aqib maimun fsh
TRANSCRIPT
PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN
AGAMA (KUA) (STUDI KASUS KANTOR URUSAN AGAMA
(KUA) KEC. CILANDAK)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (SSy)
Oleh:
AQIB MAIMUN NIM: 206044103783
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H/2010 M
PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN
AGAMA (KUA) (STUDI KASUS KANTOR URUSAN AGAMA
(KUA) KEC. CILANDAK)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (SSy)
Oleh:
AQIB MAIMUN NIM: 206044103783
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA NIP: 195703121985031003
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Tangerang, 24 September 2010
Aqib Maimun
KATA PENGANTAR
الرحيم الرحمن اهللا بسم
Tiada kata yang paling pantas penulis ungkapkan selain mengucapkan
هللا الحمد العالمين . Syukur kepada Dia yang Maha Ghafûr. Segala puji hanya bagi Allah
Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan begitu banyak cinta dan kasih
sayangnya kepada semua makhluk yang meyakini keberadaanNya. Katakanlah “Jika
sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu pula”. KarenaNya dan bersamaNya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada dia seorang
manusia pilihan. Manusia yang tidak hanya popular di bumi namun juga popular di
langit. Manusia yang paling khusyu’ dalam shalatnya, manusia yang paling jujur
dalam perkataan dan perbuatannya, manusia yang paling bijaksana dalam mengambil
keputusannya, manusia yang paling kasih terhadap orang yang miskin dan anak yatim
serta manusia yang paling sayang terhadap isterinya. Rujukan para Sahabat, sandaran
para Syuhada, junjungan dan tauladan kita semua Nabi besar Muhammad SAW,
pembawa syariatNya bagi seluruh hambaNya dalam setiap ruang dan waktu sampai
akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan penulis temui. Namun
syukur Alhamdulillah karenaNya dan bersamaNya, serta karena dukungan dari
i
berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materil,
segala kesulitan akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Selanjutnya teristimewa penulis persembahkan ”segalanya” kepada Mamah
(Suparti) dan Bapak (Ismanto) tercinta, yang tiada pernah akan terputus kasih
sayangnya, tiada pernah letih mengangkat kedua tangannya, meneteskan air matanya,
dalam setiap lantunan do’a-do’anya, untuk kebaikan putra keduanya ini. Penulis
sampaikan pula kepada saudara-saudariku tercinta, Muhammad Nur Salim, Wahyu
Tri Utami, Ahmad Muhaimin, dan Rahmat Hidayat.
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi
ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,
M.H., Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Al Ahwâl Al
Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A., dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Bapak Drs. H. Qomaruzzaman dan segenap jajaran Karyawan/karyawati KUA
Kecamatan Cilandak dan KUA Kecamatan Kebayoran Lama yang telah
ii
banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan
skripsi.
5. Segenap Bapak/Ibu dosen dan staf pengajar di lingkungan Program Studi Al
Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi jalan ilmu bagi
penulis selama duduk di bangku kuliah.
6. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman Jama’ yang telah banyak
membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Glestania Rosaputri, Adeku Tersayang, Putri Muhibbati. Terima kasih telah
menjadi jalan terbukanya pikiran, meluapnya semangat, sehingga langkah
penulis lebih cepat dari sebelumnya dalam menyelesaiakan skripsi ini, demi
kelulusan ini. Terima kasih telah menjadi jalan ilmu, jalan ma’rifat, jalan
sabar, jalan tabah, jalan ikhlas, jalan rido penulis kepada Dia yang Maha
Kasih, kepada Dia yang Maha Sayang, kepada Dia yang Maha Mengatur
cerita hidup semua hambaNya, sebagai bekal penulis menjalani cerita hidup
selanjutnya.
8. Sahabat-sahabat penulis di keluarga besar Peradilan Agama angkatan
2005/2006 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
semua bantuan dan dukungan serta do’anya.
iii
iv
Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya, serta menjadi amal baik kita semua di sisi Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan serta doa yang penulis terima
tidak akan dapat terbayar oleh apa pun. Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan,
semoga balasan kebaikan berlipat ganda dilimpahkan oleh Allah SWT kepada kita
semua. Âmîn
Tangerang, 7 Mei 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9
D. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan........................................ 10
E. Penelitian yang Relevan.................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13
BAB II DESKRIPSI TEORITIS TENTANG PERKAWINAN BEDA
AGAMA
A. Perkawinan dalam Islam ................................................................... 14
B. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik ................. 18
C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif.............. 22
BAB III DESKRIPSI KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Perspektif Sejarah ............... 28
B. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).............. 36
C. Substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI) ........................................ 39
BAB IV ANALISIS PENETAPAN AKTA NIKAH PERNIKAHAN
BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)
KEC. CILANDAK
A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak ........................ 44
v
vi
B. Deskripsi Permasalahan Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda
Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak................. 52
C. Analisis Yuridis Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak. ................................. 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 96
B. Saran-Saran ....................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 100
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah.1 Perkawinan atau pernikahan jika dalam bahasa
Arab disebut dengan dua kata ) نكاح _ زواج( 2 yang artinya adalah nikah atau
kawin. Secara etimologi nikah (kawin) berarti “al-wâth’û wa al-dhâmmû”
(bersenggama atau bercampur). Begitu pula dalam pengertian majazi (kiasan)
orang menyebut nikah untuk arti akad sebab, akad ini merupakan landasan
bolehnya melakukan persetubuhan. Sedangkan secara fikih, pengertian nikah atau
kawin diungkapkan oleh para ulama dengan beragam sekali, diantaranya adalah:
1. Kelompok mazhab Hanafi mendefinisikan nikah atau kawin dengan; nikah
adalah akad yang memfaidahkan memiliki dan bersenang-senang dengan
sengaja.
2. Kelompok mazhab Syafi’i mendefinisikan nikah atau kawin dengan; nikah
adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha
(bersenggama) dengan lafal nikah atau tajwiz atau yang semakna keduanya.
1 Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora Utama
Press, 2001), 14. 2 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara
Sumber Widya, 2001), cet 13., h. 191.
1
2
3. Kelompok mazhab Maliki mendefinisikan nikah atau kawin dengan
ungkapan; nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-
mata untuk membolehkan watha (bersenggama), bersenang-senang dan
menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah
dengannya.
4. Kelompok mazhab Ahmad bin Hanbali mendefinisikan nikah atau kawin
dengan ungkapan; nikah adalah akad dengan mempergunakan lafal nikah atau
tajwiz guna membolehkan manfaat dan bersenang-senang dengan wanita.3
Namun secara keseluruhan definisi itu hampir sama antara satu dan
lainnya, yang dapat disimpulkan sebagai berikut “Perkawinan adalah akad nikah
yang ditetapkan oleh syara bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan
bersenang-senang dengan kehormatan (kemaluan) seorang isteri dan seluruh
tubuhnya.”4 Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah
boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah
dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan
itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah
3 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 4 4 Nur Djamaan, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dimas, 1993), h.2
3
berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan
menjadi mubah.5
Menikah termasuk perbuatan sunnah yang paling dianjurkan, karena ia
merupakan sunnah para Rasul. Hal ini sejalan sebagaimana firman Allah dalam
QS. An-Nûr (24): 32 :
مآادب عن منيحلالص ومكنا مى ميالوا احكناو :ىلع ت اهللاالق عاسواهللا وقلىهلض فنم اهللا مهنغ يءآرقا فونوك ين اقلىمكئآماو )٤٢:٣٢/النور(.ميلع
Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (QS. An-Nûr (24): 32)6.
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 telah menegaskan tentang
perkawinan yakni merumuskan pengertian perkawinan, didalam pasal 1 tercantum
tujuan perkawinan dengan rumusan “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin
antara seorang wanita dengan seorang laki-laki sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” 7
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. II. h. 43. 6 Ibid, h. 43. 7 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 17.
4
Perkawinan bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak memiliki
arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan ini merupakan
realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam
penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir. Sesungguhnya naluri seks
merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya
jalan keluar, dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai
untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi
segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan
tenang menikmati barang yang halal.8
Hasrat biologis atau keinginan melakukan hubungan seks bagi suami isteri
adalah suatu fitrah dan rahmat yang patut disyukuri. Oleh sebab itu, perkawinan
sebagai sarana perkembang-biakan (untuk memperoleh anak keturunan), dimana
berketurunan merupakan realisasi dari misi manusia sebagai Khâlifâh yang akan
meramaikan dunia dalam rangka beribadah kepada Allah SWT dari masa ke
masa, karena kawin untuk memperoleh keturunan merupakan hal yang sangat
dianjurkan Rasûlûll’âh SAW. Oleh karena itu, tujuan perkawinan menurut agama
Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga
yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan
kewajiban anggota keluarga, serta terciptanya ketenangan lahir dan batinnya,
sehingga timbulah kebahagian.9 Oleh sebab itu, perkawinan merupakan suatu
8 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma’arif, 1980), cet. I. h. 19.
5
perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama maka antara suami istri
itu saling menyantuni, kasih mengasihi sehingga menciptakan keadaan aman dan
tentram penuh kebahagian baik moral, spritual dan materil.10
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan laki-laki dan
wanita yang sama aqidahnya, akhlak dan tujuannya, disamping cinta dan
ketulusan hati, dibawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-isteri akan
tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anakpun
sejahtera. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan
terwujud secara sempurna kecuali jika suami-isteri berpegang kepada agama yang
sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama
keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam
pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi
keagamaan, dan lain sebagainya.
Dalam Islam laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita musyrik.11
Seorang yang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama
Allah. Kata musyrik digunakan dalam al-qur’an untuk kelompok tertentu yang
mempersekutukan Allah, mereka adalah penyembah berhala.12 Seperti firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 221:
9 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), cet. I. h. 22. 10 H.S.A Alhamdani, “Risalah Nikah”, (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 26. 11 Muhammad Nasib al Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid II, (Jakarta: Gema Insani,
1999), h. 359. 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah Volume 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 473.
6
ةنمؤ مة مالوقلىنمؤى يت حآترشموا الحكن تالو: قال اهللا تعلىى ت حنيآرشموا الحكن تال وجمكتبجع اول وةآرش من مريخ كلئو اقلىمكبجع اول وكرش من مري خنمؤ مدبعلوقلىاونمؤي نيبي وجهنذا بةرفغمال وةنج اللى اآوعدياهللا وصلىار النلى انوعدي )٢٢١: ٢ /البقرة ( .نورآذت يمهلع لاسلنه لايت
Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah (2): 221)13.
Dalam kitab-kitab fikih umumnya, perkawinan antar pemeluk agama
masih dimungkinkan yaitu antara seorang lelaki muslim menikahi wanita
kitabiyah yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama Yahudi
dan Nasrani. Kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah, karena
wanita kitabiyah berpedoman pada kitab-kitabnya yang asli yang berasal dari
wahyu Allah.
Di Indonesia didalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dijelaskan
dalam pasal 2 ayat (1) bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 14 Sedangkan di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44 dijelaskan, bahwa seorang wanita
13 Kamal bin As Sayyid Salim, Edisi Lengkap Fiqih Sunnah wanita, (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), cet. I, h. 523.
14 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan, h. 17.
7
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak
beragama Islam,15 dari kedua pasal itu jelas menerangkan bahwa, antara calon
suami dan istri itu harus memeluk agama yang sama karena, bila calon suami
Kristen umpanya, berarti ia harus menikah dengan ajaran Kristen, dan bila calon
isteri beragama Islam berarti ia harus kawin berdasarkan hukum Islam. Karena
itu, bila laki-laki Kristen menikah dengan wanita muslimah atau sebaliknya, tanpa
menyamakan dahulu agamanya masing-masing, maka menurut undang-undang
perkawinan tersebut dianggap tidak sah atau batal demi hukum.16
Semestinya sesuai aturan yang ada, pernikahan beda agama tidak ada lagi
dan tidak dapat tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Kenyataannya
dilapangan pernikahan beda agama itu masih terjadi. Berdasarkan permasalahan
di atas, maka penulis merasa sangat perlu untuk mencoba meneliti memecahkan
permasalahan tersebut. Hal ini, yang penulis ingin telusuri, untuk itu di sinilah
pentingnya masalah ini di angkat menjadi judul. Dalam karya ilmiah ini penulis
mengemasnya dalam judul ”PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA
DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA).” (STUDI KASUS KANTOR
URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN CILANDAK.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
15 Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, h.29. 16 Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-
Sunnah, h. 35.
