bab i pendahuluan 1.1 latar belakangperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/skripsi kandungan aflatoksin...

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang cukup penting baik bagi manusia maupun bagi hewan. Jagung sebagai tanaman pangan terpenting dunia selain gandum dan padi dan merupakan bahan baku utama penyusun pakan ternak di Indonesia. Selain itu jagung juga banyak diolah sebagai bentuk bahan makanan lain, diantaranya tepung maizena, pop corn, sup, bakwan, bahan campuran dalam pembuatan roti dan kue, dan sebagainya (Anonim, 2005). Jagung di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin yang cukup tinggi. Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin utama pencemar jagung dan bahan pakan ternak (Widiastuti et al., 1988; Bahri et al., 1995;2005 dalam Widiastuti, 2006). Aflatoksin, terutama adalah racun yang dihasilkan kapang Aspergillus sp. Zat ini berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan karena bersifat toksik terhadap bahan pangan yang terkontaminasi dan merupakan penyebab utama kanker hati. Cemaran Aspergillus flavus pada jagung umumnya terjadi sejak tanaman masih berada di kebun, karena kapang ini merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada tanah. Beberapa kondisi yang mendorong pertumbuhan A. flavus adalah kadar air dan kelembaban yang cukup tinggi serta kondisi atmosfer. A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada kadar air 13-18%, suhu sekitar 30 o C dan RH 95%. Mengingat Indonesia adalah negara beriklim tropis yang merupakan lingkungan yang sangat ideal untuk tumbuh kembang berbagai jenis kapang seperti Aspergilus flavus yang adalah penghasil utama aflatoksin B 1 . Bila tidak dikendalikan, kandungan aflatoksin pada jagung akan semakin meningkat karena aflatoksin dapat dihasilkan jamur sejak dari masa tanam sampai masa penyimpanan dan didukung sifat mikotoksin yang stabil terhadap lingkungan, dan tidak mudah rusak dengan berbagai pengolahan.

Upload: vodung

Post on 16-Jun-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung merupakan komoditi yang cukup penting baik bagi manusia

maupun bagi hewan. Jagung sebagai tanaman pangan terpenting dunia selain

gandum dan padi dan merupakan bahan baku utama penyusun pakan ternak di

Indonesia. Selain itu jagung juga banyak diolah sebagai bentuk bahan makanan

lain, diantaranya tepung maizena, pop corn, sup, bakwan, bahan campuran dalam

pembuatan roti dan kue, dan sebagainya (Anonim, 2005).

Jagung di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin yang

cukup tinggi. Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia, aflatoksin merupakan

mikotoksin utama pencemar jagung dan bahan pakan ternak (Widiastuti et al.,

1988; Bahri et al., 1995;2005 dalam Widiastuti, 2006). Aflatoksin, terutama

adalah racun yang dihasilkan kapang Aspergillus sp. Zat ini berbahaya bagi

kesehatan manusia maupun hewan karena bersifat toksik terhadap bahan pangan

yang terkontaminasi dan merupakan penyebab utama kanker hati. Cemaran

Aspergillus flavus pada jagung umumnya terjadi sejak tanaman masih berada di

kebun, karena kapang ini merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada

tanah. Beberapa kondisi yang mendorong pertumbuhan A. flavus adalah kadar air

dan kelembaban yang cukup tinggi serta kondisi atmosfer. A. flavus mampu

tumbuh dengan baik pada kadar air 13-18%, suhu sekitar 30oC dan RH ≥ 95%.

Mengingat Indonesia adalah negara beriklim tropis yang merupakan lingkungan

yang sangat ideal untuk tumbuh kembang berbagai jenis kapang seperti

Aspergilus flavus yang adalah penghasil utama aflatoksin B1.

Bila tidak dikendalikan, kandungan aflatoksin pada jagung akan semakin

meningkat karena aflatoksin dapat dihasilkan jamur sejak dari masa tanam sampai

masa penyimpanan dan didukung sifat mikotoksin yang stabil terhadap

lingkungan, dan tidak mudah rusak dengan berbagai pengolahan.

2

Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pengujian yang sesuai untuk

mengetahui kandungan aflatoksin dalam biji jagung yaitu dengan metode ELISA

(Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja

Tinggi) atau dikenal juga dengan HPLC (High Performance Liquid

Chromatography).

1.2 Identifikasi Masalah

Penyimpanan biji jagung merupakan faktor penting yang dapat memicu

tumbuhnya kapang Aspergillus flavus penghasil utama aflatoksin B1. Kondisi

penyimpanan biji jagung seperti waktu penyimpanan serta suhu dan kelembaban

pada saat penyimpanan sangat mempengaruhi pertumbuhan kapang penghasil

aflatoksin ini, sehingga menyebabkan kandungan aflatoksin menjadi tidak sesuai

dengan SNI 01-4483-1998 untuk jagung sebagai bahan baku pakan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yaitu:

1) Untuk mengetahui dan membandingkan kadar aflatoksin dalam biji jagung

menggunakan metode ELISA dan KCKT.

2) Untuk mengetahui pengaruh penyimpanan biji jagung selama jangka waktu

tertentu terhadap kadar air dan kadar aflatoksin dibandingkan dengan SNI 01-

4483-1998.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kadar

aflatoksin yang diuji dengan metode ELISA dan KCKT, serta pengaruh

penyimpanan biji jagung pada waktu tertentu terhadap kadar air dan kandungan

total aflatoksin.

1.5 Hipotesis

Selama penyimpanan, kadar air dan aflatoksin pada biji jagung dapat

bertambah sehingga tidak sesuai dengan SNI 01-4483-1998.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jagung

Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari

keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan

Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika. Sekitar abad ke-16

orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Orang Belanda

menamakannya mais dan orang Inggris menamakannya corn.

Gambar 1 Tanaman Jagung

Jagung mulai berkembang di Asia Tenggara pada pertengahan abad ke 16

dan pada awal abad ke 17 mulai berkembang menjadi tanaman yang banyak

dibudidayakan di Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Pada pertengahan abad 18, tanaman jagung tumbuh luas di Cina, di selatan

Fukien, hunan, dan Szechwan. Populasi jagung berkembang dengan pesat sejak

abad 18. Di Cina, jagung dibutuhkan sebagai bahan makanan terutama di bagian

utara, dan dari sini jagung mulai menyebar ke Korea dan Jepang. Dan kurang dari

300 tahun sejak 1500 M, tanaman jagung telah tersebar di seluruh dunia dan

menjadi salah satu bahan makanan penting bagi penduduk dunia.

4

Tabel 1 Klasifikasi Ilmiah Jagung

Kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisio Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub divisio Angiospermae (berbiji tertutup)

Classis Monocotyledone (berkeping satu)

Ordo Graminae (rumput-rumputan)

Familia Graminaceae

Genus Zea

Species Zea mays L.

Sumber : Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan

Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi MIG Corp.

Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Di

beberapa daerah di Indonesia, jagung menjadi makanan pokok, yaitu di Madura

dan Nusa Tenggara. Berdasarkan urutan bahan makanan pokok di dunia, jagung

menduduki urutan ke 3 setelah gandum dan padi.

Akhir-akhir ini tanaman jagung semakin meningkat penggunaannya. Tanaman

jagung banyak sekali gunanya, karena hampir seluruh bagian dari tanaman jagung

dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Selain sebagai sumber

karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai bahan baku pakan ternak (hijauan

maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir,

dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari

tepung bulir dan tepung tongkolnya).

5

Tabel 2 Kandungan Gizi Jagung (Zea mays L.)

