penanggulangan aflatoksin pada jagung

34
“Penanggulangan Cemaran Aflatoksin Pada Jagung (Zea mays, L.) untuk memperpanjang Masa Simpan dan Meningkatkan Harga Jual Jagung” Oleh: Siti Aisa Liputo Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado, 2012 1

Upload: siti-aisa-liputo

Post on 05-Aug-2015

436 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Penanggulangan Cemaran Aflatoksin Pada Jagung (Zea mays, L.) untuk memperpanjang Masa Simpan dan Meningkatkan Harga Jual Jagung

Oleh: Siti Aisa Liputo

Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado, 2012

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung merupakan komoditas penting di Indonesia setelah beras. Hal ini disebabkan karena jagung banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, industri pakan ternak, dan bahan dasar industri makanan olahan. Jumlah produksi jagung di Indonesia meningkat secara signifikan pada sepuluh tahun terakhir, dari sekitar 9,7 juta ton pada tahun 2000 menjadi sekitar 17,6 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik, 2010). Provinsi Gorontalo merupakan salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia. Tahun 2000, produksi jagung di Gorontalo 76.573 ton dan melonjak menjadi 451.094 ton pada tahun 2005. Penduduk Gorontalo sebagian besar berprofesi sebagai petani jagung. Akan tetapi dalam pembudidayaan dan pendistribusian jagung, petani sering dihadapkan pada berbagai masalah. Salah satu masalah utama dalam pembudidayaan jagung adalah adanya serangan mikotoksin yang disebut aflatoksin, yang sangat beracun jika dikonsumsi oleh manusia dan ternak. Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus.(1,2) Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan (Yenny, 2005). Toksin yang dihasilkan oleh kapang ini bersifat karsinogenik, hepatotoksik, dan mutagenik bagi manusia ( Hedayati dalam Kusumaningrum dkk, 2010). Cemaran aflatoksin pada jagung di Indonesia cukup tinggi. Dari sampel jagung yang ada di pasaran hampir separuhnya tercemari Aspergillus flavus dengan berbagai level

kandungan aflatoksin, bahkan ada yang di atas 1000 ppb. Dibandingkan dengan negara Asia yang lain (Thailand dan Philippina) angka cemaran aflatoksin pada jagung menduduki peringkat tertinggi (Anonim, dalam Rahayu dkk, 2003).

2

Dalam bisnis perdagangan jagung beberapa parameter yang menentukan kualitas biji jagung antara lain bebas bahan kimia, bebas bau busuk, suhu normal, kadar air + 14%, butir rusak, butir pecah, kotoran, warna lain dan kandungan aflatoksin. Kandungan aflatoksin ini merupakan kriteria penting untuk menentukan kelayakan jagung untuk dikonsumsi maupun untuk pakan ternak. FAO menentukan batas maksimum aflatoksin dalam biji jagung yaitu tidak lebih dari 30 ppb (Beti dalam Tandiabang , 2010), sedang FAO dan USDA memberikan batas 20 ppb untuk sapi perah, anak ternak, anak ayam, 100 ppb untuk hewan muda, 200 ppb untuk babi potong dewasa dan 300 ppb untuk sapi potong dewasa (Jeff dalam Tandiabang, 2010). Para pedagang jagung dan pabrik pakan ternak memberikan batas toleransi kandungan aflatoksin dalam biji jagung yang dapat diterima untuk diolah jadi pakan ternak. Pabrik Pakan JAPFA di Makassar mentoleransi kandungan aflatoksin pada jagung maksimum 200 ppb (Tandiabang, 2010). Agar petani memperoleh keuntungan dari usaha tani jagung dan produknya dapat diterima oleh pasar, maka pengendalian aflatoksin guna perbaikan kualitas biji jagung perlu dilakukan. Di indonesia data mengenai pencemaran aflatoksin pada jagung jarang dilaporkan, padahal menjadi sangat penting mengingat jagung merupakan bahan pangan yang cukup dominan dikonsumsi masyarakat. Khususnya di Gorontalo, publikasi mengenai cemaran dan upaya pencegahan perlu diadakan untuk meningkatkan produksi jagung serta meningkatkan kualitas jagung yang dihasilkan terkait dengan efek bagi kesehatan manusia dan hewan. Upaya pencegahan bisa dilakukan saat pra dan pasca panen, detoksifikasi secara biologi, fisik dan kimia, serta upaya-upaya yang lainnya yang diperoleh pada penelitian-penelitian sebelumnya. 1.2 Rumusan Masalah Sejauh mana upaya penanggulangan cemaran Aflatoksin pada jagung di Indonesia yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. 1.3 Tujuan Penulisan Ulasan ilmiah ini bertujuan untuk membahas upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan cemaran Aflatoksin pada jagung pada tahapan pra dan pasca panen yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya. 1.4 Manfaat Penulisan Ulasan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alternatif yang bisa digunakan untuk menanggulangi cemaran Aflatoksin pada tanaman Jagung, yang nantinya

3

bisa bermanfaat bagi petani, distributor, serta konsumen jagung dalam upaya mencegah dan menanggulangi cemaran dan efek negatif aflatoksin bagi manusia dan hewan ternak

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aflatoksin Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan.

Sumber : Yenny (2006)

Aflatoksin adalah salah satu dari substansi yang paling toksik yang dapat dijumpai secara alamiah. Keracunan oleh aflatoksin terjadi oleh karena konsumsi dari racun ini yang mencemari bahan makanan dan aflatoksikosis pada manusia dilaporkan dijumpai di banyak tempat di dunia. Badan Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) memperkirakan bahwa kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari hasil pertanian di seluruh dunia (Lewis dalam Yenny, 2006). Penyakit-penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi aflatoksin disebut aflatoksikosis. Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat5

menyebabkan

terjadinya

aflatoksikosis

akut

yang

dapat

menimbulkan

manifestasi

hepatotoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat fulminant liver failure (Banet dalam Yenny, 2006). Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Walaupun kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di negara berkembang, namun diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan. Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody dysentery, erisipelas, salmonellosis, pneumonia (Beasley dalam Yenny, 2006). Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaankeadaan yang meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk berkembangbiaknya jam ur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin.

