bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia boleh berbangga ketika konflik yang berlangsung selama
hampir 30 tahun antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) berhasil diselesaikan dengan cara damai, yang ditandai
dengan penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of
Understanding (MoU) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki – Finlandia. Nota
Kesepahaman ini populer dikenal dengan MoU Helsinki. 1
Salah satu pesan dari MoU Helsinki tersebut adalah penyusunan sebuah
undang-undang baru bagi Aceh. Redaksinya adalah sebagai berikut:
Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di
Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin
dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006 2.
Melalui proses yang relatif panjang, kurang dari lima bulan, pada tanggal 11 Juli
2006 amanat MoU Helsinki tersebut berhasil diselesaikan dengan lahirnya
1 ‘Kebanggaan’ Indonesia atas tercapainya MoU Helsinki mendapatkan apresiasi dari dunia.
“Perdamaian Aceh jadi contoh yang baik bagi masyarakat global,” kata Mandela dalam
suratnya. Dia memuji kedua belah pihak yang telah menunjukkan komitmen untuk
menjaga perdamaian yang memang memerlukan proses panjang, kejujuran, kerja keras,
kebersamaan dan toleransi. PM Badawi merasa optimis karena perdamaian di Aceh
telah memberikan sinyal positif bagi masyarakat bisnis internasional. “Selat Malaka
tidak lagi dianggap sebagai zona perang,” katanya. Lihat: Aceh Dalam Lembaran Baru–
Majalah Berita Indonesia, 25 Agustus 2006 :
<http://www.beritaindonesia.co.id/politik/aceh-dalam-lembaran-baru> (diakses 9
Desember 2011). Bahkan, salah satu indikator pemberian Nobel Perdamaian Tahun
2008 kepada Martti Ahtisaari karena ia menjadi mediator dalam MoU Helsinki. MoU
Helsinki dijadikan acuan oleh sejumlah negara dalam menyelesaikan konflik internal,
khususnya konflik etnis politik. Banyak yang menaruh harapan besar terhadap
kesuksesan perdamaian di Aceh.
2 MoU Helsinki.
2
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, atau yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) 3. Ada
keterlambatan sekitar empat bulan dari waktu yang disepakati dalam MoU
dengan realisasi lahirnya UU tersebut.
Salah satu apresiasi yang diberikan terhadap UUPA ini adalah selama
proses pembahasan saat masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU), dalam
Panitia Khusus (Pansus) DPR, semua keputusan diambil secara musyawarah dan
mufakat. Dalam prosesnya, pembentukan UUPA dianggap sebagai produk politik
yang dicapai melalui kompromi dan kesepakatan politik berlandaskan pada
semangat menciptakan perdamaian, membangun dan mensejahterakan Aceh
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berlandaskan
pada UUD 1945.
Dari 71 Butir MoU Helsinki yang kemudian melahirkan 273 pasal UU
PA, butir penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dalam MoU dan Pasal
dalam UUPA tentang calon perseorangan menjadi pemicu konflik dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah tahun 2012.
3 Tentang proses pembentukan UU No 11 tahun 2006 ini bisa dibaca pada buku Pondasi Menuju
Perdamaian Abadi. Catatan Pembahasan Pemerintahan Aceh. Penulis: Ferry
Mursyidan Baldan, Penerbit Suara Bebas. Jakarta, 2007. Juga Buku Panduan Sosialisasi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang berjudul:
Catatan Untuk Memahami Undang-Undang �omor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh Menuju Era Baru Aceh. Diterbitkan oleh Satuan Kerja BRR
Peningkatan Komitmen Persatuan Dan Kesatuan Nasional NAD-NIAS (PK-
POLHUKAM) Agustus 2006. Dan buku karya Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai
�anggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Penerbit Suara Bebas, Jakarta,
2006.
3
Pada Pasal 1.2.2 MoU Helsinki secara eksplisit disebutkan:
Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan
memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat
yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April
2006 dan selanjutnya.
Pada UU PA Pasal 67 ayat 1:
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis,
bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Pada UU PA Pasal 67 ayat 1:
Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(1) diajukan oleh :
a. partai politik atau gabungan partai politik;
b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;
c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau
d. perseorangan.
Pada UU PA Pasal 256 :
Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil
walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d,
berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Muculnya pasal yang mengatur tentang calon perseorangan dalam UUPA
tersebut melalui proses yang sangat panjang. Setelah dicapainya MoU Helsinki
pada 2005, Pemilu Kada di Aceh ditetapkan pada tahun 2006. Karena pasca-MoU
telah diberikan amnesti kepada para eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), maka muncul pertanyaan bagaimana menyalurkan aspirasi politik
mereka. Ketika itu disodorkan jalan melalui partai nasional, namun hal ini ditolak
oleh pihak GAM. Maka muncullah alternatif calon perseorangan, karena partai
lokal belum ada, dimana menurut MoU Helsinki, partai lokal baru dibentuk satu
4
setengah tahun setelah MoU, yakni pada tahun 2007. Inilah yang menyebabkan
calon perseorangan dalam UUPA hanya diperbolehkan sekali saja yakni pada
Pemilukada 2006 4.
Dan pada Pemilu Kada pertama pasca-MoU yakni pada tanggal 11-
Desember 2006, meleset 8 bulan dari kesepatakan MoU Helsinki, pelaksanaannya
relatif berjalan lancar. Hal ini disebabkan saat itu masih dalam suasana ‘bulan
madu’ perdamaian. Hadirnya puluhan pemantau, baik lokal, nasional, maupun
asing serta sorotan dunia internasional kepada demokrasi di Aceh menjadi
penyebab lainnya sehingga semua pihak mampu menahan diri. Pada Pemilukada
2006 tersebut, Calon dari perseorangan, yakni Irwandi Yusuf/Muhammad Nazar
menjadi pemenang dan menjadi gubernur dan wakil gubernur definitif 2006-2011.
Setelah partai lokal terbentuk pada tahun 2008 sebagai buah dari MoU
Helsinki dan UUPA, proses pemilihan anggota legislatif pada pemilu 9 April
2009, untuk provinsi dan kabupaten/kota di Aceh melibatkan enam partai lokal
dan 38 partai nasional. Enam partai lokal yang terjun dalam Pileg 2009 di Aceh
ialah: Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu
Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai
Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Pada Pemilihan tersebut, untuk tingkat
provinsi, Partai Aceh memenangi 1.007.173 suara atau 46,93%. Dari dari total 69
kursi yang diperebutkan, PA berhasil meraih 33 kursi.
4 M. Jusuf Kalla dalam diskusi dengan peneliti dalam rangka penyusunan buku Keeping The Trust
For Peace, Kisah dan Kiat menumbuhkembangkan Damai di Aceh, Karya Farid Husain,
Jakarta, 11-Oktober-2011.
5
Dalam persiapan pemilu kada 2011, tepatnya pada 20 Mei 2010, empat
warga Aceh yakni Tami Anshar Mohd Nur, calon bupati/wakil bupati Kabupaten
Pidie, Faurizal, calon bupati/wakil bupati Kabupaten Bireuen, Zainudin Salam,
calon bupati/wakil bupati kabupaten Aceh Timur dan Hasbi Baday, calon
bupati/wakil bupati Kabupaten Simeulue mengajukan permohonan gugatan
judicial review Pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi (MK) 5.
Menurut mereka, pasal 256 UUPA dinilai telah menutup peluang bagi
calon perseorangan pada Pilkada 2011 di Aceh, dan itu bertentangan dengan Pasal
18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), Pasal 28 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 256 UUPA telah
dianggap menghilangkan makna demokrasi bahwa semua warga Negara berhak
menjadi calon kepala daerah dalam Pemilukada di Aceh setelah Pilkada tahun
2006.
Atas gugatan ini, pada 30 Desember 2010, MK mengabulkan dan
membolehkan calon perseorangan ikut berlaga dalam Pemilu Kada Aceh 2011.
Kutipan putusan MK bernomor 35/PUU-VIII/2010 tersebut:
5 Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan
antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 menegaskan, Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, mememutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Tentang hal ini bisa dibaca pada
buku: Sengketa Kewenangan Antarlembaga �egara, karangan Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Bisa juga membaca makalah
berjudul: Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan RepubliK Indonesia, ditulis oleh Janedjri M. Gaffar. Surakarta, 17
Oktober 2009 pada situs
<http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/pdfMakalah/makalah_makalah_17_oktober_20
09.pdf> (diakses 10 Desember 2011)
6
“Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, para Pemohon memohon
agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya
sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara RI Tahun 2006
Nomor 62 dan Tambahan Lembaga Negara RI Nomor 4633)
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat
(1) Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2);
3. Menyatakan Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara RI Tahun 2006
Nomor 62 dan Tambahan Lembaga Negara RI Nomor 4633) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau apabila
Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
1.1.1 Pro-Kontra Calon Perseorangan
Akibat keputusan ini telah tercipta ketegangan di Aceh diantara yang pro
maupun kontra terhadap keputusan MK. Tidak hanya pada tataran masyarakat
atau kelas menengah, namun juga telah terjadi ketegangan antara eksekutif dalam
hal ini Gubernur dan Komite Pemilihan Independen (KIP) Aceh di satu sisi yang
mendukung keputusan MK, dengan mayoritas anggota legislatif (DPRA) yang
didominasi Partai Aceh menolak.
