bab i pendahuluan a. latar belakang...

54
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan di masyarakat adalah bertutur kata atau berbicara. Kegiatan bertutur kata atau berbicara mempunyai kedudukan dan fungsi yang penting dalam aktivitas manusia berbangsa, bermasyarakat, dan berperadaban, 1 serta menyebar luaskan Islam. Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat seluruh alam, Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, apabila ajaran Islam yang mencakup segenap aspek kehidupan itu dijadikan sebagai pedoman hidup serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh umat manusia. Usaha untuk menyebar luaskan Islam dan realisasi ajarannya adalah dakwah. Sebagaimana Firman Allah SWT. Artinya:“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An-Nahl: 125). 2 1 Wahidin Saputra, Buku ajar Retorika Dakwah Lisan [Teknik Khithabah], (Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2006), h.1. 2 Muhammad Rifa’i, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Wicakscana. 1991), cet. Ke-1 hal. 254

Upload: vothuy

Post on 09-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan

di masyarakat adalah bertutur kata atau berbicara. Kegiatan bertutur kata atau

berbicara mempunyai kedudukan dan fungsi yang penting dalam aktivitas manusia

berbangsa, bermasyarakat, dan berperadaban,1 serta menyebar luaskan Islam.

Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk

menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat

seluruh alam, Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan

umat manusia, apabila ajaran Islam yang mencakup segenap aspek kehidupan itu

dijadikan sebagai pedoman hidup serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh

umat manusia. Usaha untuk menyebar luaskan Islam dan realisasi ajarannya adalah

dakwah. Sebagaimana Firman Allah SWT.

������ ���� ������ ������

���☺���������� ��� �"#�☺�$���%

���&'(������ ) *,�$�-.�/�%

0123$���� 4��5 6'(78%9 � :;��

��<��� �#=5 >*?7%9 6�☺�� :�'@

6� A�9������� ) �#=5�% >*?7%9

�BC�-�D7,☺�$���� E@F�

Artinya:“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari

jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk. (Q.S. An-Nahl: 125).2

1 Wahidin Saputra, Buku ajar Retorika Dakwah Lisan [Teknik Khithabah], (Fakultas Dakwah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2006), h.1. 2 Muhammad Rifa’i, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Wicakscana. 1991), cet. Ke-1

hal. 254

Bila dilihat dari kehidupan psikologi masing-masing golongan masyarakat

yang berbeda, maka sistem dan pendekatan yang digunakan dalam penyampaian

dakwah dan penerangan berbeda pula antara satu dengan yang lainnya. Sistem

pendekatan dan penerangan yang didasari dengan prinsip-prinsip psikologi yang

berbeda, merupakan suatu keharusan dan bilamana kita menghendaki efektivitas dan

efesiensi, dalam program kegiatan dakwah dan Penerangan agama dikalangan

masyarakat.

Banyak sekali cara penyampaian dakwah yang digunakan para da’i untuk

mengajak umat manusia, khususnya muslimin dan muslimat menuju jalan ridho Allah

SWT. Salah satu yang khas dalam dakwah adalah ceramah di atas mimbar dan

panggung-panggung, yang mana para orang awam memahami dakwah hanya sebatas

ini. Padahal masih banyak cara dakwah yang dapat dilakukan, yang diantaranya

melalui perbuatan, atau tingkah laku akhlak yang baik dengan pendekatan psikologis

dan masih banyak berbagai macam cara lainnya, karena sebagai umat Islam muslim

dan muslimat diwajibkan untuk berdakwah.

Dalam pelaksanaan dakwah peran da’i sangat menentukan dalam hasil dakwah

tersebut, maka dari itu diperlukan teknik yang baik dan dapat diterima oleh

masyarakat sebagai penerima pesan dakwah Islam. Kegagalan pesan dakwah sering

kali terjadi disebabkan oleh ketidak mengertian, dan kurang telitinya para da’i dalam

memilih strategi untuk menyampaikan pesan-pesan dakwahnya.

Banyak sekali orang yang pandai berbicara sehigga pidatonya panjang lebar,

akan tetapi tidak memperoleh apa-apa dari padanya selain kelelahan dan kebosanan,

hal ini disebabkan pembicara banyak mempunyai bahan materi tetapi tidak mampu

mengorganisasikannya. Bila pengetahuan orang itu tidak teratur, maka makin banyak

pengetahuan yang dimilikinya, semakin besar pula kekacauan pikirannya. Oleh karena

itu, bila seseorang mau menjadi ahli pidato, maka perlu memperhatikan dan

memahami tahap penyusunan pidato.3

Dalam dunia komunikasi cara berbicara (seni berbicara) disebut retorika yaitu

ilmu yang mengajarkan cara berbicara yang baik, dengan menggunakan berbagai

macam disiplin ilmu pendukung. Sering kali retorika disamakan dengan public

speaking, yaitu suatu bentuk komunikasi lisan yang disampaikan kepada kelompok

orang banyak tetapi sebenarnya retorika itu tidak hanya sekedar berbicara di hadapan

umum, melainkan ia merupakan sebuah gabungan antara seni bicara dan pengetahuan

atau suatu masalah tertentu untuk meyakinkan pihak orang banyak melalui

pendekatan persuasif. Dikatakan seni karena retorika menuntut keterampilan dalam

penguasaan atas bahasa dan dikatakan pengetahuan disebabkan adanya materi atau

masalah tertentu yang harus disampaikan kepada pihak orang lain.4

Dakwah akan diterima dengan baik apabila para da’i mengetahui secara tepat

kepada siapa dakwah itu di tujukan, dikarenakan setiap manusia itu tidak sama, baik

dari segi usia, tingkat kecerdasan, status sosialnya dalam masyarakat dan dalam hal

lainnya. Yang kesemuanya itu menuntut agar penyeru dakwah arif dan bijaksana akan

siapa dan bagaimana ia harus menghadapinya.5

Sebagai juru dakwah, pembawa risalah agama Islam bagi seluruh manusia.

Jika kehidupan para Rasul merupakan standard (uswatun hasanah) bagi ummatnya

untuk meniru Nabinya, disamping mengetahui cara-cara mereka berdakwah. Juga

karena semangat dakwah sangat menentukan dalam sejarah Islam.

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah seorang muballigh yang semangat dalam

mensyiarkan agama Islam, cukup dikenal dan terbilang sukses dalam menyampaikan

dakwahnya dapat mempengaruhi pendengarnya. Setiap beliau berdakwah selalu

3 Wahidin Saputra, Buku ajar Retorika Dakwah Lisan [Teknik Khithabah], hal. 1.

4 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet, ke-2 hal. 136

5 M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), cet ke-1 hal. 2

berusaha supaya jama’ahnya atau mad’unya mudah menangkap atas segala apa yang

beliau sampaikan maksud dan tujuannya. Dengan sistem penyampaian yang bagus,

beliau mampu merekrut begitu banyak mad’u atau jama’ah dari berbagai macam

kalangan dan status sosial masyarakat. Terbukti setiap jadwal pengajian yang

diadakannya banyak para jama’ah yang datang dari berbagai pelosok wilayah.

Menuju majelis Ta’lim Darul Hikmah yang beliau pimpin, yang terletak di Jalan

Srengseng, Kembangan Jakarta Barat.

Berdasarkan pemaparan di atas, retorika begitu sangat penting bagi para da’i

dan da’iah dalam proses pelaksanaan penyampaian dakwahnya agar apa yang menjadi

tujuan dakwahnya dapat tercapai.

Maka dari itu penulis mengangkat judul skripsi ini dengan judul “Retorika

Dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan penulisan sripsi ini, maka masalah yang akan

dibahas dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada Retorika Dakwah KH. Ahmad

Syafi’i Mustawa ketika beliau menyampaikan ceramah di Majelis Ta’lim Daarul

Hikmah Srengseng, Jakarta Barat.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan permbatasan masalah di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apa Konsep Retorika Menurut KH. Ahmad Syafi’i Mustawa?

b. Bagaimana Penerapan Retorika Oleh KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

Dalam Berdakwah?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran suatu Pandangan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

Tentang Retorika dalam Berdakwah dan Bagaimana Penerapan Retorika dakwah KH.

Ahmad Syafi’i Mustawa, sehingga dapat mampu dalam mengemban misi agama

Islam.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Memberikan kontrubusi bagi pengembangan penelitian melalui

pendekatan Ilmu Komunikasi. Sebagai alat Bantu utama pada Jurusan

Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan akan menjadi sebuah panduan

tambahan bagi para juru dakwah untuk dapat menyampaikan dakwanya dengan

cara yang efektif dan se-efesien mungkin. Dalam menyingkapi perkembangan

dakwah di Indonesia, khususnya berkenaan dengan retorika dakwah KH. Ahmad

Syafi’i Mustawa dalam dakwahnya terhadap perkembangan dakwah Islami di

Indonesia ini.

E. Metodologi penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Riset Lapangan (field

reseach), yaitu mencari dan mengumpulkan informasi tentang masalah-masalah

yang dibahas dari lapangan (tempat melakukan penelitian tersebut).

2. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan representatif dalam penelitian

ini, maka penulis menggunakan pendekatan kualitatif Yang bersifat Deskriftif

Analisis. Dimana ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan

secara sistematis, factual dan akurat megenai factor-faktor, sifat, serta hubungan

fenomena yang diteliti.

Adapun secara deskriftif adalah bahwa data yang dikumpulkan berupa

kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya

penerapan metode kualitatif.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Observasi adalah pengambilan data yang didapatkan melalui

pengamatan, pencatatan dengan sistematik dan fenomena-fenomena yang

diselidiki langsung kepada objeknnya. Dalam hal ini penulis mengamati

selama tiga bulan setiap malam sabtu tentang Penerapan RetorikaDakwah

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa ketika beliau menyampaikan ceramah di

Majelis Ta’lim Daarul Hikmah, Srengseng, Jakarta Barat.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan tanya jawab, dengan menggunakan alat panduan

wawancara.6 wawancara yang penulis lakukan dalam hal ini secara langsung

6 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Gaila Indonesia, 1988), cet. Ke-3 hal. 234.

dengan bapak. KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dan Ketua Majelis yang berada

di lokasi majelis ta’lim tersebut selama lima kali pertemuan, guna

mendapatkan informasi tentang konsep retorika KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

dalam ceramahnya.

c. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu pengambilan data yang diperoleh melalui

dokumen- dokumen. Pengumpulan data ini diperoleh dari dokumen-

dokumen yang berupa catatan-catatan formal, adapun studi dokumentasi

berproses dan berawal dari penghimpunan dokumen sesuai dengan tujuan

penelitian, menerangkan dan mencatatat serta menafsirkannya dan

menghubung- hubungkannya sesuai dengan fenomena yang lain.7

F. Tinjauan Pustaka

Untuk menentukan judul skripsi ini, penulis melakukan tinjauan pustaka

(Library reserch) di Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (PFDK) dan di

Perpustakaan Umum (PU) dan buku-buku yang berkaitan dengan judul untuk

menambah kelengkapan dalam skripsi ini.

Skripsi ini memang banyak kemiripan judul dengan skripsi yang ada

sebelumnya, yang telah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi

(FDK), yang sama-sama meneliti tentang Retorika Dakwah, seperti:

1. “Penerapan Retorika Dakwah Ustadz Yusuf Mansur” Oleh Sulnah Safitri.

Nim: 103051028556. Tahun 2007.

7 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), cet. Ke-1,

hal.77.