Kandungan gizi Jumlah dalam 100 gram

Kalori 355 kalori

Protein 9.2 gram

Lemak 3.9 gram

Karbohidrat 73.7 gram

Kalsium 10 mg

Fosfor 256 mg

Ferrum 2.4 mg

Vitamin A 510 SI

Vitamin B1 0.38 mg

Air 12 gram

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri

dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Jagung tidak menuntut persyaratan

lingkungan yang terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah bahkan

pada kondisi tanah yang agak kering. Tetapi untuk pertumbuhan optimalnya,

jagung menghendaki beberapa persyaratan, seperti iklim, media tanam dan

ketinggian tempat.

Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya

diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap

pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif.

Di Indonesia, jumlah kebutuhan jagung meningkat dari tahun ke tahun

dalam jumlah yang cukup tinggi karena adanya permintaan dari industri pakan

ternak (Departemen Pertanian, 2007). Oleh sebab itu, Pemerintah berupaya untuk

meningkatkan produksinya melalui perluasan penanaman tanaman jagung antara

lain melalui program Gema Palagung dengan target dalam kurun waktu 2005 –

2015 akan terjadi tambahan areal panen seluas 456.810 ha (Suryana, 2006).

6

Provinsi penghasil jagung di Indonesia : Jawa Timur : 5 jt ton; Jawa

Tengah : 3,3 jt ton; Lampung : 2 jt ton; Sulawesi Selatan: 1,3 jt ton; Sumatera

Utara : 1,2 jt ton; Jawa Barat : 700 – 800 rb ton, sisa lainnya (NTT, NTB, Jambi

dan Gorontalo) dengan rata-rata produksi jagung nasional 16 jt ton per tahun.

2.2 Biji Jagung

Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada

endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan

kering biji.

Gambar 2. Jagung Pipilan (biji jagung kering)

Standar mutu yang harus dipenuhi jagung sebagai bahan baku pakan,

sangat diperlukan untuk member jaminan bagi petani penghasil, serta jaminan

mutu pakan ternak yang menggunakannya. Kandungan zat anti

nutrisi/racunsampai dengan batas tertentu dalam jagung, tidak membahayakan

bagi ternak yang memakannya, maupun bagi manusia yang mengkonsumsi hasil

ternak tersebut.Jagung sebagai bahan baku pakan digolongkan dalam satu

tingkatan mutu yang tercantum dalam SNI 01-4483-1998.

Tabel 3 Syarat Mutu Jagung Untuk Bahan Baku Pakan

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

Kadar Air % Maks. 14

Kadar Aflatoksin ppb Maks. 50

Sumber : SNI 01-4483-1998

7

2.3 Penyimpanan Jagung

Selama penyimpanan, jagung maupun bahan pangan lainnya sangat mudah

ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan,

suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang

penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas

bahan pangan/pakan dan mempengaruhi nilai ekonomis, tetapi juga

membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Berbagai penyakit dapat

ditimbulkan oleh mikotoksin, seperti kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin,

salah satu jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan di negara beriklim

tropis.

Karena adanya kontaminasi oleh kapang yang dapat menghasilkan

mikotoksin, maka perlu diperhatikan cara penyimpanan jagung dengan baik.

Produk pertanian yang disimpan harus dalam keadaan kering dengan kadar air

yang sesuai untuk penyimpanan . Di negara-negara beriklim sedang, kadar air

ideal adalah <13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk

penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14% (Maryam, 2006).

Namun, untuk Negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang

tinggi, kadar air yang ideal berkisar antara 7-9% terutama untuk komoditi yang

disimpan lebih dari 3 bulan (Kasno, 2004).

Produk disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang

baik . Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara rutin selama

periode penyimpanan . Kenaikkan suhu 2 - 3°C dapat menunjukkan adanya

infestasi kapang atau serangga. Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan

kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan diletakkan dengan

menggunakan alas (papan) (Maryam, 2006).

2.4 Mikotoksin

Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh berbagai jenis

jamur (Aspergillus, Pennicillium, dan Fusarium) (Pirestani et al., 2011) pada

bahan pangan serta bersifat sitotoksik (Ahmad, 2009). Mikotoksin mulai dikenal

sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X-disease pada tahun

1960. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin. Lima jenis diantaranya

8

sangat berpotensi menyebabkan penyakit dan sering ditemukan pada biji-bijian

yaitu, aflatoksin, ochratoxin A, zearalenon, trichothecenes (toksin T2) dan

fumonisin. Menurut FAO, sekitar 25% komoditas pangan di dunia telah tercemar

oleh kapang dan mikotoksin (Williams, 2004 ; USDA, 2008).

Di negara tropis seperti Indonesia, kontaminasi mikotoksin sangat sulit

untuk dihindari karena kondisi iklim dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan

suhu yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin.

Indonesia beresiko tinggi terhadap ancaman mikotoksin karena metabolit

sekunder jamur ini diproduksi pada kondisi lingkungan yang lembab (kelembaban

optimal di atas 85%) dan suhu antara 4-40°C (optimal 25-32°C) dengan kadar air

18% (Reddy dan Waliyar, 2008). Selain itu, bahan baku dengan kadar air yang

terlalu tinggi sangat potensial untuk ditumbuhi jamur. Mikotoksin akan semakin

banyak diproduksi oleh jamur jika terjadi perubahan suhu, pH dan kelembaban

secara mendadak. Mikotoksin juga memiliki sifat kimiawi yang sangat stabil.

Dharmaputra (2004) menyatakan keberadaan mikotoksin pada bahan

pangan seperti jagung dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor biologi yaitu biji-bijian yang telah tercemar jamur penghasil toksin

2. Faktor lingkungan, meliputi suhu, kelembaban serta Aw (activity water) dan

kerusakan biji oleh serangga

3. Pemanenan, termasuk tingkat kemasakan biji, suhu, kelembaban, pendeteksian

dan pemipilan biji

4. Penyimpanan, antara lain suhu dan kelembaban ruang simpan, pendeteksian

dan pemisahan biji yang tercemar

5. Pemrosesan seperti pengeringan dan sortasi biji

Pada masa tanam, produksi mikotoksin didukung oleh berbagai faktor,

antara lain: kondisi iklim (temperatur >30°C, dan kelembaban relatif sekitar 80% -

85%), adanya manifestasi serangga, kualitas bibit yang bervariasi dan kepadatan

tanaman yang tinggi. Proses panen dapat mempengaruhi jumlah pembentukan

mikotoksin, yaitu tingkat kematangan tanaman dan kadar air biji tanaman.

Kontaminasi mikotoksin dipengaruhi oleh proses penyimpanan maupun proses

pengolahan terhadap jagung tersebut. Saat panen, kadar air dalam jagung masih

9

tinggi (25-30%) sehingga menyebabkan jagung mudah terserang oleh kontaminan

kapang Aspergillus flavus yang merupakan penghasil utama mikotoksin jenis

aflatoksin (Suarni, 2008). Kemudian, pada saat penyimpanan, produksi

mikotoksin dipengaruhi oleh kandungan air biji tanaman yang disimpan,

efektifitas pengendalian serangga, dan efektifitas bahan pengawet yang

ditambahkan. Distribusi bahan baku makanan juga berpengaruh terhadap

pembentukan mikotoksin, seperti kondisi pada saat pengapalan.

Mikotoksin disintesis dan dikeluarkan selama proses pertumbuhan jamur

tertentu. Dan jika jamur mati, maka produksi mikotoksin akan berhenti, tetapi

mikotoksin yang sudah terbentuk tidak akan hilang. Hal tersebut karena

mikotoksin memiliki struktur kimiawi yang stabil pada berbagai kondisi

lingkungan, sehingga tahan terhadap suhu panas yang ekstrim dan tahan lama

pada proses penyimpanan bahan baku serta tahan terhadap berbagai proses

pengolahan. Yang menjadikan mikotoksin menjadi ancaman yang merugikan

adalah kemampuannya mengganggu dan merusak organ sistem kekebalan tubuh,

meskipun mikotoksin tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat rendah

(nanogram sampai mikrogram per gram bahan makanan). Yang paling

mendukung pencemaran mikotoksin adalah mikotoksin dapat ditemukan dan

tumbuh secara alami pada bahan baku makanan yang berupa biji-bijian.

