bab i pendahuluan a. latar belakang...

55
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Permasalahan ideologi dalam perpolitikan nasional sebenarnya sudah lama terjadi, bahkan dimulai sejak awal perumusan undang-undang dasar pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Tarik menarik ideologi dan perdebatan yang sering menguras tenaga dan pikiran tersebut selalu dilakukan oleh dua kelompok besar yang ingin menerapkan ideologinya masing masing. Kedua kelompok tersebut adalah kelompok nasionalis dan kelompok Islam politik. Namun harus di tekankan sejak awal bahwa kelompok nasionalis tidaklah secara langsung anti dan mengabaikan sisi religiusitas dalam sebuah negara, dan demikian sebaliknya, kelompok Islam politik tidaklah juga mengabaikan tentang semangat nasionalisme dalam bernegara. Meski punya titik persamaan dalam kandungan visi mereka, Tapi pada tataran politik praktis keberadaan kedua kelompok tersebut masih sangat sulit untuk dipertemukan. Pada pemilu raya di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1955, keberadaan partai nasionalis dan keberadaan partai yang berideologi keagamaan (Islam) sangat mendapatkan dukungan yang tinggi oleh masyarakat pemilih. Demikian juga pada pemilu 1999 dan 2004, keberadaan partai nasionalis juga keluar sebagai pemenang. Sedangkan untuk Partai yang berideologi keagamaan (Islam) juga masih mendapatkan suara yang cukup signifikan, namun karena pada pemilu 1999 1

Upload: vuongtu

Post on 17-Sep-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan ideologi dalam perpolitikan nasional sebenarnya sudah lama

terjadi, bahkan dimulai sejak awal perumusan undang-undang dasar pada masa awal

kemerdekaan Republik Indonesia. Tarik menarik ideologi dan perdebatan yang sering

menguras tenaga dan pikiran tersebut selalu dilakukan oleh dua kelompok besar yang

ingin menerapkan ideologinya masing masing. Kedua kelompok tersebut adalah

kelompok nasionalis dan kelompok Islam politik. Namun harus di tekankan sejak

awal bahwa kelompok nasionalis tidaklah secara langsung anti dan mengabaikan sisi

religiusitas dalam sebuah negara, dan demikian sebaliknya, kelompok Islam politik

tidaklah juga mengabaikan tentang semangat nasionalisme dalam bernegara. Meski

punya titik persamaan dalam kandungan visi mereka, Tapi pada tataran politik praktis

keberadaan kedua kelompok tersebut masih sangat sulit untuk dipertemukan.

Pada pemilu raya di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1955,

keberadaan partai nasionalis dan keberadaan partai yang berideologi keagamaan

(Islam) sangat mendapatkan dukungan yang tinggi oleh masyarakat pemilih.

Demikian juga pada pemilu 1999 dan 2004, keberadaan partai nasionalis juga keluar

sebagai pemenang. Sedangkan untuk Partai yang berideologi keagamaan (Islam) juga

masih mendapatkan suara yang cukup signifikan, namun karena pada pemilu 1999

1

Page 2: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

dan 2004 Partai Islam terjebak pada Partai politik aliran, maka keberadaannya

menjadi mencair.

Pada perjalanan pemilu di Indonesia, telah terjadi perubahan pada sistem

pemilihan presiden. Kalau dulunya presiden dipilih oleh kalangan legislatif maka

pada pemilu 2004 dipakai sistem pemilihan presiden secara langsung. Sistem

pemilihan presiden secara langsung ini adalah sistem pemilihan yang pertama kali

diterapkan di negara Indonesia sejak dimulainya pemilu pada tahun 1955.

Polling Sugeng Sarjadi Syndicated dan Dr Arief Budiman Maret 2003

mengeluarkan sejumlah kalkulasi pemilihan capres dan cawapres 20041. Keduanya

mencantumkan kriteria nasionalis-religius sebagai tolok ukur, baik di tingkat elite

parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling.

Sebagaimana diketahui pencalonan Wiranto sebagai presiden dengan menggandeng

Shalahuddin Wahid sebagai wakilnya, atau Megawati Sukarno Putri dengan Hasyim

Muzadi, begitu juga dengan calon-calon lainnya (Susilo bambang yudhoyono dengan

M. Yusuf Kalla, Hamzah Haz dengan Agum Gumelar, dan Amin Rais dengan

Siswono Yudo Husodo) kesemuanya merupakan representasi dari dua kekuatan

elemen bangsa yang didasarkan pada kekuatan ideologi nasionalis dan kekuatan

ideologi religius. Dari fakta tersebut, elite dan masyarakat seolah masih larut dalam

paradigma lama bahwa ukuran kemenangan politik sipil ditentukan oleh gabungan

dua aliran besar di Indonesia itu.

1 Http:www. Cetro.or id/Polling capres dan cawapres RI browsing 15 Mei 2006

2

Page 3: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Paket capres-cawapres nasionalis religius tadi seakan mengasumsikan yang

nasionalis bukan religius, sedangkan yang religius bukan nasionalis. Keduanya

diposisikan seolah-olah bertolak belakang. Apakah pakem ini merupakan tipikal

signifikan dalam proses modernisasi sistem politik Indonesia, mengingat kalangan

nasionalis-religius jauh dari kebijakan yang seharusnya diambil saat memerintah?

Di banyak negara luar, kalau ideologi itu mendikotomikan antara liberal dan

sosialis, kelompok liberal dengan Partai buruh, atau antara demokrat dan konservatif,

pengaruhnya langsung tampak pada pengambilan kebijaksanaan. Di negara kita,

berbagai kebijakan yang diambil juga bersentuhan dengan paham atau ideologi yang

dianut, meski pada kenyataannya yang nampak adalah menonjolkan sisi personal,

bukan basis ideologi parpol pendukungnya.

Ideologi adalah landasan yang menjadi dasar untuk melangkah dan menjadi

dasar maksud dan tujuan dalam berpolitik dan bernegara. Keberadaan ideologi ini

menjadi sangat vital dalam sebuah Partai, mengingat masyarakat pemilih selalu

mempertimbangkan dari awal untuk mengetahui ideologi Partai serta visi misinya

sebelum memilih.

Sebagai hasil dari perjalanan panjang tarik menarik ideologi, maka hal yang

menarik adalah adanya kelompok (Partai politik) yang ingin menjadi jalan tengah

dengan bersifat kooperatif terhadap ideologi. Kelompok ini tidak ingin berdiri di satu

sisi ideologi, melainkan menggabungkan dan menyatukan dua ideologi tersebut

dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam

suku, agama, ras, dan kebudayaan, sehingga Negara Indonesia tidak bisa diklaim

3

Page 4: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

milik salah satu elemen bangsa. Dalam hal ini sebagai contoh Partai di Negara

Indonesia adalah Partai Demokrat. Partai Demokrat dengan tegas menyatakan diri

sebagai partai nasionalis religius. Penegasan ungkapan tersebut tentunya mengandung

dua sisi ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius.

Sebagai sebuah Partai, yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk

memperoleh simpati dari para pemilih, sebenarnya kehadiran dan performance Partai

Demokrat tidaklah berbeda jauh dengan partai nasionalis yang sudah ada lebih dulu,

seperti Partai GOLKAR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), maupun

dengan Partai-Partai kecil lainnya. Namun ada penonjolan perbedaan ketika Partai

Demokrat secara tertulis menyatakan diri sebagai partai nasionalis religius.

B. Tujuan Penelitian

Sebagai sebuah penelitian diskursus (wacana) yang didasarkan pada penelitian

lapangan dan kepustakaan, karya ini sesungguhnya tidak terlepas dari maksud dan

tujuan yang secara disadari atau tidak telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari subtansi penelitian tersebut. Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk

mengetahui lebih jelas tentang ideologi nasionalis religius yang dijadikan platform

Partai Demokrat di kancah perpolitikan nasional. Yang mana ideologi tersebut

mengandung sisi nasionalisme dan semangat religiusitas.

Harus diakui penelitian tentang hal tersebut belum banyak dilakukan oleh

sarjana-sarjana yang termotivasi untuk melakukan penelitian tersebut, hal ini bisa

dipahami karena wacana tersebut diusung oleh Partai yang belum lama

4

Page 5: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

keberadaannya dan Partai tersebut belum menjadi sebuah Partai yang mayoritas.

Meskipun pada kenyataannya sebagai Partai baru, Partai tersebut cukup mendapatkan

suara yang signifikan pada pemilu 2004, dan meloloskan tokoh Partainya, yaitu susilo

bambang yudhoyono sebagai presiden RI..

Melihat adanya kenyataan hal tersebut penulis ingin mengangkat tema

tersebut sebagai bagian dari upaya pendiskusian wacana nasionalis religius di tataran

akademis. Dan sebagai harapannya adalah tulisan ini bisa memberikan khasanah

kepustakaan tentang diskursus ideologi bernegara di Indonesia. Tulisan ini pada

dasarnya juga menuntut standar-standar keilmiahan untuk memenuhi persyaratan

meraih gelar S-1 (strata satu).

C. Pembatasan Masalah

Dengan menitik-fokuskan pengkajian pada wacana ideologi, penulisan skripsi

NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI: ”Menyoal

Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat ini Penulis batasi pada

pembahasan wacana ideologi nasionalis religius Partai Demokrat ditengah-tengah

keberagaman bangsa Indonesia dengan membahas dan menguraikan visi-visi ideologi

nasionalis religius. Dan sebagai subyek (pelaku) dari wacana ini adalah Partai

Demokrat.

5

Page 6: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

D. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah dan tujuan penelitian diatas, maka

penulis mencoba merumuskan masalah dengan berdasar kepada pernyataan umum

atas asumsi bahwa Partai Demokrat adalah Partai yang berideologi nasionalis religius,

Partai Demokrat ingin mengusung wacana nasionalisme ditengah-tengah

keberagaman bangsa Indonesia, yang mana harus diakui pula bahwa nilai-nilai

religiusitas (Islam) masih sangat kental melapisi pola pikir bangsa indoneisa

Dari asumsi tersebut, diperoleh turunan pertanyaan yang kemudian penulis

mencoba untuk mendiskusikannnya, yaitu::

- Bagaimanakah Partai Demokrat mengartikan ideologi nasionalis religius?