2. “Retorika Dakwah Ustadzah Hj. Dedeh Rosyidah (Mamah Dedeh)” Oleh

Wanti Sumanti. Nim: 103051028603. Tahun 2007.

Dalam penelitian sebelumnya, seluruhnya mengatakan bahwa didalam

penerapan retorika dakwah pesan yang disampaikan mengandung tiga kategori pesan

dakwah, yaitu mengandung kategori pesan dakwah Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.

Walaupun mengandung tiga kategori pesan dakwah tersebut, tetapi cara penyampaian

dari para muballigh dalam retorika gaya bicara ceramah mereka itu berbeda-beda.

Namun dari sekian banyak skripsi yang ada di Fakultas Dakwah dan

Komunikasi (FDK), peneliti belum menemukan skripsi mahasiswa yang meneliti

retorika dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa. Perbedaannya Ustadz Yusuf Mansur

dan Ustadzah Hj. Dedeh Rosyidah (Mamah Dedeh) adalah seorang muballigh yang

berada di televisi yang mendapatkan pendidikan tentang retorika, sehingga wajar

banyak para jama’ah yang menghadirinya dikarenakan pengetahuan dan ketenaranya.

Sedangkan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah seorang muballigh biasa yang

tidak berada dimedia massa, yang tidak mempelajari ilmu retorika tetapi dalam

penerapannya beliau sesuai dengan kajian ilmu retorika. Dalam susunan ceramah

yang beliau sampaikan tidak berbelit-belit cukup diawali dengan salam, hamdalah dan

shalawat dan akhiri pula dengan shalawat, hamdalah dan salam.Pesan yang dikemas

dan disampaikan sedemikian rupa secara simpel sehingga mudah untuk diterima dan

dimengerti. Bahasa yang beliau gunakan betawi dan dicampur dengan bahasa arab

dimanapun dan kapanpun beliau berdakwah. Pesan yang disampaikan diiringi dengan

gerakan anggota tubuh. Setelah selesai ceramah beliau tak lupa selalu menyuruh para

mad’u untuk menuntut ilmu di pengajian-pengajian atau majelis ta’lim. Selalu

menggunakan pakaian yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW memakai baju gamis

dan dilapisi juba serta bersorban. Hal inilah yang menjadi kelebihan KH. Ahmad

Syafi’i Mustawa sebagai seorang muballigh sehingga banyak para jama’ah yang

berdantangan menghadiri, karena senang dengan gaya bahasa retorika penyampaian

ceramah beliau.

Untuk lebih beragamnya imformasi, penulis mencantumkan juga perjuangan

beliau KH. Ahmad Syafi’i Mustawa. Untuk mendalami tentang dakwah ataupun

sejarah beliau dalam menekuni dakwah melalui dari semenjak beliau masih berada di

pesantren As-Saqafah Al-Habib Umar As-Segaf beliau sudah mulai berdakwah

sampai sekarang di majelis ta’lim Daarul Hikmah, majelis beliau sendiri banyak

berdatangan jama’ah dari berbagai macam golongan, ini dapat dikatakan sebuah

kesuksesan yang diantaranya dalam retorika.

Dalam hal ini alat yang digunakan dalam retorika sangat bagus untuk itu

sebagai pustaka primer atau sumber utama penulis ingin mengetahui langsung kepada

beliau yaitu dengan cara mewawancarai kepada beliau KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

dan sumber informasi lainnya tentang beliau. Ini merupakan langkah awal penulis

prioritaskan dalam penelitian ini.

Menarik perhatian bagi penulis untuk mengangkatnya menjadi suatu karya

ilmiah, selain itu penulis menganggap semua ini sesuai dengan latar belakang objek

yang diteliti maupun peneliti yakni sebagai peminat dakwah. Itulah yang kemudian

menginspirasikan penulis dan menarik perhatian untuk mengangkat penelitian dengan

judul “Retorika Dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa”, sesuai latar belakang penulis

sebagai mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan Penelitian ini, peneliian laporan hasil hasil

penelitian dibagi kedalam lima bab, yang terdiri dari sub-sub. Adapun sistematika

penulisannya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metodologi penelitaian, Tinjauan Pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori, tentang Retorika dan Ruang Lingkupnya, Definisi

Retorika, Tujuan Retorika, Fungsi Retorika, Dakwah dan Ruang

Lingkupnya, Pengertian Dakwah, Ruang Lingkup Dakwah, Da’i,

Materi Dakwah, Metode Dakwah, Media Dakwah, Objek Dakwah

dan Tujuan Dakwah.

BAB III Gambaran umum tentang Profil KH. Ahmad Syafi’i Mustawa,

Riwayat Hidup KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, Pendidikan KH.

Ahmad Syafi’i Mustawa dan Sejarah Berdirinya Majelis Ta’lim

Daarul Hikmah.

BAB IV Gambaran umum tentang Konsep KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dan

Penerapan Retorika Oleh KH. Ahmad Syafi’i Mustawa Dalam

Berdakwah.

BAB V Penutup, merupakan kesimpulan dan saran-saran, serta dilengkapi

daftar pustaka, dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG RETORIKA DAN DAKWAH

A. Ruang Lingkup Retorika

1. Pengertian Retorika

Retorika dalam artian sempit, yaitu “rede kunst” (seni berpidato) atau

kemahiran berbicara dan retorika dalam artian luas, yaitu seni menggunakan bahasa

dengan cara mana untuk menghasilkan kesan yang diinginkan terhadap pendengar dan

pembaca.8

Ditinjau dari segi bahasa, perkataan retorika berasal dari bahasa yunani, yaitu

“Rhetor” yang mengandung arti seorang juru pidato yang mempunyai sinonim

Orator”,9 dalam bahasa inggris “Rhetoric” bersumber dari perkataan “Rhetorica yang

berarti ilmu bicara”10

dan dalam bahasa arab disebut “Fannul Khithaabah”.11

Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa (Linguistik), khususnya ilmu bina

bicara (Sprecherziehung). Retorika sebagai bagian dari ilmu bina bicara ini

mencakup:

a. Dialogika

8 T. A Lathief Rousydy, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, (Medan: PT.

Firma Rimbow, 1989), h. 37. 9 MH. Isror, Retorika dan Dakwah Islam Era Modern, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993), h. 10

10 Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2002), h. 53. 11

T. A Lathief Rosydy, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, h. 40.

Dialogika adalah ilmu tentang senia berbicara secara dialog, dimana dua

orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan.

Bentuk dialogoka yang penting adalah diskusi, tanya jawab, perundingan, percakapan

dan debat.

b. Pembinaan teknik bicara

Efektivitas monologika dan dialogika tergantung juga pada teknik bicara.

Teknik bicara merupakan syarat bagi retorika. Oleh karena itu pembinaan teknik

bicara merupakan bagian yang penting dalam retorika. Dalam bagian ini perhatian

lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik

membaca dan bercerita.12

Adapun menurut istilah ada beberapa pendapat yaitu:

1. Gusti Ngurah Oka, mengatakan bahwa retorika adalah ilmu yang

menganjurkan tindakan dan usaha efektif dalam persuasi penataan dan

penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta

kedamaian dalam kehidupan masyarakat.13

2. Syekh Datuk Tombak Alam, mengatakan bahwa retorika adalah seni

mempergunakan bahasa untuk menghasilkan kesan yang diinginkan

terhadap pendengar dan pembaca.14

3. Wahidin Saputra, mengatakan bahwa retorika adalah ilmu yang mempelajari

tentang bagaimana bertutur kata dihadapan orang lain dengan sistematis,

logis, untuk memberikan pemahaman dan meyakinkan orang lain.15

12

P. Rudi Wuwur Hendrikus, Retorika, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993), h. 16-17 13

I Gusti Ngurah Oka, Retorika Sebuah Tinjauan Pengantar, (Bandung: Tarate, 1976), h. 44 14

Syeh Datuk Tombak Alam, Kunci Sukses Penerangandan Dakwah, (Jakarta: Rineka Cipta,

1990), h. 36. 15

Wahidin Saputra, Retorika Dakwah Lisan, (Teknik Khithabah), (Buku Ajar Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Dakwah Pres 2006), h. 2.

4. Jalaludin Rakhmat, mengatakan dalam bukunya Retorika Modern, bahwa

retorika adalah pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan

cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk komunikasi dalam medan

pikiran.16

Dan bahwasannya pidato adalah peristiwa khas. Semua orang

dapat menyampaikan pidato dengan baik jika mereka mengetahui dan dapat

mempraktekkan tiga prinsip pidato atau yang biasa disebut Trisila Pidato,

yaitu :

a. Pelihara kontak visual dan kontak mental dengan khalayak

(kontak)

b. Gunakan lambang-lambang audiktif atau usahakan agar suara

anda memberikan makna yang lebih baik kaya pada bahasa anda

(olah vocal)

c. Berbicaralah dengan seluruh kepribadian anda: dengan wajah,

tangan dan rubuh anda (olah visual).17

Menurut Aristoteles, mengatakan retorika adalah “the art of persuasion”

adalah ilmu kepandaian berpidato atau teknik atau seni berbicara di depan umum,18

lalu dia mengatakan bahwa ada tiga cara untuk mempengaruhi manusia.

“Pertama (ethos), harus sanggp menunjukkan kepada khalayak bahwa anda

memilki pengetahuan yang luas. Kepribadian yang terpercaya, dan status yang

terhormat. Kedua (pathos), harus menyentuh hati khalayak: perasaan, emosi, harapan,

kebencian dan kasih sayang mereka. Ketiga (logos), meyakinkan khalayak dengan

16

Jalaludin Rahmat, Rhetorika Modern Pendekatan Praktis (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1998), h. v. 17

Ibid, h. 78 18

A.H. Hasanuddin, Rhetorika Dakwah dan Publisistik dalam Kepemimpinan, (Surabaya: PT.

Usaha Nasional, 1982), h. 11-12

mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti, di sini mendekati khalayak lewat

otaknya.”19

Dari itu kita dapat memperoleh lima tahap penyusunan pidato yang dikenal

dengan (The Five Konnons Rehoric) yang sering diterjemahkan dengan “Lima hukum

retorika”, yaitu :

1. Menemukan bahan (Inventio), pada tahap ini da’i atau muballigh menggali

topik dan meneliti khalayak yang akan hadir mendengarkan ceramah kita,

kemudian menentukan metode yang tepat.

2. Penyusunan bahan/materi yang akan disampaikan (Dispositio), dalam

tahap ini da’i atau muballigh menyusun materi dakwah yang akan

disampaikan, misalnya: Pendahuluan, Pembahasan dan Penutup.

3. Memilih bahasa yang indah (Elocutio), pada tahap ini da’i atau muballigh

memilih kata-kata yang tepat, kalimat yang jelas dan bahasa yang indah

sesuai dengan kemampuan khalayak pendengar.

4. Mengingat materi yang akan disampaikan (Memoria), pada tahap ini da’i

atau muballigh harus mengingat-ingat dalam pikiran materi yang akan

disampaikan kepada khalayak pendengar sesuai dengan susunan yang telah

dibuat sebelumnya.

5. Menyampaikan dakwah lisan (Pronuntiatio), pada tahap ini da’i atau

muballigh menyampaikan materi perhatikan suara (vocal), gerak tubuh,

dan pelihara kontak mata dengan khalayak pendengar.20

2. Tujuan Retorika dan Fungsi Retorika

a. Tujuan Retorika

19

Jalaluddin Rahmat, Rhetoeika Modern Pendekatan Praktis, h. 7 20

Wahidin Saputra, Buku ajar, Retorika Dakwah Lisan, (Teknik Khithabah), hal. 1.