Akibat ketegangan antar lembaga ini, tidak hanya menyebabkan proses
penetapan jadwal Pemilukada menjadi tertunda-tunda, namun juga mengancam
demokrasi dan perdamaian di Aceh yang baru berusia enam tahun. Partai Aceh
(PA) yang mendominasi kursi di legislatif mengumumkan tidak akan turut dalam
7
proses Pemilu Kada 6 . Ini tentu membawa implikasi terhadap banyak hal, baik
itu, proses penyenggaraan pemilu Kada, pengawasan dan pelaksaan pemerintahan
jika pemerintahan baru yang terbentuk tidak didukung oleh lembaga legislatif, dan
tentunya terhadap perdamaian Aceh yang tercipta melalui perjanjian dan MoU
Helsinki 7.
Bagi DPRA, MK dianggap telah melanggar MoU Helsinki dan UUPA
dalam mengambil keputusan. Pada Pasal 269 ayat (3) UUPA disebutkan: Dalam
hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih
dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Faktanya MK tidak
melakukan konsultasi. DPRA juga akan menggugat putusan MK dengan alasan
bahwa di dalam Pasal 18b UUD 1945 dijelaskan, negara mengakui daerah yang
6 Dalam konfrensi pers tanggal 7 Oktober 2011, Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf
menyatakan pihaknya tak akan mendaftar Pemilukada 2011 jika tahapannya seperti
yang dijalankan KIP sekarang ini. “"Jika Presiden memberi keputusan tidak jelas,
maksudnya pilkada dilanjutkan sesuai tahapan KIP, maka PA tidak ikut dan
mengundang pihak ketiga dari uni eropa untuk memfasilitasi hal ini," kata Muzakir
Manaf . Lihat; <http://aceh.tribunnews.com/2011/10/07/pa-tidak-mendaftar-bila-
pilkada-tidak-ditunda> (Diakses 25 Januari 2012)
7 Menurut Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga anggota Dewan Perwakilan
Daerah asal Aceh, Ahmad Farhan Hamid, pemerintah tak bisa mengabaikan begitu saja
ancaman Partai Aceh, partai politik lokal yang dibentuk mantan GAM dan sekarang
menjadi mayoritas di DPR Aceh. "Saya mulai cemas. Membayangkan bagaimana
pemerintahan di Aceh ke depan, ketika DPR Aceh tidak bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pilkada Aceh. Berarti DPR Aceh tak akan terlibat dalam pra pengambilan
suara, paripurna penyampaian visi dan misi hingga tahapan pilkada lainnya," kata
Farhan. Ia menambahkan, "Apa yang terjadi setelah pelantikan gubernur dan wakil
gubernur, kalau sejak awal DPR Aceh tidak ikut terlibat pilkada. Padahal kita juga harus
mengakui pentingnya DPR Aceh untuk membangun kebersamaan, mengisi perdamaian
di Aceh dengan pembangunan damai saja tidak cukup, mesti ada keadilan di sana," kata
Farhan. Lihat : Dulu DPR Aceh yang Menolak UUPA, dalam
<http://www.theglobejournal.com/kategori/politik/dulu-dpr-aceh-yang-menolak-
uupa.php> (Diakses 16 Desember 2011)
8
bersifat atau berstatus khusus yang diatur dengan UU. Kekhususan Aceh, diatur
dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 8.
Disisi lain, atas keputusan MK nomor 35/PUU-VIII/2010 yang
membolehkan calon perseorangan ikut dalam pemilukada di Aceh, Komisi
Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai penyelenggara pelaksanaan
Pemilukada mengakomodir Calon Perseorangan dalam Pemilukada dengan
mengeluarkan Keputusan KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tertanggal 12 Mei 2011
yang salah satu isinya adalah menetapkan tanggal 14-November-2011 sebagai hari
pemungutan suara.
Keputusan KIP ini dinilai oleh DPRA melanggar aturan karena
menyelenggarakan pelaksanaan tahapan Pemilukada tidak berdasar pada Qanun
(Peraturan Daerah) yang harusnya melalui institusi DPRA. Panitia Khusus
(Pansus) DPRA dalam pertemuan lanjutan dengan KIP Provinsi Aceh, meminta
KIP untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan
kembali calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada) 9.
8 Dalam pernyataan sikap Partai Aceh, Muzakkir Manaf mengatakan: “Kami merasakan sebuah
upaya kesengajaan dan sistematis untuk menggiring kami ke dalam perdebatan
Menyetujui atau Tidak menyetujui calon independen di Aceh. Bagi kami masalah utama
bukanlah pada Ada atau Tidak adanya calon independen, yang menjadi masalah utama
bagi kami adalah pencabutan salah satu pasal dalam UUPA oleh Mahkamah Konstitusi
dengan tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai perwujudan
lembaga yang mewakili rakyat Aceh.”
9 Adnan Beuransyah dari Partai Aceh mempertanyakan alasan KIP Aceh mengakomodir calon
perseorangan dan meminta agar tahapan pemilihan yang telah ditetapkan KIP
dibatalkan. Menurutnya, Aceh memiliki undang-undang yang lex-specialis dan
penetapan pilkada wajib berpedoman pada qanun. Sementara KIP telah menetapkan
tahapan pilkada tanpa menunggu lahirnya Qanun dan surat pemberitahuan dari DPRA
menyangkut masa berakhir jabatan Gubernur Aceh. Anggota Pansus yang lain dari
Partai Aceh, Ir. Jufri Hasanuddin meminta KIP untuk mengabaikan putusan Mahkamah
9
Penentuan tanggal 14 November 2011 sebagai hari pencoblosan
didasarkan pada ketentuan undang-undang bahwa tahapan Pilkada digelar
sekurang-kurangnya enam bulan sebelum hari pencoblosan atau delapan bulan
sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Masa jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Aceh periode 2007-2012 yang dijabat oleh Irwandi Yusuf dan
Muhammad Nazar berakhir pada 8 Februari 2012. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) menyatakan komitmen mengawal setiap proses pemilihan kepala daerah
(Pilkada) di Provinsi Aceh yang digelar pada 14 November 2011. "Kami akan
mengawal Pilkada Aceh agar berjalan demokratis sesuai dengan tahapan yang
telah ditetapkan," ujar anggota KPU Abdul Aziz 10
.
Atas hal tersebut, KIP telah menerima pencalonan kepala daerah dari
jalur perseorangan. Termasuk didalamnya gubernur incumbent, Irwandi Yusuf
mendaftar kembali sebagai calon gubernur 11
. Para calon dari jalur perorangan
dari berbagai kabupaten menggalang kekuatan untuk bersama-sama mendesak
agar pilkada harus berjalan sesuai jadwal yang ditentukan KIP tersebut.
Konstitusi yang memperbolehkan calon perseorangan maju dalam Pilkada di Aceh
dengan merujuk pada fenomena apa yang terjadi di Kotawaringin Barat Kalimantan
Tengah dimana putusan MK tidak dieksekusi terkait dengan pelaksanaan Ujian
Nasional. Atas dasar itu, Jufri Hasanuddin meminta KIP untuk mengabaikan putusan
MK, karena Aceh punya kekhususan seperti diatur dalam UU No. 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA). Lihat: “Pansus DPRA Minta KIP Aceh Abaikan
Putusan MK”.
<http://www.analisadaily.com/news/read/2011/08/16/8870/pansus_dpra_minta_kip_ace
h_abaikan_putusan_mk/#.TuCBn7KjLjY>. (Diakses 10 Oktober 2011)
10
Sayfputri, Ella (ed), 2011, “KPU Kawal Pilkada Aceh”, Antaranews, 17 Juni.
<http://www.antaranews.com/berita/263558/kpu-kawal-pilkada-aceh>. (Diakses 10
Oktober 2011).