8
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, skripsi yang berjudul
”Pencatatan Pernikahan Beda Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) .
(Studi Kasus Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak) akan dibatasi
dari segi objek pembahasannya. Pencatatan Pernikahan yang dimaksud,
penulis membatasinya hanya pada ketentuan-ketentuan perkawinan yang
mengatur tentang pencatatan Pernikahan beda agama yang terjadi di Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cilandak.
2. Perumusan Masalah
Agar pembahasannya teratur dan sistematis maka perlu dirumuskan
beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis
adalah bagaimanakah sebenarnya Pencatatan Pernikahan beda Agama di
Kantor Urusan Agama (KUA) itu dapat terjadi. Adapun perincian
permasalahan penelitiannya sebagai berikut:
a. Bagaimanakah hukum Pernikahan Beda Agama dalam Fiqih Klasik ?
b. Bagaimanakah hukum Pernikahan Beda Agama dalam hukum positif?
c. Bagaimanakah Pernikahan Beda Agama dapat tercatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
9
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui dan menjelaskan gambaran teoritis hukum Pernikahan Beda
Agama dalam Fiqih Klasik.
b. Mengetahui dan menjelaskan gambaran substansi Pernikahan Beda
Agama dalam hukum positif.
c. Mengetahui dan menjelaskan sejauh mana Petugas Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) menerapkan aturan yang ada dalam Undang-undang
perkawinan, yang seharusnya Pernikahan Beda Agama sudah tidak dapat
tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
2. Manfaat Penelitian
a. Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganalisis ketentuan-
ketentuan aturan hukum yang terdapat dalam Fiqih Klasik, khususnya
ketentuan tentang hukum perkawinan.
b. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum
perkawinan yang ada, baik hukum Islam maupun hukum positif dalam
penerapannya di Masyarakat.
D. Metode Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan melakukan
pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan cara
mendekati masalah yang akan diteliti dengan memperhatikan dan melihat apakah
10
sesuatu itu lebih baik ataukah buruk, benar atau salah dan seterusnya berdasarkan
norma-norma agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Jenis penelitian skripsi ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas
subjektif , mencakup penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk
memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan. Selain itu
penelitian ini dikatakan jenis penelitian kualitatif karena objek penelitian ini
adalah isi/content dari aturan-aturan hukum Undang-undang perkawinan. Dan
dalam Penelitian skripsi ini juga menggunakan jenis penelitian kuantitatif jenis
penelitian lapangan (field research).
Data penelitian pada skripsi ini meliputi; sumber data dan jenis data. Data
yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder,
yaitu :
1. Data Primer
Pertama, data primer yang meliputi berkas-berkas Akta nikah yang
diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak.
Kedua, wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.
Cilandak.
Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkannya dengan masalah yang di kaji.
11
2. Data Sekunder
Pertama pada sumber data, sumber data primer terdapat pada Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kedua Instruksi Presiden No.
1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pasal-pasal
yang berkenaan dengan pencatatan perkawinan. Ketiga aturan hukum yang
ada dalam fikih Klasik khususnya yang berkenaan dengan Perkawinan Beda
Agama. Pada jenis data, jenis data yang dikumpulkan dalam skripsi ini adalah
jenis data kualitatif yaitu data yang tidak disuguhkan dalam bentuk angka-
angka, dalam hal ini data yang dikumpulkan tersebut berupa pemikiran yang
relatif.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. Menganalisis terhadap berkas Akta Nikah Kantor Urusan Agama (KUA)
Kec. Cilandak.
b. Interview atau wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan
penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan salah satu
responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu Kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) Kec. Cilandak.
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu
dengan menggunakan tekhnik studi dokumenter dan studi doktrinal. Adapun
metode analisis data yang digunakan adalah content analisys atau analisis isi.
12
Adapun tekhnik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU
PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007.
E. Penelitian yang Relevan
Skripsi yang berjudul Hukum Perkawinan Beda Agama Tinjauan: Agama-
agama yang di akui di Indonesia yang ditulis oleh Jamaludin , Program Studi Al
Ahwal Al Syakhsiyyah, konsentrasi Peradilan Agama tahun 2005. memang
terdapat beberapa kesamaan diantaranya sama-sama membicarakan Perkawinan
Beda Agama, namun tetap saja ada yang membedakan yaitu dalam skripsi yang
ditulis oleh Jamaludin tidak menyinggung tentang Aplikasi Perkawinan Beda
Agama di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
BAB I: Pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, studi review terdahulu dan sistematika penulisan.
BAB II: Perkawinan dalam Islam, Perkawinan Beda Agama dalam fikih
klasik, Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif.
13
BAB III: Deskripsi Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dalam perspektif sejarah, landasan dan kedudukan,
substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI),
BAB IV: Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak, Deskripsi
Permasalahan Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak, Analisis.
BAB V: Penutup yang meliputi; kesimpulan dan saran.
BAB II
DESKRIPSI TEORITIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Perkawinan dalam Islam
Islam diyakini umatnya sebagai agama yang membawa rahmat bagi
seluruh umat manusia (rahmâtan lil-’alamîîn). Seluruh ajarannya dimaksudkan
untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia. Sebagai agama
terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-
ajaran yang menyangkut akidah atau akhlak semata, tetapi juga memberikan
tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia,
salah satunya adalah hukum perkawinan.1
Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.
Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.2
Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullâh yang artinya perintah Allah
dan RasulNya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja,
karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah menjalankan
sebagaian dari syarî’ah agama Islam. Islam sebagai Agama fitrah, dalam arti
tuntunannya selalu sejalan dengan fitrah manusia, menilai bahwa perkawinan
1 Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), cet. I, h. 39. 2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 3.
14
15
وانكحوا االيا مى منكم والصلحين من عبادآم : قال اهللا تعلى )٤٢:٣٢/النور(... وامآئكم
Artinya : ” Dan Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…”(QS. An-Nûr (24): 32).
Dalam hal ini Allah SWT menyeru para wali agar mengawinkan orang-
orang yang masih sendirian (Laki-laki yang belum beristri dan perempuan yang
belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Laki-laki yang dibekali rasa
senang terhadap wanita begitu juga sebaliknya, dalam menempuh hidup di dunia
sebagai khâlifâh tidak dibiarkan hidup sekehendak nafsunya, akan tetapi diberi
aturan hidup bersama dengan pasangannya itu. Tujuannya agar mereka hidup
dengan tenang dan damai diliputi rasa kasih sayang yang dapat menghibur dikala
susah dan pemulih gairah dikala lelah. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam
firman-Nya QS. Ar-Rûm (21) : 21:
مكسفنا نم مكل قلخ نا هايت نمو: قال اهللا تعلى يتال كلذ في ان قلىورحمة مودة بينكم وجعل اليهاآلتسكنوااجواز )٢١:٢١/الروم(.نوركفتي موقل
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
3 M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an “Kalung Permata Buat Anak-anakku, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet. II, h. 55.
16
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rûm (21) : 21)4
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah
Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari
generasi ke generasi berikutnya. Hukum Islam juga ditetapkan untuk
kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik
untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Islam mengatur keluarga bukan secara
garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian
yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Dalam al-Qur’an dinyatakan
bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul
terakhir Nabi Muhammad SAW.
Pada hakekatnya, perkawinan adalah rasa cinta kasih, kewajiban,
pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dalam Islam, rasa cinta
kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan, bahkan merupakan motivasinya.
Sedang kewajiban dalam perkawinan adalah kerja sama kedua pihak, suami-isteri,
dalam mengarungi kehidupan. Dan inilah yang akan menjamin rasa cinta kasih
berikut perkembangannya, sebagaimana rasa cinta kasih itu sendiri menjadi
pendorong kuat bagi suami – isteri dalam melaksanakan kewajibannya masing-
masing. Kalau kita kembali kepada pokok syarî’ah untuk menafsirkan makna
kewajiban di dalam kehidupan suami - isteri , yang terlihat oleh kita adalah
4 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 7-15.
17
kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya.
Selain itu kita tidak melihat adanya suatu ketentuan yang membatasi tugas-tugas.
Hak-hak suami atas isterinya adalah sebanding dengan hak-hak isteri atas
suaminya, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-qur’an :
”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf.” Terbukti agama ini tidak menganggap memadai bila
dalam perkawinan hanya terdapat perasaan cinta kasih dan sayang saja. Lebih dari
itu, Islam menekankan kewajiban mempergauli isteri dengan baik. Hal ini
berdasarkan nash alqur’an : ”Dan pergaulilah mereka secara patut kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.”5
Islam menganjurkan seseorang berkeluarga karena dari segi batin orang
dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik. Demikian pula dari segi
ketentuan bertambah dan berkesinambungannya amal kebaikan, dengan
berkeluarga akan dapat dipenuhi.6 Pemenuhan harat seksual adalah kebutuhan
biologis manusia. Pada umumnya, kebutuhan itulah yang menjadi faktor utama
suatu perkawinan. Pemenuhan seksual adalah kenikmatan sekaligus kewajiban.
Oleh karena itu, seorang suami dan isteri berhak atas lainnya secara timbal balik.
Setiap dari keduanya berhak menuntut pihak lain yang mengabaikan hubungan
tersebut. Meninggalkan hubungan biologis dengan sadar dan sengaja oleh suami -
5 Al-Thahir Al-Hadâd, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), cet. IV, h. 59-60.
6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. I, h. 12.
18
isteri sama akibatnya dengan meninggalkannya karena ada halangan seperti
terkena penyakit menular yang susah disembuhkan, atau adanya cacat serius yang
menimpa salah satu pasangan suami - isteri sebelum akad perkawinan. Semuanya
dapat membatalkan perkawinan.
Adapun keturunan atau pengembangbiakan adalah kewajiban yang sangat
ditekankan kepada segenap kaum muslimin. Karena itu, Islam mengaharamkan
penggunaan alat-alat yang dapat mencegah kehamilan. Sebab tindakan itu sama
halnya dengan menghambat pengembangbiakan.7 Karena tujuan pernikahan tidak
lain agar manusia dapat melanjutkan keturunan, guna mewujudkan rumah tangga
yang mawaddah warrahmah (cinta dan kasih sayang) dalam kehidupan keluarga.8
B. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik
Perspektif Fiqh adalah sudut atau cara pandang fiqh terhadap perkawinan
beda agama. Perkawinan beda agama yang dimaksudkan di sini adalah
perkawinan antara seseorang yang beragama Islam (muslim, muslimah) dengan
non-muslim. Non Muslim (orang yang tidak beragama Islam) secara garis besar
dikelompokan ke dalam musyrik dan Ahli Kitab. Dalam Islam mereka yang
disebut musyrik adalah penyembah berhala dan mengimani tuhan lain di samping
Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan para Ahli-Kitab adalah mereka yang
menganut agama samâwi.
7 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’at & Masyarakat, h. 72.
8 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 3.
19
Dalam al-Qur’ân yang dimaksud dengan Ahli – Kitab adalah pemeluk
agama Yahudi dan Nasrani. Ada beberapa golongan yang berpendapat tentang
kedudukan bentuk hukum perkawinan tersebut. 9
1. Golongan Pertama
Termasuk kalangan Jumhur Ulama berpendapat bahwa perkawinan laki-
laki muslim dengan perempuan kitabiyah pada dasarnya adalah boleh (sah, halal).
sedang selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram. Hal ini berdasarkan pada
firman Allah dalam QS. Al-Maidâh (5) : 5 :
و انيذ الن منتصحمال ونتمؤم الن منتصحمالو :قال اهللا تعلى ري غنينصح منهروج انهومتي اتآذ امكلب قن متبكا الوت )٥:٥/المآئدة( نادخ ايذختم الو نيحافسم
Artinya: Allah SWT berfirman: ”Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik ...”( QS. Al-Maidâh (5) : 5).
Menurut mereka dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen. Pertama,
ayat ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli
kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita-wanita
Ahli Kitab yang muhsânât. Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk
rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunnya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat
penunjukan ayat ini terhadap hukum.
9 Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 39-41.
