum semua Ormas calon mitra potensial memiliki memenuhi persyaratan

untuk MoU dengan Kementerian Kesehatan sesuai Permenkes Nomor 74 Tahun 2015 tentang Pengembangan Peran Serta Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kesehatan.

82

2) Terbatasnya sumber daya yang dimiliki Ormas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya pembangunan kesehatan.

Solusi yang dapat menjadi alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan, adalah sebagai berikut: 1) Pembinaan terhadap Ormas yang belum memenuhi syarat sesuai

Permenkes Nomor 74 Tahun 2015 tentang Pengembangan Peran Serta Organisasi Kemasyarakatan.

2) Melakukan pendampingan teknis dan administrasi yang lebih intens untuk meningkatkan kinerja Ormas yang telah bekerjasama.

Bila dibandingkan realisasi yang dicapai pada tahun 2015 dan tahun 2016 maka akan terlihat bahwa capaian kinerja pada tahun 2016 lebih baik dibandingkan realisasi tahun 2015, dimana ada penambahan 3 ormas yang memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung kesehatan sampai dengan tahun 2016, sehingga sampai dengan tahun 2016 terdapat 6 ormas.

Grafik 3.34 Target dan Realisasi Organisasi Kemasyarakatan yang Memanfaatkan Sumber Dayanya untuk Mendukung Kesehatan Tahun 2015-Tahun 2016

Selanjutnya bila diproyeksikan dalam perbandingan jangka menengah seperti terlihat pada grafik 3.35, maka 15 ormas yang menjadi target 2019 akan tercapai.

83

Grafik 3.35 Target dan Realisasi Organisasi Kemasyarakatan yang Memanfaatkan Sumber Dayanya untuk Mendukung Kesehatan Tahun 2015-2019

c. Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan yang diimplementasikan

Kesehatan merupakan isu internasional karena masalah kesehatan dihadapi oleh semua negara di dunia. IKU ini bertujuan untuk mengukur kemampuan Indonesia untuk mengadopsi kesepakatan internasional, termasuk di tingkat regional, atau bilateral yang akan berpengaruh pada pembangunan kesehatan di Indonesia. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan yang diimplementasikan dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh dokumen kesepakatan kerjasama luar negeri yang melibatkan Indonesia terkait bidang kesehatan.

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dikoordinir oleh Biro Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kesehatan, jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri yang disepakati untuk diimplementasikan berjumlah sembilan kesepakatan. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator ini telah memenuhi target yang ditetapkan yakni sebanyak 9 dokumen pada tahun 2016. Rincian kesepakatan yang diimplementasikan adalah sebagai berikut:

84

Tabel 3.10 Tabel Daftar Kesepakatan Kerjasama Luar Negeri di Bidang Kesehatan yang Diimplementasikan Tahun 2016

No Uraian

Kerjasama Luar Negeri Bilateral

1 Penandatanganan Dokumen Pengaturan Pelaksanaan Penelitian Penyakit Menular RI-AS/IA NIH RI – USA

2 Penandatanganan Individual Arrangement (IA) Assistance Agreement No. 497-AA-030 (AA 030) RI-USAID tanggal 30 September 2016

3 MoU Kerjasama Kemenkes RI dengan AIDS Healthcare Foundation (AHF)

4 Protokol Perubahan MoU Kerja Sama Kemenkes RI dengan Helen Keller International (HKI)

Kerjasama Luar Negeri Regional

5 Dokumen yang dihasilkan pada Pertemuan The 2nd Meeting of ASEAN Health Cluster 1: Promoting Healthy Lifestyle

6 Dokumen yang dihasilkan pada Rangkaian Pertemuan ASEAN Coordinating Committee on Services Ke-85

7 Pertemuan SOM-3 APEC Bidang Kesehatan

Kerjasama Luar Negeri Multilateral

8 Resolusi World Health Assembly of the World Health Organization ke-69

9 Jakarta Call for Action (GHSA Action Package Coordination Meeting)

Dibalik terpenuhinya target jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan yang diimplementasikan pada tahun 2016, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Keberhasilan Indonesia atau Kementerian Kesehatan menyelenggarakan

pertemuan internasional. 2) Komitmen pimpinan nasional dan Kementerian Kesehatan untuk mengikuti

perkembangan isu-isu internasional, terutama terkait bidang kesehatan. 3) Tersedianya dukungan pembiayaan yang cukup.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Dinamika internasional berlangsung dengan sangat cepat, khususnya

perkembangan isu-isu politik dan ekonomi. Kesehatan merupakan isu yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh perkembangan isu-isu lainnya di dunia internasional.

2) Sumber daya manusia di Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi untuk berkontribusi di forum internasional masih terbatas. Ini akan berpengaruh pada mutu kesepakatan internasional yang dihasilkan.

85

3) Masih belum optimalnya koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait kerjasama internasional di bidang kesehatan.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Melakukan komunikasi dan koordinasi intensif dengan kementerian atau lembaga terkait, terutama Kementerian Luar Negeri untuk mengetahui peta politik dan ekonomi di dunia internasional.

2) Memberikan kesempatan kepada sumber daya manusia di Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan kompetensinya, termasuk melalui pemberian kesempatan mengikuti kegiatan internasional.

3) Terus meningkatkan koordinasi, baik di internal Kementerian Kesehatan maupun di lingkup nasional.

Pada grafik III-36 dapat diketahui bahwa target jumlah kesepakatan luar negeri di bidang kesehatan yang diimplementasikan selalu dapat dicapai. Berdasarkan data capaian dua tahun tersebut, diharapkan realisasi pada tahun-tahun berikutnya dapat tercapai pula.

Grafik 3.36 Target dan Realisasi Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang

kesehatan yang diimplementasikan Tahun 2015-2019

8) Sasaran Strategis 8: Meningkatnya Integrasi Perencanan, Bimbingan Teknis, dan Pemantauan Evaluasi Keberhasilan pembangunan kesehatan akan tercapai bila memperoleh dukungan

manajemen yang memadai. Perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan kesehatan adalah komponen administrasi manajemen yang sangat penting. Kualitas perencanaan yang baik disertai pendampingan dalam pelaksanaannya berupa bimbingan teknis, serta pemantauan dan evaluasi program yang valid dan komprehensif akan menentukan tingkat kesuksesan pembangunan kesehatan.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

dua Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

86

Tabel 3.11 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 8: Meningkatnya Integrasi Perencanan,

Bimbingan Teknis, dan Pemantauan Evaluasi

SS8: Meningkatnya Integrasi Perencanan, Bimbingan Teknis, dan Pemantauan Evaluasi

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

8a. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai sumber

16 16 100%

8b. Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu

34 34 100%

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai sumber

Masalah pembiayaan pembangunan kesehatan masih menjadi masalah di berbagai daerah. Hal ini dapat dilihat dari besarnya usulan atau permohonan yang diajukan oleh Pemda (dinas kesehatan) kepada pemerintah pusat , termasuk kepada Kementerian Kesehatan. Kebijakan yang ditempuh oleh Kementerian Kesehatan adalah mendorong Pemda untuk lebih kreatif dalam merencanakan program pembangunan kesehatan, termasuk merencanakan penganggarannya dengan mengeksplorasi sumber-sumber pembiayaan lainnya yang sah. IKU ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan komitmen dan kapasitas Pemda dalam melaksanakan program pembangunan kesehatan di wilayahnya. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai sumber dihitung dengan cara menjumlahkan provinsi yang telah memiliki perencanaan dan anggaran yang terintegrasi dari berbagai sumber. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai sumber pada akhir tahun 2016 mencapai 16 provinsi, yaitu: 2) DKI Jakarta; 3) Jawa Barat; 4) Sumatera Utara; 5) Sulawesi Selatan; 6) Lampung; 7) Banten; 8) Jawa Tengah; 9) Jawa Timur;

87

10) Sumatera Selatan; 11) Kalimantan Barat; 12) Kalimantan Timur; 13) Riau; 14) Maluku; 15) Nusa Tenggara Timur; 16) Gorontalo; dan 17) Sulawesi Barat. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai sumber dinilai cukup baik karena telah memenuhi target yang ditetapkan sebanyak 16 provinsi pada tahun 2016.

Hasil pencapaian pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik didukung oleh kegiatan atau upaya sebagai berikut: 1) Melaksanakan sosialiasi dan advokasi kepada Pemda, misal pada kegiatan

rutin seperti Rapat Kerja Kesehatan Nasional, Rapat Kerja Kesehatan Daerah, Rapat Konsolidasi/Koordinasi Dana Alokasi Khusus dan sebagainya.

2) Meningkatkan kapasitas tenaga perencana di Pemda atau Dinas Kesehatan melalui penyelenggaraan pelatihan.

3) Melaksanakan pendampingan dalam perencanaan dan penganggaran.

Meskipun hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Komitmen Pemda masih belum kurang dalam mendukung pelaksanaan

program kesehatan. Beberapa Pemda justru memiliki kecenderungan untuk mengurangi anggaran kesehatan dari Pemda bila Pemerintah Pusat memberikan tambahan alokasi anggaran ke daerah tersebut.

2) Kompetensi, kapasitas, dan jumlah tenaga perencanaan di daerah masih perlu ditingkatkan.

3) Koordinasi dalam perencanaan dan penganggaran baik di internal Pemda maupun antara Pemda dan Pemerintah Pusat masih belum optimal.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai alternatif solusi berikut: 1) Mendorong komitmen Pemda untuk terus meningkatkan perhatian pada

bidang kesehatan, dibuktikan dengan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pembangunan kesehatan. Ke depan, akan terus dikembangkan pola reward and punishment yang dapat diimplementasikan, misal pemberian penghargaan oleh Menteri Kesehatan kepada Pemda (diwakili olehKepala Dinas Kesehatan) yang memiliki alokasi anggaran kesehatan tertinggi dalam dokumen APBD-nya.

88

2) Melanjutkan pemberian pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi tenaga perencana di Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota.

3) Meningkatkan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, misal Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri agar lebih banyak Pemda yang mampu menyusun rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai sumber.

4) Melakukan monitoring dan evaluasi serta pendampingan secara kontinyu. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, akan terlihat bahwa realisasi capaiannya terpenuhi secara konsisten setiap tahun. Pada tahun 2015, target 9 provinsi dapat terpenuhi 100%. begitu pula pada tahun 2016 target 16 provinsi dapat terpenuhi 100%.

Grafik 3.37 Target dan Realisasi Jumlah Provinsi yang Memiliki Rencana Lima Tahun dan Anggaran Kesehatan Terintegrasi dari Berbagai Sumber

Tahun 2015-2016

Dengan asumsi realisasi capaian target setiap tahun konstan sebesar 100% hingga tahun 2019, kemungkinan besar target 34 provinsi pada akhir periode Renstra Tahun 2015-2019 dapat dipenuhi.