2.5 Aflatoksin

Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Aflatoksin

adalah senyawa beracun yang diproduksi oleh Aspergillus flavus, atau oleh jenis

Asprgillus lain misalnya A. Parasiticus (Marwati et al., 2008), dan banyak

ditemukan pada jagung, kacang tanah, kedelai, beras, dan komoditas hasil

pertanian lainnya mulai saat tanam, panen, penyimpanan di gudang, maupun pada

saat pengolahan (Widiastuti et al., 2008). Aflatoksin merupakan mikotoksin yang

paling luas penyebarannya dan paling berbahaya. Mikotoksin ini ditemukan

paling banyak terdapat pada jagung.

10

Gambar 3 Kapang Aspergillus flavus

Aflatoksin dapat digolongkan menjadi aflaktoksin B (fluorescence biru)

dan aflatoksin G (fluorescence hijau) serta turunan-turunannya. Terdapat beberapa

jenis aflatoksin yang umum, yaitu aflatoksin B1 (AFB1), AFB2, AFG1, dan AFG2,

AFM1, dan AFM2. Aflatoksin B2 dan G2 adalah aflatoksin B1 dan G1 yang telah

mengalami dehidrasi, sedangkan aflatoksin M1 dan M2 merupakan derivat dari

aflatoksin B1 dan B2. Dari beberapa jenis aflatoksin tersebut, AFB1 merupakan

yang paling berbahaya karena memiliki efek toksik yang paling tinggi.

Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatotoksik dan mutagenik (Widiastuti,

2006) sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO). Selain itu,

aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem

kekebalan tubuh. Syarief dan Nurwitri (2003) mengungkapkan bahwa aflatoksin

adalah jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada jagung. Aflatoksin

B2 bersifat karsinogenik ringan, kemungkinan karena enzim ini sebagian kecil

diubah jadi AFB1(Lewis et al., 2005).

Handajani dan Setyaningsih (2006) melaporkan, aflatoksin B1 merupakan

salah satu senyawa yang dapat menyebabkan terjadinya kanker pada manusia.

Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan

pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan

metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging

ayam. Selain itu, jagung, kacang tanah dan biji kapuk merupakan komoditi yang

beresiko tinggi terkontaminasi aflatoksin (Rachmawati et al., 2004).

11

Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah

yang utama karena pangan dan pakan banyak dirusak secara fisik dan kimiawi.

Kerusakan fisik terjadi oleh peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang

sehingga warna, bentuk, dan bau bahan tersebut berubah, sedangkan kerusakan

kimiawi terjadi akibat adanya produksi aflatoksin dari kapang tersebut

(Rachmawati et al., 2004).

Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus

yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama

aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2)

Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus

ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-

430C dengan suhu optimum 28

0-33

0C (Sudibyo, 2003). Sedangkan kisaran suhu

minimal untuk pertumbuhan A. parasiticus adalah 6-8oC, maksimal pada suhu 44-

46oC, dan optimal pada suhu 25-35

oC (Suarni, 2008).

Aflatoksin bersifat stabil pada pemanasan. Beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa kadar aflatoksin tidak akan hilang atau berkurang dengan

pemasakan atau pemanasan (Midio et al., 2001). Pada suhu pemanasan normal

(100ºC) aflatoksin belum terurai. Titik lebur aflatoksin relatif tinggi yaitu diatas

250ºC (Lampiran 2). Oleh karena itu, bahan pangan yang terkontaminasi

aflatoksin berbahaya untuk dikonsumsi meskipun sudah diolah dengan pemanasan

atau pemasakan.

Gambar 4. Struktur Kimia Aflatoksin

12

2.6 ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Metode ELISA telah dikenal dan merupakan perangkat imunologi untuk

mendeteksi berbagai kelas immunoglobulin dan antibodi spesifik terhadap antigen

yang kita miliki. Uji ini dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat, dengan

sensitifitas serta spesifitasnya yang tinggi, apabila reaksi-reaksi yang non-spesifik

dapat ditiadakan.

ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlman dan Eva

Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibody di dalam

suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pendeteksi. Dalam pengertian

sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu

permukaan, kemudian antibody spesifik ditambahkan pada permukaan tersebut

sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu

enzim, dan pada tahap terakhir ditambahkan substrat yang dapat diubah oleh

enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi.

Metode ELISA termasuk ke dalam teknik Immunoassays, yaitu teknik yang

digunakan untuk melihat keberadaan molekul spesifik dalam suatu specimen.

Secara umum teknik ini memanfaatkan prinsip ikatan spesifik antara

protein/antigen dengan antibodinya. Memanfaatkan conjugate, yaitu hasil

konjugasi antibodi dengan senyawa lain (enzim, radioisotope, atau fluorochrom)

untuk membantu visualisasi hasil reaksi.

Penggunaan ELISA melibatkan satu antibodi spesifik terhadap antigen

tertentu. Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui dimobilisasi pada

suatu permukaan solid yang biasanya berupa plate mikrotiter polystyrene, baik

yang non spesifik (melalui penyerapan pada permukaan) maupun yang spesifik

(melalui ikatan dengan antibody lain yang spesifik untuk antigen yang sama).

Setelah antigen dimobilisasi, antibody pendeteksi ditambahkan dan membentuk

kompleks dengan antigen.

13

Gambar 5 Molekul Antibodi

Metode ELISA sendiri merupakan uji serologis yang relative sering

digunakan dalam diagnosa penyakit. Aplikasi uji ELISA ini dapat digunakan

untuk pemeriksaan/deteksi antibody maupun protein/antigen. Prinsip uji dalam

teknik ELISA memanfaatkan ikatan spesifik antigen-antibodi (antibodi primer).

Kemudian antibody sekunder (anti-species Ig) yang dilabel enzim akan berikatan

dengan antibody primer tadi. Target enzim (substrat) akan diurai oleh enzim.

Hasil urai enzim ini lebih lanjut akan bereaksi dengan chromogen dan terbentuk

warna. Pembacaan optical density (OD) dari warna yang terbentuk berupa data

numerik. Interpretasi data hasil uji ELISA ini dapat menunjukkan hasil kualitatif

ataupun kuantitatif. Untuk memperoleh hasil kualitatif, terlebih dahulu ditentukan

nilai “specific cutoff”. Hasil dapat positif atau negative (yaitu di atas atau di

bawah nilai cutoff). Namun uji kualitatif ini memungkinkan terjadinya nilai

negative palsu maupun positif palsu. Sedangkan untuk penentuan hasil kuantitatif

digunakan data dalam bentuk hasil numeric yang dapat menentukan estimasi

konsentrasi sampel berdasarkan nilai standar yang digunakan pada saat pengujian.

Antibodi pendeteksi dapat berikatan dengan enzim atau dapat dideteksi

langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim melalui

biokonjugasi. Di antara tiga tahap, plate harus dicuci dengan larutan pencuci

untuk membuang kelebihan protein atau antibody yang tidak terikat. Dan setelah

tahap pencucian terakhir, ditambahkan substrat enzimatik ke dalam plate untuk

14

menghasilkan sinyal yang visible yang dapat menunjukkan jumlah antigen dalam

sampel.

Teknik pelabelan antibodi yang digunakan dalam metode Direct

Competitive ELISA.