20
2. Golongan Kedua
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim haram hukumnya. Golongan ini dianut oleh Ibnû Umâr dan Syi’âh Imâmiâh. Mereka berdasarkan kepada QS. Al-Bâqârâh (2): 221:
وال مة مؤمنة قلىوال تنكحوا المشرآت حتى يؤمن :قال اهللا تعلى وال تنكحوا المشرآين حتى جلو اعجبتكمخير من مشرآة و
)٢:٢٢١/البقرة(. .. ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكمقلىيؤمنواArtinya : Allah SWT berfirman: ”Dan Janganlah kamu mengawini wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. (QS. Al-Bâqârâh (2): 221).
Kedua, QS. Al-Mumtâhânâh (60):10:
قلىارفكى الل انهوعجرتال فنتمؤ من هومتمل عناف :قال اهللا تعلى )٦٠:١٠ /ممتحنةال( ...نه لنولح يم هال ومه لل حن هال
Artinya : Allah SWT berfirman: ”Apabila kamu mengetahui bahwa mereka benar-benar wanita mukmin (muslim), maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada suaminya (yang non muslim), karena mereka (wanita muslimah) itu tidak halal menjadi isteri bagi mereka yang bukan muslim, sedang mereka yang bukan muslim) pun tidak halal menjadi suami bagi mereka (wanita muslimah)”. (QS. Al-Mumtâhânâh (60):10).
Bagi golongan ini, kedua ayat di atas melarang kaum mu’mînîn menikah
dengan perempuan musyrik.10 Ibnû Hâzâm berkata : Haram hukumnya wanita
10 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005), cet. I, h. 129-133.
21
musyrikah dikawini oleh laki-laki muslim. Dan orang kafir tidak boleh memiliki
budak laki-laki. Beragama Islam atau budak-budak wanita muslimah.11
Ibnû Umâr mengatakan, ketika ditanya tentang hukum mengawini
perempuan kitabiyah, yakni Nasrani dan Yahudi. ”Allah telah mengharamkan
(mengawini) perempuan musyrik atas orang mukmin dan saya tidak mengetahui
kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang ialah mengatakan
bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal ia adalah salah seorang dari hamba Allah.”
Ayat di atas jelas melarang umat Islam mengawini perempuan-perempuan kafir. Ahli-Kitab menurut mereka termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi mempertuhankan ’Uzair dan orang Nasrani mempertuhankan Isa Ibnû Maryâm, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah jika mereka tidak bertaubat kepadaNya sebelum mereka mati seperti yang disebutkan dalam QS. An- Nisa(4): 46.12
3. Golongan Ketiga
Golongan ketiga dalam hal ini tampaknya mencoba bersifat moderat.
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita Ahli Kitab hukum asalnya
halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain tampaknya ini
terkait dengan politik, Ibrahim Hosen menyebutnya dengan kalimat sighot tidak
menghendaki.
11 Abdul Mutaal Muhammad al-Jabary, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 7. 12 Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 43-44.
22
Selain itu, menikahi perempuan Ahli Kitab akan berbahaya, karena
dikhawatirkan kalau-kalau si suami akan terikat hatinya, apalagi setelah mereka
memperoleh keturunan (anak).13
C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif
Mengenai perkawinan beda agama Undang-undang No. 1 Tahun 1974
pasal 57 tidak mengatur secara jelas dan rinci permasalahan ini. Salah satu yang
diatur dalam pasal ini adalah mengenai perkawinan campuran.
1. Perkawinan Beda Agama sebelum UU No. 1 Tahun 1974
Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan campuran diatur dalam Regeling op Gemengde Huelijken Stbl
1898 No. 158, dinyatakan: ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-
hukum yang berlainan.” Sedangkan seperti halnya pengertian di atas, yang
dimaksud perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan
antara seorang pria dan wanita yang tunduk dan patuh kepada agama yang
berbeda.14
Sebelum Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda telah
mengumandangkan tentang peraturan perkawinan campuran yang dimuat
13 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
cet. I, h. 289-290. 14 Usman Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Serang: Saudara, 1995), cet. I., h. 33.
23
dalam Staats Blad 1898 No. 158. Pemerintah Hindia Belanda membuat
peraturan ini dilatar belakangi kondisi pada waktu itu dengan mobilitas
perdagangan yang tinggi. Dengan perdagangan yang semakin pesat, membuat
interaksi antar berbagai kelompok semakin tinggi juga.
Mobilitas kehidupan yang semakin kompleks itu, sehingga
berpengaruh terhadap proses asimilasi masyarakat. Akibatnya tak jarang
terjadi perkawinan beda agama diantara masyarakat, seperti perkawinan
antara Bumi Putra (Indonesia) dengan orang Tionghoa maupun dengan
golongan Eropa. Oleh sebab itu melihat kondisi sedemikian rupa. Pemerintah
Hindia Belanda mengundangkan peraturan Staats Blad No. 158 Tahun 1898
dengan penetapan Raja pada tanggal 29 Desember 1898 Nomor 23 tentang
perkawinan campuran.
Secara lebih tegas Sudargo Gautama menginterpretasikan.
”Perkawinan campuran diartikan semua perkawinan antar orang-orang yang
ada di Indonesia di bawah hukum yang berlainan, sebagai perkawinan
campuran. Dia menambahkan bahwa GHR tidak membedakan perkawinan
antar tempat di satu pihak dan perkawinan antar agama di lain pihak. Dia juga
menolak pendapat yang mengatakan GHR hanya berlaku pada perkawinan
antar agama.”15 Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa
perkawinan beda agama masuk dalam perkawinan campuran. Ia berpendapat
15 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung: Citra
Aditya, 1996), cet. 4., h. 177.
24
berdasarkan yurisprudensi melalui putusan MA RI No. 245 K/S?1953 tanggal
16 Februari 1953.
”Dalam hal seorang perempuan beragama Islam akan menikah dengan
seorang laki-laki yang beragama Kristen berlakulah peraturan Staats Blad
1898-158 yang dalam pasal 2 menentukan bahwa dalam hal ini harus ada
keterangan dari kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di tempat. Dan tidak
ada larangan untuk perkawinan itu, kepala KUA ini dianggap selaku
pengganti wali mujbir yang termasuk di atas. Sedangkan menurut pasal 7 ayat
(2) pemberian keterangan ini boleh ditolak berdasar atas perbedaan agama,
kebangsaan ataupun keturunan.”
Jika kita melihat kepada kedua pendapat di atas, menurut penulis
dalam GHR telah mengatur perkawinan antar tempat, antar agama maupun
antar golongan penduduk, seperti halnya orang Eropa dan orang Indonesia
yang kedua belah pihak berlainan kewarganegaraan dan agama.
2. Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka peraturan perundangan sebelumnya seperti GHR dan BW
(Buergelijk Wetbook), dinyatakan tidak berlaku lagi. Serta dinyatakan tidak
berlaku lagi sebagaimana bunyi pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974.16
16 Bunyi pasal : “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-undang hukum perdata BW, HOCI, GHR dan peraturan–peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku”.
25
Serta dengan berlakukanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974
pencatatan perkawinan campuran didasarkan pada Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pasal 2 PP Tahun 1975 menjelaskan bahwa instansi pencatatan
perkawinan di Indonesia hanya ada dua, yaitu pegawai pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang No.
22 Tahun 1954 yang dalam hal ini kantor urusan agama kecamatan dan yang
kedua pegawai pencatat pada kantor catatan sipil. Perkawinan campuran yang
dilakukan menurut agama Islam, pencatatannya harus dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah pada kantor urusan agama, sedang perkawinan campuran yang
dilakukan tidak menurut agama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai
pencatat pada pencatatan sipil.
Dengan demikian dua orang warganegara yang berbeda, jika mereka
hendak melakukan perkawinan menurut agama Islam maka pencatatannya
dilakukan di kantor urusan agama kecamatan. Akan tetapi jika mereka
melangsungkan perkawinan bukan menurut agama Islam maka pencatatannya
dilakukan oleh kantor catatan sipil.17
17 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, h. 152-155.
26
Namun tidak semua ahli hukum sependapat dengan uraian di atas.
Beberapa ahli hukum menilai UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara jelas
mengatur perkawinan beda agama maka keabsahan perkawinan beda agama
tetap dikembalikan kepada ketentuan GHR, walaupun perkawinan ini tidak
sesuai dengan ajaran agama masing-masing pihak. Dan perkawinan beda
agama mempunyai keabsahaan seperti halnya perkawinan campuran.
Jika kita mengacu pada ketentuan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974,
jelas dinyatakan ketentuan dalam GHR (Stb.1898/158) tidak dapat
diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah terdapat dalam UU
No. 1 Tahun 1974, GHR juga berbeda asas pedoman dengan undang-undang
ini. Yaitu asas keseimbangan hukum antara suami isteri yang dianut dalam
UU No. 1 Tahun 1974.18
Selanjutnya menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai
perkawinan beda agama menempatkan pada larangan perkawinan. Yang
menyangkut nikah lintas agama ada dua pasal yakni psal 40 (c) dan pasal 44.
dalam pasal 40 (c) menyatakan ”Dilarang melangsungkan perkawinan antara
wanita yang tidak beragama Islam”. Sedang pasal 44 menyatakan : ”seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam”. Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang
18 Asmin, Status Perkawinan antar Agama, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 68.
27
Islam kawin dengan orang yang bukan Islam, tanpa membedakan laki atau
perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah.
Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbeda dengan
pendapat Jumhur yang menghalalkan orang Islam kawin dengan wanita
kitabiyah. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terlihat sangat
menonjolkan kaidah Syaddu Al-Dzari’ah (menutup peluang). Kaitannya
adalah sesuatu hal yang dibolehkan atau dihalalkan, di mana terdapat resiko
tinggi karena dapat menimbulkan kerusakan yang fatal. Sikap Kompilasi
Hukum Islam (KHI) ini lebih kepada kehati-hatian sungguhpun halalnya
mengawini kitabiyah itu diakui oleh Jumhur dan sebagian para sahabat.
Tampaknya ulama Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI)
sepaham dengan kelompok yang melarang mengawini kitabiyah, hal itu tidak
berarti tidak sejalan dengan Qur’an tetapi memperhatikan kemaslahatan sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia.19
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa UU No. 1 Tahun
1974 benar-benar telah menutup perkawinan beda agama diberlakukan di
Indonesia sesuai dengan penjelasan pasal 2 ayat (1). Sehingga hukum
Indonesia untuk sekarang ini tidak mengakui keabsahan perkawinan beda
agama sebagai salah satu perkawinan yang diakui di Indonesia.
19 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, h. 145-147.
BAB III
DESKRIPSI KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Perspektif Sejarah
1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam literatur bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa
mengandung arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi,
keterangan-keterangan dan sebagainya.1 Istilah kompilasi berasal dari bahasa
Yunani, diambil dari perkataan “compilare” yang mempunyai arti
mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-
peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah ini kemudian
dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau “compilatie”
dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa
Indonesia menjadi “kompilasi” yang berarti terjemahan langsung dari dua
perkataan yang tersebut terakhir.
Dalam Kamus Bahasa Inggris seperti Kamus Webster ditulis
pengertian Compilation adalah Act or process of compiling. Berdasarkan
keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa
kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang
diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu persoalan tertentu.
1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h.453.
28
29
Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa
penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga
dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan
mudah.2
Adapun yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum Islam adalah
sebuah kitab yang berisi kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah atau garis-
garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan, hukum
kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.3 Dengan
demikian, Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu perwujudan hukum
Islam yang khas di Indonesia atau dengan kata lain Kompilasi Hukum Islam
merupakan wujud hukum Islam yang secara resmi berlaku sebagai hukum,
untuk dipergunakan dan diterapkan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat
yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan
dengan bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan.4
2. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam salah satu tulisannya mengenai perlunya Kompilasi Hukum
Islam (KHI), K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan Kompilasi
2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004),
h.10-11. 3 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan Hukum,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1995), h.79. 4 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), Cet. I., h. 9-37.
30
Hukum Islam (KHI) ini sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada
Pemerintahan orde baru. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di
Indonesia akan mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi
hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang
beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi
kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan
sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqh akan dapat diakhiri.5
Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama dari diadakannya
penyusunan kompilasi adalah karena kesimpangsiuran putusan dan tajamnya
perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.