89

Grafik 3.38 Target dan Realisasi Jumlah Provinsi yang Memiliki Rencana Lima Tahun dan Anggaran Kesehatan Terintegrasi dari Berbagai Sumber

Tahun 2015-2019

b. Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu

Monitoring dan evaluasi secara luas dikenal sebagai suatu elemen yang krusial dalam pengelolaan dan implementasi program dan kebijakan dalam organisasi. Penggunaam informasi atau temuan dari hasil monitoring dan evaluasi selama dan sesudah pelaksanaan program dapat dilihat sebagai hal pokok dari sistem pelaporan dan akuntabilitas dalam menunjukkan kinerja, dan atau untuk belajar dari pengalaman untuk meningkatkan kinerja di masa depan. Kementerian Kesehatan memandang penting monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Sejak tahun 2015 Kementerian Kesehatan memiliki kebijakan monitoring dan evaluasi program pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh unit eselon I, tidak lagi berjalan parsial oleh masing-masing unit. Monitoring dan evaluasi program pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui pendekatan kewilayahan yang lebih komprehensif. IKU ini bertujuan agar seluruh masalah pelaksanaan program pembangunan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia dapat dicarikan alternatif-alternatif solusi yang integratif dan komprehensif. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Indikator Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu dihitung dengan cara menghitung jumlah dokumen rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan monitoring evauasi terpadu yang dihasilkan pada satu tahun tertentu. Target jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu ditetapkan dengan asumsi setiap kali pelaksanaan monitoring dan evaluasi terpadu program pembangunan kesehatan di suatu wilayah pada suatu provinsi akan menghasilkan satu dokumen rekomendasi. Ketika Renstra Kementerian

90

Kesehatan Tahun 2015-2019 disusun terdapat 34 provinsi. Jumlah tersebut yang digunakan sebagai dasar penetapan target pada tahun 2015 hingga tahun 2019.

Pada tahun 2016 telah dilaksanakan monitoring dan evaluasi terpadu di seluruh wilayah Indonesia dan hasil pengumpulan dokumen rekomendasi hasil monitoring dan evaluasi terpadu menghasilkan sebanyak 34 dokumen rekomendasi. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator kinerja ini dinilai baik karena telah berhasil mencapai target yang ditetapkan sebesar 34 dokumen pada tahun 2016.

Pencapaian indikator kinerja ini pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil baik didukung oleh hal-hal sebagai berikut, yaitu: 1) Komitmen pimpinan Kementerian Kesehatan.

Menteri Kesehatan telah menetapkan Surat Keputusan tentang Pembina, Pendamping, dan Koordinator Wilayah serta Pendukung Pembina Wilayah di lingkungan Kementerian Kesehatan. SK pertama diterbitkan pada tahun 2015, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/42/2015 yang kemudian diperbarui dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/221/2016.

2) Dukungan lintas sektor Pelaksanaan monitoring dan evaluasi Kementerian Kesehatan dengan pendekatan kewilayahan membutuhkan koordinasi dan keterlibatan semua kementerian/lembaga terkait, antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Keuangan. Kementerian Dalam Negeri merupakan kementerian yang berperan penting sebagai pembina pemerintah daerah, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/BAPPENAS) memiliki kewenangan dalam perencanaan nasional, berperan dalam pelaksanaan Musyawarah Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang mempertemukan jajaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta mengelola sistem monitoring dan evaluasi program pembangunan nasional, serta memiliki keterkaitan tugas dan fungsi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Kementerian Keuangan berperan sentral dalam mengelola keuangan negara, termasuk pengelolaan dana transfer ke daerah. Pemda masih memerlukan dukungan pendanaan yang berasal dari dana transfer.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah tantangan masih perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan. Tantangan tersebut adalah: 1) Meski pimpinan komitmen pimpinan Kementerian Kesehatan telah cukup

tinggi, namun dalam pelaksanaanya tidak mudah untuk mengirimkan tim monitoring dan evaluasi yang berisi perwakilan dari seluruh unsur unit eselon I karena faktor kesibukan masing-masing.

91

2) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terpadu sangat tergantung kepada kondisi lapangan di daerah yang akan dituju. Masih terdapat wilayah dengan akses transportasi yang sulit sehingga menjadi kendala dalam melakukan kunjungan lapangan.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Melakukan persiapan, penjadwalan, dan koordinasi dalam rangka

pelaksanaan monitoring dan evaluasi terpadu lebih dini secara intensif dengan memperhatikan agenda kerja (khususnya agenda kerja para pejabat eselon I dan II) masing-masing unit.

2) Melakukan koordinasi lebih intensif dengan berbagai pihak, terutama Pemerintah Daerah yang akan dikunjungi dalam rangka pelaksanaan kunjungan lapangan ke wilayah-wilayah sulit.

Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, akan terlihat bahwa realisasi capaian terpenuhinya secara konsisten setiap tahun. Pada tahun 2015, target 34 dokumen rekomendasi dapat terpenuhi 100%. begitu pula pada tahun 2016 target 34 dokumen rekomendasi dapat terpenuhi 100%.

Grafik 3.39 Target dan Realisasi Jumlah Rekomendasi Monitoring Evaluasi Terpadu Tahun 2015-2016

Pada grafik III-40 dapat dilihat bahwa dengan hasil capaian pada tahun 2016 yang masih on track, dapat diperkirakan target pada tahun 2019 sebesar 34 dokumen rekomendasi (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) masih sangat mungkin tercapai. Ke depan, perlu komitmen kuat serta perencanaan dan koordinasi yang lebih baik guna menjamin tercapainya target pada tahun 2019.

92

Grafik 3.40 Target dan Realisasi Jumlah Rekomendasi Monitoring Evaluasi Terpadu Tahun 2015-2019

9) Sasaran Strategis 9: Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam rangka terselenggaranya pelayanan

kesehatan masyarakat. Pemerintah terus mengupayakan pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan guna memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

tiga Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 3.12 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 9: Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

SS9: Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

9a. Jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI 8 8 100%

9b. Jumlah rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan kesehatan yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan .

24 24 100%

9c. Jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi masyarakat

3 3 100%

Uraian tentang ketiga IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah melakukan sejumlah penelitian dalam rangka mendukung pembangunan kesehatan di Indonesia. Penelitian merupakan investasi yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang kesehatan

93

sehingga perlu diatur penggunaan dan pemanfaatannya. Secara nasional, pengaturan pemanfaatan hasil penelitian adalah dengan mendaftarkannya sebagai Hasil Kekayaan Intelektual (HKI) pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. IKU ini bertujuan agar semua hasil penelitian di bidang kesehatan dapat tercatat secara sah sehingga pemanfaatannya lebih terjamin. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya semakin besar. IKU ini dihitung dengan cara menghitung jumlah hasil penelitian dan pengembangan kesehatan yang didaftarkan HKI dengan bukti telah menerima nomor registrasi. Berdasarkan hasil pencatatan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, jumlah hasil penelitian yang berhasil didaftarkan HKI pada tahun 2016 mencapai 8 hasil penelitian, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 3.13 Tabel Daftar Judul Penelitian yang Telah Didaftarkan HKI

Tahun 2016

No Judul Penelitian No. Registrasi HKI

1 Lukisan Serangga C 0020 1603 609

2 Replika Nyamuk C 0020 1603 608

3 Film Pendek Siklus Nyamuk Aedes aegepty C 0020 1603 607

4 Display Diorama Survey Entomologi C 0020 1603 606

5 Tempat Sampah Berperangkap untuk Pengendalian Tikus

C 0020 1603 605

6 Display Diorama Pengendalian Leptospirosis C 0020 1603 610

7. Buku Instruksi Kerja Pemeliharaan Nyamuk C 0020 1700431 8. Buku Resep Olahan Sehat Berkhasiat Obat C 0020 1700433

Hasil capaian pada tahun 2016 memenuhi target yang ditetapkan pada tahun 2016 sebanyak 8 hasil penelitian (100%). Jumlah hasil penelitian pada tahun 2016 bila diakumulasikan dengan hasil penelitian tahun 2015 mencapai 22 penelitian. Dalam Renstra tahun 2015-2019 target yang ditetapkan merupakan target akumulatif, namun dalam perjanjian kinerja target yang ditetapkan adalah target tahunan.

Dalam rangka untuk terus meningkatkan kualitas HKI upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Melakukan mekanisme quality control untuk memilah kandidat kekayaan intelektual yang akan didaftarkan dan memenuhi kebutuhan program.

2) Melakukan proses identifikasi potensi Kekayaan Intelektual lebih awal. Sebelumnya proses identifikasi Kekayaan Intelektual baru dilakukan setelah penelitian selesai sepenuhnya. Ke depan, proses identifikasi Kekayaan Intelektual akan dimulai sejak protocol penelitian disusun.

94

Pada grafik 3.41 dapat dilihat bahwa realisasi jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI pada tahun 2015 dan 2016 menunjukkan kecenderungan meningkat, dan secara akumulatif realisasi pada tahun 2016 melebihi target yang ditetapkan dalam renstra sebanyak 21 jumlah hasil penelitian. Dengan terus meningkatkannya jumlah penelitian yang didaftarkan HKI, diharapkan target pada tahun 2019 sebesar 35 tercapai.

Grafik 3.41Jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI Tahun 2015-2019

b. Jumlah rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan kesehatan yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan IKU didefinisikan dengan jumlah rekomendasi kebijakan (policy brief/policy paper) yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan yang disampaikan dalam forum atau pertemuan kepada pengelola program dan atau pemangku kepentingan. IKU ini bertujuan untuk efektivitas pemanfaatan hasil penelitian yang telah dihasilkan. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. IKU dihitung dengan cara menghitung jumlah kumulatif rekomendasi kebijakan (policy brief/policy paper) yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan yang disampaikan dalam forum atau pertemuan kepada pengelola program dan atau pemangku kepentingan yang dibuktikan dengan adanya policy paper dan laporan forum/pertemuan. (menghitung target/baseline berdasarkan perhitungan rekomendasi sesuai isu strategis yang telah diadvokasikan).