- Prinsip-prinsip apa saja yang terkandung dalam ideologi nasionalis religius?

- Apakah Ideologi nasionalis religius Partai Demokrat sebagai salah satu strategi

politik dalam pemilu?

- Dalam parakteknya, adakah nilai-nilai religiusitas yang telah diimplementasikan

oleh Partai Demokrat?

E. Metodologi Penelitian

Berkaitan dengan tema besar dari penelitian yang penulis lakukan yakni studi

wacana, maka metode yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah

metode penelitian lapangan (Field Research), dan untuk mendukung landasan

landasan teorinya penelitian ini juga menggunakan penelitian kepustakaan (Library

research).

6

Page 7: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Sebagai penunjang langkah awal dari metode diatas, maka kemudian

dilengkapi dengan metodologi yang secara umum dikenal dengan penelitian

kepustakaan (library research). Untuk penelitian kepustakaan ini, penulis

menggunakan literature-literatur yang mengkaji tentang wacana ideologi dan sistem

kenegaraan dan sebagai sumber utama kajian kepustakaan adalah buku dengan judul

NASIONALIS RELIGIUS: Jati Diri Bangsa Indonesia, karya Prof. Dr. A. Mubarok

dengan pengantar Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini dilakukan dengan berbagai

pertimbangan. Pertama, menganalisa sebuah wacana yang diusung oleh sebuah Partai

membutuhkan landasan teoritis yang kuat untuk mencapai hasil yang optimal. kedua,

untuk mendukung upaya optimal tersebut maka salah satu diantaranya adalah

terpenuhinya data-data yang orisinil melalui penelitian kepustakaan yang juga

menjanjikan obyektifitas terhadap obyek kajian yang akan dianalisa; ketiga, kajian

kepustakaan dilakukan sebagai langkah awal dari upaya pengumpulan data, dan

kemudian sebagai langkah praktisnya dibarengi dengan riset lapangan, yang mana

menggali wacana tersebut langsung dari sumbernya

Metodologi penelitian ini didukung dengan teknis penulisan, yang mana

dalam hal ini mengacu pada buku petunjuk; Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Dan

Disertasi" yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan atas penelitian ini dibagi atas beberapa bab, yang masing bab

mempunyai sub bab yang satu sama lainnya saling berkaitan, hal ini bertujuan agar

7

Page 8: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

penulisan ini lebih sistematis dan mengikuti sebagaimana standar umum yang berlaku

dalam sebuah penulisan, yaitu :

Bab I: pendahuluan yang didalamnya terdiri dari sub bab: latar belakang

pembahasan; yang kemudian dilengkapi dengan pembatasan dan perumusan

permasalahan; dan bagian terpenting lain dalam penelitian, yaitu tujuan peneiltian

dan metode penelitian.

Bab II: pembahasan awal, pada pembahasan awal ini mengupas tentang:

Pengertian umum tentang ideologi dan kedudukannya dalam negara. Dan di sub bab

berikutnya mengupas tentang pengertian umum tentang ideologi nasionalis religius .

kemudian pada sub bab berikutnya membahas profil Partai Demokrat sebagai

pengusung ideologi nasionalis religius.

Bab III: Pada bab ini akan membahas tentang prinsip-prinsip dasar visi misi

nasionalis religius yang diusung oleh Partai Demokrat. Dengan menjelaskan secara

rinci satu per satu visi misi nasionalis religius. Prinsip-prinsip ini adalah yang

menjadi konsep dasar partai untuk menunjukkan sebagai partai yang nasionalis

religius.

Bab IV: pada bab ini mendiskusikan tentang pembahasan yang sebelumnya

sudah dibahas dengan menganalisa secara tajam maksud dan tujuannya.. Bab ini

mendiskusikan tentang nasionalis religius Partai Demokrat dengan diwujudkan

dalam sebuah pertanyaan, sebenarnya Ideologi nasionalis religius itu merupakan

sebuah strategi politik dalam pemilu, ataukah Ideologi tersebut memang sebagai

8

Page 9: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

landasan jati diri sebuah partai. Selain itu sejauh manakah religiusitas yang telah

berlangsung dalam kehidupan partai.

Bab V : Penutup. Dan kesimpulan yang berdasar pada asumsi asumsi dan

diskusi yang sebelumnya telah dibahas dibab bab sebelumnya. Kesimpulan dimaksud

bukan sebagai sebuah pembuktian verifikasi, mengingat data substansi permasalahan

yang diangkat ke dalam penelitian ini bersifat study kasus historis yang sebenarnya

mesti mendapat pengakuan obyektif dan bukan klaim kebenaran sepihak. Secara

implisit kesimpulan ini bermaksud pula memberikan pesan yang terkandung di

dalamnya.

9

Page 10: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

BAB II

PENGERTIAN DASAR IDEOLOGI NASIONALIS RELIGIUS

A. Pengertian Dasar Tentang Ideologi.

Secara umum ideologi adalah landasan pokok dimana suatu negara atau dalam

suatu bentuk kelembagaan meletakan harapan-harapan atau cita-cita yang disepakati

bersama2. Jadi, apa yang telah menjadi kesepakatan bersama, haruslah berjalan di

atas roda ideologi, yang mana ideologi itu sendiri merupakan sesuatu yang telah dan

harus disepakati secara bersama-sama pula. Ideologi pertama kali dikemukakan oleh

D. Tracy, bahwa ideologi adalah sebuah pemahaman atau ide konseptual yang

mampu melihat wajah dunia dengan ketertarikannya pada masalah-masalah sosial

(Social interest) dan mampu menawarkan “problem solving” atau pemecahan

masalah dalam suatu lembaga kemasyarakatan yang bersekala kecil maupun yang

bersekala besar3.

Kalau definisikan secara harfiah, maka ideologi itu sendiri terdiri dari dua suku kata

yakni; Ideo yang berarti ide dan logos yang berarti ilmu. Merujuk pada pengertian

secara harfiah tersebut, maka bisa jelaskan bahwa ideologi adalah ilmu tentang ide-

ide. lebih lengkap lagi tentang pemaknaan ideologi, Ramlan Surbakti menjelaskan

bahwa ideologi dapat pula dirumuskan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai

yang menyeluruh dan mendalam tentang tujuan tujuan yang hendak dicapai oleh

2 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 hal 35

3 Abdul Rahman; Ideologi, Idealisme, dan Pluralisme Bangsa, Buletin wacana POSTRA; Jakarta: ISIS nomor 6/Agustus 2002 hal 79

10

Page 11: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

suatu masyarakat dan mengenai cara-cara yang dianggap paling baik untuk mencapai

tujuan4. Tujuan dan cara itu secara moral dianggap paling baik dan adil bagi

penghayatnya untuk mengatur perilaku sosial warga masyarakat dalam berbagai segi

kehidupan di dunia ini. Dengan rumusan itu dapat disimpulkan ada dua fungsi

ideologi dalam masyarakat, pertama, menjadi tujuan dan cita-cita yang hendak

dicapai bersama oleh suatu masyarakat. Dengan demikian ideologi menjadi tolok

ukur untuk menilai keberhasilan pelaksanaan keputusan politik. Kedua, sebagai

pemersatu masyarakat, dan karenanya menjadi prosedur penyelesasian konflik yang

terjadi dalam masyarakat. definisi tentang ideologi juga dikemukakan oleh Jack C.

Plano & Roy Olton, bahwa ideologi merupakan sebuah kekuatan dinamis yang setara

dengan kekuasaan karena kepaduan dan vitalitas yang diciptakannya mampu untuk

dikendalikan menghadapi negara atau kelompok lain5. Merujuk pada definisi Jack C.

Plano dan Roy Olton tersebut, maka jelaslah bahwa ideologi itu merupakan landasan-

landasan yang memiliki kekuatan dalam membentuk karakter serta cara berpikir suatu

masyarakat. Dalam perspektif lain ideologi juga bisa diartikan sebagai gagasan atau

teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan secara

mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.

Keberadaan ideologi dalam sebuah kelembagaan atau lebih khusus pada

sebuah Partai politik adalah merupakan sebuah keniscayaan, karena Sangat mustahil

dalam suatu lembaga kemasyarakatan menolak adanya ideologi. Hal ini disebabkan

4 Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 hal 35 5 Abdu Rahman; Ideologi,hal 82

11

Page 12: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Karena ideologi merupakan acuan pokok atau kerangka dasar dinamis yang menjadi

energi kreatif dalam proses dinamisasi suatu lembaga. Sebuah pemahaman/ide itu

bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila mampu memuaskan batin, mampu

memperbaiki hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan

manusia dengan sang pencipta. Suatu ideologi dianggap berhasil apabila mampu

menanamkan nilai pada obyek ideologi dalam hal ini masyarakat. Kadang-kadang

ideologi juga dapat menjadi titik acuan dalam memandang suatu realitas atau kondisi

yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Kalau kembali pada pemahamannya Jack C. Plano dan Roy Olton bahwa

sebuah ideologi sangat peka terhadap sifat sistem politik, pelaksanaan menjalankan

kekuasaan, peran individu, sifat sistem ekonomi dan sistem sosial, serta tujuan

masyarakat. Sebagai sebuah sistem keyakinan yang mendasar, sebuah ideologi tidak

hanya menggabungkan nilai-nilai dasar masyarakat tetapi ideologi itu sendiri menjadi

nilai utama yang harus dipertahankan dan dalam kasus tertentu ideologi harus

disebarluaskan kepada masyarakat lain.