Hal ini secara tegas dinyatakan, bahwa di Indonesia belum ada
kompilasi maka dalam praktek sering kita lihat adanya Keputusan Peradilan
Agama yang saling berbeda/tidak seragam, padahal kasusnya sama. Bahkan
dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap tidak
sepaham. Juga telah kita saksikan bahwa masalah fiqh yang semestinya
membawa rahmat ini malah menjadi sebab perpecahan. Dengan demikian,
yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat. Hal ini karena umat Islam
salah paham dalam mendudukkan fiqh di samping belum adanya Kompilasi
Hukum Islam (KHI).6
5 Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.104 (April 1986): h.
60. 6 Ibid., h.60.
31
Mengenai Kitab-kitab rujukan bagi Peradilan Agama pada dasarnya
adalah sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat
Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang
merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’âh di luar
Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa
untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara
maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar
mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab seperti Al Bayjuri, Fathul Muîn
dengan syarahnya, Syarqawî ’alâ al Tahrirî, Qulyûbî atau Muhallî, Fathul
Wahhâb dengan syarahnya, Tuhfah, Targhîb al Musytaq, Qawânîn al
Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya, Qawânîn al Syar’iyah Lisayyid
Sadaqah Dakhlan, Syamsuri lil Farâid, Bughyah al Mustarsyidîn, Al Fiqh ‘alâ
Madzâhib al ’Arba’ah, Mughni al Muhtâj. Materi tersebut kelihatannya
memang masih belum memadai, sehingga sering kali dikeluarkan instruksi
maupun surat edaran untuk menyeragamkan penyelesaian perkara kasus demi
kasus.7
Hal yang tidak kalah ruwetnya menurut Bustanul Arifin ialah, bahwa
dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka
peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak
yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang memang
7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.21-22.
32
tidak menguntungkannya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang
menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara ke 13 kitab
pegangan itu adalah telah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para
berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan. Peluang demikian
tidak akan terjadi di Peradilan Umum, sebab setiap keputusan Pengadilan
selalu dinyatakan sebagai ”pendapat pengadilan”. Situasi Hukum Islam yang
seperti ini menurut Bustanul Arifin yang mendorong Mahkamah Agung untuk
mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI).8
Masrani Basran berpendapat bahwa yang melatarbelakangi
diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah dikemukakannya tentang
adanya ketidakjelasan persepsi tentang syarî’ah dan fikih. Menurutnya bahwa
sejak ratusan tahun di kalangan umat Islam di seluruh dunia termasuk
Indonesia, terjadi kekurangjelasan atau kalau tidak dapat dikatakan
”kekacauan persepsi” tentang arti dan ruang lingkup pengertian syarî’ah Islam
dengan fikih, bahkan adakalanya dalam penetapan dan persepsi dianggap
sama pula dengan al Dîn. Maka terjadilah kekacauan pengertian di kalangan
umat Islam dan orang-orang yang diluar Islam. Karena syarî’ah Islam itu
meliputi seluruh bidang kehidupan manusia maka persepsi yang keliru atau
tidak jelas atau tidak mantap itu akan mengakibatkan pula kekacauan dan
8 Bustanul Arifin, Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks Perundang-undangan, Wahyu,
no.108 (Mei 1985): h.27-28.
33
saling menyalahkan dalam bidang-bidang kehidupan umat, baik kehidupan
pribadi maupun bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hal inilah yang menurutnya pada poin kedua harus diluruskan, yaitu
persepsi tentang syarî’ah harus diseragamkan tidak beraneka ragam lagi, harus
dikembalikan pada awal asalnya sebelum terjadi kemunduran berfikir.9 untuk
mengatasi kesulitan inilah menurut Masrani Basran dilaksanakan proyek
yurisprudensi Islam yang beruang lingkup mengadakan kompilasi hukum
Islam (KHI).
Selanjutnya Yahya Harahap menambahkan sisi lain yang masih
berkenaan dengan apa yang diungkapkan di atas. Ia menekankan pada adanya
penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran maupun
sarah ulama dalam menemukan dan menerapkan hukum. Dikatakan bahwa
para hakim di Peradilan Agama, pada umumnya sudah menjadikan kitab-kitab
fikih sebagai landasan hukum. Kitab-kitab fikih sudah berubah fungsinya.
Kalau semula kitab-kitab fikih merupakan literatur pengkajian ilmu hukum
Islam, para Hakim Peradilan Agama telah menjadikannya ”Kitab Hukum”
(perundang-undangan). Menurutnya, praktik penerapan hukum yang semata-
mata mendasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari sumber kitab-
kitab, benar-benar tidak dapat dipertahankan. Praktik yang seperti ini menurut
9 Masrani Basran, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.105 (Mei 1986): h.8-9.
34
pendapatnya menjurus ke arah penegakan hukum menurut selera dan persepsi
hakim.10
Sekilas beberapa pandangan yang dikemukakan berkenaan dengan
latar belakang diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
permasalahannya bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan
Pengadilan Agama.
3. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dari beberapa literatur yang penulis baca, ada tiga tahapan dalam
menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Penelitian
Metodologi yang dipergunakan dalam penyusunan Kompilasi
Hukum Islam itu disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu
penyusunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum sejenis ke dalam
sebuah kitab yang disusun ssecara sistematis. Untuk mengoptimalkan itu
semua, ditempuh berbagai jalan yang disebut jalur dan pendekatan
perumusan. Jalur pertama adalah jalur pengkajian kitab-kitab fikih Islam,
khususnya ketiga belas kitab fikih yang ditentukan oleh Biro Peradilan
Agama. Jalur kedua yaitu jalur ulama di sepuluh Ibukota Propinsi di
Indonesia. Para ulama ini diwawancarai dan ditanyai (melalui kuesioner)
berbagai hal yang akan dituangkan ke dalam kompilasi kelak dan
10 Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, dalam IAIN Syarif Hidayatullah, ed., Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), h.88-89.
35
menyatakan dukungan mereka atas usaha penghimpunan kaidah-kaidah
atau garis-garis hukum Islam.11 Jalur Ketiga yaitu jalur Yurisprudensi
Peradilan Agama yaitu dengan menghimpun putusan-putusan Pengadilan
Agama dari dulu hingga sekarang kemudian dibukukan. Jalur keempat
yaitu jalur Studi Perbandingan. Yaitu dengan mengadakan studi
perbandingan di negara-negara Islam lain, dan di negara-negara yang
seluruh atau sebagian besar penduduknya beragama Islam.12
b. Pengolahan Data
Hasil penelitian bidang Kitab, yurisprudensi, wawancara, dan studi
perbandingan diolah oleh tim besar proyek pembinaan hukum Islam
melalui yusrisprudensi yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek. Hasil
dari rumusan tim besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah tim kecil
yang merupakan tim inti berjumlah 10 orang. Setelah mengadakan
sebanyak 20 kali rapat, akhirnya tim kecil dapat merumuskan dan
menghasilkan 3 buku naskah rancangan kompilasi hukum Islam, yaitu :
Hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan.13
11 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II., h. 112-116.
12 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. I., h. 59-60.
13 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. I., h. 116.
36
c. Lokakarya
Lokakarya tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 s.d 6 Februari
1988 dimaksud untuk mendengarkan komentar akhir para Ulama dan
Cendikiawan Muslim. Pelaksanaan pembahasan naskah rancangan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada lokakarya tersebut dibagi dalam dua
Instansi yaitu sidang Pleno dan sidang Komisi. Sidang Pleno dihadiri oleh
seluruh peserta melakukan perbaikan umum, dan mengesahkan hasil
rumusan akhir lokakarya. Sidang komisi terdiri dari komisi hukum
perkawinan, komisi hukum kewarisan, komisi hukum perwakafan.14
Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang terdiri dari buku I tentang perkawinan, buku II tentang
kewarisan, dan buku III tentang wakaf mengalami penghalusan redaksi
yang intensif di Ciawi-Bogor yang dilakukan oleh Tim besar proyek untuk
selanjutnya disampaikan kepada presiden, oleh Menteri Agama dengan
surat 14 Maret 1988 No: MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan
dalam praktik di lingkungan Peradilan Agama.
B. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10
14 Tim Ditbinpera, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Departemen Agama RI
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Ditjen Binbaga Islam, Tahun 2000, h. 147-150.
37
Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan Presiden untuk memegang
Kekuasaan Pemerintahan Negara.
Instruksi Presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah disepakati tersebut.
Diktum keputusan ini menyatakan :
1. Menyebarkan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b. Buku II tentang Hukum kewarisan, c. Buku III tentang Hukum Perwakafan.
Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta tanggal 2-5 Februari 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
2. Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.
Landasan hukum yang kedua dari Kompilasi ini adalah Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991 No. 154 tahun 1991
Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991.
Dalam Diktum Keputusan Menteri tersebut disebutkan : 1. Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah
lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
2. Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan maslah-masalah di bidang hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan
38
kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya.
3. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam bidang tugasnya masing-masing.
4. Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
Pengaturan lebih lanjut adalah termuat dalam Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.
3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama
di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991.15
Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mempunyai tempat yang kokoh dalam sistem hukum Indonesia, walaupun di sisi
lain menurut hemat penulis masih ada beberapa kelemahan di antaranya dalam
konsideran terdapat susunan kalimat ”dapat digunakan sebagai pedoman”, yang
akan dapat menimbulkan kesan bahwa dalam masalah ini, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) tidak mengikat, artinya para pihak dan instansi dapat memakainya
dan dapat pula tidak memakainya. sehingga hal tersebut dapat menimbulkan
masalah. Lebih lanjut Inpres ini tidak mengikat seperti halnya undang-undang,
karena Inpres adalah penetapan yang tanpa meminta persetujuan DPR sehingga
kepastian hukum materil Peradilan Agama belum pada tahap maksimal.
15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.53-58.
39
C. Substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dianggap sebagai satu di antara sekian
banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih
positif bagi kehidupan beragamanya dalam rangka kebangkitan umat Islam
Indonesia. Atas prakarsa antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen
Agama melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) maka dibentuklah Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan
hasil ijma Nasional dalam bidang-bidang tertentu hukum Islam di Indonesia dari
berbagai golongan melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional
kemudian mendapat legalisasi dari Kekuasaan Negara.
Materi Hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
merupakan hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Materi atau bahan-bahan
hukum dimaksud telah diolah melalui proses dan metode tertentu, yang
berorientasi terhadap keadaan setempat (sosial, budaya dan kultur
kemasyarakatan Indonesia). Dengan kata lain, pertimbangan yang dilakukan oleh
para ulama dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan hanya
pertimbangan nas semata, akan tetapi juga kepada pertimbangan kahidupan nyata.
Adapun mengenai isi dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat
dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
40
1. Hukum Perkawinan
Sistematika kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai
berikut:16
a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1)
b. Bab II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasaal 2-10)
c. Bab III Peminangan (Pasal 11-13)
d. Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)
e. Bab V Mahar (Pasal 30-38)
f. Bab VI Larangan Kawin (39-44)
g. Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)
h. Bab VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)
i. Bab IX Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59)
j. Bab X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)
k. Bab XI Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)
l. Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84)
m. Bab XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)
n. Bab XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)
o. Bab XV Perwalian(Pasal 107112)
p. Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)
q. Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)
r. Bab XVIII Rujuk (Pasal 163-169)
s. Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170)
16 Ibid, h. 6-66.
41
Bilamana kita perhatikan kerangka sistematika tersebut ternyata ada
beberapa materi yang dapat digabung satu dengan yang lainnya dan ada pula
pengaturan yang seharusnya tidak perlu dimasukkan dalam satu bab
tersendiri.
2. Hukum Kewarisan
Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit
bilamana dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang telah
diuraikan di muka kerangka sistematikanya adalah sebagai berikut:17
a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171)
b. Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175)
c. Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)
d. Bab IV Aul dan Rad (Pasal192-193)
e. Bab V Wasiat (Pasal 194-209)
f. Bab VI Hibah (Pasal 210-214)
Dalam kompilasi Buku kedua ini, persoalan agama tidak ditemukan
apakah perbedaan agama akan menghilangkan hak waris.