95

Hasil pencatatan yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2016 terdapat 24 rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan kesehatan yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan. Realisasi tersebut dinilai cukup baik karena telah memenuhi target yang ditetapkan sebesar 24 rekomendasi kebijakan. Rincian rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.14 Judul Rekomendasi Kebijakan yang telah Diadvokasikan Tahun 2016

No Judul

1 Pelarangan Penggunaan Tiga Jenis Tanaman Berdampak Negatif Berat Bagi Kesehatan Masyarakat (Hasil Ristoja 2012 dan 2015)

2 Pembatasan Penggunaan Tanaman Purik atau Kratom

3 Pemanfaatan Jamu Saintifik oleh Masyarakat Secara Mandiri

4 Eliminasi Malaria Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta

5 Perangkap Pembunuh Jentik Sebagai Nilai “Plus” Dalam PSN 3M

6 Paparan Iodium Yang Sudah Berlebih pada Balita dan Anak-anak di Indonesia (From Kapus)/Strategi untuk Menurunkan paparan Iodium pada Anak-Anak dan Balita

7 Daging Sapi Beku ... Masih Bergizikah?

8 Optimalisasi Suplementasi dan Fortifikasi Asam Folat untuk Pencegahan Kelainan Bawaan Tabung Saraf (Neural Tube Defects)

9 Rickettsia Sebagai Penyebab Demam Akut di Indonesia

10 Menakar Keberadaan Program Internship Dokter Indonesia

11 Optimalisasi RKO untuk Fasilitas Kesehatan Pemerintah dan Swasta sebagai Salah Satu Solusi Mengatasi Kekosongan Obat di Era Jaminan Kesehatan Nasional

12 Perbaikan Tata Kelola Distribusi Tenaga Kesehatan Berbasis Tim Menuju Nusantara Yang Lebih Sehat

13 Pengendalian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Peta Resistensi Vektor terhadap Insektisida

14 Pemenuhan Gizi Iodium Ibu Hamil untuk Mendukung Program 1000 Hari Pertama Kehidupan

15 Risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) pada Anak Sekolah: Suatu Ancaman Bagi Generasi Muda di Indonesia

16 Kebijakan GERMAS dalam upaya peningkatan IPKM: Kabupaten Batang Hari dalam menciptakan lingkungan sehat

17 Kabupaten Pesawaran Sehat Tanpa Rokok

18 Kebijakan GERMAS dalam Upaya Peningkatan IPKM: Kabupaten Tanjung Jabung Barat Lebih Sehat Dengan Cek Kesehatan Secara Rutin

19 Kebijakan GERMAS dalam Meningkatkan IPKM: Tantangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Kabupaten Tanggamus dalam menggunakan jamban sehat dan cuci tangan dengan benar

20 Kebijakan GERMAS dalam Mendukung Kesehatan Lingkungan Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Timur

21 Pendekatan Germas dalam Kegiatan Posyandu Untuk Meningkatkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Kabupaten Muaro Prov. Jambi Tahun

96

No Judul

2013

22 Pentingnya Pemetaan kembali Habitat Keong Perantara Schistosomiasis untuk Pengendalian Schictosomiasis oleh Lintas Sektor

23 Kebijakan dalam Optimalisasi Kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

24 Upaya Peningkatan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan yang Berkualitas

Hasil capaian pada tahun 2016 didukung oleh komitmen pimpinan Kementerian Kesehatan untuk terus mendorong pelaksanaan advokasi rekomendasi kebijakan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan. Namun demikian, masih terdapat tantangan yang harus dihadapi dalam rangka mencapai target IKU ini, yaitu: 1) Kapasitas peneliti untuk menuangkan hasil penelitian menjadi rekomendasi

kebijakan dan melakukan advokasi kepada para pengelola program dan atau pemangku kepentingan masih belum cukup.

2) Belum optimalnya upaya penyebarluasan hasil penelitian kesehatan sehingga dapat diketahui dan dimanfaatkan oleh para pengelola program dan pemangku kepentingan sebagai bahan untuk menyusun, melaksanakan, mengevaluasi kebijakan dan intervensi yang perlu dilakukan.

3) Belum optimalnya upaya menangkap isu-isu kesehatan yang memerlukan dukungan informasi hasil penelitian kesehatan sehingga dapat ditindaklanjuti dan dimanfaatkan semua pihak.

Menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Kesehatan akan melakukan langkah-langkah dalam rangka mencapai target IKU ini, yaitu: 1) Melakukan perencanaan advokasi lebih awal sehingga memiliki lebih

banyak waktu untuk melakukan persiapan dan penyusunan rekomendasi. 2) Melakukan advokasi lebih awal secara bertahap dengan memanfaatkan

setiap kesempatan atau forum yang melibatkan para pengelola program dan pemangku kepentingan, misalnya Rapat Pimpinan, Rapat Kerja, dan sebagainya.

3) Menyusun mekanisme pelaksanaan advokasi. 4) Meningkatkan kapasitas peneliti dalam rangka menghasilkan materi dan

rekomendasi kebijakan yang lebih berkualitas.

Realisasi tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 secara kumulatif mengalami peningkatan dengan persentase realisasi 100%. Pada grafik III-42 dapat dilihat pula bahwa dengan hasil capaian rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan kesehatan yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan pada tahun 2015 dan tahun 2016 selalu memenuhi target yang ditetapkan. Bila tren ini dapat dipertahankan, diperkirakan target pada tahun

97

2019 sebesar 120 (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) dapat tercapai.

Grafik 3.42 Jumlah Rekomendasi Kebijakan Berbasis Penelitian dan Pengembangan Kesehatan yang Diadvokasikan ke Pengelola Program Kesehatan

dan atau Pemangku Kepentingan Tahun 2015-2019

c. Jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan

dan gizi masyarakat IKU ini memiliki definisi operasional jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional yang dituliskan berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan (sesuai dengan agenda Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan). IKU ini bertujuan untuk mendorong lebih banyak penelitian dan pengembangan bidang kesehatan yang dihasilkan. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Berdasarkan hasil pencatatan yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi masyarakat sampai dengan akhir tahun 2016 mencapai 4 dokumen. Secara kumulatif capaian IKU ini dinilai cukup baik karena telah memenuhi target yang telah ditetapkan. Rincian hasil capaiannya tersebut adalah sebagai berikut:

1) Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat Riskesnas yang dilakukan pada tahun 2015 adalah Riset Analisis Cemaran Kimia pada Makanan (ACKM)

2) Survey Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas)

98

Output Sirkesnas adalah data pencapaian indikator pembangunan kesehatan dalam Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 dan RPJMN 2015-2019 secara nasional dan wilayah sebagai dukungan bagi pemerintah dalam merancang intervensi dan mengalokasikan peran yang lebih spesifik dan tajam untuk pencapaian target indikator kesehatan.

3) Riset Penyakit Tidak Menular Output Riset Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah untuk mendapatkan angka prevalensi perempuan usia 25-64 tahun dengan tumor payudara dan lesi prakanker serviks di daerah perkotaan Indonesia.

4) Riset Khusus Vektor dan Reservoar (Rikhus Vektora) Output Rikhus Vektora adalah pemutakhiran data vektor dan reservoir penyakit sebagai dasar pengendalian penyakit tular vektor dan reservoir, baik yang baru ataupun yang timbul kembali (new dan re-emerging) di Indonesia

Jumlah laporan Riskesnas bidang gizi dan kesehatan masyarakat telah berhasil memenuhi target yang ditetapkan dalam Renstra 2015 -2019, hal ini didukung oleh adanya perencanaan yang matang, dukungan manajemen, tim teknis dan tim pakar, selain itu hasil-hasil Riskesnas telah diadvokasikan kepada program dan Menteri Kesehatan sehingga dapat memberikan manfaat bagi pembangunan kesehatan.

Dibalik pencapaian laporan Riset Kesehatan Nasional pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi, yaitu: 1) Terjadinya keterlambatan dalam kegiatan Penyusunan Laporan

(Menyusun/Editing Laporan) Riset Penyakit Tidak Menular (PTM) karena jadwal waktu pengumpulan data pada Riset ini mengalami kemunduran akibat proses pengadaan barang yang belum selesai.

2) Terjadinya efisiensi pada kegiatan Penyusunan Laporan Validasi Sirkesnas karena laporan validasi belum selesai serta anggaran yang terbatas.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, telah dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1) Menyusun jadwal pengadaan barang dan pengumpulan data. 2) Menganggarkan Penyusunan Laporan Validasi di tahun 2017. 3) Dukungan/komitmen peneliti dalam penyelesaian pelaksanaan Riskesnas

sesuai dengan jadwal yang ditentukan

Capaian IKU Jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi masyarakat pada tahun 2016 mengalami peningkatan dari tahun 2015. Yaitu dari 1 laporan riskesnas menjadi 4 laporan riskesnas (3 laporan di tahun 2016).

99

Grafik 3.43 Jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi masyarakat tahun 2015-2019

Dari grafik III-43 dapat dilihat sampai dengan tahun 2016 sudah ada 4 laporan Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi masyarakat, sehingga target 5 laporan riskesnas ditahun 2019 akan tercapai. 10) Sasaran Strategis 10: Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih

Dalam mendukung tercapainya peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, Kementerian Kesehatan telah menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabel, efektif dan efisien dalam pelaksanaan setiap program. Hal tersebut dilakukan melalui peran pengawasan intern oleh Inspektorat Jenderal terhadap pelaksanaan program-program Kementerian Kesehatan di setiap satuan kerja sesuai dengan kewenangan masing-masing. Penggunaan anggaran oleh satuan kerja dalam melaksanakan program Kementerian Kesehatan harus memenuhi ketentuan yang berlaku untuk menghindari terjadinya potensi kerugian negara yang akan berakibat tidak optimalnya hasil-hasil program pembangunan kesehatan. Dalam kaitan hal tersebut, Kementerian Kesehatan menetapkan sasaran strategis Meningkatnya Tata Kelola Pemerintah yang Baik dan Bersih dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) persentase satuan kerja yang memiliki temuan kerugian negara ≤1%. Gambaran capaian sasaran strategis tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

100

Tabel 3.15 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 10: Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih

SS10: Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

10a. Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian negara ≤1%

91% 94,9% 104,4%

Uraian tentang IKU tersebut adalah sebagai berikut: Definisi operasional dari IKU ini yaitu, satuan kerja yang memiliki temuan kerugian negara ≤1% adalah satuan kerja pengelola APBN Kementerian Kesehatan dengan temuan kerugian negara ≤1% dari total realisasi anggaran dalam satu periode tahun anggaran berdasarkan laporan hasil audit (Audit Operasional oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes, Audit Laporan Keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Semua Jenis Audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). IKU bertujuan untuk mendorong penggunaan anggaran yang lebih akuntabel di lingkungan Kementerian Kesehatan. IKU ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian negara ≤1% dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah satuan kerja pengelola APBN Kemenkes dengan nilai temuan kerugian negara ≤1% berdasarkan hasil audit X 100%

Jumlah satker pengelola APBN Kemenkes yang diaudit Perbandingan hasil capaian pada tahun 2015 dan tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut:

101

Grafik 3.44 Perbandingan Target dan Capaian Persentase Satuan Kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian negara ≤1% Tahun 2015-2016

Pada tahun 2015 untuk IKU Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian negara ≤1% didapatkan capaian sebesar 97,7% dari target 88% yang dilakukan audit oleh APF terhadap 776 satker dengan 18 satker memiliki kerugian negara di atas 1 %. Pada tahun 2016 didapatkan capaian sebesar 94,9% dari target 91% yang dilakukan audit oleh APF terhadap 497 satker dengan 25 satker memiliki kerugian negara di atas 1 %. Jumlah seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan yang diaudit oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF) selama periode tahun 2015 adalah sebanyak 776 (tujuh ratus tujuh puluh enam), dengan rincian sebagai berikut:

a. Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan sebanyak 179 Satker; b. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebanyak 379 satker dan; c. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebanyak 218

satker. Pada tahun 2016 Jumlah seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan yang diaudit oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF) adalah sebanyak 497 (empat ratus sembilan puluh tuiuh), dengan rincian sebagai berikut:

a. Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan sebanyak 118 Satker; b. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebanyak 122 satker dan; c. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebanyak 257

satker.

