aqib maimun fsh

112
PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) (STUDI KASUS KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KEC. CILANDAK) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy) Oleh: AQIB MAIMUN NIM: 206044103783 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M

Upload: ulil-fahmi

Post on 21-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aqib Maimun Fsh

PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN

AGAMA (KUA) (STUDI KASUS KANTOR URUSAN AGAMA

(KUA) KEC. CILANDAK)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (SSy)

Oleh:

AQIB MAIMUN NIM: 206044103783

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431 H/2010 M

Page 2: Aqib Maimun Fsh

PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN

AGAMA (KUA) (STUDI KASUS KANTOR URUSAN AGAMA

(KUA) KEC. CILANDAK)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (SSy)

Oleh:

AQIB MAIMUN NIM: 206044103783

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA NIP: 195703121985031003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431 H/2010 M

Page 3: Aqib Maimun Fsh

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Tangerang, 24 September 2010

Aqib Maimun

Page 4: Aqib Maimun Fsh

KATA PENGANTAR

الرحيم الرحمن اهللا بسم

Tiada kata yang paling pantas penulis ungkapkan selain mengucapkan

هللا الحمد العالمين . Syukur kepada Dia yang Maha Ghafûr. Segala puji hanya bagi Allah

Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan begitu banyak cinta dan kasih

sayangnya kepada semua makhluk yang meyakini keberadaanNya. Katakanlah “Jika

sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh

habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami

datangkan tambahan sebanyak itu pula”. KarenaNya dan bersamaNya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada dia seorang

manusia pilihan. Manusia yang tidak hanya popular di bumi namun juga popular di

langit. Manusia yang paling khusyu’ dalam shalatnya, manusia yang paling jujur

dalam perkataan dan perbuatannya, manusia yang paling bijaksana dalam mengambil

keputusannya, manusia yang paling kasih terhadap orang yang miskin dan anak yatim

serta manusia yang paling sayang terhadap isterinya. Rujukan para Sahabat, sandaran

para Syuhada, junjungan dan tauladan kita semua Nabi besar Muhammad SAW,

pembawa syariatNya bagi seluruh hambaNya dalam setiap ruang dan waktu sampai

akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan penulis temui. Namun

syukur Alhamdulillah karenaNya dan bersamaNya, serta karena dukungan dari

i

Page 5: Aqib Maimun Fsh

berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materil,

segala kesulitan akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

Selanjutnya teristimewa penulis persembahkan ”segalanya” kepada Mamah

(Suparti) dan Bapak (Ismanto) tercinta, yang tiada pernah akan terputus kasih

sayangnya, tiada pernah letih mengangkat kedua tangannya, meneteskan air matanya,

dalam setiap lantunan do’a-do’anya, untuk kebaikan putra keduanya ini. Penulis

sampaikan pula kepada saudara-saudariku tercinta, Muhammad Nur Salim, Wahyu

Tri Utami, Ahmad Muhaimin, dan Rahmat Hidayat.

Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi

ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,

M.H., Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Al Ahwâl Al

Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, M.A., dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Bapak Drs. H. Qomaruzzaman dan segenap jajaran Karyawan/karyawati KUA

Kecamatan Cilandak dan KUA Kecamatan Kebayoran Lama yang telah

ii

Page 6: Aqib Maimun Fsh

banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan

skripsi.

5. Segenap Bapak/Ibu dosen dan staf pengajar di lingkungan Program Studi Al

Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi jalan ilmu bagi

penulis selama duduk di bangku kuliah.

6. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan

Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman Jama’ yang telah banyak

membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Glestania Rosaputri, Adeku Tersayang, Putri Muhibbati. Terima kasih telah

menjadi jalan terbukanya pikiran, meluapnya semangat, sehingga langkah

penulis lebih cepat dari sebelumnya dalam menyelesaiakan skripsi ini, demi

kelulusan ini. Terima kasih telah menjadi jalan ilmu, jalan ma’rifat, jalan

sabar, jalan tabah, jalan ikhlas, jalan rido penulis kepada Dia yang Maha

Kasih, kepada Dia yang Maha Sayang, kepada Dia yang Maha Mengatur

cerita hidup semua hambaNya, sebagai bekal penulis menjalani cerita hidup

selanjutnya.

8. Sahabat-sahabat penulis di keluarga besar Peradilan Agama angkatan

2005/2006 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas

semua bantuan dan dukungan serta do’anya.

iii

Page 7: Aqib Maimun Fsh

iv

Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan

bagi pembaca pada umumnya, serta menjadi amal baik kita semua di sisi Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan serta doa yang penulis terima

tidak akan dapat terbayar oleh apa pun. Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan,

semoga balasan kebaikan berlipat ganda dilimpahkan oleh Allah SWT kepada kita

semua. Âmîn

Tangerang, 7 Mei 2010

Penulis

Page 8: Aqib Maimun Fsh

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9

D. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan........................................ 10

E. Penelitian yang Relevan.................................................................... 12

F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13

BAB II DESKRIPSI TEORITIS TENTANG PERKAWINAN BEDA

AGAMA

A. Perkawinan dalam Islam ................................................................... 14

B. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik ................. 18

C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif.............. 22

BAB III DESKRIPSI KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Perspektif Sejarah ............... 28

B. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).............. 36

C. Substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI) ........................................ 39

BAB IV ANALISIS PENETAPAN AKTA NIKAH PERNIKAHAN

BEDA AGAMA DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)

KEC. CILANDAK

A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak ........................ 44

v

Page 9: Aqib Maimun Fsh

vi

B. Deskripsi Permasalahan Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda

Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak................. 52

C. Analisis Yuridis Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di

Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak. ................................. 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 96

B. Saran-Saran ....................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 100

LAMPIRAN

Page 10: Aqib Maimun Fsh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang

sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya adalah ibadah.1 Perkawinan atau pernikahan jika dalam bahasa

Arab disebut dengan dua kata ) نكاح _ زواج( 2 yang artinya adalah nikah atau

kawin. Secara etimologi nikah (kawin) berarti “al-wâth’û wa al-dhâmmû”

(bersenggama atau bercampur). Begitu pula dalam pengertian majazi (kiasan)

orang menyebut nikah untuk arti akad sebab, akad ini merupakan landasan

bolehnya melakukan persetubuhan. Sedangkan secara fikih, pengertian nikah atau

kawin diungkapkan oleh para ulama dengan beragam sekali, diantaranya adalah:

1. Kelompok mazhab Hanafi mendefinisikan nikah atau kawin dengan; nikah

adalah akad yang memfaidahkan memiliki dan bersenang-senang dengan

sengaja.

2. Kelompok mazhab Syafi’i mendefinisikan nikah atau kawin dengan; nikah

adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha

(bersenggama) dengan lafal nikah atau tajwiz atau yang semakna keduanya.

1 Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora Utama

Press, 2001), 14. 2 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara

Sumber Widya, 2001), cet 13., h. 191.

1

Page 11: Aqib Maimun Fsh

2

3. Kelompok mazhab Maliki mendefinisikan nikah atau kawin dengan

ungkapan; nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-

mata untuk membolehkan watha (bersenggama), bersenang-senang dan

menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah

dengannya.

4. Kelompok mazhab Ahmad bin Hanbali mendefinisikan nikah atau kawin

dengan ungkapan; nikah adalah akad dengan mempergunakan lafal nikah atau

tajwiz guna membolehkan manfaat dan bersenang-senang dengan wanita.3

Namun secara keseluruhan definisi itu hampir sama antara satu dan

lainnya, yang dapat disimpulkan sebagai berikut “Perkawinan adalah akad nikah

yang ditetapkan oleh syara bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan

bersenang-senang dengan kehormatan (kemaluan) seorang isteri dan seluruh

tubuhnya.”4 Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang

membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak

dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah

boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah

dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan

itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah

3 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan

As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 4 4 Nur Djamaan, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dimas, 1993), h.2

Page 12: Aqib Maimun Fsh

3

berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan

menjadi mubah.5

Menikah termasuk perbuatan sunnah yang paling dianjurkan, karena ia

merupakan sunnah para Rasul. Hal ini sejalan sebagaimana firman Allah dalam

QS. An-Nûr (24): 32 :

مآادب عن منيحلالص ومكنا مى ميالوا احكناو :ىلع ت اهللاالق عاسواهللا وقلىهلض فنم اهللا مهنغ يءآرقا فونوك ين اقلىمكئآماو )٤٢:٣٢/النور(.ميلع

Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (QS. An-Nûr (24): 32)6.

Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 telah menegaskan tentang

perkawinan yakni merumuskan pengertian perkawinan, didalam pasal 1 tercantum

tujuan perkawinan dengan rumusan “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin

antara seorang wanita dengan seorang laki-laki sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.” 7

5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. II. h. 43. 6 Ibid, h. 43. 7 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-

undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 17.

Page 13: Aqib Maimun Fsh

4

Perkawinan bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak memiliki

arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan ini merupakan

realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam

penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir. Sesungguhnya naluri seks

merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya

jalan keluar, dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai

untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi

segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan

tenang menikmati barang yang halal.8

Hasrat biologis atau keinginan melakukan hubungan seks bagi suami isteri

adalah suatu fitrah dan rahmat yang patut disyukuri. Oleh sebab itu, perkawinan

sebagai sarana perkembang-biakan (untuk memperoleh anak keturunan), dimana

berketurunan merupakan realisasi dari misi manusia sebagai Khâlifâh yang akan

meramaikan dunia dalam rangka beribadah kepada Allah SWT dari masa ke

masa, karena kawin untuk memperoleh keturunan merupakan hal yang sangat

dianjurkan Rasûlûll’âh SAW. Oleh karena itu, tujuan perkawinan menurut agama

Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga

yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan

kewajiban anggota keluarga, serta terciptanya ketenangan lahir dan batinnya,

sehingga timbulah kebahagian.9 Oleh sebab itu, perkawinan merupakan suatu

8 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma’arif, 1980), cet. I. h. 19.

Page 14: Aqib Maimun Fsh

5

perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama maka antara suami istri

itu saling menyantuni, kasih mengasihi sehingga menciptakan keadaan aman dan

tentram penuh kebahagian baik moral, spritual dan materil.10

Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan laki-laki dan

wanita yang sama aqidahnya, akhlak dan tujuannya, disamping cinta dan

ketulusan hati, dibawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-isteri akan

tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anakpun

sejahtera. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan

terwujud secara sempurna kecuali jika suami-isteri berpegang kepada agama yang

sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama

keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam

pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi

keagamaan, dan lain sebagainya.

Dalam Islam laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita musyrik.11

Seorang yang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama

Allah. Kata musyrik digunakan dalam al-qur’an untuk kelompok tertentu yang

mempersekutukan Allah, mereka adalah penyembah berhala.12 Seperti firman

Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 221:

9 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), cet. I. h. 22. 10 H.S.A Alhamdani, “Risalah Nikah”, (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 26. 11 Muhammad Nasib al Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid II, (Jakarta: Gema Insani,

1999), h. 359. 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah Volume 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 473.

Page 15: Aqib Maimun Fsh

6

ةنمؤ مة مالوقلىنمؤى يت حآترشموا الحكن تالو: قال اهللا تعلىى ت حنيآرشموا الحكن تال وجمكتبجع اول وةآرش من مريخ كلئو اقلىمكبجع اول وكرش من مري خنمؤ مدبعلوقلىاونمؤي نيبي وجهنذا بةرفغمال وةنج اللى اآوعدياهللا وصلىار النلى انوعدي )٢٢١: ٢ /البقرة ( .نورآذت يمهلع لاسلنه لايت

Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah (2): 221)13.

Dalam kitab-kitab fikih umumnya, perkawinan antar pemeluk agama

masih dimungkinkan yaitu antara seorang lelaki muslim menikahi wanita

kitabiyah yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama Yahudi

dan Nasrani. Kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah, karena

wanita kitabiyah berpedoman pada kitab-kitabnya yang asli yang berasal dari

wahyu Allah.

Di Indonesia didalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dijelaskan

dalam pasal 2 ayat (1) bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 14 Sedangkan di

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44 dijelaskan, bahwa seorang wanita

13 Kamal bin As Sayyid Salim, Edisi Lengkap Fiqih Sunnah wanita, (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), cet. I, h. 523.

14 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-

undangan Perkawinan, h. 17.

Page 16: Aqib Maimun Fsh

7

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak

beragama Islam,15 dari kedua pasal itu jelas menerangkan bahwa, antara calon

suami dan istri itu harus memeluk agama yang sama karena, bila calon suami

Kristen umpanya, berarti ia harus menikah dengan ajaran Kristen, dan bila calon

isteri beragama Islam berarti ia harus kawin berdasarkan hukum Islam. Karena

itu, bila laki-laki Kristen menikah dengan wanita muslimah atau sebaliknya, tanpa

menyamakan dahulu agamanya masing-masing, maka menurut undang-undang

perkawinan tersebut dianggap tidak sah atau batal demi hukum.16

Semestinya sesuai aturan yang ada, pernikahan beda agama tidak ada lagi

dan tidak dapat tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Kenyataannya

dilapangan pernikahan beda agama itu masih terjadi. Berdasarkan permasalahan

di atas, maka penulis merasa sangat perlu untuk mencoba meneliti memecahkan

permasalahan tersebut. Hal ini, yang penulis ingin telusuri, untuk itu di sinilah

pentingnya masalah ini di angkat menjadi judul. Dalam karya ilmiah ini penulis

mengemasnya dalam judul ”PENCATATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA

DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA).” (STUDI KASUS KANTOR

URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN CILANDAK.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

15 Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, h.29. 16 Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-

Sunnah, h. 35.