11
Pencalonan kembali Irwandi sebagai Gubernur untuk yang kedua kalinya menjadi salah satu
pemicu konflik di-internal Eks GAM. Tentang hal ini, International Crisis Group (ICG)
membuat analisa tentang "GAM vs GAM". Lebih lengkap, silahkan buka:
<http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-east-asia/indonesia/B123-indonesia-
gam-vs-gam-in-the-aceh-elections.aspx> (Diakses 15 Oktober 2011).
10
1.1.2. Polarisasi Kekuatan; pro vs kontra keputusan KIP
Sepak terjang para bakal calon dari jalur perseoranga/independen yang
telah mendaftarkan diri ke KIP untuk ikut pilkada membuat gerah pimpinan partai
politik yang "dimotori" Partai Aceh (33 kursi), Partai Demokrat (10 kursi) dan
Partai Golkar (8 kursi). Ketiga partai ini memiliki kursi terbanyak di parlemen
(DPRA)12
. Sejumlah partai "kecil" meski ada yang tidak memiliki kursi di DPRA
juga ikut bergabung untuk menolak pilkada sesuai jadwal ditentukan KIP.
Bahkan, Partai Aceh sebagai partai lokal pemenang Pemilu 2009
menginstruksikan kadernya yang menjadi pimpinan daerah (bupati/wali kota)
untuk menghentikan penyaluran dana pilkada 13
.
Sebanyak 16 partai politik (parpol) yang tergabung dalam Forum
Silaturahmi Parpol mengajukan surat permohonan kepada presiden RI, Susilo
Bambang Yudhoyono agar menunda pilkada di Aceh. Jika tidak dikabulkan
Presiden, maka parpol kemungkinan tidak akan mendaftarkan dari kubu mereka
sebagai calon gubernur/wakil gubernur, maupun bupati/wakil bupati, dan wali
kota/wakil wali kota.
Menurut Juru Bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, Mawardy Nurdin
yang juga ketua Partai Demokrat Aceh kesepakatan meminta tunda pelaksanaan
pilkada muncul dalam pertemuan silaturahmi lintas parpol Rabu (13/7/2011).
Menurut Mawardy, keinginan tersebut bukan kemauan satu parpol saja. Juga tidak
12
Urutan perolehan kursi hasil pemilu legislatif 2009 bisa dilihat pada bab berikutnya.
13 Azhari, 2011, Menanti Solusi Damai Pilkada Aceh, LKBN ANTARA, 27 Juli.
<http://www.antara-aceh.com/menanti-solusi-damai-pilkada-aceh.html>, (diakses 10
Desember 2011).
11
ada kaitannya dengan belum diakomodasinya calon perseorangan oleh DPRA
dalam Qanun Pilkada yang telah disahkan 28 Juni lalu melalui Sidang Paripurna
DPRA. Langkah ini diambil berdasarkan pendapat yang sama antara parpol yang
sama-sama mengamati bahwa menjelang pilkada ini suhu politik di Aceh telah
memanas. Jika suhu politik yang kian memanas itu tidak dikendalikan, lanjut
Mawardy, maka menurut perkiraan pengurus parpol yang hadir dalam pertemuan
tersebut, bisa menimbulkan konflik baru di tengah-tengah masyarakat Aceh. Maka
salah satu jalan untuk menurunkan suhu politik yang telah memanas itu adalah
dengan menunda pilkada.
Dalam surat kepada presiden tersebut, pada poin b menyebutkan bahwa
penetapan batas waktu pendaftaran calon dari parpol pada 5 Agustus 2011 yang
telah ditetapkan KIP Aceh, dinilai parpol sebagai penetapan sepihak. Alasannya,
karena belum ada persetujuan dari DPRA sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 66
ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pertimbangan lainnya, Qanun Pilkada yang telah disahkan DPRA pada
28 Juni 2011 dalam sidang paripurna, belum diteken Gubernur Aceh, dengan dalih
eksekutif belum sepakat dengan sebagian isi qanun tersebut. Kondisi itu telah
membuat konflik regulasi dalam pelaksanaan pilkada. Menurut para pengurus
parpol yang hadir dalam pertemuan itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut,
maka pilkada perlu ditunda. Saran itu diterima dan disepakati oleh seluruh
anggota forum 14
.
14
Harismanto (ed), 2011, 16 Parpol Ancam Boikot Pemilukada di Aceh, koran Serambi edisi 16
Juli. 16 Partai yang dimaksud adalah: (1).Partai Aceh, (2) Partai Demokrat, (3). Partai
Golongan Karya, (4) Partai Amanat Nasional, (5). Partai Persatuan Pembangunan, (6).
Partai Keadilan Sejahtera, (7) PKPI, (8) Partai Kebangkitan Bangsa, (9), Partai Daulat
12
Selang tiga hari usai pernyataan Forum Silaturahmi Parpol, pada tanggal
18 Juli 2011, sebanyak 175 orang calon pimpinan daerah di Aceh dari dari jalur
independen/perseorangan membuat pernyataan yang intinya menolak penundaan
Pilkada dan mendukung pelaksanaan sesuai dengan tahapan yang ditetapkan oleh
KIP.
Berikut dua diantara enam pernyataan Persaudaraan Calon Perseorangan
Seluruh Aceh:
Kami calon perseorangan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati,
walikota/wakil walikota seluruh Aceh dengan ini mendeklarasikan dan
menyatakan sikap:
1. Mendukung pelaksanaan Pemilukada sesuai dengan tahapan yang
telah ditetapkan oleh KIP Aceh, secara demokratis, adil dan sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik
Indonesia.
2. Mendukung sikap KPU, KIP Aceh, KIP kabupaten/kota yang telah
melaksanakan tahapan Pemilukada sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku serta mengakomodir calon perseorangan
sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi 15
1.1.3 Dari penolakan menjadi Penundaan
Polarisasi antara kekuatan yang menolak dengan yang menyetujui calon
perseorangan menjadi berubah seiring dengan berbagai lobby dilakukan oleh
masing-masing pihak. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan terhadap
Aceh, (10). Partai Patriot, (11). PDI-Perjuangan, (12) Partai Hati Nurani Rakyat, (13).
Partai Bintang Reformasi, (14). Partai Pelopor, (15). Partai Gerakan Indonesia Raya,
(16). Partai Pemuda Indonesia. Lihat: <http://www.tribunnews.com/2011/07/16/16-
parpol-ancam-boikot-pilkada-di-aceh>. (Diakses pada 12 Desember 2011). Dalam
perkembangannya, terjadi ‘perpecahan’ dalam tubuh Forum Silatuhmi Parpol Aceh
karena tidak ada konsistensi diantara anggota dimana pada akhrinya Partai Demokrat
ikut mencalonkan sebagai kandidat Gubernur Aceh dari jalur partai walaupun Qanun
tidak melaui DPRA.
15 Acehkita, 2011, Kesepakatan Duek Pakat Calon Independen. Aceh Kita, 18 Juli.
<http://www.acehkita.com/berita/kesepakatan-duek-pakat-calon-independen/>
(Diakses 12 Desember 2011)
13
tuntutan dari penolakan terhadap putusan MK tentang calon perseorangan menjadi
penundaan jadwal Pilkada berdasarkan ketetapan yang dilakuka oleh KIP.
Pemerintah pusat, melalui Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK)
Desk Aceh, sebuah organ resmi dibawah kementerian Politik Hukum dan
Keamanan memberikan ultimatum jika dalam tempo dua minggu Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak juga menghasilkan qanun, maka aturan
Pemilu Kada Aceh akan kembali menerapkan qanun Nomor 7 Tahun 2007 yang
didukung oleh Pasal 123 UU Nomor 22 Tahun 2007. Tidak hanya untuk KIP,
Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) juga berhak mengadakan pengawasan
untuk memastikan Pemilu kada berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Ketua
FKK Desk Aceh Amiruddin Usman mengatakan keterlibatan Menkopulhukam
dalam Pemilukada Aceh tidak mendukung siapa–siapa, tidak mendukung Komisi
Independen Pemilihan (KIP) dan pihak-pihak lain, mereka tugasnya hanya
menetralisir politik saja. “Kita akan melibat semua kalangan dalam Pemilukada
Aceh, tujuannya untuk Aceh juga,” lanjutnya. Amiruddin juga berharap di Aceh
berjalan demokrasi dalam segala bidang, termasuk demokrasi yang tidak
menggunakan kekerasan 16
.
Jika merujuk pada Pasal 236A Undang-undang No 32/2004 disebutkan,
penundaan bisa dilakukan jika terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan
keamanan, atau gangguan lainnya. Pasal 236A menyebutkan:
16 Zuboidi, Hayatullah, 2011, FKK Desk Aceh: Dua Minggu DPRA Selesaikan Qanun Pilkada,
The Globe Journal, 23 Juni. <http://www.theglobejournal.com/kategori/politik/fkk-
desk-aceh--dua-minggu-dpra-selesaikan-qanun-pilkada.php> (diakses 12 Desember
2011).