102

Grafik 3.45 Grafik Perbandingan Target dan Capaian Kinerja Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian negara ≤1% Tahun 2015 - 2019

Jika melihat capaian indikator sebesar 94,9% pada Tahun 2016 telah melebihi target kinerja yang direncanakan pada tahun tersebut yakni sebesar 91%. Keberhasilan capaian indikator di tahun 2016, didukung oleh upaya sebagai berikut : a. Peningkatan Pengawasan Program/Kegiatan pada setiap satuan kerja yang

dikelompokkan dalam masing-masing unit eselon I yang dibina oleh inspektorat Pembina meliputi kegiatan reviu perencanaan dan penganggaran, reviu laporan keuangan, reviu LAKIP, evaluasi SAKIP, audit, pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan serta pendampingan/pembinaan pelaksanaan kegiatan satuan kerja.

b. Peningkatan penanganan pengaduan masyarakat di lingkungan Kementerian Kesehatan. Pengaduan yang diterima oleh Kementerian Kesehatan berasal dapat berupa surat maupun pengaduan melalui mekanisme Whistle Blowing System (WBS).

c. Penerapan program aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui kegiatan-kegiatan: pengendalian gratifikasi, pengelolaan LHKPN, layanan konsultasi pengadaan barang/jasa, pendampingan satuan kerja menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM).

Tantangan dalam pencapaian target indikator Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian negara ≤1% adalah banyaknya jumlah satker di lingkungan Kementerian Kesehatan tidak sebanding dengan jumlah sumber daya pengawasan.

103

Upaya untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan melakukan kegiatan pengawasan terpadu.

11) Sasaran Strategis 11: Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian

Kesehatan Dalam rangka memenuhi ekspektasi publik yang menginginkan pelayanan yang

memuaskan, kompetensi dan kinerja aparatur memiliki peran yang sangat penting. Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja aparatur Kementerian Kesehatan.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

dua Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Tabel 3.16 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 11:

Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan

SS11: Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

11a. Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan

70% 81,40% 116,29%

11b. Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik

85% 89,96% 105,84%

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan Pejabat yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan dinilai dengan merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Jabatan Struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan. Definisi operasional yang digunakan dalam menentukan seorang pejabat struktural telah memenuhi standar kompetensi adalah dengan kriteria sebagai berikut: 1) Jumlah pejabat eselon I dan II yang ditetapkan setelah melalui berbagai

proses seleksi terbuka (Open Recruitment) dan telah dilaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

2) Jumlah pejabat eselon III dan IV yang telah mengikuti Diklat Kepemimpinan sesuai jenjangnya dengan mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.

104

IKU ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaaan reformasi birokrasi yang mengharapkan pelayanan publik yang lebih baik. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan dihitung dengan formulasi sebagai berikut: Jumlah pejabat struktural (eselon I, II, III, dan IV) di lingkungan Kementerian

Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan X 100% Seluruh pejabat struktural

Berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Kepegawaian Kementerian Kesehatan, terdapat 2.280 orang pejabat struktural, dan 1.856 pejabat telah memenuhi kompetensi sesuai persyaratan. Dengan demikian, 81,40% dari total pejabat struktural telah memiliki komptensi sesuai persyaratan pada akhir tahun 2016. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian indikator kinerja persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan dinilai cukup baik karena telah melebih target yang ditetapkan sebesar 70%. Dibalik pencapaian kinerja pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil cukup baik, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu: 1) Melaksanakan proses pelaksanaan penilaian Badan Pertimbangan Jabatan

dan Kepangkatan atau BAPERJAKAT. 2) Melaksanakan pengisian jabatan eselon I dan II sebagai dampak atas

restrukturisasi organisasi Kemenkes sesuai Permenkes 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkes. Pengisian jabatan eselon I dan II tersebut dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Terbuka (PANSEL) yang dalam penentuan mutasi dan promosi jabatan eselon I dan II juga memperhatikan kompetensi pejabat yang akan menduduki jabatan.

3) Melakukan pemanggilan pejabat yang belum mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (DIKLATPIM).

Pada grafik 3.46 dapat dilihat pula bahwa dengan hasil capaian pada tahun 2016 yang masih on track serta menunjukkan kecenderungan meningkat. Diperkirakan target pada tahun 2019 sebesar 90% (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) dapat dicapai. Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak berimbangnya antara peningkatan target dan realisasi. Pada saat target meningkat 10% pada tahun 2015-2016, realisasi hanya meningkat 8,23%. Bila tren peningkatan target yang lebih tinggi dari tren peningkatan realisasi tidak diatasi akan dapat mengancam pencapaian target pada akhir tahun 2019.

105

Grafik 3.46 Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan

b. Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik Sejak tahun 2014, sistem penilaian kinerja pegawai mengalami perubahan. Sistem penilaian kinerja dengan menggunakan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) telah diubah dengan Sasaran Kerja Pegawai (SKP) dan Perilaku Kerja. IKU ini bertujuan untuk mendorong terjadinya peningkatan pegawai yang akan memberi pengaruh positif pada meningkatkan kinerja pelayanan publik dalam lingkup Kementerian Kesehatan. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik dihitung dengan formulasi sebagai berikut: Jumlah CPNS dan PNS yang mempunyai hasil penilaian SKP dengan

kriteria minimal baik X 100% Jumlah seluruh CPNS dan PNS

Pegawai Kementerian Kesehatan yang melakukan penilaian prestasi kerja sebanyak 51.115 pegawai, dimana dari jumlah tersebut sebanyak 45.985 (89,96%) pegawai bernilai baik. Jika melihat capaian tersebut maka secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa capaian realisasi penilaian prestasi kerja pegawai telah memenuhi IKU yang telah ditetapkan yaitu 85%. Jumlah persentase realisasi capaian ini tentunya meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 85,46%.

106

Dari hasil capaian Tahun 2016 yang menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya, terdapat sejumlah kegiatan atau upaya yang telah dilakukan sebagai pendukung keberhasilan tersebut, yaitu 1) Melakukan updating database pegawai (SIMKA). 2) Melakukan evaluasi pelaksanaan penilaian SKP tahun sebelumnya. 3) Melakukan review pedoman SKP. 4) Menyempurnakan aplikasi sistem penilaian prestasi kerja yang terintegrasi

dengan informasi jabatan sehingga penyusunan dan penilaiannya dapat dilakukan secara online.

Meski hasilnya cukup baik, sejumlah hal masih perlu ditindaklanjuti untuk memudahkan proses penilaian SKP, yaitu: 1) Mengembangkan Log Book khusus baik untuk pejabat penilai maupun

pegawai, bagi pejabat penilai Log Book khusus tersebut digunakan untuk menilai kuantitas dan kualitas capaian SKP serta unsur perilaku. Sedangkan Log Book pegawai dikembangkan agar dapat terintegrasi dengan target-target dalam SKP agar pegawai bersangkutan dapat mencatat semua yang dikerjakan setiap hari.

2) Mengintegrasikan target-target dan pencapaian SKP Pejabat Fungsional Tertentu (JFT) dengan penilaian angka kredit masing-masing JFT untuk mengetahui kesesuaian antara target kerja yang telah disusun dengan pekerjaan atau tugas-tugas yang dilaksanakan.

3) Membuat standar teknis kegiatan SKP untuk jabatan fungsional umum sehingga pegawai yang menduduki jabatan fungsional umum memiliki standar minimal pekerjaan yang dilaksanakan.

4) Menyusun pedoman penilaian prestasi kerja pegawai khusus di lingkungan Kementerian Kesehatan sehingga pejabat penilai mempunyai acuan untuk melakukan penilaian secara objektif.

5) Melaksanakan coaching bagi pegawai yang mendapatkan nilai capaian prestasi kerja pegawai cukup, kurang, maupun buruk agar dapat meningkatkan kinerja pegawai tersebut.

Seperti terlihat pada grafik 3.47 hasil capaian pada tahun 2016 yang masih on track serta menunjukkan kecenderungan meningkat. Bila tren ini terus bertahan dapat diperkirakan target pada tahun 2019 sebesar 94% (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) masih mungkin tercapai.

107

Grafik 3.47 Persentase Pegawai Kementerian Kesehatan dengan Nilai Kinerja Minimal Baik Tahun 2015-2019

12) Sasaran Strategis 12: Meningkatnya Sistem Informasi Kesehatan Integrasi

Pada era digital dengan perkembangan teknologi informasi sangat cepat, pelayanan publik harus dapat memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut untuk meningkatkan kinerjanya. Kementerian Kesehatan menyadari pentingnya teknologi informasi dan berusaha memanfaatkan secara maksimal.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi

dua Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

TabeI-17 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 12: Meningkatnya Sistem Informasi

Kesehatan Integrasi

SS12: Meningkatnya Sistem Informasi Kesehatan Integrasi

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi

12a. Persentase kab/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas secara lengkap dan tepat waktu

40% 70,3% 175,8%

12b Persentase tersedianya jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan e-health

20% 21% 105,1%

108

Uraian tentang keempat IKU tersebut adalah sebagai berikut: a. Persentase kab/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas secara

lengkap dan tepat waktu

Data kesehatan prioritas dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota melalui Aplikasi Komunikasi Data. IKU ini bertujuan untuk mendapatkan data kesehatan yang diperlukan oleh Kementerian Kesehatan sebagai bahan pengambilan kebijakan dan penyusunan perencanaan program. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Persentase kab/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas secara lengkap dan tepat waktu dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kabupaten/kota yang mengirimkan laporan X 100%

Jumlah seluruh kabupaten/kota yang ada Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, persentase kab/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas secara lengkap dan tepat waktu pada akhir tahun 2016 mencapai 70,3%. Capaian indikator ini telah melebih target yang ditetapkan sebesar 40%. Dibalik pencapaian pada tahun 2016 yang menunjukkan hasil yang baik, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi dalam meraih keberhasilan tersebut adalah kurangnya kapasitas tenaga pengolah data atau pengelola Sistem Informasi Kesehatan (SIK) di daerah dan terjadinya mutasi yang sangat cepat tanpa adanya kaderisasi.

Dalam rangka meningkatkan kepatuhan pelaporan data kesehatan prioritas, Kementerian Kesehatan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Membentuk tim pemantauan SIK/data tingkat pusat yang rutin melakukan

pemantauan serta berkomunikasi dengan pengelola data di dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota;

2. Memberikan umpan balik terhadap data yang telah diisi ke dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota;

3. Melakukan pendampingan pengisian data kesehatan prioritas melalui pelatihan dan atau pertemuan.

Pada grafik 3.48 dapat dilihat hasil capaian pada tahun 2016 menunjukkan peningkatan capaian sebesar 8,6% dari tahun 2015 (61,7% menjadi 70,3%). Dengan demikian bila merujuk tren tersebut, dapat diperkirakan target pada tahun 2019 sebesar 70% (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) akan dapat tercapai.