Page 17: Aqib Maimun Fsh

8

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, skripsi yang berjudul

”Pencatatan Pernikahan Beda Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) .

(Studi Kasus Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak) akan dibatasi

dari segi objek pembahasannya. Pencatatan Pernikahan yang dimaksud,

penulis membatasinya hanya pada ketentuan-ketentuan perkawinan yang

mengatur tentang pencatatan Pernikahan beda agama yang terjadi di Kantor

Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cilandak.

2. Perumusan Masalah

Agar pembahasannya teratur dan sistematis maka perlu dirumuskan

beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis

adalah bagaimanakah sebenarnya Pencatatan Pernikahan beda Agama di

Kantor Urusan Agama (KUA) itu dapat terjadi. Adapun perincian

permasalahan penelitiannya sebagai berikut:

a. Bagaimanakah hukum Pernikahan Beda Agama dalam Fiqih Klasik ?

b. Bagaimanakah hukum Pernikahan Beda Agama dalam hukum positif?

c. Bagaimanakah Pernikahan Beda Agama dapat tercatatkan di Kantor

Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Page 18: Aqib Maimun Fsh

9

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui dan menjelaskan gambaran teoritis hukum Pernikahan Beda

Agama dalam Fiqih Klasik.

b. Mengetahui dan menjelaskan gambaran substansi Pernikahan Beda

Agama dalam hukum positif.

c. Mengetahui dan menjelaskan sejauh mana Petugas Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) menerapkan aturan yang ada dalam Undang-undang

perkawinan, yang seharusnya Pernikahan Beda Agama sudah tidak dapat

tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganalisis ketentuan-

ketentuan aturan hukum yang terdapat dalam Fiqih Klasik, khususnya

ketentuan tentang hukum perkawinan.

b. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum

perkawinan yang ada, baik hukum Islam maupun hukum positif dalam

penerapannya di Masyarakat.

D. Metode Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan melakukan

pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan cara

mendekati masalah yang akan diteliti dengan memperhatikan dan melihat apakah

Page 19: Aqib Maimun Fsh

10

sesuatu itu lebih baik ataukah buruk, benar atau salah dan seterusnya berdasarkan

norma-norma agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Jenis penelitian skripsi ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas

subjektif , mencakup penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk

memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan. Selain itu

penelitian ini dikatakan jenis penelitian kualitatif karena objek penelitian ini

adalah isi/content dari aturan-aturan hukum Undang-undang perkawinan. Dan

dalam Penelitian skripsi ini juga menggunakan jenis penelitian kuantitatif jenis

penelitian lapangan (field research).

Data penelitian pada skripsi ini meliputi; sumber data dan jenis data. Data

yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder,

yaitu :

1. Data Primer

Pertama, data primer yang meliputi berkas-berkas Akta nikah yang

diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak.

Kedua, wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.

Cilandak.

Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan

menghubungkannya dengan masalah yang di kaji.

Page 20: Aqib Maimun Fsh

11

2. Data Sekunder

Pertama pada sumber data, sumber data primer terdapat pada Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kedua Instruksi Presiden No.

1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pasal-pasal

yang berkenaan dengan pencatatan perkawinan. Ketiga aturan hukum yang

ada dalam fikih Klasik khususnya yang berkenaan dengan Perkawinan Beda

Agama. Pada jenis data, jenis data yang dikumpulkan dalam skripsi ini adalah

jenis data kualitatif yaitu data yang tidak disuguhkan dalam bentuk angka-

angka, dalam hal ini data yang dikumpulkan tersebut berupa pemikiran yang

relatif.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

a. Menganalisis terhadap berkas Akta Nikah Kantor Urusan Agama (KUA)

Kec. Cilandak.

b. Interview atau wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan

penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan salah satu

responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) Kec. Cilandak.

Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu

dengan menggunakan tekhnik studi dokumenter dan studi doktrinal. Adapun

metode analisis data yang digunakan adalah content analisys atau analisis isi.

Page 21: Aqib Maimun Fsh

12

Adapun tekhnik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU

PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2007.

E. Penelitian yang Relevan

Skripsi yang berjudul Hukum Perkawinan Beda Agama Tinjauan: Agama-

agama yang di akui di Indonesia yang ditulis oleh Jamaludin , Program Studi Al

Ahwal Al Syakhsiyyah, konsentrasi Peradilan Agama tahun 2005. memang

terdapat beberapa kesamaan diantaranya sama-sama membicarakan Perkawinan

Beda Agama, namun tetap saja ada yang membedakan yaitu dalam skripsi yang

ditulis oleh Jamaludin tidak menyinggung tentang Aplikasi Perkawinan Beda

Agama di Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

BAB I: Pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian, studi review terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II: Perkawinan dalam Islam, Perkawinan Beda Agama dalam fikih

klasik, Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif.

Page 22: Aqib Maimun Fsh

13

BAB III: Deskripsi Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dalam perspektif sejarah, landasan dan kedudukan,

substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI),

BAB IV: Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak, Deskripsi

Permasalahan Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di

Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak, Analisis.

BAB V: Penutup yang meliputi; kesimpulan dan saran.

Page 23: Aqib Maimun Fsh

BAB II

DESKRIPSI TEORITIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Perkawinan dalam Islam

Islam diyakini umatnya sebagai agama yang membawa rahmat bagi

seluruh umat manusia (rahmâtan lil-’alamîîn). Seluruh ajarannya dimaksudkan

untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia. Sebagai agama

terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-

ajaran yang menyangkut akidah atau akhlak semata, tetapi juga memberikan

tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia,

salah satunya adalah hukum perkawinan.1

Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.

Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.2

Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullâh yang artinya perintah Allah

dan RasulNya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja,

karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah menjalankan

sebagaian dari syarî’ah agama Islam. Islam sebagai Agama fitrah, dalam arti

tuntunannya selalu sejalan dengan fitrah manusia, menilai bahwa perkawinan

1 Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama

Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), cet. I, h. 39. 2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta :

PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 3.

14

Page 24: Aqib Maimun Fsh

15

وانكحوا االيا مى منكم والصلحين من عبادآم : قال اهللا تعلى )٤٢:٣٢/النور(... وامآئكم

Artinya : ” Dan Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…”(QS. An-Nûr (24): 32).

Dalam hal ini Allah SWT menyeru para wali agar mengawinkan orang-

orang yang masih sendirian (Laki-laki yang belum beristri dan perempuan yang

belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Laki-laki yang dibekali rasa

senang terhadap wanita begitu juga sebaliknya, dalam menempuh hidup di dunia

sebagai khâlifâh tidak dibiarkan hidup sekehendak nafsunya, akan tetapi diberi

aturan hidup bersama dengan pasangannya itu. Tujuannya agar mereka hidup

dengan tenang dan damai diliputi rasa kasih sayang yang dapat menghibur dikala

susah dan pemulih gairah dikala lelah. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam

firman-Nya QS. Ar-Rûm (21) : 21:

مكسفنا نم مكل قلخ نا هايت نمو: قال اهللا تعلى يتال كلذ في ان قلىورحمة مودة بينكم وجعل اليهاآلتسكنوااجواز )٢١:٢١/الروم(.نوركفتي موقل

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

3 M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an “Kalung Permata Buat Anak-anakku, (Jakarta:

Lentera Hati, 2007), cet. II, h. 55.

Page 25: Aqib Maimun Fsh

16

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rûm (21) : 21)4

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah

Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari

generasi ke generasi berikutnya. Hukum Islam juga ditetapkan untuk

kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik

untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Islam mengatur keluarga bukan secara

garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian

yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Dalam al-Qur’an dinyatakan

bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul

terakhir Nabi Muhammad SAW.

Pada hakekatnya, perkawinan adalah rasa cinta kasih, kewajiban,

pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dalam Islam, rasa cinta

kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan, bahkan merupakan motivasinya.

Sedang kewajiban dalam perkawinan adalah kerja sama kedua pihak, suami-isteri,

dalam mengarungi kehidupan. Dan inilah yang akan menjamin rasa cinta kasih

berikut perkembangannya, sebagaimana rasa cinta kasih itu sendiri menjadi

pendorong kuat bagi suami – isteri dalam melaksanakan kewajibannya masing-

masing. Kalau kita kembali kepada pokok syarî’ah untuk menafsirkan makna

kewajiban di dalam kehidupan suami - isteri , yang terlihat oleh kita adalah

4 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan

As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 7-15.

Page 26: Aqib Maimun Fsh

17

kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya.

Selain itu kita tidak melihat adanya suatu ketentuan yang membatasi tugas-tugas.

Hak-hak suami atas isterinya adalah sebanding dengan hak-hak isteri atas

suaminya, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-qur’an :

”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma’ruf.” Terbukti agama ini tidak menganggap memadai bila

dalam perkawinan hanya terdapat perasaan cinta kasih dan sayang saja. Lebih dari

itu, Islam menekankan kewajiban mempergauli isteri dengan baik. Hal ini

berdasarkan nash alqur’an : ”Dan pergaulilah mereka secara patut kemudian bila

kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak

menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.”5

Islam menganjurkan seseorang berkeluarga karena dari segi batin orang

dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik. Demikian pula dari segi

ketentuan bertambah dan berkesinambungannya amal kebaikan, dengan

berkeluarga akan dapat dipenuhi.6 Pemenuhan harat seksual adalah kebutuhan

biologis manusia. Pada umumnya, kebutuhan itulah yang menjadi faktor utama

suatu perkawinan. Pemenuhan seksual adalah kenikmatan sekaligus kewajiban.

Oleh karena itu, seorang suami dan isteri berhak atas lainnya secara timbal balik.

Setiap dari keduanya berhak menuntut pihak lain yang mengabaikan hubungan

tersebut. Meninggalkan hubungan biologis dengan sadar dan sengaja oleh suami -

5 Al-Thahir Al-Hadâd, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), cet. IV, h. 59-60.

6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. I, h. 12.

Page 27: Aqib Maimun Fsh

18

isteri sama akibatnya dengan meninggalkannya karena ada halangan seperti

terkena penyakit menular yang susah disembuhkan, atau adanya cacat serius yang

menimpa salah satu pasangan suami - isteri sebelum akad perkawinan. Semuanya

dapat membatalkan perkawinan.

Adapun keturunan atau pengembangbiakan adalah kewajiban yang sangat

ditekankan kepada segenap kaum muslimin. Karena itu, Islam mengaharamkan

penggunaan alat-alat yang dapat mencegah kehamilan. Sebab tindakan itu sama

halnya dengan menghambat pengembangbiakan.7 Karena tujuan pernikahan tidak

lain agar manusia dapat melanjutkan keturunan, guna mewujudkan rumah tangga

yang mawaddah warrahmah (cinta dan kasih sayang) dalam kehidupan keluarga.8

B. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik

Perspektif Fiqh adalah sudut atau cara pandang fiqh terhadap perkawinan

beda agama. Perkawinan beda agama yang dimaksudkan di sini adalah

perkawinan antara seseorang yang beragama Islam (muslim, muslimah) dengan

non-muslim. Non Muslim (orang yang tidak beragama Islam) secara garis besar

dikelompokan ke dalam musyrik dan Ahli Kitab. Dalam Islam mereka yang

disebut musyrik adalah penyembah berhala dan mengimani tuhan lain di samping

Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan para Ahli-Kitab adalah mereka yang

menganut agama samâwi.

7 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’at & Masyarakat, h. 72.

8 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 3.

Page 28: Aqib Maimun Fsh

19

Dalam al-Qur’ân yang dimaksud dengan Ahli – Kitab adalah pemeluk

agama Yahudi dan Nasrani. Ada beberapa golongan yang berpendapat tentang

kedudukan bentuk hukum perkawinan tersebut. 9

1. Golongan Pertama

Termasuk kalangan Jumhur Ulama berpendapat bahwa perkawinan laki-

laki muslim dengan perempuan kitabiyah pada dasarnya adalah boleh (sah, halal).

sedang selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram. Hal ini berdasarkan pada

firman Allah dalam QS. Al-Maidâh (5) : 5 :

و انيذ الن منتصحمال ونتمؤم الن منتصحمالو :قال اهللا تعلى ري غنينصح منهروج انهومتي اتآذ امكلب قن متبكا الوت )٥:٥/المآئدة( نادخ ايذختم الو نيحافسم

Artinya: Allah SWT berfirman: ”Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik ...”( QS. Al-Maidâh (5) : 5).

Menurut mereka dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen. Pertama,

ayat ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli

kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita-wanita

Ahli Kitab yang muhsânât. Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk

rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunnya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat

penunjukan ayat ini terhadap hukum.

9 Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 39-41.