Ideologi merupakan acuan pokok atau kerangka dasar dinamis yang menjadi

energi kreatif dalam proses dinamisasi suatu lembaga. Ideologi juga merupakan

seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa dan digunakan

sebagai dasar untuk menata masyarakat dalam bernegara. Ideologi dalam kaitannya

dengan Negara Republik Indonesia mengandung nilai-nilai dasar yang hidup dalam

sistem kehidupan masyarakat dan mengandung idealisme yang mampu

mengakomodasikan tuntutan perkembangan zaman kedalam nilai-nilai dasar yang

12

Page 13: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

sudah dikristalisasikan dalam pancasila dan UUD 1945. Negara adalah lembaga

kemasyarakatan dalam skala makro, untuk itu tentunya negara juga membutuhkan

yang namanya ideologi6. Negara merupakan patokan bagi setiap lembaga

kemasyarakatan dalam lingkup mikro. Bila menengok kembali sejarah maka akan

dapati bahwa ideologi-ideologi itu tidak selalu dipertahankan, mengingat dalam

masyarakat majemuk yang di dalamnya terdiri dari berbagai kelompok budaya, suku,

ras, dan agama, yang mana setiap kelompok memiliki sistem nilai sendiri yang

kemudian dijadikan landasan masing-masing golongan, Adalah sangat rawan terjadi

tarik menarik ideologi dikarenakan ideologi tersebut belum bisa mengcover setiap

sistem nilai tiap-tiap golongan, karena mengingat syarat-syarat penerimaan ideologi

itu sendiri. Yakni harus mampu memuaskan batin, mampu memperbaiki hubungan

manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan sang pencipta7.

Ketika syarat itu belum terpenuhi maka sangat mustahil suatu ideologi itu bisa

dipertahankan.

B. Pengertian Umum Tentang Ideologi Nasionalis Religius

Secara sederhana ideologi nasionalis religius adalah sebuah penggabungan

atau kolaborasi dua ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius, dan

6 Moh Kusnardi, Ilmu Negara; Edisi Revis tentang konstitusi:Jakarta: Gaya Media Pratama

1998 hal 133

7 Magnis Suseno, Franz, Etika Politik; Prinsip Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama ,1999 hal 348

13

Page 14: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

sebagai pemaknaan untuk masing masing idologi, dapat dipahami bahwa ideologi

nasionalis adalah sebuah ideologi yang berwawasan nasionalisme dengan

mengedepankan pada nilai-nilai pluralisme bangsa yang memiliki berbagai ragam

suku, budaya, agama dengan tujuan untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan

sosial. Sedangkan ideologi religius adalah sebuah ideologi yang didasarkan pada

norma-norma agama yang bersifat universal untuk mengatur kehidupan bernegara.

Norma-norma agama tersebut menjadi dasar dalam setiap lapis berkehidupan

bernegara dan berdemokrasi8.

Namun tidaklah arif untuk meletakkan posisi nasionalis-religius secara hitam-

putih dan diametral-oposisional dalam pengertian yang satu berdiri di satu lembah

dan yang lain di lembah lainnya sebagaimana pemaknaan terhadap sejarah bangsa

Indonesia di masa awal kemerdekaan.

Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, masyarakat seolah-olah digiring

untuk mengikuti dan memilih arus Partai politik dengan pengkotakan dasar ideologi

yang berujung pada pengelompokan-pengelompokan tertentu. Apalagi keberadaan

Partai politik yang mengusung ideologi yang berbeda tersebut memiliki kekuatan

parlemen yang sangat besar, dimana pada waktu itu PNI (Partai Nasionalis Indonesia)

dan MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) selalu mendominasi dalam

perolehan suara. Meskipun demikian, harus pula diakui bahwa dalam lapis kultural-

8 Wawancara dengan Prof. Dr. A. Mubarok, (wakil ketua DPP Partai Demokrat) 22 November 2005 di Jakarta

14

Page 15: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

antropologis, politik aliran adalah sesuatu yang lumrah karena mencerminkan

keragaman kultural yang memiliki sumber historis dan sosiologis9.

Bahkan, menurut hasil penelitian Robert Jay dan Clofford Geertz, dua

antropolog terkemuka asal Amerika, bahwa artikulasi politik Indonesia tidak bisa

dilepaskan dari formulasi kultural santri, priayi, dan abangan, sehingga yang terjadi di

masyarakat adalah pengelompokan dengan memandang bahwa kelompok santri akan

selalu berdiri di posisi sebagai pemegang ideologi religius, sedangkan kelompok

abangan akan selalu berdiri di posisi pemegang ideologi nasionalis10. Pendapat

seperti ini tidak bisa dibenarkan dengan mutlak mengingat kelompok santri juga tidak

mengabaikan sisi-sisi nasionalisme sebagaimana bisa dilihat dari para tokoh elit

Partai yang berjuang di garis tersebut. Sebagai misalnya adalah keberadaan

Mohammad Hatta di dalam PNI (Partai Nasionalis Indonesia), meskipun masuk

dalam PNI (Partai nasionalis Indonesia), tapi Mohammad Hatta juga sangat diakui

sebagai tokoh yang memiliki landasan keagamaan cukup kuat dalam berbangsa dan

bernegara. Demikian pula dengan Mohammad Natsir, sebagai tokoh MASYUMI

beliau juga mempunyai integritas yang tinggi terhadap bangsa yang plural11.

9 Adnan Buyung Nasution, Politik aliran; tantangan NKRI, WWW.Kompas.com 13 Juni 2001

10 Baca Clifford Geertz, Religion of Java, Chicago and London: Universityof Chicago press 1976. Clifford Geertz dalam membagi entitas keragaman berdasarkan pada penelitian lapangan yang ia lakukan di daerah Jawa Timur, pendapat Geertz ini cukup mendapatkan tanggapan dari berbagai ilmuwan, meskipun untuk sekarang ini wacana tersebut sudah mulai menurun. 11 Mohammad natsir lebih mendasarkan pada nasionalisme Islam, karena benih-benih nasionalisme pada akar sejarahnya didirikan oleh tokoh-tokoh Islam , disamping pada waktu sebelum indonesia merdeka telah banyak berdiri organisasi yang dimotori oleh orang islam seperti SI (Syarikat Islam),

15

Page 16: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Dengan demikian, sebagai fakta budaya, perbedaan ideologi politik tidaklah

menjadi soal. Yang menjadi soal, seperti dikatakan Adnan Buyung Nasution, adalah

apabila kelembagaan politik diatur berdasarkan pembelahan politik aliran12. Karena

apabila hal tersebut terjadi, yang akan terjadi adalah kecenderungan eksklusivisme

yang dikawinkan dengan politik. Apalagi kecenderungan keyakinan agama yang

eksklusiv. Jadi kategori nasionalis-religius sebenarnya sudah tampil ke permukaan

sejak awal pra kemerdekaan dan pasaca kemerdekaan. Dan sebagai faktanya banyak

Partai politik yang mempraktekkan ideologi nasionalis religius meskipun dalam

platformnya atau AD/ART tidak secara langsung mencantumkannya.

C. Partai Demokrat Sebagai Pengusung Ideologi Nasionalis Religius

Kelahiran Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang

Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001.

Partai Demokrat didirikan oleh 99 (sembilanpuluh sembilan) orang dengan artian

berkaitan dengan SBY sebagai penggagas, yakni SBY lahir tanggal 9 bulan 9. Pada

tanggal 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta

Selatan dihadapan Notaris Aswendi Kamuli, SH., 46 dari 99 orang menyatakan

bersedia menjadi Pendiri Partai Demokrat dan hadir menandatangani Akte Pendirian

Partai Demokrat. 53 (lima puluh tiga) orang selebihnya tidak hadir tetapi memberikan

lihat Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,Jakarta: Paramadina 1998 hal 63 12 Buyung Nasution, Politik Aliran WWW.Kompas.com 13 Juni 2001

16

Page 17: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

surat kuasa kepada saudara Vence Rumangkang. Selanjutnya pada tanggal 17

Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat

dideklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pertama

pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan

Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia13.

Sejalan dengan deklarasi berdirinya Partai Demokrat, sebagai perangkat

organisasi dibuatlah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)

Partai, yang mana sebagai asas Partai adalah pancasila Dan sebagai wujud dari jati

diri Partai Demokrat termaktub dalam anggaran dasar Partai, yaitu di pasal 3 (Tiga)

yang berbunyi14;

Jati diri Partai adalah nasionalis-religius, yaitu kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.

Dan sebagai penjabaran makna yang terkandung dalam jati diri nasionalis religius

yang mempunyai aspek-aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme, di dalam

doktrin Partai Demokrat termaktub uraian sebagai berikut15:

Nasionalisme Partai Demokrat menempatkan kepentingan nasional sebagai komitmen utama. Semua kepentingan individu, kelompok dan golongan akan dikalahkan jika mengancam kepentingan nasional bangsa Indonesia. nasionalisme yang dianut Partai Demokrat bukanlah nasionalisme chauvinisme yang memungkinkan terjadinya penindasan suatu bangsa oleh bangsa lain, tetapi nasionalisme yang didasari oleh penghayatan keagamaan,

13 Http///:www.demokrat.or.id./sejarah partai, browsing internet 20 Mei 2006

14 DPP Partai Demokrat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat, Jakarta: DPP Partai Demokrat hal 28 15 DPP Partai Demokrat, Anggaran Dasar hal 14

17

Page 18: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

menyayangi sesama manusia dan bahkan kepada semua mahluk ciptaan tuhan. Pluralisme Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, agama dan budaya, dan dari keberagaman lahir solidaritas nasional menghadapi penjajahan hingga lahirlah Negara republik Indonesia. manajemen keragaman itu dimungkinkan karena adanya semangat bhineka tunggal ika, yakni meski ada identitas yang berbeda-beda tetapi pada hakikatnya adalah satu kesatuan, yaitu kesatuan bangsa Indonesia. tugas memanaged keragaman bukan dengan menyeragamkan yang beragam, tetapi menyatukan visi dari kekuatasn yang beragam. Humanisme Sejalan dengan ajaran agama, bahwa manusia adalah mahluk yang dimuliakan oleh tuhan yang oleh karena itu manusia berkewajiban memelihara kemuliaan dirinya, wujud perjuangan pemuliaan diri manusia adalah perlindungan hak-hak azasi manusia. Agama mengajarkan perlindungan manusia untuk memperoleh hak-haknya, yakni perlindungan fisik dari penganiayaan, perlindungan nyawa dari pembunuhan, perlindungan akal dari penindasan intelektual, perlindungan harta dari kepemilikannya, serta perlindungan jati diri dari kesucian nasabnya (keturunannya). Ajaran inilah yang menjelma menjadi HAM dalam budaya modern. Dalam pergaulan antar manusia, Partai Demokrat mengakui dan menghormati adanya berbagai solidaritas, seperti solidaritas keagamaan, solidaritas nasional dan solidaritas kemanusiaan. Bangsa Indonesia sesuai dengan pembukaan UUD 1945, menentang penjajahan di muka bumi yang dilakukan oleh bangsa kuat kepada bangsa yang lemah. Bangsa Indonesia juga harus siap menentang setiap ada penindasan hak azasi manusia yang terjadi di belahan dunia manapun sebagai wujud solidaritas kemanusiaan (humanisme). Dari uraian tersebut bisa dipahami bahwa semangat nasionalisme Partai