3. Hukum Perwakafan
Bagian terakhir atau Buku Ke-III Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah tentang Hukum Perwakafan. Adapun sistematikanya adalah sebagai
berikut:18
17 Ibid., h.77-78.
18 Ibid., h.81.
42
a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215)
b. Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf (Pasal 216-222)
c. Bab III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf
(Pasal 223-224)
d. Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf
(Pasal 225-227)
e. Bab V Ketentuan Peralihan (Pasal 228)
Dalam Bab ini isinya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dua buku
terdahulu sehingga tidak banyak hal yang perlu dikomentari dalam bagian ini.
Selain itu, materi hukumnya juga sedikit berbeda, kalau materi hukum dua
buku terdahulu disebut sebagai materi hukum yang bersifat peka, sedangkan
mengenai perwakafan adalah termasuk dalam lapangan hukum yang bersifat
sedikit agak netral.
BAB IV
GAMBARAN UMUM PROFIL KUA KECAMATAN CILANDAK
A. Seputar Letak Geografis wilayah KUA Kec. Cilandak Kota Jakarta Selatan.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan masalah seputar nikah
beda Agama dan pencatatannya menurut Undang-undang no. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Pembahasan selanjutnya adalah dengan lebih memfokuskan
pada objek penelitian yaitu KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan.
Kantor Urusan Agama adalah Instansi terdepan Departemen Agama
Republik Indonesia di tingkat Kecamatan. Peran dan fungsi Kantor Urusan
Agama adalah melaksanakan sebagian tugas Kepala Kantor Departemen Agama
Tingkat Kotamadya d bidang Urusan Agama Islam.1
Kantor KUA Kecamatan Cilandak adalah pemekaran dari KUA
Kecamatan Kebayoran Lama , karena pada awalnya adalah berada di wilayah
Kecamatan Kebayoran Lama, akan tetapi sekarang terpisah dari KUA Kecamatan
Kebayoran Lama. Hingga pada akhirnya tanggal 21 Februari 1992 KUA
Kecamatan Cilandak diresmikan oleh Gubernur Kepala DKI Jakarta yaitu Bapak
Wiyogo Atmodarminto. KUA Cilandak sekarang ini terletak berdampingan tidak
jauh dengan Kantor Kecamatan Cilandak, tepatnya di Jl. KH. Muhasyim VII
1 KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Laporan Tahunan KUA Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2008, h. 1.
43
44
No.90 Kecamatan Cilandak, dengan luas wilayahnya 1.000 m² sedangkan luas
bangunannya ± 700 m².
Letak KUA Kecamatan Cilandak sangat strategis sehingga mudah
dijangkau oleh masyarakat, karena letak KUA tersebut berada di tengah-tengah
lingkungan masyarakat. Sehingga memudahkan masyarakat untuk datang
berkonsultasi menganai permasalahan perselisihan keluarga dan perkawinan.
Ruangan atau gedung tersebut sangat nyaman digunakan dalam aktivitas apapun
seperti bimbingan penyuluhan agama dan pemberian penjelasan pada masyarakat
yang berada di wilayah tersebut, khususnya dalam kehidupan rumah tangga dalam
perkawinan.2
KUA Cilandak terletak di bagian Selatan Ibukota Jakarta, yang terdiri dari
5 Kelurahan, yaitu:
1. Kelurahan Cipete Selatan dengan kode pos 12410,
2. Kelurahan Gandaria Selatan dengan kode pos 12420,
3. Kelurahan Cilandak Barat dengan kode pos 12430,
4. Kelurahan Lebak Bulus dengan kode pos 12440, dan
5. Kelurahan Pondok Labu dengan kode pos 1250.3
2 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan
Cilandak Tahun 2007-2008, h. 10-11. 3 Wikimedia Project, Cilandak Jakarta Selatan, artikel diakses pada 23 Maret 2010 dari
http://Letak Geografis Kecamatan Cilandak.com.html.
45
Sedangkan batas-batas wilayah Kecamatan Cilandak adalah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Jl. H. Nawi perbatasan dengan Kecamatan Kebayoran Baru.
Sebelah Timur : Kali Krukut perbatasan dengan Kecamatan Pasar Minggu dan
Mampang Prapatan.
Sebelah Selatan : Desa pangkalan jati perbatasan Kecamatan Limo Kabupaten
Bogor
Bagian Barat : Perbatasan dengan kali Pesanggrahan Kecamatan Kebayoran
Lama.
Luas wilayah Kecamatan Cilandak berdasarkan Keputusan Gubernur
KDKI Jakarta Nomor 1227 Tahun 1989 tanggal 8 September 1989 adalah
1.820.28 Ha atau 18,20 Km², dengan jumlah penduduk sebanyak 152.719 jiwa
sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 37.446 KK dengan tingkat
kepadatan penduduk 84 jiwa/Ha².4 Topografi wilayah KUA Kecamatan Cilandak
dari pusat Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yaitu dengan tingkat kemiringan
0,25 %, dengan ketinggian di atas permukaan laut ± 50 m.5 Berikut adalah
pembagian keadaan demografis masyarakat wilayah Kecamatan Cilandak:
4 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA Kecamatan Cilandak
Tahun 2006, h. 3-9. 5 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja,. h. 5.
46
1. Mobilitas Penduduk:
a. Kelurahan Podok Labu : 20,73 %
b. Kelurahan Lebak Bulus, : 18,66 %
c. Kelurahan Cilandak Barat, : 31,27 %
d. Kelurahan Gandaria Selatan, dan : 13,78 %
e. Kelurahan Cipete Selatan. : 15,56 %
2. Data Pemeluk Agama:
a. Pemeluk Agama Islam : 134,631
b. Pemeluk Agama Kristen : 9.776
c. Pemeluk Agama Katholik : 6.234
d. Pemeluk Agama Hindu : 1.208
e. Pemeluk Agama Budha : 5536
3. Luas wilayah
Luas wilayah Kecamatan Cilandak terbagi dalam 5 (lima) wilayah
Kelurahan yang terdiri dari:
NO KELURAHAN LUAS (km²) KK RT RW 1 Gandaria Selatan 1,76 4,344 74 7 2 Cipete Selatan 2,37 7,099 75 7 3 Cilandak Barat 6,05 9,709 144 12 4 Lebak Bulus 4,41 6,161 72 8 5 Pondok Labu 3,61 7,455 96 107
6 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA,. h.. 9-21. 7 Badan Perencanaan Daerah DKI Jakarta, Kotamadya Jakarta Selatan, artikel diakses pada 23
Maret 2010, dari http://Wikimedia.blogspot.com/2005/06/Bapeda DKI Jakarta.html.
47
4. Sarana Ibadah
Sarana peribadatan merupakan tempat pelaksanaan ibadah umat. Jumlah
sarana peribadatan di wilayah Kecamatan Cilandak masih sesuai dengan kondisi
masyarakat. Berikut ini jumlah sarana peribadatan yang ada di wilayah
Kecamatan Cilandak, sebagai berikut:
NO SARANA IBADAH JUMLAH 1 Masjid 49 2 Musholla 115 3 Majelis Ta’lim 132 4 Pesantren 3 5 Gereja Protestan 6 6 Gereja Katolik 4
J U M L A H 3058
5. Struktur Organisasi dan Tugas Wewenang KUA Kecamatan Cilandak
Kedudukan KUA Kecamatan adalah Instansi vertikal Departemen Agama
yang berada di bawah dan tanggungjawab langsung Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota. Kedudukan organisasi ini sesuai dengan Kep. Men. Ag
(Keputusan Menteri Agama) No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi
Kantor Urusan Agama Kecamatan. Dalam melaksanakan tugasnya Kantor Urusan
Agama Kecamatan Cilandak menyelenggarakan fungsinya yaitu:
8 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan
Cilandak, h. 18
48
a. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi,
b. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan
dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan,
c. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid,
zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan
keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, struktur organisasi KUA Kecamatan Cilandak adalah
sebagai berikut:9
Kepala KUA : Drs. Mudhofar
Pengawas Pendais TK dan SD/MI : Drs. H. Qomaruzzaman
Hidayat. S. Ag
Hj. Armen Jamil
Tata Usaha : Handoko, A.md
Penyuluh Agama : Saidah, M.A
Hj. Siti Rofiko
Fadil Ajhari
Hindun, S.Hi
Naib, S.Pdi
9 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 417-419.
49
Keuangan : Didik Tobaryati
Resepsionis : Yani Nuryani, SH
Peng. Adm. NR & Bin Win : Drs. Abd. Ghofur
M. Nur Salim
Sukmawati
Sri Marwila
Peng. Adm. Kemasjidan dan Wakaf : Rokib
Abd. Nasir
H. Nahdhory, HS
Ibsos & Baitul Maal : Drs. H. Arsudin
Sidup Umar, SH
Sutikno
Nurul Wahyu
Keamanan : Jayadi
Pramu : Romdoni
Visi yang diterapkan di KUA Kecamatan Cilandak adalah “Unggul Dalam
Rangka Mewujudkan Umat Beragama Yang Berkualitas dan Partisipatif di
Wilayah KUA Kecamatan Cilandak”. Visi ini dijabarkan dalam misi KUA
Kecamatan Cilandak sebagai berikut:
- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Teknis dan Administrasi Nikah/Rujuk
- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Keluarga Sakinah
- Meningkatkan Pelayanan Ketatausahaan
50
- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kemitraan Umat
- Meningkatkan Kualitas Bimbingan Sosial
- Meningkatkan Kualitas Administrasi Keuangan
- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Produksi Halal10
Adapun Program kerja KUA kecamatan Cilandak Tahun 2009 diantaranya
adalah:
a. Bidang Ketatausahaan; Peningakatan pengadministrasian pelaksanaan
ketatausahaan, pemantapan Administrasi dan statistik.
b. Bidang Administrasi Nikah dan Rujuk: Peningakatan pelayanan nikah dan
rujuk serta mengantisipasi kasus-kasus yang mengganggu kualitas kepastian
hukum penacatatn perkawinan.
c. Pengadministrasian Keluarga sakinah dan BP4: Pengadministrasian Badan
Penasihatan Pembinaan dan Peletarian Perkawinan (BP4).
d. Pengadministrasian Zakat dan Wakaf.
e. Pengadministrasian Ibadah sosial dan Baitul Mal: Pengadministrasian dan
peningkatan fungsi serta peran masjid dan musholla dalam rangka kegiatan
peribadatan dan pembinan umat.
f. Pengadministrasian kemitraan: Pengadministrasian pembinaan pengamalan
Agama Islam (P2A)11.
10 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA, h. 24. 11 KUA Kecamatan Cilandak, Program Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak
Tahun 2009, h. 3-8.
51
B. Deskripsi Permasalahan Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak
Pentingnya arti sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan
dengan masalah mua’malah sangatlah urgen, Islam sebagai agama yang sempurna
telah terlebih dahulu memerintahkan kepada para pemeluknya untuk mencatatkan
setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :
ى مس ملجلى ا انيد بمتنايدا تذ اآون امنيذا الهييا :قال اهللا تعلى )٢:٢٨٢/البقرة(...لدعال بمبات آمكني ببتكيل وقلىهوبتاآف
Artinya: Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).
Islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk mempermudah segala
sesuatu dan bukan malah mempersulit sesuatu apalagi dalam hal ini menuju
kepada suatu kebaikan dan cita-cita yang mulia yaitu demi melangsungkan dan
menggapai sebuah mahligai pernikahan yang disunnahkan dalam Islam. Dalam
hal ini Negara mewajibkan adanya pencatatan dalam setiap pernikahan bagi
warga negaranya bukanlah untuk mempersulit warganya akan tetapi justru
melindungi hak-hak warga tersebut demi terciptanya kenyamanan dan ketertiban
masyarakat. Atas dasar itulah dapat penulis simpulkan bahwa pencatatan memang
sangat diperlukan dan urgen dalam segala peristiwa antara satu orang dengan
orang lain (masalah mua’malah) dalam hal ini kaitannya dengan masalah
pernikahan .
52
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan merupakan lembaga pencatat
pernikahan yang bertugas mendaftarkan dan mengurus kelengkapan administrasi.