Page 29: Aqib Maimun Fsh

20

2. Golongan Kedua

Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim haram hukumnya. Golongan ini dianut oleh Ibnû Umâr dan Syi’âh Imâmiâh. Mereka berdasarkan kepada QS. Al-Bâqârâh (2): 221:

وال مة مؤمنة قلىوال تنكحوا المشرآت حتى يؤمن :قال اهللا تعلى وال تنكحوا المشرآين حتى جلو اعجبتكمخير من مشرآة و

)٢:٢٢١/البقرة(. .. ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكمقلىيؤمنواArtinya : Allah SWT berfirman: ”Dan Janganlah kamu mengawini wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. (QS. Al-Bâqârâh (2): 221).

Kedua, QS. Al-Mumtâhânâh (60):10:

قلىارفكى الل انهوعجرتال فنتمؤ من هومتمل عناف :قال اهللا تعلى )٦٠:١٠ /ممتحنةال( ...نه لنولح يم هال ومه لل حن هال

Artinya : Allah SWT berfirman: ”Apabila kamu mengetahui bahwa mereka benar-benar wanita mukmin (muslim), maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada suaminya (yang non muslim), karena mereka (wanita muslimah) itu tidak halal menjadi isteri bagi mereka yang bukan muslim, sedang mereka yang bukan muslim) pun tidak halal menjadi suami bagi mereka (wanita muslimah)”. (QS. Al-Mumtâhânâh (60):10).

Bagi golongan ini, kedua ayat di atas melarang kaum mu’mînîn menikah

dengan perempuan musyrik.10 Ibnû Hâzâm berkata : Haram hukumnya wanita

10 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005), cet. I, h. 129-133.

Page 30: Aqib Maimun Fsh

21

musyrikah dikawini oleh laki-laki muslim. Dan orang kafir tidak boleh memiliki

budak laki-laki. Beragama Islam atau budak-budak wanita muslimah.11

Ibnû Umâr mengatakan, ketika ditanya tentang hukum mengawini

perempuan kitabiyah, yakni Nasrani dan Yahudi. ”Allah telah mengharamkan

(mengawini) perempuan musyrik atas orang mukmin dan saya tidak mengetahui

kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang ialah mengatakan

bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal ia adalah salah seorang dari hamba Allah.”

Ayat di atas jelas melarang umat Islam mengawini perempuan-perempuan kafir. Ahli-Kitab menurut mereka termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi mempertuhankan ’Uzair dan orang Nasrani mempertuhankan Isa Ibnû Maryâm, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah jika mereka tidak bertaubat kepadaNya sebelum mereka mati seperti yang disebutkan dalam QS. An- Nisa(4): 46.12

3. Golongan Ketiga

Golongan ketiga dalam hal ini tampaknya mencoba bersifat moderat.

Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita Ahli Kitab hukum asalnya

halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain tampaknya ini

terkait dengan politik, Ibrahim Hosen menyebutnya dengan kalimat sighot tidak

menghendaki.

11 Abdul Mutaal Muhammad al-Jabary, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 7. 12 Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 43-44.

Page 31: Aqib Maimun Fsh

22

Selain itu, menikahi perempuan Ahli Kitab akan berbahaya, karena

dikhawatirkan kalau-kalau si suami akan terikat hatinya, apalagi setelah mereka

memperoleh keturunan (anak).13

C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif

Mengenai perkawinan beda agama Undang-undang No. 1 Tahun 1974

pasal 57 tidak mengatur secara jelas dan rinci permasalahan ini. Salah satu yang

diatur dalam pasal ini adalah mengenai perkawinan campuran.

1. Perkawinan Beda Agama sebelum UU No. 1 Tahun 1974

Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

perkawinan campuran diatur dalam Regeling op Gemengde Huelijken Stbl

1898 No. 158, dinyatakan: ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran

adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-

hukum yang berlainan.” Sedangkan seperti halnya pengertian di atas, yang

dimaksud perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan

antara seorang pria dan wanita yang tunduk dan patuh kepada agama yang

berbeda.14

Sebelum Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda telah

mengumandangkan tentang peraturan perkawinan campuran yang dimuat

13 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),

cet. I, h. 289-290. 14 Usman Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di

Indonesia, (Serang: Saudara, 1995), cet. I., h. 33.

Page 32: Aqib Maimun Fsh

23

dalam Staats Blad 1898 No. 158. Pemerintah Hindia Belanda membuat

peraturan ini dilatar belakangi kondisi pada waktu itu dengan mobilitas

perdagangan yang tinggi. Dengan perdagangan yang semakin pesat, membuat

interaksi antar berbagai kelompok semakin tinggi juga.

Mobilitas kehidupan yang semakin kompleks itu, sehingga

berpengaruh terhadap proses asimilasi masyarakat. Akibatnya tak jarang

terjadi perkawinan beda agama diantara masyarakat, seperti perkawinan

antara Bumi Putra (Indonesia) dengan orang Tionghoa maupun dengan

golongan Eropa. Oleh sebab itu melihat kondisi sedemikian rupa. Pemerintah

Hindia Belanda mengundangkan peraturan Staats Blad No. 158 Tahun 1898

dengan penetapan Raja pada tanggal 29 Desember 1898 Nomor 23 tentang

perkawinan campuran.

Secara lebih tegas Sudargo Gautama menginterpretasikan.

”Perkawinan campuran diartikan semua perkawinan antar orang-orang yang

ada di Indonesia di bawah hukum yang berlainan, sebagai perkawinan

campuran. Dia menambahkan bahwa GHR tidak membedakan perkawinan

antar tempat di satu pihak dan perkawinan antar agama di lain pihak. Dia juga

menolak pendapat yang mengatakan GHR hanya berlaku pada perkawinan

antar agama.”15 Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa

perkawinan beda agama masuk dalam perkawinan campuran. Ia berpendapat

15 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung: Citra

Aditya, 1996), cet. 4., h. 177.

Page 33: Aqib Maimun Fsh

24

berdasarkan yurisprudensi melalui putusan MA RI No. 245 K/S?1953 tanggal

16 Februari 1953.

”Dalam hal seorang perempuan beragama Islam akan menikah dengan

seorang laki-laki yang beragama Kristen berlakulah peraturan Staats Blad

1898-158 yang dalam pasal 2 menentukan bahwa dalam hal ini harus ada

keterangan dari kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di tempat. Dan tidak

ada larangan untuk perkawinan itu, kepala KUA ini dianggap selaku

pengganti wali mujbir yang termasuk di atas. Sedangkan menurut pasal 7 ayat

(2) pemberian keterangan ini boleh ditolak berdasar atas perbedaan agama,

kebangsaan ataupun keturunan.”

Jika kita melihat kepada kedua pendapat di atas, menurut penulis

dalam GHR telah mengatur perkawinan antar tempat, antar agama maupun

antar golongan penduduk, seperti halnya orang Eropa dan orang Indonesia

yang kedua belah pihak berlainan kewarganegaraan dan agama.

2. Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974

Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, maka peraturan perundangan sebelumnya seperti GHR dan BW

(Buergelijk Wetbook), dinyatakan tidak berlaku lagi. Serta dinyatakan tidak

berlaku lagi sebagaimana bunyi pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974.16

16 Bunyi pasal : “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan

berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-undang hukum perdata BW, HOCI, GHR dan peraturan–peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku”.

Page 34: Aqib Maimun Fsh

25

Serta dengan berlakukanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974

pencatatan perkawinan campuran didasarkan pada Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam pasal 2 PP Tahun 1975 menjelaskan bahwa instansi pencatatan

perkawinan di Indonesia hanya ada dua, yaitu pegawai pencatat sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang No.

22 Tahun 1954 yang dalam hal ini kantor urusan agama kecamatan dan yang

kedua pegawai pencatat pada kantor catatan sipil. Perkawinan campuran yang

dilakukan menurut agama Islam, pencatatannya harus dilakukan oleh pegawai

pencatat nikah pada kantor urusan agama, sedang perkawinan campuran yang

dilakukan tidak menurut agama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai

pencatat pada pencatatan sipil.

Dengan demikian dua orang warganegara yang berbeda, jika mereka

hendak melakukan perkawinan menurut agama Islam maka pencatatannya

dilakukan di kantor urusan agama kecamatan. Akan tetapi jika mereka

melangsungkan perkawinan bukan menurut agama Islam maka pencatatannya

dilakukan oleh kantor catatan sipil.17

17 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, h. 152-155.

Page 35: Aqib Maimun Fsh

26

Namun tidak semua ahli hukum sependapat dengan uraian di atas.

Beberapa ahli hukum menilai UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara jelas

mengatur perkawinan beda agama maka keabsahan perkawinan beda agama

tetap dikembalikan kepada ketentuan GHR, walaupun perkawinan ini tidak

sesuai dengan ajaran agama masing-masing pihak. Dan perkawinan beda

agama mempunyai keabsahaan seperti halnya perkawinan campuran.

Jika kita mengacu pada ketentuan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974,

jelas dinyatakan ketentuan dalam GHR (Stb.1898/158) tidak dapat

diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah terdapat dalam UU

No. 1 Tahun 1974, GHR juga berbeda asas pedoman dengan undang-undang

ini. Yaitu asas keseimbangan hukum antara suami isteri yang dianut dalam

UU No. 1 Tahun 1974.18

Selanjutnya menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai

perkawinan beda agama menempatkan pada larangan perkawinan. Yang

menyangkut nikah lintas agama ada dua pasal yakni psal 40 (c) dan pasal 44.

dalam pasal 40 (c) menyatakan ”Dilarang melangsungkan perkawinan antara

wanita yang tidak beragama Islam”. Sedang pasal 44 menyatakan : ”seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang

tidak beragama Islam”. Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang

18 Asmin, Status Perkawinan antar Agama, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 68.

Page 36: Aqib Maimun Fsh

27

Islam kawin dengan orang yang bukan Islam, tanpa membedakan laki atau

perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah.

Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbeda dengan

pendapat Jumhur yang menghalalkan orang Islam kawin dengan wanita

kitabiyah. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terlihat sangat

menonjolkan kaidah Syaddu Al-Dzari’ah (menutup peluang). Kaitannya

adalah sesuatu hal yang dibolehkan atau dihalalkan, di mana terdapat resiko

tinggi karena dapat menimbulkan kerusakan yang fatal. Sikap Kompilasi

Hukum Islam (KHI) ini lebih kepada kehati-hatian sungguhpun halalnya

mengawini kitabiyah itu diakui oleh Jumhur dan sebagian para sahabat.

Tampaknya ulama Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI)

sepaham dengan kelompok yang melarang mengawini kitabiyah, hal itu tidak

berarti tidak sejalan dengan Qur’an tetapi memperhatikan kemaslahatan sesuai

dengan kondisi masyarakat Indonesia.19

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa UU No. 1 Tahun

1974 benar-benar telah menutup perkawinan beda agama diberlakukan di

Indonesia sesuai dengan penjelasan pasal 2 ayat (1). Sehingga hukum

Indonesia untuk sekarang ini tidak mengakui keabsahan perkawinan beda

agama sebagai salah satu perkawinan yang diakui di Indonesia.

19 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, h. 145-147.

Page 37: Aqib Maimun Fsh

BAB III

DESKRIPSI KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Perspektif Sejarah

1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam literatur bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa

mengandung arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi,

keterangan-keterangan dan sebagainya.1 Istilah kompilasi berasal dari bahasa

Yunani, diambil dari perkataan “compilare” yang mempunyai arti

mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-

peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah ini kemudian

dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau “compilatie”

dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa

Indonesia menjadi “kompilasi” yang berarti terjemahan langsung dari dua

perkataan yang tersebut terakhir.

Dalam Kamus Bahasa Inggris seperti Kamus Webster ditulis

pengertian Compilation adalah Act or process of compiling. Berdasarkan

keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa

kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang

diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu persoalan tertentu.

1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1989), h.453.

28

Page 38: Aqib Maimun Fsh

29

Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa

penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga

dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan

mudah.2

Adapun yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum Islam adalah

sebuah kitab yang berisi kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah atau garis-

garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan, hukum

kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.3 Dengan

demikian, Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu perwujudan hukum

Islam yang khas di Indonesia atau dengan kata lain Kompilasi Hukum Islam

merupakan wujud hukum Islam yang secara resmi berlaku sebagai hukum,

untuk dipergunakan dan diterapkan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat

yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan

dengan bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan.4

2. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam salah satu tulisannya mengenai perlunya Kompilasi Hukum

Islam (KHI), K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan Kompilasi

2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004),

h.10-11. 3 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan Hukum,

(Jakarta: Departemen Agama RI, 1995), h.79. 4 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1999), Cet. I., h. 9-37.

Page 39: Aqib Maimun Fsh

30

Hukum Islam (KHI) ini sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada

Pemerintahan orde baru. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di

Indonesia akan mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi

hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang

beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi

kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan

sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqh akan dapat diakhiri.5

Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama dari diadakannya

penyusunan kompilasi adalah karena kesimpangsiuran putusan dan tajamnya

perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.