109

Grafik 3.48 Persentase Kab/Kota yang Melaporkan Data Kesehatan Prioritas Secara Lengkap dan Tepat Waktu Tahun 2015-2019

b. Persentase tersedianya jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan e-health

Jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-health (e-kesehatan) adalah jaringan komputer WAN dalam lingkup ekosistem kesehatan yang digunakan sebagai media koneksi pertukaran data pada penyelenggaraan sistem elektronik kesehatan seperti aplikasi sistem informasi puskesmas, aplikasi sistem informasi rumah sakit (RS), pembelajaran kesehatan jarak jauh, telemedicine, telediagnostik, teleradiologi, dan sebagainya. Salah satu model pelaksanaan e-kesehatan di puskesmas yang dikembangkan Kementerian Kesehatan melalui Pusat Data dan Informasi yaitu Aplikasi SIKDA Generik. Aplikasi SIKDA Generik terus dikembangkan dan saat ini yang digunakan yaitu Aplikasi SIKDA Generik versi 1.4. IKU ini bertujuan untuk meningkatkan dukungan pelaksanaan program pembangunan kesehatan melalui penyediaan sarana komunikasi melalui jaringan komunikasi yang cepat dan dapat diandalkan. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan. Persentase tersedianya jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan e-health dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kabupaten/kota yang tersedia koneksi X 100%

Seluruh kabupaten/kota yang ada

Pada tahun 2016 target kabupaten/kota tersedia jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-kesehatan ditetapkan sebesar 20% dari total kabupaten/kota yang ada. Kabupaten/kota dikategorikan tersedia jaringan komunikasi data apabila terdapat model pelaksanaan e-kesehatan di puskesmas dan RS menggunakan jaringan komunikasi data di wilayahnya.

110

Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, persentase kab/kota yang tersedia jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan e-health pada tahun 2016 mencapai 21%. Capaian indikator ini telah melebih target yang ditetapkan sebesar 20%. Upaya yang dilakukan untuk mendukung pencapaian yang baik pada tahun 2016 adalah: 1) Melakukan sosialisasi, pelatihan, dan pendampingan SIKDA Generik bagi

daerah yang akan dan telah mengembangkan aplikasi tersebut. 2) Melakukan sosialisasi ke daerah untuk pembangunan infrastruktur SIK

melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). 3) Berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam

penyediaan internet sampai ke puskesmas.

Tantangan yang masih dihadapi dalam rangka mencapai target indikator ersentase tersedianya jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan e-health antara lain : 1. Komitmen pemerintah daerah Kabupaten/kota dalam

mengimplementasikan sistem informasi kesehatan di daerahnya. 2. Terbatasnya anggaran sistem informasi kesehatan pada APBD 3. Terbatasnya tenaga pengelola SIK di daerah. Untuk menjawab tantangan tersebut kementerian kesehatan terus meningkatkan sosialisasi dan advokasi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota serta menyediakan DAK untuk pembangunan infrastruktur SIK di daerah.

Bila dilihat perbandingan capaian pada beberapa tahun seperti tergambar pada grafik 3.49, terlihat bahwa capaian persentase kabupaten/kota yang tersedia jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan e-health pada tahun 2015-2016 menunjukan kenaikan yang sama. Dengan demikian target pada tahun 2019 sebesar 50% (target akhir periode Renstra Kemenkes 2015-2019) diharapkan dapat dipenuhi.

111

Grafik 3.49 Persentase Tersedianya Jaringan Komunikasi Data yang Diperuntukkan Untuk Pelaksanaan e-Health Tahun 2015-2019

10%

20%

30%

40%

50%

10.5%

21%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

2015 2016 2017 2018 2019

Target

Realisasi

B. Realisasi Anggaran 1. Realisasi DIPA Kementerian Kesehatan Tahun 2016

Berdasarkan data per Desember 2016 dengan menggunakan online monitoring SPAN, realisasi DIPA Kementerian Kesehatan TA 2016 untuk semua jenis belanja mencapai 86,82% atau sebesar Rp57.010.264.169.646 dari total pagu sebesar Rp65.662.592.996.000. Sedangkan realisasi dengan Pagu DIPA setelah dikurangi anggaran self blocking lebih tinggi, yakni sebesar 94,85%. Bila realisasi tahun 2016 dibandingkan dengan tahun 2015, realisasi dengan menggunakan Pagu awal DIPA (86,82%) turun dibandingkan dengan realisasi tahun 2015 sebesar 89,91%. Bila menggunakan Pagu DIPA setelah dikurangi self blocking. Realisasi tahun 2016 meningkat dibandingkan realisasi tahun 2015. Sedangkan tren realisasi anggaran Kementerian Kesehatan selama lima tahun terakhir berfluktuasi sebagaiman terlihat pada grafik berikut:

Grafik 3.50 Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan Tahun 2012-2016

112

Setelah dipilah menurut jenis kewenangannya, realisasi tertinggi ditemui pada Kantor Pusat sebesar 89,56% dengan menggunakan Pagu DIPA awal, sedangkan realisasi tertinggi dengan menggunakan Pagu DIPA setelah self blocking terdapat pada Kantor Daerah sebesar 96,82%. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik 3.51 Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan per Jenis Kewenangan TA 2016

2. Perbandingan Pagu DIPA dan Realiasi DIPA Kementerian Kesehatan TA 2016 per Program Berdasarkan Pagu DIPA yang dimiliki Kementerian Kesehatan selanjutnya anggaran didistribusikan kepada sembilan program yang dilaksanakan oleh delapan unit eselon I sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Adapun pagu dan realisasi anggaran setiap unit eselon I adalah sebagai berikut:

Tabel 3.18 Pagu DIPA dan Realisasi per Unit Eselon I TA 2016

No Unit Eselon I Alokasi Realisasi %

Realisasi

1 Sekretariat Jenderal 29.614.669.816.000 28,477.468.532.772 96,16%

2 Inspektorat Jenderal 105.000.000.000 95.147.660.137 90,62%

3 Ditjen Kesehatan Masyarakat 2.638.851.121.000 1.644.188.517.737 62,31%

4 Ditjen Pelayanan Kesehatan 18.511.935.411.000 15.819.207.164.633 85,45%

5 Ditjen Pengendalian Penyakit dan 4.580.562.750.000 3.476.5545.322.041 75,90%

113

No Unit Eselon I Alokasi Realisasi %

Realisasi

Penyehatan Lingkungan

6 Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan

3.251.823.220.000 2.723.129.974.694 83,74%

7 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

1.048.691.657.000 733.493.190.525 69,94%

8 Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan

5.911.059.021.000 4.041.083.807.107 68,36%

Total 65.662.592.996.000 57.010.264.169.646 86.82%

Pada tingkat unit Eselon I, realisasi anggaran selama tiga tahun terakhir juga berfluktuasi. Unit Eselon I Inspektorat Jenderal dan Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang berhasil menjaga tren positif realisasi anggaran selama tiga tahun terakhir.

Grafik 3.52 Realisasi Anggaran per Unit Eselon I Kementerian Kesehatan Tahun 2014-2016

C. Capaian Kinerja Lainnya 1. Jaminan Kesehatan Nasional

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan diketahui bahwa peran Kementerian Kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan adalah mendaftarkan dan membayarkan iuran PBI kepada BPJS Kesehatan. Pada tahun 2016, Kementerian Kesehatan melalui satuan kerja Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK), telah mendaftarkan peserta PBI untuk periode tahun 2016 sesuai dengan surat Menteri Kesehatan Nomor JP.01.02/X/2805 tanggal 31 Desember 2015 dan membayarkan iuran PBI sesuai dengan Surat Tagihan Belanja Jaminan Kesehatan PBI setiap bulannya dari BPJS Kesehatan.

114

Berikut jumlah PBI yang telah dibayarkan Kementerian Kesehatan kepada BPJS Kesehatan setiap bulannya pada tahun 2016, sebagai berikut:

Gambar 3.53 Jumlah PBI yang Dibayarkan kepada BPJS Kesehatan Setiap Bulan Tahun 2016

Kementerian Kesehatan bersama dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2016 setiap triwulannya telah melakukan pertemuan rekonsiliasi atau perhitungan kembali iuran PBI yang telah dicairkan berdasarkan realisasi data kepesertaan. Pertemuan rekonsiliasi tersebut merupakan upaya Kementerian Kesehatan dalam rangka monitoring dan evaluasi terhadap pembayaran iuran PBI agar tepat sasaran dan tepat jumlah pembayarannya. Selain itu, untuk mencapai salah satu tujuan Kementerian Kesehatan berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2015-2019, yaitu meningkatnya daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan.

Kementerian Kesehatan sebagai regulator dalam Jaminan Kesehatan Nasional, serta sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin terlaksananya pelayanan kesehatan dalam pelayanan publik, telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Selain hal di atas, Kementerian Kesehatan dalam rangka menjamin kendali mutu dan kendali biaya dalam penyelenggaraan JKN telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pertimbangan Klinis (Clinical Advisory). Pertimbangan Klinis adalah permasalahan yang diadukan oleh peserta JKN, fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan terkait masalah

115

yang menyangkut dan/atau berdampak terhadap paket manfaat dan/atau pembayaran klaim yang terjadi dalam pelayanan kesehatan pada penyelenggaraan JKN.

Grafik 3.54 Alokasi dan Realisasi PBI yang Dibayarkan kepada BPJS Kesehatan Setiap Bulan Tahun 2016

Pada grafik di atas, terlihat bahwa realisasi pembayaran PBI pada kurun waktu tahun 2014 hingga tahun 2016 berfluktuasi, dari persentase realisasi sebesar 99,062% pada tahun 2014 turun menjadi 97,687% pada tahun 2015 dan pada tahun 2016 naik menjadi 99,29%.

2. Peraturan Menteri Kesehatan tentang istitha’ah Kesehatan Jemaah Haji. Istitha’ah kesehatan jemaah haji adalah kemampuan jemaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga jemaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai dengan tuntunan agama Islam. Pengaturan istithaah kesehatan haji bertujuan untuk terselenggaranya pemeriksaan kesehatan dan pembinaan kesehatan haji, selain itu penerapan istitha’ah kesehatan agar dilaksanakan pemeriksaan kesehatan sebagai dasar pelaksanaan pembinaan kesehatan Jemaah haji, dalam rangka memberikan perlindungan kesehatan kepada Jemaah haji. Pelaksanaan pembinaan kesehatan jemaah haji terintegrasi dengan program kesehatan lainnya, antara lain program Keluarga Sehat, Program pencegahan penyakit menular, Posbindu penyakit tidak menular, Pembinaan kelompok olahraga dan latihan fisik, serta pos pelayanan terpadu (Posyandu) Lansia.