Demokrat sangat kental dengan dilapisi semangat religiusitas. Makna religiusitas

disini adalah penghayatan agama secara umum yang mengedepankan toleransi

bersosial. Religiusitas disini berarti pengamalan agama sesuai keyakinan masing-

masing tanpa menjadikan satu agama menjadi agama negara. Sisi-sisi religiusitas

Partai Demokrat sebenarnya lebih cenderung pada proses upaya bernegara dan

berdemokrasi dengan tidak bertentangan dengan aturan agama secara universal. Hal

18

Page 19: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

ini bisa dilihat dari visi misi Partai yang tidak secara jelas atau langsung

menggunakan satu agama tertentu sebagai landasan religiusitas sebuah ideologi. Visi

misi Partai Demokrat itu adalah sebagai berikut16:

- Visi Partai

Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan

luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang

merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat

Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada

Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan

sejahtera.

- Misi Partai

1. Memberikan garis yang jelas agar Partai berfungsi secara optimal dengan

peranan yang signifikan di dalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru

yang dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang

kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi

semula sebagaimana telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiri pencetus

Proklamasi kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia

dengan titik berat kepada upaya mewujudkan perdamaian, demokrasi

(Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaan.

2. Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan baru dalam

melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan

16 DPP Partai Demokrat, Anggaran Dasar hal 84

19

Page 20: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

sejarah bahwa kehadiran Partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan

generasi-generasi sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan

bangsa Indonesia, sejak melawan penjajah merebut Kemerdekaan,

merumuskan Pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan secara

berkesinambungan hingga memasuki era reformasi.

3. Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban Warganegara

tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan

masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta

terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan

dan permusyawaratan.

4. Meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai ideologi, paham dan pola

pikir yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Pancasila.

Secara umum kader dan simpatisan Partai Demokrat adalah plural, mengingat

dasar ideologinya adalah nasionalis. Kader dan simpatisan Partai Demokrat banyak

berasal dari berbagai macam kalangan, seperti buruh, kelompok lintas agama,

akademisi, kaum muda dan berbagai suku. Selain itu simpatisan Partai Demokrat juga

berasal dari silent majority (komunitas diam) yang tidak begitu antusias dengan Partai

politik17. Fakta ini bisa dilihat dari perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu

tahun 2004 yang berhasil masuk dalam urutan sepuluh besar Partai dengan pemilih

terbanyak.

17 http//:www.kpu.go.id/profil partai peserta pemilu 2004, browsing pada tanggal 15 Mei 2006

20

Page 21: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Di luar hal tersebut, dengan semakin kokohnya posisi partai demokrat setelah

keberhasilannya dalam mengusung SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai

presiden RI, secara tidak langsung hal tersebut menarik berbagai kalangan untuk

bergabung. Sebagaimana diketahui pasca Kongres Bali di tubuh Partai Demokrat diisi

oleh orang-orang baru yang sebelumnya bukan kader Partai Demokrat. Sebagai

misalnya adalah, mantan Kapolda Irjen Nur Faizi, mantan PB HMI dan anggota KPU

Anas Urbaningrum dan lain-lainnya.

21

Page 22: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

BAB III

PRINSIP-PRINSIP DASAR NASIONALIS RELIGIUS PERSPEKTIF PARTAI

DEMOKRAT

A. Visi Kemanusiaan Dan Kebangsaan

1. meyakini bahwa tuhan menciptakan manusia berpasangan laki perempuan,

bersuku suku, berbangsa bangsa, beraneka budaya, beraneka potensi,

perbedaan mana yang dimaksud agar mereka saling berkenalan, saling

menghormati dan saling memberi manfaat satu sama lain (litaarafu) guna

mencapai tujuan bersama yakni kesejahteraan lahir batin. Visi ini

sebenarnya visi agama, visi wahyu tuhan (Q/49:13) kata litaarafu dari

arafa urf maruf marifah, mengandung arti kebaikan yang dikenal secara

common sence. Maknanya, manusia pada fitrahnya secara sosial

mengenali visi kebaikan. Dalam keberagaman sosial, perbedaan tidak

dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi yang yang harus

dikelola sehingga menjadi sinergi. Fitrah manusia selalu menyukai

kesamaan dan juga perbedaan, senang berkumpul dengan kelompok yang

memiliki persamaan, sekaligus di kesempatan lain senang mencari yang

berbeda dengan yang lain, senang tampil beda.

2. secara sosial manusia berbeda beda tetapi ukuran keutamaan substansial

bersifat universal. Tuhan tidak melihat rupa pakaian, warna kulit dan

status sosial, tetapi hati dan jiwanya yang dilihat. Manusia yang bertuhan

22

Page 23: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

tidak akan merendahkan orang lain hanya karena status sosial atau etnik,

sebaliknya mengapresiasi kemuliaan budi pekerti dan ahlak atau moralitas

(bahasa agamanya Taqwa: Inna akramakum indallahi atqakyum)18

3. pada dasarnya manusia adalah mahluk yang dimuliakan oleh tuhan, oleh

karena itu keharusan untuk menghargai dan menghormatyi orang lain

sejalan dengan keharusan menghargai dan menghormati diri sendiri.

Orang yang dirinya terhormat pasti dihormati orang lain. Dan

merendahkan orang lain bermakna sekaligus merendahkan diri sendiri.

4. sejarah telah mentakdirkan masyarakat Indonesia yang berbeda beda suku,

bahasa, budaya dan tradisinya dalam kesatuan kebangsaan, yaitu bangsa

Indonesia. Sesama elemen bangsa harus saling mengenal dan

mengapresiasi untuk selanjutnya saling membantu dan bekerja sama

membangun kejayaan bangsa.

5. perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah menorehkan

kepahlawanan yang luar bisaa, tetapi sebagai bangsa yang religius

mengakui bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai adalah atas

berkat rahmat allah SWT, visi ini berasal dari konsep tahmid, ucapan

alhamduliilllah segala puji hanya milik allah maknanya bahwa betapapun

manusia telah berkarya besar tetapi hakikatnya adalah karena adanya

18 Harus diakui sumbangsih agama Islam dalam Konteks Nasionalis religius banyak didominasi oleh pemikiran islam, hal ini didasarkan pada kenyataan mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tetapi konsep-konsep tersebut juga tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang lain. Wawancara dengan Ahmad Mubarok (wakil ketua DPP Partai Demokrat) Jakarta 19 Juni 2006

23

Page 24: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

perkenan dari Allah, oleh karena itu segala pujian yang terima harus

pulangkan kepada tuhan yang paling berhak atas segala pujian.

B. Visi keberagamaan

1. bahwa keyakinan kepada suatu agama adalah merupakan hak asasi dan

tidak boleh dipaksakan. Visi ini juga merupakan visi wahyu (la ikraha

fiddin), (Q/2:256).

2. agama dalam arti keyakinan dan peribadatan tidak mengenal toleransi,

oleh karena itu setiap orang beragama tidak boleh mencampuri urusan

agama lain, sebaliknya memberi kemerdekaan sepenuhnya kepada setiap

pemeluk agama untuk menjalankan ibadah dan keyakinannnya. Visi ini

juga merupakan visi wahyu, yaitu, lakum dinukum waliyadin: agamamu

ya agamamu, agamaku ya agamaku, tidak perlu bertoleran kepada agama

yang ;lain tetapi orang yang beragama harus memberi kebebasan kepada

orang lain menjalankan agamanya. Agama tidak dituntut untuk toleran,

tetapi penganut agama secara sosial wajib toleran kepada penganut agama

yang lain.

3. kesalihan individual dalam beragama harus sejalan dengan kesalihan

sosial, saleh secara vertical dan saleh secara horizontal, kata salih berasal

dari kata kata salaha-sulh-maslahat,mengandung arti baikdamai dan

patuh. Orang yang saleh pasti baik (konstruktif) damai dengan lingkungan

dan patuh secara sosial.

24

Page 25: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

4. visi keberagamaan (religiuitas) itu menyentuh kepada aspek-aspek

kehidupan;

a. Pluralitas etnik (ras, budaya, bahasa dan agama)

b. Nasionalitas; yakni kesadaran berbangsa

c. Hak asasi manusia; visi HAM menurut agama menyebut adanya

lima aspek kemanusiaan yang dilindungi hak haknya (alkulliyatul

khams) yakni perlindungan kepada jiwa atau diri (hifdz annafs),

keyakinan agama (hifdz din) harta (hifdzul mal) intelektual

(hifdzul aqal) dan kesucian keturunan (Hifdz Nasl).

d. Demokrasi, yakni mengembangkan musyawarah menghormati hal

mayoritas dan melindungi hak hak minoritas. Musyawarah bukan

untuk mencari kemenangan, tetapi mencari kebenaran dan

kebaikan.

e. Kemaslahatan, tujuan semua agama adalah kemaslahatan

(kebaikan) baik untuk individu, keluarga maupun masyarakat.

f. Kesetaraan jender secara proporsional setiap, orang dihormati dan

diapresiasi bukan karena faktor jender, tetapi karena kehormatan

diri dan kapasitas.