Hal ini secara tegas dinyatakan, bahwa di Indonesia belum ada

kompilasi maka dalam praktek sering kita lihat adanya Keputusan Peradilan

Agama yang saling berbeda/tidak seragam, padahal kasusnya sama. Bahkan

dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap tidak

sepaham. Juga telah kita saksikan bahwa masalah fiqh yang semestinya

membawa rahmat ini malah menjadi sebab perpecahan. Dengan demikian,

yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat. Hal ini karena umat Islam

salah paham dalam mendudukkan fiqh di samping belum adanya Kompilasi

Hukum Islam (KHI).6

5 Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.104 (April 1986): h.

60. 6 Ibid., h.60.

Page 40: Aqib Maimun Fsh

31

Mengenai Kitab-kitab rujukan bagi Peradilan Agama pada dasarnya

adalah sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat

Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang

merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957

tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’âh di luar

Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa

untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara

maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar

mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab seperti Al Bayjuri, Fathul Muîn

dengan syarahnya, Syarqawî ’alâ al Tahrirî, Qulyûbî atau Muhallî, Fathul

Wahhâb dengan syarahnya, Tuhfah, Targhîb al Musytaq, Qawânîn al

Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya, Qawânîn al Syar’iyah Lisayyid

Sadaqah Dakhlan, Syamsuri lil Farâid, Bughyah al Mustarsyidîn, Al Fiqh ‘alâ

Madzâhib al ’Arba’ah, Mughni al Muhtâj. Materi tersebut kelihatannya

memang masih belum memadai, sehingga sering kali dikeluarkan instruksi

maupun surat edaran untuk menyeragamkan penyelesaian perkara kasus demi

kasus.7

Hal yang tidak kalah ruwetnya menurut Bustanul Arifin ialah, bahwa

dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Ini membuka

peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak

yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang memang

7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.21-22.

Page 41: Aqib Maimun Fsh

32

tidak menguntungkannya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang

menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara ke 13 kitab

pegangan itu adalah telah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para

berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan. Peluang demikian

tidak akan terjadi di Peradilan Umum, sebab setiap keputusan Pengadilan

selalu dinyatakan sebagai ”pendapat pengadilan”. Situasi Hukum Islam yang

seperti ini menurut Bustanul Arifin yang mendorong Mahkamah Agung untuk

mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI).8

Masrani Basran berpendapat bahwa yang melatarbelakangi

diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah dikemukakannya tentang

adanya ketidakjelasan persepsi tentang syarî’ah dan fikih. Menurutnya bahwa

sejak ratusan tahun di kalangan umat Islam di seluruh dunia termasuk

Indonesia, terjadi kekurangjelasan atau kalau tidak dapat dikatakan

”kekacauan persepsi” tentang arti dan ruang lingkup pengertian syarî’ah Islam

dengan fikih, bahkan adakalanya dalam penetapan dan persepsi dianggap

sama pula dengan al Dîn. Maka terjadilah kekacauan pengertian di kalangan

umat Islam dan orang-orang yang diluar Islam. Karena syarî’ah Islam itu

meliputi seluruh bidang kehidupan manusia maka persepsi yang keliru atau

tidak jelas atau tidak mantap itu akan mengakibatkan pula kekacauan dan

8 Bustanul Arifin, Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks Perundang-undangan, Wahyu,

no.108 (Mei 1985): h.27-28.

Page 42: Aqib Maimun Fsh

33

saling menyalahkan dalam bidang-bidang kehidupan umat, baik kehidupan

pribadi maupun bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hal inilah yang menurutnya pada poin kedua harus diluruskan, yaitu

persepsi tentang syarî’ah harus diseragamkan tidak beraneka ragam lagi, harus

dikembalikan pada awal asalnya sebelum terjadi kemunduran berfikir.9 untuk

mengatasi kesulitan inilah menurut Masrani Basran dilaksanakan proyek

yurisprudensi Islam yang beruang lingkup mengadakan kompilasi hukum

Islam (KHI).

Selanjutnya Yahya Harahap menambahkan sisi lain yang masih

berkenaan dengan apa yang diungkapkan di atas. Ia menekankan pada adanya

penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran maupun

sarah ulama dalam menemukan dan menerapkan hukum. Dikatakan bahwa

para hakim di Peradilan Agama, pada umumnya sudah menjadikan kitab-kitab

fikih sebagai landasan hukum. Kitab-kitab fikih sudah berubah fungsinya.

Kalau semula kitab-kitab fikih merupakan literatur pengkajian ilmu hukum

Islam, para Hakim Peradilan Agama telah menjadikannya ”Kitab Hukum”

(perundang-undangan). Menurutnya, praktik penerapan hukum yang semata-

mata mendasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari sumber kitab-

kitab, benar-benar tidak dapat dipertahankan. Praktik yang seperti ini menurut

9 Masrani Basran, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.105 (Mei 1986): h.8-9.

Page 43: Aqib Maimun Fsh

34

pendapatnya menjurus ke arah penegakan hukum menurut selera dan persepsi

hakim.10

Sekilas beberapa pandangan yang dikemukakan berkenaan dengan

latar belakang diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

permasalahannya bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan

Pengadilan Agama.

3. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dari beberapa literatur yang penulis baca, ada tiga tahapan dalam

menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Penelitian

Metodologi yang dipergunakan dalam penyusunan Kompilasi

Hukum Islam itu disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu

penyusunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum sejenis ke dalam

sebuah kitab yang disusun ssecara sistematis. Untuk mengoptimalkan itu

semua, ditempuh berbagai jalan yang disebut jalur dan pendekatan

perumusan. Jalur pertama adalah jalur pengkajian kitab-kitab fikih Islam,

khususnya ketiga belas kitab fikih yang ditentukan oleh Biro Peradilan

Agama. Jalur kedua yaitu jalur ulama di sepuluh Ibukota Propinsi di

Indonesia. Para ulama ini diwawancarai dan ditanyai (melalui kuesioner)

berbagai hal yang akan dituangkan ke dalam kompilasi kelak dan

10 Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, dalam IAIN Syarif Hidayatullah, ed., Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), h.88-89.

Page 44: Aqib Maimun Fsh

35

menyatakan dukungan mereka atas usaha penghimpunan kaidah-kaidah

atau garis-garis hukum Islam.11 Jalur Ketiga yaitu jalur Yurisprudensi

Peradilan Agama yaitu dengan menghimpun putusan-putusan Pengadilan

Agama dari dulu hingga sekarang kemudian dibukukan. Jalur keempat

yaitu jalur Studi Perbandingan. Yaitu dengan mengadakan studi

perbandingan di negara-negara Islam lain, dan di negara-negara yang

seluruh atau sebagian besar penduduknya beragama Islam.12

b. Pengolahan Data

Hasil penelitian bidang Kitab, yurisprudensi, wawancara, dan studi

perbandingan diolah oleh tim besar proyek pembinaan hukum Islam

melalui yusrisprudensi yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek. Hasil

dari rumusan tim besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah tim kecil

yang merupakan tim inti berjumlah 10 orang. Setelah mengadakan

sebanyak 20 kali rapat, akhirnya tim kecil dapat merumuskan dan

menghasilkan 3 buku naskah rancangan kompilasi hukum Islam, yaitu :

Hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan.13

11 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II., h. 112-116.

12 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar Sejarah, Hambatan dan

Prospeknya, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. I., h. 59-60.

13 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. I., h. 116.

Page 45: Aqib Maimun Fsh

36

c. Lokakarya

Lokakarya tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 s.d 6 Februari

1988 dimaksud untuk mendengarkan komentar akhir para Ulama dan

Cendikiawan Muslim. Pelaksanaan pembahasan naskah rancangan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada lokakarya tersebut dibagi dalam dua

Instansi yaitu sidang Pleno dan sidang Komisi. Sidang Pleno dihadiri oleh

seluruh peserta melakukan perbaikan umum, dan mengesahkan hasil

rumusan akhir lokakarya. Sidang komisi terdiri dari komisi hukum

perkawinan, komisi hukum kewarisan, komisi hukum perwakafan.14

Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam

(KHI) yang terdiri dari buku I tentang perkawinan, buku II tentang

kewarisan, dan buku III tentang wakaf mengalami penghalusan redaksi

yang intensif di Ciawi-Bogor yang dilakukan oleh Tim besar proyek untuk

selanjutnya disampaikan kepada presiden, oleh Menteri Agama dengan

surat 14 Maret 1988 No: MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan

dalam praktik di lingkungan Peradilan Agama.

B. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10

14 Tim Ditbinpera, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Departemen Agama RI

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Ditjen Binbaga Islam, Tahun 2000, h. 147-150.

Page 46: Aqib Maimun Fsh

37

Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1)

Undang-undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan Presiden untuk memegang

Kekuasaan Pemerintahan Negara.

Instruksi Presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama untuk

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah disepakati tersebut.

Diktum keputusan ini menyatakan :

1. Menyebarkan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b. Buku II tentang Hukum kewarisan, c. Buku III tentang Hukum Perwakafan.

Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta tanggal 2-5 Februari 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.

2. Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.

Landasan hukum yang kedua dari Kompilasi ini adalah Keputusan

Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991 No. 154 tahun 1991

Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991.

Dalam Diktum Keputusan Menteri tersebut disebutkan : 1. Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah

lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.

2. Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan maslah-masalah di bidang hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan

Page 47: Aqib Maimun Fsh

38

kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya.

3. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam bidang tugasnya masing-masing.

4. Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Pengaturan lebih lanjut adalah termuat dalam Surat Edaran Direktur

Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.

3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama

di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun

1991 tanggal 10 Juni 1991.15

Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

mempunyai tempat yang kokoh dalam sistem hukum Indonesia, walaupun di sisi

lain menurut hemat penulis masih ada beberapa kelemahan di antaranya dalam

konsideran terdapat susunan kalimat ”dapat digunakan sebagai pedoman”, yang

akan dapat menimbulkan kesan bahwa dalam masalah ini, Kompilasi Hukum

Islam (KHI) tidak mengikat, artinya para pihak dan instansi dapat memakainya

dan dapat pula tidak memakainya. sehingga hal tersebut dapat menimbulkan

masalah. Lebih lanjut Inpres ini tidak mengikat seperti halnya undang-undang,

karena Inpres adalah penetapan yang tanpa meminta persetujuan DPR sehingga

kepastian hukum materil Peradilan Agama belum pada tahap maksimal.

15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.53-58.

Page 48: Aqib Maimun Fsh

39

C. Substansi Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dianggap sebagai satu di antara sekian

banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih

positif bagi kehidupan beragamanya dalam rangka kebangkitan umat Islam

Indonesia. Atas prakarsa antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen

Agama melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) maka dibentuklah Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dan secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan

hasil ijma Nasional dalam bidang-bidang tertentu hukum Islam di Indonesia dari

berbagai golongan melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional

kemudian mendapat legalisasi dari Kekuasaan Negara.

Materi Hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

merupakan hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Materi atau bahan-bahan

hukum dimaksud telah diolah melalui proses dan metode tertentu, yang

berorientasi terhadap keadaan setempat (sosial, budaya dan kultur

kemasyarakatan Indonesia). Dengan kata lain, pertimbangan yang dilakukan oleh

para ulama dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan hanya

pertimbangan nas semata, akan tetapi juga kepada pertimbangan kahidupan nyata.

Adapun mengenai isi dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat

dikemukakan secara singkat sebagai berikut:

Page 49: Aqib Maimun Fsh

40

1. Hukum Perkawinan

Sistematika kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai

berikut:16

a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1)

b. Bab II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasaal 2-10)

c. Bab III Peminangan (Pasal 11-13)

d. Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)

e. Bab V Mahar (Pasal 30-38)

f. Bab VI Larangan Kawin (39-44)

g. Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)

h. Bab VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)

i. Bab IX Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59)

j. Bab X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)

k. Bab XI Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)

l. Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84)

m. Bab XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)

n. Bab XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)

o. Bab XV Perwalian(Pasal 107112)

p. Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)

q. Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)

r. Bab XVIII Rujuk (Pasal 163-169)

s. Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170)

16 Ibid, h. 6-66.

Page 50: Aqib Maimun Fsh

41

Bilamana kita perhatikan kerangka sistematika tersebut ternyata ada

beberapa materi yang dapat digabung satu dengan yang lainnya dan ada pula

pengaturan yang seharusnya tidak perlu dimasukkan dalam satu bab

tersendiri.

2. Hukum Kewarisan

Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit

bilamana dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang telah

diuraikan di muka kerangka sistematikanya adalah sebagai berikut:17

a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171)

b. Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175)

c. Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)

d. Bab IV Aul dan Rad (Pasal192-193)

e. Bab V Wasiat (Pasal 194-209)

f. Bab VI Hibah (Pasal 210-214)

Dalam kompilasi Buku kedua ini, persoalan agama tidak ditemukan

apakah perbedaan agama akan menghilangkan hak waris.

3. Hukum Perwakafan

Bagian terakhir atau Buku Ke-III Kompilasi Hukum Islam (KHI)

adalah tentang Hukum Perwakafan. Adapun sistematikanya adalah sebagai

berikut:18

17 Ibid., h.77-78.

18 Ibid., h.81.

Page 51: Aqib Maimun Fsh

42

a. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215)

b. Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf (Pasal 216-222)

c. Bab III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf

(Pasal 223-224)

d. Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf

(Pasal 225-227)

e. Bab V Ketentuan Peralihan (Pasal 228)

Dalam Bab ini isinya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dua buku

terdahulu sehingga tidak banyak hal yang perlu dikomentari dalam bagian ini.

