bab 1 pendahuluan 1.1 latar...

32
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pluralisme, Konflik, dan Politik menjadi sebuah konstelasi isu yang menarik dalam beberapa waktu terakhir. Konteks masyarakat Indonesia yang sangat beragam dalam suatu wilayah (Pluralis) menjadi sebuah arena reproduksi yang sangat ideal bagi terciptanya konflik yang dapat menjurus kepada kekerasan antar masyarakat. Konflik sendiri akan menjadi bahasan yang selalu hangat dalam kajian-kajian ilmu sosial terutama dalam sosiologi, karena fenomena konflik dianggap sebagai sebuah patologi dalam masyarakat. Konflik diibaratkan sebagai sebuah penyakit dalam masyarakat, dalam masyarakat sekecil apa pun pasti akan ditemukan konflik baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat (Poloma, 2007: 106). Dalam dua dekade terakhir, berbagai media di Indonesia menyajikan gambaran atas konflik yang dimaknai dari berbagai sisi. Terhitung semenjak awal reformasi (1998) banyak konflik yang muncul dan melibatkan isu-isu pluralitas karena minimal melibatkan dua etnis yang berbeda. Meskipun sempat mereda pada pertengahan tahun 2000-an, namun isu konflik antar etnis kembali muncul pada awal 2011 dan sepanjang tahun 2012, termasuk salah satunya adalah konflik yang terjadi di Desa Balinuraga Kec. Way Panji (Lampung Selatan). Penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga pada akhir Oktober 2012 melibatkan jumlah massa yang sangat besar yang didominasi oleh masyarakat etnis Lampung, namun

Upload: vungoc

Post on 11-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pluralisme, Konflik, dan Politik menjadi sebuah konstelasi isu yang

menarik dalam beberapa waktu terakhir. Konteks masyarakat Indonesia yang

sangat beragam dalam suatu wilayah (Pluralis) menjadi sebuah arena reproduksi

yang sangat ideal bagi terciptanya konflik yang dapat menjurus kepada kekerasan

antar masyarakat. Konflik sendiri akan menjadi bahasan yang selalu hangat dalam

kajian-kajian ilmu sosial terutama dalam sosiologi, karena fenomena konflik

dianggap sebagai sebuah patologi dalam masyarakat. Konflik diibaratkan sebagai

sebuah penyakit dalam masyarakat, dalam masyarakat sekecil apa pun pasti akan

ditemukan konflik baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat

(Poloma, 2007: 106).

Dalam dua dekade terakhir, berbagai media di Indonesia menyajikan

gambaran atas konflik yang dimaknai dari berbagai sisi. Terhitung semenjak awal

reformasi (1998) banyak konflik yang muncul dan melibatkan isu-isu pluralitas

karena minimal melibatkan dua etnis yang berbeda. Meskipun sempat mereda

pada pertengahan tahun 2000-an, namun isu konflik antar etnis kembali muncul

pada awal 2011 dan sepanjang tahun 2012, termasuk salah satunya adalah konflik

yang terjadi di Desa Balinuraga Kec. Way Panji (Lampung Selatan). Penyerangan

yang terjadi di Desa Balinuraga pada akhir Oktober 2012 melibatkan jumlah

massa yang sangat besar yang didominasi oleh masyarakat etnis Lampung, namun

2

secara spesifik konflik yang terjadi adalah antara warga Desa Agom dan

masyarakat Desa Balinuraga.

Masyarakat Desa Agom dengan mayoritas penduduk merupakan

masyarakat asli suku Lampung, sedangkan Desa Balinuraga mayoritas dihuni oleh

masyarakat etnis Bali Nusa hasil program transmigrasi yang dilakukan masa

pemerintahan Orde Baru yaitu pada tahun 1960 hingga 1970-an. Konflik yang

terjadi di Desa Balinuraga sendiri bukan merupakan kejadian pertama di Privinsi

Lampung yang melibatkan masyarakat etnis Asli Lampung dan masyarakat etnis

pendatang (Bali atau Jawa). Beberapa kasus yang tercatat terjadi pasca orde baru

diantaranya konflik yang disebut sebagai konflik “Bungkuk” yang terjadi pada

tahun akhir 1998, serta kasus “Kebondamar” pada awal tahun 2003 di kawasan

Lampung Timur (Nugroho, 2004: 76-77). Hal ini juga membuktikan bahwa

konflik yang terjadi antara masyarakat etnis asli Lampung dan masyarakat etnis

pendatang bukanlah sebuah permasalahan baru, namun lebih kepada

permasalahan yang telah menjadi lattensi dalam masyarakat di daerah Lampung.

Dalam masa kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir, masyarakat

Lampung Selatan hidup dalam struktur masyarakat yang majemuk baik secara

etnisitas, agama, maupun kemajemukan dalam bentuk kelas-kelas sosial secara

vertikal. Perubahan sosial dan pergeseran struktur masyarakat seringkali menjadi

pemicu terjadinya konflik-konflik sosial dalam masyarakat, tak terlepas halnya

dengan yang terjadi pada konflik di Desa Balinuraga. Konflik ini ditandai dengan

terjadinya pergeseran dalam kelas-kelas kelompok dominan dalam masyarakat,

dimana dalam beberapa tahun terakhir masyarakat pendatang (Bali) mulai

3

menunjukkan dominasi sector ekonomi masyarakat. Namun meskipun demikian,

konflik yang terjadi bahkan menjadi semakin berutal karena sikap arogansi yang

ditunjukkan masyarakat etnis Bali pasca terjadinya pergeseran struktur sosial

masyarakat tersebut.

Masa krisis konflik yang terjadi berupa penyerangan oleh sekelompok

besar massa ke Desa Balinuraga terhitung tanggal 27 Oktober 2012 dan

puncaknya terjadi pada tanggal 29 Oktober 2012. Pada tanggal 27 Oktober 2012

diperkirakan 2000 orang menyerang Desa Balinuraga, namun kelompok massa

penyerang gagal untuk masuk ke Desa Balinuraga, kemudian pada hari berikutnya

(28 Oktober 2012) kelompok massa yang lebih besar –diperkirakan 10.000 orang-

kembali menyerang Desa Balinuraga namun kelompok massa penyerang kembali

gagal untuk memasuki Desa Balinuraga, pada hari berikutnya kelompok massa

kembali melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga dengan jumlah massa yang

dua kali lebih besar dari hari sebelumnya –diperkirakan lebih dari 20.000 orang-

dan kelompok massa penyerang ini tidak hanya berasal dari satu kelompok

masyarakat, namun berasal dari kelompok masyarakat yang luas dan dengan latar

belakang yang berbeda pula. Penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga

menyajikan fakta yang menarik mengenai proses mobilisasi massa yang mampu

melibatkan jumlah massa yang sangat besar, ditambah lagi dengan konteks

solidaritas masyarakat etnis lokal yang tidak dapat dikatakan tinggi.