Lembaga ini bernaung dibawah Departemen Agama RI dan melaksanakan tugas
berdasarkan peraturan pemerintah, baik Peraturan Menteri Agama maupun SK
Gubernur. Meskipun tugas (Kantor Urusan Agama (KUA) terbatas hanya kepada
wilayah kecamatan saja, akan tetapi di wilayah kecamatan itu-lah peran sentral
Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai ujung tombak dan cerminan Departemen
Agama secara umum.12
Berdasarkan Lampiran Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 pasal (2)
ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
mekanisme pencatatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor: 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, yang menyatakan;
Pasal 2
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam,
dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.13
12 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan
Cilandak, Tahun 2007, h.2 13 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 17-142.
53
Akan tetapi realita yang terjadi sekarang ini adalah dua orang yang
berbeda agama yang ingin melangsungkan pernikahan dapat dinikahkan menurut
tata cara agama Islam dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.
Sebelum membahas hasil penelitian dengan menganalisa seluruh data dan
fakta di lapangan, penulis melakukan tahap pengolahan data dan penafsiran data
dengan melakukan wawancara kepada mantan Kepala Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Cilandak Bapak Drs. H. Qomaruzzaman yang ketika menjabat
beliau menikahkan dua orang yang berbeda agama dengan tata cara Islam dan
tercatat secara sah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cilandak. Berikut
ini adalah berkas-berkas data yang diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA)
Kec. Cilandak:
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
Wawancara dengan mantan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.
Cilandak.
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. H. Qomaruzzaman.
1. Bagaimanakah menurut Bapak tentang Kontroversi Perkawinan Beda Agama?
Kemudian beliau menjawab: Menurut saya, jika kita merujuk kepada Undang-
undang Nomor: 1 tahun 1974 disitu dikatakan bahwa Pernikahan dapat
terlaksana jika orang tersebut sama-sama satu Agama, yaitu (Islam). Jika
orang tersebut berbeda Agama tidak dapat dinikahkan, dan di dalam fiqh
pernikahan beda Agama itu terjadi Ikhtilaf dikalangan para Ulama.14
2. Lalu, Bagaimana Bapak dapat melangsungkan pernikahan orang yang berbeda
Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak?
Beliau menjawab: Ketika itu awalnya Saya mendapatkan surat perintah dari
Direktur URAIS Departemen Agama RI (Bapak Dr. H. Ichtijanto SA, SH,
MA) untuk dapat melaksanakan pernikahan dua orang yang berbeda Agama
menurut hukum Islam, dicatat menurut Undang-undang Nomor: 22 tahun
1946 dan dilangsungkan oleh Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak. Lalu,
Saya katakan kepada beliau: Bapak saya tidak berani melaksanakan
pernikahan tersebut karena bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan
Nomor: 1 tahun 1974 yang berlaku pada masa sekarang.15
14 Qomaruzzaman, Mantan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak, Wawancara
pribadi, Tangerang, Senin, 18 Januari 2010 15 Ibid.
79
3. Kemudian, Apa yang menjadi dasar hukum atau alasan kuat Bapak, sehingga
mau dan berani melangsungkan pernikahan orang yang berbeda Agama
tersebut menurut hukum Islam dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kec. Cilandak?
Lalu, beliau menerangkan: Ketika ada perintah untuk dapat
melangsungkan pernikahan dua orang yang berbeda Agama tersebut, ketika itu
awalnya Saya menolaknya. Saya tidak berani melangsungkan pernikahan orang
tersebut, karena Saya tetap bersikeras menolak melangsungkan pernikahan
tersebut, yang akhirnya Saya dipanggil ke Kantor Departemen Agama Kota
Jakarta Selatan, setelah itu dipanggil ke Kanwil Prov. DKI Jakarta sehingga
akhirnya Saya dipanggil ke Departemen Agama RI Pusat, untuk menghadap
bertemu dengan Bapak Direktur Urais Departemen Agama RI (Bapak Dr. H.
Ichtijanto SA, SH, MA) Kemudian beliau mengatakan kepada Saya: Bapak
Qomaruzaman, ini ada surat dari Bridgjen Jenderal Purnawirawan H. Soemarno
Soedarsono, tolong laksanakan dan catatkan Pernikahan anaknya di Kantor
Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak. Lalu, Saya katakan kepada beliau, Bapak
Saya tidak berani menikahkan orang tersebut, karena bertentangan dengan aturan
yang berlaku sekarang ini. Lalu, Bapak Direktur memerintahkan kepada Saya lagi
untuk dapat melaksanakan perintah tersebut. Karena Bapak Direktur
Memerintahkan terus menerus kepada Saya dan selaku bawahan yang mendapat
perintah dari Atasan atau Pimpinan, Saya harus taat akan perintah tersebut.
80
Lalu, Saya katakan kepada Beliau (Bapak Direktur URAIS): Bapak, Saya
berani melaksanakan Pernikahan tersebut akan tetapi, tolong buatkan surat
perintah Saya atau surat tugas Saya, untuk dapat menikahkan dan mencatatkan
pernikahan orang yang berbeda Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.
Cilandak, dan surat perintah atau surat tugas ini untuk pegangan Saya, manakala
sewaktu-waktu ada yang memprotes atau sewaktu-waktu ada yang menggugat
Saya, karena masalah Pernikahan ini. Dan inilah dasar hukum atau alasan yang
saya tempuh dan Saya ambil sehingga Saya berani menikahkan pernikahan
tersebut. Selain itu, Saya juga berdasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-
Maidâh (5) : 5 :
نت من الذين او والمحصنت من المؤمنت والمحص :قال اهللا تعلىتوا الكتب من قبلكم اذآ اتيتموهن اجورهن محصنين غير
)٥:٥/المآئدة( ... مسافحين وال متخذي اخدانArtinya: Allah SWT berfirman: ”Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik...”( QS. Al-Maidâh (5) : 5).
Maka menurut Saya ini adalah hujjah Saya, maka inilah yang Saya sebut
adalah Hujjah Bil Kitabah yaitu yang mengacu kepada apa yang tertuang dalam
Undang-undang nomor: 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk dan juga berdasarkan kepada al-Qur’ânul Karîîm serta dengan mengacu
81
kepada perintah atasan atau pimpinan.16 Sebagaimana firman Allah SWT dalam
QS. An-Nisâ (4) : 59 :
طيعوا الرسول يايها الذين امنوآ اطيعوا اهللا وا :قال اهللا تعلى )٤:٥٩/النساء ( ...واولى االمر منكم
Artinya : Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”( QS. An-Nisâ (4) : 59).
4. Sekarang saya bertanya kepada Anda: Apakah ada nasakh mansukh tidak dalam
Undang-undang ini. Misalnya tidak ada atau dikatakan ada. Kalau misalnya tidak
ada berarti Undang-undang ini berlaku. Akan tetapi, jika ada berarti Undang-
undang ini kalah. Akan tetapi, kita balik hukum Syari’at Islam saja nasakh
mansukh Ikhtilaf, apalagi Undang-undang hukum dunia. Kemudian Saya jelaskan
kepada Anda, kalau Kalamullah itu Qodim, tidak mengenal nasakh mansukh,
meskipun di dalam Ulumul Qur’an ada nasakh mansukh, tetapi Saya boleh
mengambil sikap.
Saya tidak sependapat adanya nasakh mansukh, Saya lebih condong
kepada Ulama yang mengatakan nasakh mansukh itu tidak ada, tetapi yang terjadi
adalah Littaqwiyah (Saling menguatkan). Artinya saling menguatkan Undang-
undang sebelumnya dengan Undang-undang yang ada sekarang ini. Terserah mau
Saya disalahkan atau tidak ini dalilnya, ini hujjah Saya yang Saya jadikan dasar
hukum Saya, atas dasar perintah Pimpinan juga Saya mau menikahkan dua orang
16 Ibid.
82
yang berbeda Agama, dan menurut Saya ini adalah Yurisprudensi sebagai
landasan hukum Saya.17
5. Bagaimana halnya dengan masalah Pencatatan Pernikahan Beda Agama itu
sendiri di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak menurut Bapak?
Kemudian beliau menjelaskan: Syari’at Islam saja masalah nasakh
mansukh ikhtilaf apalagi Undang-undang hukum dunia. Yang jelas Syari’ât Islam
mengatakan sah pernikahan itu dan dicatat. Kenapa menolak pencatatan, kan’
orang tersebut minta perlindungan hukum. Sebagai warganegara perlu
menghendaki perlindungan hukum, mohon dilindungi oleh hukum, Undang-
undangnya ini (Undang-undang nomor: 22 tahun 1946),18 dan Ulama sendiri ada
yang berpendapat membolehkan pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahlu
Kitab diantaranya: Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’I
maupun Hambali, mereka berpendapat seorang pria muslim diperbolehkan kawin
dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara Islam
(Ahli Dzimmah). Jumhur Ulama mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah
dalam Q.S.al Maidâh (5) : 5.
Selain itu, diantara sahabat yang kawin dengan ahli kitab adalah Usman
bin Affan yang mengawini Nâilâh binti al-Ghârâmidâh seorang wanita beragama
Nasrani, yang kemudian akhirnya masuk Islam.19
17 Ibid.
18 Ibid.
19 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h. 11
83
6. Awalnya Bapak menolak menikahkan orang yang berbeda Agama, yang
kemudian akhirnya Bapak dipanggil ke Kantor Departemen Agama Kota Jakarta
Selatan, setelah itu dipanggil ke Kanwil Prov. DKI Jakarta sehingga akhirnya
Bapak dipanggil ke Departemen Agama RI Pusat, bagaimana lalu akhirnya semua
itu dapat terjadi dan terlaksana?
Saya berpikir moderat, walaupun Saya mantan santri, tetapi Saya tidak
mau dengar pendapat santri dulu. Berani berbuat maka Saya berani bertanggung
jawab, karena Saya berpikir fiqih itu dinamis akan selalu berubah tidak tetap.
Ketika itu, Kepala Bidang yang kesana kemari mengurus masalah ini. Kepala
bidang waktu itu Bapak Arifin Nurdin. Bapak Arifin Nurdin ini waktu itu juga
kalang kabut, tetapi Bapak Arifin Nurdin ini model Saya punya pemikiran yang
moderat, seperti yang Saya jelaskan sebelumnya sehingga akhirnya Saya berani
menikahkan orang yang berbeda Agama.20
C. Analisis Yuridis Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di Kantor
Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak.
Pada masa Rasulullah SAW dan pada masa para sahabat sesudahnya,
kenyataan di lapangan membuktikan adanya praktek sebagian sahabat yang
mengikat tali pernikahan kepada para perempuan Ahlu Kitab. Keberanian
sebagian sahabat yang mengadakan ikatan pernikahan kepada perempuan-
20 Qomaruzzaman, Mantan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak, Wawancara
pribadi.
84
perempuan Ahlu Kitab memang mendapat legalitas ketentuan ayat dalam QS. Al-
Maidâh (5) : 5 :
والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين او :قال اهللا تعلىتوا الكتب من قبلكم اذآ اتيتموهن اجورهن محصنين غير
)٥:٥/المآئدة( ... مسافحين وال متخذي اخدانArtinya: Allah SWT berfirman: ”Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik...”( QS. Al-Maidâh (5) : 5).
Kelompok yang berpendapat boleh menikah kepada wanita Ahlu Kitab beragumentasi ayat al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 5. berdasarkan sitiran ayat secara literal menyebut kata-kata boleh:
والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين او .. مك للحا( ..
.).توا الكتب من قبلكم Kehalalan dan kebolehan menikahi perempuan Ahlu Kitab didukung pula
oleh af’al (praktek), kelompok yang membolehkan adalah Jumhur Ulama
(Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Mereka menggariskan
kebolehan itu terhadap wanita Ahlu Kitab yang berada dalam lindungan Negara
Islam (Ahlu al-Dzimmah). Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa pria
Muslim tidak boleh menikahi wanita Ahlu Kitab adalah golongan Syi’ah
Imamiyah dan Zaidiyah. Mereka berdasarkan pada firman Allah SWT dalam QS.
Al-Baqârâh (2): 221:
)���:٢/البقرة( ...وال تنكحوا المشرآت حتى يؤمن :قال اهللا تعلى
85
Artinya : Allah SWT berfirman: ”Dan Janganlah kamu mengawini wanita musyrik, sebelum mereka beriman ...” (QS. Al-Baqârâh (2): 221).
