bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81803/potongan/s2-2015... · pendahuluan a....
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epidemiologi perubahan vektor penyakit merupakan ancaman bagi
kesehatan manusia, salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD). Dengue
hemorraghic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu
penyakit yang masih menjadi masalah di dunia global. Penyakit ini ditularkan
oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang mengandung virus dengue
(Vontas et al., 2010). Penyakit ini terus menyebar luas di negara tropis dan
subtropis. Menurut world health organization (WHO) dalam 50 tahun terakhir
tercatat insidensi penyakit DBD meningkat 30 kali lipat. Di seluruh dunia yang
berisiko menderita DBD terdapat sekitar 2,5 milyar dengan 50 juta jiwa terinfeksi
setiap tahunnya dan 500.000 kasus DBD baru serta sebanyak 22.000 kasus
menyebabkan kematian, terutama terjadi pada anak. Dari seluruh dunia negara
Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya
(WHO, 2011).
Di Indonesia penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Sejak pertama kali
ditemukan di Kota Surabaya tahun 1968, sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24
diantaranya meninggal dunia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk. Demam berdarah di Indonesia hingga tahun 2009, tercatat sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Depkes RI, 2010). Pada
tahun 2010 di Indonesia kasus DBD sebanyak 156.086 kasus dengan jumlah
kematian 1.358 orang. Incidence rate (IR) sebesar 65,7 per 100.000 penduduk dan
case fatality rate (CFR) sebesar 0,87%. Angka tersebut mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2009 dengan IR sebesar 68,22 per 100.000 penduduk dan
CFR sebesar 0,89% (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
Jika melihat meningkatnya jumlah kasus dan bertambahnya wilayah yang
terjangkit di Indonesia, disebabkan semakin baik sarana transportasi penduduk,
pertumbuhan perumahan yang semakin pesat di Indonesia, kurangnya perilaku
2
masyarakat menguras bak mandi, semakin susahnya air bersih. Urbanisasi yang
cepat dan perkembangan pembangunan daerah pedesaan dapat mempengaruhi
vector demam berdarah dengue. Keadaan tersebut tidak terlepas dari peningkatan
pertumbuhan penduduk dan kualitas fungsi lingkungan yang buruk, diakibatkan
pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan (Adbrite, 2007).
Faktor – faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks. Beberapa faktor etiologi yang berhubungan dengan
kejadian demam berdarah adalah faktor host (umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, pengetahuan, mobilitas), faktor lingkungan (angka bebas jentik, jenis
rumah, ventilasi, keberadaan kontainer, jenis sumber air bersih, tempat
penampungan air, curah hujan, suhu, kondisi geografis setempat), faktor perilaku
(pola tidur, kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, menguras penampungan air).
Di Kabupaten Banyumas penyakit DBD masih merupakan masalah dan
cenderung menunjukkan kenaikan yang fluktuatif. Pada tahun 2009 kasus DBD
sebanyak 382 kasus mengalami kenaikan sebesar 696 pada tahun 2010. Pada
tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan sebanyak 201 kasus.
Sumber: Seksi Bidang P2PL Dinkes Kabupaten Banyumas
Gambar 1. Distribusi Kasus DBD di Kabupaten Banyumas Tahun 2000-2013
33 3469 97
175229
329
241
685
382
696
201 200
543
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Kasus DBD di Kabupaten Banyumas Tahun 2000 - 2013
3
Banyaknya kasus DBD di Kabupaten Banyumas ini disebabkan karena
iklim yang tidak stabil dan curah hujan yang cukup banyak pada musim
penghujan yang merupakan sarana perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
yang cukup potensial, juga didukung dengan kurang optimalnya kegiatan PSN di
masyarakat.
Sumber: Bidang P2PL Dinkes Kabupaten BanyumasGambar 2. Distribusi Incidence Rate (IR) dan CFR Penyakit Demam Berdarah di
Kabupaten Banyumas Tahun 2009 – 2013
Keadaan lingkungan di Kecamatan Purwokerto Selatan merupakan
wilayah yang dekat dengan kota Kabupaten Banyumas serta banyak sarana
pelayanan umum. Sarana pelayanan umum yang berdekatan dengan lingkungan
pemukiman masyarakat adalah terminal, pasar, kantor camat, puskesmas, serta
sarana pendidikan lainnya. Kondisi tersebut membuat mobilitas penduduk baik
dari dalam, maupun dari luar wilayah Kecamatan Purwokerto Selatan menjadi
tinggi, sehingga secara tidak langsung memungkinkan penularan penyakit demam
berdarah dengue (DBD). Adapun upaya penanggulangan kejadian DBD dari
pemerintah Dinas Kesehatan Banyumas yang telah dilakukan adalah fogging,
mengaktifkan kelompok kerja operasional (POKJANAL) DBD, dan penyuluhan
di kelurahan.