14
“Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam,
kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya di
seluruh atau sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan
sesuai dengan jadwal, pemilihan ditunda yang ditetapkan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Dalam konteks aturan sebagaimana dinyatakan diatas, tidak ada alasan
Pilkada untuk ditunda. Namun, sebagai konsekuensi dari kekecewaan atas
dikabulkannya calon perserorangan, DPRA yang di dominasi Partai Aceh
membuat target agar Pilkada, kalaupun berlangsung dan tetap melibatkan calon
perseorangan adalah dilakukan ketika Irwandi sudah tidak menjabat. Ini dilakukan
dengan cara menunda pengajuan Rancangan Qanun sehingga jadwal bisa bergeser
sesuai target mereka. 17
Dalam perkembangannya, wacana politik yang terjadi bukan lagi
membicarakan tentang ada atau tidaknya Calon Perseorangan, namun fokus pada
waktu pelaksanaan Pilkada; ditunda atau sesuai jadwal yang ditentukan oleh KIP.
17
Mengingat masa jabatan Gubernur Aceh berakhir pada 8 Februari 2012, maka KIP Aceh
membuat tahapan Pemilukada mulai 17 Juni 2011. Seharusnya tahapan itu disertai
dengan surat ketua DPRA yang memberitahukan tentang berakhirnya masa jabatan
Gubernur. KIP Aceh sebenarnya sudah meminta DPR Aceh untuk mengirimkan surat
ini. “Sudah tiga kali kami mengirim surat kepada DPR Aceh untuk membicarakan
masalah surat tersebut. Tapi mereka tidak menggubris. DPR Aceh terus berupaya
menunda-nunda Pemilukada ini tanpa alasan hukum yang jelas. Kami tidak mau
mengambil risiko, makanya kami terpaksa jalan sendiri meski tidak mendapat dukungan
dari DPR Aceh,” ujar Ilhan Syahputra, Wakil Ketua KIP Aceh. “Kita ingin ada
pelaksana tugas Gubernur Aceh untuk sementara,” kata Adnan Beuransyah, Ketua
Komisi A yang berasal dari Partai Aceh. Dengan demikian dalam pertarungan
Pemilukada Aceh 2012 tidak ada kandidat incumbent.
15
Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menyertai proses tarik-menarik jadwal
Pilkada.
1. Jalur Hukum. Berbagai pihak mengajukan tuntutan kepada
Mahkamah Konsitusi dengan sejumlah dasar hukum yang menyertai.
Ada yang di tolak, namun ada juga yang dikabulkan sehingga ada
ketetapan hukum dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh.
2. Jalur 'egosiasi. Sejumlah pihak, baik yang pro maupun yang kontra
terhadap calon perseorangan atau terhadap penentuan jadwal Pilkada
melakukan negosiasi dengan berbagai stakeholder, di pusat, maupun di
Aceh. ‘Permainan’ lobby dalam upaya negosiasi ini, ada yang tercium
media, ada yang tidak. Ada yang terlihat hasilnya, namun ada juga
yang gagal. 18
3. Jalur Kekerasan. Sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di Aceh
selama periode 2011 hingga Januari 2012, awalnya oleh pemerintah
pusat, dalam hal ini Kemenko Polhukam dan Polri dinilai tidak ada
hubungannya dengan Pemilu Kada. Namun, pada akhirnya Presiden
SBY dan Menko Polhukam menegaskan bahwa kekerasan yang terjadi
di Aceh ada hubungannya dengan Pilkada.
18
Beberapa Fenomena yang terlihat dari hasil lobby adalah, terkuaknya ‘komitmen’ atau
kesepakatan tertulis antara Partai Aceh dengan Dirjen Otda Kemendagri yang menjamin
bahwa Pilkada akan di tunda. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, komitmen
tersebut tidak terbukti. Selain itu, yang dianggap fenomenal adalah, perubahan sikap
Partai Aceh yang awalnya memboikot dan menolak Pilkada, namun pada akhirnya
meminta peluang pendaftaran Pilkada dibuka kembali. Atas hal itu, jalur hukum
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan akhirnya pada 20 Januari 2012, Partai Aceh secara
resmi mendaftarkan diri ikut dalam Pilkada.
16
Ketiga hal ini saling terkait. Sudah lima kali dilakukan penundaan atau
pergeseran jadwal Pilkada.
1. 10 Oktober 2011 (belum ada dasar hukum berupa keputusan KIP)
2. 14 November 2011 (Keputusan KIP Nomor 1 tahun 2011).
3. 24 Desember 2011. (Keputusan KIP nomor 17 tahun 2011)
4. 16 Februari 2012 (Keputusan KIP Nomor 26 Tahun 2011)
5. 9 April 2012 (Keputusan KIP Nomor 31 Tahun 2012)
Walaupun tiga faktor diatas saling terkait, dalam penelitian ini, faktor
kedua, yakni jalur negosiasi yang akan dijadikan fokus penelitian ini.
1.2. Rumusan Masalah
Dari fenomena diatas, ada beberapa rumusan masalah yang akan menjadi
objek penelitian dalam Tesis ini.
1. Bagaimana proses negosiasi sehingga Partai Aceh yang menentang
keputusan MK tentang calon perseorangan berubah menjadi
menerima?
2. Siapa aktor yang terlibat dan bagaimana perannya dalam proses
negosiasi tersebut ?
3. Apa yang menjadi tawar-menawar antar pihak dalam proses negosiasi
tersebut ?
1.3. Tujuan Penelitian
Seperti halnya disebutkan dalam rumusan masalah diatas, tujuan
penelitian ini adalah untuk:
17
1. Mengetahui tentang proses negosiasi baik secara formal maupun
informal dalam menyelesaikan masalah, khususnya tentang polemik
calon perseorangan, pada Pilkada Aceh.
2. Mengetahui aktor baik yang muncul di media dan berada di lingkaran
pemerintahan, maupun yang tersembunyi dan bukan dari
pemerintahan serta peran yang dilakukan oleh aktor tersebut dalam
memberikan kontribusi penyelesaian konflik Pilkada Aceh.
3. Mengetahui posisi tawar-menawar antara mereka yang berkonflik
dalam mencapai kesepakatan.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1.4.1 Proses 'egosiasi dan Penyelesaian Perselisihan
Mencermati proses Pilkada Aceh yang pada akhirnya bisa didapat jalan
keluarnya, merupakan sebuah fakta bahwa negosiasi atau pendekatan jalur diluar
hukum menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan yang ada. Secara
terminologi negosiasi didefenisikan sebagai: The process where interested parties
resolve dispute, agree upon courses of action, bargain for individual or collective
adventage, and/or attempt to craft outcomes which serve their mutual interests.
Atau sebuah proses perundingan dua pihak yang bertikai baik sifatnya individual
maupun kolektif untuk mencari solusi penyelesaian bersama yang saling
menguntungkan.
Tentunya masih banyak definisi lain terkait dengan negosiasi, namun
hampir semuanya berujung pada sebuah definisi yang sama yakni: proses yang
menggabungkan sudut pandang yang berbeda untuk menghasilkan sebuah
18
kesepakatan. Didalamnya terjadi tawar menawar dan usulan dalam memecahkan
permasalahan.
Dalam kaitan ini, negosiasi yang relevan dengan apa yang terjadi pada
fenomena Pilkada Aceh adalah teori Back Channel �egotiation (BC�). Walaupun
teori ini lebih tepat digunakan dalam hal hubungan internasional atau proses antar
negara, namun jika ditelusuri kaitan anatar Back Channel Negotiation dengan
proses penyelesaian sengketa pilkada Aceh menjadi sangat relevan dan tepat
untuk dijadikan pisau analisa.
Anthony Wanis-St. John mendefiniskan Back-channel negosiasi (BCNs)
adalah sebuah proses negosiasi yang tidak biasa, dilakukan secara rahasia antara
pihak yang bersengketa dan beroperasi secara paralel dilakukan secara rahasia
antara pihak yang bersengketa. 19
BCN dapat digambarkan sebagai "pasar gelap"
proses negosiasi, yang memberikan ruang negosiasi terpisah dimana perundingan
berlangsung secara tersembunyi. Disini Anthony Wanis memberikan contoh
bahwa sebagian pertemuan dan kesepakatan yang ditandatangani antara Israel dan
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) telah dicapai dengan menggunakan BCN,
disamping beberapa negosiasi yang juga dilakukan dikombinasikan dengan sistem
terbuka.