2.2. Cemaran Aflatoksin Pada Jagung Komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 60%. Oleh karena itu, penggunaan jagung yang berkualitas baik sangat penting untuk menghasilkan pakan yang bermutu baik. Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan jagung sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kontaminasi senyawa aflatoksin. Senyawa ini dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus yang umumnya tumbuh pada jagung yang berkadar air tinggi (>15%) akibat cara penyimpanan yang kurang benar (Rachmawati, 2005). Aspergillus flavus adalah kapang dominan yang

ditemukan pada sampel jagung, dan merupakan penyebab utama kerusakan pada jagung baik pra panen ataupun pascapanen. Mikroorganisme ini biasanya ditemukan pada saat musim kering atau musim kemarau. Konsentrasi aflatoksin tidak akan berkurang selama penyimpanan, bahkan akan bertambah atau tetap (Mulyawanti dkk., 2006).

6

Di Indonesia kadar Aflatoksin maksimum pada jagung sebagai bahan pangan telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI sebesar 20 ppb. Hal ini sesuai dengan ketetapan Food and Drug Administration yang mengeluarkan kadar baku tertinggi total Aflatoksin yang diizinkan pada pangan dan pakan komersial yaitu sebesar 20 ppb (Brown dalam Kusumaningrum dkk., 2010). Hasil penelitian Kusumaningrum dkk. (2010) mendapatkan bahwa sekitar 88% sampel jagung ditemukan kapang dan sekitar 40% positif tercemar A.flavus . Jenis Pangan yang paling sering ditemukan kontaminasi A.flavus adalah jagung pipil yaitu sekitar 58,6%. Sedangkan pada produk setengah jadi (tepung/pati/beras jagung) cemaran A.flavus yang ditemukan adalah 30 % dan pada jagung manis 7%. Hasil penelitian Rahayu dkk. (2003) mengenai cemaran Aflatoksin pada produksi Jagung di daerah Jwa Timur diperoleh data Uji aflatoksin pada 70 sampel jagung yang diambil di tingkat petani menunjukkan bahwa 30% jumlah sampel tidak terdeteksi aflatoksinnya; 50% dengan cemaran aflatoksinnya < 20 ppb, 11% dengan 20 100 ppb, dan 9% dengan cemaran > 100 ppb. Cemaran tertinggi pada tingkat petani adalah 353 ppb. Dari 45 sampel jagung yang diambil dari pengumpul dan pedagang, 13% kandungan aflatoksinnya tidak terdeteksi, 29% dengan konsentrasi < 20 ppb, 40% berkisar antara 20 100 ppb, sedang 18% memiliki cemaran > 100 ppb. Cemaran tertinggi adalah 340 ppb. Yusrini (2010) melaporkan bahwa Sebanyak 8 sampel dari 28 sampel jagung yang dianalisis (28,60%) mengandung aflatoksin B1 melebihi standar berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2000). Hasil penelitianya dapat dilihat pada tabel 1.

7

Tabel 1. Kadar Aflatoksin B1 (AFB1) Pada Sampel Jagung, Laboratorium Balitvet, Bogor.Sampel J1 J2 J3 J4 J5 J6 J7 J8 J9 J10 J11 J12 J13 J14 J15 J16 J17 J18 J19 J20 J21 J22 J23 J24 J25 J26 J27 J28 Kadar AFB1(ppb) tt 2,3 46,8 0,4 1,0 48,9 72,4 56,4 50,2 43,9 34,4 0,7 tt 0,5 0,8 75,7 1,1 0,3 0,2 0,9 > 60 > 60 2,5 0,2 > 60 > 60 > 60 2,5

Sumber:Yusrini (2010)

Menurut Rachmawati (2005), hasil uji banding antar laboratorium dan hasil penelitian kerjasama dengan Pengujian Mutu Pakan Ternak (BPMPT), Direktorat Jenderal Peternakan (tahun 2003-2004) juga menunjukkan bahwa 14% pakan ayam dari jumlah 207 sampel pakan yang dianalisis mengandung aflatoksin melebihi standar mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Sampel tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber termasuk pabrik pakan, penjual pakan ternak, dan sampel-sampel pakan yang datang ke BPMPT, yang berasal dari beberapa propinsi di Indonesia. Data kandungan aflatoksin pada sampel-sampel tersebut disajikan pada Tabel 2. Ternyata jumlah sampel pakan mengandung aflatoksin tinggi (>SNI, >50 ppb) relatif lebih sedikit, karena pabrik-pabrik pakan telah mengantisipasi kadar aflatoksin pada bahan bakunya, terutama pada jagung .

8

Tabel 2 . Kadar Aflatoksin Pada Pakan yang Diperoleh Dari Beberapa SumberSumber pakan Jumlah sampel Kisaran kadar(ppb) Jumlah sampe (>standar 0 2 1 4 4 0 0 0 7 6 8 *Sumberpustaka

PT Behn Meyer Kimia Disnak Prop. Sumut PT Altech BPMPT* PT Sinta Prima PT Sierad Tbk Toko pakan, Jabotabek Toko Pakan, Bogor BPMPT* (Tahap 1) BPMPT*(Tahap 2) BPMPT*(Tahap 3)

4 15 1 26 11 15 12 20 30 53 40

12,0-50,0 0.3-123,3 60