Pihak terkait dalam penyelenggaraan istithaah kesehatan Jemaah haji antara lain: tim penyelenggara kesehatan haji kabupaten/kota yang ditetapkan oleh bupati/walikota,

116

panitia penyelenggara ibadah haji embarkasi yang dibentuk Menteri Agama, panitia penyelenggara ibadah haji bidang kesehatan dan Komite Ahli Kesehatan Haji Nasional yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan serta organisasi profesi (Asosiasi Kesehatan Haji Indonesia/AKHI, Perhimpunan Dokter Haji Indonesia/PERDOKHI), atau organisasi masyarakat antara lain Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Berdasarkan cakupan hasil pemeriksaan, hasil istithaah kesehatan jemaah haji : 1. Memenuhi Syarat sebesar 71,45% 2. Memenuhi Syarat dengan pendampingan sebesar 28,5% 3. Tidak Memenuhi syarat sementara sebesar 0,03% 4. Tidak Memenuhi Syarat sebesar 0,006%

Grafik 3.55 Penilaian Istithaah Kesehatan Jemaah Haji dari Hasil Pemeriksaan Kesehatan

Tahun 2016

3. Peran Kementerian Kesehatan dalam penanggulangan bencana Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, terdapat tiga kelompok kegiatan dalam upaya tanggap darurat, yaitu kegiatan siaga darurat, tanggap darurat, dan pemulihan darurat. Kementerian Kesehatan, baik secara mandiri maupun bekerja lintas sektor memiliki peranan dalam kegiatan tanggap darurat untuk merespon krisis kesehatan. Pada prinsipnya, keterlibatan Pemerintah Pusat dalam penanggulangan krisis kesehatan harus memenuhi minimal dua kriteria, yaitu: a. Intensitas, durasi, luas, dan dampak krisis kesehatan yang terjadi, dan b. Kemampuan (sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran,

perencanaan) yang dimiliki daerah dalam merespon krisis kesehatan.

117

Keterlibatan Kementerian Kesehatan dalam kegiatan tanggap darurat selaku subklaster kesehatan, mencakup kegiatan sebagai berikut: a. Mobilisasi Tim Bantuan Kesehatan. b. Mobilisasi logistik Pelaksanaan Penanggulangan Krisis Kesehatan. c. Menyelenggarakan rapat koordinasi teknis penanggulangan krisis kesehatan. d. Memberikan pendampingan kaji cepat bidang kesehatan, dan e. Memberikan pendampingan penilaian kerusakan, kerugian, dan kebutuhan

sumber daya kesehatan dan penyusunan rencana aksi. Peranan Kementerian Kesehatan dalam upaya tanggap darurat penanggulangan krisis kesehatan pada tahun 2016 adalah sebagai berikut: a. Mendistribusikan bantuan berupa kaporit, PAC, dan lem lalat pada peristiwa banjir

di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada tanggal 15 Februari 2016. b. Mengirimkan bantuan berupa Makan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sebanyak

10 ton pada peristiwa banjir bandang di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi pada tanggal 25 Februari 2016.

c. Menerjunkan Tim Rapid Health Assesment (RHA) ke lokasi pada peristiwa banjir di Kabupaten Nabire Provinsi Papua pada tanggal 21 Maret 2016.

d. Menerjunkan Tim Rapid Health Assesment (RHA) ke lokasi pada peristiwa banjir di Kabupaten Keerom Provinsi Papua pada tanggal 21 Maret 2016.

e. Menerjunkan Tim Rapid Health Assesment (RHA) ke lokasi pada peristiwa banjir di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 18 Juni 2016.

f. Mobilisasi Tim Rapid Health Assesment (RHA), tim kesehatan jiwa, Public Health Rapid Response Team, mengirimkan bantuan logistik berupa kantung mayat, obat-obatan, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Ibu hamil, PMT Anak Sekolah, Makanan Pendamping ASI, logistik kesehatan lingkungan, kit kesehatan reproduksi dan kit individu pada peristiwa banjir bandang di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat pada tanggal 20 September 2016.

g. Mengirimkan bantuan logistik berupa PMT Bumil, PMT Anak Sekolah dan MP-ASI pada peristiwa tanah longsor di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat pada tanggal 20 September 2016.

h. Mobilisasi Tim RHA, tim kesehatan jiwa, Public Health Rapid Response Team, tim Damage and Loss Assessment, mengirimkan bantuan logistik berupa obat-obatan, implant orthopedi, PMT Bumil, PMT Anak Sekolah, MPASI, logistik kesehatan lingkungan dan kit individu pada peristiwa gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh pada tanggal 7 Desember 2016.

i. Mobilisasi Tim RHA, Public Health Rapid Response Team, mengirimkan bantuan logistik berupa obat-obatan, PMT Bumil, MPASI, logistik kesehatan lingkungan, sanitarian kit, dan kit individu pada peristiwa banjir bandang di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 21 Desember 2016.

Pada tingkat internasional, Kementerian Kesehatan melalui Pusat Krisis Kesehatan telah menyandang predikat sebagai World Health Organization Collaborating Centre (WHO CC) untuk Pelatihan dan Penelitian dalam Pengurangan Risiko Bencana pada bulan November tahun 2012 dan akan berlaku hingga bulan November tahun 2016.

118

Pada tahun 2016, predikat ini telah diperpanjang untuk masa kerja 4 (empat) tahun hingga bulan November tahun 2020. WHO CC merupakan institusi yang ditunjuk oleh WHO Director General untuk bersama-sama membentuk jaringan kolaborasi internasional serta menjalankan aktivitas yang mendukung program-program WHO. Kerjasama tahap awal akan berakhir setelah 4 tahun dan setelah itu dapat dilakukan proses penunjukan ulang atau re-designation. Dengan adanya kolaborasi tersebut, WHO mendapatkan manfaat karena telah dibantu oleh institusi-institusi terbaik di seluruh dunia untuk menjalankan program-program yang telah dimandatkan pada WHO. Begitu pula dengan institusi-institusi yang berkolaborasi, penunjukan sebagai WHO CC membuat program kesehatan institusi-institusi tersebut semakin mendapatkan perhatian dari para pemegang kebijakan dan masyarakat, juga mendapatkan kesempatan untuk bertukar informasi serta mengembangkan kerjasama teknis dengan insitusi-institusi lainnya di seluruh dunia. Keuntungan lainnya adalah institusi tersebut memiliki kesempatan untuk mendapatkan bantuan sumber-sumber daya yang dibutuhkan dari pihak donor

4. Penyelenggaraan Pemeriksaan Executive Brain Assesment atau EBA Instrumen Executive Brain Assesment atau EBA adalah karya unik Kementerian Kesehatan yang telah dicatatkan sebagai Hak Kekayaan Intetektual di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2014. EBA merupakan suatu tes identifikasi potensi otak individu yang mendasari kapasitas SDM dan kepemimpinan seseorang dalam aktivitasnya di organisasi. Hasil pemeriksaan EBA mampu memberikan “potret” kekuatan sumber daya manusia bagi organisasi, untuk memberikan dasar yang kuat dalam menyusun dan mengevaluasi langkah-langah strategis membangun organisasi. Sepanjang tahun 2016, Kementerian Kesehatan telah menyelenggarakan pemeriksaan EBA di berbagai tempat, sebagai berikut: a. Pemeriksaan EBA pada 32 Tunas Integritas dan 51 Tunas Integritas di Kementerian

Kelautan dan Perikanan. b. Pemeriksaan EBA pada 251 pejabat struktural dan pejabat fungsional senior di

lingkungan Pemerintah Provinsi Banten. c. Pemeriksaan EBA pada 18 pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Kota

Bandung. d. Pemeriksaan EBA pada 168 Mandiri Best Employee PT Bank Mandiri. e. Pemeriksaan EBA pada Tunas Integritas KLOP di Komisi Pemberantasan Korupsi. f. Pemeriksaan EBA pada 24 manajer dan 22 manajer PT Angkasa Pura 2. g. Pemeriksaan EBA pada 309 pejabat struktural dan pejabat fungsional RS Paru

Rotinsulu Bandung. h. Pemeriksaan EBA dalam rangka capacity building di unit kerja Kementerian

Kesehatan. i. Pemeriksaan EBA pada 10 RS vertikal, yaitu: 1) RS Jiwa Lawang Dr. Radjiman

Wediodiningrat; 2) RS Mata Cicendo Bandung; 3) RS Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang; 4) RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang; 5) RSUP Dr Kariadi

119

Semarang; 6) RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado; 7) RS Ortopedi Prof. DR R. Soeharso Surakarta; 8) RSUP Sanglah Denpasar; 9) RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo; dan 10) RS Paru Dr. H. A Rotinsulu Bandung.

5. Pengelolaan Pelayanan Publik di Unit Pelaksana Teknis Vertikal (UPT Vertikal)

a. Penyelenggaraan pelayanan publik di bawah pembinaan Ditjen Pelayanan Kesehatan. Hingga tahun 2016 terdapat 49 UPT Vertikal yang pengelolaannya, termasuk penyediaan sumber dayanya dibebankan kepada Ditjen Pelayanan Kesehatan. Dari total anggaran Rp18.511.935.411.000 yang dialokasikan ke Ditjen Pelayanan Kesehatan, Rp17.490.126.754.000 diantaranya diserahkan kepada UPT Vertikal Ditjen Pelayanan Kesehatan. Jumlah tersebut setara dengan 94,48% dari keseluruhan anggaran yang diterima Ditjen Pelayanan Kesehatan. Besarnya alokasi ke UPT Vertikal tersebut merupakan wujud komitmen Kementerian Kesehatan untuk terus meningkatkan mutu layanan kepada masyarakat, khususnya dalam rangka mendukung pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional, mendukung akreditasi JCI, serta mewujudkan pelayanan kesehatan jarak jauh atau telemedicine. Dana tersebut digunakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana selain mendukung operasional penyelenggaraan UPT Vertikal dimaksud. Ditilik dari jenis belanja, maka alokasi terbesar digunakan untuk Belanja Barang sebesar Rp11.231.918.663.000 atau 64,22%, diikuti dengan Belanja Modal senilai Rp3.974.219.011.000 atau 22,72%, dan Belanja Pegawai senilai Rp2.283.989.080.000 atau 13,06%. UPT tersebut memberikan layanan berupa: 1) melayani pasien rawat inap, rawat jalan, dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RS, Unit Pelayanan Kesehatan, dan Balai Kesehatan Masyarakat sebanyak 6.854.986 orang; 2) melakukan pemeriksaan laboratorium di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) sebanyak 1.040.144 pemeriksaan; dan 3) melakukan pengujian kalibarasi alat kesehatan sebanyak 85.306 alat kesehatan di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) dan Loka Pengamanan Fasilitas Kesehatan (LPFK). Rincian kegiatan yang dilaksanakan oleh UPT di bawah pembinaan Ditjen Pelayanan Kesehatan dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.

120

Tabel 3.19 Daftar UPT Pasien Rawat Inap, Rawat Jalan, dan IGD di RS, UPK, dan Balai Kesehatan Masyarakat (UPT Vertikal).