Mobilisasi massa menjadi salah satu konteks yang sangat menarik dalam

fenomena konflik yang terjadi di Desa Balinuraga ini, dengan melihat informasi

tentang jumlah penduduk dan massa yang terlibat didalam konflik pada masa

4

krisis tersebut maka dapat dilihat bahwa didalam konflik tersebut terdapat sebuah

mekanisme dan manajemen konflik yang dilakukan oleh salah satu pihak maupun

kedua belah pihak. Dengan kata lain, konflik yang terjadi di Desa Balinuraga ini

bukan merupakan sebuah gerakan spontanitas, dan patut diperhatikan bagaimana

konflik yang terjadi dalam rentan waktu 3 hari namun mampu menggerakkan

lebih dari 20.000 orang untuk ikut serta terlibat didalamnya.

Dalam ranah kajian sosiologis sendiri, para pemerhati konflik memiliki

kecenderungan dan cara pandang masing- masing dalam melihat fenomena

konflik yaitu dari sisi dan/ atau persepektif kultural maupun dari sisi ekonomi-

politis yang juga hampir dapat ditemukan disetiap fenomena konflik yang terjadi

dalam masyarakat. Analisis yang didasarkan pada perspektif kultural memang

banyak menghiasi berbagai karya dalam ilmu sosial pada awal dekade 2000-an,

terutama dalam kaitannya dengan konflik-konflik yang melibatkan 2 kelompok

etnis dibeberapa daerah di Indonesia. Dalam perspektif kultural ini, gesekan-

gesekan budaya yang berbeda dalam masyarakat pluralis menyebabkan

penimbunan-penimbunan potensi konflik yang secara berkala akan menjadi

semakin besar dan pada akhirnya dapat berubah menjadi kekerasan massa.

Dalam karya ini, penulis mencoba menggeser analisis konflik yang

sedemikian rupa. Analisis konflik tidak semata-mata mengenai penyebab dan

proses rekonsiliasi yang ideal dalam menyelesaikan konflik. Konflik etnisitas

yang terjadi beberapa waktu terakhir terutama konflik yang terjadi di Desa

Balinuraga menampakkan sisi-sisi menarik yang lain dari sebuah fenomena

konflik sosial yaitu salah satunya adalah tentang mekanisme yang dilakukan oleh

5

aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut untuk melibatkan lebih banyak

massa, serta alasan dari mereka yang kemudian bersedia meleburkan diri kedalam

kelompok massa penyerang.

Analisis konflik yang lebih menekankan pada aspek mekanis ini juga

bukan merupakan sebuah terobosan baru, beberapa buku juga telah disusun

dengan mendasarkan pijakannya pada analisis persepektif ini. Sebuah buku yang

berjudul “Seusai Perang Komunal” yang disusun oleh Patrick Barron (dkk),

membangun sebuah kecurigaan bahwa konflik yang terjadi di Maluku dan Maluku

Utara terjadi karena keterlibatan aktor politik secara intensif. Selain itu, dalam

bukunya yang berjudul “Perang Kota Kecil”, Garry van Klinken juga menekankan

proses analisis konfliknya pada perspektif gerakan sosial (sosial movements),

dimana masing-masing kelompok berkonflik mempersiapkan diri1 untuk saling

berhadapan dengan kelompok lainnya.

Namun meskipun demikian, konflik tidak secara serta- merta muncul

karena alasan politis atau keterlibatan aktor diluar masyarakat tersebut (faktor

pemicu), konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat

Desa Agom di Kec. Kaliada (Lampung Selatan) diduga memang telah terjadi

dalam kurun waktu yang lama. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, konflik yang

terjadi pada akhir tahun 2012 memang diduga dipicu oleh kejadian kecil yang

mungkin ditunggangi oleh kepentingan aktor lain dengan alasan yang mungkin

1 Konteks mempersiapkan diri dalam hal ini meliputi aspek pembentukan identitas, membentuk

eskalasi konflik, polarisasi, Mobilisasi, dan pembentukan aktor. Mengacu pada lima proses konci dalam analisis Dynamic of Contention (DoC). Klinken, Garry van. (2007). Perang Kota Kecil. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 17-19.

6

bersifat politis, namun dalam tubuh masyarakat sendiri memang telah terjadi

sebuah ketegangan yang cenderung berlangsung sudah cukup lama (faktor

lattensi).

Berangkat dari berbagai asumsi dan informasi diatas, tulisan ini mencoba

untuk menganalisis konflik yang terjadi di Desa Balinuraga, dengan meletakkan

perhatian pada mekanisme yang dilakukan oleh aktor-aktor konflik dalam

memobilisasi massa dengan mempertimbangkan keadaan serta beberapa aspek

kultural masyarakat dan isu- isu yang digunakan sehingga aktor-aktor baru

memutuskan untuk ikut tergabung didalam kelompok massa penyerang. Untuk

membantu menjelaskan pola mobilisasi masa ataupun keterlibatan aktor dalam

konflik ini, penelitian ini akan menggunakan kerangka teori DoC (Dynamic of

Contention) dan dibingkai melalui metode penelitian Studi Kasus.

1.2 Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, menjadi sangat

menarik untuk melihat motivasi keterlibatan aktor dan mekanisme mobilisasi

massa dalam konflik dan penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga. Dalam

kerangka teori Dynamic of Contention dijelaskan bahwa, dalam menjelaskan pola

mobilisasi massa konflik, menjadi penting untuk sebaiknya menjelaskan

serentetan perubahan sosial yang luas mendahului konflik guna mempermudah

melihat beberapa faktor penting penunjang dalam menjelaskan mobilisasi, seperti

pembentukan aktor serta pembentukan identitas yang terjadi. Sehingga sesusai

dengan focus permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah

utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Proses dan Mekanisme Mobilisasi

7

Massa pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 dalam penyerangan yang

terjadi di Desa Balinuraga, Kec. Way Panji (Lampung Selatan)”.

Sebelum menjelaskan tentang proses dan mekanisme mobilisasi massa

dalam penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga, penelitian ini akan mencoba

menjawab dua pertanyaan turunan dalam penelitian ini, yaitu.

1. Bagaimana Struktur dan perubahan sosial masyarakat Lampung

Selatan, khususnya masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan

Kalianda (Lampung Selatan)?

2. Bagaimana relasi sosial masyarakat Kecamatan Way Panji dan

Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan) sebelum terjadinya konflik

dan penyerangan pada tanggal 27 Oktober 2012?

3. Bagaimana proses mobilisasi massa yang dilakukan oleh kedua belah

pihak dalam konflik antara Desa Agom dan Desa Balinuraga

(Lampung Selatan)?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan penelitian, diantaranya:

1. Mengetahui Struktur dan perubahan sosial masyarakat Lampung

Selatan, khususnya masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan

Kalianda (Lampung Selatan).