Selain itu, materi hukumnya juga sedikit berbeda, kalau materi hukum dua

buku terdahulu disebut sebagai materi hukum yang bersifat peka, sedangkan

mengenai perwakafan adalah termasuk dalam lapangan hukum yang bersifat

sedikit agak netral.

Page 52: Aqib Maimun Fsh

BAB IV

GAMBARAN UMUM PROFIL KUA KECAMATAN CILANDAK

A. Seputar Letak Geografis wilayah KUA Kec. Cilandak Kota Jakarta Selatan.

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan masalah seputar nikah

beda Agama dan pencatatannya menurut Undang-undang no. 1 tahun 1974

tentang perkawinan. Pembahasan selanjutnya adalah dengan lebih memfokuskan

pada objek penelitian yaitu KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan.

Kantor Urusan Agama adalah Instansi terdepan Departemen Agama

Republik Indonesia di tingkat Kecamatan. Peran dan fungsi Kantor Urusan

Agama adalah melaksanakan sebagian tugas Kepala Kantor Departemen Agama

Tingkat Kotamadya d bidang Urusan Agama Islam.1

Kantor KUA Kecamatan Cilandak adalah pemekaran dari KUA

Kecamatan Kebayoran Lama , karena pada awalnya adalah berada di wilayah

Kecamatan Kebayoran Lama, akan tetapi sekarang terpisah dari KUA Kecamatan

Kebayoran Lama. Hingga pada akhirnya tanggal 21 Februari 1992 KUA

Kecamatan Cilandak diresmikan oleh Gubernur Kepala DKI Jakarta yaitu Bapak

Wiyogo Atmodarminto. KUA Cilandak sekarang ini terletak berdampingan tidak

jauh dengan Kantor Kecamatan Cilandak, tepatnya di Jl. KH. Muhasyim VII

1 KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Laporan Tahunan KUA Kecamatan Kebayoran Lama

Tahun 2008, h. 1.

43

Page 53: Aqib Maimun Fsh

44

No.90 Kecamatan Cilandak, dengan luas wilayahnya 1.000 m² sedangkan luas

bangunannya ± 700 m².

Letak KUA Kecamatan Cilandak sangat strategis sehingga mudah

dijangkau oleh masyarakat, karena letak KUA tersebut berada di tengah-tengah

lingkungan masyarakat. Sehingga memudahkan masyarakat untuk datang

berkonsultasi menganai permasalahan perselisihan keluarga dan perkawinan.

Ruangan atau gedung tersebut sangat nyaman digunakan dalam aktivitas apapun

seperti bimbingan penyuluhan agama dan pemberian penjelasan pada masyarakat

yang berada di wilayah tersebut, khususnya dalam kehidupan rumah tangga dalam

perkawinan.2

KUA Cilandak terletak di bagian Selatan Ibukota Jakarta, yang terdiri dari

5 Kelurahan, yaitu:

1. Kelurahan Cipete Selatan dengan kode pos 12410,

2. Kelurahan Gandaria Selatan dengan kode pos 12420,

3. Kelurahan Cilandak Barat dengan kode pos 12430,

4. Kelurahan Lebak Bulus dengan kode pos 12440, dan

5. Kelurahan Pondok Labu dengan kode pos 1250.3

2 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan

Cilandak Tahun 2007-2008, h. 10-11. 3 Wikimedia Project, Cilandak Jakarta Selatan, artikel diakses pada 23 Maret 2010 dari

http://Letak Geografis Kecamatan Cilandak.com.html.

Page 54: Aqib Maimun Fsh

45

Sedangkan batas-batas wilayah Kecamatan Cilandak adalah sebagai

berikut :

Sebelah Utara : Jl. H. Nawi perbatasan dengan Kecamatan Kebayoran Baru.

Sebelah Timur : Kali Krukut perbatasan dengan Kecamatan Pasar Minggu dan

Mampang Prapatan.

Sebelah Selatan : Desa pangkalan jati perbatasan Kecamatan Limo Kabupaten

Bogor

Bagian Barat : Perbatasan dengan kali Pesanggrahan Kecamatan Kebayoran

Lama.

Luas wilayah Kecamatan Cilandak berdasarkan Keputusan Gubernur

KDKI Jakarta Nomor 1227 Tahun 1989 tanggal 8 September 1989 adalah

1.820.28 Ha atau 18,20 Km², dengan jumlah penduduk sebanyak 152.719 jiwa

sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 37.446 KK dengan tingkat

kepadatan penduduk 84 jiwa/Ha².4 Topografi wilayah KUA Kecamatan Cilandak

dari pusat Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yaitu dengan tingkat kemiringan

0,25 %, dengan ketinggian di atas permukaan laut ± 50 m.5 Berikut adalah

pembagian keadaan demografis masyarakat wilayah Kecamatan Cilandak:

4 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA Kecamatan Cilandak

Tahun 2006, h. 3-9. 5 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja,. h. 5.

Page 55: Aqib Maimun Fsh

46

1. Mobilitas Penduduk:

a. Kelurahan Podok Labu : 20,73 %

b. Kelurahan Lebak Bulus, : 18,66 %

c. Kelurahan Cilandak Barat, : 31,27 %

d. Kelurahan Gandaria Selatan, dan : 13,78 %

e. Kelurahan Cipete Selatan. : 15,56 %

2. Data Pemeluk Agama:

a. Pemeluk Agama Islam : 134,631

b. Pemeluk Agama Kristen : 9.776

c. Pemeluk Agama Katholik : 6.234

d. Pemeluk Agama Hindu : 1.208

e. Pemeluk Agama Budha : 5536

3. Luas wilayah

Luas wilayah Kecamatan Cilandak terbagi dalam 5 (lima) wilayah

Kelurahan yang terdiri dari:

NO KELURAHAN LUAS (km²) KK RT RW 1 Gandaria Selatan 1,76 4,344 74 7 2 Cipete Selatan 2,37 7,099 75 7 3 Cilandak Barat 6,05 9,709 144 12 4 Lebak Bulus 4,41 6,161 72 8 5 Pondok Labu 3,61 7,455 96 107

6 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA,. h.. 9-21. 7 Badan Perencanaan Daerah DKI Jakarta, Kotamadya Jakarta Selatan, artikel diakses pada 23

Maret 2010, dari http://Wikimedia.blogspot.com/2005/06/Bapeda DKI Jakarta.html.

Page 56: Aqib Maimun Fsh

47

4. Sarana Ibadah

Sarana peribadatan merupakan tempat pelaksanaan ibadah umat. Jumlah

sarana peribadatan di wilayah Kecamatan Cilandak masih sesuai dengan kondisi

masyarakat. Berikut ini jumlah sarana peribadatan yang ada di wilayah

Kecamatan Cilandak, sebagai berikut:

NO SARANA IBADAH JUMLAH 1 Masjid 49 2 Musholla 115 3 Majelis Ta’lim 132 4 Pesantren 3 5 Gereja Protestan 6 6 Gereja Katolik 4

J U M L A H 3058

5. Struktur Organisasi dan Tugas Wewenang KUA Kecamatan Cilandak

Kedudukan KUA Kecamatan adalah Instansi vertikal Departemen Agama

yang berada di bawah dan tanggungjawab langsung Kepala Kantor Departemen

Agama Kabupaten/Kota. Kedudukan organisasi ini sesuai dengan Kep. Men. Ag

(Keputusan Menteri Agama) No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi

Kantor Urusan Agama Kecamatan. Dalam melaksanakan tugasnya Kantor Urusan

Agama Kecamatan Cilandak menyelenggarakan fungsinya yaitu:

8 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan

Cilandak, h. 18

Page 57: Aqib Maimun Fsh

48

a. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi,

b. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan

dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan,

c. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid,

zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan

keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, struktur organisasi KUA Kecamatan Cilandak adalah

sebagai berikut:9

Kepala KUA : Drs. Mudhofar

Pengawas Pendais TK dan SD/MI : Drs. H. Qomaruzzaman

Hidayat. S. Ag

Hj. Armen Jamil

Tata Usaha : Handoko, A.md

Penyuluh Agama : Saidah, M.A

Hj. Siti Rofiko

Fadil Ajhari

Hindun, S.Hi

Naib, S.Pdi

9 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-

undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 417-419.

Page 58: Aqib Maimun Fsh

49

Keuangan : Didik Tobaryati

Resepsionis : Yani Nuryani, SH

Peng. Adm. NR & Bin Win : Drs. Abd. Ghofur

M. Nur Salim

Sukmawati

Sri Marwila

Peng. Adm. Kemasjidan dan Wakaf : Rokib

Abd. Nasir

H. Nahdhory, HS

Ibsos & Baitul Maal : Drs. H. Arsudin

Sidup Umar, SH

Sutikno

Nurul Wahyu

Keamanan : Jayadi

Pramu : Romdoni

Visi yang diterapkan di KUA Kecamatan Cilandak adalah “Unggul Dalam

Rangka Mewujudkan Umat Beragama Yang Berkualitas dan Partisipatif di

Wilayah KUA Kecamatan Cilandak”. Visi ini dijabarkan dalam misi KUA

Kecamatan Cilandak sebagai berikut:

- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Teknis dan Administrasi Nikah/Rujuk

- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Keluarga Sakinah

- Meningkatkan Pelayanan Ketatausahaan

Page 59: Aqib Maimun Fsh

50

- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kemitraan Umat

- Meningkatkan Kualitas Bimbingan Sosial

- Meningkatkan Kualitas Administrasi Keuangan

- Meningkatkan Kualitas Pelayanan Produksi Halal10

Adapun Program kerja KUA kecamatan Cilandak Tahun 2009 diantaranya

adalah:

a. Bidang Ketatausahaan; Peningakatan pengadministrasian pelaksanaan

ketatausahaan, pemantapan Administrasi dan statistik.

b. Bidang Administrasi Nikah dan Rujuk: Peningakatan pelayanan nikah dan

rujuk serta mengantisipasi kasus-kasus yang mengganggu kualitas kepastian

hukum penacatatn perkawinan.

c. Pengadministrasian Keluarga sakinah dan BP4: Pengadministrasian Badan

Penasihatan Pembinaan dan Peletarian Perkawinan (BP4).

d. Pengadministrasian Zakat dan Wakaf.

e. Pengadministrasian Ibadah sosial dan Baitul Mal: Pengadministrasian dan

peningkatan fungsi serta peran masjid dan musholla dalam rangka kegiatan

peribadatan dan pembinan umat.

f. Pengadministrasian kemitraan: Pengadministrasian pembinaan pengamalan

Agama Islam (P2A)11.

10 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA, h. 24. 11 KUA Kecamatan Cilandak, Program Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak

Tahun 2009, h. 3-8.

Page 60: Aqib Maimun Fsh

51

B. Deskripsi Permasalahan Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di

Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak

Pentingnya arti sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan

dengan masalah mua’malah sangatlah urgen, Islam sebagai agama yang sempurna

telah terlebih dahulu memerintahkan kepada para pemeluknya untuk mencatatkan

setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :

ى مس ملجلى ا انيد بمتنايدا تذ اآون امنيذا الهييا :قال اهللا تعلى )٢:٢٨٢/البقرة(...لدعال بمبات آمكني ببتكيل وقلىهوبتاآف

Artinya: Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).

Islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk mempermudah segala

sesuatu dan bukan malah mempersulit sesuatu apalagi dalam hal ini menuju

kepada suatu kebaikan dan cita-cita yang mulia yaitu demi melangsungkan dan

menggapai sebuah mahligai pernikahan yang disunnahkan dalam Islam. Dalam

hal ini Negara mewajibkan adanya pencatatan dalam setiap pernikahan bagi

warga negaranya bukanlah untuk mempersulit warganya akan tetapi justru

melindungi hak-hak warga tersebut demi terciptanya kenyamanan dan ketertiban

masyarakat. Atas dasar itulah dapat penulis simpulkan bahwa pencatatan memang

sangat diperlukan dan urgen dalam segala peristiwa antara satu orang dengan

orang lain (masalah mua’malah) dalam hal ini kaitannya dengan masalah

pernikahan .

Page 61: Aqib Maimun Fsh

52

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan merupakan lembaga pencatat

pernikahan yang bertugas mendaftarkan dan mengurus kelengkapan administrasi.

Lembaga ini bernaung dibawah Departemen Agama RI dan melaksanakan tugas

berdasarkan peraturan pemerintah, baik Peraturan Menteri Agama maupun SK

Gubernur. Meskipun tugas (Kantor Urusan Agama (KUA) terbatas hanya kepada

wilayah kecamatan saja, akan tetapi di wilayah kecamatan itu-lah peran sentral

Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai ujung tombak dan cerminan Departemen

Agama secara umum.12

Berdasarkan Lampiran Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 pasal (2)

ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan

mekanisme pencatatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor: 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, yang menyatakan;

Pasal 2

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam,

dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil

sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai

pencatatan perkawinan.13

12 KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan

Cilandak, Tahun 2007, h.2 13 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-

undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 17-142.