Ketika Aristoteles di sekitar abad ke-4 SM. Menampilkan retorika sebagai

sebuah ilmu yang berdiri sendiri, dikatakan bahwa tujuannya adalah persuasi, yang

dimaksudkan persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya penanggap tutur akan

kebenaran gagasan topik tutur.

Secara retorika tujuan berbicara kepada massa itu dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. To inform, yaitu memberikan penerangan dan pengertian kepada massa, guna memberikan penerangan yang mampu menanamkan pengertian dengan

sebaik-baiknya.

2. To convine, yaitu meyakinkan atau menginsafkan

3. To inspire, yaitu untuk menimbulkan inspirasi. Dengan teknik dan sistem

penyampaian yang baik dan bijaksana.

4. To entertain, yaitu mengembirakan , menghibur atau menyenangkan dan

memuaskan.

5. To actuate (to put into action), yaitu menggerakan dan mengarahkan mereka

untuk bertindak merealisir dan melaksanakan ide yang telah

dikomunikasikan oleh orator di hadapan massa.21

b. Fungsi Retorika

I Gusti Ngurah Oka menjelaskan bahwa retorika adalah untuk:

1. Menyediakan gambaran yang jelas tentang manusia terutama dalam

hubungan kegiatan bertuturnya, termasuk ke dalam gambaran ini antara lain gambaran proses kejiwaannya ketika ia terdorong untuk bertutur

kata ketika ia mengidentifikasi pokok persoalan dan retorika bertutur ditampilkan.

2. Menampilkan gambaran yang jelas tentang bahasa atau benda yang biasa

diangkat menjadi topik tutur. Misalnya gambaran tentang hakikatnya,

strukturnya, fungsi dan sebagainya.

3. mengemukakan gambaran terperinci tentang masalah tutur misalya

dikemukakan tentang hakikatnya, strukturnya, bagian-bagian dan

sebagainya.

4. Bersama-sama dengan penampilan gambaran ketiga tersebut di atas

disiapkan pula bimbingan tentang:

a. Cara-cara memilih topik.

b. Cara-cara memandang dan menganalisa topik tutur untuk

menentukan sasaran ulasan yang persuasive dan objective.

c. Pemilihan jenis tutur yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak

dicapai.

21

T. A Lathief Rosydy, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, h. 234-235.

d. Pemilihan materi bahasa serta penyusunan menjadi kalimat-kalimat

yang padu, utuh, mantap dan bervariasi.

e. Pemilihan gaya bahasa dan gaya tutur dalam penampilan tuturnya.22

B. Dakwah dan Ruang Lingkupnya

1. Pengertian Dakwah

Dakwah ditinjau dari segi etimologi atau asal kata, dakwah memiliki

makna yang bermacaman-macam yang diantaranya:

1. An-Nida Artinya memanggil

2. Menyeru atau mendorong kepada sesuatu.

3. Menegaskan atau membelanya.

4. Suatu usaha atau perkataan untuk menarik manusia kesuatu aliran

atau agama.

5. Memohon dan meminta, yang sering disebut dengan istilah do’a.23

Sedangkan pengertian Menurut Prof. H. Mahmud Yunus bahwa kata

dakwah mempunyai dua akar kata. Yaitu (da’a – yad’uu – da’watan) yang

artinya menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu. Akar kata yang kedua

yaitu (da’a – yad’uu- du’aa an) yang mempunyai arti memanggil, mendoakan

dan memohon.24

Arti kata dakwah seperti ini sering ditemukan atau

dipergunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diantaranya dalam surat

Yunus/10 ayat 25:

GH���% )�I#7-�J ���� ����

1*.?(($�� L�-"M�-�% 6�N O�H��PQR

���� �>�TUV W2X1��Y([N EF�

Artinya: "Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang

yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam). Arti kalimat

darussalam Ialah: tempat yang penuh kedamaian dan keselamatan.

pimpinan (hidayah) Allah berupa akal dan wahyu untuk mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat.

22

I Gusti Ngurah Oka, Retorika Sebuah Tinjauan Pengantar, h. 65 23

Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, (Solo: Intermedia, 1998), Cet. Ke-2, h.26-28. 24

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1998), Cet. Ke-5, h.1.

Agama Islam merupakan agama yang menyeru kepada kebaikan.

Maka kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk berdakwah sesuai dengan

firmannya dalam (QS. At-Taubah : 122)

��N�% \]^⌧` �;#&�N��☺�$��

)�%a�bc���$ &�3dH�ef � eg"#?�d

�a⌧b�h 6�N i��` ���^"a�d "jkM�l�mN

n�⌧boH�� )�#,q�⌧b�D���r$ ��B

E6J�i�H�� )�%O�1�c��$�%

*,�N"#�^ ��s�� )�I#=�/��

"jM"T�$�� *,t?�=�$ \]%O�⌧����u

E@FF

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa

orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk

memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali

kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Dakwah merupakan kewajiban seorang muslim, tetapi dakwah tersebut

haruslah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dengan berbagaimacam

cara, maka siapapun dapat berdakwah.

Dakwah adalah suatu proses penyelenggaraan aktivitas atau usaha

yang dilakukan secara sadar dan sengaja dalam upaya meningkatkan taraf dan

tata nilai hidup manusia yang berlandaskan ketentuan Allah SWT dan

Rasulullah SAW yang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan

metode-metode tertentu dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang bahagia

di dunia dan akhirat.

2. Ruang Lingkup Dakwah

a. Da’i

Dai berarti adalah orang yang mengajak atau muballigh. Yaitu orang

yang mengajak ke suatu tujuan muballigh sebagai komunikator, berperan

menyampaikan ide-ide tertentu untuk menuju kepada sasaran pokok yaitu

diterimanya ide-ie tersebut sehingga ada perubahan sikap atau adanya

pengukuhan terhadap sikap-sikap tertentu.25

Dengan demikian da’i adalah seorang yang melaksanakan dakwah

baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan baik secara individu, kelompok,

berbentuk organisasi ataupun lembaga. Kata da’i ini secara umum sering

disebut dengan sebutan mauballigh atau muballighoh (orang yang

menyempurnakan agama Islam).26

b. Mad’u

Ada empat golongan objek dalam dakwah yaitu :

a. Golongan Mukmin

Mereka adalah orang-orang yang meyakini kebenaran dakwah Islam,

pengagumi prinsip-prinsip dakwah, dan menemukan kepadanya kebaikan

yang menenangkan jiwanya. Iman takkan punya arti bila tidak disertai

dengan amal. Akidah takkan memberi faedah apabila tidak mendorong

penganutnya untuk berbuat dan berkorban demimenjelmakan menjadi

kenyataan.

b. Golongan yang ragu-ragu

Boleh jadi mereka adalah orang-orang yang belum tahu hakikat kebenaran dan belum mengenal makna keikhlasan serta manfaat di balik ucapan-

ucapan da’i. mereka ragu dan bimbang. Biarkan mereka mengetahui secara jelas dalam keraguannya sambil mengenalkan Islam secara pelan-

pelan melalui tulisan, berkenalan bersama dengan teman-teman para da’i.

c. Golongan yang mencari keuntungan

Boleh jadi mereka kelompok yang tidak ingin memberiakan dukungan

sebelum mereka mengetahui keuntungan materi yang dapat mereka

peroleh sebagai imbalan. Kepada mereka kita hanya mengatakan “

Menjauhlah ! di sini hanya ada pahala dari Allah jika kamu memang

benar-benar ikhlas, dan surganya-Nya jika ia melihat ada kebaikan dalam

hatimu.

d. Golongan yang berprasangka buruk

Barang kali mereka adalah orang-orang yang selalu berprasangka buruk

terhadap para da’I dan hatinya diliputi oleh keraguan. Mereka selalu

melihat dengan kaca mata hitam pekat, dan tidak berbira kecuali dengan

25

Wardi Bachtiar. Metdologi Penelitian Ilmu Dakwah. (Jakarta: Logos, 1997). Cet. Ke-1.h. 57 26

Nurul Badruttamam. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher. (Jakarta: Grafindo 2005). Cet. Ke-1. h. 101

pembicraan yang sinis. Hanya Allah-lah yang dapat memberiakn mereka

petunjuk27

.

c. Materi Dakwah.

Materi dakwah adalah masalah isi pesan atau materi yang

disampaikan da’i pada mad’u, pada dasarnya bersumber dari al-Qur’an dan

Hadits sebagai sumber utama28

yang meliputi akidah, syariah, dan akhlak. Hal

yang perlu disadari bahwa ajaran yang diajarkan itu bukanlah semata-mata

berkaitan dengan eksistensi dan wujud Allah SWT, namun bagaimana

menumbuhkan kesadaran mendalam agar mampu memanifesatasikan akidah,

syariah, dan akhlak dalam ucapan, pikiran, dan tindakan dalam kehidupan

sehari-hari.

Materi dakwah yang merupakan isi pesan atau isi dakwah yang

di8komunikasikan secara efektif kepada penerima dakwah harus disesuaikan

dengan kebutuhan masyarakat. Materi yang disampaikan oleh seorang da’i

haruslah sesuai dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu.

Seseorang yang intelektualnya rendah disampaikan dengan bahasa dan contoh

yang dapat dimengerti oleh mereka para mad’u.

d. Metode Dakwah

Metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang

da’i untuk menyampaikan materin dakwah.29 Atau kumpulan kegiatan untuk

mencapai suatu tujuan tertentu.

Sehingga metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan

oleh seorang da’i kepada mad’u yang telah diatur melalui proses pemikiran

27

Hasan Al Bana, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Surakarta : Era Inter Media,

1998), cet. 6. 28

Nurul Badruttamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher. h. 109 29

Wardi Bactiar. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, h. 34

untuk mencapai proses pemikiran untuk mencapai suatu tujuan atas dasar

hikmah dan kasih sayang.

e. Media Dakwah

Medi dakwah adalah peralatan yang digunakan untuk menyampaikan

atau menyalurkan materi dakwah.30

Dewasa ini, jenis-jenis media atau sarana

dakwah sangat banyak jumlahnya antara lain, radio, video, rekaman, televisi,

surat kabar, majalah, tabloid dan bahkan jaringan informasi melalui komputer

internet.

Medi dakwah merupakan sarana untuk menyampaikan pesan agama

dengan mendayagunakan alat-alat atau temuan teknologi modern yang ada

pada zaman ini. Dengan begitu banyaknya media dakwah yang tersedia. Maka

seorang dai memilih salah satu atau beberapa media saja sesuai dengan tujuan

yang hendak dicapai sehingga apa yang menjadi tujuannya dapat tercapai

dengan efektif dan efesien.

f. Tujuan Dakwah

Tujuan dakwah dapat dirumuskan dalam dua kerangka, yaitu tujuan

untuk menacapai suatu nilai atau hasil terakhir yang merupakan tujuan utama

(Major objective). Dan tujuan untuk mencapai nilai atau hasil dalam bidang-

bidang khusus yang merupakan tujuan atau sasaran departemential. Tujuan

utama dan tujuan departemential adalah dilihat dari segi hierarchinya. Sedang

bila dilihat dari segi proses pencapaiannya, tujuan utama adalah merupakan

ultimate goal atau tujuan akhir. Sedangkan tujuan departemential merupakan

intermediate goal atau tujuan perantara.

