bab i pendahuluan a. latar belakang...

69
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehadiran Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Indonesia adalah tema yang menarik banyak kalangan, yaitu Sejarawan, Budayawan, Sosiolog, Antropolog dan bahkan Politisi. Persoalan masuknya Islam ke Indonesia adalah “masalah klasik” yang belum selesai di perbincangkan, persoalan ini telah mendorong para Sejarawan mengemukakan berbagai temuannya yang kemudian di kukuhkan sebagai teori. Masuknya Islam ke wilayah Indonesia oleh MC. Rikclefs disebut sebagai “ suatu Proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas”. 1 Pendapat Ricklefs itu, menurut Didin Saepudin, bisa jadi karena masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan para ahli dan telah diperdebatkan oleh para ilmuan, namun agak sulit untuk disimpulkan. 2 Sedangkan Menurut Ricklefs sendiri bahwa kesimpulan pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang islamisasi sangat langka dan sering sangat tidak informatif. 3 Adapun secara umum menurut Ricklefs ada dua proses mengenai penyebaran agama Islam di Indonesia. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Proses kedua, orang-orang Asing ( Arab, India, Cina dll.) yang 1 MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Pernerjemah, Dharmono Hardjowidjono, ( Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press 2005), hal. 3. 2 Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah, hal. 225. 3 MC. Ricklefs. A History of Modern Indonesia, hal. 3

Upload: lebao

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Indonesia adalah

tema yang menarik banyak kalangan, yaitu Sejarawan, Budayawan, Sosiolog,

Antropolog dan bahkan Politisi. Persoalan masuknya Islam ke Indonesia adalah

“masalah klasik” yang belum selesai di perbincangkan, persoalan ini telah

mendorong para Sejarawan mengemukakan berbagai temuannya yang kemudian

di kukuhkan sebagai teori.

Masuknya Islam ke wilayah Indonesia oleh MC. Rikclefs disebut sebagai

“ suatu Proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang

paling tidak jelas”.1 Pendapat Ricklefs itu, menurut Didin Saepudin, bisa jadi

karena masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan beberapa teori yang

dikemukakan para ahli dan telah diperdebatkan oleh para ilmuan, namun agak

sulit untuk disimpulkan.2 Sedangkan Menurut Ricklefs sendiri bahwa kesimpulan

pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang islamisasi

sangat langka dan sering sangat tidak informatif. 3 Adapun secara umum menurut

Ricklefs ada dua proses mengenai penyebaran agama Islam di Indonesia. Pertama,

penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian

menganutnya. Proses kedua, orang-orang Asing ( Arab, India, Cina dll.) yang

1 MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Pernerjemah, Dharmono Hardjowidjono,

( Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press 2005), hal. 3. 2Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah, hal.

225. 3MC. Ricklefs. A History of Modern Indonesia, hal. 3

2

telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia,

kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa

sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya. 4

Pengungkapan kembali berbagai temuan dan data sejarah seputar

kehadiran Islam di Indonesia masih layak di kemukakan, meskipun hanya bersifat

deskriptif. Dilihat dari segi kedatangan Islam, ada tiga teori besar mengenai

masuknya Islam ke Nusantara atau Indonesia yang dikemukakan oleh Azyumardi

Azra di dalam bukunya Jaringan Ulama.

Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam langsung dari Arab, atau

tepatnya Hadramaut. Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah Crawfurd

(1820), keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878).

Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab. Sedangkan

Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i,

sama seperti yang di anut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga di

pegang oleh Neiman dan De Holander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan

Mesir, sebagai Sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah

pengikut Mazhab Syafi’i seperti juga kaum Muslimin Nusantara. Sedangkan Veth

hanya Orang-orang Arab “tanpa menunjuk asal di Timur-Tengah maupun

kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India.” 5

Kedua : teori yang mengatakan Islam di Indonesia atau Nusantara berasal

dari India. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel pada 1872.

Berdasarkan terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaeman,

4Ibid. hal. 4

5 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII& XVII , Bandung : Mizan, 1994, hal. 31.

3

Marcopolo dan Ibnu Battuta.Ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang

bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke

Asia Tenggara. Oleh karena itu Nusantara, menurut teori ini menerima Islam dari

India. Sedangkan mengenai waktu pada teori tidak menyebutkan secara pasti,

namun prediksi waktu yakni pada abad XII, sebagai periode yang mungkin

sebagai awal Penyebaran Islam di Nusantara.

Ketiga: teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini

Bangladesh) dikembangkan Fatimi. Dia mengutip keterangan Tome Pires yang

mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang

Benggali atau keturunan mereka, bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan bahwa

Islam pertama kali muncul di Semenanjung Melayu. Yakni dari arah timur pantai,

bukan dari barat Malaka, lalu melalui Kanton, Pharang (Vietnam, Leran, dan

Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurut Fatimi terjadi pada abad ke 11 M.

masa ini dibuktikan dengan di temukannya batu nisan seorang Muslimah bernama

Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leren

Gresik6

Masih berkaitan dengan kedatangan Islam ke Nusantara, Wan Hussein

Azmi menambahkan satu lagi teori bahwa Islam datang dari Cina. Ia mengutip

teori Emanuel Godinho de Eradie seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada

1613 M. “sesungguhnya Aqidah Muhammad telah di terima di Pattani dan Pam di

6 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Ttengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII& XVII, (Bandung: Mizan 1994 ), hal. 31-32.

4

pantai timur kemudian diterima dan dikembangkan Paramesyawara pada 1411

M.7

Sementara itu ekspedisi Laksamana Cheng-Ho yang memasuki Nusantara

menimbulkan dugaan bahwa Islam bisa di mungkinkan datang melalui Cina. A.

Dahana, Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia (UI) Depok, berpendapat

perkiraan bahwa Cheng-Ho juga menyebarkan Islam dalam Ekspedisinya tidak

mengada-ada. Fakta ini bisa di telusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia

Tenggara. Selama ini katanya arus Islamisasi yang di kenal hanya berasal dari

dua tempat yaitu Gujarat dan Timur-Tengah. “ munculnya teori tentang peran

warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses

pengayaan Khazanah Kesejarahan kita.”8

Sementara itu Prof . Hembing Wijayakusuma dalam kata pengantar buku

Laksamana Cheng-Ho menyatakan bahwa Cheng-Ho berjasa besar dalam

penyebaran agama Islam, pembauran, dan peningkatan sumber daya manusia

dalam bidang perdagangan dan pertanian bagi daerah yang di kunjunginya.

Cheng- Ho juga memiliki peran besar dalam membentuk Masyarakat Muslim

Tionghoa dan membangun hubungan diplomatik dan persahabatan antara

Tiongkok dan Masyarakat Indonesia serta dengan Masyarakat dunia lainya.9.

Seiring berjalannya waktu peta penyebaran agama Islam di Indonesia

Abad 15 menunjukkan jaringan yang luas hampir di seluruh pulau besar di

7 A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung : Al-

Ma’rif 1993), hal. 180. 8 Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah. hal.

227. 9 Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng-Ho,Misteri Perjalanan Muhibah di

Nusantara, (Jakarta : Pustaka Popular Obor 2005), hal. Xxxii.

5

Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NusaTenggara, Maluku

dan Papua. Keberhasilan penyebaran Islam ini selain oleh Para Ulama sendiri juga

atas dukungan politik dan kekuasaan Raja / Sultan yang turut menyebarkanya.

Faktor lain dari keberhasilan penyebaran Islam adalah Agama Islam yang bersifat

Universal, Konprehensif dan Rahmatan lil ‘alamin.10

Di wilayah Jawa Barat penyebaran Agama Islam dirintis oleh seorang

Ulama yang bernama Syaikh Mursyadatillah atau Syaikh Qurotul’ai, (Syaikh

Hasanudin).11

Syaikh Quro merupakan tokoh penting penyebar agama Islam di

Jawa Barat, karena sebelumnya wilayah Jawa barat berada dalam kerajaan Hindu

Tarumanagara (395-628 M), Sunda dan Galuh (628-1357 M), Pajajaran Pakuan

(1357-1521 M). kerajaan Sumedanglarang (1580-1608 M) 12

Syaikh Quro adalah putra Ulama besar Mekah yang menyebarkan Agama

Islam di Campa (Kamboja). Ayahnya bernama Syaikh Yusuf Siddik, seorang

ulama besar di Campa, yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaludin

serta Syaikh Jalaludin Ulama besar Mekah, bahkan menurut sumber lainnya garis

keturunannya itu sampai kepada Syayidina Hussen bin Syaidina Ali ra. Dan Siti

Fatimah Rasulullah SAW.13

Pada tahun 1409 M, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan

Laksamana Sam Po Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan

10

Fauzan Al- Anshari, Garis-Garis Besar Syariat Islam, (Jakarta : Khairul Bayan 2003),

Cet ke 1, hal. 3. 11

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab,

Karawang, di Karawang, 21 Desember. 2010 12

Yunus Suherman, Sejarah Perntisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda, , (Bandung

Pustaka 1995, . Cet, ke-2, hal . 5-15. 13

Syamsurizal, Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul’ain, Karawang Mahdita , 2009.

hal. 10

6

mengerahkan 63 buah kapal dengan prajuritnya yang berjumlah hampir 27.800

orang untuk menjalin persahabatan dengan Kesultanan Islam. Dalam rombongan

Armada Angkatan laut Tiongkok itu di ikut sertakan Syaikh Hasanuddin atau

Syaikh Quro dari Campa untuk mengajar agama Islam di kesultanan Malaka.14

Setelah Syaikh Quro menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau

mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga, Pesambangan dan Japura melalui

Pelabuhan Muara Jati,Cirebon untuk menyebarkan agama Islam. Pada waktu itu

Jawa Barat masih di kuasai Negeri Padjajaran yang masih menganut Agama

Hindu, Raja Padjajaran bernama Prabu Anggalarang rupanya mencemaskan

kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan Syaikh Quro, Sehingga dimintanya

agar penyebaran Agama Islam yang di lakukan Syaikh Quro di hentikan. Perintah

itu di patuhi oleh Syaikh Quro lalu beliaupun kembali lagi ke Malaka.15

Beberapa waktu kemudian Syaikh Quro membulatkan tekadnya untuk

kembali ke wilayah kerajaan Hindu Pajajaran. Perjalanan Rombongan Syaikh

Quro melewati laut Jawa kemudian memasuki Muara Kali Citarum yang pada

waktu itu Muara Citarum ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang keluar

masuk wilayah Pajajaran. Selesai menelusuri kali Citarum ini akhirnya

rombongan Perahu Syaikh Quro singgah di Pura Dalem atau Pelabuhan

Karawang. Kedatangan Ulama Besar ini diterima baik oleh petugas pelabuhan

14

Atja. Carita Purwaka Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, Bandung : Proyek Permuseuman, Jawa Barat, 1986, hal. 31. Laksamana Te-

Ho kemungkinan adalah Laksamana Cheng-Ho yang di sertai Ma-Huan dan Feh- Tsin,

keduanya pandai berbhasa Arab dan telah beragama Islam. 15

Dewan Keluarga Masjid Agung Karawang, Sejarah dan Peranan Masjid Agung

Karawang dalam Pembinaan Umat yang Beriman dan Bertakwa, Karawang, tanpa

pengarang, 1993. Hal. 4.

7

Karawang dan di izinkan untuk mendirikan Musholla yang digunakan juga untuk

tempat belajar mengaji dan tempat tinggal. 16

Pada masa itu daerah Karawang sebagian besar masih merupakan hutan

belantara serta daerah yang di kelilingi oleh rawa-rawa. Hal ini menjadikan dasar

pemberian nama Karawang, yang berasal dari Bahasa Sunda yaitu Ka-rawa-an

yang memiliki arti tempat atau daerah yang berawa-rawa. Keberadaan daerah

Karawang telah di kenal sejak masa kerajaan Padjajaran yang berpusat di Bogor,

karena pada masa itu, Karawang merupakan satu-satunya jalur lalu lintas yang

sangat penting sebagai jalur Transfortasi hubungan antara kedua Kerajaan besar

yakni Kerajaan Pakuan Padjajaran dengan Kerajaan Galuh Pakuan yang berpusat

di Ciamis.17

Peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam menyebarkan agama

Islam, beliau berjasa dalam usaha Islamisasi Pemerintahan Kerajaan Padjajaran

(Raja Prabu Siliwangi) sehingga memudahkan penyebaran agama Islam di Jawa

Barat.18 Selain itu peranan Sosial lainnya beliau, membangun Lembaga

pendidikan yaitu Pesantren Quro yang sekarang telah berubah menjadi Masjid

Agung Karawang19

adapun peranan dalam hal Keagamaan yakni Syaikh Quro

menyebarkan dakwah Islam kepada Masyarakat Jawa Barat, sehingga merubah

16

Ibid., hal 5 17

Pemda Karawang, Sejarah Singkat Hari jadi Kabupaten Karawang berikut Silsilah

dan Urutan para Bupatinya, 2009, ha.l 3-4. 18

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab,

Karawang, Karawang, 21 Desember 2010. 19

Dewan Keluarga Masjid Agung Karawang, Sejarah dan Peranan Masjid Agung

Karawang dalam Pembinaan Umat yang Beriman dan Bertakwa, Karawang , tpn, 199,

hal. 8.

8

keyakinan mereka dari Masyarakat yang berkeyakinan Hindu dan Budha menjadi

Masyarakat yang Islami.20

Pengungkapan sejarah peranan Sosial Ulama dalam perjalanan

menyebarkan agama Islam di Indonesia khususnya wilayah Jawa Barat Abad XV

merupakan hal yang langka. maka perlu suatu pengungkapan sejarah, atau usaha

untuk merekontruksi masa silam sebagai suatu ingatan kolektif.