Lantas siapa back-channel negosiator? Anthony Wanis-St. John
menjelaskan dalam perundingan internasional, terutama yang terkait dengan
perang dan perdamaian, back-channel negosiator-nya cenderung seorang individu
19
St. John, Anthony Wanis, 2006, “In Theory Back-Channel Negotiation: International
Bargaining in the Shadows” Negotiation Journal, April, hal 119
<http://www.american.edu/sis/faculty/upload/wanis-in-theory-back-channel-
negotiation.pdf.> (diakses 20 September 2012).
19
yang relatif dengan para pengambil keputusan level atas. Mereka memiliki
‘otoritas’ dalam mengeksplorasi berbagai pilihan serta mampu berkomitmen
dalam sebuah kesepakatan. Seorang perunding back-channel bisa seorang pribadi
atau individu yang memiliki akses eksklusif kepada presiden atau perdana
menteri. Negosiator BCN terkadang tanpa status resmi, namun dapat
memanfaatkan hubungan yang erat dengan para pengambil keputusan resmi dan
mendapatkan status resmi. Para negosiator back-channel lebih sering berhasil
dalam mencapai kesepakatan dibandingkan negosiator front channel menunjukkan
bahwa back channel yang lebih praktis, sementara front channel lebih teoritis.20
Disamping proses dengan menggunakan metode back channel
negotiation, metode ADR (Alternative Dispute Resolution) pada penyelesaian
pilkada Aceh juga sangat relevan. Sesaat setelah MK mengabulkan
diperbolehkannya calon perseorangan ikut dalam Pilkada, maka yang terjadi
adalah ‘sengketa regulasi’ dari masing-masing kekuatan, antara yang Pro dan
yang Kontra karena adanya perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian.
Dalam sejarahnya, bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan
banyak berorientasi pada bagaimana memperoleh kemenangan (seperti
peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan
yang menjadi tujuan utama, para pihak cenderung berupaya mempergunakan
berbagai cara untuk mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan
hukum. Akibatnya, apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang
hubungan diantara pihak-pihak yang bersengketa menjadi buruk, bahkan berubah
20
Ibid, hal 120-122
20
menjadi permusuhan.Dalam perkembangannya, bentuk penyelesaian berubah
melalui cara kompromi. Cara ini dianggap lebih elegan, karena tidak ada yang
merasa dikalahkan/dirugikan.
Usaha-usaha untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa alternatif
ini terjadi pada saat Warren Burger (mantan Chief Justice) diundang pada suatu
konferensi yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of Popular
Dissatisfaction with the Administration of Justice (Pound Conference) di Saint
Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum, serta pengacara yang
menaruh perhatian pada masalah sengketa/konflik berkumpul bersama pada
konferensi tersebut. Beberapa makalah yang disampaikan pada saat konferensi,
akhirnya disusun menjadi suatu pengertian dasar (basic understanding) tentang
penyelesaian sengketa.
Beberapa tahun berikutnya, penyelesaian sengketa alternatif atau ADR
(Alternative Dispute Resolution) mulai diterapkan secara sistematis. Hakim
seringkali memerintahkan kepada para pihak untuk ikut berpartisipasi dalam suatu
persidangan. Peraturan di pengadilan senantiasa mensyaratkan para pihak untuk
menyelesaikan kasus-kasus tertentu (seperti: malpraktek) melalui arbitrase,
bahkan di beberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebih
dahulu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui cara mediasi
sebelum menempuh jalur pengadilan 21
.
21
Nolan-Haley, Jacqueline M, (1992), Alternative Dispute Resolution in a �utshell, West
Publishing Co, St. Paul, Minnesota, USA 1992, hlm. 4-4 dikutip dari
<http://resources.unpad.ac.id/unpad-
content/uploads/publikasi_dosen/1D%20MPSA%20e.%20commerce.pdf.> (diakses 26
Januari 2012).
21
Munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosial
dimana pengadilan sebagai satu satu lembaga penyelesaian perkara dipandang
belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat.
Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan banyak faktor, antara lain
penyelesaian jalur litigasi pada umumnya lambat (waste of time), pemeriksaan
sangat formal (folrmalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk
pengadilan sudah overloaded. Disamping itu keputusan pengadilan selalu diakhiri
dengan menang dan kalah, sehingga kepastian hukum dipandang merugikan salah
satu pihak berperkara. Hal ini berbeda jika penyelesaian perkara melalui jalur
mediasi, dimana kemauan para pihak dapat terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya.
Penyelesaian ini mengkedepankan kepentingan dua pihak sehingga putusannya
bersifat win-win solution.
Negosiasi dan mediasi merupakan salah satu diantara Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Alternatif. Dalam upaya melalukan negosiasi dan mediasi,
diawali dengan proses lobby. Lobby dinilai sebagai pembuka jalan dalam proses
negosiasi. Dalam pandangan David P. Barash dan Charles P. Webel, negosiasi
dianggap membantu menyelesaikan konflik dimana pihak-pihak yang bertikai
mencari penyelesaian bagi perbedaan mereka. Untuk itu, agar membuahkan hasil,
maka negosiasi harus dipandang sebagai non-zero-sum solution, yakni solusi
tanpa kalah-menang, dimana keberhasilan di satu sisi, tidak harus diimbangi
22
dengan kekalahan di sisi yang lain. Begitu pun sebaliknya. Dengan demikian yang
dicapai adalah win-win solution. 22
Dalam kajian yang lain, IDEA (Institute for Democracy and Electoral
Assistance) menyebutkan bahwa ada empat elemen kunci dalam proses negosiasi.
1. Kebuntuan yang dilihat bersama. Negosiasi biasanya cenderung terjadi
kalau kedua belah pihak melihat kebuntuan dengan cara yang sama, yang
sering disebut sebagai “skakmat yang menyakitkan”.
2. Menangkap “Peluang Kesempatan”. Kehadiran kebuntuan saja, saat itu,
tidak cukup. Ia juga bisa menghasilkan jendela kesempatan, waktu yang
“matang” untuk penyelesaian, akan tetapi waktu yang matang harus
dikenali, ditangkap dan digunakan. Konflik yang sedang berlangsung
harus secara konstan dievaluasi dan diamati untuk meyakinkan “jendela-
jendela kesempatan” tidak hilang.
3. Pentingnya kepercayaan. Musuh tidak perlu jadi kawan. Tetapi negosiasi
memang membutuhkan usaha kooperatif yang minimal.
4. Fleksibilitas. Proses negosiasi perlu tetap fleksibel. Terlalu banyak
prakondisi akan menjadi hambatan bagi dialog.23
Guna memecah kebuntuan, IDEA memberikan beberapa teknik atau
solusi. Diantaranya adalah dengan cara: Pertama, Membangun koalisi, yakni
22
Barash, D.P. dan Webel, C.P, 2002, Peace and Conflict Studies, London, SAGE Publications
hal 283
23 Haris, P dan Reilly, B (Ed), 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan
untuk �egosiator, Judul Asli Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for
�egotiators, Stockholm, Swedia, International IDEA hal 68.
23
membangun sebuah koalisi komitmen yang kuat antara semua pihak yang
menganggap negosiasi penting. Kedua, Gunakan cara-cara tidak resmi yang dapat
melengkapi dan kadang kala menggantikan sementara cara-cara resmi. Semakin
banyak terdapat jalur tidak resmi, semakin mudah melanjutkan diskusi mengenai
masalah yang dalam forum resmi tidak dapat dinegosiasikan secara terbuka.
Ketiga, Subkelompok, Ketika halangan tertentu memacetkan negosiasi, sub-
kelompok atau sub-komite dapat membicarakan masalah tersebut secara lebih
terbuka, di luar formalitas.
Keempat, Mediasi ulang-alik, yakni Diskusi antara pimpinan sidang
atau mediator dengan masing-masing pihak secara bergantian, sehingga
memungkinkan proses penjelasan posisi tiap-tiap pihak mengenai masalah
tertentu, mengkomunikasikannya secara akurat, dan mendefinisikan keinginan dan
harapan tiap pihak mengenai masalah tersebut. 24
Dari sisi waktu dan peran, negosiasi bisa terjadi pada 3 tahapan.
Pertama, diawal ketika konflik mulai menjadi isu. Kedua, ketika negosiasi
menawarkan solusi dan atau resolusi. Dan ketiga, ketika terjadi krisis, atau ketika
tahapan satu dan kedua gagal.
Menurut Marjorie Corman Aaron seperti dikutip oleh Arbono
Lasmahadi, dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus
membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan
dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar
yang dimaksud antara lain :
24
Ibit hal 106
24
1. Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan
dalam negosiasi ?
2. Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima
sebagai sebuah kesepakatan ?
3. Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat
pertukaran yang ingin dilakukan
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, beberapa konsep
penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :
1. BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement) = Pilihan
terbaik dari hasil sebuah negosiasi.
2. WATNA (Worst Alternative to a Negotiated Agreement) = Pilihan
terburuk dari hasil sebuah negosiasi.
3. ZOPA (Zone of Possible Agreement) = Zona dimana pihak-pihak
yang berunding dapat merumuskan kesepakatan.
4. MLATNA (Most Likely Achievement to a Negotiated Agreement) =
Hasil tertinggi yang dapat diperoleh dari sebuah negosiasi.
Mediasi merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam proses
penyelesaian perselesihan. Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu
cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara
(mediator). Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan
yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang
bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan
perselisihan.
25
Pada fenomena konflik Pilkada di Aceh yang menjadi penelitian ini,
walaupun pada akhirnya proses pelaksanaan pilkada melalui jalur hukum, yakni
keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar dan pijakan Komite Independen
Pemilihan (KIP) Aceh dalam menjalankan penyelenggaraan Pilkada, namun,
proses negosiasi dan mediasi dilaksanakan sedemikian rupa. Sehingga dicapai
sebuah hasil kompromi yang win-win solution.
1.4.2 'egosiasi pada era ‘post-conflict’
Kesepakatan Damai atau Nota Kesepahaman Perdamaian atau dikenal
dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak yang bertikai bukan
berati segalanya selesai. Benar bahwa MoU dijadikan momentum berakhirnya
konflik, namun MoU hanya sebagai pintu gerbang menuju perdamaian yang
‘sebenarnya’. Masih ada tugas yang sangat berat pada masa pasca MoU (post-
conflict peacebuilding)25
.
Bisa jadi benar apa yang diungkapkan oleh seorang ahli strategi militer
dari zaman Presia, Carl Philip Gottfried von Clausewitz bahwa To secure peace is
to prepare for war. Perang dan damai merupakan pasangan abadi dari sebuah
keping mata uang. Keberadaan yang satu menyiratkan keberadaan yang lain di sisi
25
. Anggoro, Kusnanto, 2009, Pengantar pada jurnal, POST-CO�FLICT PEACEBUILDI�G,
Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual. Editor T Hari Prihatono, Jakarta,
ProPatria Institute, hal 4.
<http://www.propatria.or.id/loaddown/Naskah%20Akademik/4_companion-
2_academic%20paper_manual_pcpb%20edit%20kritik%20dan%20sarannya.pdf.>
(diakses 22 Agustus 2010). Dalam penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah
post-conflict peacebuilding. Namun dalam beberapa redaksional lain menggunakan
istilah Pasca-Konflik. Atribusi “post-konflik” pada istilah “post-conflict peacebuilding”
baru muncul pada akhir 1990-an. Sebelum itu, tahapan setelah dicapainya persetujuan
damai disebut secara luas sebagai “peacebuilding”, yang bersama dengan peacemaking
(peace enforcement) dan peacekeeping, merupakan bagian penting dari strategi resolusi
konflik.
26
sebaliknya. Sebuah perdamaian meski dianggap bagai jembatan emas menuju
kebahagiaan, mesti diwaspadai akan kerapuhannya yang dapat berbalik menjadi
pertikaian yang berdarah-darah.26
Dengan mengutip sejumlah sumber, Rizal Sukma melansir sebuah
kenyataan yang kerap mengganggu bagi mereka yang terlibat dan
bertanggungjawab atas penyelenggaraan post-conflict peacebuilding. Menurut
Rizal, fakta menyebutkan bahwa sekitar 50 persen konflik yang telah diselesaikan
secara politik, terulang kembali dalam kurun waktu sepuluh tahun. Sementara itu,
berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 30 persen konflik
kembali terjadi dalam kurun waktu lima tahun. Doyle dan Sambanis bahkan
menemukan bahwa untuk periode 1945-1999, sekitar 30 persen konflik kembali
terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun. Data demikian menunjukkan bahwa
berakhirnya sebuah konflik tidak secara otomatis melahirkan sebuah
perdamaian.27
Dalam kajian lain, bahaya yang lebih besar mengancam jika perjanjian
yang telah dicapai tidak dapat dipertahankan, daripada jika ia tidak pernah dicapai
sama sekali. Konsekuensi kegagalan mungkin menyebabkan hilangnya
26
LIPI Press, 2006, Editorial Jurnal; “Ambiguitas Perdamaian”, Pusat Penelitian Politik, Year
Book 2006, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, LIPI Press, Jakarta,
Hal v
27 Sukma, Rizal, 2009, “Stabilisasi dan Pemulihan Pasca Konflik” dalam POST-CO�FLICT
PEACEBUILDI�G, Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual, Editor T Hari
Prihatono, Jakarta, ProPatria Institute, hal 57.
27
kepercayaan dan saling menyalahkan antar pihak-pihak yang ada. Kondisi seperti
ini akan mengacaubalaukan seluruh proses (implementasi). 28
Ancaman kembalinya konflik kekerasan merupakan hantu yang amat
menakutkan. Dalam berbagai kajian disebutkan bahwa kembalinya konflik
kekerasan (conflict reemergence, conflict relapse) membawa konsekuensi yang
kerap kali tak tertanggungkan. Selain konsekuensi fisik, misalnya jatuhnya korban
yang tidak perlu, kembalinya konflik dipastikan memperkeruh suasana,
menghapus kesalingpercayaan, dan kian mengguratkan luka yang semakin dalam.
Akumulasi dari sejunlah persoalan itu menyebabkan konflik seringkali memasuki
ruang baru yang lebih menjauhkan tujuan-tujuan perdamaian jangka panjang. 29
Ted Robert Gurr menegaskan bahwa kesepakatan damai biasanya
mampu meredam konflik bersenjata, namun pertikaian dapat terus berlangsung
selama waktu implementasi kesepakatan atau sampai beberapa tahun setelah itu.
Konflik bersenjata dapat terus berlangsung dan berkepanjangan bahkan setelah
kesepakatan damai ditandatangani. 30
28
Carlos Santiso, Peter Harris, dan David Bloomfield, 2000, “Memelihara Perjanjian
Perdamaian”, dalam Peter Harris dan Ben Reilly (Ed), op cit, Hal 347. Dalam kajian
IDEA ada beberapa contoh yang dikemukakan. Misalnya di Anggola dimana
konsekuensi dari kegagalan Persetujuan Bicesse, ketika Jonas Savimbi menolak untuk
menerima hasil pemilihan umum pertama pasca-konflik pada tahun 1992 dan
mengumumkan perang sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan dengan kekuatan
senjata, menyebabkan kematian 300.000 penduduk. Contoh lain di Rwanda pada tahun
1994, dimana ekstrimis Hutu menolak perjanjian damai Arusha; konsekuensinya adalah
pembantaian massal sekitar satu juta penduduk Rwanda.
29 Kusnanto Anggoro, op cit, hal 6
30 Gurr, Ted Robert, 2000, The Challenge of Resolving Ethnonational Conflicts, dalam Peoples
versus States, Minorities at Risk in the �ew Century, Washington, D.C, United States
Intitute Of Peace Press, hal 197. Ada sejumlah contoh yang dikemukakan oleh Gurr.
Kelompok Basque di Spanyol, misalnya. Mereka telah memperoleh perluasan wilayah
otonomi regional, namun separatis ETA tetap melanjutkan aksi teror mereka dalam
28
Dalam penelitian itu Gurr berkesimpulan konflik bersenjata bisa
berlangsung dan kembali terjadi pada 13 dari 30 negara yang mengalami konflik
dimana para tokoh/pihak yang bertikai menganggap mereka telah mencapai
kesepahaman. Resiko adanya pemberontakan baru akan semakin serius bilamana
kesepakatan/perjanjian damai yang baru dicapai tidak secara penuh
diimplementasi. 31
Dalam studinya, Dan Smith mengidentifikasikan empat penyebab utama
pengulangan konflik. Pertama, konflik terulang kembali karena tidaknya adanya
kesungguhan dari pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik. Kedua,
karena adanya kekecewaan dari salah satu atau lebih pihak yang bertikai ketika
apa yang diharapkannya dari perdamaian tidak tercapai. Misalnya, ada pihak yang
bersedia menandatangani penghentian konflik bersenjata karena yakin akan
menang dalam pemilu. Namun, ketika harapan itu tidak terwujud, maka pihak
tersebut akan kembali memulai konflik bersenjata. Alasan ketiga adalah
perpecahan internal dalam salah satu kelompok yang bertikai, yang kemudian
melahirkan kelompok sempalan, yang terus melanjutkan konflik bersenjata.
tuntutan untuk merdeka secara penuh sampai dengan tahun 1998. Di akhir tahun 1999,
dalam penelitian Gurr tersebut ditemukan 4 dari 30 negara mengalami konflik
dikarenakan adanya kelompok yang memberontak yang menolak implementasi
kesepakatan (MoU), seperti di Palestina dan kelompok militan pro Indonesia di Timor
Leste. Di sejumlah negara lainnya, konflik senjata masih terus terjadi bahkan sampai 10
(sepuluh) tahun tercapainya kesepahaman atau perjanjian damai. Konflik di Philipina
Selatan, misalnya. Disana ada kelompok pergerakan yang memberontak menuntut
adanya implementasi secara penuh terhadap kesepakatan damai di tahun 1996 yang
sebetulnya telah disepakati oleh kebanyakan masyarakat muslim di Mindinao. Contoh
lain di Sudan, kesepakatan yang dicapai mampu berlangsung damai selama 1 dekade,
namun, selanjutnya terjadi pemberontakan baru.