8

2. Melakukan analisis Konflik dengan melihat relasi sosial masyarakat

Kecamatan Way Panji dan Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan)

sebelum terjadinya konflik pada tanggal 27 Oktober 2012.

3. Menemukan motivasi keterlibatan aktor dan menganalisis mekanisme

Mobilisasi massa dalam penyerangan yang terjadi pada tanggal 27, 28,

dan 29 Oktober 2012 di Desa Balinuraga.

1.4 Manfaat Penelitian

1 Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sebuah gambaran pada pembaca tentang perspektif yang lain dalam

melihat dan menganalisis konflik, karena konflik tidak semata

tentang analisis penyebab atau tujuan perumusan konsep

rekonsiliasi yang ideal.

2 Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu untuk

menyadarkan masyarakat secara luas, dan terutama bagi mereka

yang terlibat didalamnya bahwa kerugian secara material maupun

secara mental tidak serta mereta terjadi atas keinginan yang muncul

dalam diri mereka, atau konflik yang dianggap sebagai media

resistensi diri atas ancaman lain diluar diri (konflik natural), namun

didalamnya telah terjadi politisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak

tertentu yang tujuannya untuk mengguntungkan kelompok sosial

tertentu.

9

1.5 Kerangka Literatur

Dalam kerangka literatur ini, penulis mencoba memberikan gambaran dan

meletakkan posisi penelitian ini dengan penelitian lainnya, dengan tujuan bahwa

ketika posisi penelitian ini dapat dilihat dengan jelas maka ke-unikan dari

penelitian ini sendiri juga akan dapat dilihat oleh pembaca. Dalam kerangka

literature ini, peneliti mencoba melihat perbandingan penelitian ini dengan dua

penelitian lainnya yang telah dilakuakan terlebih dahulu.

Garry Van Klinken (2007) melalui karyanya -Perang Kota Kecil-

memberikan serangkaian analisis yang berbeda tentang konflik. Dengan

menggunakan metode Studi Kasus sebagai bingkai analisis berbagai konflik etnis

dan kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia, Klinken dengan sukses

memberikan gambaran bahwa analisis konflik tidak melulu hanya melaui

persepektif sosial- kultural yang beberapa dekade belakangan ini seakan menjadi

satu-satunya cara melihat fenomena konflik.

Klinken melakukan studinya dibeberapa daerah yang mengalami masa

konflik dan kekerasan komunal yang panjang di beberapa bagian Indonesia.

Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Maluku Utara, dan Kalimantan Tengah memang

menjadi titik-titik kekerasan komunal antar etnis yang terjadi sebelum ataupun

beberapa tahun pasca reformasi. Pada titik ini, Klinken mencoba memperlihatkan

bahwa meletusnya kekerasan komunal atau konflik etnis dibeberapa daerah

tersebut sangat erat kaitannya dengan “gonjang-ganjing” atau ketidak- stabilan

iklim politik nasional pada masa tersebut. Analisis yang berbasis pada persepektif

ekonomi-politis juga dapat dilihat ketika Klinken berpendapat bahwa kekerasan

10

komunal yang terjadi di beberapa wilayah tersebut merupakan bentuk dari

pengalihan isu yang sedang bergejolak ditingkat nasional, ataupun karena adanya

represi terhadap gejolak etnis yang terjadi selama resim orde baru dengan

menggunakan tangan- tangan aparat maupun militer (Klinken, 2207: 12).

Dalam bukunya ini, Klinken meminjam Teori Dynamic of Contention

karya Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly (2004) sebagai pisau

analisisnya. Dalam mekanisme DoC, McAdam, Tilly dan Tarrow menjelaskan

bahwa terdapat lima proses kunci dalam memahami perseteruan politik yaitu

pembentukan identitas, eskalasi konflik, polarisasi, mobilisasi massa, dan

pembentukan aktor. Dari kelima tahapan penting yang disertakan oleh DoC dalam

memahami perseteruan politik atau dinamika perseteruan tersebut Garry van

Klinken memilih untuk menggunakan masing-masing lensa pada kasus yang

masing-masing berbeda pula, misalnya konsep pembentukan identitas digunakan

dalam melihat kekerasan komual yang terjadi di Kalimantan Barat, Eskalasi

konflik digunakan untuk menganalisis kasus di Poso, Polarisasi digunakan untuk

melihan kasus Maluku Utara dan seterunya, meskipun sebenarnya kelima proses

atau tahapan tersebut dapat ditemukan dalam masing- masing konflik atau

kekerasan komunal yang terjadi.

Keberhasilan Klinken dalam mengaplikasikan teori DoC menjadikan

inspirasi bagi penelitian ini dalam melihat fenomena konflik yang terjadi di Desa

Balinuraga yang melibatkan masyarakat etnis asli Lampung di Desa Agom.

Namun meskipun demikian, perbedaan antara penelitian ini dan karya Klinken

adalah terletak pada bagaimana penelitian ini mencoba melihat kesemua tahap

11

dalam DoC tersebut dalam satu kasus yaitu konflik di Desa Balinuraga, meskipun

pada tahap inipun akan menjadikan proses Mobilisasi massa dalam konflik

sebagai focus utama, sedangkan ke- 4 tahap lainnya dilihat dan dianalisis sebagai

bagian penting untuk dapat melakukan analisis yang komprahensif tentang

mobilisasi massa tanpa ada bagian yang dianggap terlalu jauh atau bahkan

menghindari bagian yang terhilangkan.

Penelitian kedua ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo

yang berjudul “Stereotip Etnik dan Resolusi Konflik Pertanahan di Pedesaan

Lampung (Kasus konflik antar etnik di Desa Bungkuk Kec. Jabung dan di Desa

Kebondamar Kec. Matarambaru Kabupaten Lampung Timur)”. Hartoyo dalam

tulisannya menganalisis tentang konflik “Bungkuk” dan konflik “Kebondamar” di

Lampung Timur yang terjadi pada akhir 1998 dan awal tahun 2003.

Permasalahan utama atau isu utama terjadinya kedua konflik ini adalah

berkaitan tentang pertanahan, dimana pada awalnya jual beli tanah seluas 4 Ha

antara orang etnis asli Lampung dan etnis Jawa. Permasalahan jual beli tersebut

kemudian menjadi isu etnik ketika terjadi pertikaian yang menyebabkan kematian

pada pihak penjual (penjual) yang berasal dari Desa Bungkuk. Kemudian semakin

berkembang sehingga menyebabkan terjadinya penyerangan masyarakat Desa

Bungkuk dan 20 desa lainnya ke desa Sumber Rejo yang berpusat dipasar Karang

Anom. Pada kejadian ini, menelan korban 2 orang meninggal dunia dan kerugian

harta benda diperkirakan sebesar 2,4 milliar rupiah.