Ahli Sejarah Ahmad Mansur Suryanegara mengatakan bahwa menoleh

kembali ke masa lalu,bertujuan untuk memahami masa yang akan datang, yang

merupakan tiga dimensi waktu yang selalu berkaitan dan akan menemukan

informasi pengalaman yang lebih teruji.21

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis akan mencoba untuk

membahas dan meneliti tentang Peranan Syaikh Quro (Hasanudin) dalam

Penyebaran agama Islam yang di tuangkan dalam skripsi yang berjudul “ Peranan

Syaikh Quro Dalam Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat Abad XV M”

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1. Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, permasalahan pokok yang dibahas oleh

penulis, ialah Peranan Syaikh Quro dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat Abad

XV M. Untuk itu pelacakan atas peristiwa-peristiwa serta penjabaran

permasalahan tersebut, akan dibantu melalui pertanyaan utama sebagi berikut :

20

20

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab,

Karawang, Karawang, 21 Desember 2010. 21

Ahamad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di

Indonesia, (Bandung: Mizan 1995), Cet, ke- 2, hal. 27.

9

1. Bagaimana kondisi Masyarakat Jawa Barat Sebelum datangnya agama

Islam?

2. Bagaimana Sejarah awal Penyebaran agama Islam di Jawa Barat abad

XV?

3. Bagaimana Peranan Syaikh Quro dalam sejarah penyebaran agama Islam

di Jawa Barat?

2. Pembatasan Masalah

Banyaknya permasalahan yang telah diidentifikasi di atas, membuat

penulis membatasi permasalahan hanya kepada:

1. Kondisi Masyarakat Jawa Barat Pra- Islam

2. Sejarah Awal Penyebaran Islam di Jawa Barat Abad XV

3. Peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam Penyebaran Agama

Islam di Jawa Barat

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagi berikut :

1. Secara akademis, untuk mengungkapkan Sejarah Masuk dan

Berkembangnya agama Islam di Tatar Sunda abad XV sekarang

wilayah Jawa Barat.

2. Untuk mengetahui sejauh mana Peranan Syaikh Quro dalam

penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

10

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk mengungkap Sejarah Islam di Jawa Barat yang masih belum

terungkap.

2. Memberikan data mengenai Sejarah Islam di Jawa Barat kepada

generasi muda khususnya karena generasi muda Jawa Barat pada

umumnya tidak mengetahui Sejarah Islam daerahnya sendiri.

3. Memperkaya khazanah historiografi Indonesia.

D. Metodologi Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka

upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu di tempuh melalui

metode penelitian sejarah. adapun metode penelitian dalam skripsi ini meliputi

teknik pengumpulan data dan teknik pengolahan data yang biasa di istilahkan

dengan Heuristik, Kritik, Iinterpretasi, dan Histiografi22

1. Heuristik: Proses pencarian dan pengumpulan sumber, yaitu sumber

tulisan dan sumber lisan, Sumber-sumber sejarah terdiri atas sumber

primer dan sumber sekunder.

2. Kritik sumber: ini dilakukan setelah sumber sejarah terkumpul,

tahapan ini dilakukan untuk memperoleh keabsahan sumber, dalam

hal ini yang di uji adalah keabsahan tentang keaslian sumber

(otensitas) yang dilakukan melalui kritik eksteren. Sedangkan melaui

kritik intern, akan di uji keabsahan tentang kesahihan sumber

22

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999),

hal.44.

11

(kredibilitas), apakah isinya sebuah pernyataan, fakta-fakta dan

apakah kejadian atau peristiwanya dapat di percaya.

3. Interpretasi atau penafsiran sejarah atau disebut juga analisis sejarah,

analisis sejarah ini bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta

yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah,

4. Historiografi: merupakan fase akhir dalam metode penelitian sejarah,

yang meliputi cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil

penelitian sejarah yang telah dilakukan.

Mengacu kepada definisi Dudung Abdurahman tentang empat kegiatan

dalam metode penelitian sejarah, maka penelitian dalam skripsi ini dilakukan

dengan tahapan-tahapan sebagai berikut.

1. Pengumpulan Data.

Pada bagian ini penulis mencari dan mengumpulkan data atau sumber-

sumber yang berhubungan dengan pembahasan penulisan skripsi ini,

baik sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer

merupakan buku-buku dan naskah-naskah yang telah di alih

bahasakan yang berisikan kumpulan tulisan-tulisan yang membahas

tentang Syaikh Quro maupun Masyarakat Jawa Barat pra-Islam,

metode sejarah lisan atau interview, di pergunakan sebagai pelengkap

sumber primer, penulis melakukan wawancara terhadap dua orang

tokoh sebagai narasumber, yang pertama yakni Drs. Iwa Kartiwa,

pada tanggal 4 Okober 2010 di Bandung, selaku Kepala Seksi. Sejarah

pada Balai Pengelolan kepurbakalaan Kesejarahan dan Nilai

12

Tradisional Propinsi Jawa Barat, untuk mengetahui kondisi

Masyarakat Jawa Barat Pra – Islam selain dari buku-buku.

Narasumber yang kedua yakni Habib Saleh Al-Habsyi, pada tanggal

21 Desember 2010 di Karawang, beliau adalah pengajar sekaligus

Sejarawan kabupaten Karawang, penulis melakukan wawancara

dengan beliau untuk mengetahui sejarah dan peranan Syaikh Quro

dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat abad XV. Metode sejarah

lisan ini dipergunakan sebagai metode pelengkap terhadap bahan

dokumenter (Buku-buku dan Naskah-naskah).

Sedangkan sumber sekunder berupa buku-buku dan jurnal-jurnal

bahkan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penulisan

skripsi ini. Proses pencarian dan pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan metode “Library Research” yaitu penulis berkunjung

kebeberapa Perustakaan seperti : Perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora,

Perpustakaan Nasional Jakarta di lantai 3 dan 5, Jl. Salemba Raya 28A

Jakarata Pusat. Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten, No. 4,

12510 Jakarta Selatan. Karena keterbatasan data yang ada di Jakarta,

akhirnya penulis memustuskan pencarian di Perpustakaan yang berada

di Jawa Barat, mengingat pembahasan skripsi ini pun mengenai

penyebaran Islam di Jawa Barat, Perpustakaan di Jawa Barat yang

penulis kunjungi yaitu: Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Barat, Jl.

Soekarno Hatta, No 629 Bandung. Perpustakaan Balai Pengelolaan

13

Kepurbakalaan Kesejarahan dan Nilai Tradisional, di Gedung

Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat Jl. Dipati Ukur No. 48

Bandung.

Perpustakan Universitas Pajajaran. Jl. Raya Bandung- Sumedang Km.

21, Jatinangor Sumedang. Perpustakan Musium Sri Baduga. Jl. BKR.

No. 185 Regol, Bandung Selatan. Selain metode Library Research,

penulis juga menggunakan metode Field Research dengan

mengunjugi tempat petilasan Syaikh Quro yang berada di Kp.

Pulobata, Desa. Pulokalapa, Kecamatan. Lemah Abang, Kabupaten.

Karawang, Propinsi Jawa Barat. juga penulis mengunjungi Masjid

Agung Karawang yang konon disitulah Pesantren Quro berada yang

sekarang di alih fungsikan menjadi Masjid Agung Karwang. Setelah

data-data tersebut diperoleh, lalu penulis menghimpunnya, dan

tentunya setelah melalui proses seleksi guna di jadikan rujukan utama

dalam menulis tema yang akan dibahas.

2. Pengolahan dan Klarifikasi Data

Setelah data-data itu diperoleh maka tahapan selanjutnya

mengidentifikasi data-data berdasarkan permasalahan yang akan di

bahas dalam penelitian ini, sumber-sumber lain yang diperoleh seperti

artikel-artikel atau jurnal-jurnal yang didapatkan, kemudian

dimasukan sebagai data penunjang untuk tema yang akan dibahas.

14

3. Analisa dan Kritik Sumber

Setelah proses klarifikasi data dilakukan, tahap berikutnya adalah

melakukan kritik sumber yakni: melalui menganalisa sumber-sumber

yang didapat dengan pembacaan secara kritis, untuk kemudian

dilakukan interpretasi terhadapnya, sedangkan Analisa data dilakukan

secara deskriftif

4. Menyusun Data menjadi sebuah Tulisan

Setelah data-data yang sudah tersedia diproses secara akurat, melalui

tahapan-tahapan di atas, maka tahap terakhir adalah menyusun data-

data tersebut ke dalam sebuah kisah atau tulisan yang utuh. Pada

bagian ini juga dijelaskan bahwa secara umum teknik penulisan

skripsi ini mengacu kepada buku pedoman akademik yang di terbitkan

UIN Syarf Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, penulis belum menemukan

begitu banyak buku yang mengupas secara khusus dan komprehensif tentang

sosok Syaikh Quro dalam Perananya menyebarkan agama Islam, tetapi setidaknya

penulis menemukan dua buah buku yang didalamnya terdapat pembahsan

mengenai Syaikh Quro, yang pertama buku yang berjudul : Ikhtisar Sejarah

Singkat Syekh Qurotul’ain, buku ini terbitan dari Kepala Desa setempat yang

digunakan sebagai buku panduan untuk melakukan Tawasul di tempat petilasan

Syaikh Quro, di Kp. Pulobata, Desa. Pulokalapa, Kecamatan. Leamah Abang.

15

Kabupaten. Karawang. Propinsi. Jawa Barat. buku ini hanya sedikit pembahsan

tentang Syaikh Quro, karena memang buku ini adalah buku Ikhtisar sejarah

Syaikh Quro, selebihnya Isi dari buku ini adalah pembahsan mengenai Doa-doa

dan panduan mengenai Tawasul di tempat petilasan Syaikh Quro.

Buku yang kedua berjudul: Sejarah dan Peranan Masjid Agung

Karawang dalam Pembinaan Uumat yang Beriman dan Bertakwa, buku ini

terbitan dari Dewan Keluarga Masjid Agung Karawang, dalam buku ini terdapat

beberapa pembahasan mengenai sejarah Syaikh Quro dan Perjalanan Dakwah

beliau, yang terdapat di bab II dalam buku ini, akan tetapi sebenarnya isi buku ini

tidak secara Khusus membahas tentang Syaikh Quro, karena subtansi isi buku ini

yakni mengenai sejarah dan peranan masjid Agung karawang itu sendiri.

Selain dari pada itu penulis tidak menemukan skripsi atau tesis yang

membahas tentang Syaikh Quro dan peranannya dalam menyebarkan Islam, yang

mana hal ini menjadi motivas tersendiri buat penulis menjadikan pembahsan

tentang Syaikh Quro dan peranannya dalam menyebarkan Islam sebagai judul

skripsi.

F. Landasan Teori

Penggunaan kerangka teoritis dalam penelitian dapat mempermudah

penelitian melakukan rekontruksi sejarah yang berfungsi sebagai alat untuk

menginterpretasikan data-data yang telah di dapat dari tahap heuristik. Dengan

demikian teori ini bermaksud untuk menerangkan kejadian dengan mengkaji

sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, kontek sosial Kultural serta unsur- unsur

16

yang merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah yang di kaji. .23

Dengan demikian pemakaian suatu teori dalam pengkajian suatu peristiwa sejarah

sangat di tentukan dari sudut mana kita memandang peristiwa tersebut. Oleh

karena itu dalam Studi ini digunakan sudut pandang sosial keagamaan, maka

landasan teori yang di pakai dalam penelitian ini yakni teori Sosiologi Agama dari

Max Weber, yang berpendapat bahwa: Agama mempengaruhi pandangan hidup

manusia terhadap masyarakat. 24

Mengacu kepada teori tersebut maka dalam

ajaran agama Islam, bahwa agama dipandang sebagai pengemban tugas agar

masyarakat berfungsi dengan baik, (fungsi akan keadilan, kedamaian,

kesejahteraan Jasmani dan rohani).25

Sehingga dengan demikian Peranan Sosial

Keagamaan Syekh Quro dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat abad XV

M. merupakan peranan yang cukup signifikan dan memberikan sumbangan suatu

suri teladan yang baik bagi generasi sekarang sebagai suatu metode dan saluran

dalam menyebarkan agama Islam.

Peranan Syaikh Quro dalam hal keagamaan yakni Ia seorang Ulama,

dimana posisi Ulama adalah sebagai pewaris Nabi dalam menyebarkan dakwah

Islam, Ulama menjalankan fungsi-fungsi Kenabian, seperti Pendidik untuk

menyempurnakan Akhlaq Al-Karimah di kalangan Masyarakat, berdakwah untuk

mengajak orang-orang agar berbuat baik dan mencegah kemungkaran.

Selanjutnya Peranan Syaikh Quro dalam hal Sosial yakni Ia adalah Seorang

23

Sartono Kartodidjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, ( Jakarta:

Gramedia 1993) , hal. 2. 24

Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama ( Jakarta:

Logos Wacana Ilmu 1997), hal. 91. 25

Machnun Husein, Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama, ( Yogyakarta: Titian Ilalhi

1996) hal. 29

17

Pendidik, karena Syaikh Quro terus berusaha menumbuhkan perasaan di kalangan

Masyarakat akan pentingnya pendidikan, dan bukti kongkritnya yakni Syaikh

Quro mendirikan Lembaga Pendidikan yaitu Pesantren Quro. Selain itu peranan

Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat

adalah implementasi ajaran agama Islam yaitu: melalui saluran Pernikahan, yang

mana dalam sejarah perjalanan agama Islam di Jawa Barat , ternyata pernikahan

juga merupkan perkara yang turut mempercepat proses penyebaran Islam karena

disamping sebagai reproduksi keturunan juga menarik jiwa lain untuk menganut

Islam.

G. Sistematika Penyusunan

Untuk mendapat gambaran dan memudahkan telaah terhadap skripsi ini

penulis membagi skripsi ini ke dalam lima bab, dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan sebagaimana telah dibahas, di

dalamnya menguraikan beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian dan sistematika penyusunan.

Bab kedua memaparkan tentang Gambaran Umum Jawa Barat abad 15

M. Permasalah penting yang di bahas dalam bab ini meliputi Letak Geografis

Jawa Barat, Sejarah Singkat Jawa Barat pra Islam, , Kondisi Sosial, Keagamaan

Masayarakat Jawa Barat pra Islam.

18

Bab ketiga, menjelaskan tentang Sejarah Penyebaran Islam di Jawa barat,

dimana akan diawali dengan pembahsan tentang teori masuknya Islam ke

Nusantara, para penyebar Islam, selanjutnya tentang sejarah awal masuknya Islam

di Jawa Barat.