Antibodi ditambahkan pada sumur lempeng dan dibiarkan menempel

sendiri melalui inkubasi pada suhu tertentu.antibodi yang tidak menempel akan

terbuang melalui pencucian. Penambahan known antigen yang dilabel dengan

enzim dan unknown atau sampel. Akan terjadi kompetisi antara known dan

unknown. Antigen yang tidak menempel pada antibodi akan terbuang melalui

pencucian. Penambahan substrat, pada tahap ini terjadi reaksi kimia dimana

substrat bereaksi dengan enzim dan menghasilkan warna. Jika sampel

mengandung misalnya progesteron maka tidak akan terjadi perubahan warna atau

dengan kata lain 100% kompetisi, dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena tidak ada

target enzim yang bereaksi dengan substrat.

Gambar 6 Tahapan Uji direct Competitive ELISA

15

Gambar 7 ELISA Reader

2.7 KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi)

Kromatografi adalah sutau teknik pemisahan dimana senyawa yang akan

dipisahkan terdistribusi diantara dua fasa (fasa gerak dan fasa diam) dan selalu

ada bagian yang bergerak sepanjang fasa yang diam tersebut sehingga terpisah

senyawanya. Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir

tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Teknik ini merupakan suatu cara

pemisahan dimana fasa diam berupa cairan dan fasa gerak juga berupa cairan.

Menurut Snyder & Kirkland (1979) serta Johnson & Stevenson (1978), metode

KCKT memiliki kelebihan sebagai berikut:

1) Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran

2) Mudah melaksanakannya

3) Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi

4) Dapat dihindari terjadinya dekomposisi (kerusakan) bahan yang dianalisis

5) Resolusi yang baik

6) Dapat digunakan bermacam-macam detector

7) Kolom dapat digunakan kembali

8) Mudah melakukan sample recovery

Instrumentasi KCKT pada umumnya terdiri atas wadah fasa gerak, pompa,

tempat injeksi sampel, kolom, detector, wadah penampung buangan fasa gerak,

dan recorder.

16

Gambar 8 Instrumentasi KCKT

1. Wadah fasa gerak dan fasa gerak

Wadah fasa gerak harus bersih dan inert. Fasa gerak biasanya terdiri dari

campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan

dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh

polaritas keseluruhan pelarut (fasa gerak), fasa diam dan komponen-

komponen dalam sampel.

2. Pompa

Pompa yang baik digunakan untuk system KCKT sama seperti wadah fasa

gerak, yaitu pompa harus inert terhadap fasa gerak. Bahan yang umum dipakai

untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa

yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan samapi 5000 psi dan

mengalirkan fasa gerak dengan laju alir 3 mL/menit. Tujuan penggunaan

pompa adalah untuk menjamin penghantaran fasa gerak berlangsung secara

tepat, reproducible, konstan dan tanpa gangguan.

3. Sistem injeksi (tempat penyuntikan sampel)

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase

gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat

penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang

dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal.

17

4. Kolom

Kolom merupakan bagian yang penting dalam system KCKT. Kolom adalah

penentu keberhasilan suatu analisis dengan metode KCKT ini, oleh karena

perlu diperhatikan pemilihan kolom yang sesuai dan pemeliharaan kolom.

Pada kolom inilah terdapat fasa diam dan merupakan tempat terjadinya

pemisahan komponen-komponen dalam sampel yang dianalisa.

5. Detektor

Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor

universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik,

dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor

spektrometri massa; dan golongan detektor yang spesifik yang hanya akan

mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis,

detektor fluoresensi, dan elektrokimia. Idealnya suatu detektor harus

mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Mempunyai respon terhadap solute yang cepat dan reproducible.

2) Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yaitu mampu mendeteksi solut pada

kadar yang rendah.

3) Stabil dalam pengoperasiannya.

4) Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan

pelebaran pita.

5) Sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solute.

6) Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fasa gerak (Meyer,

2004).

Derivatisasi pada KCKT melibatkan suatu reaksi kimia antara suatu analit dengan

suatu reagen untuk mengubah sifat fisika-kimia suatu analit. Tujuan utama

penggunaan derivatisasi pada KCKT adalah:

1) Meningkatkan deteksi.

2) Mengubah struktur molekul atau polaritas analit sehingga menghasilkan

puncak kromatografi yang lebih baik.

3) Mengubah matriks sehingga diperoleh pemisahan yang lebih baik.

4) Menstabilkan analit yang sensitif (Snyder and Kirkland, 2004).

18

Detektor yang paling banyak digunakan dalam KCKT adalah detector UV-

Vis, sehingga banyak metode yang dikembangkan untuk memasang atau

menambahkan gugus kromofor yang akan menyerap cahaya pada panjang

gelombang tertentu. Disamping itu, juga dikembangkan suatu metode untuk

menghasilkan fluorofor (senyawa yang mampu berfluoresensi) sehingga dapat

dideteksi dengan fluorometri (Cserhati & Forgacs, 1999).

Suatu reaksi derivatisasi harus mempunyai syarat-syarat : produk yang

dihasilkan mampu menyerap baik sinar UV maupun sinar tampak atau dapat

membentuk senyawa berfluoresen sehingga dapat dideteksi dengan

spektrofluorometri, proses derivatisasi harus cepat dan menghasilkan produk yang

sebesar mungkin, produk hasil derivatisasi harus stabil selama proses derivatisasi

dan deteksi, dan sisa pereaksi derivatisasi harus tidak mengganggu pemisahan

kromatografi (Cserhati & Forgacs, 1999).

19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dimulai dari Bulan Januari 2013-

Maret 2013 dan dilakukan di laboratorium Serology TSLS (Technical Support

Laboratory Service) Sentul.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jagung pipilan kering,

methanol,acetonitrile, aquadest, aquabidest.

Alat-alat yang digunakan yaitu Kit ELISA Aflatoxin AgraQuant Romer

(AgraQuant® Total Aflatoxin Assay 4/40) yang terdiri dari larutan standar

aflatoksin 0-40 ppb, conjugate antiaflatoxin HRP (Horseradish Peroxidase) ,

substrat TMB (Tetra Metil Benzidine), dan stop solution yang berupa asam kuat

seperti HCl (Lampiran 2). Alat-alat lainnya yaitu kertas saring Whatman No. 1,

ELISA reader Opsys MR DYNEX Technologies, KCKT seri Agilent Technologies

1120 Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector, Orbital

shaker GFL seri 3005, Memmert oven UFP 600, dan neraca Kern seri EWB 620-

2M.

3.3 Metode Kerja

Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu analisis kadar air, analisis

kadar afltoksin dengan metode ELISA dan dengan metode KCKT.

Sampel yang diuji berasal dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon. Sampel

disimpan pada suhu 25o (suhu ruang) dan dilakukan pengujian kadar total

aflatoksin dan kadar air pada waktu awal penyimpanan (minggu ke-0), 1 minggu,

2 minggu, 3 minggu, 4 minggu setelah penyimpanan.

20

3.3.1 Analisis Kadar Air

Penentuan kadar air dilakukan dengan cara menimbang sampel yang telah

dihaluskan dan diayak sebanyak ± 3 gram dalam botol timbang yang sudah

diketahui bobot kosongnya. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu

105oC selama ± 2 jam. Didinginkan, dan ditimbang bobotnya. Dikeringkan

kembali dalam oven selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan

dan penimbangan diulangi sampai diperoleh bobot tetap, yaitu selisih

penimbangan berturut-turut kurang dari 0.0004 gram.