30

Wardi Bactiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, h. 34

Jika ditinjau dari aspek psikologis tujuan dakwah adalah untuk

menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran

agama yang disampaikan oleh seorang da’i. Sehingga ruang lingkup dakwah

meliputi masalah pembentukan sikap mental dan pengembangan motivasi

yang bersifat positf dalam segala aspek kehidupan.31

Dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti

mempunyai tujuan, tak terkecuali dakwah Islam yang memiliki tujuan urgensi

tersendiri, karena ia merupakan landasan dari seluruh aktivitas. Merupakan

penentu sasaran, strategi dan langkah-langkah oprasioanal dakwah yang

selanjutnya akan dilakukan. Dengan kata lain tanpa adanya tujuan yang jelas

suatu pekerjaan akan terhitung sia-sia. Serta pekerjaan yang dilakukan juga

tergantung kepada niat, karena sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung

pada niatnya.

C. Hubungan Retorika dengan Dakwah

Untuk tersebar luasnya agama Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh

alam, kepada seluruh umat manusia, maka para da’i atau muballigh semenjak dari

dulu hingga sekarang, dalam setiap kesempatan khutbah atau ceramah, tidaklah hanya

bicara demi bicara. Akan tetapi bagaimana agar pembicaraan tersebut dapat

merangsang mereka yang mendengarkan (mad’u) untuk berbuat sesuatu yang nyata

dalam kehidupannya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.

Retorika adalah sebuah seni (sistem) berpidato menggunakan bahasa lisan,

agar dapat menghasilkan kesan terutama para pendengar. Retorika termasuk seni yang

paling tua dalam komunikasi masa. Karena itu berpidato termasuk salah satu cara dari

sekian banyak cara berkomukasi yaitu antara sipembicara (komunikator) dengan

sejumlah orang (komunikan / audiense). Jadi berpidato termasuk untuk

menyampaikan isi hati, pesan (message), ide (butiran pikiran), program, perasaan dan

sebagainya oleh seseorang kepada sejumlah orang. Dengan kata lain pidato merupakan salah satu sarana informasi dan komunikasi yang sangat penting. Karena

31

H. M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bina Aksara, 1997), Cet. Ke-4, h.5.

melalui pidato orang akan dapat menyebarluaskan idenya, data menanamkan

pengaruhnya bahkan dapat memberika arah berfikir yang baik dan sistematis. Jadi

pidato jelas bukan “omong kosong” dan berteriak-riak tidak karuan” melainkan

dengan oral, dan harus didukung oleh rithme, volume, penyajian dan penampilan yang

sempurna.32

Dakwah dengan menggunakan retorika adalah memaparkan sesuatu masalah

agama dan kemudian orang merasa begitu concern (terlibat) dengan masalah yang

dipaparkan tersebut, sama halnya apabila seorang orator penyampaian suatu persoalan

kemudian orang merasa terdorong untuk mencari sebab deviasi (penyimpangan) dan

kemudian membuat keputusan tertentu untuk mencari pemecahannya.

Dengan kata lain, di dalam proses retorika usaha untuk melibatkan emosi dan

rasio dari pihak khalayak agar merasa merlibat dengan masalah atau persoalan yang

disajikan merupakan inti dari pemaparan retorika sebagai sarana menuju tujuan akhir

yaitu suatu tindakan yang sesuai dengan harapan komunikator. Sementara tujuan yang

ingin dicapai dakwah antara lain, agar manusia mengerjakan kebaikan dan

meninggalkan kejahatan, serta memenuhi ktentuan-ketentuan yang telah ditetapkan

oleh Allah SWT.

Komunikasi kegiatan dan dan retorika memiliki keterikatan, terutama hal ini

dapat dilihat dari segi media yang diperguanakan. Apakah medium yang digunakan

medium lisan, tulisan dan sebagainya. Yang disini unsure bahasa memegang peranan

sangat menentukan.

Hubugungan retorika dengan dakwah, T. A Latief Rosydi dalam bukunya

“Dasar-Dasar Retorika Komunikasi dan Informasi” menyebutkan:

“…kemampuan dalam kemahiran menggunakan bahasa untuk melahirkan

pikiran dan perasaan itulah sebenarnya hakekat retorika. Dan kemahiran serta

32

Efendi M Siregar, Teknik Berpidato dan Menguasai massa (Jakarta: Yayasan Mari Belajar, 1992). Cet. Ke-2, hlm. 29

kesenian menggunakan bahasa adalh masalah pokok dalam penyampaian dakwah.

Karena itu antara dakwah dan retorika tidak bisa dipisahkan. Di mana ada dakwah di

sana ada retorika.33

Kesuksesan para da’i atau muballigh dalam khutbah lebih banyak ditunjang

dan dtentukan oleh kemampuan retorika yang dimiliki oleh da’i tersebut. Dan

kalaulah dakwah belum berhasil menurut yang dicita-citakan dan menurut garis yang

telah ditetapkan semula, mungkin karena cara persuasi (retorika) tidak menjadi

perhatian dan tidak terpenuhi oleh para da’i. dan dalam hal ini diungkapkan oleh T. A

Latief Rosydi dalam buku yang sama:

“Kurangnya keberhasilan kita, baik dalam menanamkan pengertian dan

keyakinan, apalagi dalam menggerakan massa rakyat untuk berbuat, berjuang dan

berkorban (sesuai dengan ajaran Islam), salah satu dari penyebabnya adalah karena

kelemahan kita dalam memanfaatkan retorika dakwah dalam penyampaiannya”.34

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah dan retorika sangat

berhubungan erat, dakwah bertujuan untuk meningkatkan kehidupan umat manusia

kepada keadaan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits, dan

retorika adalah merupakan sarana untuk mencapai tujuan dakwah tersebut. Dengan

kata lain keberhasilan atau kegagalan dakwah itu sangat bergantung pada retorika,

karena retorika tidak lain adalah seni pidato. Sesuatu yang tidak memiliki nilai seni,

tidak akan terlihat indah, betapapun baik dan mahal harganya.

33

Ibib, hlm. 94 34

Ibib, hlm. 95

BAB III

PROFIL KH. AHMAD SYAFI’I MUSTAWA

A. Riwayat Hidup KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah seorang Muballigh yang memiliki majelis

ta’lim Daarul Hikmah yang terletak di Srengseng, Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Beliau

dilahirkan pada tanggal 12 Oktober 1967 oleh ibunya yang bernama ‘Aisyah binti

Katik dan ayahnya yang bernama Mustawa bin Buang. KH. Ahmad Syafi’i tergolong

anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Beliau bukanlah anak pertama

dan bukan pula anak yang terakhir, namun beliau terlahir dengan istilah betawinya

diimpit bangkai, yang terlahir diantara dua kematian karena kakak dan adiknya telah

terlebih dahulu dipanggil oleh Allah SWT, maka dari itu beliau tergolong sebagai

anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya.

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa merupakan figur seorang bapak yang sholeh.

Beliau dikenal dimasyarakat sebagai orang baik dan tekun melaksanakan ibadah, yang

semangat berjuang mensyiarkan ajaran Islam dengan segala kemampuannya. Beliau

ingin apabila mempunyai seorang anak, ingin menjadikan anak-anaknya yang sholeh

dan sholehah, dengan memberikan sebuah pendidikan agama mengirimkannya

kepondok pesantren.35

Yang akhirnya berhasil meneruskan perjuangan dakwah beliau

sebagai seorang da’i yang menyiarkan dan menanamkan nilai-nilai keislaman di

masyarakat.

Perjalanan yang cukup panjang beliau lalui untuk menjadi seorang yang

berilmu pengetahuan agama. Selama lima belas tahun lebih dari bendung sampai tebet

35

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa di Majelis Ta’lim Daarul

Hikmah Srengseng, Kebon Jeruk Jakarta Barat, 10 Februari 2009

Jakarta Selatan, beliau yang tidak ada puasnya akan selalu haus mencari ilmu.

Menjadi perjalanan yang sangat berharga bagi KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, dalam

masa-masa semangatnya menuntut ilmu. Sehingga akhirnya beliua sampai terkenal

sebagai seorang muballigh, yang memiliki jam terbang yang sangat membanggakan

umat Islam, khususnya masyarakat wilayah Jakarta Barat. Beliaupun sering sekali

mengisi ceramah dan mengajar di wilayah Kedoya Selatan Jakarta Barat. Bahkan

jama’ah yang selama ini beliau bimbing, sekarang sebanyak 15 Majelis ta’lim yang

dari jumlahnya hampir setara dengan guru besar.36

B. Pendidikan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

Sebagaimana umumnya orang-orang yang pintar dan berhasil, itu diawali oleh

sebuah perjalanan hidupnya dalam menuntut ilmu. Tak terkecuali KH. Ahamad

Syafi’i Mustawa memulai pendidikannnya dengan sebuah pendidikan dasar di

Madrasah Ibtidaiyah. Berikut ini sebuah perjalanan pendidikan beliau yang panjang

selama 15 tahun lebih, adalah sebagai berikut.

1. Madrasah Ibtidaiyah Al Islamiyah di Srengseng Jakarta Barat selama 6

tahundari tahun 1974 - 1980

2. Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Al Jawami Cilenyi Bandung.

Piminan almarhum KH. Ahmad Suja’i selama 3 tahun dari tahun 1981-

1984

3. Memperdalam ilmu Qiroat di Pondok Pesantren Tahsinul Qur’an Cisereh

Lembang. Pimpinan KH. Sahid selama 2 bulan tahun 1985

4. Memperdalam kitab kuning di Pondong Pesantren Assalafiyah-Klasik,

Bogor. Pimpinan KH. Adang selama 3 bulan tahun 1985

36

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009

5. Memperdalam ilmu alat dan bahasa Arab di Pondok Pesantren Assaqofah

Islamiyah, Bukit Duri Tanjakan Tebet Jakarta Selatan. Pimpinan Habib

Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf selama 12 tahun lebih

dan masih berjalan sampai sekarang memperdalam ilmu fiqih yang

diajarkan oleh putranya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf yang

bernama Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf.37

Tahun 1986

Disela sebagai satri Assaqofah, beliau telah memulai dunianya sebagai

seorang muballigh. Kepandaian ilmu retorika yang sangat handal, tegas, dan humoris

yang sehingga membuat beliau disenangi oleh banyak jama’ah. Sebagai seorang

muballigh dimulai pada tahun 1987 dan sudah berkisar undangan JABODETABEK.

Di tengah kesibukannya memenuhi undangan jama’ah sebagai seorang

muballigh, ia masih dapat menyempatkan waktunya untuk terus memperdalam

ilmunya dengan hadir di majelis-mejelis ta’lim para gurunya. Banyak majelis ta’lim

yang dihadirinya dengan guru besar beliau. Diantara guru-guru beliau yang masih

panjang umur adalah:

1. Habib Umar bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf di Tebet

Jakarta Selatan.

2. KH. Bunyamin bin KH. Abdul Karim di Kelapa Dua Kebon Jeruk Jakarta

Barat.