Pemantauan perkembangan penyakit DBD tidak terlepas dari angka
kematian case fatality rate (CFR), IR dapat dijadikan indikator keberhasilan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
0
5
10
15
20
25
30
35
2009 2010 2011 2012 2013
Inci
denc
e Ra
te (I
R)
Incidence Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR) di Kabupaten Banyumas Tahun 2010 - 2013
IR CFR
Case Fatality Rate (CFR)
4
program pencegahan dan pengendalian penyakit demam berdarah. Untuk
mengetahui perkembangan CFR penyakit DBD dapat dilihat pada Gambar 2. Dari
tahun 2009 sampai dengan 2011 CFR DBD di Kabupaten Banyumas selalu
melebihi target nasional. Berdasarkan laporan yang dihimpun dari bidang P2PL
penderita DBD terbanyak tahun 2010 sebesar 698. Terjadi penambahan daerah
endemis dari 46 desa tahun 2010 menjadi 68 desa tahun 2011, namun terjadi
penurunan menjadi 35 desa di tahun 2012 dengan jumlah kematian 4 orang IR
11,78 per 100.000 penduduk dan CFR 2,01% dan tahun 2013 IR meningkat yaitu
32,14 per 100.000 (CFR 0,74%). Angka bebas jentik (ABJ) di Kabupaten
Banyumas pada tahun 2012 sebesar 95,53%, diatas target Nasional ABJ > 95%.
Kecamatan Purwokerto Selatan adalah salah satu Kecamatan yang dalam 3 tahun
berturut – turut sebagai daerah endemis. Pada tahun 2013 Kecamatan Purwokerto
Selatan yang mempunyai jumlah kasus terbanyak dari seluruh Kecamatan di
kabupaten Banyumas.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa faktor manusia
yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue adalah umur,
pendidikan, pekerjaan, pengetahuan. Faktor perilaku seperti kebiasaan
menggantung pakaian, kebiasaan PSN, menggunakan repelen, bepergian ke
daerah endemis, pola tidur. Faktor lingkungan berupa kondisi lingkungan rumah
juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap kasus DBD. Lingkungan rumah
yang tempat penampungan air terbuka, jenis rumah kayu, ventilasi rumah yang
tidak menggunakan kasa, kebersihan halaman rumah yang tidak bersih merupakan
faktor pendukung terjadinya DBD (Benthem et al., 2004; Sujriyakul et al., 2005).
Faktor perilaku masyarakat yang dapat mempengaruhi keberadaan vektor
dengue adalah berupa tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), kebiasaan
menggantung pakaian. Berdasarkan laporan Perich (2000) yang dikutip oleh
Widjana (2003) menyatakan bahwa ada 4 tipe permukaan yang disukai sebagai
tempat beristirahat nyamuk yaitu permukaan semen, kayu, pakaian, dan logam.
Nyamuk jantan lebih banyak dijumpai di permukaan logam sedangkan nyamuk
betina lebih banyak dijumpai pada permukaan kayu dan pakaian.
5
Menurut hasil penelitian Boekoesoe (2013) menyatakan distance index
(indeks jarak) menunjukkan jarak antar kasus, letak rumah antar kasus DBD di
Kota Gorontalo relatif berdekatan 50 meter dan berpotensi menjadi sumber
penularan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Boewono et al. (2012) yang
menyatakan bahwa jarak penularan DBD adalah 100 meter sesuai jangkauan
terbang nyamuk Aedes aegypti. Pola sebaran kasus mengelompok/cluster sebagai
indikator bahwa ada konsentrasi habitat vektor sehingga berpotensi lebih besar
terhadap penularan setempat.
Sistem informasi geografis (SIG) telah banyak digunakan untuk pemetaan
dalam penelitian tentang demam berdarah. SIG membantu dalam pengambilan
keputusan, menyusun strategi dan rencana tindakan pencegahan untuk
mengendalikan transmisi dengue (Madayanake et al., 2009). Pengelolaan data
tentang kejadian demam berdarah dengue (DBD) dalam bentuk sistem informasi
geografis belum dilakukan secara maksimal di kabupaten Banyumas. Sistem
informasi geografis sangat penting untuk mengetahui gambaran atau pola sebaran
kejadian DBD di kabupaten Banyumas secara spasial (keruangan). Melihat
berfluktuatifnya kasus DBD di kabupaten Banyumas maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui pola sebaran dan faktor yang mempengaruhi
terjadinya kejadian DBD di Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten
Banyumas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan
penelitian adalah:
1. Apakah faktor host (umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan) merupakan
faktor risiko terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan
Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas?