Bab keempat, memaparkan tentang peranan Syaikh Quro dalam

menyebarkan Islam di Jawa Barat Abad 15, dimana pembahasanya diawali dari

Asal usul Syaikh Quro, perjalanan penyebaran Islam Syaikh Quro, serta peranan

Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam Penyebaran agama Islam di Jawa Barat

Abad XV M.

Bab lima, merupakan bab penutup dan kesimpulan atas keseluruhan

pembahasan skripsi ini. Pada pembahsan bab ini diharapkan dapat menarik

benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi satu rumusan yang

bermakna. Selain kesimpulan juga ditambahkan saran-saran atau rekomendasi

kepada berbagai pihak, baik individu maupun lembaga. Begitujuga akan di

tambahkan beberapa lampiran untuk melengkapi skripsi ini. Baik berupa hasil

wawancara, surat-surat, daftar atau tabel dan lain-lain.

19

BAB II

GAMBARAN UMUM JAWA BARAT

A. Letak Geografis Jawa Barat

Bumi Jawa Barat merupakan bagian dari Sunda Islands, yang luas

wilayahnya hampir sepertiga dari Pulau Jawa, terjadi setelah munculnya Benua

Asia. Sebutan Sunda Islands, maksudnya tentu saja adalah Kepulauan Sunda. Hal

tersebut masih sejalan dengan peta yang di buat Portugis dan Belanda di masa

silam yang membagi Nusantara menjadi dua Gugusan Kepulauan, yaitu

Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda kecil.26

Jawa Barat secara Geografis terletak di antara 5°50 – 7°50 LS dan 104°48

– 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan

Laut Jawa bagian Barat dan DKI Jakarta di Utara, sebelah Timur berbatasan

dengan Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera

Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Banten dan Selat Sunda.

Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau

di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas

wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.

Kondisi Geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah

Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan Utara

merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan Selatan berbukit-bukit

26

Yosep Iskandar, Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa, Bandung : CV Geger

Sunten, 1997, hal .4.

20

dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan

Tengah27

Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki

Alam dan Pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat

diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan

Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta

Sumber Daya Perekonomian. Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9 0

C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 0 C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata

2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai

5.000 mm per tahun.28

B. Sejarah Singkat Jawa Barat Pra Islam

Sejarah mengemukakan bahwa sejak berabad-abad lamanya di Pulau Jawa

berdiri Kerajaan-kerajaan yang berdasarkan agama Hindu dan Budha. Meski

demikian, Kerajaan yang berdasarkan agama Budha tidak ditemukan di Jawa

Barat. Sedangkan Kerajaan yang berdasarkan agama Hindu yang ada di Jawa

Barat telah bediri sejak Abad ke –IV atau tahun 358 M. Umumnya wilayah

pemerintahnya kecil, sistem pemerintahannya masih sederhana, Raja-rajanya

kurang terkenal, satu dan lainnya juga kurang erat hubungannya, serta

peninggalan-peninggalannya sedikit yang bisa dilihat sampai saat ini.29

27

Pemerintah Daerah Tingkat I Prponsi Jawa Barat, Selayang Pandang Propinsi Jawa

Barat, (Bappeda : 2006), Cet. Ke – 1, hal. 5. 28

Ibid., hal. 6. 29

Edi S Ekadjati, Masyarakat dan Kebudayaan Sunda. Bandung : Pusat Ilmiah dan

Pengetahuan Regional Jawa Barat, 1980, hal 61

21

Secara berturut-turut dibawah ini akan dipaparkan sepintas kerajaan-

kerajaan Hindu tersebut:

1. Kerajaan Salakanagara, Raja yang terkenal adalah Dewawarman, tahun

130-358 M. pusat kerajaannya dekat Muara Sungai Citarum.

2. Kerajaan Tarumanegara, Raja yang pertama adalah Jayasingawarman

(menantu Raja terakhir Salakanagara), tahun 358-669 M. Pusat kerajaan

diperkirakan Prasaba di Sundapura (Bekasi). Raja yang terkenal adalah

Mulawarman.

3. Kerajaan Kendan, tahun 526-612 M, pusat kerajaan di wilayah

kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung, Raja yang terkenal adalah

Prabu Resi Guru Manikmaya, menantu Suryawarman dari Raja

Tarumanagara ke-VII. Kerajaan Kendan ini merupakan cikalbakal

berdirinya kerajaan Galuh.

4. Kerajaan Galuh, tahun 612-852 M. pusat kerajaan di karang Kamulian

Ciamis. Pusat kerajaan Galuh berpindah-pindah dan terakhir dekat kota

kecamatan Kawali kabupaten Ciamis hingga awal abad ke-15. Didirikan

oleh Wretitandayun Putra bungsu Kandihawan dari Raja Kendan terakhir..

Kandihawan bergelar Raja Resi Dewaraja yang juga adalah pembuat

Sanghyang Watang Ageung berupa naskah suci yang dijadikan undang-

undang kerajaan Galuh.

5. Kerajaan Sunda, tahun 669-852 M. pusat kerajaan di pakuan Bogor, pada

waktu itu di Jawa Barat berdiri dua kerajaan besar yaitu kerajaan Sunda

batas wilayah dari sungai Citarum ke barat. Raja yang terkenal adalah

22

Prabu Tarusbawa Darmawaskita menantu dari Raja Linggawarman Raja

Tarumanegara terakhir. Dan dari Citarum ke timur adalah kerajaan Sunda

Galuh, tahun 852-1333 M. Pusat kerajaan di Purabasa Pakuan Bogor,

merupakan gabungan kerajaan Sunda dan Galuh, daerah kekuasaan

mencangkup seluruh wilayah jawa Barat yang mempersatukan adalah

Prabu Gajah Kulon (menantu Sangwelangan buyutnya Raja Manarah dari

kerajaan Galuh). Prabu Gajah kulon disebut juga Rakean Wuwus.

6. Kerajaan Kawali, tahun 1333-1475 M. pusat kerajaan di kawali, Raja

pertama Prabu Ajiguna Linggawisesa menantu dari Prabu Linggadewata

Raja Sunda ke-28. Pada tahun 1475-1482 wilayah kerajaan kembali di

bagi menjadi dua.

1. Kerajaan Sunda Pakuan. Pusat kerajaan di Pakuan, sebagai Rajanya

yaitu Susuk Tunggal atau Sanghaliwungan anaknya Prabu Niskala

Wastukancana dari premeswari Dwi Larasakarti. Batas wilayahnya

dari sungai Citarum ke Barat.

2. Kerajaan Galuh Pakuan. Pusat kerajaan masih di Kawali, sebagai Raja

adalah Prabu Dewa Niskala anaknya prabu Niskala Wastukancana

dari Premeswari Putri Mayang Sari, batas wilayahnya dari sungai

Citarum ke timur.

7. Kerjaan Pajajaran, tahun 1482-1579 didirikan oleh Prabu Jayawidata,

yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi anaknya Dewaniskala

RajaGaluh Pakuan di Kawali. Pusat kerajaan di bagian hulu sungai

Ciliwung dekat Prasasti batu tulis kota Madya Bogor. Raja yang terkenal

23

adalah Sri Baduga Maha Raja atau terkenal dengan sebutan Prabu

Siliawangi. Keraton Pajajaran terkenal karena besar dan megah dinamai

Sri Bima Untarayana Mandura Suradipati. Kerajaan Pajajaran merupakan

kerajaaan terbesar yang terakhir yang bercorak Hindu di Jawa Barat dan

selanjutnya wilayah Jawa Barat masuk kedalam kekuasaan Mataram serta

pengaruh Cirebon sangat mendominasi dalam penyebaran agama Islam di

wilayah ini.30

C. Kondisi Sosial, Keagamaan Masyarakat Jawa Barat Pra Islam

Telah menjadi hal yang umum diketahui bahwa sebelum Islam masuk,

masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat sunda khususnya telah

memiliki bentuk kepercayaan. Bentuk kepercayaan yang pertama yang mereka

kenal adalah kepercayaan terhadap Roh-Roh nenek Moyang (Animisme) dan

kepercayaan terhadap kekuatan Alam yang ada pada Benda-benda (dinamisme)31.

Kepercayaan tersebut mencapai bentuk nyata pada jaman Neolithikum dan jaman

perunggu-besi, pada waktu kehidupan masyarakat telah mulai menetap dan telah

berlaku budaya bercocok tanam (mulai 1500 S.M.).32

Hal tersebut dapat dilihat dari peninggalan-peninggalannya berupa

megalith (kebudayaan Batu besar) seperti tugu-tugu tegak (menhir), meja batu

30

Hoesein Djajadiningrat, “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cirebon pada

Abad-Abad Pertama Berdirinya” Dalam Masa Awal Kerajaan Cirebon, Jakarta : Bharata, 1973, hal. 23-40. 31

Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada

Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010. 32

R. Moh Ali, Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan. Bandung : Pemerintah Daerah

Tingkat I Jaw a Barat, 1972, hal. 52.

24

(dolmen) kubur-kubur, dan punden yang ditemukan di beberapa daerah di Jawa

Barat, seperti Lebak (Banten Selatan) Salak Datar, Cangkuk, Panggujangan

(Leles- Garut), Cibuntu (kuningan), dan Cirebon.33

Perihal agama Masyarakat Jawa Barat atau penduduk Kerajaan Sunda, Sri

Yoeliawati dalam masuk dan berkembangnya Agama Islam di Daerah Banten dan

Sekitarnya menjelaskan sebagai berikut: pada abad-abad pertama Masehi,

pengaruh India (Hindu-Budha) mulai masuk Indonesia. Tanah Sunda (Jawa Barat)

pun tidak terlepas dari masuknya pengaruh India tersebut. Masuknya pengaruh

Hindu di Tanah Sunda mulai terungkap dengan ditemukannya beberapa prasasti

peninggalan Punawarman, seorang Raja dari kerajaan Tarumanegara, di Desa

Tugu, sungai Ciareuteun, Muara Cianten, Kebon kopi, Jambu (Ciampea-Bogor).

Dari beberapa Prasasti dapat diketahui bahwa agama Hindu telah menjadi agama

resmi kerajaan Tarumanagara (Punawarman). Prasasti Ciareuteun secara lebih

jelas menyebutkan bahwa Punawarman adalah penganut agama Hindu aliran

Waisnawa (menyembah Dewa Wisnu) termasuk pemujaan terhadap Surya atau

mazhab Saura.34.

Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta berarti keseluruhan

penduduk kerajaan Tarumanagara (Punawarman) memeluk agama Hindu. Dilihat

dari seluruh Prasasti peninggalannya, dapat diketahui bahwa Purnawarman adalah

penganut agama yang telah menyatu dengan kepercayaan pribumi. Prasasti

tersebut merupakan bentuk penghormatan bagi Arwah Raja yang telah meninggal.

33

Ibid., hal. 52. 34

Sri Yoeliawati, Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Banten dan

Sekitarnya, Bandung : Universitas Padjajaran, 1987, hal. 38.

25

Kemudian penempatan Prasasti di sungai-sungai juga merupakan tradisi leluhur

Masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.35

Dari uraian tersebut dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa Waisnawa

merupakan mazhab pertama agama Hindu yang berkembang di Jawa Barat. Hal

tersebut di dukung dengan penemuan dua patung Wisnu Cibuaya di Karawang,

yang pada saat itu termasuk dalam wilayah kerajaan Tarumanagara. Begitu juga

dengan daerah-daerah lainnya seperti di Talaga dengan penemuan patung Wisnu

Taraju, di indramayu dengan penemuan benda Laksmi (sakti wisnu) dari kerajaan

Tarumanaga sendiri.36

Selanjutnya kerajaan Tarumanagara terpecah menjadi

kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan sejak itu upacara ke- Hinduan dengan

pemujaan kepada Wisnu terus mengalami pemudaran. Aliran tersebut kian di

desak oleh aliran Syiwa dan Buddha (abad 14 Masehi).37

Lebih lanjut diuraikan; di Jawa Barat banyak di temukan patung-patung

atau simbol-simbol pemujaan dewa Syiwa dalam berbagai bentuk sesuai

fungsinya seperti Lingga-Yoni (Syiwa dan isterinya) Nandi (sapi tunggangan

Syiwa), dan patung Syiwa Mahadewa. Selain itu berkembang agama Buddha. Hal

itu terbukti dengan ditemukannya patung-patung Buddha dibeberapa daerah di

Jawa Barat. 38

Pengaruh agama Hindu di Jawa Barat begitu kuat sehingga naskah Sewaka

Dharma (kropak 408) yang juga disebut Serat Dewa Buddha (tahun 1357 Caka

35

Ali, Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan, hal .58. 36

R. M. Eddy Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, Jakarta: Proyek Media

Kebudayaan Jawa Barat, DEPDIKBUD, 1977, hal. 43. 37

Saleh Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke- 3,

Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi daerah

Tingkat I Jawa Barat, .1983-1984, hal. 39. 38 Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, 1977, hal, 44 – 45.

26

atau 1453 Masehi), masih menyebut nama-nama dewa Hindu seperti Brahma,

Wisnu, Maheswara, Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kowera, dan Indra. Carita

Parahyangan juga secara jelas menyebut semangat ke- Hinduan, ditambah dengan

adanya Prasasti Sanghyang Tapak ( 1030 Caka) yang dikeluarkan oleh Sri

Jayabhupati yang juga memperlihatkan pengaruh Hindu yang tertanam sejak

jaman Tarumanegara pada awal abad ke-5 Masehi.39

Namun, Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 406) juga

menyebut keberadaan pengaruh Hindu dan unsur ajaran Buddhisme telah

bercampur dengan kepercayaan setempat, dimana masyarakat sunda lebih

menjujung tinggi roh leluhur yaitu Hyang.40

Apabila Agama Orang Pajajaran telah

bersendikan Hyang atau Batara Seda Niskala dan menempatkan dewa-dewa

terpenting agama Hindu di bawahnya, maka itu berarti agama Hindu telah

kehilangan vitalitasnya. Sisa-sisa agama itu mungkin dianggap tradisi tanpa

dikaitkan lagi dengan India. Hindu sebagai agama di kukuhkan oleh Dewawarman

I (730 M), akhirnya berkembang menjadi “Varietas lokal” setelah kontak

keagamaan Jawa Barat – India terputus. Sejak abad ke 14 Masehi, agama tersebut

telah tertelan oleh unsur - unsur asli kepercayaan penduduk.41

Uraian di atas menunjukan kepercayaan asli Masayarakat Jawa Barat Pra

Islam yaitu Animisme - Dinamisme yang bercampur dengan unsur-unsur India

(Hindu-Budha). Unsur leluhur masih tampak jelas sehingga Wangsakerta dan

39

Saleh Danasasmita, Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian dan Amanat

Galunggung ( transkip dan terjemahan), Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan

Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1987, hal. 65-66. 40

Ibid., hal. 74. 41

Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke- 3, hal.