3. KH. Muhammad Zein di Meruya Kebon Jeruk jakarta Barat.38

Sebagai seorang murid dan muballigh, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa termasuk

guru yang semangat dalam menyiarkan Islam. cukup dikenal dan terbilang sukses

dalam menyampaikan dakwahnya dapat mempengaruhi pendengarnya. Setiap beliau

berdakwah selalu berusaha supaya jama’ahnya atau mad’unya mudah menangkap atas

37

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009 38

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009

segala apa yang beliau sampaikan maksud dan tujuannya. Dengan sistem

penyampaian yang bagus, beliau mampu merekrut begitu banyak mad’u atau jama’ah

dari berbagai macam kalangan dan status sosial masyarakat. Sehingga banyak para

jama’ah yang menginginkan dalam majelis ta’limnya yang mengajar beliau, yang

sampai saat ini majelis ta’lim yang diasuhnya berjumlah 15 majelis ta’lim, yang

diantaranya adalah:

1. Hari Minggu :

a. Majelis Ta’lim Assa’adah di Kampung Melayu : ba’da Maghrib

b. Majelis Ta’lim Daarus Salam Menteng Atas : ba’da Isya

2. Hari Senin :

a. Majelis Ta’lim Annajah Suka Bumi Utara : ba’da maghrib

b. Majelis Ta’lim Al Huda Srengseng : ba’da Isya

3. Hari Selasa :

a. Majelis Ta’lim Al Anwar Kebon Nanas II : ba’da Isya

4. Hari Rabu :

a. Majelis Ta’lim Rawa Buaya dan Celeduk : ba’da Isya

b. Majelis Ta’lim Darul Hikmah kaum Ibu : ba’da dzuhur

5. Hari Kamis :

a. Majelis Ta’lim Al Anwar I Kebon Jeruk : ba’da maghrib

b. Majelis Ta’lim Al Anwar II Pos Pengumben : ba’da Isya

c. Majelis Ta’lim Daarl Faroh Sukabumi Utara : 21-22 WIB

6. Hari Jum’at :

a. Majelis Ta’lim PLN Gambir : ba’da ashar

b. Majelis Ta’lim Taman Cahaya Kedoya : ba’da maghrib

c. Majelis Ta’lim Daarul Hikmah Srengseng : ba’da Isya

7. Hari Sabtu :

a. Majelis Ta’lim Arridho Meruya : ba’da Isya39

Dari majelis ta’lim tempat beliau KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengajar

sampai sekarang masih aktif, dalam pertemuan seminggu sekali bergantian yang terus

berputar setiap hari.

C. Sejarah Berdirinya Majelis Ta’lim Daarul Hikmah

Awal berdirinya perencanaan Majelis Ta’lim Daarul Hikmah, jauh telah

direncakan oleh Almarhum H. Mustawa bin Buang. Ketika KH. Ahmad Syafi’i masih

di Pondok Pesantren Al Jawami Cilenyi Bandung, ide tersebut muncul berawal dari

obrolan ringan dengan sahabat kental almarhum zaitu bapak Kiming dan H. Samin

bahwa beliau ingin mendirikan majelis ta’lim. Dan diantara maksud dan tujuannya

beliau mendirikan majelis ta’lim tersebut adalah:

1. Sebagai wadah pengamalan ilmu bagi anaknnya yang telah menuntut ilmu

2. Untuk mensyiarkan agama Islam di Srengseng.

3. Sebagai sarana untuk menarik kembali masyarakat yang telah banyak

berbuat kezhaliman ke jalan zang benar.

Namun kemuadian ide tersebut tenggelam seiring dengan kesibukan beliau

sebagai Ta’mir Masjid dengan usia yang beranjak tua. Sampai beliau jatuh sakit,

kemudian istri tercinta beliau ‘Aisyah binti Katik berpulang ke rahmatullah, menzusul

sebulan berikutnya beliau juga dipanggil oleh Allah SWT.

Untuk melanjutkan cita-cita dari almarhum, dan juga karena desakan dari

masyarakat yang sangat kuat agar KH. Syafi’i berperan serta secara aktif dalam

membina moral masyarakat. Akhirnya ide tersebut dimunculkan kembali, Ust. Ahmad

39

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009

Syafi’i Mustawa sebagai anak tertua dikeluarga, memulai musyawarah keluarga untuk

memeinta pendapat adik-adiknya tentang rencana ayahandanya.

Setelah keluarga sebagai ahli waris menyatakan sepakat, maka hal tersebut

dikonsultasikan kepada tokoh masyarakat setempat. Diantaranya, kepada Bapak H.

Muhammad Nipong selaku orang tua dan Saomun selaku tokoh pemuda. Dan ternyata

masyarakat pun menanggapinya dengan antusias.

Dan dibentuklah panitia sederhana untuk pembangunan majelis ta’lim. Panitia

tersebut adalah :

Penasehat : Drs. H. Rijal Pahlefi

Ketua : Ust. Ahmad Syafi’i H. Mustawa

Sekretaris : Saomun

Bendahara : Erni Jurniyati

Pelaksana lap. : Jamaah

Setelah terkumpul dana secara gotong royong dan swadaya masyarakat, resmi

pada tanggal 20 Desember 2002, dilaksanakan peletakan batu pertama. Dengan

pendanaan murni dari jamaah atau murid-murid dari Ust. Syafi’i, maka pada tanggal 6

bulan majelis ta’lim pun selesai seminggu kemudian di buka ta’lim dan majelis ta’lim

tersebut diberi nama Daarul Hikmah sebagai induk dari beberapa majelis ta’lim yang

beliau asuh.

Sebagai majelis ta’lim induk, majelis ta’lim Daarul Hikmah memiliki

beberapa kegiatan. Selain kegiatan ta’lim ada juga beberapa kegiatan yang telah

dilaksanakan jama’ah Daarul Hikmah, diantaranya adalah olah raga bela diri, pencak

silat cingkrik asal betawi yang dikoordinatori oleh Sya’ dan Nirwansyah Adik

kandung KH. Ahmad Syafi’i Mustawa.

Pengajian yang telah berlangsung di majelis ta’lim Daarul Hikmah ialah

pengajian senin malam dengan membaca kitab nahwu yang diasuh oleh Ustadz.

Muhammad Fitriadi dari Jombang yang merupakan adik seperguruan KH. Ahmad

Syafi’i Mustawa di Alkifahi As-Saqofi. Dan pengajian jum’at malam yang diajarakn

oleh beliau sendiri KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dengan membaca kitab Tanqih Al

Qaul dan Arriyadul Badi’ah.

Dalam menjalankan dakwah Islamiyah demi tegaknya syi’ar Islam, tentunya

kadag kala menemukan berbagai dukungan dan hambatan yang merupakan satu hal

yang biasa akan dialami setiap aktivitas kegiatan. Demikian halnya yang terjadi dasn

dialami oleh KH. Ahmad Syafi’i Mustawa sebagai pengasuh majelis ta’lim Daarul

Hikmah dalam merealisasikan kegiatannya membina moral para remaja di lingkungan

Srengseng Kembangan Jakarta Barat.

Namun demikian, pemasalahan tersebut bukanlah merupakan ancaman yang

harus ditnggalkan apabila berupa hambatan, namun sebaliknya akan dijadikan

motivator untuk mencapai yang terbaik. Karena hambatan dan dukungan merupakan

realita agar mereka yang menekuni suatu aktivitas akan mampu menghadapi dan

menganalisa terhadap segala permasalahan yang dihadapi.

Adapun faktor-faktor pendukung majelis ta’lim Daarul Hikmah adalah:

1. Adanya dukungan dari keluarga sendiri sebagai ahli waris dan dukungan

dari masyarakat unuk mengadakan kegiatan yang bersifat positif dengan

semangat yang besar dan kerja sama yang baik. Dan tentuny berangkat dari

kesadaran mereka untuk tetap merealisasikan nilai-nilai Islam dalam

pergaulan sehari-hari.

2. Adanya satu faktor utama bahwa recana KH. Ahmad Syafi’i Mustawa untuk

membuka majelis ta’lim Daarul Himah sudah ditunggu sejak lama oleh

masyarakat Srengseng sejak mengasuh pengajian mingguan di Masjid Al-

Huda Srengseng.

3. Adanya dukungan penuh dari segenap jama’ah, dari 12 majelis ta’lim yang

beliau pimpin untuk menyukseskan setiap program majelis ta’lim Daarul

Hikmah.

4. Adanya dukungan dari sebagian tokoh masyarakat setempat, khususnya para

asatidz pemimpin majelis ta’lim setempat. Terutama dukungan yang bersifat

moril, dan masukan-masukan berupa pertimbangan terhadap keadaan dan

kondisi masyarakat sekitar lingkungan majelis ta’lim Daarul Hikmah.

Dan adapun beberapa faktor penghambat yang sedikit banyak mempengaruhi

jalannya suatu kegiatan di majelis ta’lim Daarul hikmah yaitu:

1. Masalah sumber dana yang tidak menentu, karena pendanaan majelis ta’lim

Daarul Hikmah dari mulai dana pembangunan sampai pelaksanaan

kegiatannya hanya bersumber dari dana pribadi KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

dan dana jama’ah. Padahal prsoalan dana merupakan suatu penggerak roda

utama suatu kegiatan, apabila tidak segera ditanggulangi dikhawatirkan akan

menyebabkan kemacetan jalannya kegiatan aktivitas majelis ta’lim Daarul

Hikmah.

2. Adanya keragaman jenjang pendidikan pada jam’ah, sehingga terkadang sulit

untuk menyamakan visi dan misi dalam setiap kegiatan majelis ta’lim Daarul

Hikmah.

Dalam kegiatan apapun tidak akan selamanya mendapatkan kesuksesan begitu

saja, tetapi juga akan ditemukan banyak kendala atau hambatan, maka dari itu kita

harus selalu siap untuk menghadapinya.

BAB IV

RETORIKA DAKWAH KH. AHMAD SYAFI’I MUSTAWA

A. Konsep KH. Ahmad Syafi’i Mustawa Tentang Retorika

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengatakan, retorika adalah setiap ungkapan

atau gaya seni berbicara atau daya penyampaian ilmu, setiap muballigh atau orator

ketika dia menyampaian pesan kepada mad’u yang menjadi sasarannya sehingga

mereka dapat mencerna dengan baik dan apa yang muballigh sampaikan

menyebabkan mad’u menjadi merasa mendapatkan ilmu. Kemudian mad’u bisa

memetik hikmahnya kemudian termotivasi untuk mengamalkannya, kenapa karena

hipnotis daya retorika dakwah itu yang disampaikan oleh muballigh mengena pada

sasarannya.

Dalam hal ini dialektika, kosa kata dan bahasa yang santun itu semua saling

berkaitan atau ada kolaborasinya dalam apa yang disampaikan oleh muballigh,

sehingga mad’u itu bisa memetik hikmah dan manfaat. Jadi dari awal mula berdiri itu

sudah retorika, kemudian dari penyampaian mukoddimah lalu mensitir dari pada

ayat-ayat Allah dan Hadits-Hadits Nabi sehingga apapun yang diungkapkan oleh da’i

tersebut membuat sang mad’u merasa tertarik, maka dengan demikian mad’u tersebut

akan senang berulag-ulang mendengarkan simuballigh tersebut kemanapun dia kejar

karena tepat pada sasarannya.40

Apabila seorang da’i ingin berdakwah haruslah memiliki seni berbicara

yang baik, sehingga materi dakwah yang disampaikan mudah diterima dan

dipahami oleh mad’u atau jama’ah yang medengarkannya. Seni berbicara (retorika)

merupakan rasa atau warna yang melengkapi setiap kata yang terlontar dalam

40

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa , 10 Februari 2009

komunikasi ketika berdakwah dan berpidato, sehingga setiap kata yang keluar dari

lisan memiliki warna yang indah dan rasa yang enak untuk didengar, serta mampu

mengubah pola pemikiran siapa saja yang mendengarkannya. Maka orang yang

mendengarkannya akan tergerak hatinya untuk menelaah, meresapi, bahkan bisa

membuat mereka ingin menikmati dan melaksanakan apa yang dikatakan atau apa-apa

yang mereka katakan.