C. Visi kebudayaan

1. pada dasarnya manusia adalah mahluk budaya, yakni mahluk yang

memiliki konsep konsep yang memandu perilakunya. Kualitas karya

25

Page 26: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

manusia (bentuk kebudayaan) sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam

kepalanya (konsepnya).

2. setiap budaya memiliki nilai plus dan minus. Pergaulan lintas budaya akan

melahirkan proses salng mengenal, saling belajar dan saling menghargai,

interaksi dengan semangat apresiasi, nilai luhur budaya harus dipelihara

dan dijadikan perekat persatuan dan ketahanan budaya (ketahanan

nasional). Mengaadopsi nilai nilai budaya asing hanya pada hal hal yang

jelas jelas lebih baik dan sudah teruji. Prinsip ini berasal dari kaidah

sunni-almuhafadzatu alal qadimisalih, wal akhdzu bil jadidil aslah.

Artinya tradisi lama yang baik harus dipelihara dan mengambil yang baru

hanya yang suidah teruji lebih baik nilainya.

3. dalam hal kebudayaan, pada dasarnya semua kebudayaan boleh diadopsi

(akulturasi budaya) sepanjang tidak ada elemen elemen yang melarang,

pakaian, nyanyian, arsitektur, gaya hidup, sistem poleksosbud sepanjang

menganut nilai positif dan tidak mengandung elemen yang haram boleh

ditiru.

4. dalam urusan keduniawian (ekonomi sosial politik budaya) bekerjasama

dalam kebaikan dan saling membantu tidak harus memandang agama yang

dianut, tetapi dengan tetap mengedepankan nilai keadilan, kejujuran dan

kepatutan (Q/60;8)

26

Page 27: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

D. Visi Kemasyarakatan

1. Dalam pergaulan sosial masyarakat religius, yang muda (yunior)

menghormati yang tua (senior) yang tua menyayangi (memaklumi,

mendorong, memberi kesempatan) kepada yang muda. Nilai ini berasal

dari hadis nabi; laisa minna man lam yuwaqir kabirana walam yarham

shaghirana ) artinya tidak termasuk golonganku orang yang tidak bisa

menghormati yang lebih tua dan tidak bisa menyayangi yang lebih muda.

2. keluarga merupakan barometer kesuksesan sosial, seorang pemimpin

masayarakat adalah yang juga bisa menjadi pemimpin dan teladan dalam

rumah tangganya.

3. solidaritas sosial berlangsung tanpa memandang perbedaan identitas

sosial, tetapi berdasar pada nilai kemanusian universal. Siapapun yang

memerlukan bantuan kemanusiaan berhak untuk menerima bantuan sosial

dari orang lain yang memiliki kemampuan.

E. Visi Etika Sosial Politik.

1. pada dasarnya manusia adalah mahluk politik, setiap ada kelompok

masyarakat pasti akan terbangun sistem kepemimpinan dan kekuasaan.

2. pemimpin adalah yang memegang suatu kekuasaan, tetapi fungsinya

adalah pelayan mayarakat, pemimpin tidak hanya berkuasa tetapi wajib

melayani kepentiangan yang dipimpin. Visi ini berasal dari etika agama,

27

Page 28: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

sayyidul qaumi khadimuhum. Artinya pemimpin masyarakat pada

hakikatnya adalah pelayan mereka.

3. yang berhak menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan

untuk memberi kepada yang dipimpin (rasa aman, kemakmuran,

perlindungan, contoh teladan dll). Rekruitmen pemimpin selalu

memperhatikan faktor kemampuan berkomunikasi, ilmu pengetahuan

yang dibutuhkan dan senioritas.

4. masyarakat harus menghormati lembaga kepemimpinan. Mempermalukan

pemimpin yang telah dipilih bermakna mempermalukan diri sendiri.

Bangsa yang jatuh pemimpinnya dengan cara tidak terhormat dijamin

penggantinya tidak lebih baik dari yang dijatuhkan.

5. pemimpin yang tidak mampu mengakomodasi apalagi bertentangan

dengan aspirasi yang dipimpin, seyogyanya secara terhormat

mengundurkan diri sebelum diturunkan.

6. dalam hubungan kerjasama sosial politik baik dengan kawan maupun

dengan lawan poltik hendaknya selalu saling mengingatkan, mengkritisi

tapi dengan tujuan baik, konsisten beroreintasi kepada kebaikan dan

kepatutan dan mencegah terjadinya kemunkatran. Visi ini berasal dari

konsep amar ma’ruf nahi munkar artinya selalu mengajak kepada

kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Amar makruf nahi munkar

adalah sistem pengawasan dengan motivasi agama, bukan mencari cari

kesalahan, bukan sabotase, ada beberapa istilah alquran tentang norma,

28

Page 29: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

yaitu alkhair, alma’ruf, almunkar dan fakhsiah. (a) alkhair adalah

kebaikan universal seperti kejujuran, keadilan, menolong yang lemah dsb.

(b) alma’ruf adalah sesuatu secara sosial dipandang baik dan patut,

seperti ukuran sopan dan tidak sopan ukuran besar dan kecil, banyak dan

sedikit, ukuran penting dan tidak penting. Sedangkan (c) munkar adalah

perbuatan jahat yang dibalut dengan argumen sehingga tidak terkesan

seperti kejahatan padahal sangat berbahaya, seperti komisi, mark up,

sumbangan sukarela tanpa tekanan (susu tante) uang semir, pelicin, dan

sebagainya dan (d) fahisiyah adalah sesuatu yang secara universal

dipandang sebagai kekejian , misalnya zina. Karena universal, maka

pezinapun marah jika istrinya dizinahi orang. Mengingatkan lawan poltik,

meski tujuannya baik tetap harus dengan cara yang beretika, jadi nahi

munkar pun harus dilakukan dengan cara ma’ruf, amar ma’ruf dengan cara

munkar akan menghasilkan kemunkaaran, apalagi nahi munkar dengan

cara munkar.

7. dalam menejemen kerja, harus mendahulukan penghargaan, reward,

(basyiran) dan menomorduakan hukuman, punishment (nadziran). Visi ini

berasal dari akhlak nabi basyiran wa nadziran, mendahulukan

memberikan kegembiraan , baru mengingatkan bahaya.

8. mengembangkan kearifan yang dapat disimpulkan dalam kalimat: keliru

memberi maaf itu lebih baik dari pada keliru menghukum, menyesal

29

Page 30: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

karena diam itu lebih baik dari pada menyesal karena terlanjur bicara. Visi

ini juga berasal dari hadis nabi.

9. mengembangkan kebajikan, yakni kebajikan yang menakjubkan; seperti

memaafkan kesalahan musuh (menghapus dendam politik) menyantuni

orang yang pernah didzalimi dan lain sebagainya. Visi ini berasal dari

bybel dan hadis nabi.

10. pihak yang kalah secara demokratis hendaknya mengakui kekalahannya

dan mendukung secara positif pada lawannya yang menang, sedangkan

pihak yang menang hendaknya merendahkan diri dengan ungkapan bahwa

kami bukanlah yang terbaik, tetapi beruntung memperoleh kemenangan

berkat rahmat Allah.

11. tidak terjebak pada cinta berlebihan dan benci berlebihan. Visi ini berasal

dari tasauf al Gazali ahbib habibaka haunan ma ‘asa an yakuna

baghidaka yauman ma, wa abghid baghidaka haunan ma’ asa an yakuna

yauman ma. Artinya, cintailah kekasihmu sederhana saja, siapa tahu

dibelakang hari ia menjadi orang yang paling kau benci, bencilah

musuhmu sederhana saja, siapa tahu dibelakang hari ia akan menjadi

kekasihmu.

12. berfikir ulang sebelum merespon final, visi ini berasal dari wahyu

(Q/2:216). Apa yang kau sukai mungkin berakibat buruk bagimu, dan apa

yang tidak kau sukai mungkin justru baik untukmu.

30

Page 31: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

F. Visi Etika Sosial Ekonomi

1. Bahwa dalam setiap produk (misalnya mobil, rumah, dlsb) hingga berujud

sempurna prosesnya, telah melibatkan ratusan dan mungkin ribuan tangan

manusia ( menurut teori ibnu khaldun produk seribu tangan) oleh karena

itu setiap kekayaan yang miliki tidak sepenuhnya milik, tetapi

didalamnya ada fungsi sosial.

2. Harta kekayaan adalah anugrah tuhan kepada manusia, dan merupakan

alat untuk merncapai keutamaan dalam kehidupan, bukan tujuan hidup,

karena harta merupakan alat hidup, maka seberapa banyak orang boleh

memiliki kekayaan tergantung sejauh mana ia mencapai keutamaan. Jiak

seseorang bercita cita melakukan karya besar dan keutamaan yang tinggi

dan banyak maka ia memerlukan banyak kekayaan.

3. Bahwa di dalam harta si kaya terdapat bagian yang menjadi milik orang

lain (fakir miskin) yang harus dibayarkan. Semakin meningkat kekayaan

seseoarang, maka semakin besar pula porsi milik orang lain yang

membutuhkan. Oleh karena itu perlu diatur sistem yang menjamin

dibayarkannya hak orang lain, dalam agama Islam disebut zakat, infak,

sedekah, dalam bybel disebut persepuluhan. Pada tatanan masyarakat yang

konsisten menjalankan sistem ini orang kaya dicintai orang miskin,

mereka berterima kasih dan selalu mendoakan agar sikaya bertambah

kaya. Pada tatanan masyarakat yang tidak mempedulikan sistem ini,

31

Page 32: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

kesenjangan sosial akan melebar, orang miskin dendam kepada sikaya,

dan setiap melakukan anarkhi setiap peluang terbuka.

4. Harta kekayaan itu ibarat air, jika mengalir maka airnya bersih dan indah

dilihat. Harta itu ibarat pohon, jika sering digunting secara berkala

(beramal) maka pohon itu akan menjadi segar karena tumbuhnya ranting

dan daun baru. Pohon yang tidak pernah digunting tumbuhnya tinggi

tetapi tidak indah.