Page 62: Aqib Maimun Fsh

53

Akan tetapi realita yang terjadi sekarang ini adalah dua orang yang

berbeda agama yang ingin melangsungkan pernikahan dapat dinikahkan menurut

tata cara agama Islam dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

Sebelum membahas hasil penelitian dengan menganalisa seluruh data dan

fakta di lapangan, penulis melakukan tahap pengolahan data dan penafsiran data

dengan melakukan wawancara kepada mantan Kepala Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan Cilandak Bapak Drs. H. Qomaruzzaman yang ketika menjabat

beliau menikahkan dua orang yang berbeda agama dengan tata cara Islam dan

tercatat secara sah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cilandak. Berikut

ini adalah berkas-berkas data yang diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA)

Kec. Cilandak:

Page 63: Aqib Maimun Fsh

54

Page 64: Aqib Maimun Fsh

55

Page 65: Aqib Maimun Fsh

56

Page 66: Aqib Maimun Fsh

57

Page 67: Aqib Maimun Fsh

58

Page 68: Aqib Maimun Fsh

59

Page 69: Aqib Maimun Fsh

60

Page 70: Aqib Maimun Fsh

61

Page 71: Aqib Maimun Fsh

62

Page 72: Aqib Maimun Fsh

63

Page 73: Aqib Maimun Fsh

64

Page 74: Aqib Maimun Fsh

65

Page 75: Aqib Maimun Fsh

66

Page 76: Aqib Maimun Fsh

67

Page 77: Aqib Maimun Fsh

68

Page 78: Aqib Maimun Fsh

69

Page 79: Aqib Maimun Fsh

70

Page 80: Aqib Maimun Fsh

71

Page 81: Aqib Maimun Fsh

72

Page 82: Aqib Maimun Fsh

73

Page 83: Aqib Maimun Fsh

74

Page 84: Aqib Maimun Fsh

75

Page 85: Aqib Maimun Fsh

76

Page 86: Aqib Maimun Fsh

77

Page 87: Aqib Maimun Fsh

78

Wawancara dengan mantan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.

Cilandak.

Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. H. Qomaruzzaman.

1. Bagaimanakah menurut Bapak tentang Kontroversi Perkawinan Beda Agama?

Kemudian beliau menjawab: Menurut saya, jika kita merujuk kepada Undang-

undang Nomor: 1 tahun 1974 disitu dikatakan bahwa Pernikahan dapat

terlaksana jika orang tersebut sama-sama satu Agama, yaitu (Islam). Jika

orang tersebut berbeda Agama tidak dapat dinikahkan, dan di dalam fiqh

pernikahan beda Agama itu terjadi Ikhtilaf dikalangan para Ulama.14

2. Lalu, Bagaimana Bapak dapat melangsungkan pernikahan orang yang berbeda

Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak?

Beliau menjawab: Ketika itu awalnya Saya mendapatkan surat perintah dari

Direktur URAIS Departemen Agama RI (Bapak Dr. H. Ichtijanto SA, SH,

MA) untuk dapat melaksanakan pernikahan dua orang yang berbeda Agama

menurut hukum Islam, dicatat menurut Undang-undang Nomor: 22 tahun

1946 dan dilangsungkan oleh Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak. Lalu,

Saya katakan kepada beliau: Bapak saya tidak berani melaksanakan

pernikahan tersebut karena bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan

Nomor: 1 tahun 1974 yang berlaku pada masa sekarang.15

14 Qomaruzzaman, Mantan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak, Wawancara

pribadi, Tangerang, Senin, 18 Januari 2010 15 Ibid.

Page 88: Aqib Maimun Fsh

79

3. Kemudian, Apa yang menjadi dasar hukum atau alasan kuat Bapak, sehingga

mau dan berani melangsungkan pernikahan orang yang berbeda Agama

tersebut menurut hukum Islam dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA)

Kec. Cilandak?

Lalu, beliau menerangkan: Ketika ada perintah untuk dapat

melangsungkan pernikahan dua orang yang berbeda Agama tersebut, ketika itu

awalnya Saya menolaknya. Saya tidak berani melangsungkan pernikahan orang

tersebut, karena Saya tetap bersikeras menolak melangsungkan pernikahan

tersebut, yang akhirnya Saya dipanggil ke Kantor Departemen Agama Kota

Jakarta Selatan, setelah itu dipanggil ke Kanwil Prov. DKI Jakarta sehingga

akhirnya Saya dipanggil ke Departemen Agama RI Pusat, untuk menghadap

bertemu dengan Bapak Direktur Urais Departemen Agama RI (Bapak Dr. H.

Ichtijanto SA, SH, MA) Kemudian beliau mengatakan kepada Saya: Bapak

Qomaruzaman, ini ada surat dari Bridgjen Jenderal Purnawirawan H. Soemarno

Soedarsono, tolong laksanakan dan catatkan Pernikahan anaknya di Kantor

Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak. Lalu, Saya katakan kepada beliau, Bapak

Saya tidak berani menikahkan orang tersebut, karena bertentangan dengan aturan

yang berlaku sekarang ini. Lalu, Bapak Direktur memerintahkan kepada Saya lagi

untuk dapat melaksanakan perintah tersebut. Karena Bapak Direktur

Memerintahkan terus menerus kepada Saya dan selaku bawahan yang mendapat

perintah dari Atasan atau Pimpinan, Saya harus taat akan perintah tersebut.

Page 89: Aqib Maimun Fsh

80

Lalu, Saya katakan kepada Beliau (Bapak Direktur URAIS): Bapak, Saya

berani melaksanakan Pernikahan tersebut akan tetapi, tolong buatkan surat

perintah Saya atau surat tugas Saya, untuk dapat menikahkan dan mencatatkan

pernikahan orang yang berbeda Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.

Cilandak, dan surat perintah atau surat tugas ini untuk pegangan Saya, manakala

sewaktu-waktu ada yang memprotes atau sewaktu-waktu ada yang menggugat

Saya, karena masalah Pernikahan ini. Dan inilah dasar hukum atau alasan yang

saya tempuh dan Saya ambil sehingga Saya berani menikahkan pernikahan

tersebut. Selain itu, Saya juga berdasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-

Maidâh (5) : 5 :

نت من الذين او والمحصنت من المؤمنت والمحص :قال اهللا تعلىتوا الكتب من قبلكم اذآ اتيتموهن اجورهن محصنين غير

)٥:٥/المآئدة( ... مسافحين وال متخذي اخدانArtinya: Allah SWT berfirman: ”Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik...”( QS. Al-Maidâh (5) : 5).

Maka menurut Saya ini adalah hujjah Saya, maka inilah yang Saya sebut

adalah Hujjah Bil Kitabah yaitu yang mengacu kepada apa yang tertuang dalam

Undang-undang nomor: 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk dan juga berdasarkan kepada al-Qur’ânul Karîîm serta dengan mengacu

Page 90: Aqib Maimun Fsh

81

kepada perintah atasan atau pimpinan.16 Sebagaimana firman Allah SWT dalam

QS. An-Nisâ (4) : 59 :

طيعوا الرسول يايها الذين امنوآ اطيعوا اهللا وا :قال اهللا تعلى )٤:٥٩/النساء ( ...واولى االمر منكم

Artinya : Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”( QS. An-Nisâ (4) : 59).

4. Sekarang saya bertanya kepada Anda: Apakah ada nasakh mansukh tidak dalam

Undang-undang ini. Misalnya tidak ada atau dikatakan ada. Kalau misalnya tidak

ada berarti Undang-undang ini berlaku. Akan tetapi, jika ada berarti Undang-

undang ini kalah. Akan tetapi, kita balik hukum Syari’at Islam saja nasakh

mansukh Ikhtilaf, apalagi Undang-undang hukum dunia. Kemudian Saya jelaskan

kepada Anda, kalau Kalamullah itu Qodim, tidak mengenal nasakh mansukh,

meskipun di dalam Ulumul Qur’an ada nasakh mansukh, tetapi Saya boleh

mengambil sikap.

Saya tidak sependapat adanya nasakh mansukh, Saya lebih condong

kepada Ulama yang mengatakan nasakh mansukh itu tidak ada, tetapi yang terjadi

adalah Littaqwiyah (Saling menguatkan). Artinya saling menguatkan Undang-

undang sebelumnya dengan Undang-undang yang ada sekarang ini. Terserah mau

Saya disalahkan atau tidak ini dalilnya, ini hujjah Saya yang Saya jadikan dasar

hukum Saya, atas dasar perintah Pimpinan juga Saya mau menikahkan dua orang

16 Ibid.

Page 91: Aqib Maimun Fsh

82

yang berbeda Agama, dan menurut Saya ini adalah Yurisprudensi sebagai

landasan hukum Saya.17

5. Bagaimana halnya dengan masalah Pencatatan Pernikahan Beda Agama itu

sendiri di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak menurut Bapak?

Kemudian beliau menjelaskan: Syari’at Islam saja masalah nasakh

mansukh ikhtilaf apalagi Undang-undang hukum dunia. Yang jelas Syari’ât Islam

mengatakan sah pernikahan itu dan dicatat. Kenapa menolak pencatatan, kan’

orang tersebut minta perlindungan hukum. Sebagai warganegara perlu

menghendaki perlindungan hukum, mohon dilindungi oleh hukum, Undang-

undangnya ini (Undang-undang nomor: 22 tahun 1946),18 dan Ulama sendiri ada

yang berpendapat membolehkan pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahlu

Kitab diantaranya: Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’I

maupun Hambali, mereka berpendapat seorang pria muslim diperbolehkan kawin

dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara Islam

(Ahli Dzimmah). Jumhur Ulama mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah

dalam Q.S.al Maidâh (5) : 5.

Selain itu, diantara sahabat yang kawin dengan ahli kitab adalah Usman

bin Affan yang mengawini Nâilâh binti al-Ghârâmidâh seorang wanita beragama

Nasrani, yang kemudian akhirnya masuk Islam.19

17 Ibid.

18 Ibid.

19 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum

Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h. 11

Page 92: Aqib Maimun Fsh

83

6. Awalnya Bapak menolak menikahkan orang yang berbeda Agama, yang

kemudian akhirnya Bapak dipanggil ke Kantor Departemen Agama Kota Jakarta

Selatan, setelah itu dipanggil ke Kanwil Prov. DKI Jakarta sehingga akhirnya

Bapak dipanggil ke Departemen Agama RI Pusat, bagaimana lalu akhirnya semua

itu dapat terjadi dan terlaksana?

Saya berpikir moderat, walaupun Saya mantan santri, tetapi Saya tidak

mau dengar pendapat santri dulu. Berani berbuat maka Saya berani bertanggung

jawab, karena Saya berpikir fiqih itu dinamis akan selalu berubah tidak tetap.

Ketika itu, Kepala Bidang yang kesana kemari mengurus masalah ini. Kepala

bidang waktu itu Bapak Arifin Nurdin. Bapak Arifin Nurdin ini waktu itu juga

kalang kabut, tetapi Bapak Arifin Nurdin ini model Saya punya pemikiran yang

moderat, seperti yang Saya jelaskan sebelumnya sehingga akhirnya Saya berani

menikahkan orang yang berbeda Agama.20

C. Analisis Yuridis Penetapan Akta Nikah Pernikahan Beda Agama di Kantor

Urusan Agama (KUA) Kec. Cilandak.

Pada masa Rasulullah SAW dan pada masa para sahabat sesudahnya,

kenyataan di lapangan membuktikan adanya praktek sebagian sahabat yang

mengikat tali pernikahan kepada para perempuan Ahlu Kitab. Keberanian

sebagian sahabat yang mengadakan ikatan pernikahan kepada perempuan-

20 Qomaruzzaman, Mantan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak, Wawancara

pribadi.

Page 93: Aqib Maimun Fsh

84

perempuan Ahlu Kitab memang mendapat legalitas ketentuan ayat dalam QS. Al-

Maidâh (5) : 5 :

والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين او :قال اهللا تعلىتوا الكتب من قبلكم اذآ اتيتموهن اجورهن محصنين غير

)٥:٥/المآئدة( ... مسافحين وال متخذي اخدانArtinya: Allah SWT berfirman: ”Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik...”( QS. Al-Maidâh (5) : 5).

Kelompok yang berpendapat boleh menikah kepada wanita Ahlu Kitab beragumentasi ayat al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 5. berdasarkan sitiran ayat secara literal menyebut kata-kata boleh:

والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين او .. مك للحا( ..

.).توا الكتب من قبلكم Kehalalan dan kebolehan menikahi perempuan Ahlu Kitab didukung pula

oleh af’al (praktek), kelompok yang membolehkan adalah Jumhur Ulama

(Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Mereka menggariskan

kebolehan itu terhadap wanita Ahlu Kitab yang berada dalam lindungan Negara

Islam (Ahlu al-Dzimmah). Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa pria

Muslim tidak boleh menikahi wanita Ahlu Kitab adalah golongan Syi’ah

Imamiyah dan Zaidiyah. Mereka berdasarkan pada firman Allah SWT dalam QS.

Al-Baqârâh (2): 221:

)���:٢/البقرة( ...وال تنكحوا المشرآت حتى يؤمن :قال اهللا تعلى

Page 94: Aqib Maimun Fsh

85

Artinya : Allah SWT berfirman: ”Dan Janganlah kamu mengawini wanita musyrik, sebelum mereka beriman ...” (QS. Al-Baqârâh (2): 221).