3.3.2 Analisis Kadar Aflatoksin dengan ELISA

Analisis kadar aflatoksin dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan

metode ELISA. Metode ini menggunakan Kit ELISA Romer AgraQuant® Total

Aflatoxin Assay 4/40. Sebelum digunakan Kit ELISA dikeluarkan dari kulkas dan

didiamkan terlebih dahulu selama kira-kira 1 jam sampai suhu Kit ELISA sama

dengan suhu ruang.

3.3.2.1 Preparasi Sampel dan Pembuatan Larutan Methanol 70%

Sampel jagung pipilan sebanyak ± 500 gram dihaluskan dengan

menggunakan blender, kemudian dari hasil tersebut dilakukan pengayakan dengan

ayakan/saringan ukuran 20 mesh. Sampel yang telah diayak ditimbang sebanyak ±

20 gram ke dalam erlenmeyer 250 ml. Setelah itu disiapkan methanol 70% dengan

cara mengencerkan methanol absolut dengan aquadest dengan perbandingan 7:3.

3.3.2.2 Pembuatan Ekstrak Larutan Sampel

Larutan methanol 70% ditambahkan sebanyak 100 ml ke dalam

erlenmeyer yang telah berisi sampel jagung yang telah ditimbang. Dihomogenkan

sambil diputar dengan bantuan alat orbital shaker selama 5 menit dengan

kecepatan 200 rpm. Setelah dihomogenkan, larutan jernih disaring ke dalam botol

schott 100 ml dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 1. Larutan

ekstrak siap digunakan untuk pengujian dengan ELISA.

21

3.3.2.3 Pengujian ELISA Aflatoksin

Disiapkan microplate untuk pengenceran dan coating plate ELISA.

Dimasukkan ke dalam microplate pengenceran, conjugate sebanyak 200 μl +

standar/sampel sebanyak 100 μl. Dihomogenkan dan diambil sebanyak 100 μl

kemudian dimasukkan ke dalam coating plate. Diinkubasi selama 15 menit pada

suhu ruang (25oC). plate dicuci dengan aquadest @ 300 μl per well dan dilakukan

5 kali pencucian. Plate dikeringkan dan diisi dengan larutan substrat sebanyak

100 μl. Diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Setelah 5 menit ditambahkan

stop solution sebanyak 100 μl, kemudian dibaca nilai densitas optiknya dengan

ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.

3.3.3 Analisis Kadar Aflatoksin dengan Metode KCKT

Analisis kadar aflatoksin dilakukan secara kuantitatif dengan

menggunakan metode KCKT. Analisa dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu

pembuatan larutan fasa gerak, pembuatan ekstrak sampel, derivatisasi sampel, dan

pengujian dengan KCKT (penginjeksian sampel ke dalam sistem kromatografi).

3.3.3.1 Pembuatan Fasa Gerak

Dicampurkan 100 mL acetonitrile HPLC Grade, 300 mL methanol HPLC

Grade, dan 600 mL aquabidest. Campuran larutan ini kemudian disaring dengan

menggunakan membran filter 0.45µm.

3.3.3.2. Pembuatan Ekstrak Sampel

Ditimbang sebanyak 25 gram sampel jagung pipilan dan ±5 gram serbuk

NaCl ke dalam blender, ditambahkan 125 mL methanol 70% kemudian diblender

dengan kecepatan tinggi selama 1 menit. Larutan disaring dengan kertas saring.

Dipipet 15 mL filtrat dan diencerkan dengan 30 mL aquabidest, dihomogenkan.

15 mL filtrat dilewatkan ke immunoaffinity column dengan kecepatan 1 mL/menit

dan dicuci dengan 10 mL aquabidest dengan kecepatan 2 mL/menit. Setelah

semua cairan turun, udara dibuang keluar dengan menggunakan syringe, dan

dibuang cairan yang ditampung. Dilewatkan methanol ke immunoaffinity column

sebanyak 1 mL dan ditampung tetesannya ke dalam vial amber.

22

3.3.3.3 Derivatisasi Sampel

1 mL standar atau sampel dalam metanol dalam vial amber diuapkan

dengan gas nitrogen sampai kering. Setelah kering ditambahkan 100 µL TFA (tri

fluoro acetic acid) dan dihomogenkan dengan vortex selama 30 detik, diinkubasi

pada suhu ruang selama 15 menit (dilindungi dari cahaya), ditambahkan 900 µL

campuran acetonitril-aquabidest (1: 9), divortex selama 30 detik. Sampel

diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi.

3.3.3.4 Pengujian Aflatoksin dengan KCKT

Analisis kadar aflatoksin dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan

metode KCKT. Metode ini menggunakan instrumen kromatografi Agilent

Technologies 1120 Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series

Detector, Fasa Gerak Acetonitrile : Methanol : Aquabidest (1 : 3 : 6) dengan laju

alir 1 mL/menit, detektor fluorescence pada panjang gelombang eksitasi 365 nm

dan panjang gelombang emisi 450 nm. Kolom yang digunakan Rp-18 Lichrospher

dengan panjang 250 mm, diameter 4 mm dan ukuran partikel 5µm.

3.3.3.5 Perhitungan

)(sin

gsampelbobot

slopexfpxsampelareaLuasAflatokKadar

23

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aflatoksin merupakan kontaminan yang bersifat toksik, mutagenik dan

karsinogenik yang diproduksi oleh kapang A. flavus dan A. parasiticus terutama

pada proses penyimpanan Kondisi penyimpanan biji jagung seperti lamanya

waktu penyimpanan, suhu penyimpanan maupun kelembaban adalah faktor-faktor

penting yang mempengaruhi pertumbuhan kapang Aspergillus flavus yang

merupakan penghasil utama aflatoksin B1. Aflatoksin dapat terbentuk selama

masa tanam, masa panen (selama proses pemanenan), dan pada saat penyimpanan.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Tangerang, Cikande, dan

Cirebon (Gambar 9).

Gambar 9 Sampel biji jagung asal (a) Tangerang, (b) Cikande, (c) Cirebon

Sampel-sampel biji jagung yang diuji, pada umumnya terlihat baik secara

penampakan fisik (Gambar 9). Pertumbuhan jamur tidak terlihat secara fisik pada

sampel-sampel yang diuji karena sampel yang diperoleh sudah dikemas rapi

dalam kemasan. Oleh karena itu untuk mengetahui adanya kontaminasi aflatoksin,

perlu dilakukan uji kandungan aflatoksin dengan menggunakan metode ELISA

dan KCKT.

(a) (b) (c)

24

4.1 Kadar Air

Kadar air adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan

aflatoksin. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi.

Peningkatan kadar air dapat dipengaruhi oleh kondisi pada saat penyimpanan,

seperti, kelembaban, suhu serta curah hujan yang tinggi, terutama di negara yang

beriklim tropis seperti Indonesia. Berdasarkan tabel hasil analisis kadar air pada

biji jagung bahan baku pakan, selama 4 minggu penyimpanan kadar air

meningkat. Kadar air tertinggi adalah kadar air sampel 1 yang berasal dari

Tangerang, yaitu 10,64%. Berdasarkan SNI 01-4483-1998, kadar air biji jagung

yang baik untuk disimpan maksimal 14%.

Tabel 4 Kadar Air Biji Jagung

Sampel Lama Penyimpanan (minggu ke-)

0 1 2 3 4

1 10,60% 10,61% 10,62% 10,62% 10,64%

2 10,13% 10,13% 10,14% 10,15% 10,17%

3 10,22% 10,23% 10,23% 10,24% 10,25%

Keterangan:

Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon

Kadar air untuk sampel biji jagung dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon

ini berada pada kisaran 10%, sehingga masih tergolong aman untuk penyimpanan,

dan dapat dikatakan bahwa kondisi penyimpanan sangat baik, karena peningkatan

kadar air selama 4 minggu sangat rendah. Contoh perhitungan kadar air dapat

dilihat pada Lampiran 3.