31 Ibid hal 203.
29
Alasan keempat adalah tidak tertanganinya penyebab utama konflik yang bersifat
struktural, seperti ketidakadilan dan kemiskinan. 32
Ukuran keberhasilan masa post-conflict masih menjadi perdebatan
diantara para pengamat. Praktek internasional yang hanya memberi waktu sekitar
2-3 tahun kerapkali dianggap tidak cukup untuk membuahkan perubahan sosial
politik yang kondusif untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Roland
Paris menyarankan ”dua kali siklus pemilihan umum”,
atau antara 8-10 tahun.33
Dalam analisis Kusnanto Anggoro, tak ada rentang waktu pasti tentang
hal ini, kecuali untuk sekedar ancangan dalam menyusun program-program kerja.
Kurun waktu 3-7 tahun adalah periode yang ditetapkan sebagai masa yang cukup
memadai untuk menyelanggarakan post-conflict peacebuilding karena sejumlah
alasan. Pertama, pengalaman dari proses resolusi konflik kekerasan yang terjadi
di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa periode tersebut merupakan
periode yang paling rawan terhadap kemungkinan terjadinya kembali konflik
kekerasan (conflict relapse). Kedua, dari segi dinamika politik, tahun ke-3 dan
tahun ke-7 merupakan median dari dua siklus pemerintahan yang berurutan;
sehingga memburuknya suasana, kalau terjadi, seharusnya dapat diantisipasi
dengan berbagai kebijakan politik. Pilihan apakah rejim postconflict
peacebuilding akan lebih mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatan
politik harus ditetapkan melalui proses itu. 34
32
Rizal Sukma, op cit, hal 57
33 Kusnanto Anggoro, op cit, hal 7
34 Ibid hal 8
30
Sejumlah analisa yang dikemukakan diatas sangat relevan dengan apa
yang terjadi di Aceh saat ini. Baik tentang rentannya konflik berulang pasca-MoU
terjadinya konflik di internal Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun prediksi
waktu munculnya konflik, yakni satu kali putaran pemilu, atau sekitar 6 (enam)
tahun. Perang ‘statement’ antara dua kubu yang pro dan kontra calon
perseorangan, antara daerah (Aceh) dan pusat, munculnya gerakan adu kekuatan
berupa penggalangan massa, ancaman menginternasionalisasi konflik dengan
mengadukan ke Uni Eropa, bahkan munculnya korban jiwa menjadi indikator
jelas bahwa konflik (baru) terjadi kembali.
Contoh ‘perang statement’ tersebut adalah mantan GAM mengatakan
bahwa untuk kesekian kalinya pemerintah pusat melakukan kebohongan (seperti
halnya pada konflik-konflik sebelumnya yang terjadi di Aceh- pra Gerakan Aceh
Merdeka 1976) dan tidak berkomitmen terhadap kesepakatan damai MoU
Helsinki. Disisi lain, pemerintah pusat menganggap DPRA (yang didominasi oleh
mantan GAM) tidak menghormati konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Mencermati siklus konfik yang rentan terjadi di wilayah bekas konflik,
maka dibutuhkan proses negosiasi jika diantara pihak-pihak yang terlibat dalam
mengisi perdamaian masih terjadi perbedaan yang berujung pada munculnya
konflik baru. Pendekatan negosiasi secara tertutup dan rahasia menjadi salah satu
solusinya.
31
1.4.3 'egosiasi dan Kekerasan
Kekerasan baik yang terjadi secara nyata maupun sebagai sebuah
ancaman menjadikan alat yang efektif untuk mendatangkan kepatuhan. Pesan
yang terkandung dalam di dalam ancaman berisi informasi yang lebih banyak
mengenai konsekuensi yang akan terjadi 35
. Dengan kata lain, munculnya
kekerasan dan ancaman sebagai bagian dari bargaining dalam melakukan
negosiasi.
Mengutip pendapat Pilar dan Aggestam & J nsson, Kristine Hoglund
mengatakan bahwa berakhirnya perang dapat dilihat sebagai proses tawar-
menawar. Ada tiga hal yang dikemukakan oleh Hoglund tentang kekerasan dan
negosiasi. Pertama, insiden kekerasan dapat mempengaruhi proses negosiasi.
Tindakan kekerasan dapat menyebabkan salah satu pihak untuk menarik atau
melanjutkan mendukung negosiasi. Misalnya, pada Juni 1992, Kongres Nasional
Afrika (ANC) memutuskan hubungan resmi dengan pemerintah dalam
menanggapi pembantaian ANC-pendukung di Boipatong di selatan Transvaal.
Akibatnya, pembicaraan di Afrika Selatan hanya bisa dilanjutkan setelah
keterlibatan PBB dan kekerasan tambahan.
Kedua, kekerasan dapat mempengaruhi pihak yang sedang bernegosiasi.
Bom yang meledak di kota Omagh, Co Tyrone, Irlandia Utara pada tanggal 15
Agustus 1998 dimana kelompok IRA mengakui bertanggung jawab atas serangan
tersebut, memberikan ilustrasi contoh ketika kedua belah pihak bereaksi terhadap
insiden kekerasan. Bom tersebut menewaskan 29 orang dari kedua komunitas.
35
Pruitt, D.G. dan Rubbin, J.Z, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 122-
123.
32
Akibatnya kedua belah pihak bergabung untuk mengutuk serangan itu. Selain itu,
Pemerintah Inggris dan Irlandia menanggapi pemboman tersebut sebagai langkah
bersama untuk melawan terorisme.
Ketiga, kekerasan dapat mempengaruhi keterlibatan aktor eksternal untuk
negosiasi. Meskipun aktor eksternal mungkin tidak terlalu berpengaruh, namun
pengaruh mereka secara tidak langsung dapat melemahkan atau memperkuat
proses perdamaian dengan menarik atau meningkatkan dukungan untuk
negosiasi36
.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kekerasan didefiniskan
sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Dalam kompleksitas motivasi manusia, Menurut T. Robert Gurr, seorang pakar
resolusi konflik mengatakan bahwa para neurofisiologis menemukan dua sistem
hasrat (appetitive system) besar sebagai pembentuk motivasi yang terjadi pada
manusia.
Pertama stimulasi yang menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan
cinta. Kedua, stimulasi yang menghasilkan sensasi kecemasan, teror, depresi, dan
kemarahan. Perasaan-perasaan ini mewarnai persepsi manusia dan mendorong
tindakan-tindakannya. Frustasi yang dialami manusia kemungkinan akan
menimbulkan tindakan agresi. Hubungan frustasi-agresi menyebabkan terjadinya
36
Kristine Hoglund , 2001, “VIOLENCE — CATALYST OR OBSTACLE TO CONFLICT
RESOLUTION? SEVEN PROPOSITIONS CONCERNING THE EFFECT OF
VIOLENCE ON PEACE NEGOTIATIONS”
<http://www.pcr.uu.se/sdigitalAssets/18/18597_UPRP_No_3.pdf>, (diakses 3 Oktober
2012).
33
dinamika psikologis untuk hubungan antara intensitas deprivasi dan potensi bagi
kekerasan kolektif. Deprivasi relatif (relative deprivation) menurut Gurr adalah
istilah yang digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu
kesenjangan antara yang harus menjadi (ought) dan yang menjadi (is) dalam
kepuasan nilai kolektif, dan yang mendorong manusia untuk melakukan
kekerasan37
.