Kelompok ini berpendapat, bahwa para wanita Ahlu Kitab termasuk kafir,

karena mereka telah menyekutukan Allah. Pandangan ini berdasarkan riwayat

Ibnu Umar yang ditanya tentang hukum menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Ia

mengatakan: “Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi

pria musyrik, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada

anggapan seorang wanita Nasrani yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah ‘Isa,

atau Uzair , padahal mereka hanyalah seorang manusia dan hamba Allah.

Bantahan terhadap klaim kebolehan menikahi perempuan Ahlu Kitab

dilontarkan oleh mereka yang menafsir kat Kata tersebut mengandung . ..)من قبلكم(

kebolehan dengan sifat terbatas dan khusus yaitu ”perempuan-perempuan Ahlu

Kitab” yang hidup sebelum diturunkannya ”ar Risalah al-Muhammadiyah”.

Adapun mereka yang tergolong Ahlu Kitab sesudah risalah tersebut bukan

termasuk ke dalam konteks ayat Q.S. al-Maidah (5) ayat 5.21 Golongan ini

berpendapat, bahwa para wanita Ahlu Kitab termasuk kafir, karena mereka telah

menyekutukan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-

Mumtahânâh (60): 1:

)٢٠:١٠/ الممتحنة ( ...بعصم الكوافر تمسكوا وال :قال اهللا تعلى

21 Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan

Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), cet. I., h. 79-83.

Page 95: Aqib Maimun Fsh

86

Artinya: Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan para wanita kafir ...” (QS. Al-Mumtahânâh (60): 10).

M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengutip

pendapat yang dikemukakan oleh Al-Maududi mengenai perbedaan pendapat

tentang cakupan makna Ahli Kitab, yaitu:

Imam Syafi’i, memahami istilah Ahli Kitab sebagai orang-orang Yahudi

dan Nashrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain

yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani. Alasan beliau antara lain bahwa

Nabi Musa dan Nabi Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-

bangsa lain. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum

yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau

kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahli Kitab, tidak terbatas

pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nashrani.

Disamping kedua pendapat tersebut ada pendapat dianut oleh sebagian

kecil Ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki

kitab yang dapat di duga sebagai kitab suci (samawi) maka mereka juga dicakup

oleh pengertian Ahli Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.22

Penulis berkesimpulan bahwa al-Qur’an tidak secara eksplisit mengakui

Yahudi dan Nashrani sebagai agama dalam artian al-din atau din Allah. Juga tidak

ada satupun ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa Nabi Musa menyampaikan

ajaran Yahudi, dan Isa menyampaikan agama Nashrani. Status keagamaan Yahudi

22 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005), cet. I., h. 139.

Page 96: Aqib Maimun Fsh

87

dan Nashrani paling sedikit diperselisihkan oleh para ahli ilmu agama, sekurang-

kurangnya ahli ilmu agama Islam. Bahkan cukup banyak ayat al-Qur’an yang

mengkafirkan Ahli Kitab. Misalnya dalam QS. Al-Bayyinâh (98): 1:

والمشرآين الكتاب أهل من آفروا الذين يكن لم: قال اهللا تعلى )1: 98/البينة( .البينة تأتيهم حتى منفكين

Artinya : Allah SWT berfirman: ”Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al-Bayyinâh (98): 1).23

Ketika hal itu sudah tsabat (kuat), lalu yang lebih utama hendaknya tidak

menikahi wanita kitabiyah (Ahli Kitab), karena suatu ketika Umar berkata,

”Talaklah mereka,” maka mereka pun menalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar

berkata kepadanya (Hudzaifah), ”Talaklah.” Dia (Hudzaifah) berkata, ”Anda

bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?”

Umar berkata, ”Dia itu jamrah (batu bara aktif), talaklah dia,” (Hudzaifah)

berkata, ’Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?”

Umar berkata, ”Dia itu Jamrah.”

Hudzaifah berkata, ”Saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia

bagiku halal. Maka setelah itu ketika Hudzaifah menalaknya (wanita Kitabiyah).

Ia ditanya (orang), kenapa kamu tidak menalaknya ketika kamu disuruh Umar?”

Hudzaifah berkata, ”Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa

aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku, dan karena barangkali

23 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan

Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. I., h. 125.

Page 97: Aqib Maimun Fsh

88

hati Umar cenderung kepadanya (wanita Kitabiyah itu) memfitnah/menguji Umar,

dan barangkali di antara keduanya ada anak maka cenderung kepadanya (wanita

Kitabiyah).24

Berdasarkan kedua pandangan yang terlihat secara kontradiktif, penulis

lihat sisi perbedaan itu memiliki titik kesamaan dari sudut tujuan. Bagi mayoritas

Ulama yang memandang boleh menikahi perempuan Ahlu Kitab sebagaimana

Q.S. al-Maidah (5) ayat 5 dapat dimaknakan sebagai misi dakwah melalui cara

menikah kepada mereka. Dengan menikahi Ahlu Kitab diharapkan dapat menarik

sang Istri ke dalam agama Islam, dan dengan jalan tersebut jumlah umat Islam

bertambah banyak seperti isyarat sabda Nabi SAW:

رواه . (مةالقيا مو يد فإ نى مكا ثر بكم االنبياءولوالدودو االوجوزت )احمد

Artinya : Diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a. bahwa Nabi SAW. Pernah bersabda: Kawinlah wanita yang pecinta lagi bisa beranak banyak (bibit unggul), agar nanti aku akan dapat membanggakan jumlahmu yang banyak itu di hadapan para Nabi di hari kiamat kelak. (HR.Ahmad)25

Sebaliknya, bagi mereka yang tidak membolehkan bahkan mengharamkan

pernikahan kepada perempuan Ahlu Kitab dapat dimaknakan sebagai langkah

preventif terseretnya pria Muslim ke dalam agama perempuan Non Muslimah

yang berarti mengurangi jumlah umat Islam.

24 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 2007), cet. I., h. 112. 25 Imam al-Hafizh Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), Cet.

II., h. 180.

Page 98: Aqib Maimun Fsh

89

Dari sisi lain, kelompok yang membolehkan ini seakan menegaskan

adanya kesinambungan tugas dakwah yang tidak pernah berakhir, sehingga

dengan cara menikahpun dapat pula dilakukan, dan pandangan semacam ini

ternyata didapati juga pada pemikiran kelompok yang melarang terjadinya

pernikahan terhadap perempuan Ahlu Kitab dengan stetemen ”demi dakwah dan

ibadah sebagai komponen utama hidup di dunia, wajib ditinggalkan keinginan

syahwat berupa menikah kepada perempuan cantik berlainan aqidah.” apabila

dengan tidak menikahi perempuan Ahlu Kitab, misi dakwah Islamiyah terwujud,

maka menghindarinya pun bernilai ibadah walau harus berkorban hati.

Senada dengan pemahaman ini, Ibrahim Hosen seorang Tokoh Ulama

Indonesia (Ketua MUI) periode 2000-an dan sebelumnya mengkemas dalam

bahasa Sîyasah Syar’îyah bahwa kebolehan tersebut tidak dikehendaki, demi

terpatrinya ikatan Ukhuwah Islamiyah.26 Penulis memahami statemen di atas

sebagai langkah antisipatif bagi aqidah kaum Muslimin dan dari sisi lain

menegaskan kuantitas umat seperti yang diriwayatkan dari Imam Ahmad r.a. Nabi

SAW bersabda :

)رواه احمد. (القيامة مفإ نى مكا ثر بكم االنبياء يو”Bahwa Saya akan berbangga dengan kuantitas umatku di hadapan umat

lainnya...” (HR.Ahmad)

26 Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan

Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, h. 83-125.

Page 99: Aqib Maimun Fsh

90

Penamaan perkawinan antar agama untuk perkawinan antara orang-orang

yang berbeda agama, menurut pendapat penulis adalah salah. Karena, tidak

mungkin ada perkawinan antar agama Islam dengan agama Nasrani, misalnya.

Kendatipun kedua-duanya termasuk ke dalam kategori agama samawi yakni

agama yang diturunkan dari langit, namun dalam perkembangan kemudian

aqidahnya menjadi sangat berbeda (menganut paham Trinitas). Islam adalah

sebagai agama samawi terakhir, ajarannya tentang Keesaan Allah, tetap tidak

berubah-ubah, tauhidnya tetap murni dan konsekuen dipahami, dipelihara dan

dijalankan oleh pemeluknya kaum muslimin dan muslimat diseluruh dunia.27

Bagi seorang Muslim yang terseret aqidahnya oleh Non Muslimah berarti

mengurangi kuantitas umat yang masih dalam proses menuju kematangan dalam

berislam. Tugas kita yang dikategorikan sebagai ”Para Ahli” adalah

mematangkan pemahaman para saudara Muslim lain terhadap ajaran Islam.

Perluasan makna itu termasuk menyebarkan kedalaman ilmu kita kepada saudara

sesama Muslim. Bahwa hakikat hidup seperti sitiran al-Qur’an adalah ”Ibadah”

dan itu berarti ”berislam”. Sepanjang nafas berhembus, sepanjang itu pula kita

ditaklif untuk beribadah dan bukan mendangkalkan pemahaman saudara Muslim

yang lain.28

Menurut hemat penulis, dengan pemahaman semacam ini dua kubu yang

selalu dirivalkan secara berlawanan dapat dijembatani secara bijak. Kebijakan

27 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama) (Kumpulan Tulisan), (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 55-56. 28 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama

dan Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, h. 126.

Page 100: Aqib Maimun Fsh

91

tersebut tentu akan bernilai ibadah manakala para pihak yang berstatus pengikut

tidak mendasarkan kepentingan sesaat dengan berlindung di balik kubu fuqaha

tetapi berbeda tujuan. Pendukung kebolehan kawin antar pemeluk agama ini

selalu kembali kepada literal ayat dan bukan kontekstual ayat. Padahal bukan

rahasia umum bahwa ”para ahli” tersebut lebih mengangungkan kontekstual

ketimbang tekstual, dan pada gilirannya justru sandaran empuk selalu ayat yang

disitir secara literal dengan dukungan pendapat mayoritas ulama yang semestinya

dielabor lebih lanjut pemaknaan unsur kebolehan itu, dan seharusnya patut dikaji

ulang mereka yang terlibat langsung sebagai pelaku nikah kepada Ahlu Kitab

pada masanya, yaitu saat Nabi SAW masih hidup dan masa sesudahnya. Kajian

ini, tentu kajian historis fakta dan alasan sosiologis terjadinya perkawinan

tersebut.

Berkaitan dengan hasil wawancara dengan mantan Kepala KUA Kec.

Cilandak, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, beliau melaksanakan

pernikahan beda Agama yang salah satunya beliau mendasarkan kepada Undang-

undang nomor: 22 tahun 1946. Menurut penulis, apa yang dilakukan oleh mantan

Kepala KUA Kec. Cilandak, dengan memperhatikan argumentasi yang beliau

paparkan sebelumnya, beliau tidak sesuai dengan apa yang beliau yakini, beliau

seolah-olah menutupi keburukan Atasannya. Apapun yang dilakukan Atasannya,

beliau harus bisa memperbaiki citra Atasannya. Apa yang menjadi keputusan ini

(perintah Atasannya) yang berdasarkan kepada Undang-undang nomor: 22 tahun

1946 oleh Bapak Komaruzzaman (Mantan Kepala KUA Kec. Cilandak)

dibenarkan masa sekarang, pada saat ini hal itu bisa menjadi dasar oleh Bapak

Page 101: Aqib Maimun Fsh

92

Komaruzzaman sebagai payung hukumnya sekarang di Indonesia. Memang

benar, Undang-undang nomor: 22 tahun 1946 itu membahas masalah tentang

pencatatan pernikahan, akan tetapi Undang-undang tersebut tidak membahas

subjek (pelaku hukunnya). Maksudnya dalam hal ini adalah, kalau menurut

metode, metodenya itu tidak cocok, metode tidak cocok disini adalah tekhnisnya,

sedangkan ruhnya (subjeknya) ini dibahas dalam Undang-undang nomor: 1 tahun

1974. Kalau sebelumnya Bapak Komaruzzaman mengatakan Littaqwiyah (saling

menguatkan satu sama lain) ya.... Saya setuju masalah tekhnik pencatatannya

bahwa pernikahan memang harus dicatatkan, akan tetapi Saya tidak setuju

masalah orangnya (subjek pelakunya) karena, ini sudah dikeluarkan dalam

Peraturan Perundang-undangan nomor: 1 tahun 1974 dengan dengan peraturan

pelaksananya di dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun 1975

bahwasannya orang yang berbeda agama itu tidak diperbolehkan.

Walaupun tidak dibahas secara jelas pelarangan pernikahan beda Agama,

akan tetapi secara konklusi hukumnya atau nash hukumnya di dalam Peraturan

Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun 1975, bahwasannya pernikahan beda Agama itu

tidak ada wadahnya, kalau orang yang beragama Islam yang ingin melangsungkan

pernikahan tempatnya di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan kalau orang

non Muslim yang ingin melangsungkan pernikahan tempatnya di Kantor Catatan

Sipil, lalu mau dimana kalau orang yang berbeda Agama yang ingin

melangsungkan pernikahan?... Kan... tidak ada tempatnya. Jadi kesimpulannya,

karena tidak ada rumahnya ya tidak boleh tinggal.