5. Kejujuran dalam kegiatan ekonomi (bekerja atau berbisnis) akan

mendatangkan keberkahan hidup, berbisnis secara curang meski

mendatangkan keuntungan besar, dijamin akan mendatangakan

kegersangan dalam hidup, dirinya dan keluarganya. Berkah artinya

terdaya gunanya nikmat tuhan secara optimal, orang yang hidupnya

berkah, tidak ada serupiahpun hartanya yang tercecer tidak bermanfaat,

lawannya adalah mubazir, banyak biaya keluar tetapi tidak mendatangkan

manfaat.

32

Page 33: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

BAB IV

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUSITAS DALAM BERPOLITIK DI

TENGAH PLURALISME BANGSA

A. Nasionalis Religius Sebagai Jalan Tengah Perdebatan Ideologi di

Indonesia : Strategi politik Partai Demokrat ?

Tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan

kesejahteraan hidup (kemakmuran, keadilan, keamanan dll)19, semua ini akan dicapai

melalui demokrasi untuk menuju ke arah sana harus mempunyai kendaraan yang

namanya Partai Politik.. Partai politik berfungsi untuk merepresentasikan,

mengartikulasikan dan mengagregasikan kebutuhan dan kepentingan publik, juga

memegang peranan strategis dan penting dalam upaya mencapai tujuan bernegara.

Termasuk juga Partai politik berperan dalam pengelolaan keuangan negara secara

lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Sebaliknya jika Partai politik tersebut

tidak menempuh pilihan ini, hampir dapat dipastikan akan ditinggalkan masyarakat,

Hasil pemilu 2004 telah mengantarkan Partai Demokrat sebagai Partai new comer

dengan nomor urut 9 dari 24 peserta pemilu pada pesta demokrasi pemilu 2004

19 Lihat Mas'oed, Mohtar, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999. di

dalam buku tersebut mengupas tentang teori demokrasi beserta cakupan-cakupan yang berkaitan dengan regulasi ekonomi, kepemimpinan, dan kepemerintahan secara luas.

33

Page 34: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

mampu masuk di peringkat 5 besar dengan jumlah pemilih 8.455.225 atau mendapat

prosentase pemilih sekitar 7,45% dengan meraih jatah kursi 57 di legislatif.20

Keberhasilan tersebut tentunya juga didasari oleh strategi yang diterapkan

dalam sosialisasi Partai dan kampanye dengan menyampaikan visi misi Partai dan

janji-janji yang akan direalisasikan apabila Partai Demokrat memegang lembaga

eksekutif. Partai Demokrat yang pada pemilu 2004 menuai kesuksesan dengan meraih

posisi 5 besar, sebenarnya lebih didasarkan pada keberhasilan penanaman ideologi

Partai yang nasionalis religius yang disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat,

dari pada janji-janji pada waktu kampanye yang digemborkan. Hal ini lebih diperkuat

lagi dengan sosok sentral SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang selalu

menampilkan sosok yang nasionalis dengan tanpa mengacuhkan perilaku religius.

Selain keberhasilan Partai Demokrat dalam menampilkan sosok SBY (Susilo

Bambang Yudhoyono) yang nasionalis religius, keberhasilan Partai Demokrat

sebagai the best new comer dalam pemilu 2004 juga tidak terlepas dari kekhawatiran

sebagian masyarakat Indonesia terhadap munculnya kembali ideologi puritan dan

ideologi komunisme-marxisme-leninisme21.

Dalam dataran teoretis, ajaran-ajaran komunisme-marxisme-leninisme

semestinya boleh saja dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa

membantu masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin

20 Rudy Alamsyah, Partai Demokrat Menyongsong Pemilu 2009 http;//Demokrat.or.id 08/06/2006

21 Ruslani, Nasionalisme Religius, Kompas Rabu, 12 April 2005

34

Page 35: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

mencerdaskan dan mendewasakan bangsa Indonesia. komunisme-marxisme-

leninisme tentu harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan,

karena ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut

agama22. Karena itu, politik Indonesia diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap

diwarnai dengan nilai-nilai spiritual-keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya

terlepas dari koridor moral dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar

ideologi negara indonesia. Mereka inilah yang dalam wacana politik biasanya disebut

sebagai kaum "nasionalis religius".

Sekalipun mereka menolak ide-ide sekular, kaum nasionalis religius tidak

menolak sama sekali politik sekular, termasuk politik negara-bangsa (nation-state)

modern, sejauh negara-bangsa dipahami sebagai format modern kebangsaan di mana

otoritas negara secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan,

baik melalui jalan demokratis maupun totaliter. Negara-bangsa modern secara moral

dijustifikasi konsep nasionalisme. Kaum nasionalis religius begitu kuat menolak

nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual. Namun,

mengingat Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan

politik tidak bisa harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah

hubungan yang bersifat substantifistik. Artinya, kaum nasionalis religius tidak lagi

menuntut pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu. Namun, berdasar

pemahaman mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat

22 Baca Bunga Rampai Tokoh Islam Dan Nasionalis, Jakarta: DPP KNPI 2000, di dalamnya terdapat kumpulan artikel yang kesemuanya menolak bangkitnya kembali komunisme. Artikel-artikel tersebut ditulis oleh tokoh-tokoh nasional.

35

Page 36: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah

sistem sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum

nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan partisipasi.

Agama, baik secara teologis maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung

pendemokrasian politik, ekonomi, dan kebudayaan. Semua agama, lebih-lebih yang

berasal dari tradisi Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam), muncul dan berkembang

dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia.23

Pengaktualan dari nilai kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu

mengasumsikan terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak-

hak asasinya. Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi

niscaya bagi terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia. Dengan demikian,

meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama

memberikan etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya

kehidupan yang demokratis. Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa

hanya dilihat dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor politis-

sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif, maka akan

jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan upaya

pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari agama

bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih dengan

pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak asasi

manusia. Dengan demikian, agama selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner,

23 Wawancara dengan Ahmad Mubarok (wakil ketua DPP Partai Demokrat) Jakarta 19 Juni 2006

36

Page 37: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

transformatif, dan liberatif24. Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan

data pada kita bahwa agama merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah

kering untuk melahirkan gerakan anti kezaliman, anti tirani, anti penindasan, dan

sejenisnya. Pendeknya, meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun

organisasi keagamaan, agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya

pendemokrasian. Pada tataran ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan

muatan substansial dan spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang

amat menekankan pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum

tertindas dan teraniaya.

Upaya untuk menjadikan agama sebagai sumber moral politik dan kekuatan

pendemokrasian tidak boleh melenceng menjadi praktik penggunaan agama sebagai

sumber perpecahan, dan agama disalahgunakan untuk memperkuat kedudukan

penguasa, apalagi untuk menutupi kebenaran. Untuk itu, peningkatan religiusitas,

keimanan, dan ketakwaan sebagai esensi dari fenomena manusia religius harus lebih

menjadi being religious ketimbang sekadar having religion,25 Karena, religiusitas

bersifat inklusif sehingga siapa pun tidak perlu menyangsikan fungsi dan kebaikan

religiusitas dalam diri manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang

transenden yang akhirnya bermuara pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka

24 Semangat spiritual pernah menjadi penyemangat untuk melaksanakan revolusi, sebagaimana yang pernah terjadi di Negara Iran untuk menggulingkan rezim sebelumnya, revolusi ini dipimpin oleh Imam Besar Ayatullah khoemaini pada Bulan Februari 1979

25 Chusnan Maghribi, peminat masalah politik CIIS di Yogyakarta http.www://media.online Sabtu, 10 Januari 2004

37

Page 38: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

damai dan saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas

ilmiah maupun kepercayaan intuitif akan keberadaan diri manusia serta alam raya.

Dari paparan tadi, Partai Demokrat cukup lihai dalam mengemas ideologi. Hal

ini terbukti dengan banyaknya konstituen/simpatisan yang bergabung denga Partai

Demokrat. Ada yang membedakan ideologi Partai Demokrat dengan Partai yang lain.

Meskipun Partai GOLKAR dan PDIP sama-sama tidak mengabaikan semangat

keagamaan dalam akar bangsa indonesia, tetapi kedua Partai tersebut tidak secara

langsung menyebut dirinya sebagai Partai yang religius. Sebagaimana diketahui,

elemen yang memperkuat kedua Partai tersebut juga diisi oleh tokoh-tokoh yang

sangat kental dengan semangat keagamaan, seperti Akbar tanjung di tubuh Partai

GOLKAR adalah salah satu aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) demikian

juga dengan Gus Hasib di PDIP (Putera KH. Abdul Wahab Hasbullah) adalah tokoh

yang sangat kental dengan NU.

Selain alasan tersebut, ada juga yang membedakan pada waktu pencalonan SBY

(Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai presiden RI dengan calon-calon lainnya.

Sebagaimana diketahui sebelumnya seluruh bursa calon selalu mengedepankan

penggabungan elemen bangsa yakni kelompok nasionalis dan religius. Contohnya

adalah pasangan Megawati Soekarnoputri dan K.H Hasyim Muzadi, atau pasangan

Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo. termasuk juga pasangan Wiranto dan

Solahuddin Wahid, selalu menyebut diri sebagai Dwitunggal Nasional yang seolah-

olah ingin mewarisi sosok Dwitunggal Soekarno dan Muhammad Hatta. Dalam alam

pikiran mereka, Soekarno merupakan representasi nasionalis dan Bung Hatta adalah

38

Page 39: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

titisan dari kubu agamis. Poster-poster kampanye Megawati dan Hasyim terpampang

kata-kata “Menyatunya Dua Kekuatan Terbesar Bangsa” dengan disertai foto

Megawati dan Hasyim dalam edisi close up. Amien Rais secara eksplisit menyebut

pendampingnya, Siswono, sebagai the first class nasionalist dan menyebut duet

tersebut sebagai kombinasi menarik antara religius-nasionalis yang direpresentasikan

Amien dan nasionalis-religius yang diwakili Siswono. Publik seakan tak mau tahu

apa makna yang sebenarnya tersirat dan tersurat dari dua istilah tersebut. Perbedaan

SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan calon lainnya adalah, SBY (Susilo

Bambang Yudhoyono) mampu merepresentasikan nasionalis religius menjadi satu

dalam dirinya tanpa harus terbagi dalam dua sosok. Keberhasilan tersebut

mengisyaratkan bahwa sudah saatnya untuk tidak lagi mendikotomikan antara

nasionalis dan religius.