Seorang da’i atau muballigh yang ahli retorika, dalam berceramah yang secara

aktif melibatkan bahasa tubuh akan mendapat tempat di hati para pendengarnya,

walaupun ia berdakwah panjang lebar dan memakan waktu yang cukup lama,

namun jama’ah yang mendengarkannya tidak merasa bosan. Waktu yang berjam-jam

akan berlalu begitu saja, tanpa kehilangan perhatian terhadap muballigh tersebut

dengan tidak terasa dikarenakan orang yang menyampaikan pesan dakwah ahli dalam

retorika, begitu hebatnya peranan retorika sehingga orang tetap tertarik dan mau

mendengarkannya.

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengatakan, bahwa seorang da’i apabila

berdakwah harus melihat situasi dan kondisi dalam ilmu Mantek disebut Muqtadol

Hal, terkadang kita tampil ditempat yang terdiri dari bebarapa muballigh ditakutkan

materi itu sudah disampaikan oleh yang lain. Jadi untuk dakwah itu harus yang

relepan, dan banyak menghafal hadits dan ayat al Quran agar tidak kehabisan bahan

materi yang disampaikan.41

Apabila seorang muballigh akan melakukan sebuah penyampaian pesan lewat

ceramah-ceramah di atas podium atau panggung, mempunyai persiapan yang matang

secara seksama, karena persiapan adalah setengah dari kesuksesan apabila ada sedikit

saja kesalahan, maka hal itu akan sangat mempengaruhi seorang da’i. Karena dia akan

41

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009

menjadi barometer tolak ukur seberapa jauh dia sudah mencapai keberhasilan atau

belum, dengan demikian dapat kita akui bersama, bahwa persiapan seseorang itu

sangat mempengaruhi dalam mencapai keberhasilan dakwah dan tujuan yang lebih

baik.

Menurut KH. Ahmad Syafi’I Mustawa bahwa dakwah yang dilakukan asal-

asalan tanpa adanya persiapan atau segala hal yang berkaitan dengan retorika,

tentunya pesan dakwah tersebut tidak akan tersampaikan dengan baik kepada

mad’unya atau orang yang menerimanya. Maka sebelum berdakwah kita terlebih

dahulu mengamalkan apa yang ingin kita sampaikan, Insya Allah akan tepat sasaran

karena Allah SWT akan membuka hati mereka dengan hati yang bersih. Diantaranya

jangan batal wudhu, dengan bahasa yang sopan dan santun serta dengan pakain yang

rapih, karena banyak masyarakat awam melihat dan menilai dari luar. Banyak orang

yang hanya bisa menyampaikan pada orang-orang sementara dia belum

mengamalkannya.42

Dalam hal ini seorang da’i haruslah pandai-pandai menganalisa dan mengenali

mad’unya dengan baik, agar dakwah yang disampaikan tepat pada sasarannya. Dalam

berdakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengemas retorikanya dengan mengunakan

bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh mad’unya, ada beberapa tahapan

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam penyusunan pidato yang akan beliau sampaikan

kepada mad’u dan ternyata tahapan tersebut ada yang sama seperti peneliti kaji dalam

ilmu retorika yang diantaranya :

1. Mengetahui keadaan situasi kondisi masyarakat setempat, yang akan

dijadikan sasaran dakwah, dengan menanyakan atau mencari informasi

kepada salah satu warga setempat.

42

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009

2. Setelah itu baru menyusun pesan-pesan yang akan disampaikan yang

tentunya terdiri dari pendahuluan, isi pesan, ringkasan pesan atau inti sari,

dan terakhir penutup disertai dengan do’a.

3. Mencari bahasa yang indah sehingga mudah dimengerti, dan humor-humor

yang berkaitan dengan pembahasan agar mereka tidak merasa jenuh.

4. Ketika menyampaikan pesan dakwah yang harus diperhatikan adalah para

mad’u, bagaimana caranya ketika mereka mengantuk kita mengeluarkan

pesan dengan suara atau vocal yang akhirnya membuat mereka semangat

lagi.

5. Sambil dalam perjalanan menuju tempat, yaitu mengingat kembali pesan

dakwah yang akan disampaikan sesuai dengan keadaan situasi kondisi

masyarakat setempat, yang akan dijadikan sasaran dakwah.

Apabila dianalisis dengan pendekatan teori, maka retorika yang dilakukan oleh

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dan para waliyullah sudah tepat, karena ajaran dakwah

yang disampaikan harus sesuai dengan daya nalar dan kemampuan mad’u yang

berbeda salah satunya dengan pendekatan retorika, seperti yang diungkapkan oleh

Syekh Datuk Tombak Alam, mengatakan bahwa retorika adalah seni mempergunakan

bahasa untuk menghasilkan kesan yang diinginkan terhadap pendengar dan pembaca.

Artinya seorang da’i harus mampu mengemas apa yang akan disampaikan, sehingga

mudah dicerna atau diterima dan dapat meyakinkan mad’unya sehingga mereka mau

mengamalkan pesan dakwah yang telah disampaikan oleh da’i tersebut dalam

kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan tujuan dari dakwah Islam itu sendiri.

Sesuatu yang sederhana akan lebih menarik apabila penyampaian pesannya bagus,

dari pada seorang yang pintar pengetahuan keagamaannya luas akan tetapi

penyampaiannya tidak bagus yang sulit dimengerti oleh mad’u.

Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa definisi yang disampaikan oleh

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, pada hakikatnya sama, dengan definisi-definisi retorika

yang ada. Demikian pula mengenai tahapan penyusunan pidato atau ceramah tidak

ada bedanya dengan pendapat para pakar retorika, yang diantaranya seperti tahap

penyusunan pidato yang dikenal dengan (The Five Konnons Rehoric) yang sering

diterjemahkan dengan “Lima hukum retorika” dan lain sebagainya, yang intinya

bahwa semua da’i sebelum berdakwah mereka mempersiapkan beberapa hal tersebut.

B. Penerapan Retorika, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa Dalam Berdakwah

Selama dalam pengamatan penulis mengikuti pengajian yang dilaksanakan

setiap hari Jum’at malam Sabtu ba’da Shalat Isya di Majelis Ta’lim Daarul Hikmah,

tepatnya di daerah Srengseng Jakarta Barat, banyak para jama’ah yang berdatangan

dari daerah-daerah yang jaraknya cukup jauh dari bapak-bapak hingga para remaja

menghadirinya. Inilah suatu bukti kehebatan retorika KH. Ahmad Syafi’I Mustawa

dalam berdakwah, dari kalangan bawah hingga kalangan atas dapat memahami pesan-

pesan dakwah yang telah disampaikannya.

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dakwah merupakan kewajiban

seorang muslim laki-laki dan perempuan, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya

dengan berbagai macam cara, maka siapapun dapat berdakwah. Dalam hal ini

keberadaan retorika itu sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam dakwah.

Dakwah yang dilakukan tanpa adanya pesiapan dan segala macam yang berhubungan

dengan retorika, maka isi dakwah yang disampaikan itu tidak akan sepenuhnya

tersampaikan dengan baik kepada sang mad’u. Namun tidak selamanya dakwah yang

dilakukan oleh seorang da’i selalu diterima berjalan dengan mulus, melainkan ada

beberapa orang yang tidak meresponnya. Tetapi semua itu tantangan, dalam hal ini

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa malah semakin merasa tertantang lebih semangat lagi.

Maka dalam hal ini peranan retorika dalam pelakasanaan dakwah bil-lisan

sangatlah begitu penting, dikarenakan untuk menentukan seberapa besar dalam

keberhasilan dakwah itu sendiri. Dalam hal ini Nabi Muhammad sebagai Rasulullah

SAW adalah seorang manusia yang sempurna, yang diantaranya ahli dalam retorika

yang bisa membuat orang tersenyum dan menangis. Begitu semangatnya Rasulullah

SAW dalam mensyiarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia, dengan

demikian menjadikan contoh bagi para da’i untuk tetap semangat dalam mensyiarkan

Islam.

Dalam berdakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa memiliki retorika yang sangat

bagus, kemampuan retorika beliau yang menarik dengan kaya banyaknya kosa kata,

tak heran membuat beliau jadi penceramaah yang handal. Dakwah merupakan

misinya untuk menyebar luaskan Islam dan realisasi ajarannya adalah dakwah

bilhikmah yang beliau lakukan. Sesuai dengan Al Qur’an firman Allah SWT, beliau

berkata :

������ ���� ������ ������

���☺���������� ��� �"#�☺�$���%

���&'(������ ) *,�$�-.�/�%

0123$���� 4��5 6'(78%9 � :;��

��<��� �#=5 >*?7%9 6�☺�� :�'@

6� A�9������� ) �#=5�% >*?7%9

�BC�-�D7,☺�$���� E@F�

Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari

jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk. (Q.S. An-Nahl: 125).43

43

Muhammad Rifa’i, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Wicakscana. 1991), cet. Ke-1 hal. 254

Dan dalam firman Allah SWT yang lain yaitu :

H��N�% ��&d?��"�%9 6�N �v#�w� xg��

;�'(�?�� A�8�N"#�^ \y�mz����$

"j|8} ) ��U~��d GH�� 6�N O�H��PQR

L�-7,�J�% 6�N O�H��PQR � �#=5�%

OLJL�=�$�� >*�U����$�� E

Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa

kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada

mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi

petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha

Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Ibrahim: 4)

Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al Qu'an

untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia. disesatkan Allah berarti: bahwa

orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk

Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa

sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi

sesat. Disisnilah pentingnya menggunakan retorika dalam berdakwah yang akan

menjadikan pembicaraan terfokus.

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa ketika beliau sebelum menyampaikan pesan-

pesan dakwah, terlebih dahulu beliau meluruskan niat bahwa semata-mata dakwah

yang beliau lakukan karena Allah SWT. Bukan untuk menjadikan dakwah sebagai

sebuah penghasilan untuk mencari nafkah, dan semua itu bagian dari aktivitas ibadah

seseorang untuk meningkatkan keimanannya. Rasulullah SAW bersabda dalam

sebuah Haditsnya: “ Barang siapa yang melihat sebuah kemungkaran maka haruslah

dia mengubahnya dengan kekuatan tangannya, maka apabila tidak sanggup

lakukanlah dengan ucapan, dan apabila tidak sanggup lakukanlah dengan hati karena

itulah selemah-lemah iman.”

Dalam dakwanya KH. Ahmad Syafi’i Mustawa sudah sangat menguasai

materi dakwahnya kontak visual dan kontak mental beliau dengan khalayak hadir

dengan baik, sehingga jama’ah pun dapat memperhatikan dengan serius. Olah vocal

atau suara yang beliau miliki sangat khas, nada dan irama suara yang turun naik

terkadang mendatar dan terkadang tinggi. Isi ceramah beliau mengalir begitu saja

sehingga setiap kata yang keluar dari mulut beliau memiliki makna yang membuat

pendengar merasa tertarik untuk terus mengikuti ceramah beliau sampai selesai.