Page 102: Aqib Maimun Fsh

93

Jadi, walaupun Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 ini tidak ada

menerangkan secara jelas tentang pelarangan melakukan pernikahan beda Agama

itu dilarang atau tidaknya, akan tetapi hal itu telah diterangkan secara jelas di

dalam Peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun

1975 pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: Pencatatan perkawinan dari mereka yang

melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain

agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan

Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai

pencatatan perkawinan.29 Substansinya adalah dari Peraturan Pemerintah (PP)

nomor: 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang nomor:

1 tahun 1974 ini, tidak ada payung hukumnya dan tidak ada wadah hukum atau

tempat diperbolehkannya melangsungkan pernikahan beda Agama.

Masalahnya, kalau seandainya Undang-undang nomor: 22 tahun 1946 itu

masih sama-sama diberlakukan semua oleh Bapak Komaruzzaman, lalu bisa-bisa

Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 ataupun Kompilasi Hukum Islam (KHI),

masing-masing tidak mempunyai kekuatan hukumnya. Seumpamanya ada Jamal

Mirdad dan Lidya Kandau yang kedua, umpamanya dia ingin menikah juga,

sepertinya hal itu dapat dengan mudah diajukan dan didasarkan kepada Undang-

undang nomor: 22 tahun 1946 sebagai wadah hukumnya. Seharusnya, hal ini

tidak boleh seperti itu. Sebaiknya, sikap keputusan yang oleh Bapak

Komaruzzaman tempuh ketika itu adalah harus tetap menolak pernikahan

29 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 142.

Page 103: Aqib Maimun Fsh

94

tersebut, karena semua itu bertentangan dengan peraturan yang ada. Melegalkan

pernikahan beda Agama sama halnya dengan memberi peluang bagi kemurtadan

kaumnya dan memberi peluang kepada pihak lain untuk menginjak-injak

keimanan kaumnya.30

Menurut hemat penulis, jalan yang lebih aman adalah menghindar dari

persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang

sudah jelas arahnya, yaitu menikah dengan sesama muslim. Dengan demikian,

resiko yang dihadapi kecil, dalam membina rumah tangga.

Kemudian perlu diingat, bahwa dalam agama Islam ada suatu prinsip,

yaitu suatu tindakan preventif (pencegahan). Ibaratnya menjaga kesehatan lebih

utama atau lebih baik daripada mengobatinya setelah dibiarkan sakit lebih dahulu.

Membenarkan menikah dengan wanita Nonmuslim, berarti mengundang

penyakit, yaitu penyakit kufur (murtad). Menghindar dari menikah dengan

mereka, berarti telah mengadakan tindakan preventif. Dalam istilah agama

dikenal dengan الذريعةسد (Menutup Jalan)., yaitu menjaga sebelum terjadi hal-hal

yang tidak baik.

Disamping itu, ada lagi Qawâ’id Fiqhiyyâh yang mengatakan:

المفاسد أولى درء لحا من جلب المص (Menghilangkan kerusakan lebih utama dari pada

menarik kemaslahatan).

30 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cet. I

h. 252-255.

Page 104: Aqib Maimun Fsh

95

الخروج من الخالف أولى وأفضل “Keluar dari Khilaf lebih utama an lebih baik”.31

Setelah ditimbang-timbang, maka lebih banyak mudharatnya daripada

manfaatnya. Umpamanya, dengan alasan dakwah, supaya wanita Nonmuslim itu

dapat memeluk Islam. Kita khawatir ibarat pepatah; Tukang pancing dilarikan

Ikan”.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, penulis berbeda pendapat

dengan para ulama yang membolehkan pria Muslim menikah dengan wanita

Nonmuslim (ahli kitab).

Pendapat penulis, sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Kompilasi Hukum Islam, pasal 40 (c), dilarang melangsungkan perkawinan antara

seorang pria beragama Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam.

Sebaliknya pada pasal 44 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara

seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam.

Menurut hemat penulis, apa yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam

itu telah tepat dan keputusan yang amat bijaksana bagi bangsa kita, yang

mayoritas memeluk agama Islam.32

31 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya, 2004), cet. I., h. 148-184. 32 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum

Islam, h. 15-16.

Page 105: Aqib Maimun Fsh

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan uraian panjang di atas penulis

menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Bahwa Hukum pernikahan beda Agama menurut fiqh klasik itu adalah Ikhtilaf

dalam fiqh, dalam arti kalau laki-lakinya Islam perempuannya Non Muslim

ada yang mengatakan boleh dan ada juga yang mengatakan tidak boleh oleh

para ulama. Sedangkan kalau laki-lakinya Non Muslim wanitanya Muslimah,

para ulama sepakat perkawinan itu haram hukumnya.

2. Adapun Hukum Pernikahan beda Agama menurut hukum positif, dalam hal

ini Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 tidak ada menerangkan secara jelas

tentang melakukan pernikahan beda Agama itu dilarang atau tidaknya, yang

menerangkan hanya PP (Peraturan Pemerintahnya) saja. Akan tetapi,

substansinya adalah dari PP (Peraturan Pemerintah) yang dikeluarkan oleh

Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 ini tidak ada payung hukumnya, tidak

ada wadah atau tempat untuk diperbolehkannya melakukan Pernikahan beda

Agama. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan beda

Agama ditempatkan pada larangan perkawinan pasal 40 (c).

3. Menurut dasar hukumnya Pegawai yang menikahkan Pernikahan Beda Agama

di Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak masih belum memenuhi aturan-

96

Page 106: Aqib Maimun Fsh

97

aturan yang berlaku, karena sesuai dengan Undang-undang nomor: 1 tahun

1974 dan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya seperti ini, otomatis

harus sesuai aturan itu. Yang melandaskan kepada Undang-undang nomor: 22

tahun 1946 itu hanya kepada teknik pencatatannya saja, bahwa pernikahan

harus dicatat, tidak kepada pelaku hukumnya atau orang yang melakukan

perkawinan itu.

B. Saran-Saran

Berdasarkan aturan yang berlaku menurut Undang-undang nomor: 1 tahun

1974 dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 9 tahun 1975 serta didukung dengan

adanya Kompilasi Hukum Islam, maka :

- Seharusnya Pernikahan beda Agama dilakukan di Kantor Catatan Sipil bukan

di Kantor Urusan Agama (KUA).

- Semestinya seorang Laki-laki yang ingin menikah itu, menarik calon Istrinya

terlebih dahulu, kedalam agama Islam, supaya tidak terjadi perselisihan yang

besar dalam kehidupan mereka nantinya.

- Seandainya Pernikahan beda Agama itu terjadi lagi di Kantor Urusan Agama

(KUA), maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah atau batal demi hukum.

Penulis melihat sisi tersirat dari sebuah gagasan yang disandarkan pada

niat yang diserahkan sepenuhnya kepada pribadi walau bahasa lisan maupun

tulisan berkata sebaliknya. Akan tetapi, hanya pribadi dan Allahlah yang Maha

Page 107: Aqib Maimun Fsh

98

Tahu seluk beluk sebuah perbuatan. Penulis mengingatkan akan sebuah kata bijak

yang berbunyi:

طويال نازح ثروا ةع اس ةوهش بر

“Adalah kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kesengsaraan panjang”1

Statement di atas mengatakan bahwa janganlah berkreasi yang bertujuan

pujian sesat, tetapi melahirkan malapetaka berkepanjangan. Bagi yang berkreasi

kebajikan dengan segala bentuknya kelak akan menuai buah kebajikan itu untuk

selamanya dan generasi mendatang akan mengenang serta menteladaninya.

Sebaliknya, kreasi yang melahirkan pertentangan akan pula mempertanyakan si

pencipta untuk selamanya dari satu generasi kepada berikutnya, dan bukan hanya

itu, cacian, makian, sumpah serapah juga pujian pun akan turut menyertainya di

sini kreasi itu dapat berarti malapetaka dan sekaligus harapan pahala tergantung

pada niat yang dipancangkan saat kreasi tersebut dicipta.

Untuk itu, olah pikir dari sebuah kreasi yang hendak dipamerkan perlu

diistikharahkan agar mendapat hidayah Ilahi, sehingga gagasan yang menjadi

kreasi itu berfungsi sebagai kebajikan dan bukan malapetaka.

Dengan demikian, pendapat yang membolehkan pernikahan beda Agama

dan sekaligus bersedia atau lebih tepat menawarkan jasa untuk menjadi mediator

berlangsungnya prosesi pernikahan antar agama sesungguhnya digantungkan pada

1 Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan

Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), cet. I., h.

Page 108: Aqib Maimun Fsh

99

tujuan niat mereka, dan tentu penilaian seseorang bersifat zahir sedang di luar itu

hanya Allahlah yang Maha Tahu.

رائر السلىوت ياهللا ورا هوظ بامكح ننحن

Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Page 109: Aqib Maimun Fsh

100

Al Qurân Al Karîm

Abbas Ahmad Sudirman, Problematika Pernikahan dan Solusinya “Pacar Beda Agama dan Konsepsi Pacaran Dalam Islam dan Pernikahan Seaqidah Versus Beda Aqidah, cet. I. Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006.

. Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, cet. I. Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya, 2004. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,

2004. Al-Hadâd Al-Thahir, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat, cet. IV Jakarta :

Pustaka Firdaus, 1993. Alhamdani H.S.A, “Risalah Nikah”, Jakarta: Pustaka Amani, 1986.

Abi Dawud Sulaiman Imam al-Hafizh, Sunan Abi Dawud, Beirut: Daar al-

Fikr, 1994. Ali Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), cet.

II. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002. Al-Jabary Abdul Mutaal Muhammad, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan

Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Al-Rifa’I Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid II, Jakarta: Gema

Insani, 1999. Anshor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas

Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, cet. I. Jakarta: Kapal Perempuan, 2004.

Arifin Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar Sejarah, Hambatan

dan Prospeknya, cet. I. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. . Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks Perundang-undangan, Wahyu,

no.108 (Mei 1985): h.27-28. Asmin, Status Perkawinan antar Agama, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986.

Page 110: Aqib Maimun Fsh

101

Badan Perencanaan Daerah DKI Jakarta. “Kotamadya Jakarta Selatan”. Artikel diakses pada 23 Maret 2010, dari http://Wikimedia.blogspot.com/2005/06/Bapeda DKI Jakarta.html.

Basran Masrani, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.105 (Mei 1986): h: 8-9. Basry Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, no.104 (April

1986): h: 60 Bisri Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. I

Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1989. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Himpunan Peraturan Perundang-

undangan Perkawinan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009). Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan

Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI, 1995. Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, cet. I. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2006. . Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum

Islam, cet. I. Jakarta: Qalbun Salim, 2005. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dimas, 1993), h: 2. Gautama Sudargo, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, cet. IV.

Bandung: Citra Aditya, 1996. Ghazaly Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, cet. I. Jakarta : Prenada Media, 2003. Harahap Yahya, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, dalam IAIN Syarif Hidayatullah,

ed., Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), h: 88-89.

Hasan M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer

Hukum Islam, cet. IV. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Hosen Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet. I. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003.

Page 111: Aqib Maimun Fsh

102

Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora

Utama Press, 2001), 14. Jaiz Hartono Ahmad, Wanita antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan, cet. I.

Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007. Junaedi Dedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-

Qur’an dan As-Sunnah, cet. II. Jakarta : Akademika Pressindo, 2002. KUA Kecamatan Cilandak, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama

Kecamatan Cilandak Tahun 2007-2008. . Laporan Akuntabilitas Kinerja KUA Kecamatan Cilandak Tahun 2006. . Program Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak Tahun 2009. KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Laporan Tahunan KUA Kecamatan Kebayoran

Lama Tahun 2008. Nuh, Abd. Bin dan Bakry, Oemar, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, cet 13. Jakarta:

PT . Mutiara Sumber Widya, 2001. Rahman Ghazaly Abd., Fiqih Munakahat, cet. I. Bogor: Kencana, 2003. Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah, cet. I. Bandung: Alma’arif, 1980. Salim Kamal bin As Sayyid, Edisi Lengkap Fiqih Sunnah wanita, cet. I Jakarta: Tiga

Pilar, 2007. Shihab M. Quraish, Pengantin Al-Qur’an “Kalung Permata Buat Anak-anakku, cet.

II. Jakarta: Lentera Hati, 2007. . Tafsir al Misbah Volume 1, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Suma Muhammad Amin, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan

Syari’ah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan

di Indonesia, cet. I. Serang: Saudara, 1995. Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, cet. II. Jakarta: Kencana, 2007.

Page 112: Aqib Maimun Fsh

103

Tim Ditbinpera, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Departemen Agama

RI Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Ditjen Binbaga Islam, Tahun 2000.

Wawancara pribadi dengan Qomaruzzaman. Tangerang. Senin, 18 Januari 2010. Wikimedia Project. “Cilandak Jakarta Selatan”.Artikel diakses pada 23 Maret 2010

dari http://Letak Geografis Kecamatan Cilandak.com.html. Yasin M. Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, cet. I.. Malang: UIN Malang Press,

2008.