12

Kemudian pada kasus yang lain, yaitu konflik “Kebondamar” dimulai

karena isu permasalahan batas lahan antara beberapa pihak yang memiliki lahan di

batas desa, karena sebelumnya desa Kebondamar sendiri termasuk dalam wilayah

Desa Brajamas, sehingga ketika terjadi pemekaran wilayah beberapa warga

mengalami perdebatan tentang batas wilayah. Konflik terjadi ketika terjadi

penyerangan oleh masyarakat etnis lokal di desa Brajamas dan desa Brajafajar ke

Desa Kebondamar yang mayoritas berpenduduk Jawa dan Bali (pendatang).

Konflik ini menyebabkan 5 orang luka- luka, dan kerusakan 76 rumah serta total

kerugian mencapai 3,392 milliar rupiah. (dalam Nugraha, 2004: 76).

Penelitian yang dilakukan oleh Haryanto ini menekankan analisisnya pada

permasalahan ketidak harmonisan yang terpendam dan stereotype yang

berkembang dalam masyarakat tentang etnis lawan, sehingga stereotype tersebut

menjadi propaganda dalam masyarakat untuk berkonflik dengan kelompok

masyarakat etnis lainnya. Selain itu, penelitian ini juga membahas tentang resolusi

konflik yang dibangun berdasarkan pendapat Lewis A. Coser tentang Katup

Penyelamat (Savety- value) dalam konflik dengan melibatkan aparatur Negara,

serta tokoh masyarakat atau para tokoh adat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa,

penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo ini didasarkan pada analisis konflik yang

lebih bersifat Sosial- kultural.

Penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo ini memiliki beberapa kesamaan

dengan penelitian ini –Matinya Pluralisme Karena Naafsu Politik Lokal-

diantaranya adalah tentang kesamaan lokasi dan pihak yang terlibat, dimana

konflik dalam penelitian Hartoyo ini juga terjadi di provinsi Lampung dan dengan

13

melibatkan kelompok masyarakat etnis Lokal (Lampung) dengan mereka para

pendatang (Jawa maupun Bali). Hal ini juga yang kemudian memperlihatkan

bahwa fenomena yang terjadi antara masyarakat etnis Bali di Desa Balinuraga dan

desa Agom merupakan sebuah konflik yang telah terjadi diberbagai lokasi dan

berlangsung secara berkala, seakan seperti timbunan yang pada waktunya

memang akan meledak jika tidak disadari dan tidak ditangani dengan benar.

Perbedaan yang paling utama antara penelitian kali ini dan penelitian yang

dilakukan oleh Hartoyo adalah pada persepektif yang digunakan dalam

menganalisis masing- masing fenomena konflik, dimana Hartoyo lebih memilih

menganalisis konflik “Bungkuk” dan konflik “Kebondamar” melalui persepektif

Sosial- cultural, sementara pada penelitian konflik di Desa Balinuraga ini peneliti

memilih untuk menganalisisnya melalui persepektif Ekonomi- Politik.

14

Judul Penelitian, Nama Pengarang, Tahun. PERSAMAAN PERBEDAAN

Perang Kota Kecil (Kekerasan Komunal

dan Demokratisasi di Indonesia), by.

Garry Van Klinken: 2007.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian

yang dilakukan oleh Garry Van Klinken

adalah pada konsep teori yang digunakan

yaitu Dynamic of Contention, dan sama-

sama menggunakan metode studi kasus

sebagai bingkai fenomena yang dikaji.

Perbedaan kedua penelitian ini adalah

terletak pada bagaimana Garry van

Klinken menggunakan masing-masing

lensa (tahapan dalam DoC) untuk

memahami kasus yang berbeda- beda,

sedangkan dalam penelitian ini DoC

digunakan secara utuh untuk melihat satu

kasus yaitu fenomena konflik yang terjadi

di Desa Balinuraga meskipun lebih

menitik beratkan pada mobilisasi massa

sebagai fokus penelitian.

Stereotip Etnik dan Resolusi Konflik

Pertanahan di Pedesaan Lampung (Kasus konflik antar etnik di Desa

Bungkuk Kec. Jabung dan di Desa

Kebondamar Kec. Matarambaru

Kabupaten Lampung Timur), by. Hartoyo:

2004.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian

yang dilakukan oleh Hartoyo adalah

terletak pada kesamaan lokasi dan aktor-

aktor yang terlibat, yaitu konflik yang

terjadi di Provinsi Lampung dan

melibatkan masyarakat etnis Lokal dengan

masyarakat etnis Pendatang (baik Jawa

maupun Bali). Selain itu, kesamaan lainya

juga terletak pada pisau analisis yang

sama- sama meminjam pemikiran dari

Lewis A. Coser.

Perbedaan yang paling mencolok dari

kedua penelitian ini adalah dimana

penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo

cenderung menganalisis fenomena konflik

“Bungkuk” dan konflik “Kebondamar”

melalui persepektif sosial- kultural,

penelitian ini bahkan cenderung

mengarahkan analisisnya pada persepektif

ekonomi- politik.

Sumber: Analisi Peneliti Tabel 1. Kerangka Literatur Penelitian

15

1.6. Kerangka Konseptual

1.6.1. Kemajemukan dan Perubahan Sosial Masyarakat

Kemajemukan masyarakat Indonesia bukan merupakan konsep dan istilah

baru dalam ranah perkembangan kajian ilmu sosial, J. S. Furnivall setidaknya

telah membicarakan tentang kemajemukan Indonesia sejak masa penjajahan

Belanda di Indonesia. Menurut Furnivall, masyarakat majemuk atau plural

societies yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih element yang

hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaharuan satu sama lain di dalam kesatuan

politik (dalam Nasikun, 2006: 35).

Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan dua cirinya yang bersifat

unik, secara horizontal Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-

kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama adat serta

perbedaan kedaerahan. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia

ditandai dengan adanya lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Pada

masa penjajahan kondisi ini ditunjukkan dengan bentuk stratifikasi dimana eropa

menjadi orang yang berada dalam golongan kelas penguasa, timur tengah

(tionghoa) sebagai golongan menengah dan pribumi sebagai golongan masyarakat

yang paling dasar (Nasikun, 2006: 34).

Dalam konteks struktur masyarakat dewasa ini, Indonesia lebih disibukkan

dengan struktur masyarakat yang bersifat horizontal dimana kehidupan

masyarakat yang tersegmentasi dalam unit-unit etnisitas saling bersaing untuk

menempati kelas pertama dalam rangkaian struktur yang bersifat vertikal.

Beberapa konflik yang terjadi antar etnis di Indonesia menunjukkan

16

kecenderungan ini, di Sampit misalnya, konflik antara suku Dayak dan Maduru

juga disebabkan karena adanya dominasi atas sector-sektor pekerjaan yang ada

dikota tersebut sehingga menyebabkan kecemburuan sosial dari masyarakat etnis

Dayak yang merasa sebagai masyarakat yang lebih berhak atas semua akses

tersebut.