41-42.

27

Pleyte menyatakan bahwa pemelukan agama Hindu hanya berlaku di kalangan

Keraton dan sementara rakyat banyak tetap setia kepada agama leluhurnya, yaitu

pemujaan terhadap roh nenek moyang atau pitarapuja.42 Masuknya agama Hindu

tidak mengubah tatanan sosial yang telah ada dan pengaruhnya dapat dikatakan

sebagai lapisan yang sangat tipis, kemudian terjadi percampuran antara yang

sudah ada dengan yang datang kemudian.43 Demikian juga benda-benda

peninggalannya seperti Candi-candi, Patung-patung, Prasasti-prasasti, Ukiran-

ukiran cenderung menonjolkan sifat-sifat budaya Indonesia yang dilapisi unsur

Hindu-Buddha . hal itu dapat diketahui dari berbagai penemuan di Jawa, Sumatera

dan Bali, atau Patung-patung corak Pajajaran yang menunjukan sifat budaya

sebelum pengaruh budaya India masuk ke Indonesia.44

Pada umumnya, penduduk kerajaan pra- Islam di Indonesia

menggantungkan kehidupan mereka dari Pertanian (Perladangan). Demikan juga

mayoritas Masyarakat Jawa Barat pra- Islam mereka hidup dari Pertanian

(Perladangan).45 Pada umumnya, manusia ladang bertempat tinggal di ladangnya

masing-masing sehingga mereka hidup terpencil dari para peladang lainnya. Hal

ini menyebabkan taraf kebersamaan Masyarakat ladang lebih longgar. Kehidupan

di ladang akan membentuk manusia yang berwatak ladang, ciri yang paling

menonjol dari Masyarakat itu ialah selalu berpindah tempat, yang secara langsung

turut mempengaruhi bentuk bangunan tempat tinggal mereka. Untuk Masyarakat

42

Ibid., hal. 39. 43

Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, 1977, hal.71. 44

Ibid., hal . 35. 45

Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional,

pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata

dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010.

28

yang selalu berpindah tempat, yang diperlukan sebagai tempat tinggal ialah

bangunan yang sederhana.

Dengan memperhatikan pola hidup seperti itu, barangkali dapatlah di

mengerti, apa sebabnya di daerah Jawa Barat sedikit sekali di temukan prasasti

atau Naskah Sastra46, karena kebiasaan menulis bukanlah ciri utama Masyarakat

ladang apalagi usaha-usaha untuk mendirikan bangunan yang tahan zaman seperti

Candi atau Istana misalnya.47

Selain pertanian dan perladangan, Masyarakat Jawa Barat pra- Islam

memiliki penghidupan lain yaitu Perniagaan atau Perdagangan melalui Pelabuhan.

Hal tersebut terungkap dari keberadaan Masyarakat Sunda yang mengenal dasa

dan Calagra serta Beya (Retribusi) yang di pungut di tempat-tempat tertentu

(pelabuhan, Muara Sungai,dan tempat-tempat penyebrangan) 48

Pelabuhan-Pelabuhan yang ada di Jawa Barat pada waktu itu adalah

pertama Pelabuhan Bantam Pelabuhan dagang, kedua Pelabuhan ke arah Japara

Pontang yang kurang ramai dari Banten, ketiga pelabuhan Cigede ( merupakan

cabang Muara Cisadane), keempat adalah Tangerang dengan Pelabuhan yang

serupa seperti Pelabuhan yang sebelumnya, kelima adalah Pelabuhan Kalapa yang

bagus sekali dan pelabuhan terpenting dan terbaik dari semuanya, disinilah

berlangsung perdagangan paling ramai dan kesanalah mereka semuanya berlayar

dari Sumatera,Palembang, Laue (di mulut sungai Kapuas Kalimantan),

46

Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional,

pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata

dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010. 47

Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda sebelum Islam, Data Naskah, Lembaga Penelitian

Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 32. 48 Danasasmita, Sejarah Jawa Barat IV , hal. 5.

29

Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura serta banyak tempat lain.

Keenam pelabuhan Cimanuk disinilah ujung kerajaan, pelabuhan Cimanuk

memiliki perdagangan yang baik dan para orang Jawa pun berdagang disana,

disamping itu pelabuhan ini merupakan sebuah kota yang besar dan bagus.49

Bagi masyarakat yang berdiam di pesisir lebih-lebih di kota pelabuhan,

pada umumnya mereka menunjukan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih

berkembang, yang disebabkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari

luar.50

Dari pelayaran dan perdagangan dapat diketahui struktur sosial, hubungan

satu dengan lain dan wibawa yang berhubungan dengan pelayaran dan

perdagangan.51

Dalam menentukan Lapisan-lapisan Masyarakat berdasarkan status sosial

pada saat itu tidak mudah karena kurangnya Sumber Sejarah yang mengenai hal

itu. tetapi menurut Uka Tjandrasasmita, bahwa penggolongan Masyarakat kota

pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan yang becorak Islam di

Indonesia dapat di bagi atas :

a. Golongan raja-raja dan keluarganya

b. Golongan Elit

c. Golongan non Elit

d. Golongan Budak

Penggolongan semacam ini berlaku juga di Jawa Barat, menurut Drs. Iwa

Kartiwa bahwa penggolongan Masyarakat Sunda pada waktu itu terbagi atas :

49

Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda sebelum Islam, Data Naskah Lembaga Penelitian

Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 34-35. 50

Uka Tjandrasasmita, (ed), Sejarah Nasional Indonesia, ( jakarta : Balai Pustaka,

1984), Cet. Ke 4, jilid, 3, hal. 173. 51 Ibid., hal. 175.

30

a. Golongan Raja

b. Golongan Pejabat atau alat Negara

c. Golongan Rohaniawan dan Cendikiawan

d. Golongan Rakyat biasa (Petani yang mempunyai sawah dan Nelayan

yang mempunyai perahu

e. Golongan Buruh atau kuli.52

52

Wawancara, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada Balai

Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010.

31

BAB III

SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT

A. Teori Masuknya Islam ke Nusantara

Istilah Nusantara digunakan untuk menyebut wilayah yang sekarang di

sebut Kepulauan yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan

Brunei Darussalam. Pada waktu itu wilayah tersebut menyatu, karena belum

terbentuk Negara-negara seperti sekarang ini. Dengan demikian, bila disebutkan

Islam masuk Nusantara berarti Islam masuk ke wilayah yang sekarang dalam

Negara-negara Asia Tenggara.53

Masuknya Islam ke wilayah Indonesia oleh MC. Rikclefs disebut sebagai

“ suatu Proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang

paling tidak jelas”.54 Pendapat Ricklefs itu menurut Didin Saepudin, bisa jadi

karena masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan beberapa teori yang

dikemukakan para ahli dan telah diperdebatkan oleh para ilmuan, namun agak

sulit untuk disimpulkan.55 Menurut Ricklefs kesimpulan pasti tidak mungkin

dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang islamisasi sangat langka dan

sering sangat tidak informatif. 56

Adapun secara umum menurut Ricklefs ada dua

proses mengenai penyebaran agama Islam di Indonesia. Pertama, penduduk

pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya.

53

Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Mimbar Agama dan Budaya , Vol.23, No 3, 2006, hal. 225. 54

MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Pernerjemah, Dharmono

Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press 2005), hal. 3. 55

Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah, hal.

225. 56MC. Ricklefs. A History of Modern Indonesia, hal. 3

32

Proses kedua, orang-orang Asing ( Arab, India, Cina dll.) yang telah memeluk

agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan

penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka

sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya. 57

Dalam uraian di bawah ini penulis akan mengungkapkan tiga teori tentang

masuknya Islam di Indonesia yang di kemukakan oleh Azyumardi Azra di dalam

buku Jaringan Ulama.

Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam langsung dari Arab, atau

tepatnya Hadramaut. Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah Crawfurd

(1820), keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878).

Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab. Sedangkan

Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i,

sama seperti yang di anut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga di

pegang oleh Neiman dan De Holander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan

Mesir, sebagai Sumber datanganya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah

pengikut Mazhab Syafi’i seperti juga kaum muslimin Nusantara. Sedangkan Veth

hanya Orang-orang Arab “ tanpa menunjuk asal di Timur- Tengah maupun

kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India. 58

Sedangkan Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang

mendukung teori ini diantranya adalah Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad

Naquib Al-Attas. Al - Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan

bahwa aspek-aspek atau karakteristik internal Islam harus menjadi perhatian

57

Ibid. hal. 4 58

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur- Tengah dan Nusantara, Bandung : Mizan,

1994, hal. 31.

33

penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur -

unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara

gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Al –Attas

menjelaskan bahwa penulis-penulis yang di identifikasi sebagai India dan kitab-

kitab yang di nyatakan berasal dari India oleh sarjana barat khususnya, sebenarnya

adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur- Tengah atau setidaknya

Persia.59

Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula dalam Seminar”

Sejarah Masuk masuknya Islam di Indonesia” pada tahun 1962. bahwa kehadiran

Islam di Indonesia telah terjadi sejak Abad Ke -7 dan berasal dari Arabia.

Pendapat ini di dasarkan pada berita Cina yang menyebutkan bahwa pada Abad

ke- 7 terdapat sekelompok orang yang di sebut Ta-shih yang bermukim di kanton

(Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih

kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa ( 654/655 M) . sebagian ahli menafsirkan

Ta-shih sebagai orang Arab.60

Kedua, teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara dari India. Teori

ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel pada 1872. Berdasarkan terjemahan

perancis tentang catatan perjalanan Sulaeman, Marcopolo, dan Ibnu battuta, Ia

menyimpulkan bahwa Islam di Asia Tenggara di sebarkan oleh orang-orang Arab

yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu

Nusantara, menurut teori ini menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam

59

Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan Melayu, Bandung ; Mizan,

1997, hal. 54. 60

Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Depdikbud,1975, hal.

110-112.

34

di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukan secara

menyakinkan dilihat dari segi pembawanya. namun Pijnapel mengemukakan

bahwa Islam di Nusantara bersal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i

yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnapel sebenarnya memandang bahwa

Islam di Nusantara di sebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup

memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya penyebar Islam di Nusantara

adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. 61

Pendukung lain dari teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat

bahwa ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa

kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal

disana sebagai pedagang, perantara dalam perdagangan timur tengah dengan

Nusantara. Orang-orang Deccan inilah kata Hourgronje datang ke dunia Melayu –

Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul

kemudian pada masa-masa selanjutnya.62 Mengenai waktu kedatangannya,

Hourgronje tidak menyebutkan secara pasti . Ia juga tidak menyebutkan secara

pasti wilayah mana di India yang yang di pandang sebagi tempat asal datangnya

Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke 12

sebagai periode yang paling mungkin sebagi awal penyebaran Islam di

Nusantara.63

Dukungan yang cukup Argumentatif atas teori India di sampaikan oleh

W.F. Stutterheim. Ia dengan jelas menyebutkan bahwa Gujarat sebagai Negeri

61

Alwi bin Thahrir Al- Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta:

Lentera, 2001, hal.83. 62

Azra, Jaringan Ulama Timur- Tengah dan Nusantara, hal.40. 63 Ibid., hal .40.

35

asal Islam masuk ke Nusantara. Pendapatnya di dasarkan pada argument bahwa

Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara – Camabay (Gujarat) –

Timur Tengah – Erofa. Argumentasi ini di perkuat dengan pengamatannya

terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang di perbandingkan dengan nisan-

nisan makam di Wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan

Samudera (pasai), Al –Malik al- Saleh (wafat 1297) menurut pengamatan

Stutterheim bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang

terdapatdi Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya

bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat.64

Teori yang di kemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette ,

sarjana asal Belanda. Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan

membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat.

Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan

batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822 H/ 1419 M) di Gresik

Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu

nisan yang terdapat di Camabay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan

tersebut menyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India . dengan

demikian Islam di Indonesia, menurutnya, bersal dari India, yaitu Gujarat. Teori

ini di kenal dengan “ teori batu nisan”65

Ketiga, teori yang menyatakan bahawa Islam datang dari Benggali (Kini

Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh S.Q Fatimi dan dikemukakan pula oleh

Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan

64

Azra, Jaringan Ulama Timur- Tengah dan Nusantara, hal. 25. 65 Ibid., hal. 25

36

demikian. Tome pires berpendapat bahwa kebanyakan orang-orang terkemuka di

Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini dikembangkan

oleh Fatimi. bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Melayu yakni

dari arah timur pantai bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang

(Vietnam), Leran, dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya terjadi

pada abad ke- 11 M. Masa ini di buktikan dengan ditemukannya batu nisan

seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H.

atau 1082 M di Leran Gresik.

Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang

menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India. Fatimi menentang keras

pendapat itu, menurutnya bahwa menghubung-hubungkan seluruh batu nisan di

Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru.

Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu

niasan Al-Malik Al- Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujrat. Ia

berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di

Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti di datangkan dari Benggal

bukan dari Gujarat. Analisis ini di pergunakan Fatimi untuk membangun teorinya

yang menyatakan bahwa Islam di nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat

kelemahan substansial pada pendapat Fatimi, bahwa perbedaan Mazhab Fiqih

yang di anut Muslim Nusantara yaitu Mazhab Syafi’i yang berbeda dengan

Mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab Fiqih ini

menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.66

66 Ibid., hal. 32..

37

Masih berkaitan dengan kedatangan Islam ke Nusantara, Wan Husein

Azmi menambahkan satu teori lagi bahwa Islam datang dari Cina. Ia mengutip

teori Emanuel Godinho de Eradie seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada

1613 M, “ Sesungguhnya Aqidah Muhammad telah di terima di Pattani dan Pam

di pantai Timur kemudian di terima dan di kembangkan Paramesywara pada 1411

M.67

Sementara itu ekspedisi Laksamana Cheng-Ho yang memasuki Nusantara

menimbulkan dugaan bahwa Islam bisa di mungkinkan datang melalui Cina. A.

Dahana, Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia (UI) Depok, berpendapat

perkiraan bahwa Cheng-Ho juga menyebarkan Islam dalam Ekspedisinya tidak

mengada-ada. Fakta ini bisa di telusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia

Tenggara. Selama ini katanya arus Islamisasi yang di kenal hanya berasal dari

dua tempat yaitu Gujarat dan Timur Tengah. “ munculnya teori tentang peran

warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses

pengayaan khazanah kesejarahan kita.”68

Prof. Hembing Wijayakusama dalam kata pengantar buku Laksamana

Cheng-Ho menyatakan bahwa Cheng-Ho berjasa besar dalam penyebaran agama

Islam, pembauran dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang

perdagangan, dan pertanian bagi daerah yang dikunjunginya. Cheng-Ho juga

lanjut Hembing, memiliki peran besar dalam membentuk Masyarakat Muslim

67

A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-

Ma’arif, 1993, hal. 180. 68

Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah,

hal. 227.

38

Tionghoa dan membangun hubungan Diplomatik dan persahabatan antara Negara

Tiongkok dan masyarakat Indonesia serta dengan masyarakat dunia lainnya.69

Slamet Mulyana, ahli sejarah, seperti yang di kutip Azyumardi Azra, juga

menyinggung kemungkinan Islam di Nusantara “bersal dari Cina.”70 Hubungan

antara Nusantara dan Cina lanjut Azra sudah terjalin sejak masa pra- Islam,

sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting. Sumber-sumber Cina

bahkan memberi informasi-informasi yang cukup penting tentang Nusantara,

termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara . Riwayat

perjalanan pendeta pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan

Sribuzza (Sriwijaya) pada 671 telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan

Persia disana. Riwayat pengembara Chau Ju Kua juga memberitakan tentang

adanya koloni Arab di Pesisir Barat Sumatera, yang paling mungkin di Barus.

Sumber-sumber Cina ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya

mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan

nama-nama yang di kenal dalam Sejarah Nusantara.71

B. Para Penyebar Agama Islam

Persoalan penerimaan Islam oleh penduduk Nusantara atau yang disebut

pula conversion to Islam menjadi topik yang penting diperbincangan. Persoalan

ini tidak dapat di lepaskan dari peran penting para pembawa Islam itu sendiri..

Sebagaimana teori kedatangan Islam, persoalan golongan pembawa Islam ke

69

Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng-Ho,Misteri perjalanan Muhibah di

Nusantara, (Jakarta : Pustaka Popular Obor 2005), hal. xxxii. 70

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia. 2002, hal.

167 . 71 Ibid., hal. 167 .

39

Nusantara juga dapat di jelaskan setidaknya melalui tiga teori. Teori-teori tersebut

sebenarnya menyangkut para pembawa (Da’i) Islam Asia Tenggara, akan tetapi di

harapkan dapat membantu memahami persoalan Islam di Nusantara.72

Dilihat dari sudut pandang keyakinan seorang Muslim, menyebarkan

agama adalah suatu kewajiban. Oleh karena itu, setiap Muslim adalah dai,

penyebar keyakinannya. Hal ini dilandasi setidaknya oleh sabda Nabi SAW yang

menyebutkan “sampaikanlah sesuatu dariku walau satu ayat” inilah salah satu

konsep dasar dakwah dalam Islam yang menyebabkan setiap Muslim, sampai

pada batas tertentu dapat menjadi Da’i. sementara itu, teori-teori yang hendak di

jelaskan disini merupakan kerangka metodologis untuk melihat bagaimana

sesungguhnya proses penyebaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok

pembawa Islam tersebut. Dari teori-teori ini pula dapat dilihat latar belakang para

Da’i tersebut, apakah pedagang, kaum Sufi, atau memang sebagai Da’i.

Pertama, adalah teori yang menekankan para pedagang. Keberadaan

mereka yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah Indonesia,

menikah dengan beberapa penguasa lokal, dan yang telah menyumbangkan peran

diplomatik serta pergaulan internasional terhadap perusahaan perdagangan para

penguasa pesisir, itu semua menjadi petunjuk adanya Islamisasi di wilayah

Nusantara. Mereka tidak hanya berdagang dan bersosialisasi tetapi juga terlibat

dalam penyebaran Islam. Teori ini sangat berkaitan dengan teori pertama

kedatangan Islam yang menyatakan bahwa Islam telah hadir di wilayah Nusantara

sejak abad ke-7 . kenyataan bahwa kontak dagang wilayah Nusantara dengan

72

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid I, (Jakarta: Raja Grapindo Persada,

2000), hal. 721.

40

Timur tengah telah terjadi sejak sebelum abad ke-7, sehingga memungkinkan

wilayah ini disinggahi pula oleh para pedagang Arab yang telah memeluk Islam

pada atau setelah abad ke-7.73

Menyangkut teori pertama, perlu di beri penjelasan mengapa para

pedagang tersebut juga mengajarkan Islam, para pedagang Muslim Asing yang

datang ke Asia Tenggara, juga memperkenalkan Islam untuk mendapatkan

keunggulan Ekonomi dan politik di kalangan Masyarakat Pribumi. Menurut

kerangka pemikiran ini, diantara beberapa perkara yang diperkenalkan para

pedagang Muslim kepada masyarakat pribumi adalah terutama tentang

keuntungan-keuntungan Syariat Islam mengenai perdagangan, kejujuran dalam

timbangan misalnya, sehingga mereka dapat mengambil keuntungan ekonomi

secara maksimal. Dengan melakukan hal semacam ini mereka bukan saja

memberikan landasan bagi perdagangan pribumi, tetapi juga sekaligus membatasi

adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Islam dengan demikian menjadi

pilihan Masyarakat Pribumi, dan karenanya Islam dapat di terima.74

Kedua, adalah teori yang menjelaskan peran para Da’i atau kaum Sufi,

atau yang disebut oleh sebagian Orientalis sebagai kaum Misionari, dari Gujarat,

Benggal, dan Arabia. Kedatangan para Sufi bukan hanya sebagai Guru, tetapi

sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan Istana

para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki perkampungan di

wilayah pedalaman. Teori ini sangat tepat apabila di letakan pada konteks

perkembangan Islam di Nusantara, setidaknya sejak abad ke – 11, mengingat

73

Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 85-86. 74

Saefullah, Islamisasi di Indonesia. Telaah Seputar MasuknyaIislam, Lektur

Keagamaan, Depag RI, Vol, 2, No,, .2004, hal. 84.

41

persebaran Sufisme ke luar wilayah utama dunia Islam (Timur-Tengah), atau

pembentukan jaringan internasional Sufisme- “tarekat Tasawuf “ 75

. penyebaran

Islam melalui tasawuf lebih mudah di terima oleh bangsa Indonesia terutama

untuk orang-orang yang sebelumnya mempunyai dasar-dasar ajaran ketuhanan.76

Dari sudut pandang teori ini dapat di jelaskan bahwa Islam yang datang ke

Nusantara di pandang oleh beberapa pengamat memiliki kesamaan bentuk dengan

sifat Mistik dan Sinkretis kepercayaan Nenek Moyang setempat. Kesamaan

bentuk ini di pandang sebagai faktor lain yang menyebabkan Islam di wilayah ini

cepat diterima dan menjadi dominan , peran kaum Sufi lebih besar di banding

peran pedagang muslim dalam proses ini.77

Azyumardi Azra mengutip pendapat

A.H. Johns, menyatakan bahwa para Sufi pengembara adalah kelompok yang

terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan Nusantara dalam jumlah besar.

Hal ini setidaknya terjadi sejak abad 13 M. Faktor utama keberhasialan

perpindahan agama penduduk kepada Islam adalah kemampuan kaum Sufi ketika

menyajikan Islam dalam kemasan atraktif dan menarik, khususnya dengan

menekankan beberapa kesamaan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal

dengan Islam, atau kontinuitasnya, ketimbang perubahannya.78

Ketiga, adalah teori yang lebih menekankan pada makna Islam bagi

Masyarakat umum dari pada elite pemerintah. Islam telah menyumbangkan

sebuah landasan ideologi kedalam kehidupan masyarakat. Landasan ideologi

tersebut berlaku bagi kebijakan individual, bagi solidaritas kaum tani dan

75

Azra, (Ed). Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1989), hal. XXV. 76

Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 115. 77

Saefullah, Islamisasi di Indonesia. Telaah Seputar Masuknya Islam, hal .85. 78 Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Nusantara , hal. 32-33.

42

komunitas pedagang, dan bagi integrasi kelompok parokial yang lebih kecil

menjadi masyarakat yang lebih besar. Teori ini tentu tidak berlaku bagi proses

Islamisasi sebelum invasi Barat ke wilayah Nusantara, yakni sebelum pendudukan

Portugis atas Malaka pada 1511 M, yang di pandang sebagai awal munculnya

kolonialisme Barat di Nusantara. 79

Berdasrkan teori ini dapat di jelaskan pula bahwa kehadiran para penjajah

merangsang terjadinya proses Islamisasi dan intensifikasi lebih lanjut di

Nusantara, terutama sejak awal abad ke 16 M. masyarakat Nusantara yang bukan

hanya terpisah-pisah secara geografi oleh gugusan berbagai pulau, tetapi juga

memiliki perbedaan sosial dan kultural, mendapati Islam sebagai satu wadah yang

dapat menyatukan mereka dan memberika identitas diri kepada mereka. Bagi

mereka, penjajah dipandang sebagai kafir. Dalam konteks menghadapi penjajah,

Islam memberikan identitas diri dan mengintegrasikan masyarakat pribumi dari

berbagai kalangan, baik kaum tani, maupun pedagang. Islam bagi mereka yakni

masyarakat pribumi menjadi semacam defence mechanism (mekanisme

pertahanan diri) dalam menghadapi penjajahan dan penindasan kaum kolonialis.80

Berdasarkan teori-teori yang di kemukakan diatas, terlihat dengan jelas

bahwa tidak ada sebuah proses tunggal bagi penyebaran Islam di Nusantara, dan

tidak ada pula sumber tunggal mengenai hal ini.81

C. Sejarah Awal Masuknya Islam di Jawa Barat

79

Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 316. 80

Azra, (Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, hal. XiX. 81 Saefullah, Islamisasi di Indonesia. Telaah Seputar Masuknya Islam, hal. 87.

43

Di Jawa barat terdapat gambaran situasi dan kondisi sosial, poltik,

ekonomi dan kebudayaan masa pra- sejarah yang selanjutnya mengalami proses

akulturasi dengan kebudayaan dari India sehingga timbul dan berkembang

kerajaan-kerajaan bercorak Hindu atau Budha di Tatar Sunda sejak awal Abad ke-

5 sampai akhir Abad ke- 16 M. kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan

itulah yang di hadapi menjelang kedatangan dan penyebaran Islam di Tatar

Sunda.82

Di Tatar Sunda berdasar sumber sejarah lokal, konon pemeluk agama

Islam yang pertama kali di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah

putra kedua Prabu Guru Panggandiparamarta JayadewaBrata atau Sang Buni Sora

penguasa kerajan Galuh. Dia memilih hidupnya sebagai Saudagar besar sehingga

banyak berpergian ke daerah atau negeri lain. Seperti ; Sumatera, Semenanjung

Melayu, Campa, Cina, Sri Langka, India, Persia, bahkan Arab pernah

dikunjunginya. Di Negara-negara itu Ia menjalin persahabatandan persaudaraan

sehingga banyak sahabat dan perkenalannya, baik sesama Niagawan maupun

Pejabat setempat.

Di Gujarat, India, Ia mempunyai sahabat sekalipun rekanya berniaga

bernama Muhammad. Muhammad mempunyai anak gadis bernama Farhana, dan

Bratalegawa menjatuhkan pilihannya kepada gadis itu untuk dijadaikan istri.

Bratalegawa kemudian memeluk agama Islam, kawin dengan Farhanah, lalu

82

Nina H. Lubis dkk, Sejarah Tatar Sunda jilid, Bandung: Lembaga Penelitian

Universitas Padjajaran, 2003, hal. 155.

44

mereka kedua menunaikan ibadah Haji ke Mekah, dan Bratalegawa berganti nama

menjadi Haji Baharuddin Al jawi.83

Dari Mekah mereka kembali ke Galuh, Negara asal Bratalegawa. Disana

mereka mengunjingi Ratu Banawati, Adik bungsunya yang sudah menjadi Istri

salah satu seorang Raja bawahan Galuh. Mereka membujuk Banawati agar mau

memeluk agama Islam, tetapi tidak berhasil. Kemudian mereka pindah ke Cirebon

Girang, tempat kakak laki-lakinya berkuasa. Upaya mengajak kakaknya memeluk

agama Islam juga gagal. Kegagalan itu tidak sampai menyebabkan putusnya

hubungan darah mereka. Dan Haji Baharuddin tetap memberikan bantuan kepada

kedua saudaranya jika diperlukan. Di Galuh mereka tercata sebagai orang Islam

dan haji pertama oleh karena itu Ia kemudian dikenal dengan gelarnya Haji Purwa

Galuh atau Haji Purwa saja: Purwa berati pertama.84

Bila kisah Haji Purwa ini di jadikan titik tolak masuknya Islam di Jawa

Barat, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali

masuk ke Jawa Barat berasal dari Makah (teori Arab) yang dibawa oleh pedagang

(Bratalegawa). Kedua , pada tahap awal kedatangannya, agama Islam tidak hanya

menyentuh daerah Pesisir Utara Tatar Sunda, namun diperkenalkan juga di

daerah perdalaman. Akan tetapi agama itu tidak segera menyebar secara luas

dimasyarakat. Hal ini disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh

Hindu dari kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap Masyarakat

setempat masih kuat.85

83

Ayatrohaedi, Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda berdasarkan Naskah-Naskah

“Panitia Wangsakerta Cirebon, Jakarta: Pustaka jaya, 2001, hal.131. 84

Ibid., hal. 132. 85 Ibid., hal. 135.