RAWAT JALAN RAWAT INAP IGD JUMLAH

1 RS. Adam Malik 232,321 22,805 22,835 277,961

2 RS. M. Djamil 170,212 17,478 32,104 219,794

3 RS. Stroke 44,921 7,949 9,251 62,121

4 RS. M. Hoesin 242,624 35,291 23,505 301,420

5 RS. Rivai Abdullah 17,980 2,425 3,776 24,181

6 RS. Sitanala 36,145 8,381 10,412 54,938

7 RS. Dharmais 111,501 92,183 7,326 211,010

8 RSJP Harkit 122,090 12,598 11,098 145,786

9 RSAB Harkit 154,584 12,665 14,167 181,416

10 RSCM 651,836 249,748 33,441 935,025

11 RS PON 38,661 3,194 4,604 46,459

12 RSKO 34,989 657 2,406 38,052

13 RSPI 69,370 5,083 12,511 86,964

14 RS Fatmawati 329,622 40,645 38,669 408,936

15 RS. Persahabatan 291,028 25,965 3,723 320,716

16 RSJ. Soeharto Herdjan 59,004 2,468 3,266 64,738

17 RS. Marzoeki Mahdi 136,316 8,952 17,786 163,054

18 RSP Goenawan P 65,010 8,304 18,082 91,396

19 RS.Hasan Sadikin 355,272 52,638 43,348 451,258

20 RSP Rotinsulu 21,343 4,190 4,342 29,875

21 RS. Cicendo 161,034 9,904 5,540 176,478

22 RS.Sardjito 404,385 26,958 25,357 456,700

23 RS. Kariadi 525,884 42,373 35,032 603,289

24 RSJ. Soerojo 78,417 9,163 12,439 100,019

25 RS. Soeradji 187,555 23,561 26,134 237,250

26 RS. Ario W 27,963 7,861 9,864 45,688

27 RSOP Soeharso 67,683 5,067 5,606 78,356

28 RSJ Radjiman 47,583 4,819 4,918 57,320

29 RS. Sanglah 194,461 31,631 44,865 270,957

30 RS.Kandou 172,453 55,918 35,873 264,244

31 RS. Ratatotok 3,627 1,041 2,533 7,201

32 RS. Tadjuddin C 18,955 3,860 5,204 28,019

33 RS. Wahidin 145,855 36,334 28,488 210,677

34 BBKPM Makassar 17,884 1,248 1,262 20,394

35 BBKPM Bandung 52,856 262 868 53,986

36 BBKPM Surakarta 36,482 524 1,538 38,544

37 BKMM Makassar 55,622 - - 55,622

38 BKMM Cikampek 15,102 - - 15,102

39 Unit Pelayanan Kesehatan 19,932 - 108 20,040

5,418,562 874,143 562,281 6,854,986

JUMLAH PASIENNO UPT

JUMLAH

121

Tabel 3.20 Pelayanan yang dilakukan BBLK, BPFK, dan LPFK Tahun 2016.

No. Satker Pemeriksaan

Laboratorium

1 BBLK Palembang 407,206

2 BBLK Jakarta 162,652

3 BBLK Makassar 149,409

4 BBLK Surabaya 320,877

1,040,144 Total

No. SatkerJumlah Alat yang

dikalibrasi

1 BPFK Jakarta 13,604

2 BPFK Makkasar 15,792

3 BPFK Surabaya 26,282

4 BPFK Medan 15,812

5 LPFK Surakarta 8,732

6 LPFK Banjarbaru 5,084

85,306 Total

6. Inisiatif dalam Pemberantasan Korupsi Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya sebagai berikut: a. Sosialisasi Pengendalian Gratifikasi di lingkungan RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang,

tentang Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi serta strategi pembangunan Zona Integritas seluruh pimpinan/pejabat struktural dan fungsional, pegawai dan tenaga kesehatan (Dokter, Perawat, Apoteker, Rekam Medis, dll) di Magelang pada tanggal 15 Januari 2016.

Gambar 3.4 Sosialisasi Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang

b. Pelaksanaan Rapat Koordinasi Pengawasan Tahun 2016: Rapat Koordinasi Pengawasan Tahun 2016 mengambil tema “Pencegahan Fraud dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan.” Acara rapat koordinasi tersebut dihadiri oleh kurang lebih 130 peserta yang terdiri dari Direktur Keuangan dan perwakilan dari Satuan Pemeriksa Internal (SPI) Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan, perwakilan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Perwakilan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) dan Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.

122

Gambar 3.5 Rapat Koordinasi Pengawasan Tahun 2016 mengambil Tema “Pencegahan Fraud dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan”

c. Komitmen Menolak Gratifikasi: Penandatanganan secara serempak mengenai pernyataan MENOLAK GRATIFIKASI di lingkungan profesi kedokteran dengan melibatkan Kementerian Kesehatan RI, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia, RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati, RSK. Dharmais, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Glaxo Smith Kline Pharma, PT. Merck Tbk, dan PT. Kimia Farma.

Gambar 3.6 Komitmen Menolak Gratifikasi

d. Sosialisasi dan Penandatanganan Komitmen Bersama Pengendalian Gratifikasi

Dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Antara Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas III Gorontalo dan Mitra Kerja Kementerian Kesehatan RI (Inspektorat Jenderal) melakukan sosialisasi pengendalian gratifikasi di Lingkungan KKP Kelas III Gorontalo dan menyaksikan penandatanganan komitmen bersama pengendalian gratifikasi dan pencegahan tindak pidana korupsi antara KKP Kelas III Gorontalo dan mitra kerjanya di Kota Gorontalo pada tanggal 15 Februari 2016.

123

Gambar 3.7 Sosialisasi dan Penandatanganan Komitmen Bersama

e. Asistensi Pengisian dan Pengumpulan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Lingkungan Sekretariat Jenderal: Kegiatan asistensi dilakukan dengan melibatkan KPK dan Inspektorat Jenderal bertempat di Auditorium G.A Siwabessy pada tanggal 24 Februari 2016 dengan melibatkan 70 orang peserta wajib LHKPN.

Gambar 3.8 Asistensi Pengisian dan Pengumpulan LHKPN

f. Pencanangan Zona Integritas Satker BBKPM Surakarta Menuju Wilayah Bebas Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBK/WBBM) Kementerian Kesehatan telah melaksanakan sosialisasi dan pendampingan pembentukan zona integritas pada satuan kerja Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta pada tanggal 3 Maret 2016.

124

Gambar 3.9 Pencanangan Zona Integritas Satker BBKPM Surakarta

g. Sosialisasi Penilaian Satuan Kerja WBK/WBBM pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda Kementerian Kesehatan memberikan sosialisasi kepada pimpinan dan pegawai di lingkungan KKP Kelas II Samarinda tentang usulan satuan kerja yang dapat meraih predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) pada tanggal 23 Maret 2016.

Gambar 3.10 Sosialisasi Penilaian Satuan Kerja WBK/WBBM KKP II Samarinda

h. Pembekalan Materi Anti Korupsi Kepada Tim Nusantara Sehat: Pada pembekalan materi bagi tim Nusantara Sehat tanggal 18 Mei 2016, Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Drs. Purwadi, Apt., MM., ME., menyampaikan materi tentang program-program pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan Kementerian Kesehatan.

125

Gambar 3.11 Pembekalan Materi Anti Korupsi Kepada Tim Nusantara Sehat

i. Terbitnya Permenkes Nomor 27 Tahun 2016 tentang Kebijakan Pengawasan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan pada Tanggal 27 Mei 2016.

j. Penandatanganan MoU Kemenkes dengan KPK Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M (K) bersama Ketua KPK Agus Rahardjo, ST., MSc. Mgt, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Ristek Dikti dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menandatangani Nota Kesepahaman mengenai Pencegahan Tindak Pidana Korupsi di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin 25Juli 2016.

Gambar 3.12 Penandatanganan MoU Kemenkes dengan KPK

k. MoU Kementerian Kesehatan dengan BPKP Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek menandatangani Nota Kesepahaman bersama Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguna (BPKP), Ardan Adiperdana terkait penguataan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dalam rangka meningkatkan program pencegahan tindak pidana korupsi di Lingkungan Kementerian Kesehatan pada Tanggal 7 Oktober 2016.

126

Gambar 3.13 MoU Kementerian Kesehatan dengan BPKP

l. Pemberian Piagam Penghargaan WBK dari Menteri Kesehatan RI Pada Tahun 2016 tercatat oleh Inspektorat Jenderal sebanyak 55 usulan satuan kerja dari masing-masing unit utama dilingkungan Kementerian Kesehatan untuk dilakukan penilaian agar mendapatkan predikat sebagai WBK. Dari 55 usulan tadi, satuan kerja yang berhasil menerapkan indikator WBK sesuai dengan penilaian dari Tim Penilai Internal, tercatat sebesari 10 satker yang , yaitu: RSAB Harapan Kita, Jakarta; RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung; RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten; RS Paru dr. M. Goenawan Partowidigdo, Cisarua, Bogor; RSJ Prof. Dr. Soeroyo, Magelang; Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Kelas I Palembang; Politeknik Kesehatan Yogyakarta (Poltekkes Yogyakarta); Balai Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Banjarnegara; Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Jakarta; dan Rumah Sakit Kusta (RSK) dr. Sitanala, Tangerang.

Gambar 3.14 Pemberian Piagam penghargaan WBK dari Menteri Kesehatan RI

m. Terbitnya Permenkes Nomor 58 Tahun 2016 tentang Sponsorship bagi Tenaga Kesehatan pada tanggal 18 November 2016.

n. Terbitnya Kepmenkes tentang Pemberantasan Pungutan Liar Menerbitkan Kepmenkes Nomor: HK.02.02/MENKES/604/2016 tentang Unit Pencegahan dan Pemberantasan Pungutan Liar di lingkungan Kementerian Kesehatan pada tanggal 18 November 2016.

o. Pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)

127

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/296/2016 Tanggal 27 Mei 2016 tentang Tim Pengelola Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Kesehatan, Inspektorat Jenderal sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) mendapat tugas untuk mengumpulkan LHKPN di lingkungan Kementerian Kesehatan untuk disampaikan ke Kementerian PAN dan RB.

p. Pengelolaan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kementerian Kesehatan, maka telah dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Kementerian Kesehatan yang dikoordinir oleh Inpsektorat Jenderal.