Dalam konteks penelitian ini, perbedaan secara horizontal tersebut

ditunjukkan dengan kehidupan dari masyarakat etnis Lampung, Jawa dan Bali

yang mencoba untuk hidup bersama dalam satu wilayah politis yang disebut

kabupaten dan kemudian kegagalan komunikasi dalam masyarakat plural ini

menyebabkan konflik sebagai konsekuensi yang nyata. Namun berbeda halnya

dengan yang terjadi dengan konflik etnisitas yang terjadi di Sampit, konflik yang

terjadi di Desa Balinuraga tidak dapat sepenuhnya dikatakan bentuk perebutan

posisi kelas sosial dalam masyarakat, namun juga tidak menutup kemungkinan

kemudian bahwa ada beberapa pihak yang menganggap pertarungan ini

merupakan sebuah upaya untuk memperebutkan atau meruntuhkan posisi kelas

penguasa.

Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik sebagai

sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yaitu:

1. Terjadinya suatu segmentasi kedalam bentuk kelompok-

kelompok yang sering kali memiliki sub kebudayaan yang

berbeda satu sama lain.

2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga-

lembaga yang bersidat non komplementer.

3. Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya

terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.

17

4. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara

kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya.

5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling

ketergantungan di bidang ekonomi.

6. Adanya dominasi politik antara kelompok satu dengan

kelompok-kelompok lainnya (Nasikun, 2006: 40-41).

Dari enam kriteria sifat dasar yang dijelaskan diatas, tiga poin terakhir

menunjukkan bahwa adanya konflik dalam masyarakat majemuk merupakan

sebuah konsekuensi dari kehidupan bersama masyarakat yang beragam, tak

terlepas halnya dengan kehidupan bersama yang cenderung dipaksakan dan coba

dibangun oleh masyarakat etnis Lampung, Jawa dan Bali dalam satu wilayah yang

relatif kecil yang pada akhirnya menyebabkan konflik dan penyerangan terhadap

masyarakat etnis Bali di Desa Balinuraga pada Oktober 2012.

Dalam ranah kajian ilmu sosial beberapa ahli sosiologi (pendekatan

konflik) smenganggap bahwa konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi intern

dalam masyarakat dapat merupakan sumber bagi terciptanya perubahan-

perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial, oleh para penganut

pendekatan konflik tidak sajadipandang sebagai gejala yang melekat dalam

kehidupan setiap masyarakat, akan tetapi lebih dari pada itu bahkan dianggap

bersumber dari dalam faktor-faktor yang ada dalam masyarakat itu sendiri

(Nasikun, 2006: 21).

Dalam penelitian ini, struktur sosial masyarakat dan perubahan sosialnya

menjadi sangat penting dalam upaya memahami perbedaan yang terjadi, sekaligus

menjadi batu estapet penting sebelum mengulas tentang konflik yang terjadi dan

18

akhirnya menganalisis mobilisasi massa dalam konflik dan penyerangan di Desa

Balinuraga.

1.6.2. Relasi Sosial Antara Masyarakat Desa Balinuraga dan Masyarakat

Desa Agom dalam Bingkai Teori Dynamic Of Contention.

Dynamic of contention (Doc) atau Politik Seteru merupakan seikat

pendekatan dan teori dalam memahami isu-isu gerakan sosial masyarakat. DoC

merupakan sebuah proyek besar yang dikembangkan oleh Doug McAdam, Tilly

dan Tarrow dalam memahami fenomena gerakan sosial yang terjadi di berbagai

konteks di sebagian belahan dunia. Namun lebih dari itu, banyak bagian dari DoC

menyangkut apa yang disebut sebagai “transgressive contention” yaitu

perseteruan yang terjadi di luar batas-batas politik formal dan bisa mencakup

protes- protes yang diwarnai kekerasan (Klinken, 2007: 17), sehingga pada

akhirnya teori ini tidak hanya diaplikasikan di ranah gerakan sosial, namun lebih

luas juga di aplikasikan dalam ranah konflik, baik itu yang berbau demokratisasi

maupun nasionalisme.

McAdam, Tilly, dan Tarrow membangun teori DoC berdasarkan lima

belas studi kasus yang mencakup perseteruan-perseteruan non-Barat di antaranya

protes-protes Tienmen pada tahun 1989, perseteruan non- demokrasi seperti

halnya “Huru- Hara” Hindu- Muslim di India, atau gerakan- gerakan di bawah

kondisi-kondisi Negara yang sedang lemah misalnya pemberontakan “Mau- Mau”

di Kenya. DoC sendiri menitikberatkan permasalah pada kerusuhan yang terjadi

diluar kebiasaan dan berada diluar tubuh sebuah organisasi dan lebih melihat

19

fenomena kerusuhan yang terjadi diranah interaksi kolektif dan tidak dapat

diterapkan dalam konteks satu objek ataupun objek yang homogen.

Dalam karya besarnya –DoC- McAdam, Tilly dan Tarrow menjelaskan

bahwa terdapat kurang lebih 44 mekanisme yang dapat dilakukan dalam

menjelaskan dan menganalisis sebuah perseteruan secara jelas, baik itu yang

bersifat demokratis maupun yang berbau nasionalisme. Namun meskipun

demikian, dalam konsep ini, terdapat 5 mekanisme yang paling penting dan paling

fundamental dalam menjelaskan kerusuhan ataupun perseteruan yang terjadi,

diantaranya:

1. Identity Formation (pembentukan Identitas)- bagaimana suatu identitas

bersama berkembang dalam suatu kelompok?

2. Scale shift (atau escalation/ eskalasi)- bagaimana sebuah konflik yang

muncul kecil mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang

jauh lebih banyak?

3. Polarization (Polarisasi)- bagaimana ruang politis antara pihak-pihak yang

saling berseteru meluas ketika para peserta itu saling menjauh dan begeser

ke arah titik-titik ekstrim?

4. Mobilization (Mobilisasi)- Bagaimana orang yang biasanya acuh tak acuh

dapat digerakkan utuk terjun ke jalan?

5. Actor constitution (pembentukan aktor)- Bagaimana sebuah kelompok

yang sebenarnya tidak terorganisir dengan rapi atau politis berubah

menjadi sebuah aktor pilitik tunggal? (Klinken, 2007: 17-18).

Kelima mekanisme diatas dianggap merupakan yang paling fundamental dan

penting dalam menganalisis perseteruan politik. Namun meskipun demikian,

meskipun DoC sendiri merupakan sebuah kerangka teoritik dengan persepektif

gerakan sosial baru, kerangka teoritik ini juga bukan suatu hal yang baru jika

digunakan pula dalam menganalisis beberapa kerusuhan atau konflik- konflik

yang telah terjadi di Indonesia, Garry van Klinken dalam bukunya “Perang Kota

20

Kecil” juga menggunakan kerangka teoritis ini dalam menganalisis fenomena

konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggah, Sulawesi ataupun Maluku.