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam berbicara di hadapan para jama’ahnya

benar-benar menampilkan kpribadiannya. Beliau berbicara dengan menggunakan

tangan, raut wajah, bahasa tubuh (Body Language), sehingga gaya menyampaikan

beliau yang seperti itu meyakinkan para jama’ah agar tetap fokus mendengarkan

dakwah beliau.

Dalam berbicara dihadapan jama’ah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa benar-

benar menampilkan sosok kepribadiannya tanpa harus meniru satu guru yang

dijadikan contoh dalam gaya dakwah da’i-da’i lain seperti para da’i kondang yang

diantaranya KH. Zainuddin MZ. Ust. Gimnastiar, Ust. Jefri Al Bukhori, dan lainnya.

Melainkan mengkaliborasi dalam megajar gaya Al Habib umar bin Abdurrahman

Asseqaf, jika ceramah di atas panggung meniru sedikit gaya Al Habib Idrus Jamalul

Lail, karena Kiyai ngaji sama bapaknya Habib Idrus kitab tafsir Jalalain. Tanpa

menghilangkan jati diri dan menjadi diri sendri.

Karena jika kita meniru gaya ceramah orang, kita berada di bawah mereka.

Sebagai contoh seorang pemuda yang mengatakan ini guru saya, ini bapak saya, ini

majikan saya tapi katakan inilah diri saya. Itulah perkataan yang harus dia sampaikan

kepada orang lain. 44 KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam dakwahnya menggunakan

bahasa komunikasi Verbal dan Non-Verbal seperti dengan penjelasan lisan perkataan-

perkataan, menggunakan tangan, raut wajah, bahasa tubuh seperti ketika menyebut

44

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009

lihat abu jahal, firaun tunjuk ketangan kiri dan berdoalah kepada Allah SWT dengan

mengangkat kedua tangan. Sehingga membuat jama’ah yang mendengar dan

melihatnya mengerti dan paham atas apa yang disampaikannya.

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa sebagai seorang da’i keturunan darah betawi

asli mempunyai sebuah ciri khas dalam berdakwahnya, beliau mencampur adukan

bahasa Indonesia dengan bahasa Betawi dan Arab. Maka bahasa merupakan salah satu

simbol komunikasi yang memegang perananan penting agar para mad’u memahami

isi pesan yang disampaikannya, tidak harus dengan bahasa Indonesia yang baku yang

tidak dapat dimengerti oleh mad’u.

Kepandaian KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam menyusun kata-kata dengan

kekayaan bahasa yang beliau miliki yang diantaranya bahasa Indonesia, Arab, Sunda

dan bahasa Betawi, sehingga membuat ceramah yang disampaikan enak didengar dan

mudah dipahami oleh para mad’u yang mendengarkannya. beliau berbicara dengan

bahasa yang jelas, lantang berbicara tanpa ada takut sedikitpun. Karena yang lebih

beliau takuti adalah Allah SWT, apabila beliau tidak menyampaikan ilmu yang beliau

miliki.

Dalam menyampaikan metode ceramah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

menggunakan humor hanya 30% dan selebihnya 70% ialah pesan dakwah yang berisi

menanamkan akidah, syariat dan akhlak paling bagus-bagusnya muballigh adalah

sebelum menutup dia tanamkan pada jama’ah untuk mengaji kitab kuning/klasik

dengan mengaji kitab karangan ulama salaf, maka akhlaknya jadi bagus dan

pergaulannya bagus. Jangan kebanyakan tawaan, sasaran dakwah yaitu

mengembalikan kepada fitrahnya yang hakiki.

Sebatas 30% humor yang KH. Ahmad Syafi’i Mustawa gunakan dalam

dakwahnya itu saja. Dan selebihnnya70% ialah pesan dakwah agar para mad’u

memperoleh bekal ilmu setelah pulang bukan semata-mata karena humornya saja

yang mengakibatkan mematikan hati, bahkan tidak jarang mereka selesai

menyaksikan ceramah tidak memperoleh apa-apa melainkan gagalnya pesan yang

disampaikan.45

Kehidupan manusia tidak terlepas dari sense of humor, seorang da’i yang

profesional akan menyisipkan pesan-pesan dakwahnya dalam humor tersebut, bahkan

rasa humor dapat digunakan untuk menyajikan suatu masalah yang dianggap serius ,

dan berat menjadi suatu bentuk sajian yang lebih ringan kadang para da’i memakai

humor untuk memikat para mad’uya. Sehingga dengan rangsangan humor tersebut,

ide-ide yang disampaikan akan mengena emosi mad’unya. Namun demikian humor

dalam ceramah bukan sembarang humor seperti halnya pelawak, humor yang

dimaksud adalah humor yang bersifat edukatif dan berisi ceramah.

Menurut beliau dakwah akan berhasil dengan baik apabila para da’i sudah

mengamalkan pesan dakwah yang akan mereka sampaikan, dengan menggunakan

bahasa yang sopan dan santun serta dengan pakain yang rapih, karena banyak

masyarakat awam melihat dan menilai dari luar. Banyak orang yang hanya bisa

menyampaikan pada orang-orang sementara dia belum mengamalkannya. Maka dari

itu sebelum dakwah kita mengamalkan dahulu apa yang ingin kita sampaikan.

Berikut ini merupakan sebagai beberapa contoh dari beberapa penerapan

retorika dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam dakwah bil-lisan pada pengajian

rutin hari Jum’at malam Sabtu di majelis ta’lim Daarul Hikmah, Srengseng, Jakarta

Barat. Pada saat pengajian rutin malam Sabtu itu dilaksanakan diawali dengan

pembacaan shalawat Ya Rabbibil Musthafa tawasul abaib setelah itu shalawat Dustur,

kemuadian do’a pembuka majelis shalawat Fatih sebagai bahan merenung sebelum

45

Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009

menyampaikan ilmu tawasul sebagai golongan ahlus sunnah waljama’ah membaca

do’a futuh.

Kemudian selanjutnya KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengisi pengajian

biasanya beliau memulai dengan mengucapkan salam, membaca hamdalah, dan

shalawat kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW, serta Hadits mukoddimah,

seperti:

“...........Alhamdulillahirabbil ‘Alamin Wal ‘Aqibatul Muttaqin Wala ‘Udwana

Illa‘Alazhzholimin, Asyhadualla ilahaillahu Wahdahula Syarikalah Wa ashaduanna

Muhammadan ‘Abduhu warosuluh, La Nabiya Ba’dah

“...........Fainnaka asdakal hadits kitabullah wakhoirulhadi hadiyu Muhammadin SAW,

Wasarru likulli muhdasatuha wakulla muhdasatin bid’ah wakulla bid’atin dhalalah

wakullah dhalaltin finnar . wafissantil muttashil ilal imami muallif rahimakumullahu

ta’ala waadama nafa bihi wabibarakati ulumih wabikum fiddaroin amin atqol, qala

radiyallahu anhu.46

Berdasarkan observasi penulis, hampir setiap memulai mengajar dengan gaya

ceramah format pembukaan yang digunakan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa seperti

contoh di atas. Dengan memulai bermunajat kepada Allah SWT, dalam bahasa yang

mudah dimengerti supaya apa yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik dan

diamalkan dalam keseharian para jama’ah.

Setelah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa membukanya, kemudian beliau

memulai menyampaikan pesan yang akan diberikan kepada para jama’ah yang berada

di majelis ta’lim Daarul Hikmah. Ketika beliau menyampaikan tentang sebuah

kematian, seperti:

“..........Kematian pasti akan datang tidak ada keragu-raguan, kematian adalah laksana sebuah jembatan atau penghubung, untuk berjumpa seorang kekasih kepada

kekasihnya yaitu orang mukmin yang benar dan yang membenarkan. Rasa sakit itu ketika mati merupakan penebus dosa, ketika ia menjumpai rasa sakit tadi yang belum

ia rasakan sebelumnya.”47

46

Hasil Penelitian Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 23 Januari 2009 47

Hasil Penelitian Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa,30 Januari 2009

Dari penjelasan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa di atas, sesuai dengan

kebenaran bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian tak terkecuali

manusia. Sehingga akan menjadikan mereka berpikir untuk mempersiapkan kematian,

bagaimana caranya agar pada saat mengahadapi kematian mereka tidak terlalu

merasakan kesakitan yang luar biasa, dan mendapatkan tempat yang lebih baik di sisi

Allah SWT. Dapat dilihat dalam contoh yang lain ketika menjelaskan tentang macam-

macam kematian, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa menjelaskan secara sistematis, yang

diselingi dengan sedikit humor, seperti:

“............Matinya ulama, orang kaya, fakir miskin dan matinya pemimpin. Yang

pertama matinya Ulama adalah merupakan kegelapan dalam agama seperti para ulama

yang telah meninggal dunia KH. Abdullah di Kebon jeruk, KH. Muhammad Arsyat,

KH. Muhammad jenggot/ Muhammad Jubir dan Mu’allim KH. Syafi’i Hazami di

Kebayoran Pondok Pesantren Al-Arbain, karena mereka semua paku alam.

Sesungguhnya daripada tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, kebodohan meraja rela, perzinahan meraja rela, minuman

keras terbiasa, laki-laki sedikit dan banyaknya kaum wanita. Kedua matinya orang kaya merupakan penyesalan harta warisan jadi rebutan keturunan. Ketiga matinya

orang fakir miskin merupakan kesenangan karena proses diakhiratnya gampan. Dan yang keempat matinya pemimpin merupakan fitnah. “.......Ulama, orang kaya, fakir

miskin dan pemimpin mereka semua kalau belum mati jangan dikubur ya.” Maka dari itu janganlah jauh dari majelis-majelis ilmu dan jangan jauh dari para ulama datangi

majelis-majelis ta’lim habaib.”

Dari penjesan di atas, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa menjelaskan betapa

pentingnya mengingat kematian dan betapa pentingnya sebuah ilmu karena dengan

ilmu kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta akan dapat

melaksakan segala aktivitas ibadah dengan baik dan sempurna.

Setelah dari contoh beberapa pesan yang disampaikan di atas, kemudian

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa menutupnya dengan sebuah harapan kepada para

jama’ah semoga ilmu yang didapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan

membaca shalawat, hamdalah dan salam serta do’a penutup majelis ta’lim, seperti:

“............Mudah-mudahan ilmu yang kita tuntut dimalam ini, baik itu dalam bentuk firman-firman Allah, Hadits-Hadits Nabi ataupu aktsarusshahabah perkataan pra

sahabat butiran-butiran mutiara hikmah rangkaian kata untaian jamur katulistiwa yang

terbentangan dalam kitab ini. Itu semua mungkin adalah kalimat-kalimat yang benar

firman-firman Allah atau Hadits-Hadits Nabi, namun disana sini mungkin ada

kekhilafan atau kesalahan atau mungkin ada hadirin hadirat ada yang tidak memahami

apa yang saya sampaikan, bukan artinya bapak-bapak yang tidak paham atau bapak-

bapak yang tidak cerdas tapi karena memang kemampuan saya yang terbatas. Khut

mashafa wada makadar ambil yang baik dan campakkan yang buruk. Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in Tsummas Salamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dari keseluruhan uraian diatas tentang penerapan retorika dalam dakwah KH.