45

Peran bangsa Arab dalam perniagaan di perairan Asia telah di kenal sejak

Abad ke-4 Masehi. Pada abad ke-10 Masehi, Perniagaan Dunia Timur telah

mereka kuasi . di sepanjang perjalanan, mereka mendirikan koloni-koloni sebagai

tempat tinggal mereka, seperti di Pantai Utara Sumatera, Pelabuhan Kanton dan

lain-lain. Oleh karena itu, sangat terbuka kemungkinan apabila Haji Purwa,

Saudagar dari Galuh yang hidup pada pertengahan Abad ke -15, telah di Islamkan

pada waktu sedang berniaga, karena hubungan perdagangan Cina dengan

Indonesia, India, Timur- Tengah, dan sebaliknya telah terjadi sejak awal abad

Masehi.86

Lebih lanjut, Carita Purwaka Caruban Nagari menguraikan tentang Pada

tahun (1416 Masehi), Angkatan laut Cina melakukan perjalanan keliling atas

perintah Kaisar Cheng-tu atau Yeng-lo, Raja ketiga dari Dinasti Ming. Armada

tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng-Ho atau Sam-po Tay-Kam yang telah

memeluk Agama Islam. Perjalanan tersebut juga disertai seorang juru tulis yang

bernama Ma-huan. Armada tersebut terdiri dari 63 kapal dengan 27.800 prajurit.

Tujuan utamanya adalah menjalin persahabatan dengan Raja-raja tetangga Cina di

seberang lautan. Dalam armada ini terdapat Syaikh Hasanuddin. Mereka singgah

di Pesambangan (Pelabuhan Muara Jati Cirebon). Ki Gedeng Jumanjati pada

waktu itu Sebagai penguasa pelabuhan Muara jati, Ia bersahabat dengan para

Ulama Islam yang berasal dari Mekah dan Campa, antara lain Syaikh Hasanudin

86

Edi S. Ekadjati, Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat” dalam Sejarah Jawa Barat

dari Masa Pra Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, Bandung: Proyek

Penunjangan Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat, 1975, hal . 87.

46

dari Campa87

itulah beberapa kemungkinan terjadinya pengenalan Agama Islam

pada Masyarakat Jawa Barat, yang mungkin pula selanjutnya diikuti dengan

proses Islamisasi di daerah Jawa Barat, baik dari sumber-sumber Portugis maupun

sumber-sumber tradisi. 88

Makin bertambah banyaknya saudagar dan tokoh-tokoh Islam yang

berdatangan ke pelabuhan Muara jati (Cirebon), makin membuka kemungkinan

masyarakat di daerah itu khususnya dan daerah-daerah Jawa Barat lain umumnya

untuk dapat mengenal agama Islam, serta terjadinya proses Islamisasi di daerah

tersebut. Dengan didukung oleh kekerabatan, sifat toleransi khususnya dalam

kehidupan beragama, dan sifat masyarakat pantai yang lebih terbuka terhadap hal-

hal baru pula memungkinkan terjadinya proses Islamisasi di daerah Jawa Barat.89

Sebagian besar Sumber-sumber Tradisi Cirebon selalu mengawali uraian

tentang Islamisasi di daerah Jawa Barat dengan aktivitas Guru Agama Islam, yaitu

Syaikh Quro di Karawang. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, nama asli

Syaikh Quro Karawang adalah Syaikh Hasanudin. Ia adalah putera Syaikh Yusuf

Shiddiq, seorang Ulama terkenal dari Campa.90

Sumber lain yang menunjukan datangnya Islam pertama kali di Jawa Barat

adalah naskah Carita Ratu Carbon Girang Japura dan Singapura. Naskah ini antara

lain mengkisahkan pada tahun 1418 M telah datang di Negeri Singapura (Wilayah

87 Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat, 1986. hal 31. Laksamana Te-Ho

kemungkinan adalah Laksamana Cheng-Ho yang di sertai Ma-Huan dan Feh- Tsin, keduanya pandai berbhasa Arab dan telah beragama Islam. 88

Edi S. Ekadjati, Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat” dalam Sejarah Jawa Barat

dari Masa Pra sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hal. 88 89

Ibid., hal .88. 90

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat, 1986, hal. 10.

47

Cirebon) rombongan pedagang dari Campa, dimana di dalamnya terdapat Syaikh

Hasanuddin bin Yusuf Sidik seorang Ulama penyiar agama Islam. Kemudian

setelah beberapa saat tinggal di Singapura, lalu Syaikh Hasanudin pergi lagi dan

menetap di Karawang. Beliau mendirikan Pesantren Quro, sehingga Syaikh

Hasanudin di kenal dengan nama Syaikh Quro91 Syaikh Quro adalah Ulama

pertama yang mendirikan Pesantren di Jawa Barat pada tahun 1338 Caka (1416

Masehi.) di Pura Dalem Karawang. Ia bermaksud menyebarkan Agama Islam di

pulau Jawa bagian Barat .92

91

Sri Mulyati, Carita Ratu Carbon Girang, Japura dan Singapura, transliterasi dan

Terjemahan disertai kajian teks, Bandung : Museum Negeri Propinsi Jawa Barat “SRI

BADUGA”, 1999), hal. 102. 92 Ibid., hal. 10.

48

BAB IV

PERANAN SYAIKH QURO DALAM MENYEBARKAN ISLAM

DI JAWA BARAT ABAD 15

A. Asal Usul Keluarga

Syaikh Quro adalah gelar yang di berikan oleh masyarakat pada waktu itu

kepada seorang ulama besar yang bernama Syaikh Mursyahadatillah atau Syaikh

Hasanuddin. Beliau adalah ulama yang arif dan bijaksana, keilmuannya yang

dalam, serta beliau pun adalah seorang Hafidz Al-Quran, ahli mengaji atau Qiroat

dengan suara yang sangat merdu, maka dari itulah beliaupun di gelari dengan

sebutan Syaikh Quro.93

Syaikh Quro adalah putra ulama besar Mekah yang menyebarkan Agama

Islam di Campa (Kamboja). Ayahnya bernama Syaikh Yusuf Siddik, seorang

ulama besar di Campa, yang masih ada garis keturunan dengan Syaikh Jamaludin

serta Syaikh Jalaludin ulama besar Mekah, bahkan menurut sumber lainnya garis

keturunannya itu sampai kepada Syayidina Hussen bin Syaidina Ali ra. Dan Siti

Fatimah Rasulullah SAW. Ibunya sampai sekarang belum diketahui. Syaikh Quro

menikah dengan Ratna Sondari yakni Putri Ki Gedeng Karawang. Dari

perkawinan ini lahir Syaikh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di

Karawang. Cucu Syaikh Ahmad dari puterinya yang bernama Nyi Mas Kedaton,

yakni Musanudin yang kelak menjadi Lebe Cirebon dan memimpin Tajug Sang

93

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab.

Karawang, di Karawang , 21 Desember 2010.

49

Ciptarasa pada masa Sunan Gunung Jati. Lebe Musanuddin inilah yang di Catat

sebagai Lebe Uca oleh Tome Pires dalam Suma Oriental.94

B. Perjalanan Penyebaran Islam Syaikh Quro

Jalur perdagangan dan penyebaran agama Islam dari pusat pemerintahan

Islam di Damaskus dan Bagdad ke Nusantara dalam garis besarnya ada dua. Yaitu

melalui daratan Tiongkok ke timur tengah yang disebut “Jalur Sutera” dan

melalui Perlak di Aceh terus berlayar melalui lautan India ke Gujarat dan teluk

Persia.95

Sejak tahun 671 Masehi, Kerajaan Melayu Tua dan Sriwijaya telah

mengorganisir perdagangan rempah-rempah dengan menggunakan kapal dagang

yang bertolak dari Pelabuhan Muara Sabak dekat Sungai Batanghari. Kapal

pengangkut rempah-rempah ini melewati laut Cina selatan dan berhenti dulu di

Campa. Dari sini kapal berlabuh di Kanton Tiongkok, kemudian barang dagangan

ini diangkut oleh rombongan para pedagang dengan mengunakan Unta lewat jalan

darat menuju Damaskus Syiria.96

Pada tahun 715 M, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Umayah,

menemukan jalur perdagangan yang baru yang lebih menguntungkan yaitu lewat

Teluk Persia terus ke Gujarat India, ke Perlak di Aceh, kemudian langsung ke

Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 718 M, khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim

94

Syamsurizal dkk, Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul’ain, Karawang, Mahdita ,

2009, hal. 10. 95

Uka Tjandrasasmita, proses kedatangan Islam dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam

di Aceh, “ dalam buku Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia”

(kumpulan prasarana pada seminar di aceh), Bandung : Al- Ma’arif, 1993, hal. 362. 96 William Marsden. Sejarah Sumatra (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hal. 329.

50

misi diplomatik ke kerajaan Sriwijaya dan kerajaan kalangga di Japara, sehingga

perdagangan semakin menguntungkan dan kota Damaskus menjadi kota

perdagangan dunia. Namun tidak digunakannya “jalur Sutera” tentu sangat

merugikan Tiongkok, sehingga kaisar dari dinasti Tang yang memerintah abad

VII-IX melakukan penyerangan terhadap kerajaan Sriwijaya dan Raja

Sirindrawarman yang telah memeluk agama Islam tewas terbunuh.97

Kerenggangan hubungan diplomatik dengan Tiongkok dapat dipulihkan

kembali oleh Khalifah Harun Al-Rasyid yang memerintah tahun 786-809 M,

sehingga bukan saja melancarkan hubungan dagang akan tetapi juga dalam

penyebaran Agama Islam. Hal ini di tandai dengan bertambahnya kerajaan Islam

di Sumatera dan Malaka, seperti kesultanan Daya Pasai, Bandar Kapilah, Muara

Malaya, Aru baruman dan kesultanan Kuntu Kampar. Perdaganagn yang

menempuh kedua jalur ini membawa kestabilan dalam pemerintahan kesultanan

Islam di Sumatera dan Malaka dan penyebaran Agama Islam antara Abad XII-XV

makin meluas ke kota-kota pelabuhan di pulau Jawa. 98

Pada tahun 1409 M, kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan

Laksamana Sam Po Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan

mengerahkan 63 buah kapal dengan prajuritnya yang berjumlah hampir 27.800

orang untuk menjalin persahabatan dengan kesultanan islam. Dalam rombongan

Armada Angkatan laut Tiongkok itu diikut sertakan Syaikh Hasanuddin atau

Syaikh Quro dari Campa untuk mengajar Agama Islam di kesultanan Malaka.99

.

97

Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hal. 113. 98

Ibid., hal 225 99

Atja. Carita Purwaka Caruban Nagari : karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat, 1986, hal. 31. Laksamana Te-

51

Setelah Syaikh Quro menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau

mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga, Pesambangan dan Japura melalui

pelabuhan Muara jati. Kedatanagn ulama besar ini disambut baik oleh Ki Gedang

Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yakni Syahbandar pelabuhan Muara Jati, Ia

adalah putera bungsu Prabu Westu kencana atau Sang Prabu Dewaniskala selain

sebagai juru labuhan Ki Gedeng Tapa juga sebagai seorang Mangku bumi di

singapura. Demikian juga masyarakat di daerah ini sangat tertarik terhadap ajaran

yang di sampaikan Syaikh Quro sehingga banyak dari mereka menyatakan

memeluk agama Islam.100

Namun Dalam kegiatan penyebaran Agama Islam yang di lakukan oleh

Syaikh Quro, rupanya sangat mencemaskan Raja Pajajaran yang bernama

Anggalarang. Sehingga dimintanya agar penyebaran Agama Islam yang di

lakukan Syaikh Quro di hentikan. Oleh Syaikh Quro perintah itu di patuhi. Namun

kepada utusan Raja Pajajaran yang datang, Syaikh Quro mengingatkan bahwa

meskipun penyebaran Agama Islam di larang tetapi kelak dari keturunan Raja

Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah. Beberapa saat

kemudian Syaikh Quro mohon pamit dan Ki Gedeng Tapa sendiri merasa prihatin

atas peristiwa yang menimpa Ulama besar itu. Sebab Ki Gedeng Tapa sendiri

ingin menambah pengetahuannya tentang agama Islam. Oleh karena itu sewaktu

Syaikh Quro hendak kembali ke Malaka, ki Gedeng Tapa menitipkan puterinya

Ho kemungkinan adalah Laksamana Cheng-Ho yang di sertai Ma-Huan dan Feh- Tsin,

keduanya pandai berbhasa Arab dan telah beragama Islam. 100

Sri Mulyati, Carita Ratu Carbon Girang, Japura dan Singapura, transliterasi dan

Terjemahan disertai kajian teks, Bandung : Museum Negeri Propinsi Jawa Barat “SRI

BADUGA” 1999), hal. 102.