7. Inisiatif dalam manajemen kinerja

a. Mulai mengembangkan integrated e-performance Kementerian Kesehatan. Menindaklanjuti rekomendasi dari Kementerian PAN dan RB, Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya untuk membangun suatu sistem aplikasi berbasis jaringan untuk pemantauan kinerja Kementerian Kesehatan secara terintegrasi. Pembangunannya dilakukan secara lintas unit yang melibatkan Biro Perencanaan dan Anggaran, Pusat Data dan Informasi, serta semua unit Eselon I di lingkungan Kementerian Kesehatan.

b. Penghematan anggaran. Melalui kegiatan pengadaan barang dan jasa menggunakan LPSE, pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan telah menyelesaikan 10.056 paket pengadaan dengan pagu selesai sebesar Rp7.381.249.364.062 dengan hasil lelang sebesar Rp6.731.139.280.750. dari proses tersebut, Kementerian Kesehatan berhasil menghemat anggaran senilai Rp650.110.083.312, setara dengan 8,81% dari nilai pagu selesai yang dilelangkan di LPSE Kementerian Kesehatan.

c. Perbaikan dalam pengelolaan arsip. Sejak tahun 2015, Kementerian Kesehatan telah memiliki Gedung Arsip Kementerian di Jalan Percetakan Negara Nomor 23, Jakarta Pusat yang berfungsi untuk menyimpan arsip in-aktif. Pada tingkat Unit Eselon I, 6 dari 8 unit Eselon I telah memiliki Ruang Arsip yang dilengkapi dengan sarana dan prasarananya. Selanjutnya, pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan telah melakukan revisi tiga Pedoman Kearsipan dan menyusun satu Pedoman Kearsipan untuk memenuhi amanat Undang Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan yang menyatakan bahwa setiap Pencipta Arsip harus mempunyai 4 pilar Pedoman Kearsipan. Adapun tiga Pedoman yang telah direvisi adalah Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementerian Kesehatan, Pedoman Pola Klasifikasi Arsip dan Kode Unit pengolah di Lingkungan Kementerian Kesehatan, serta Pedoman Jadwal Retensi Arsip di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Ada pula satu

128

pedoman yang telah dibuat untuk melengkapi empat pedoman yang wajib dimiliki oleh Pencipta Arsip yaitu Sistem Klasifikasi Keamanan dan Akses Arsip Pada aspek kebijakan, dalam rangka pengembangan SDM Kesehatan, Kementerian kesehatan telah melaksanakan Pendidikan dan Pelatihan Pengangkatan Arsiparis Ahli pada bulan Desember 2015 untuk persyaratan alih jabatan dari JFU ke JFT Arsiparis bekerjasama dengan Pusdiklat ANRI dan Pihak Ketiga. Selain itu telah dilaksanakan pula penyegaran pengetahuan dan keterampilan pada Arsiparis dan pengelola Arsip pada kegiatan Pemantapan Jabatan fungsional Arsiparis. Seluruh upaya perbaikan dalam pengelolaan arsip di lingkungan Kementerian Kesehatan dapat terlaksana berkat dukungan komitmen pimpinan, antara lain melalui penyediaan anggaran baik di unit kearsipan dan unit pengolah (satuan kerja).

d. Penghematan energi Upaya penghematan energi di lingkungan Kementerian Kesehatan dilakukan dari sisi kebijakan dan operasional. Pada sisi kebijakan, komitmen pimpinan ditunjukkan dengan pembentukan Gugus Tugas Pengawasan Pelaksanaan Penghematan Energi dan Air di lingkungan Kementerian Kesehatan melalui Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK.03.01/V/314/2014 tanggal 19 September 2014. Keputusan tersebut ditindaklanjuti di masing-masing unit Eselon I. Pelaksanaan keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Pemantau dan Evaluasi Program Pelaksanan Penghematan Energi dan Air di lingkungan Kemenkes yang ditetapkan melalui Keputusan Kepala Biro Umum Nomor HK.02.04/3/160/2014 tanggal 6 Oktober 2014. Secara operasional, upaya konservasi energi dilakukan melalui rekayasa sarana dan prasarana sebagai berikut: a. Menggunakan Lampu Hemat Energi sesuai peruntukkannya. b. Membuat grouping listrik atau mengatur saklar berdasarkan kelompok area

sehingga dengan pemanfaatan ruangan. c. Mengadakan sensor gerak pada lampu toilet. d. Memanfaatkan air dan sisa pembuangan kondensasi AC Central dan sisa air

buangan cuci pantry untuk menyiram tanaman. e. Menambahkan kran tekan atau kran hemat energi. f. Memasang banner, poster, sticker, pesan multimedia, dan website. g. Memberikan voice attention melalui pengeras suara tentang himbauan

Penghematan Energi dan Keselamatan Kerja setiap mendekati waktu pulang kerja.

h. Menugaskan pegawai yang bertanggung jawab melakukan pengecekan ke setiap ruangan terkait penghematan energi dan kesehatan dan keselamatan kerja.

129

8. Penghargaan/prestasi yang dicapai oleh Kementerian Kesehatan a. Penghargaan Ambassador Health Awareness in Hajj atas kinerja Tim Kesehatan Haji

Indonesia tahun 2-016 dari Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi;

Gambar 3.15 Penghargaan Ambassador Health Awareness in Hajj

b. Peringkat pertama Penghargaan Kompetisi Contact Centre World (CCW) kategori Inovasi Teknologi di tingkat Dunia.

Gambar 3.16 Peringkat Pertama Penghargaan Kompetisi Contact Centre World (CCW)

c. Peringkat pertama Penghargaan Kompetisi Contact Centre World (CCW) kategori Inovasi Teknologi di tingkat Asia Pasifik.

130

Gambar 3.17 Peringkat Pertama Penghargaan Kompetisi Contact Centre World (CCW) Kategori Inovasi Teknologi

d. Setifikat Penghargaan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal dari World Health Organization (WHO)

Gambar 3.18 Sertifikat Penghargaan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal dari WHO

131

e. Opini WTP Pada LK Kemenkes TA 2015:

Kementerian Kesehatan kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian dalam laporan keuangan Tahun Anggaran 2015, penghargaan tersebut diberikan langsung oleh anggota VI BPK RI, kepada Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M (K) pada Tanggal 21 Juni 2016.

Gambar 3.19 Opini WTP pada LK Kemenkes TA 2015

f. Pelapor Penerapan Pengelolaan Keuangan BLU; Presiden memberikan apresiasi kepada Menteri Kesehatan RI sebagai Pelopor Penerapan Pengelolaan Keuangan BLU dan Tata Kelola yang Baik pada Tanggal 28 November 2016.

Gambar 3.20 Pelapor Penerapan Pengelolaan Keuangan BLU

g. Penghargaan atas Keberhasilan Menyusun dan Menyajikan Laporan Keuangan Tahun 2015 dengan Capaian Standar Tertinggi dalam Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah. Kementerian Kesehatan memperoleh piagam penghargaan atas keberhasilan menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan Tahun 2015 dengan Capaian Standar Tertinggi dalam Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah pada Tanggal 28 November 2016.

132

Gambar 3.21 Penghargaan atas Keberhasilan Menyusun dan Menyajikan LK Tahun 2015

h. Penghargaan Kementerian dengan Kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Terbesar dalam APBN dari Kementerian Keuangan

Gambar 3.22 Penghargaan Kementerian dengan Kontribusi PNBP

i. Penghargaan Predikat Kepatuhan Tertinggi Standar Pelayanan Publik dengan skor Tertinggi dari Ombudsman Kementerian Kesehatan mendapatkan perhargaan atas kepatuhan tinggi terhadap standar layanan publik dari Ombudsman RI pada Tanggal 7 Desember 2016.

Gambar 3.23 Penghargaan Predikat Kepatuhan Tertinggi Standar Pelayanan Publik

133

j. Penghargaan Gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Kementerian

dan Lembaga dengan Sistem Pengendalian Gratifikasi Terbaik Kementerian Kesehatan menerima penghargaan dari KPK sebagai Sistem Pengendalian Gratifikasi Terbaik pada acara Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) 2016 di Pekan Baru pada Tanggal 9 Desember 2016.

Gambar 3.24 Penghargaan Gratifikasi dari KPK

k. Penghargaan Laporan Harga Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Terbaik

dari Komisi Pemberantasan Korupsi; Kementerian Kesehatan mendapatkan apresiasi dari KPK atas Tingginya Tingkat Kepatuhan dan Tingkat Keaktifan Pengelolaan LHKPN pada Tanggal 9 Desember 2016.

Gambar 3.25 Penghargaan LHKPN oleh KPK

134

l. Penghargaan Peringkat Pertama Anugrah Citra Karya Bangsa Kategori Kementerian dari Kementerian Perindustrian

Gambar 3.26 Penghargaan Anugrah Citra Karya Bangsa

m. Penghargaan e-Monev Award 2016 Kategori Inovasi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS

Gambar 3.27 Penghargaan e-monev award 2016

n. Penghargaan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Terbaik 2016 Satuan Kerja Mitra KPPN Jakarta VII dari Kementerian Keuangan. Diberikan kepada Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

135

Gambar 3.28 Penghargaan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara terbaik

o. Predikat sebagai Pelapor Pajak Terbaik ke-2 dari 89 mitra kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Setiabudi Empat

Gambar 3.29 Predikat sebagai pelapor Pajak terbaik

p. Juara 3 Penghargaan Unit Kearsipan Kementerian dari ANRI; Pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan memperoleh penghargaan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Penghargaan diserahkan oleh Menteri PAN dan RB pada Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan pada tanggal 17 Agustus 2016.

136

Gambar 3.30 Juara 3 penghargaan Unit Kearsipan

q. Peringkat 3 Penghargaan Efisiensi Energi Nasional Tahun 2016 dari Kementerian ESDM;

Gambar 3.31 Penghargaan Efisiensi Energi

137

r. Peringkat 10 Penghargaan Keterbukaan Informasi Publik kategori Kementerian

dari Komisi Informasi Publik Penghargaan 3.32 Peringkat 10 Penghargaan Keterbukaan

Informasi Publik

s. Penghargaan Satker Berpredikat WBK dari Kemen PAN dan RB

Politeknik Kesehatan Jakarta III dan KKP Kelas I Tanjung Priok berhasil memperoleh predikat WBK dari Kemen PAN dan RB pada Tanggal 10 Desember 2016.

Gambar 3.33 Penghargaan Stker berpredikat WBK

138

BAB IV PENUTUP Sepanjang tahun 2016, Kementerian Kesehatan telah mencatatkan sejumlah capaian kinerja sesuai Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Beberapa diantaranya menunjukkan hasil capaian yang memuaskan dan sebagian lainnya menunjukkan hasil belum menggembirakan. Semua capaian tersebut akan menjadi bahan instropeksi dan evaluasi Kementerian Kesehatan untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kinerjanya di tahun berikutnya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan Kementerian Kesehatan dalam menghadapi tantangan ke depan adalah: 1. Mempererat koordinasi dan kerjasama dengan seluruh jajaran pemerintahan maupun

masyarakat. Pada tahun 2016, telah di-launching Gerakan Masyarakat Hidup Sehat sebagai upaya melibatkan semua komponen pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Langkah tersebut akan terus dimantapkan pada tahun-tahun mendatang.

2. Meningkatkan dukungan manajemen pelaksanaan program dan kegiatan Kementerian Kesehatan, mencakup peningkatan anggaran bersama dengan peningkatan akuntabilitasnya, sumber daya manusia, regulasi yang diperlukan, hingga tersedianya sistem informasi yang semakin andal.

3. Memantapkan pengelolaan Sistem Akuntabilitas Kinerja dengan mengembangkan sistem aplikasi terintegrasi berbasis jaringan sehingga dapat mendukung transparansi dan akuntabilitas kinerja Kementerian Kesehatan.

Laporan Kinerja ini diharapkan dapat memberikan informasi yang transparan dan akuntabel bagi semua pemangku kepentingan atau stakeholders Kementerian Kesehatan. Diharapkan pula Laporan Kinerja ini akan dapat menjadi bahan evaluasi dalam rangka meningkatkan pengelolaan kinerja di Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan berharap dapat terus memberikan andil yang semakin besar dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara di bidang kesehatan.