Ahmad Syafi’i Mustawa secara garis besar bahwa KH. Ahmad Syafi’i Mustawa

adalah salah satu da’i yang propesional yang sudah berdakwah Se-JABODETABEK

cukup terkenal khususnya di daerah Jakarta Barat, bedanya beliau tidak masuk

kedalam media massa. Disamping memiliki wawasan dan pengalaman yang luas, KH.

Ahmad Syafi’i Mustawa adalah sosok yang sangat ramah dan penuh kasih sayang

khususnya pada anak-anak kecil beliau sangat menyayanginya. Selama penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini beliau adalah seorang bapak yang terbuka dan

bersahabat sehingga orang-orang yang mendekatinya tidak merasa takut menemuinya.

Dari segi prakteknya beliau cukup mengerti dan memahami retorika dengan

baik, ini terbukti dalm pelaksanaan dakwahnya sesuai dengan apa yang ada didalam

ilmu retorika yang penulis pelajari, mengembangkan pokok bahasan (isi, materi

dakwah), pembicaraannya menarik selalu dikembangkan dengan ilustrasi dan

percontohan, dan dapat memahami situasi dan kondisi yang ada di masyarakat. Hal ini

dikuatkan dengan penjelasan Toto Tasmara, bahwasannya dalam menerapkan retorika

ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya; aktualisasi, analisa persoalan

dan situasi, kekuatan bahasa dan pengalaman, intonasi, analogi dan pribahasa.

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam pelaksanaan dakwahnya beliau memiliki

penampilan yang sempurna, sebagai seorang da’i yang mengemas retorika dalam

pelaksanaan dakwah selalu menyesuaikan daya tangkap mad’unya. Sehingga mad’u

mudah menerima pesan dakwah yang disampaikannya, tidak terlalu monoton

adakalanya menyisipkan humor dan adakalanya bersikap tegas serius. Dari cara

berpakaian, menggunakan pakaian yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW memakai

baju gamis dan dilapisi juba serta bersorban, berakhlak mulia, baik hubungan kepada

Allah SWT maupun hubungan kepada sesama manusia, gaya pelaksanaan dakwahnya

baik, baik itu raut wajah, mimik, penjiwaan, dan kata-kata yang rapih dan bijak serta

membuat para jama’ah Majelis Ta’lim Daarul Hikmah terkesima enak mendengarkan

isi pesan dakwahnya, dalam penyajian dakwah pengajian kitab kuning/ salaf dengan

ekspresi gaya ceramah beliau.

BAB V

PENUTUP

Dari uraian tentang penerapan retorika KH. Ahmad Syafi’I Mustawa dalam

pelaksanaan dakwah bil-lisan dan segala yang berhubungan dengannya, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Menurut KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, retorika adalah setiap ungkapan atau gaya

seni berbicara atau daya penyampaian ilmu, setiap muballigh atau orator ketika

dia menyampaian pesan kepada mad’u yang menjadi sasarannya sehingga mereka

dapat mencerna dengan baik dan apa yang muballigh sampaikan menyebabkan

mad’u menjadi merasa mendapatkan ilmu. karena ajaran dakwah yang

disampaikan harus sesuai dengan daya nalar dan kemampuan mad’u yang berbeda

salah satunya dengan pendekatan retorika, seperti yang diungkapkan oleh Syekh

Datuk Tombak Alam, mengatakan bahwa retorika adalah seni mempergunakan

bahasa untuk menghasilkan kesan yang diinginkan terhadap pendengar dan

pembaca. Artinya seorang da’i harus mampu mengemas apa yang akan

disampaikan, sehingga mudah dicerna atau diterima dan dapat meyakinkan

mad’unya sehingga mereka mau mengamalkan pesan dakwah yang telah

disampaikan oleh da’i tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan

tujuan dari dakwah Islam itu sendiri.

2. Penerapan retorika dakwah yang dilakukan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah

dakwah yang selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Karena banyak

para jama’ah atau mad’u dari berbagai macam kalangan, serta daya tangkap

mad’u yang berbeda, sehingga mad’u mudah menerima pesan dakwah yang

disampaikannya, dalam hal ini jama’ah pun dapat memperhatikan dengan serius.

Olah vocal atau suara yang beliau miliki sangat khas, nada dan irama suara yang

turun naik terkadang mendatar dan terkadang tinggi, tidak terlalu monoton

adakalanya menyisipkan humor dan adakalanya bersikap tegas serius. Isi ceramah

beliau mengalir begitu saja sehingga setiap kata yang keluar dari mulut beliau

memiliki makna yang membuat pendengar merasa tertarik untuk terus mengikuti

ceramah beliau sampai selesai. Inilah bukti bahwa dalam praktek penerapan

dakwah yang beliau lakukan sesuai dengan kajian ilmu retorika, namun memang

kekurangan beliau adalah beliau tidak terlalu mengetahui banyak tentang retorika,

dikarenakan beliau tidak belajar secara formal tentang ilmu retorika.

B. Saran-Saran

1. Kepada KH. Ahmad Syafi’I Mustawa jangan pernah berhenti untuk

berdakwah, sekalipun ada tawaran pekerjaan yang mendapatkan imbalan yang

besar. Sekiranya retorika yang KH. Ahmad Syafi’I Mustawa terapkan

hendaknya dipertahankan dan ditingkatkan.

2. Kepada para da’i atau muballigh hendaknya selalu menyampaikan dakwahnya

dengan menggunakan retorika yang tepat sesuai dengan kemampuan sang

mad’u. sehingga dakwah yang disampaikan tepat pada sasaran yang

diinginkan dan dapat tercapai dengan sebaik mungkin.

3. Studi retorika pada Fakulatas Dakwah dan Komunikasi, di samping

mengetengahkan aspek teoritis alangkah baiknya juga diimbangi dengan

praktek secara langsung agar mahasiswa dapat membuktikan dengan

penerapan retorika dalam dakwah dan berpidato akan memperlancar serta

mempermudah pesan yang disampaikan sesuai dengan tujuannya. Apabila

mahasiswa dakwah ada yang bagus dalam cara dakwah atau berpidatonya,

mohon kiranya dikirim ketempat-tempat yang membangun mereka menjadi

lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Datuk Tombak, Kunci Sukses Penerangandan Dakwah, (Jakarta: Rineka Cipta,

1990).

Amin, Abdul Aziz Jum’ah, Fiqih Dakwah, (Solo: Intermedia, 1998), cet. Ke-2

Arifin, H. M., Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bina Aksara, 1997), cet. Ke-4

Aziz ,Abdul Jum’ah, Fiqih Dakwah, (Solo: Intermedia, 1998), Cet. Ke-2,

Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), cet.

Ke-1

Badruttamam, Nurul. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo 2005).

Cet. Ke-1

Bana, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Surakarta : Era Inter Media,

1998), cet. 6.

Effendi, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2002).

Ghazali, M. Bahri,, Dakwah Komunikasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), cet.

Ke-1

Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. Metodologi Penelitian Masyarakat. (Jakarta:

Gramedia. 1977)

Hasanuddin, Rhetorika Dakwah dan Publisistik dalam Kepemimpinan, (Surabaya: PT.

Usaha Nasional, 1982).

Hendrikus, P. Rudi Wuwur, Retorika, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993).

Isror, Retorika dan Dakwah Islam Era Modern, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993).

Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, (Jakarta: Gaila Indonesia, 1988), cet. Ke-3

Oka , I Gusti Ngurah, Retorika Sebuah Tinjauan Pengantar, (Bandung: Tarate, 1976)

Rahmat, Jalaludin , Rhetoeika Modern Pendekatan Praktis, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1998)

Rifa’I, Muhammad, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Wicakscana. 1991)

cet. Ke-1

Rousydy, Lathief, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, (Medan: PT.

Firma Rimbow, 1989).

Saputra, Wahidin, Buku ajar Retorika Dakwah Lisan Teknik Khithabah, (Jakarta:

Dakwah Press, 2006) cet. Ke-1

Saputra, Wahidin, Ilmu Dakwah Dalam Perspektif Epistimologi Ontologi dan

Aksiologi, (Jakarta: Dakwah Press, 2008)

Sumanti, Wanti, Skripsi Retorika Dakwah Ustadzah Hj. Dede Rosyidah, (Mama

Dedeh, 2007).

Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. Ke-2

Umari, Barnawi. Azas-Azas Ilmu Dakwah, (Solo: Ramadhani, 1995),

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1998), cet. Ke-

5

Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa di Majelis Ta’lim Daarul

Hikmah Srengseng, Kebon Jeruk Jakarta Barat, 10 Februari 2009

KONSEP RETORIKA DAN TAHAP

PENYUSUNAN

No

Aspek Retorika (Teori)

Konsep Retorika KH. Ahmad

Syafi’I Mustawa

Pengertian Retorika :

Syekh Datuk Tombak Alam,

mengatakan bahwa retorika adalah

seni mempergunakan bahasa untuk

menghasilkan kesan yang

diinginkan terhadp pendengar dan

pembaca

Tahap penyusunan pidato “Lima

hukum retorika” :

6. Menemukan bahan (Inventio),

menggali topik dan meneliti

khalayak yang akan hadir

mendengarkan ceramah kita,

kemudian menentukan metode

yang tepat.

7. Penyusunan bahan/materi yang

akan disampaikan (Dispositio),

menyusun materi dakwah yang

akan disampaikan, misalnya: Pendahuluan, Pembahasan dan

Penutup. 8. Memilih bahasa yang indah

(Elocutio), memilih kata-kata yang tepat, kalimat yang jelas dan

bahasa yang indah sesuai dengan kemampuan khalayak pendengar.

9. Mengingat materi yang akan

disampaikan (Memoria),

mengingat-ingat dalam pikiran

materi yang akan disampaikan

kepada khalayak pendengar sesuai

dengan susunan yang telah dibuat

sebelumnya.

10. Menyampaikan

dakwah lisan (Pronuntiatio),

menyampaikan materi perhatikan

suara (vocal), gerak tubuh, dan

pelihara kontak mata dengan

khalayak pendengar

Pengertian Retorika :

KH. Ahmad Syafi’i Mustawa,

mengatakan retorika adalah

setiap ungkapan atau gaya seni

berbicara, atau daya

penyampaian ilmu sehingga

orang lain dapat mencerna

dengan baik artinya sang mad’u betul-betul merasa nikmat, dan

nyaman sehingga apa yang muballigh sampaikan

menyebabkan mad’u menjadi merasa mendapatkan ilmu.

Tahap penyusunan pidato :

6. Mengetahui keadaan situasi

kondisi masyarakat setempat,

yang akan dijadikan sasaran

dakwah, dengan menanyakan

atau mencari informasi kepada

salah satu warga setempat.

7. Setelah itu baru menyusun

pesan-pesan yang akan

disampaikan yang tentunya

terdiri dari pendahuluan, isi

pesan, ringkasan pesan atau inti sari, dan terakhir penutup

disertai dengan do’a. 8. Mencari bahasa yang indah

sehingga mudah dimengerti dan humor-humor yang berkaitan

dengan pembahasan agar mereka tidak merasa jenuh.

9. Ketika menyampaikan pesan

dakwah yang harus diperhatikan

adalah para mad’u, bagaimana

caranya ketika mereka

mengantuk kita mengeluarkan

pesan dengan suara atau vocal

yang akhirnya membuat mereka

semangat lagi.

10. Sambil dalam

perjalanan menuju tempat, yaitu

mengingat kembali pesan

dakwah yang akan disampaikan

sesuai dengan keadaan situasi kondisi masyarakat setempat,

yang akan dijadikan sasaran dakwah.