Realitas politik saat ini tampaknya tidak cukup punya tenaga untuk mengubur

skisma lama ihwal perkubuan atau faksionalisasi antara kaukus agama dan nasionalis.

Padahal sebenarnya labelisasi semacam ini telah ditempatkan pada konteks yang

tidak sepenuhnya tepat26. Orang kemudian akan mudah berasumsi bahwa kalangan

agamis tak tentu (bahkan tak mungkin) nasionalis. Demikian pula sebaliknya.

Sebagai simbol dari basis massa, mungkin kosa istilah ini cukup bisa dipahami.

Namun sebagai perlambang dari citra diri dan identitas secara personal, jelas hal itu

perlu dikoreksi. Karena ternyata tak sedikit kaum nasionalis yang cenderung lebih

memiliki kesadaran dan pengamalan agama yang benar ketimbang mereka yang

26 artikel M. Ali Hisyam. HTT///:WWW.tempointeraktif.com 01/04/2005

39

Page 40: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

mengklaim diri sebagai agamis. Demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam diktum-

diktum hampir setiap agama dikenal apa yang disebut cinta tanah air atau

nasionalisme (dalam khazanah Islam disebut al-wathaniyyah atau hubb al-wathan)

yang dianggap sebagai bagian penting dari iman seorang (agamis). Oleh karenanya,

perlu direnungkan kembali pemakaian istilah ini terkait dengan kognisi sosial

masyarakat kita. Lain dari itu, butuh pula difikirkan bagaimana efek sosial yang

mungkin timbul akibat pemilahan dikotomis tersebut di masa-masa yang bakal

menjelang. Agama, kemudian menjadi “komoditas” yang bisa seenaknya ditarik-tarik

dalam ranah kepentingan politik praktis. Terasa wajar bila ada sebagian yang risau

jika dikotomi serupa ini terus didentumkan secara tak terarah. Kekhawatiran senada

ini bermuara dari adanya keinginan supaya tidak ada lagi kesalahkaprahan dalam

pemaknaan istilah tersebut. Sehingga kesan bahwa agamis “versus” nasionalis adalah

dua entitas yang saling tikai dan sukar diakurkan, dapat perlahan dicairkan.

Bagaimanapun memaksa emblem agama untuk dibawa ke kancah politik, dalam

wacana demokrasi kebangsaan yang belajar tumbuh seperti di Indonesia, adalah hal

yang musykil

Dalam konteks ini, ajakan untuk tidak lagi mempersoalkan dikotomi agamis-

nasionalis terasa relevan diterapkan. Dengan demikian, kemajemukan hidup

beragama memungkinkan untuk teduh, terayomi dan tak ternoda “asap hitam” dunia

politik. Perlu kiranya diterapkan. Alquran menuntun umatnya untuk tidak

“berlebihan dalam beragama” (laa taghluw fii diinikum), sebab agama pada dasarnya

merupakan penjabaran dari seperangkat pola hidup yang terbuka, sederhana dan jauh

40

Page 41: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

dari rumit. Karenanya ia senantiasa menyodorkan dimensi kelapangan serta

kemudahan dengan turut mendamaikan penyekatan antara kubu agamis dan

nasionalis ini, setidaknya para elit politik (serta disokong para intelektual dan pemuka

agama) telah berusaha menjalankan fungsinya sebagai sentrum pembentukan

kesadaran (centers of rational thought) publik yang cerdas dan membebaskan.

B. Implementasi Nilai-nilai Religiusitas Partai Demokrat : sebuah proses

agenda jangka panjang.

Selama ini sebuah implementasi yang telah dipraktekkan oleh Partai Demokrat

lebih bersifat pada tataran kultural kegiatan keagamaan yang substansial, bukan pada

tataran syariah yang legal formalistik. Sebagai partai yang berasaskan Pancasila dan

berideologi nasionalis religius, Partai Demokrat lebih menekankan pada semangat

berbangsa yang bermoral dengan tidak melanggar ajaran agama. Sehingga secara

kasat mata simbol-simbol religiusitas menjadi tidak nampak. Tentunya hal ini sangat

berbeda dengan kelompok puritan (Islam Politik) yang ingin mengetrapkan nilai-nilai

ajaran agama secara formalistik. Sudah barang tentu kelompok ini akan menjalankan

ajaran agama secara menyeluruh ke dalam sebuah negara. Sebagai contoh adalah

kewajiban dalam berjilbab bagi kalangan Islam Politik, sebagai kelompok yang

berasaskan pada agama (Islam) pemakaian jilbab dalam Islam poltik adalah

merupakan sebuah kewajiban. Partai Demokrat dengan ideologi nasionalis

religiusnya memandang hal tersebut sebagai urusan individual, tanpa harus

41

Page 42: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

dilegalformalkan. Kegiatan yang bersifat kolektif yang telah dilakukan oleh

konstituen partai demokrat sebagai contohnya adalah pelaksaan pengajian rutin yang

dilakukan setiap minggu bagi kader muslim. Selain hal itu, kegiatan spiritual

keagamaan yang dilakukan adalah berupa perayaan hari-hari besar keagamaan. Partai

Demokrat beserta kadernya memfasilitasi adanya peringatan tersebut.

Dalam ilmu negara, ketika agama tidak diatur secara legal formal oleh negara,

maka urusan agama dengan sendirinya menjadi tanggung jawab individu

pemeluknya27. Partai Demokrat memandang Indonesia adalah Negara yang majemuk,

tetapi di sisi lain harus diakui indonesia adalah negara yang mempunyai akar budaya

spiritual yang kuat, sehingga tidak dimungkinkan Negara indonesia memarjinalkan

urusan agama. Maka jika ditarik pada garis agama, maka Partai Demokrat bukanlah

sebuah partai yang berdasarkan pada satu agama tertentu, melainkan semangat-

semangat keagamaan senantiasa melapisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai contoh adalah RUU anti kemaksiatan, secara tegas Partai Demokrat

mendukung adanya RUU tersebut, tetapi dukungan tersebut bukan dilandaskan pada

satu agama, melainkan partai Demokrat memandang bahwa segala kemaksiatan itu

bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan manusia. Pada tataran ini, agama tidak

berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan spirit serta arah

demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan pada prinsip

keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya.

27 Magnis Suseno, Etika Politik; hal 356

42

Page 43: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

sebagai sebuah partai yang belum lama berdiri, tentunya harus masih melewati

banyak tantangan ke depan. Sebagai sebuah partai yang ingin mengimplementasikan

apa yang terkandung dalam ideologi

43

Page 44: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

BAB V

Saran dan Kesimpulan

Ideologi sebuah partai dalam pentas perpolitikan nasional tentunya tidak bisa

menggambarkan kondisi realita sosial sebuah bangsa, dalam hal ini Partai Demokrat

dengan ideologi nasionalis religiusnya masih akan menjalani perjalanan panjang

untuk realisasi ke depannya. Sebuah ideologi yang didasarkan pada kompromistis dua

buah ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius, tentunya akan menjadi

bias pemaknaannya ketika kehadiran ideologi tersebut berhadapan pada kelompok

masyarakat yang bersifat puritan (Islam politik), kelompok ini secara jelas memaknai

bahwa apapun bentuk sebuah ideologi yang mengandung unsur dari luar agama

(Islam) adalah sekuler. Jadi unsur religiusitas sebuah ideologi meski jelas induknya.

Karena kalau hanya memakai kata religius yang menempel pada kata nasionalis,

maknanya masih belum kuat dan jelas. Sehingga pemahaman yang muncul adalah

Partai Demokrat adalah sebuah partai yang murni nasionalis.

Keberadaan partai Demokrat dalam mengusung religiusitas dalam berbangsa

masih dalam tahap proses, sedangkan untuk realita praktisnya masih bergeliat dalam

wacana. Apa yang diperjuangkan sebagai nilai religiusitas semuanya hanya sebagai

substansi. Karena kalau yang dititik beratkan adalah substansi, maka makna

religiusitas lebih terfokus pada pengamalan nilai-nilai agama secara individual. Hal

ini bisa dimaklumi karena pemaknaan religius tidak berafiliasi pada suatu agama

44

Page 45: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

tertentu, melainkan pemaknaan religiusitas berpijak pada fungsi agama yang

universal, yakni, berbuat baik dan menentang segala perbuatan keji.

Di luar permasalahan Ideologi yang menjadi tarik menarik dalam bernegara,

ternyata apa yang dinamakan ideologi tersebut dalam prakteknya masih belum

maksimal, mengingat belum nampak kebijakan-kebijakan yang muncul berdasarkan

ideologi. Selama ini segala kebijakan yang muncul lebih berdasar pada kepentingan

dan bargain tertentu. Sedangkan ideologi sebagai sebuah garis perjuangan yang

harusnya diletakkan pada posisi dasar menjadi terabaikan. Hal ini bisa diketahui

karena keberadaan partai di indonesia belum ada yang mencapai pada tahap single

majority pasca orde baru.

Kategori nasionalis-religius apakah sebagai fakta budaya atau politik, haruslah

dimaknai sebagai kombinasi ideal untuk membangkitkan Indonesia dari keterpurukan

di berbagai bidang. Artinya, seoarang yang nasionalis haruslah pula berkarakter

agamis dalam pengertian formal dan etis, dan untuk dalam diri Partai Demokrat,

sebenarnya karakter ini sudah dimiliki dan diperankan oleh kader Partai Demokrat,

yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, seseorang atau partai yang religius,

dengan sendirinya harus memiliki nasionalisme yang kuat. Sebab, dalam agama pun

dikatakan bahwa membela tanah air merupakan bagian dari keimanan. Semangat

nasionalistis dengan wawasan keagamaan ini sejatinya dapat bersinergi untuk

membangun kekuatan secara gotong royong.