Kelompok ini berpendapat, bahwa para wanita Ahlu Kitab termasuk kafir,
karena mereka telah menyekutukan Allah. Pandangan ini berdasarkan riwayat
Ibnu Umar yang ditanya tentang hukum menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Ia
mengatakan: “Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi
pria musyrik, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada
anggapan seorang wanita Nasrani yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah ‘Isa,
atau Uzair , padahal mereka hanyalah seorang manusia dan hamba Allah.
Bantahan terhadap klaim kebolehan menikahi perempuan Ahlu Kitab
dilontarkan oleh mereka yang menafsir kat Kata tersebut mengandung . ..)من قبلكم(
kebolehan dengan sifat terbatas dan khusus yaitu ”perempuan-perempuan Ahlu
Kitab” yang hidup sebelum diturunkannya ”ar Risalah al-Muhammadiyah”.
Adapun mereka yang tergolong Ahlu Kitab sesudah risalah tersebut bukan
termasuk ke dalam konteks ayat Q.S. al-Maidah (5) ayat 5.21 Golongan ini
berpendapat, bahwa para wanita Ahlu Kitab termasuk kafir, karena mereka telah
menyekutukan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-
Mumtahânâh (60): 1:
)٢٠:١٠/ الممتحنة ( ...بعصم الكوافر تمسكوا وال :قال اهللا تعلى
21 Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan
Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), cet. I., h. 79-83.
86
Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan para wanita kafir ...” (QS. Al-Mumtahânâh (60): 10).
M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengutip
pendapat yang dikemukakan oleh Al-Maududi mengenai perbedaan pendapat
tentang cakupan makna Ahli Kitab, yaitu:
Imam Syafi’i, memahami istilah Ahli Kitab sebagai orang-orang Yahudi
dan Nashrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain
yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani. Alasan beliau antara lain bahwa
Nabi Musa dan Nabi Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-
bangsa lain. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum
yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau
kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahli Kitab, tidak terbatas
pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nashrani.
Disamping kedua pendapat tersebut ada pendapat dianut oleh sebagian
kecil Ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki
kitab yang dapat di duga sebagai kitab suci (samawi) maka mereka juga dicakup
oleh pengertian Ahli Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.22
Penulis berkesimpulan bahwa al-Qur’an tidak secara eksplisit mengakui
Yahudi dan Nashrani sebagai agama dalam artian al-din atau din Allah. Juga tidak
ada satupun ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa Nabi Musa menyampaikan
ajaran Yahudi, dan Isa menyampaikan agama Nashrani. Status keagamaan Yahudi
22 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005), cet. I., h. 139.
87
dan Nashrani paling sedikit diperselisihkan oleh para ahli ilmu agama, sekurang-
kurangnya ahli ilmu agama Islam. Bahkan cukup banyak ayat al-Qur’an yang
mengkafirkan Ahli Kitab. Misalnya dalam QS. Al-Bayyinâh (98): 1:
والمشرآين الكتاب أهل من آفروا الذين يكن لم: قال اهللا تعلى )1: 98/البينة( .البينة تأتيهم حتى منفكين
Artinya : Allah SWT berfirman: ”Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al-Bayyinâh (98): 1).23
Ketika hal itu sudah tsabat (kuat), lalu yang lebih utama hendaknya tidak
menikahi wanita kitabiyah (Ahli Kitab), karena suatu ketika Umar berkata,
”Talaklah mereka,” maka mereka pun menalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar
berkata kepadanya (Hudzaifah), ”Talaklah.” Dia (Hudzaifah) berkata, ”Anda
bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?”
Umar berkata, ”Dia itu jamrah (batu bara aktif), talaklah dia,” (Hudzaifah)
berkata, ’Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?”
Umar berkata, ”Dia itu Jamrah.”
Hudzaifah berkata, ”Saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia
bagiku halal. Maka setelah itu ketika Hudzaifah menalaknya (wanita Kitabiyah).
Ia ditanya (orang), kenapa kamu tidak menalaknya ketika kamu disuruh Umar?”
Hudzaifah berkata, ”Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa
aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku, dan karena barangkali
23 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan
Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. I., h. 125.
88
hati Umar cenderung kepadanya (wanita Kitabiyah itu) memfitnah/menguji Umar,
dan barangkali di antara keduanya ada anak maka cenderung kepadanya (wanita
Kitabiyah).24
Berdasarkan kedua pandangan yang terlihat secara kontradiktif, penulis
lihat sisi perbedaan itu memiliki titik kesamaan dari sudut tujuan. Bagi mayoritas
Ulama yang memandang boleh menikahi perempuan Ahlu Kitab sebagaimana
Q.S. al-Maidah (5) ayat 5 dapat dimaknakan sebagai misi dakwah melalui cara
menikah kepada mereka. Dengan menikahi Ahlu Kitab diharapkan dapat menarik
sang Istri ke dalam agama Islam, dan dengan jalan tersebut jumlah umat Islam
bertambah banyak seperti isyarat sabda Nabi SAW:
رواه . (مةالقيا مو يد فإ نى مكا ثر بكم االنبياءولوالدودو االوجوزت )احمد
Artinya : Diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a. bahwa Nabi SAW. Pernah bersabda: Kawinlah wanita yang pecinta lagi bisa beranak banyak (bibit unggul), agar nanti aku akan dapat membanggakan jumlahmu yang banyak itu di hadapan para Nabi di hari kiamat kelak. (HR.Ahmad)25
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak membolehkan bahkan mengharamkan
pernikahan kepada perempuan Ahlu Kitab dapat dimaknakan sebagai langkah
preventif terseretnya pria Muslim ke dalam agama perempuan Non Muslimah
yang berarti mengurangi jumlah umat Islam.
24 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2007), cet. I., h. 112. 25 Imam al-Hafizh Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), Cet.
II., h. 180.
89
Dari sisi lain, kelompok yang membolehkan ini seakan menegaskan
adanya kesinambungan tugas dakwah yang tidak pernah berakhir, sehingga
dengan cara menikahpun dapat pula dilakukan, dan pandangan semacam ini
ternyata didapati juga pada pemikiran kelompok yang melarang terjadinya
pernikahan terhadap perempuan Ahlu Kitab dengan stetemen ”demi dakwah dan
ibadah sebagai komponen utama hidup di dunia, wajib ditinggalkan keinginan
syahwat berupa menikah kepada perempuan cantik berlainan aqidah.” apabila
dengan tidak menikahi perempuan Ahlu Kitab, misi dakwah Islamiyah terwujud,
maka menghindarinya pun bernilai ibadah walau harus berkorban hati.
Senada dengan pemahaman ini, Ibrahim Hosen seorang Tokoh Ulama
Indonesia (Ketua MUI) periode 2000-an dan sebelumnya mengkemas dalam
bahasa Sîyasah Syar’îyah bahwa kebolehan tersebut tidak dikehendaki, demi
terpatrinya ikatan Ukhuwah Islamiyah.26 Penulis memahami statemen di atas
sebagai langkah antisipatif bagi aqidah kaum Muslimin dan dari sisi lain
menegaskan kuantitas umat seperti yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a. Nabi
SAW bersabda :
)رواه احمد. (القيامة مفإ نى مكا ثر بكم االنبياء يو”Bahwa Saya akan berbangga dengan kuantitas umatku di hadapan umat
lainnya...” (HR.Ahmad)
26 Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan
Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, h. 83-125.
90
Penamaan perkawinan antar agama untuk perkawinan antara orang-orang
yang berbeda agama, menurut pendapat penulis adalah salah. Karena, tidak
mungkin ada perkawinan antar agama Islam dengan agama Nasrani, misalnya.
Kendatipun kedua-duanya termasuk ke dalam kategori agama samawi yakni
agama yang diturunkan dari langit, namun dalam perkembangan kemudian
aqidahnya menjadi sangat berbeda (menganut paham Trinitas). Islam adalah
sebagai agama samawi terakhir, ajarannya tentang Keesaan Allah, tetap tidak
berubah-ubah, tauhidnya tetap murni dan konsekuen dipahami, dipelihara dan
dijalankan oleh pemeluknya kaum muslimin dan muslimat diseluruh dunia.27
Bagi seorang Muslim yang terseret aqidahnya oleh Non Muslimah berarti
mengurangi kuantitas umat yang masih dalam proses menuju kematangan dalam
berislam. Tugas kita yang dikategorikan sebagai ”Para Ahli” adalah
mematangkan pemahaman para saudara Muslim lain terhadap ajaran Islam.
Perluasan makna itu termasuk menyebarkan kedalaman ilmu kita kepada saudara
sesama Muslim. Bahwa hakikat hidup seperti sitiran al-Qur’an adalah ”Ibadah”
dan itu berarti ”berislam”. Sepanjang nafas berhembus, sepanjang itu pula kita
ditaklif untuk beribadah dan bukan mendangkalkan pemahaman saudara Muslim
yang lain.28
Menurut hemat penulis, dengan pemahaman semacam ini dua kubu yang
selalu dirivalkan secara berlawanan dapat dijembatani secara bijak. Kebijakan
27 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama) (Kumpulan Tulisan), (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 55-56. 28 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama
dan Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, h. 126.
91
tersebut tentu akan bernilai ibadah manakala para pihak yang berstatus pengikut
tidak mendasarkan kepentingan sesaat dengan berlindung di balik kubu fuqaha
tetapi berbeda tujuan. Pendukung kebolehan kawin antar pemeluk agama ini
selalu kembali kepada literal ayat dan bukan kontekstual ayat. Padahal bukan
rahasia umum bahwa ”para ahli” tersebut lebih mengangungkan kontekstual
ketimbang tekstual, dan pada gilirannya justru sandaran empuk selalu ayat yang
disitir secara literal dengan dukungan pendapat mayoritas ulama yang semestinya
dielabor lebih lanjut pemaknaan unsur kebolehan itu, dan seharusnya patut dikaji
ulang mereka yang terlibat langsung sebagai pelaku nikah kepada Ahlu Kitab
pada masanya, yaitu saat Nabi SAW masih hidup dan masa sesudahnya. Kajian
ini, tentu kajian historis fakta dan alasan sosiologis terjadinya perkawinan
tersebut.
Berkaitan dengan hasil wawancara dengan mantan Kepala KUA Kec.
Cilandak, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, beliau melaksanakan
pernikahan beda Agama yang salah satunya beliau mendasarkan kepada Undang-
undang nomor: 22 tahun 1946. Menurut penulis, apa yang dilakukan oleh mantan
Kepala KUA Kec. Cilandak, dengan memperhatikan argumentasi yang beliau
paparkan sebelumnya, beliau tidak sesuai dengan apa yang beliau yakini, beliau
seolah-olah menutupi keburukan Atasannya. Apapun yang dilakukan Atasannya,
beliau harus bisa memperbaiki citra Atasannya. Apa yang menjadi keputusan ini
(perintah Atasannya) yang berdasarkan kepada Undang-undang nomor: 22 tahun
1946 oleh Bapak Komaruzzaman (Mantan Kepala KUA Kec. Cilandak)
dibenarkan masa sekarang, pada saat ini hal itu bisa menjadi dasar oleh Bapak
92
Komaruzzaman sebagai payung hukumnya sekarang di Indonesia. Memang
benar, Undang-undang nomor: 22 tahun 1946 itu membahas masalah tentang
pencatatan pernikahan, akan tetapi Undang-undang tersebut tidak membahas
subjek (pelaku hukunnya). Maksudnya dalam hal ini adalah, kalau menurut
metode, metodenya itu tidak cocok, metode tidak cocok disini adalah tekhnisnya,
sedangkan ruhnya (subjeknya) ini dibahas dalam Undang-undang nomor: 1 tahun
1974. Kalau sebelumnya Bapak Komaruzzaman mengatakan Littaqwiyah (saling
menguatkan satu sama lain) ya.... Saya setuju masalah tekhnik pencatatannya
bahwa pernikahan memang harus dicatatkan, akan tetapi Saya tidak setuju
masalah orangnya (subjek pelakunya) karena, ini sudah dikeluarkan dalam
Peraturan Perundang-undangan nomor: 1 tahun 1974 dengan dengan peraturan
pelaksananya di dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun 1975
bahwasannya orang yang berbeda agama itu tidak diperbolehkan.