52

yang bernama Nyi Subang Larang untuk ikut bersama Syaikh Quro untuk belajar

Agama Islam.101

Beberapa waktu kemudian Syaikh Quro membulatkan tekadnya untuk

kembali ke wilayah kerajaan Hindu Pajajaran. Untuk keperluan tersebut, maka

telah disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya

termasuk Nyi Subang Larang. Perjalanan Rombongan Syaikh Quro melewati laut

Jawa kemudian memasuki Muara Kali Citarum yang pada waktu itu Muara

Citarum ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang keluar masuk wilayah

Pajajaran. Selesai menelusuri kali Citarum ini akhirnya rombongan Perahu Syaikh

Quro singgah di Pura Dalem atau pelabuhan Karawang. Kedatangan ulama Besar

ini diterima baik oleh petugas pelabuhan Karawang dan di izinkan untuk

mendirikan Musholla yang digunakan juga untuk tempat belajar mengaji dan

tempat tinggal. 102

Syaikh Quro dan rombongannya sangat menjungjung peraturan kota

pelabuhan yang dikunjunginya, sehingga aparat setempat sangat menghormatinya

dan member izin untuk mendirikan Musholla yang digunakan sebagai tempat

untuk mengaji atau pesantren dan sekaligus sebagai tempat tinggal, lokasi

Mushalla atau pesantren dipilih untuk tidak begitu berjauhan dengan kegiatan

pelabuhan. Setelah beberapa waktu berada dipelabuhan karawang, Syaikh Quro

menyampaikan dakwahnya di Musholla yang dibangunnya dengan penuh

keramahan. Urainnya tentang ajaran Islam sangat mudah dipahami dan mudah

101

Dewan Keluarga Masjid Agung Karawang, Sejarah dan Peranan Masjid Agung

Karawang dalam Pembinaan Umat yang Beriman dan Bertakwa, Karawang, tpn, 1993,

hal . 4. 102 Ibid., hal. 5.

53

pula untuk diamalkan, karena beliau bersama santrinya langsung memberi contoh.

Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini

memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap harinya

banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.103

Berita tentang kegiatan dakwah Syaikh Quro di pelabuhan Karawang

rupanya telah terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang Syaikh

Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati

Cirebon, seperti yang sudah di singgung di atas, sehingga Prabu Anggalarang

mengirim utusan yang dipimpin oleh putera Mahkota yang bernama Raden

Pamanah Rasa atau yang lebih dikenal dengan Prabu Siliwangi untuk menutup

Pesantren Syaikh Quro. Namun ketika putera Mahkota itu tiba di tempat tujuan,

rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Al-

Qur’an yang di kumandangkan oleh Nnyi Subang Larang. Dan akhirnya Prabu

Siliwangi pun mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Syaikh Quro.104

Syekh Quro mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam penyebaran

Islam di Jawa Barat, dan memberikan sumbangan suatu suri teladan yang baik

bagi generasi sekarang, sebagi suatu metode dan saluran dalam menyebarkan

agama Islam Beliau mempunyai dua peran yang sangat penting dalam

menyebarkan agama Islam yaitu : peran dalam bidang Keagamaan dan peran

dalam bidang Sosial.

103

Ibid., hal. 6. 104 Ibid., hal. 6.

54

C. Peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam Penyebaran agama

Isam di Jawa Barat Abad XV M.

Peranan Ulama, bagaimanapun sangat penting dan menentukan dalam

perjalanan sejarah Islam, bahkan dapat dikatakan maju mundurnya perkembangan

umat Islam sangat tergantung dengan kegiatan dakwah yang dilakukan para

ulamanya.105 termasuk peranan Syaikh Quro dalam menyebarkan dakwahnya di

Jawa Barat, sebagai pewaris Nabi Para Ulama menjalankan fungsi-fungsi

Kenabian, seperti Pendidik untuk menyempurnakan Akhlaq Al-Karimah

dikalangan Masyarakat, berdakwah untuk mengajak orang-orang agar berbuat

baik dan mencegah kemungkaran. Singkatnya, diatas pundak mereka teremban

tugas untuk menyebarluaskan, pengetahuan dan ajaran-ajaran Islam, sehingga

masyarakat yang Islami akan terwujud.

Peranan Syaikh Quro sangat besar menyebarkan agama Islam di Jawa

Barat, beliau Merupakan seorang Ulama yang memiliki eksistensi dan

keberadaannya di Jawa Barat dan sekitarnya, beliau adalah sebagai tokoh agama

yang banyak merubah kondisi dan karakter Masyarakat di sekitar Jawa Barat, dari

Masyarakat yang berkeyakinan Hindu dan Budha menjadi Masyarakat yang

Islami,dan sangat Religius.106

Menurut Habib Saleh Ia mengatakan, Syaikh Quro merupakan tokoh

Ulama yang di cintai Masayarakat karena mempunyai sifat yang Bijaksana,

105

Hamzah, Peranan KH Ahmad Jayadi dalam mengembangkan dakwah di klender

Jakarta Timur, (Jakarta : Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah, 2007 ), hal. 44. 106 Habib Saleh, Al- Habsyi, Wawancara pribadi, di Karawang , 21 Desember 2010.

55

menjungjung tinggi Nilai Moral dan Akhlakul Al-Karimah.107

Diketahui pula

bahwa, Syaikh Quro dalam menyampaikan ajaran Islam kepada Masyarakat

dengan sangat Bijaksana, pengaruh Mistik agama Hindu dan Budha serta Adat

Istiadat dalam praktik-praktik peribadatan mereka yang tidak terdapat dalam

ajaran Islam, sengaja di biarkan oleh Syaikh Quro ketika itu . beliau sendiri

berusaha menghilangkannya dengan cara mengawinkan kepercayaan lama dengan

kepercayaan baru yakni Islam sehingga menyebabkan agama Islam dapat tersiar

dengan damai.

Agama Islam khususnya di daerah Jawa, disebarkan melalui saluran

perdagangan, perkawinan dan dakwah atau tabligh secara langsung kepelosok-

pelosok perkampungan oleh pedagang Islam, yang kemudian diteruskan oleh para

wali. Para wali dalam menyebarkan agama Islam pada permulaannya melalui

perkumpulan-perkumpulan yang sangat terbatas bahkan kebanyakan secara

rahasia kemudian dilanjutkan dari mulut ke mulut. Setelah pengikutnya

bertamabah banyak, maka sistem penyebaran Islam dilakukan dengan jalan

Tabligh-tabligh yang diadakan dari rumah-kerumah, kemudian meningkat

membentuk suatu Pesantren.108

Hal serupa berlaku pula pada Masayarakat Jawa Barat ketika itu,

Masyarakat penganut agama Islam di Jawa Barat pada abad XV itu sehari-hari

selalu mengadakan perkumpulan dalam Pesantren dan Mushala yang di bangun

Syaikh Quro,109

sedangkan peraturan-peraturan agama Islam dijalankan bersama

dengan adat istiadat Hindu dan Budha, maka dalam masyarakat Jawa Barat ketika

107

Habib Saleh, Al- Habsyi, Wawancara pribadi, di Karawang, 21 Desember 2010. 108

Cholihin Salam, Sejarah Islam di Jawa ( Jakarta: Djayja Murni, 1964), hal. 15. 109 Habib Saleh Al- Habsy, Wawancara pribadi, di Karawang, 21 Desember 2010.

56

itu terdapat percampuran nilai-nilai ajaran Hindu dan ajaran Budha kedalam

agama Islam yang sukar dihilangkan terutama dalam praktik-praktik peribadatan.

Akan tetapi Syaikh Quro merasa perlu mengajarkan agama Islam yang

berdasarkan Al Quran dan sunah Rasullah. Dalam pengajaran itu kepercayaan

rakyat yang telah ada tidaklah sekaligus di berantas atau di tukar. Akan tetapi

sedikit demi sedikit ajaran-ajaran Islam dimurnikan dan tiada paksaan untuk

memeluk agama Islam.110

Peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam Penyebaran agama Islam

di Jawa Barat terutama dalam hal Sosial, ini dapat dilihat dari peran Syaikh Quro

yang terus berusaha menumbuhkan perasaan di kalangan masyarakat akan

pentingnya pendidikan, Oleh karena itu beliau merasa berkewajiban untuk

memikirkan berdirinya suatu lembaga pendidikan sebagai tempat belajar bagi

masyarakat, dimana beliau dapat membimbing mereka kearah kehidupan yang

lebih maju dan taat terhadap ajaran agama Islam, kemudian beliau mendirikan

pesantren dan mushala yang fungsinya dimanfaatkan sebagai tempat belajar dalam

bidang pendidikan Islam. terutama ilmu tentang Qiroa’t Al- Quran , pesantren nya

dahulu di kenal dengan sebutan pesantren Quro, yang konon disebutkan pesantren

pertama atau tertua di wilayah Jawa Barat.111

Di lembaga pendidikan Islam yang di bangun Syaikh Quro ini masyarakat

mempelajari ajaran Islam dalam bentuknya yang sederhana yaitu belajar membaca

Al-Quran dari mulai pengenalan huruf-huruf serta tanda-tandanya, membaca ayat-

ayat pendek yang mudah di hafal. Sebagai kelanjutannya mereka mengaji seluruh

110

Ibid., 111 Ibid.,

57

Al-Quran disertai cara-cara beribadah (mengambil Wudhu) Sembahyang, Puasa

dan Akhlaq, selanjutnya temapat belajar ini bertambah luas dan berkembang

menjadi tempat belajar ilmu-ilmu agama Islam, seperti ilmu tauhid,ilmu kejiwaan

dan ilmu fiqih.112

Melalui saluran pendidikan ini Syaikh Quro telah berhasil mengangkat

masyarakat Jawa Barat umumnya dari kehidupan yang primitif menjadi

berperadaban pada masa itu, tolak ukurnya adalah adanya peningkatan

pemahaman ajaran agama yang tadinya Animisme dan Dinamisme menjadi

pemahaman ajaran Islam, baca tulis huruf Arab khususnya ayat-ayat Al-Quran,

kreatifitas kehidupan masyarakat, masyarakat yang berahlaq baik, dan komunikasi

yang baik dengan masyarakat.113

Selain melalui saluran pendidikan, peranan Sosial Keagamaan Syaikh

Quro lainnya yakni implementasi ajaran agama Islama yaitu melalui saluran

Pernikahan, sebagaimana yang telah di bahas di atas ketika Prabu Siliwangi yang

di utus Ayahnya ( Prabu Anggalarang) untuk menutup pesantren Quro, namun

sesampainya di pesantren Syaikh Quro, Prabu Siliwangi tertambat oleh alunan

suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Al- Quran yang dikumandangkan oleh

Nyimas Subang Larang murid Syaikh Quro, yakni putri dari Ki Jumanjati atau Ki

Gedeng Tapa Syahbandar pelabuhan Muara Jati.

Hingga akhirnya Prabu Siliwangi mengurungkan niatnya untuk menutup

pesantren Syaikh Quro, Atas kehendak yang Maha Kuasa, Prabu Siliwangi

menaruh perhatian khusus kepada Nyi Mas Subang Larang atas kemerduan

112

Habib Saleh Al- Habsy, Wawancara pribadi, di Karawang, 21 Desember 2010. 113 Habib Saleh Al- Habsy, Wawancara pribadi, di Karawang, 21 Desember 2010.

58

suaranya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran juga parasnya yang cantik,

hingga Prabu Siliwangi tanpa ragu untuk meminang dan memperistri sekaligus

juga ingin menjadikan Nyi Mas Subang Larang sebagai Permaisurinya. Dan

ketika Prabu Siliwangi melamar, Syaikh Quro mengajukan beberapa syarat di

antaranya harus menikah secara Islami, dimana sebagai penghulunya Syaikh Quro

sendiri dan setelah menikah Nyi Mas Subang Larang harus dijadikan permaisuri

serta diberikan kebebasan untuk tetap bisa melakukan Sembahyang (shalat) lima

waktu.114

Dari syarat-syarat yang di ajukan, semuanaya menunjukan adanya usaha

dakwah Islam dari Syaikh Quro, setidaknya dengan syarat nikah secara Islami,

Prabu Siliwangi yang sebagai putra mahkota harus mengakui Islam karena Ia juga

harus mengikuti ritual syariat Islam. dan dengan permintaan menjadi Permeisuri

setidaknya Nyi Mas Subang Larang dapat memperkenalkan keislaman dikalangan

pusat Pemerintahan.115

Dalam sejarah perjalanan agama Islam di Jawa Barat , ternyata pernikahan

juga merupkan perkara yang turut mempercepat proses penyebaran Islam karena

disamping sebagai reproduksi keturunan juga menarik jiwa lain untuk menganut

Islam . seperti seorang Muslim yang akan menikah dengan non Muslim, dia akan

berusaha untuk memuslimkan calonnya terlebih dahulu sebelum diadakan akad

nikah dan setidaknya akad nikah mereka dilaksanakan secara Islam dan setelah

menikah mereka mempunyai keturunan yang dididik sebagai seorang Muslim.

114

Habib Saleh Al- Habsy, Wawancara pribadi, di Karawang, 21 Desember 2010. 115 Ibid.,

59

Perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyi Mas Subang Larang di karuniai dua

orang putra yakni Pangeran Walasungsang dan Pangeran Raja Sengsara atau Kian

Santang, juga di karunia satu putri yakni Ratu Mas Rara Santang, adapun Nyi Mas

Rara Santang di peristri oleh sultan Mesir yang bernama Syarif Abdullah, setelah

menikah Nyi Mas Subang Larang namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim,

dari hasil pernikahannya mereka di karuniai dua orang putra, yang bernama Syarif

Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Jadi apa yang dikatakan Syaikh Quro, bahwa

kelak dari keturunan Raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah menjadi

kenyataan yakni Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon.116

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa ternyata pernikahan

mempunyai arti tersendiri bagi perkembangan Islam di tatar Sunda, apalagi

pernikahan merupakan produk generasi yang akan menggantikan generasi

sebelumnya yang pada waktu itu mayoritas Hindu- Budha serta kepercayaan

nenek moyang, bahkan dari perkawinan itulah menempatkan Islam di Kalangan

penguasa Bangsawan, mungkin ini suatu kemudahan bagi Islam karena dengan

banyaknya para penguasa dan bangsawan memeluk Islam maka banyak pula

rakyat yang mengikutinya.

Para Penguasa dan Bangsawan merupakan aspek yang cukup penting

dalam proses penyebaran Islam di Jawa Barat, sebab kedudukan bangsawan pada

msyarakat masa itu merupakan suatu kunci yang bisa mewarnai perubahan-

perubahan pada masyarakat. Sosok bangsawan mendapat kedudukan yang tinggi

116

Dewan Keluarga Masjid Agung Karawang, Sejarah dan Peranan Masjid Agung

Karawang dalam PembinaanUumat yang Beriman dan Bertakwa, Karawang, tpn,

1993, hal. 8.