45

Page 46: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Apa pun latar belakang ideologi sebuah partai, mempertimbangkan

kepentingan bersama yang lebih fundamental seperti memberantas KKN dan agenda

law enforcement adalah isu yang lebih nyata dan substantif di mata rakyat. Di atas

segalanya, aktor politik yang beratribut idiologi nasionalis, agama, sosialis, bahkan

sekuler sekalipun, atas nama demokrasi, haruslah tetap menjaga etika tutur kata,

pergaulan politik, dan lebih penting dalam berperilaku. Bukankah Soekarno yang

nasionalis dan M Natsir yang religius, meskipun berdebat sangat sengit soal ideologi

negara, keduanya adalah sahabat sejati dan berjiwa negarawan.

46

Page 47: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Islam dan Politik di Indonesia; Sebuah Tinjauan dari

Pengalaman Histories. Jakarta: proyek studi politik dalam negeri. Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan

Jalan Baru, Jakarta INIS 1994 Bell, Daniel, Matinya Ideolog; Penerjemah Nuswantoro, Magelang; Indonesia

Tera 1999 Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia 1999 Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia,Jakarta: Paramadina 1998 Fatah, Eep Saifullah. Zaman Kesempatan; Agenda-Agenda Besar Demokratisasi

Pasca Orde Baru, Bandung: Mizan 2000 Geertz, Clifford, Religion of Java Chicago and London: Universityof Chicago

press 1976. Haramain, A Malik, Mengawal Transisi; Refleksi Atas Pemantauan Pemilu 1999,

Jakarta: Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia 2000 Harjanto, Nicholas, Memajukan Demokrasi Mencegah Disintegrasi, Yogyakarta:

Tiara wacana 1998 Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES 1999 Iskandar, Muhaimin, Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa: Orasi Harlah Garda

Bangsa Jakarta: DPP Garda Bangsa 2006 Kusnardi, Moh, Sh, Ilmu Negara; Edisi Revisi:Jakarta: Gaya Media Pratama 1998 Karim, M Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya 1999 Maarif, Syafi’i, Islam dan Politik di Indonesia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Press 1998

47

Page 48: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Magnis Suseno, Franz, Etika Politik; Prinsip Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama ,1999

Mas'oed, Mohtar, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

1999 Mubarok, Ahmad,Dr, Nasionalis Religius Jati Diri Bangsa Indonesia, Jakarta:

Bina Rena Pariwara, 2004 Mulia, Musdah, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta:

Paramadina 2001 Rahman, Abdul; Ideologi, Idealisme, dan Pluralisme Bangsa, ; Jakarta: ISIS

nomor VI/Agustus 2002 Rasyidi, H.M. Koreksi Terhadap Drs. Nur Cholis Madjid Tentang Sekularisasi.

Jakarta : Bulan Bintang 1972 Soehino,SH. Ilmu Negara, Yogyakarta; Liberty, 1998 Saydan, Ghozali, Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia, Jakarta ; Raja

Grafindo Persada 1999 Sjadzali, Munawwir, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran,

Jakarta :UI Press 1993 Sumargono, Ahmad, Menolak Bangkitnya Kembali Komunisme, Jakarta : DPP

KNPI 2000 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 Syamsuddin, Din. Islam dan Poltik Era Orde Baru. Jakarta : Logos wacana ilmu

2001 Syamsuddin, Nazaruddin, Profil Budaya Poltik Indonesia, Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti 1997 Wahid, Abdurrahman, Membangun Demokrasi. Bandung: Rosda karya 1999 --------------------------, Mencari pemimpin Umat Bandung: Mizan 1999 Yusanto, Ismail, Islam Ideologi; Refleksi Cendekiawan Muda, Bangil: Al-Izzah

1998

48

Page 49: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Wawancara dengan DPP Partai Demokrat Max Sopacua : ketua Pendidikan, Pemuda dan KOMINFO (15 juni

2006) Ahmad Mubarok : Wakil Ketua DPP Partai Demokrat (22 November

2005 & 19 Juni 2006) Habib Agus Abu Bakar : Ketua KESRA (Sosial, Agama dan Kepercayaan) (28 juni 2006) Website ; http///www.demokrat.or.id http///www.kompas.com Http///:google.com http///www. Tempointeraktif.com http///www.media.on.line http///www.tokohindonesia.com

49

Page 50: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………………1

B. Tujuan Penelitian ……………………………………….……..…4

C. Pembatasan Masalah ……………………………………….…….5

D. Perumusan Masalah …………………………………………..… 6

E. Metodologi Penelitian ……………………………………………6

F. Sistematika Penulisan ……………………………………………7

BAB II PENGERTIAN DASAR IDEOLOGI NASIONALIS RELIGIUS

A. Pengertian dasar tentang Ideologi. ……………………………....10

B. Pengertian umum tentang ideologi nasionalis religius…………..13

C. Partai Demokrat sebagai pengusung ideologi nasionalis

religius……………………………………………….……….….16

BAB III PRINSIP-PRINSIP DASAR NASIONALIS RELIGIUS

PERSPEKTIF PARTAI DEMOKRAT

A. Visi kemanusiaan dan kebangsaan………………………….…...22

B. Visi keberagaman……………………………………………..…24

50

Page 51: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

C. Visi kebudayaan……………………………………….…………25

D. Visi kemasyarakatan…………………………………….……….27

E. Visi etika sosial politik…………………………………………..27

F. Visi etika sosial ekonomi…………………………………….......31

BAB IV IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUSITAS DALAM

BERPOLITIK DI TENGAH PLURALISME BANGSA

C. Nasionalis religius sebagai jalan tengah perdebatan ideologi

di Indonesia : Strategi politik Partai Demokrat ?............................33

D. Implementasi Nilai-nilai religiusitas Partai Demokrat :

Sebuah proses agenda jangka panjang ………….…………....….41

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………….…44

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..…….47

51

Page 52: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

KATA PENGANTAR

BismillahirrahmAanirrahiim

Syukur penulis panjatkan ke hadirat-Nya, Allah azza wa jalla, dzat yang

menjadi tumpuan harapan akan kekuatan iman dan islam bagi penulis dhoif untuk

dapat menyelesaikan kreasi intelektual ini.

Kepada manusia paling mulia Nabi Muhammad Saw, penulis banyak

memetik suri tauladan ahlakul karimah yang senantiasa beliau ajarkan demi

menegakkan cita-cita kemanusiaan yang berbudi luhur beriman, serta bertaqwa.

Sejumlah nama nama penting perlu kiranya penulis sebutkan untuk

menghaturkan rasa terima kasih setinggi-tingginya seiring terselesaikannya penulisan

skripsi ini. Kepada ketua jurusan program studi pemikiran politik islam, Drs

Syamsuri M.ag. beserta sekertaris jurusan terkait, Dra. Wiwi Syajaroh.M.ag.

khusunya kepada Prof. DR. Ahmad Mubarok M.A. yang berkenan menjadi

pembimbing skripsi sekaligus banyak membantu dalam teknis lapangan. Kepada

pihak rektorat: Prof.DR. Azyumardi Azra beserta staf jajarannya: Pihak Dekanat

Fakultas Ushuluddin: Dr Amsal bahtiarMA. Beserta jajaran staf.

Utamanya kepada orang tua penulis. Berkat perhatian yang tulus dan doanya

penulis mendapatkan kesadaran yang bernilai tentang arti hidup. Tanggung jawab dan

Kekuatan untuk terus bisa menjalankan aktifitas hingga dapat menyelesaikan tugas

akhir kuliah. Tidak lupa pula kepada kakak tercinta Arif Hidayatullah dan A. Prayitno

yang telah banyak membantu penulis selama menjalani kuliah di Ciputat.

52

Page 53: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

Secara khusus penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih Untuk dua

orang sahabatku yang telah membangkitkan semangat untuk melanjutkan pendidikan

ke bangku kuliah yakni saudara Abdul Malik dan Mustajib, semoga allah

memberikan rahmat serta kesuksesan di masa mendatang.

Untuk seluruh sahabat sahabat yang telah memberikan support dan

motivasinya Kepada penulis, yakni teman-teman PPI angkatan 99: Acom, Rafi, M.

Yusuf, Ulfi Aki, hadi ambon, Nise, Iqoh, Riki, Iis dan segenap teman teman

kelompok KKN di kelurahan pesanggrahan Cisoka 2002 yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu. Rasa terima kasih juga penulis ingin sampaikan kepada

komunitas pergerakan forum diskusi dan organisasi primordial yang ada di Ciputat ;

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Ciputat Kesatuan Aksi Mahasiswa

Jakarta, dan Silaturrahmi Mahasiswa Jepara di Jakarta .

Kepada sahabat di LamYuzard dan Koridor yang telah banyak mewarnai hari-

hari penulis dengn banyak warna warni kehidupan: Indjoenk, Elis, Fitri, Sayyid al

Mubarok, Windu, Cepot, Nawal, Implunk, Heru, .F 4 Syariah, Abdullah Kamil,.

sahabat sahabat Pedal Cihideung dan Litanie. Dan kepada warga yang telah banyak

membantu penulis

Jazakumullahu khairan katsira. Semoga kebaikan dibalas oleh allah Swt.

Amin.

Wallahu al-muwaffiq ila aqwami ath thariq

Ciputat, Juni 2007

Penulis

53

Page 54: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI

”Menyoal Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat

Oleh

Mustafid

NIM: 9933216591

Fakultas Ushuluddin & Filsafat

Jurusan Pemikiran Politik Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2007

54

Page 55: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5460/1/MUSTAFID... · parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling

55

NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI ”Menyoal Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat

Skripsi

Diajukan kepada fakultas ushuluddin untuk memenuhi syarat syarat mencapai

gelar sarjana program strata 1 (S.Sos)

Oleh

M U S T A F I D NIM: 9933216591

Pembimbing

Prof. DR. Ahmad Mubarok M.A. NIP: 1 500 50 741

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Jurusan Pemikiran Politik Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2007