2. Apakah faktor perilaku (kebiasaan menggantung pakaian, bepergian ke daerah
endemis, penggunaan obat anti nyamuk, penggunaan kelambu, kebiasaan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN)) merupakan faktor risiko terhadap
6
kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Purwokerto Selatan
Kabupaten Banyumas?
3. Apakah jenis rumah merupakan faktor risiko terhadap kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten
Banyumas?
4. Apakah angka bebas jentik (ABJ) merupakan faktor risiko terhadap kejadian
demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten
Banyumas?
5. Apakah distance index (indeks jarak) mempengaruhi kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten
Banyumas?
6. Bagaimanakah pola sebaran kejadian demam berdarah dengue (DBD) di
Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pola sebaran kasus dan faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan
Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui hubungan faktor host (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan)
merupakan faktor risiko terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD)
di Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas.
b. Mengetahui hubungan faktor perilaku (kebiasaan menggantung pakaian,
bepergian ke daerah endemis, penggunaan obat anti nyamuk, penggunaan
kelambu, kebiasaan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)) merupakan
faktor risiko terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di
Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas.
c. Mengetahui hubungan jenis rumah merupakan faktor risiko terhadap
kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Purwokerto
Selatan Kabupaten Banyumas.
7
d. Mengetahui hubungan angka bebas jentik (ABJ) merupakan faktor risiko
terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan
Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas.
e. Mengetahui pola sebaran kejadian demam berdarah dengue (DBD) di
Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi dan
bahan pertimbangan pengambilan setiap kebijakan program dan strategi
pencegahan kejadian DBD di daerah kabupaten Banyumas.
2. Bagi masyarakat
Diharapkan hasil penelitian dapat meningkatkan tingkat pengetahuan
masyarakat, khususnya tentang faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
DBD dan upaya pencegahan penyakit menular DBD, serta diharapkan adanya
perubahan perilaku dalam mencegah penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD).
3. Bagi peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai GIS dan faktor risiko
dominan yang mempengaruhi kejadian DBD dan upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah faktor risiko penyakit demam berdarah dengue (DBD),
sehingga dapat dijadikan referensi bagi peneliti apabila menghadapi kasus
yang serupa.
E. Keaslian Penelitian
1. Hagenlocher et al. (2013) melakukan penelitian dengan judul “Assessing
socioeconomic vulnerability to dengue fever in Cali, Colombia: statistical vs
expert-based modeling”. Tujuan penelitian ini untuk melakukan penilaian
spasial dan evaluasi tingkat sosial ekonomi dan lingkungan tempat tinggal
yang berbeda di Cali, Kolombia terhadap risiko kejadian demam berdarah.
Persamaan penelitian ini adalah meneliti kejadian DBD secara spasial.
8
Perbedaan terletak pada variabel bebas yang diteliti, lokasi, dan unit
penelitian.
2. Maria et al. (2013) melakukan penelitian berjudul “Faktor risiko kejadian
demam berdarah dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013”. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui besarnya beberapa faktor risiko terhadap
kejadian DBD di Kota Makassar. Jenis penelitian observasional dengan
rancangan penelitian case control. Persamaan penelitian ini adalah meneliti
faktor – faktor risiko kejadian DBD. Perbedaan terletak pada variabel bebas,
meneliti kasus DBD secara spasial, dan lokasi penelitian.
3. Shafie (2011) meneliti tentang “Evaluation of the spatial risk factors for high
incidence of dengue fever and dengue hemorrhagic fever using GIS
application”. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemodelan
spasial yang dapat memprediksi risiko untuk DB dan DBD berdasarkan faktor
– faktor lingkungan seperti lingkungan fisik, penggunaan lahan, curah hujan,
suhu, dan aplikasi GIS dengan analisis regresi logistik. Persamaan dalam
penelitian ini adalah menggunakan GIS. Perbedaannya terletak pada variabel
bebas, dan lokasi penelitian.
4. Widianto (2007) melakukan penelitian berjudul “ Kajian manajemen
lingkungan terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota
Purwokerto Jawa Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
manajemen lingkungan dan menganalisis hubungan lingkungan terhadap
kejadian DBD. Perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan GIS,
variabel bebas, dan metode penelitian.