Dalam penelitian ini –rumusan masalah pertama- Relasi Sosial menjadi

analisis penting yang dapat mengantarkan analisis yang lebih konprehensif dan

mendalam dalam memahami pola mobilisasi konflik yang terjadi di Desa

Balinuraga. Dalam konteks Sosiologis sendiri, Relasi Sosial atau Realasi antar

etnis hanya bisa terjadi ketika setiap kelompok etnik terlibat dalam pertukaran

sosial, kerja sama, persaingan dan konflik, serta ketika keterlibatan setiap

kelompok etnis itu dibatasi oleh factor status, peran, kelompok, jaringan interaksi,

dan institusi sosial (Liliweri, 2005: 135).

Selain itu, Max Weber juga menyatakan bahwa, “suatu relasi sosial

disebut komunal jika dan sejauh relasi tersebut memiliki orientasi sosial, di ikuti

oleh tindakan sosial (yang acap kali subjektif) dari semua pihak yang merasa

menjadi bagian atau milik bersama dalam relasi tersebut. Kemudian, suatu relasi

sosial disebut menjadi asosiasional kalau ada tindakan sosial yang rasional

sebagai motivasi untuk memperoleh pengakuan atas kepentingan bersama”

(Liliweri, 2005: 132-133).

Hubungan dan pola interaksi yang terjadi pasca konflik antara masyarakat

etnis Lokal Lampung dan masyarakat etnis Pendatang (Jawa dan Bali) secara

umum, maupun masyarakat Desa Agom dan masyarakat Desa Balinuraga secara

khusus dapat menjadi sebuah deskripsi panjang dalam analisis fenomena konflik.

dari sebuah deskripsi panjang tersebutlah nantinya akan terlihat secara tersirat

bagaimana prograsifitas konflik itu bertumbuh (eskalasi konflik), serta bagaimana

21

dari pola interaksi dan relasi sosial tersebut muncul batas- batas kesukuan karena

melihat adanya perbedaan yang cukup mencolok antara mereka masyarakat etnis

pendatang dan masyarakat etnis lokal Lampung (pembentukan identitas), dan

pada massa pra-konflik yaitu ketika masing-masing masyarakat mulai

bersinggungan secara panas tentang permasalahan ideologis maupun perebutan

materi maka muncullah aktor-aktor konflik yang pada akhirnya berperan masing-

masing dalam kelompok masyarakatnya (pembentukan aktor).

Relasi sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini akan meliputi

beberapa elemen penting yang juga menjadi tahapan penting dalam bingkai teori

DoC yaitu meliputi konteks Pembentukan aktor, Pembentukan Identitas masing-

masing kelompok (Identity Formation) dan Eskalasi konflik (Scale Shift).

Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas, dalam memahami proses

mobilisasi massa, terdapat 5 tahap yang juga harus diperhatikan agar dapat

menjadi dasar dalam menganalisis mobilisasi massa dalam konflik. Sedangkan

konsep Relasi Sosial dalam penelitian ini, yang menyangkut ketiga komponen

dalam analisis DoC dimaksudkan agar nantinya tidak terjadi keterputusan analisis

dalam menjelaskan serentetan kasus konflik yang sangat kental dengan nuansa

politis ini.

Pembentukan identitas dalam rentetan konflik komunal sendiri menempati

posisi yang sangat penting untuk melihat mesin ataupun penggerak masing-

masing kelompok sosial yang sedang berkonflik. Polleta dan Jasper (2001)

menjelaskan bahwa:

“…kita telah mendefinisikan identitas kolektif sebagai hubungan kognitif,

moral, dan emosional individu dengan komunitas, kategori, praktek, atau

22

lembaga yang lebih luas. Identitas merupakan persepsi akan hubungan

atau status kebersamaan yang mungkin sekedar dibayangkan dan tidak

selalu harus dirasakan bersama-sama secara langsung, dan identitas ini

berbeda dengan identitas pribadi meskipun mungkin bagian dari identitas

pribadi.” (Dalam Klinken, 2007: 107 ).

Identitas sendiri terbentuk berdasarkan interaksi yang melintasi batas-batas

identitas kelompok sosial tersebut dan identitas etnis sendiri terbentuk dan

berkembang berdasarkan persaingan bukan melalui isolasi atau keterasingan.

Literature mengenai identitas sendiri memiliki berbagai persepektif dan sudut

pandang diantaranya yang bersifat sosiologis dan yang bersidat psikologis. Secara

sosiologis, bahasan tentang identitas ditempatkan kuncinya pada kerapatan

jaringan sosial yang mewarnai identitas tersebut (interaksi). Sedangkan secara

psikologis, menempatkan perhatiannya tentang identitas pada titik apa yang

orang-orang ketahui (kognisi), dan dalam hal ini identitas yang dimaksudkan oleh

Doug McAdam, Tilly dan Tarrow dalam DoC adalah persepektif sosiologi yang

lebih menekankan pada titik interaksi jaringan sosial identitas kelompok tersebut.

Sedangkan eskalasi konflik yang dimaksudkan dalam Dynamic Of

Contention adalah tentang proses berkembangnya konflik sehingga melibatkan

lebih banyak orang dari masing-masing kelompok. Berbagai macam media dapat

digunakan sebagai wadah untuk memupuk konflik ini menjadi semakin besar,

baik media formal (organisasi kesukuan, ataupun adat, maupun pemerintah)

dimasing- masing kelompok, ataupun media yang bersifat informal (warung kopi,

dsb).

Pada konsep relasi sosial yang terakhir juga akan dibahas secara singkat

tentang bagaimana pembentukan aktor dalam kelompok berkonflik. Pada titik ini,

23

analisis yang dilakukan oleh peneliti haruslah sangat berhati-hati karena meskipun

tahap ini merupakan tahap paling mudah untuk ditemukan dalam penelitian,

namun menjadi tahap yang paling sulit untuk dibuktikan dan dengan pertanggung

jawaban yang lebih berat juga tentunya. Namun pada tahap ini, DoC melibatkan

beberapa “mekanisme” dasar. Pertama, subjek (masyarakat Desa Agom)

menciptakan organisasi-organisasi mereka sendiri untuk memajukan kepentingan

mereka sendiri, atau mengambil alih organisasi yang sudah ada. Dari organisasi

atau pelembagaan ini, selanjutnya menghasilkan “Reportoire” sandiwara aksi

yang inovatif yang punya efek yang kuat bagi lawannya namun juga berpotensi

besar bagi para pendukungnya. Kemudian terjadinya pembedaan (peralihan

identitas) antara kedua kelompok tersebut menjadi gejala selanjutnya dari

kemunculan aktor dalam konflik.