60

di masyarakat sehingga segala tindakan dan perilakunya sering dijadikan pedoman

atau panutan masyarakatnya. jika penguasa dan keluarganya telah menganut

agama Islam maka tidak heran kalau masyarakatnya pun ikut muslim.

Berdasarkan peranan penting diatas penulis dapat mengatakan bahwa

Syaikh Quro adalah seorang ulama kharismatik, mempunyai kepribadian yang

mulia, dengan sikap yang toleran, akhlaqul karimah, sehingga dapat

menghantarkan Islam sampai ke tanah Jawa Barat, dan tidaklah berlebihan jika

Syaikh Quro dapat dikatakan kunci awal penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan memperhatikan seluruh pembahasan dalam karya tulis ilmiah ini,

penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

8. Di wilayah Jawa Barat sebelum masuknya agama Islam, sudah berdiri

kerajaan-kerajaan Hindu yang kebanyakan wilayahnya kecil-kecil. Sistem

pemerintahannya masih sederhana, kerajaan-kerajaan Hindu tersebut

adalah : Kerajaan Salakanagara tahun 130-358 M. pusat kerajaannya dekat

Muara sungai Citarum daerah Rajatapura(Pandeglang) Raja yang terkenal

adalah Dewawarman. Kerajaan Tarumanegara, tahun 358-669 M. pusat

kerajaan diperkirakan dekat Muara sungai Citarum Prasaba di Sundapura

(Bekasi). Raja yang terkenal adalah Mulawarman. Kerajaan Kendan, tahun

526-612 M, pusat kerajaan di wilayah kecamatan Cicalengka. Raja yang

terkenal adalah Prabu Resi Guru Manikmaya, menantu Suryawarman dari

Raja Tarumanagara ke-VII. Kerajaan Galuh, tahun 612-852 M. pusat

kerajaan di karang Kamulian Ciamis. Kerajaan Sunda, tahun 669-852 M.

pusat kerajaan di pakuan Bogor, Raja yang terkenal adalah Prabu

Tarusbawa Darmawaskita menantu dari Raja Linggawarman kerajaan

Tarumanegara ke-12 atau terakhir. Kerajaan Kawali, tahun 1333-1475 M.

pusat kerajaan di kawali, raja pertama Prabu Ajiguna Lingga Wisesa

menantu dari Prabu lingga dewata raja sunda ke-28. Kerjaan Pajajaran,

62

tahun 1482-1579 didirikan oleh Prabu Jayawidata. Pusat kerajaan di

bagian hulu sungai ciliwung dekat prasasti batu tulis kota Madya Bogor.

Raja yang terkenal adalah Sri Baduga Maha Raja atau terkenal dengan

sebutan Prabu Siliawangi.

9. Kondisi Masyarakat Jawa Barat sebelum masuknya Islam, dari segi bentuk

kepercayaan adalah kepercayaan kepada Roh-Roh Nenek Moyang atau

(Anisme) dan kepercayaan terhadap kekuatan Alam yang ada pada benda-

benda atau (Dinamisme). Seiring berjalannya waktu pengaruh Hindu di

Jawa Barat begitu kuat, sehingga bentuk Kepercayaan Masyarakat Jawa

Barat pun beralih kepada agama Hindu. Selanjutnya kondisi Masyarakat

Jawa Barat dari bentuk sosial yakni, mereka menggantungkan

kehidupannya dari Pertanian dan Perladangan. Selain Pertanian dan

Perladangan, masyarakat Jawa Barat pra- Islam memiliki penghidupan lain

yaitu Perniagaan atau Perdagangan melalui Pelabuhan, Hal tersebut

terungkap dari keberadaan Masyarakat Sunda yang mengenal Dasa dan

Calagra serta Beya (Retribusi) yang di pungut di tempat-tempat tertentu

(Pelabuhan, Muara Sungai,dan tempat-tempat Penyebrangan)

10. Lapisan atau penggolongan Masyarakat Sunda pada Abad XV terdiri dari

: 1). Golongan Raja. 2). Golongan Pejabat atau alat Negara. 3). Golongan

Rohani dan Cendikiawan. 4). Golongan Rakyat biasa (petani yang

mempunyai sawah dan nelayan yang mempunyai perahu. 5). Golongan

buruh atau kuli.

63

11. Menurut Historiografi lokal, Sejarah Awal masuk agama Islam di Jawa

Barat diawali dari kisah Bratalegawa atau Haji purwa, sedangkan Sejarah

Penyebaran Islam di Jawa Barat dapat di lihat dari kisah Syaikh

Qurotul’ain.

12. Syaikh Qurotul’ain adalah putra Ulama besar Mekah yang menyebarkan

Agama Islam di Campa (Kamboja). Ayahnya bernama Syaikh Yusuf

Siddik, seorang ulama besar di Campa, yang masih ada garis keturunan

dengan Syaikh Jamaludin serta Syaikh Jalaludin ulama besar Mekah,

bahkan menurut sumber lainnya garis keturunannya itu sampai kepada

Syayidina Hussen bin Syaidina Ali ra. Dan Siti Fatimah Rasulullah SAW.

13. Peranan Syaikh Quro sangat besar menyebarkan agama Islam di Jawa

Barat, beliau Merupakan seorang Ulama yang memiliki eksistensi dan

keberadaannya di Jawa Barat dan sekitarnya, beliau adalah sebagai tokoh

agama yang banyak merubah kondisi dan karakter Masyarakat di sekitar

Jawa Barat, dari Masyarakat yang berkeyakinan Hindu dan Budha menjadi

Masyarakat yang Islami, dan sangat Religius.

14. Peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam Penyebaran agama Islam

di Jawa Barat terutama dalam hal Sosial, ini dapat dilihat dari peran

Syaikh Quro yang terus berusaha menumbuhkan perasaan di kalangan

masyarakat akan pentingnya pendidikan, sehingga kemudian beliau

mendirikan pesantren dan mushala yang fungsinya dimanfaatkan sebagai

tempat belajar dalam bidang pendidikan Islam. terutama ilmu tentang

Qiroa’t Al- Quran, pesantrennya dahulu di kenal dengan sebutan pesantren

64

Quro, yang konon disebutkan pesantren pertama atau tertua di wilayah

Jawa Barat.

15. Selain melalui saluran pendidikan, peranan Sosial Keagamaan Syaikh

Quro lainnya yakni implementasi ajaran agama Islama yaitu melalui

saluran Pernikahan, ini bisa dilihat dari kisah Prabu Siliwangi yang di

Islamkan oleh Syaikh Quro ketika meminang Murid Syaikh Quro yakni

Nyi Mas Subang Larang, lebih dari itu agama Islam dapat di perkenalkan

di kalangan pemerintahan, sehingga memudahkan Syaikh Quro dalam

penyebaran agama Islam di tanah Jawa Barat.

16. Berdasarkan peranan penting di atas penulis dapat mengatakan bahwa

Syaikh Quro adalah seorang Ulama Kharismatik, mempunyai kepribadian

yang mulia, dengan sikap yang Toleran, Akhlaqul Al-karimah, sehingga

dapat menghantarkan Islam sampai ke tanah Jawa Barat, dan tidaklah

berlebihan jika Syaikh Quro dapat dikatakan kunci awal penyebaran

agama Islam di Jawa Barat.

B. Saran-saran

1. Karena Syaikh Quro merupakan salah satu tokoh mempunyai

peranan besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa Barat, sudah

selayaknya biograri, sejarah, dan peranannya dibukukan, karena

minimnya buku-buku yang memuat tentang Syaikh Quro, maka

dari itu hendaknya pemerintah propinsi Jawa Barat yang

mempunyai wewenang harus memperhatikan hal tersebut guna

65

memperluas pengetahuan dan wawasan tentang sejarah Islam pada

generasi muda dan masyarakat Jawa Barat khususnya.

2. Untuk para Staf Perpustakaan, baik perpustakaan Utama maupun

perpustakaan Fakultas Adab, supaya lebih memperhatikan terhadap

peningkatan kualitas pelayanan, dan pengadaan buku-buku Sejarah

baik konsentrasi Asia Tenggara maupun Timur tengah agar di

perbanyak, sehingga dapat di akses oleh mahasiswa. dan buku-

buku tersebut di sesuaikan dengan mata kuliah yang ada di Jurusan

dan dosen pengajar, mengingat buku-buku yang sekarang ada di

perpustakaan Fakultas terkadang tidak sesuai dengan apa yang di

cari mahasisawa untuk baik untuk tugas-tugas mata kuliah maupun

untuk tugas akhir skripsi.

66

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana

Ilmu.

Abdullah, Syamsudin. 1997. Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi

Agama. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Al- Anshari, Fauzan. 2003. Garis-Garis Besar Syariat Islam .Jakarta: PT. Khairul

Bayan.

Al- Haddad, Thahrir, Alwi bin. 2001. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh.

Jakarta: Lentera.

Al-Attas, Naquib. 1997. Islam dalam Sejarah dan kebudayaan Melayu. Bandung:

Mizan.

Ali, Mohammad R. 1972. Sedjarah Djawa Barat: Suatu Tanggapan. Bandung:

Pemerintahan Daerah tingkat I Jawa Barat.

Ashari, Eddy, R. M. 1997. Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat. Jakarta: Proyek

Media Kebudayaan Jawa Barat DEPDIKBUD.

Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber

Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat.

Ayatrohaedi. 1987. Masyarakat Sunda sebelum Islam. Data naskah, Lembaga

Penelitian Universitas Indonesia. Jakarta.

Ayatrohaedi. 2001. Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-

Naskah. Panitia Wangsakerta Cirebon, Jakarta: Pustaka Jaya.

Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Indonesia. Bandung:

Mizan.

Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta: Gramedia.

Azra, Azyumardi (Ed). 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor I. Bogor: Pemerintah Daerah tingkat II

Bogor dan Panguyuban Pasundan Kodya Bogor.

67

Danasasmita, Saleh. 1983-1984. Sejarah Jawa Barat: Rintisan Penelusuran Masa

Silam Jilid ke- 3. Bandung: Sundanologi & Proyek penerbitan Buku Sejarah

Jawa Barat, Propinsi daerah tingkat I Jawa Barat.

Danasasmita, Saleh. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian

dan Amanat Galunggung (transkip dan terjemahan). Bandung: Sundanologi

& Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi Daerah Tingkat I

Jawa Barat.

Dewan Keluarga Masjid Agung Karawang. 1993. Sejarah dan Peranan Masjid

Agung Karawang dalam Pembinaan Umat yang Beriman dan Bertakwa.

Karawang: tpn.

Djajadiningrat, Hoesein. 1973. “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa

Cirebon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya” dalam Masa Awal Kerajaan

Cirebon. Jakarta: Bharata.

Ekadjati, S. Edi. 1975. Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat” dalam Sejarah

Jawa Barat dari Masa Pra Sejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam.

Bandung: Proyek penunjangan Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi

Jawa Barat.

Ekadjati, S, Edi. 1980. Masyarakat dan Kebudayaan Sunda. Bandung: Pusat

Ilmiah dan Pengetahuan Regional Jawa Barat.

Hamka, Prof. 1975. Sejarah Umat Islam Jilid 2. Jakarta: Bulan Bintang.

Hamzah. 2007. Peranan KH Ahmad Jayadi dalam Mengembangkan Dakwah di

Klender Jakarta Timur. Jakarta: Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi

UIN Syarif Hidayatullah.

Hasymi, A. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia:

Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh. Bandung: Al- Ma’rif.

Husein, Machnun. 1996. Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama. Yogyakarta :

Titian Ilalhi.

Iskandar, Yosep Drs. 1997. Sejarah Jawa Barat. Bandung: Yuganing Rajakawasa,

CV Geger Sunten Bandung.

Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: Gramedia.

68

Lapidus, M, Ira. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam Jilid I. Jakarta: Raja Grapindo

Persada.

Lubis, H Nina, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid 1. Bandung: Lembaga

Penelitian Universitas Padjajaran.

Mulyati, Sri. 1999. Carita Ratu Carbon Girang, Japura dan Singapura,

Transliterasi dan Terjemahan Disertai Kajian Teks. Bandung: Museum

Negeri Propinsi Jawa Barat “SRI BADUGA”.

Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.

Nasuhi, Hamid, dkk. 2006. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

Disertasi). Ciputat: CeQDA.

Pemda Karawang. 2009. Sejarah Singkat Hari Jadi Kabupaten Karawang Berikut

Silsilah dan Urutan Para Bupatinya. Karawang: Bapeda.

Pemerintah Daerah Tingkat I Prponsi Jawa Barat. 2006. Selayang Pandang

Propinsi Jawa Barat (Bandung : Bappeda.

Ricklefs, MC. 2005. A History of Modern Indonesia. Pernj. Dharmono

Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajahmada Univ. Press.

Saefullah, Asep. 2004. Islamisasi di Indonesia, Telaah Seputar Masuknya Islam.

Jurnal: Lektur Keagamaan. Depag RI Vol 2 No.1.

Saepudin, Didin. 2006. Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif

Sejarah. Jurnal Mimbar Agama dan Budaya: UIN Jakarta Vol.23 No. 3.

Salam, Solihin. 1964. Sejarah Islam di Jawa. Jakarta: Djaya Murni.

Syamsurizal dkk. 2009. Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul’ain. Karawang:

Mahdita.

Suherman, Yunus. 1995. Sejarah Perntisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda.

Bandung: Bandung Pustaka. Cet ke-2.

Sunardjo, Unang R.H S.H. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah

Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.

Suryanegara Mansur, Ahmad. 1995. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan

Islam di Indonesia.Bandung: Mizan.

Tjandrasasmita, Uka (ed). 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3. Jakarta:

Balai Pustaka. Cet. Ke 4.

69

Yoeliawati, Sri. 1987. Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah

Banten dan Sekitarnya. Bandung: Universitas Padjajaran.

Yuanzhi, Kong, Prof. 2005. Muslim Tionghoa Cheng-Ho,Misteri Perjalanan

Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Popular Obor.

Wawancara pribadi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai

Tradisional, pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai

Tradisional, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di

Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010.

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab,

Karawang, Karawang 21 Desember 2010.