4.2 Kadar Aflatoksin dengan Metode ELISA

Kadar Aflatoksin dapat ditentukan dengan metode ELISA. Hasil analisis

kadar aflatoksin pada biji jagung meningkat selama penyimpanan 4 minggu.

Kandungan aflatoksin tertinggi yaitu sampel 1 dengan kadar 74,06 ppb dan

kandungan aflatoksin yang paling rendah adalah sampel 2 dengan kadar 9,33 ppb.

Berdasarkan SNI 01-4483-1998, kandungan total aflatoksin untuk jagung bahan

baku pakan adalah maks. 50 ppb. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan

25

total aflatoksin pada sampel 2 dan 3 masih sesuai dengan SNI 01-4483-1998,

masing-masing yaitu 9,33 ppb dan 28,67 ppb (Tabel 5). Sedangkan sampel 1

melebihi batas yang dianjurkan oleh SNI, yaitu 74,06 ppb. Hasil pembacaan

ELISA dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 5 Kadar Aflatoksin dengan Metode ELISA

Sampel Lama Penyimpanan (minggu ke-)

0 1 2 3 4

1 73,94 ppb 73,95 ppb 73,96 ppb 74,00 ppb 74,06 ppb

2 9,21 ppb 9,23 ppb 9,25 ppb 9,30 ppb 9,33 ppb

3 28,57 ppb 28,59 ppb 28,61 ppb 28,65 ppb 28,67 ppb

Keterangan:

Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon

Kandungan aflatoksin umumnya dipengaruhi oleh kadar air, peningkatan

kadar aflatoksin berbanding lurus dengan peningkatan kadar air. Berdasarkan

hasil analisis (Tabel 5), peningkatan kadar aflatoksin tidak banyak selama kadar

air biji jagung tidak melebihi batas standar yang dianjurkan oleh SNI 01-4483-

1998, yaitu 14%. Kadar air biji jagung untuk sampel Tangerang, Cikande, dan

Cirebon berada pada kisaran 10% (Tabel 4). Kandungan aflatoksin sampel 1 yang

berasal dari Tangerang melebihi batas yang diperbolehkan oleh SNI walaupun

kadar airnya sesuai dengan SNI, kemungkinan kadar aflatoksin yang terkandung

pada sampel 1 tersebut terbentuk selama masa tanam. Kandungan aflatoksin

selama penyimpanan tidak akan berkurang, bahkan dapat bertambah ataupun tetap

(Munkvold et al., 2002).

4.3 Kadar Aflatoksin dengan Metode KCKT

Kadar aflatoksin dapat juga dianalisa secara kuantitatif dengan

menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Kadar

aflatoksin yang dianalisis dengan metode KCKT yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan

G2. Sampel yang diuji adalah biji jagung yang berasal dari Tangerang (sampel 1),

Cikande (sampel 2), dan Cirebon (sampel 3).

26

Analisis kadar aflatoksin dengan metode KCKT dilakukan pada minggu

keempat penyimpanan, karena diduga pada minggu keempat penyimpanan,

peningkatan kadar aflatoksin paling banyak terjadi. Kadar aflatoksin diperoleh

dengan membandingkan antara waktu retensi standard dan waktu retensi sampel.

Dari luas area sampel, dapat dihitung kadar aflatoksin dalam sampel (Lampiran

6).

Hasil analisis menunjukkan kadar total aflatoksin tertinggi terdapat pada

sampel 1, yaitu 75, 02 ppb dan terendah sampel 2 sebesar 9,83 ppb. Tabel 6

menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin sampel 1 yang berasal dari Tangerang

melebihi ambang batas standar yang diperbolehkan SNI 01-4483-1998, yaitu

maks. 50 ppb, sedangkan sampel 2 (Cikande) dan 3 (Cirebon) masih sesuai

dengan SNI.

Tabel 6 Kadar Aflatoksin dengan Metode KCKT

Sampel Aflatoksin

B1 B2 G1 G2 Total

1 70,48 ppb 4,54 ppb ttd ttd 75,02 ppb

2 8,96 ppb 0,88 ppb ttd ttd 9,83 ppb

3 25,43 ppb 2,90 ppb ttd ttdt 28,43 ppb

Keterangan :

ttd = tidak terdeteksi (0 ppb)

Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon

Aflatoksin B1 merupakan jenis aflatoksin yang dikenal paling toksik

diantara ketiga jenis lainnya (aflatoksin B2, G1, dan G2). Aflatoksin B2, G1, dan G2

mempunyai daya toksik yang lebih rendah dibandingkan dengan aflatoksin B1,

hanya 1/60 -1/100 kalinya dan tidak terlalu berbahaya (Rachmawati, 2005).

Bahan baku pakan ternak maupun pakan ternak yang terkontaminasi oleh

aflatoksin dapat menyebabkan gangguan keracunan bagi ternak yang

mengkonsumsinya serta menurunnya produktivitas hewan ternak. Kadar

aflatoksin yang tinggi pada bahan baku pakan maupun pakan ternak dapat

meninggalkan residu toksin pada produk ternak daging, telur, hati, susu

27

(Rachmawati, 2005) yang dapat membahayakan manusia yang mengkonsumsi

produk-produk ternak tersebut. Hasil penelitian terdahulu terhadap hewan

percobaan yang dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer

menyebutkan bahwa aflatoksin B1 adalah senyawa racun yang bersifat

karsinogenik, dan pada tahun 1988 dimasukkan ke dalam urutan senyawa

karsinogen bagi manusia (Groopman et al., 1988).

4.4 Pengaruh Kadar Air Terhadap Kandungan Aflatoksin

Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah

pemanenan kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan

disimpan dalam kondisi lembab. Jagung merupakan salah satu komoditi yang

mempunyai tingkat resiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin (BPOM, 2011).

Hasil analisis kandungan total aflatoksin pada jagung untuk bahan baku

pakan meningkat selama 4 minggu penyimpanan dengan bertambahnya kadar air

pada jagung. Menurut Rachmawati (2012), produksi aflatoksin sangat dipengaruhi

oleh kadar air. Dengan kadar air biji 7,79%, kadar aflatoksin B1 sebesar 2,93 ppb

dan aflatoksin B2 1,54 ppb. Setelah biji direndam, kadar air naik menjadi 34,27%,

kandungan aflatoksin B1 juga naik menjadi 19,30 ppb dan afllatoksin B2 4,12 ppb.

Peningkatan kadar aflatoksin berbanding lurus dengan peningkatan kadar

air,seperti terlihat pada Gambar 10. Pada sampel 1 yaitu sampel yang berasal dari

Tangerang, kadar aflatoksin bertambah seiring penambahan kadar air pada tiap

minggu penyimpanan. Demikian juga dengan sampel biji jagung yang berasal dari

Cikande dan Cirebon (sampel 2 & 3). Grafik hubungan peningkatan kadar air dan

kadar aflatoksin sampel 2 dan sampel 3 dapat dilihat pada Lampiran 4.

28

Gambar 10 Grafik Hubungan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin Sampel Tangerang

(sampel 1)

Kadar air yang tinggi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

Aspergillus flavus dan pembentukan aflatoksin, sehingga penyimpanan jagung

sebaiknya dilakukan pada kadar air yang rendah. Di negara-negara beriklim

sedang, kadar air ideal adalah <13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan,

sedangkan untuk penyimpanan yang singkat, kadar air dapat mencapai 14%

(Department of Crop Sciences University of Illinois, 1997). Sedangkan untuk

negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air

ideal berkisar antara 7-9% terutama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga

bulan (Kasno, 2004).