Walaupun tidak dibahas secara jelas pelarangan pernikahan beda Agama,
akan tetapi secara konklusi hukumnya atau nash hukumnya di dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun 1975, bahwasannya pernikahan beda Agama itu
tidak ada wadahnya, kalau orang yang beragama Islam yang ingin melangsungkan
pernikahan tempatnya di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan kalau orang
non Muslim yang ingin melangsungkan pernikahan tempatnya di Kantor Catatan
Sipil, lalu mau dimana kalau orang yang berbeda Agama yang ingin
melangsungkan pernikahan?... Kan... tidak ada tempatnya. Jadi kesimpulannya,
karena tidak ada rumahnya ya tidak boleh tinggal.
93
Jadi, walaupun Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 ini tidak ada
menerangkan secara jelas tentang pelarangan melakukan pernikahan beda Agama
itu dilarang atau tidaknya, akan tetapi hal itu telah diterangkan secara jelas di
dalam Peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun
1975 pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan
Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.29 Substansinya adalah dari Peraturan Pemerintah (PP)
nomor: 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang nomor:
1 tahun 1974 ini, tidak ada payung hukumnya dan tidak ada wadah hukum atau
tempat diperbolehkannya melangsungkan pernikahan beda Agama.
Masalahnya, kalau seandainya Undang-undang nomor: 22 tahun 1946 itu
masih sama-sama diberlakukan semua oleh Bapak Komaruzzaman, lalu bisa-bisa
Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 ataupun Kompilasi Hukum Islam (KHI),
masing-masing tidak mempunyai kekuatan hukumnya. Seumpamanya ada Jamal
Mirdad dan Lidya Kandau yang kedua, umpamanya dia ingin menikah juga,
sepertinya hal itu dapat dengan mudah diajukan dan didasarkan kepada Undang-
undang nomor: 22 tahun 1946 sebagai wadah hukumnya. Seharusnya, hal ini
tidak boleh seperti itu. Sebaiknya, sikap keputusan yang oleh Bapak
Komaruzzaman tempuh ketika itu adalah harus tetap menolak pernikahan
29 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 142.
94
tersebut, karena semua itu bertentangan dengan peraturan yang ada. Melegalkan
pernikahan beda Agama sama halnya dengan memberi peluang bagi kemurtadan
kaumnya dan memberi peluang kepada pihak lain untuk menginjak-injak
keimanan kaumnya.30
Menurut hemat penulis, jalan yang lebih aman adalah menghindar dari
persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang
sudah jelas arahnya, yaitu menikah dengan sesama muslim. Dengan demikian,
resiko yang dihadapi kecil, dalam membina rumah tangga.
Kemudian perlu diingat, bahwa dalam agama Islam ada suatu prinsip,
yaitu suatu tindakan preventif (pencegahan). Ibaratnya menjaga kesehatan lebih
utama atau lebih baik daripada mengobatinya setelah dibiarkan sakit lebih dahulu.
Membenarkan menikah dengan wanita Nonmuslim, berarti mengundang
penyakit, yaitu penyakit kufur (murtad). Menghindar dari menikah dengan
mereka, berarti telah mengadakan tindakan preventif. Dalam istilah agama
dikenal dengan الذريعةسد (Menutup Jalan)., yaitu menjaga sebelum terjadi hal-hal
yang tidak baik.
Disamping itu, ada lagi Qawâ’id Fiqhiyyâh yang mengatakan:
المفاسد أولى درء لحا من جلب المص (Menghilangkan kerusakan lebih utama dari pada
menarik kemaslahatan).
30 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cet. I
h. 252-255.
95
الخروج من الخالف أولى وأفضل “Keluar dari Khilaf lebih utama an lebih baik”.31
Setelah ditimbang-timbang, maka lebih banyak mudharatnya daripada
manfaatnya. Umpamanya, dengan alasan dakwah, supaya wanita Nonmuslim itu
dapat memeluk Islam. Kita khawatir ibarat pepatah; Tukang pancing dilarikan
Ikan”.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, penulis berbeda pendapat
dengan para ulama yang membolehkan pria Muslim menikah dengan wanita
Nonmuslim (ahli kitab).
Pendapat penulis, sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam, pasal 40 (c), dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria beragama Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam.
Sebaliknya pada pasal 44 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam.
Menurut hemat penulis, apa yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam
itu telah tepat dan keputusan yang amat bijaksana bagi bangsa kita, yang
mayoritas memeluk agama Islam.32
31 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2004), cet. I., h. 148-184. 32 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam, h. 15-16.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan uraian panjang di atas penulis
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa Hukum pernikahan beda Agama menurut fiqh klasik itu adalah Ikhtilaf
dalam fiqh, dalam arti kalau laki-lakinya Islam perempuannya Non Muslim
ada yang mengatakan boleh dan ada juga yang mengatakan tidak boleh oleh
para ulama. Sedangkan kalau laki-lakinya Non Muslim wanitanya Muslimah,
para ulama sepakat perkawinan itu haram hukumnya.
2. Adapun Hukum Pernikahan beda Agama menurut hukum positif, dalam hal
ini Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 tidak ada menerangkan secara jelas
tentang melakukan pernikahan beda Agama itu dilarang atau tidaknya, yang
menerangkan hanya PP (Peraturan Pemerintahnya) saja. Akan tetapi,
substansinya adalah dari PP (Peraturan Pemerintah) yang dikeluarkan oleh
Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 ini tidak ada payung hukumnya, tidak
ada wadah atau tempat untuk diperbolehkannya melakukan Pernikahan beda
Agama. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan beda
Agama ditempatkan pada larangan perkawinan pasal 40 (c).
3. Menurut dasar hukumnya Pegawai yang menikahkan Pernikahan Beda Agama
di Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak masih belum memenuhi aturan-
96
97
aturan yang berlaku, karena sesuai dengan Undang-undang nomor: 1 tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya seperti ini, otomatis
harus sesuai aturan itu. Yang melandaskan kepada Undang-undang nomor: 22
tahun 1946 itu hanya kepada teknik pencatatannya saja, bahwa pernikahan
harus dicatat, tidak kepada pelaku hukumnya atau orang yang melakukan
perkawinan itu.
B. Saran-Saran
Berdasarkan aturan yang berlaku menurut Undang-undang nomor: 1 tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun 1975 serta didukung dengan
adanya Kompilasi Hukum Islam, maka :
- Seharusnya Pernikahan beda Agama dilakukan di Kantor Catatan Sipil bukan
di Kantor Urusan Agama (KUA).
- Semestinya seorang Laki-laki yang ingin menikah itu, menarik calon Istrinya
terlebih dahulu, kedalam agama Islam, supaya tidak terjadi perselisihan yang
besar dalam kehidupan mereka nantinya.
- Seandainya Pernikahan beda Agama itu terjadi lagi di Kantor Urusan Agama
(KUA), maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah atau batal demi hukum.
Penulis melihat sisi tersirat dari sebuah gagasan yang disandarkan pada
niat yang diserahkan sepenuhnya kepada pribadi walau bahasa lisan maupun
tulisan berkata sebaliknya. Akan tetapi, hanya pribadi dan Allahlah yang Maha
98
Tahu seluk beluk sebuah perbuatan. Penulis mengingatkan akan sebuah kata bijak
yang berbunyi:
طويال نازح ثروا ةع اس ةوهش بر
“Adalah kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kesengsaraan panjang”1
Statement di atas mengatakan bahwa janganlah berkreasi yang bertujuan
pujian sesat, tetapi melahirkan malapetaka berkepanjangan. Bagi yang berkreasi
kebajikan dengan segala bentuknya kelak akan menuai buah kebajikan itu untuk
selamanya dan generasi mendatang akan mengenang serta menteladaninya.
Sebaliknya, kreasi yang melahirkan pertentangan akan pula mempertanyakan si
pencipta untuk selamanya dari satu generasi kepada berikutnya, dan bukan hanya
itu, cacian, makian, sumpah serapah juga pujian pun akan turut menyertainya di
sini kreasi itu dapat berarti malapetaka dan sekaligus harapan pahala tergantung
pada niat yang dipancangkan saat kreasi tersebut dicipta.
Untuk itu, olah pikir dari sebuah kreasi yang hendak dipamerkan perlu
diistikharahkan agar mendapat hidayah Ilahi, sehingga gagasan yang menjadi
kreasi itu berfungsi sebagai kebajikan dan bukan malapetaka.
Dengan demikian, pendapat yang membolehkan pernikahan beda Agama
dan sekaligus bersedia atau lebih tepat menawarkan jasa untuk menjadi mediator
berlangsungnya prosesi pernikahan antar agama sesungguhnya digantungkan pada
1 Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan
Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), cet. I., h.
99
tujuan niat mereka, dan tentu penilaian seseorang bersifat zahir sedang di luar itu
hanya Allahlah yang Maha Tahu.
رائر السلىوت ياهللا ورا هوظ بامكح ننحن
Wa Allahu a’lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
100
Al Qurân Al Karîm
Abbas Ahmad Sudirman, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, cet. I. Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006.
. Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, cet. I. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 2004. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
2004. Al-Hadâd Al-Thahir, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat, cet. IV Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1993. Alhamdani H.S.A, “Risalah Nikah”, Jakarta: Pustaka Amani, 1986.
Abi Dawud Sulaiman Imam al-Hafizh, Sunan Abi Dawud, Beirut: Daar al-
Fikr, 1994. Ali Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), cet.
II. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002. Al-Jabary Abdul Mutaal Muhammad, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Al-Rifa’I Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid II, Jakarta: Gema
Insani, 1999. Anshor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas
Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, cet. I. Jakarta: Kapal Perempuan, 2004.
Arifin Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya, cet. I. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. . Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks Perundang-undangan, Wahyu,
no.108 (Mei 1985): h.27-28. Asmin, Status Perkawinan antar Agama, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986.
101
Badan Perencanaan Daerah DKI Jakarta. “Kotamadya Jakarta Selatan”. Artikel diakses pada 23 Maret 2010, dari http://Wikimedia.blogspot.com/2005/06/Bapeda DKI Jakarta.html.
Basran Masrani, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.105 (Mei 1986): h: 8-9. Basry Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.104 (April
1986): h: 60 Bisri Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. I
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009). Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan
Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI, 1995. Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, cet. I. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006. . Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, cet. I. Jakarta: Qalbun Salim, 2005. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dimas, 1993), h: 2. Gautama Sudargo, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, cet. IV.
Bandung: Citra Aditya, 1996. Ghazaly Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, cet. I. Jakarta : Prenada Media, 2003. Harahap Yahya, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, dalam IAIN Syarif Hidayatullah,
ed., Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), h: 88-89.
Hasan M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer
Hukum Islam, cet. IV. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Hosen Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet. I. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
102
Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora
Utama Press, 2001), 14. Jaiz Hartono Ahmad, Wanita antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan, cet. I.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007. Junaedi Dedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah, cet. II. Jakarta : Akademika Pressindo, 2002. KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama
Kecamatan Cilandak Tahun 2007-2008. . Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA Kecamatan Cilandak Tahun 2006. . Program Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak Tahun 2009. KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Laporan Tahunan KUA Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2008. Nuh, Abd. Bin dan Bakry, Oemar, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, cet 13. Jakarta:
PT . Mutiara Sumber Widya, 2001. Rahman Ghazaly Abd., Fiqih Munakahat, cet. I. Bogor: Kencana, 2003. Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah, cet. I. Bandung: Alma’arif, 1980. Salim Kamal bin As Sayyid, Edisi Lengkap Fiqih Sunnah wanita, cet. I Jakarta: Tiga
Pilar, 2007. Shihab M. Quraish, Pengantin Al-Qur’an “Kalung Permata Buat Anak-anakku, cet.
II. Jakarta: Lentera Hati, 2007. . Tafsir al Misbah Volume 1, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Suma Muhammad Amin, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan
Syari’ah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan
di Indonesia, cet. I. Serang: Saudara, 1995. Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, cet. II. Jakarta: Kencana, 2007.
103
Tim Ditbinpera, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Departemen Agama
RI Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Ditjen Binbaga Islam, Tahun 2000.
Wawancara pribadi dengan Qomaruzzaman. Tangerang. Senin, 18 Januari 2010. Wikimedia Project. “Cilandak Jakarta Selatan”.Artikel diakses pada 23 Maret 2010
dari http://Letak Geografis Kecamatan Cilandak.com.html. Yasin M. Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, cet. I.. Malang: UIN Malang Press,
2008.