Sebagai sebuah penutup, penulis menyajikan gambaran tentang relasi

sosial masyarakat di Lampung Selatan terutama disekitar Desa Balinuraga dan

Desa Agom. Paparan tentang relasi sosial pasca konflik ini bertujuan untuk

menggantikan paparan tentang polarisasi konflik yang tadinya ingin dipaparkan

sekaligus sebagai salah satu tahap penting dalam kerangka teori yang disajikan

didalam DoC. Polarisasi sendiri sejauh pengamatan dan observasi yang dilakukan

peneliti dilapangan selama rentan waktu 3 bulan tidak ditemukan. Namun

meskipun demikian dalam konteks lain permasalahan ini, aspek polarisasi konflik

masih memungkinkan untuk dibahas dan diamati lebih lanjut.

24

1.6.3. Mobilisasi Massa dalam konflik Balinuraga dari persepektif Dynamic

Of Contention

Dalam menganalisis konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Balinuraga

dan masyarakat Desa Agom, peneliti mencoba meminjam konsep DoC dalam

menganalisis pola mobilisasi yang dilakukan oleh masing- masing pihak ketika

konflik berlangsung. Dengan permasalahan penelitian yang telah diajukan, maka

peneliti akan memfokuskan perhatian pada mekanisme mobilisasi massa yang

disajikan dalam konsep DoC. Namun meskipun demikian, dalam analisisnya nanti

tidak menutup kemungkinan bahwa peneliti juga sedikit banyak akan membahas

tentang actor constitution atau pembentukan aktor, karena tidak menutup

kemungkinan nantinya ketika mencoba untuk memahami pola mobilisasi massa di

masing- masing pihak yang berseteru nantinya juga akan membahas beberapa

mekanisme lain yang telah ada diatas sebagai sebuah kelengkapan dalam mencoba

menganalisis secara mendalam dan menemukan jawaban penelitian secara utuh.

DoC juga menyatakan bahwa terdapat 5 mekanisme dasar dalam memahami

mobilisasi massa, diantaranya. Pertama, sederetan proses- proses perubahan sosial

yang luas mendahului konflik. Kedua, tiap-tiap pihak melihat ancaman datang

dari pihak yang laindan/ atau melihat kesempatan- kesempatan yang

menguntungkan dririnya sendiri. Ketiga, organisasi- organisasi yang sudah ada

diberi tujuan-tujuan baru. Keempat, organisasi- organisasi melancarkan aksi- aksi

kolektif inovatif untuk menentang pihak lain. Kelima, pada gilirannya hal ini

mengarah pada sebuah eskalasi dalam hal rasa ketidakpastian, yang pada

gilirannya kembali memperbesar ancaman atau kesempatan tadi.

25

Konflik yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dan masyarakat etnis

Lampung merupakan sebuah manifestasi dari tumpukan- tumpukan ketegangan

yang telah terjadi bertahun- tahun lamanya antara kedua masyarakat etnis ini.

Dengan menggambarkan historisasi konflik yang terjadi, yang telah digambarkan

dalam rumusan masalah pertama penelitian ini, ditujukan agar gambaran tentang

pola komunikasi antar etnis pra- konflik dapat membantu menganalisis motivasi

gerakan maupun masing- masing aktor dalam menggelola konflik ini.

1.7. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif, Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami subyek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Pendekatan kualitatif lebih menekankan

penggunaan diri peneliti sebagai alat, dan kepekaan peneliti dibutuhkan agar

mampu mengungkap gejala sosial pada obyek penelitian dengan mengerahkan

segenap fungsi inderanya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus.

Studi kasus merupakan sebuah strategi penelitian dimana didalamnya peneliti

menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, ataupun

sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti

mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur

pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini, kasus

26

yang dilihat jelas sangat dibatasi oleh konteks waktu dan aktifitas, penelitian ini

akan melihat tentang proses pengorganisasian massa dan keteribatan actor politis

dalam konflik di desa Balinuraga, sehingga batasan waktu yang dijadikan acuan

adalah pada masa-masa krisis konflik yang terjadi pada November 2012. Metode

ini dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti

perhimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi,

studi kasus dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat

komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya

menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer atau

kekinian (Bungin, 2010: 20).

Pakar metodologi penelitian, Robert Yin (1996) menyebutkan:

“studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki

fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batas-batas

antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tagas; dan di

mana: multi sumber bukti dimanfaatkan. Ia menambahkan, studi

kasus itu lebih banyak berkutat pada atau berupaya menjawab

pertanyaan-pertanyaan “how’ (bagaimana) dan “why”

(mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan

“what” (apa/apakah), dalam kegiatan penelitian.”

Dengan menggunakan metode Studi kasus diharapkan penelitian ini akan

lebih mudah dalam melakukan analisis yang bersifat menggkorelasikan seuatu

fakta dengan fakta lainya untuk membentuk sebuah pemahaman yang utuh

terhadap permasalahan penelitian.

1.7.1. Lokasi/ Setting Penelitian

Konflik merupakan sebuah fenomena sosial yang unik, meskipun konflik

sendiri dianggap sebuah patologi yang pasti terjadi disetiap masyarakat. Namun

bentuk, intensitas konflik memiliki keunikan masing-masing disetiap tempatnya

27

karena akan sangat berkaitan dengan karakteristik atau keragaman masyarakat,

pola komunikasi yang diterapkan dalam suatu masyarakat, ataupun faktor-faktor

geografis tempat tinggal masyarakat tersebut. Sehingga lokasi dalam kajian

konflik memang seringkali tidak dapat disamakan antara satu dengan yang

lainnya. Lokasi atau setting dari penelitian ini adalah di desa Agom serta di desa

Balinuraga Kec. Kalianda (Lampung Selatan), lokasi ini dipilih karena

karakteristik konfliknya yang memang sangat tajam serta keterlibatan kelompok

massa yang terhitung besar.

1.7.2. Kebutuhan dan Jenis Data

A. Data Primer

Data primer merupakan sumber utama penelitian yang langsung berasal

dari objek dan diolah oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari

hasil pengamatan langsung peneliti dilapangan maupun hasil dari wawancara

mendalam dengan informan penelitian yang telah ditentukan dengan

pertimbangan keberimbangan data yang akan didapat untuk melakukan analisis.

B. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari pihak lain

untuk kemudian dapat diolah sesuai instrumen pengumpulan data yang dimiliki

sehingga hasilnya dapat melengkapi data primer. Data sekunder ini terutama

digunakan untuk memperkuat dan untuk memverifikasi data yang telah

didapatkan dari informan utama yang telah ditentukan dan telah melakukan

wawancara mendalam. Data sekunder juga diperoleh melalui studi literatur baik

berupa buku, jurnal, penelitian terdahulu, situs internet serta dokumen-dokumen

28

milik desa yang mendukung dan membantu peneliti untuk memperoleh informasi

berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.3. Teknik dan Proses Pengumpulan Data

Bukti dan data dalam penelitian studi kasus bisa berasal dari enam sumber,

yaitu: Dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung, dan

perangkat-perangkat fisik (Yin, 2011: 101). Dari data yang dibutuhkan dalam

metode studi kasus, seperti yang telah dijelaskan diatas, maka teknik

pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi:

1. Masuk dan berada langsung di kedua konteks masyarakat untuk

melakukan pengamatan langsung serta pengamatan terhadap

perangkat-perangkat fisik sehingga peneliti mendapatkan gambaran

tentang keadaan masyarakat secara umum.

2. Mengumpulkan arsip-arsip ataupun dokumen yang sekiranya dapat

membantu peneliti dalam menganalisis permasalahan, yang dapat

dikumpulkan dari instansi-instansi terkait.

3. Dalam metode penelitian studi kasus, wawancara merupakan salah satu

instrument penelitian yang paling penting dan paling fundamental.

Wawancara dalam penelitian ini akan diawali dengan menggunakan

teknik wawancara sambil lalu dengan tujuan memetakan informan

penelitian yang sesuai dan memadai untuk memberikan informasi yang

dibutuhkan. Ketika informan-informan penelitian telah jelas dan telah

ditentukan, maka peneliti akan menggunakan teknik wawancara

mendalam untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.

29

Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan, yaitu antara

November 2013 hingga Januari 2014. Seperti yang telah dijelaskan pada beberapa

bagian sebelumnya, meskipun dalam penelitian ini kedua kelompok masyarakat

akan menjadi objek kajian namun dalam pelaksanaannya peneliti lebih

menekankan perhatian pada kelompok massa penyerang atau kelompok massa

etnis Lampung karena mereka adalah kelompok massa yang cenderung

melakukan mobilisasi massa sedangkan masyarakat Desa Balinuraga cenderung

merupakan pihak yang pasif.

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menemukan banyak permasalahan

yang salah satunya menyangkut identitas peneliti yang sebenarnya adalah

masyarakat etnis Bali, yang kemudian akan sangat berpengaruh pada keterbukaan

dan akses dalam mengakses data dilapangan. Pada awal penelitian ini, peneliti

mencoba untuk menyembunyikan identitas asli peneliti untuk memudahkan akses

peneliti masuk kedalam komunitas masyarakat etnis Lampung, serta memudahkan

peneliti dalam menciptakan keterbukaan dengan informan peneleitian. Namun

meskipun demikian, rencana tersebut tidak berjalan dengan baik, karena ketika

peneliti melakukan pertemuan pertama dengan kepala desa Agom untuk

mengajukan izin penelitian dan meminta bantuan untuk tempat tinggal selama

melakukan penelitian, kepala desa tersebut mengarahkan peneliti untuk tinggal

didalam salah satu pondok pesantren Islam yang ada di desa tersebut, dan peneliti

menyadari bahwa ketika rencana tersebut tetap dijalankan cepat atau lambat

identitas asli akan tetap dapat diketahui dan akan semakin berbahaya karena akan

dianggap sebagai bentuk penipuan.

30

Identitas peneliti ini juga dapat berimbas dalam hal keamanan peneiti

selama melakukan penelitian dizona masyarakat etnis Lampung, karena bisa saja

masih ada sebagian masyarakat sendiri yang bermasalah dengan masyarakat etnis

Bali atau masih terbawa suasana konflik yang telah terjadi satu tahun sebelumnya.

Untuk itu peneliti mencoba untuk membangun kedekatan personal dengan kepala

desa Agom agar dapat dijadikan akses utama dalam melakukan penelitian ini, dan

sejauh penelitian ini dilakukan upaya tersebut dapat dikatakan berhasil.

Dengan identitas Bali yang dibawa oleh peneliti ini pula kemudian peneliti

tidak mendapatkan akses tempat tinggal didalam komunitas masyarakat etnis

Lampung, dan akhirnya selama melakukan penelitian ini peneliti tinggal di Desa

Bali Koga dengan juga mempertimbangkan akses dan keterkaitan yang masih

sangat memungkinkan.

Sejak awal penelitian ini akan dilaksanakan peneliti menyadari bahwa

kebutuhan data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penelitian ini mungkin saja

sangat sensitif bagi pihak-pihak yang terlibat. Untuk itu, data-data yang

didapatkan dalam penelitian ini seringkali berawal dari isu yang didapatkan dalam

konteks penelitian sambil lalu atau observasi lapang, dan kemudian melakukan

melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak yang telah dianggap memumpuni dan

memiliki keterbukaan yang baik.

Dalam mekakukan observasi lapangan seorang peneliti dimungkinkan

untuk melakukan mobilitas yang tinggi dan berani serta memuliki kemampuan

untuk memasuki kantung-kantung massa yang mungkin memiliki informasi

terkait konflik yang terjadi di Desa Balinuraga, seperti warung-warung kopi, atau

31

pangkalan-pangkalan ojek karena mayoritas diantara mereka merupakan

masyarakat etnis Lampung.

Banyaknya jumlah massa dan aktor-aktor yang terlibat dalam penyerangan

yang terjadi di Desa Balinuraga membuat bangunan dan kelengkapan data yang

didapat dan disajikan dalam penelitian ini didapat dari potongan-potongan kecil

yang seringkali mengaitkan atau menjawab permasalahan satu sama lain namun

telah dilakukan konfirmasi atau cross check data dengan pihak-pihak lain yang

lebih berkompeten.

1.7.4. Teknik Pengelolaan Data.

Analisis data dalam studi kasus jarang didefiniskan secara tegas dan

kongkret. Namun, mengambil gagasan dari John W. Creswell tentang teknik

menganalisis dalam penelitian kualitatif maka teknik analisis yang digunakan

dalam penulisan penelitian ini akan melalui tiga tahap utama yaitu:

1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini

melibatkan transkrip wawancara, men-scanning materi, mengetik data

lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut kedalam jenis

yang berbeda dan disesuaikan dengan fokus permasalahan dari penelitian

ini.

2. Membaca keseluruhan data. Langkah pertama adalah membangun

general sense atas informasi yang diperoleh dan merefleksikan

maknanya secara keseluruhan. Gagasan umum apa yang terkandung

dalam gagasan partisipan? Pada tahap ini, para peneliti kualitatif

32

terkadang menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum

tentang data yang diperoleh.

3. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data. Coding merupakan

proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan

sebelum memaknainya (Yin, 2011: 135). Dalam penelitian ini, Coding

analisis dibedakan menjadi 4 bagian yaitu Eskalasi, Pembentukan

Identitas, Pembentukan Aktor, dan Mobilisasi Massa.