4.5 Hasil Analisis Aflatoksin dengan Metode ELISA & KCKT

Hasil analisis kandungan aflatoksin dilakukan dengan metode ELISA dan

KCKT. Kandungan aflatoksin tertinggi dengan metode ELISA yaitu pada sampel

1 yang berasal dari Tangerang, sebesar 74,07 ppb. Sedangkan dengan metode

KCKT, pada sampel 1 diperoleh hasil sebesar 75,02 ppb dan melebihi ambang

batas standar maks. 50 ppb yang diperbolehkan SNI 01-4483-1998. Kadar air

pada sampel 1 sebesar 10,64% masih sesuai dengan SNI 01-4483-1998.

Kandungan aflatoksin untuk kedua sampel lainnya yang berasal dari Cikande dan

Cirebon memenuhi persyaratan SNI, sedangkan kadar air untuk semua sampel

Tangerang, Cikande, dan Cirebon sesuai dengan persyaratan SNI maks.14%

(Tabel 7).

73.85

73.90

73.95

74.00

74.05

74.10

10.60 10.61 10.62 10.62 10.64

Kad

ar A

flat

oks

in

Kadar Air

Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin

sampel 1

29

Tabel 7 Perbandingan Kadar Aflatoksin ELISA dan KCKT

Sampel

Kadar Aflatoksin (ppb) Kadar Air (%)

ELISA KCKT SNI 01-

4483-1998 % air

SNI 01-

4483-1998

1 74,06 75,02 Maks. 50

ppb

10,64 Maks.14%

2 9,33 9,83 10,17

3 28,67 28,43 10,25

Keterangan:

Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon

Pada masing-masing sampel terdapat perbedaan hasil yang diperoleh

untuk tiap metode. Perbedaan tersebut diduga karena walaupun jenis sampel yang

diuji pada setiap metode ELISA dan KCKT sama, namun waktu pelaksanaan

pengujian sampel tersebut tidak dilakukan secara bersamaan. Selain itu,

pengambilan sampel untuk setiap ekstraksi berbeda, walaupun berasal dari sampel

yang sama

Metode ELISA banyak digunakan karena relative mudah dan cepat dalam

pengerjaannya, serta hasil yang diperoleh cukup akurat. Hal ini berdasarkan

antigen yang dilapiskan pada plate uji adalah antigen yang spesifik dengan

parameter sampel yang diuji, sehingga kesalahan positif sangat kecil terjadi.

Selain dengan metode ELISA, analisis aflatoksin dapat juga dilakukan

secara kromatografi, salah satunya adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT) atau yang juga dikenal sebagai High Performance Liquid

Chromatography (HPLC). Menurut Garcia-Villanova dkk (2004), sejak tahun

2004, metode analisis aflatoksin banyak menggunakan KCKT dengan detector

fluorescence, karena dinilai lebih sensitive, dengan kolom yang beresolusi tinggi

dan pengerjaan yang otomatis. Sedangkan Barbas dkk (2005), menyatakan

analisis KCKT banyak digunakan karena memiliki nilai kuantifikasi lebih baik

dan operasional yang mudah.

Metode ELISA memiliki beberapa keuntungan yaitu pengerjaan mudah,

cepat, sensitif dan relatif murah serta hasil yang diberikan juga cukup akurat.

Metode KCKT dapat mendeteksi Aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 sekaligus, dengan

30

adanya kalibrasi serta pembacaan standar aflatoksin. Namun demikian, walaupun

memiliki keakuratan, metode ini mempunyai kelemahan, selain harga instrumen

yang mahal, diperlukan juga pelaksana analisa yang terlatih untuk pengerjaannya.

Tahap analisis juga cukup banyak mulai dari ekstraksi, pemurnian, pemisahan,

dan memerlukan jenis pereaksi yang cukup banyak sehingga biaya analisis yang

dibutuhkan menjadi mahal.

31

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pada biji jagung, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pada minggu keempat, kadar aflatoksin dengan metode ELISA berturut-turut

sampel dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon yaitu 74,06 ppb; 9,33 ppb;

28,67 ppb. Dengan metode KCKT yaitu 75,02 ppb; 9,83 ppb; 28,43 ppb.

Sampel dari Tangerang melebihi ambang batas yang diperbolehkan SNI No.

01-4483-1998 yaitu maksimal 50 ppb, sedangkan sampel Cikande dan

Cirebon masih sesuai dengan SNI. Hasil analisis dengan kedua metode

menunjukkan sedikit perbedaan namun tidak terlalu besar. Metode ELISA

dapat mengukur kadar aflatoksin total secara cepat, relative mudah dan murah.

Metode KCKT tidak hanya mengukur kadar aflatoksin total, tapi juga dapat

mengukur kadar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 sekaligus hanya saja

pengerjaannya lebih rumit serta biaya yang dibutuhkan lebih mahal

dibandingkan metode ELISA.

2. Kadar air pada sampel biji jagung yang berasal dari Tangerang, Cikande, dan

Cirebon meningkat selama 4 minggu penyimpanan namun masih memenuhi

persyaratan SNI 01-4483-1998 maksimal 14%. Kadar air tertinggi pada

sampel yang berasal dari Tangerang sebesar 10,64%. Peningkatan kadar air

turut mempengaruhi peningkatan kadar aflatoksin selama penyimpanan.

5.2 Saran

Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya penyimpanan biji jagung dicoba

dalam rentang waktu yang lebih panjang, sesuai dengan waktu penyimpanan biji

jagung di gudang penyimpanan, sehingga dapat terlihat kenaikan kadar air dan

kandungan aflatoksin, serta proses pengujian dengan metode ELISA dan KCKT

dilakukan pada hari yang sama. Sebaiknya dilakukan pengujian ELISA dan

KCKT pada setiap minggunya.

32

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Riza Zainudin. 2009. Cemaran Kapang Pada Pakan dan

Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1) : 15-22.

Anonim. 2005. Jagung (Zea mays L). Tanpa kota.

Barbas, C.,Dams, A., Majors, R.E. 2005. Separation of Aflatoxin by HPLC.

Application Agilent Tech. Inc. USA.

BPOM. 2011. Mewaspadai Cemaran Aflatoksin Pada Pangan. Info POM 12 (6) :

5-8.

Cserhati, T. And Forgacs, E., 1999, Chromatography in Food science and

Technology, Technomic Publishing, Lancaster, Basel.

Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Pusat Data Statistik dan

Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Indonesia.

Department of Crop Sciences University of Illinois. 1997. Mycotoxins and

mycotoxicoses. Report on Plant Dis. Pp. 1-6.

Dharmaputra, O. S., 2004. Control of Storage Fungi. Course on Prevention and

Control of Mycotoxin in Food ang Feedstuff, Seameo Biotrop.

Garcia-Villanova, R.J., Cordon, C., Paramas, A.M.G., Aparicio, P., Rosales,

M.E.G. 2004. Simultaneous Immunoaffinity Column Clean Up and HOLC

Analysis of Aflatoxin and Ochratoxin A in Spanish Bee Pollen. J. of Agric.

& Food Chemist 52 (24) : 7235-7239.

Groopman, J .D, L.G. Cain and T.W. Kensler . 1988 . Aflatoxin Exposure in

Human Populations Measurement Relationship to Cancer. Crit. Rev.

Toxicol 19 (2) : 113-145.

Handajani, N.S. dan R. Setyaningsih. 2006. Identifikasi Jamur dan Deteksi

Aflatoksin B1 Terhadap Petis Udang Komersial. Biodiversitas 7 (3): 212-

215.

Johnson, E.L. and Stevenson, R. 1978. Basic Liquid Chromatography. Varian,

California.