Dengan kata lain Gurr hendak mengatakan bahwa penyebab utama
terjadinya kekerasan adalah karena ketidakpuasan. Sementara Johan Galtung
menyimpulkan bahwa kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang
terhalang untuk mengaktualisasikan potensinya secara wajar. Galtung
menambahkan bahwa penghalang itu adalah sesuatu yang dapat dihindarkan.
Dengan kata lain, kekerasan dapat dihindarkan kalau penghalang itu
disingkirkan38
.
Lebih detail lagi Johan Galtung (1981), mengelompokkan kekerasan
menjadi empat bagian.
1.4.3.1 Kekerasan langsung (direct violence): Tindakan yang menyerang
secara fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Dengan kata
lain, kekerasan yang terjadi berupa kontak langsung antara pelaku
37
Thomas Susanto (ed), 2002, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas
Kristen Petra, hal. 64 dan 65.
38
Galtung, Johan, 1980, The True Worlds: A Transnational Perspective, New York, The Free
Press, Hal 67, dikutip dari Bambang Suswanto, Sunyoto Usman, dan Lambang Trijono,
dalam “Kerusuhan Sosial: Kasus Pemilihan Kepala Desa Sirau Purbalingga”. Program
Studi Ketahanan Nasional Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Jurnal
Sosiohumanika, nomer 3, Volume XIII, Tahun 2000. Hal, 546. <http://i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/jurnal.php?jrnlId=94.> (diakses 3 Februari 2012).
34
dan korban. Kekerasan ini meliputi pemusnahan etnis, kejahatan
perang, pengusiran paksa, serta perkosaan dan penganiayaan.
Kekerasan langsung mengancam HAM, khususnya hak untuk
hidup.
1.4.3.2 Kekerasan tak langsung (indirect violence); Tindakan yang
membahayakan manusia, bahkan sampai membunuh, namun tidak
melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang,
masyarakat atau institusi) yang bertanggung jawab atas tindakan
kekerasan tersebut. Dalam arti kekerasan yang terjadi melalui
sebuah mendium, tidak secara langsung mengenai korban baik
secara fisik maupun psikologis.
Ada dua jenis kekerasan tak langsung.
1. Kekerasan karena kelalaian (violence by ommision) Yakni
kekerasan yang menyebabkan seseorang dalam bahaya dan
tidak ada orang yang menolongnya. Jenis kekerasan ini
meliputi kekerasan sosial (misalnya distribusi makanan yang
tidak merata) dan ’kekerasan bisu’ (misalnya kelaparan).
2. Kekerasan perantara (mediated violence). Yakni kekerasan
yang merupakan hasil dari intervensi manusia secara sengaja
terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh
secara tidak langsung pada manusia lain. Salah satu bentuk
kekerasan perantara yaitu ecocide (tindak penghancuran,
mengganggu dan perusakan lingkungan alam karena
35
mengganggu kesehatan, menyebabkan manusia menderita dan
sengsara.
1.4.3.3 Kekerasan represif; Kekerasan yang dilakukan dengan
mengekang kebebasan hak-hak seseorang, yang meliputi
pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk
dilindungi dari kecelakaan. Kekerasan represif terkait dengan tiga
hak dasar, yaitu hak sipil, hak politik dan hak sosial.
1.4.3.4 Kekerasan alienatif; Kekerasan yang mengakibatkan seseorang
terasingkan dengan lingkungannya. Mencakup pencabutan hak-hak
individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional,
budaya atau intelektual. Jenis kekerasan ini penting untuk
menegaskan bahwa keberadaan manusia juga membutuhkan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non-materi. Salah satu bentuk
kekerasan ini adalah ethnocide, yaitu kebijakan atau tindakan yang
betul-betul mengubah kondisi material atau sosial menjadi di
bawah satu identitas kultural kelompok tertentu. 39
Analisa lain tentang kekerasan adalah dari Don R. Bowen dan Louis H.
Masotti. Menurutnya kekerasan sipil (civil violence) adalah suatu kekerasan yang
bertujuan untuk melakukan perlawanan secara langsung terhadap orang-orang,
barang-barang yang merupakan simbol-simbol dari politik pemerintahan sipil.
39
Nugroho, Amar Benni, 2011, <http://amarbenninugroho.blogspot.com/2011/11/jenis-jenis-
kekerasan.html.> (diakses 8 Januari 2012).
36
Ada dua hal yang menjadi penyebab kekerasan sipil ini. Pertama,
perasaan tidak puas antara apa yang diperoleh dengan apa yang dicita-citakan atau
apa yang diharapkan tidak sesuai. Dengan kata lain, ada jarak atau perbedaan
antara kenyataan dengan keinginan. Kedua, adanya konflik kelompok yang
merupakan hasil dari perjuangan kelompok dalam masyarakat, sehingga
menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Seperti etnis, ras, agama, pembagian
wilayah, kepemimpinan dan sebagainya.
Sikap saling menyerang satu sama lain merupakan cermin perbedaan
sosial yang menimbulkan kekerasan sipil. Dengan adanya konflik antar kelompok,
maka kekerasan menjadi semakin meningkat. Dan Penyebab yang mendasar
kekerasan sipil adalah adanya pemerintahan yang kehilangan legitimasi. Kalaupun
legitimasi itu masih ada, maka kekerasan sipil yang ada berupa kerusuhan sosial.
Untuk menyelesaikan kekerasan sipil ini, pemerintah harus memiliki kapasitas
sistem yang berhubungan dengan kemampuan untuk merespon kekerasan sipil ini
dengan kekuatan melakukan perubahan 40
.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada dua aspek. Pertama; dari sisi waktu, rentang
penelitian ini adalah 30 Desember 2010 sampai dengan 7 Maret 2012 atau 434
hari. Hal ini didasarkan pada waktu dikabulkannya calon perseorangan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 30 Desember 2010 hingga 7 Maret
40
Suswanto, Bambang (ett al), op cit, hal 548-549
37
2012 sebagai keputusan resmi KIP menetapkan pasangan dari Partai Aceh ikut
dalam Pemilihan Kepala Daerah Aceh 2012.
Kedua; dari sisi cakupan, walaupun hasil keputusan MK dan Keputusan
KIP berlaku untuk pemilihan kepala daerah untuk propinsi dan kabupaten
kota/kota se Aceh, namun penelitian ini dibatasi hanya untuk pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Aceh.
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis dan metode deskriptif kualitatif yang
bertujuan menggambarkan realitas sosial yang kompleks dengan menerapkan
konsep-konsep teori yang telah dikembangkan oleh ilmuwan sosial. 41
Dilihat dari segi pengumpulan data, penelitian ini dapat digolongkan
sebagai penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan mengamati
secara langsung terhadap gejala sosial yang diteliti dengan teknik sampel
bertujuan (purposive sampel) dengan cara wawancara, dan mengkaji data
sekunder berupa literatur seperti buku, makalah atau dokumen.
Dalam penelitian ini teknik validitas data yang digunakan adalah teknik
triangulasi. Teknik ini merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data tersebut.
41
Vrendeberght, 1979, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT Gramedia hal 34.
38
1.7 Kerangka Penulisan
Bab I: Pendahuluan
1.1. Latar belakang
1.2. Rumusan masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.4. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1.6. Metode penelitian
Bab II: Kilas Balik Perdamaian Aceh
2.1. Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh
2.2. Pemilu Kada Aceh pertama pada masa Damai (2006)
2.3. Lahirnya Partai-Partai Lokal
2.4. Pemilihan Umum Legislatif & Presiden Tahun 2009 di Aceh
Bab III: Urgensi Partisipasi Politik Partai Aceh pada Pilkada 2012
Bab IV: Dinamika 434 Hari : Dari Keputusan MK hinggaKeputusan
KIP Menetapkan PA Ikut Pilkada Aceh
4.1 Setelah Partai Aceh Umumkan Calonnya
4.2 Konflik KIP dan Gubernur versus DPRA
4.3 Jakarta Turun Tangan
4.4 Tuntutan Hukum
4.5 Negosiasi
4.6 Dinamika Politik yang Begitu Cepat
4.7 Partai Aceh Akhirnya Mendaftar dan Lolos
4.8 Faktor Kekerasan yang Mengiringi
4.9 Institusi yang Terlibat
39
Bab V: Proses 'egosiasi Pilkada Aceh. - Proses Perubahan Sikap PA
Pada Pilkada Aceh 2012
5.1 Masalah Internal
5.2 Negosiasi Formal
5.3 Negosiasi Informal
5.4 Jalur Hukum dan Fenomena Kekerasan
BabVI: Penutup
5.1 “Insight” dan “Lessons Learned”
5.2 Up Date Pilkada Aceh
5.3 Rekomendasi
Daftar Pustaka
Lampiran-Lampiran