Kasno, A. 2004 . Pencegahan Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi

Aflatoksin Pada Kacang Tanah . J . Litbang Pertanian 23(3) : 75 - 81 .

Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al. 2005.

Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak

33

of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environ Health

Perspect. 113: 1763-7.

Marwati, Endang S. Rahayu, Retno Indrati. 2008. Reduksi Aflatoksin B1 (AFB1)

Dengan Perebusan Dalam Larutan Kapur Pada Pembuatan Enting-enting.

Agritech 28(4):162.

Maryam, R. 2006. Pengendalian Terpadu Kontaminasi Mikotoksin. Wartazoa 16

(1) : 21-30.

Meyer, F.R., 2004, Practical High-Performance Liquid Chromatography, 4thEd.,

John Wiley & Sons, New York.

Midio, A.F. , R.R. Campos and M. Sabino. 2001. Occurrence of Aflatoxin B1, B2,

G1 and G2 In Cooked Food Componentsof Whole Meals Marketed In Fast

Food Outlets of The City of Sao Paolo, SP, Brazil. Food Additives And

Contaminants 18:445-448.

Munkvold, G., et al. 2002. Aflatoxin in Corn. Iowa State University, University

Extention.

Pirestani, Akbar et al. 2011. Comparison of HPLC and ELISA for Detrmination of

Aflatoxin Concentration in the Milk and Feeds of Dairy Cattle. Journal of

Research in Agricultural Science 7(1) : 71-78.

Racmawati, Sri, A. Lee, T.B. Murdiati, I. Kennedy. 2004. Pengembangan Enzyme

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik Untuk Analisis Aflatoksin B1

Pada Pakan Ternak. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi

Veteriner : 133-148.

Rachmawati, Sri. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak Di Indonesia:

Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksinya. Wartazoa 15 (1)

: 26-37.

Rachmawati, Eka. 2012. Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1, dan G2) Pada Kacang

Tanah (Arachis hypogaea, L.) Yang Beredar Di Pasar Tradisional Daerah

Jabotabek.. Universitas Pakuan Bogor.

Reddy, S.V. and F. Waliyar. 2008. Properties of Aflatoxin and Its Producing

Fungi. http://www.aflatoxin.info/aflatoxin.asp. [30 Januari 2013].

Standar Nasional Indoneia. 1998. SNI 01-4483-1998. Badan Standardisasi

Nasional.

Snyder, L. R., Kirkland, S.J., and Glajch, J.L., 1997, Practical HPLC Method

Development, John Wiley & Son, New York.

34

Suarni. 2008. Teknologi Pascapanen Jagung Untuk Mengatasi Kontaminan

Aflatoksin Dihasilkan oleh Aspergillus flavus. 110-124.

Sudibyo, A. 2003. Aflatoksin Dalam Produk Pangan dan Cara Mengurangi

Kandungan Racunnya. Warta IHP 20:1-2.

Suryana, A. 2006. Strategi, Kebijakan, dan Program Penelitian Jagung. Makalah

dipresentasikan pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Jagung.

Makassar, 15 September 2006. Balit Serealia, Maros. 3 hlm.

Syarief , R., Le Ega, C.C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. Diterbitkan

atas kerjasama IPB Press dengan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

United States Department of Agriculture (USDA). 2008. A Focus On Aflatoxin

Contamination. http://fsrio.nal.usda.gov/documentfsheet.php?productid=48.

[21 Januari 2013].

Widiastuti, R. 2006. Mikotoksin: Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak dan

Residunya Dalam Produk Ternak Serta Pengendaliannya. Wartazoa 16 (3) :

116-127.

Widiastuti, R., Indraningsih dan R. Firmansyah. 2008. Analisis Aflatoksin Pada

Jagung yang dimurnikan dengan Solid Phase Extraction dan Dideteksi

secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner 2008 : 705-710.

Williams, J. 2004. Top Ten Toxic Fungi Infested Foods. http://ezinearticles.com/?

Top-Ten-Toxic-Fungi-Infested-Foods&id=102859 [30 Januari 2013].

35

Lampiran 1

Bagan Alir Penelitian

Biji Jagung kering

Waktu penyimpanan awal, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu, 4

minggu penyimpanan pada suhu 25oC

Biji jagung diblender/ dihaluskan sebanyak ± 500 gram

Diayak dengan ayakan 20 mesh

Uji Aflatoksin Uji Kadar Air

ELISA KCKT

Ditimbang ± 3 gram sampel

ke dalam cawan timbang

yang sudah diketahui bobot

kosongnya

Dikeringkan dalam oven

suhu 105oC selama 2 jam

Didinginkan, ditimbang

Pengeringan, penimbangan

dilakukan sampai diperoleh

bobot tetap kadar airnya.

36

Uji Aflatoksin

Ditimbang ± 20 g ke dalam

Erlenmeyer 250 mL

Ditambahkan 100 mL

methanol 70%

Dihomogenkan selama 5

menit dengan orbital shaker

Disaring larutannya dengan

kertas saring Whatman No. 1

Larutan ekstrak diperiksa

kadar total aflatoksin dengan

Kit ELISA Romer

ELISA KCKT

Ditimbang ±25 g sampel + 5 g

NaCl

Diblender dengan 125 mL

methanol 70% selama 1 menit,

disaring

15 mL filtrate + 30 mL

aquabidest, divortex

Disaring dengan microfiber

Dipipet 15 mL ke aflatest

immunity(1 mL/menit)

Dicuci dengan 10 mL

aquabidest

Dielusi dengan methanol 1 mL

ke dalam vial (dikeringkan

dengan N2)

Ditambahkan 100 µL TFA,

diinkubasi 15 menit, divortex

Ditambahkan 900 µL

asetonitril 10%

Diinjeksikan ke KCKT

37

Lampiran 2

Foto alat-alat dan bahan

Foto 1 Kit ELISA Aflatoxin Romer

Foto 2 Reagent kit ELISA Romer

Foto 3 Orbital Shaker GFL seri 300

38

Lampiran 3

Contoh Perhitungan

1. Contoh perhitungan Kadar Air dalam Biji Jagung

Minggu 4, sampel 1

Bobot sampel = 3,5705 gram

Bobot sampel setelah pengeringan = 3,1907 gram

Bobot air = 0,3798 gram

%100x

sampelbobot

airbobotairKadar

%64.10

%1005705.3

1907.35705.3

x

gram

gramgram

2. Contoh Perhitungan Kadar Aflatoksin ELISA

Sampel 1

X = log (conc.) ; conc. = antilog x

Logit B/Bo (y) = -1,13

Slope (m) = -1,1917

Intercept (a) = 1,0975573

Y = m.x + a

-1,13 = 0975573,1.1917,1 x

X = m

ay

= 1917,1

0975573,113,1

= 1,8692

Kadar aflatoksin = antilog x

= 73,99 ppb

39

3. Contoh Perhitungan Kadar Aflatoksin KCKT

Sampel 1

Luas area (AFB1) = 7703849

Slope = 7,70813 x 10-6

Fp = 25

Bobot sampel = 21,0626 gram

Kadar Aflatoksin = )(gsampelBobot

slopexfpxsampelareaLuas

= g

xxx

0626,21

1070813,7257703849 6

= 70,48 ppb

40

Lampiran 4

Grafik Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin

Grafik Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin Sampel Cikande

(sampel 2)

Grafik Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin Sampel Cirebon

(sampel 3)

9.15

9.20

9.25

9.30

9.35

10.13 10.13 10.14 10.15 10.17

Kad

ar A

flat

oks

in

Kadar Air

Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin

sampel 2

28.50

28.55

28.60

28.65

28.70

10.22 10.23 10.23 10.24 10.25

Ka

da

r A

fla

toks

in

Kadar Air

Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin

sampel 3