aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

12
AFLATOKSINDALAMPAKAN TERNAK DIINDONESIA : PERSYARATANKADAR DAN PENGEMBANGAN TEKNIKDETEKSI-NYA SRIRACHMAWATI BalaiPenelitianVeteriner, POBox151, Bogor 16114 ABSTRAK Kontaminasiaflatoksinpadapakanternakdi Indonesia sangatmungkin terjadi dandapatmempengaruhikesehatandan produktivitasternak.Untukmengurangi akibat yang merugikan,makaperaturan yang berkaitandenganmutupakantelah dikeluarkanpemerintah.Selainitukontrolkualitaspakansecarakontinyumenjadipenting,danmemerlukanmetodaanalisis yang sederhana,cepat,sensitifdanmurah .Padamakalahinidisajikan keadaan,situasicemaranaflatoksinpadapakandanbahan pakanjagungdi Indonesia, perundang-undangan yang berkaitandengan mutupakanterutamaaflatoksin,danteknikdeteksi yang dikembangkanBalaiPenelitianVeteriner(Balitvet) . Darihasilpenelitian,uji banding antarlaboratorium, kerjasamapenelitian yang pernahdilakukandi Indonesia, makaterbukti pakanayam yang dikumpulkandariberbagai daerah . umumnyatercemar aflatoksin .Hasiluji banding antarlaboratorium danhasilpenelitiankerjasamadenganBalai PengujianMutuPakanTernak DirektoratJendralPeternakan(BPMPT),menunjukkan bahwa 14% pakanayamdari 207 sampel yang berasal dariberbagai sumbermengandungaflatoksinmelebihistandarmutu berdasarkanStandarNasional Indonesia (SNI) . Peraturanmutupakan yang berkaitandenganbatasmaksimumaflatoksin yang masihamanuntukdikonsumsiternaktertuangdalamrevisiSNI (1995), PersyaratanTeknis Minimal pakankonsentrat non ruminansiadan ruminansiaserta SK DirjenPeternakanNomor 524/TN .250/Kpts/DJP/Deptan/ 1997 . Teknikdeteksiaflatoksin yang dikembangkan Balitvetadalahsecara EnzymeLinked Immunosorbent Assay (ELISA), yang dilakukanmelaluibeberapatahapan,yaitusintesahapten, imunisasidanproduksiantibodi, pengembangan format, pengujian pert orman, perakitan kit ELISA .Pelatihansertaujicobalapangdilakukan untukvaliditas teknikELISAini .Telahdihasilkan kit ELISA "rapidassay" denganwaktuinkubasikonjugat 5 menitdansubstrat 10 menit . Responantibodi spesifik terhadap AFB,(100%) . denganreaksisilangterhadap AFB, 0,9%, AFG, 3,5% danAFG7 1,6% .Limit deteksi 0,3 ppb,dananalisisdapatdilakukansampai 30 ppb. Komposisi kit ELISAterdiridari 7 botol AFB, standar (30, 10,3,3, 1,2,0,4,0,12 dan 0 ppb),konjugat,substratdanlarutanpenghenti, plat pencampurandan platyang terlapisantibodi . Kit ELISA stabildisimpandalamsuhu 4 °C selama 2 bulan .Ujicobalapang,pengujianantarlaboratoriummenunjukkan hasilcukupakurat, perbandinganhasilanalisasampelpakandanjagungsecaraELISAdanHPLCmenunjukkanhasil yang konsisten . Dengan disajikannyainformasidiatasdiharapkanpotensitercemarnyapakan danbahandasarpakanolehaflatoksinsertabahayanyabagi kesehatanternakdanmanusiadapatlebihdiwaspadai .Dengantersedianyateknikdeteksi yang dikembangkan,kontrol kualitas pakandanjagungdiharapkandapatdilakukansecaralebihcepatdanberkesinambungan . Katakunci : Aflatoksin,ELISA,deteksi,pakan ABSTRACT AFLATOXININANIMALFEEDININDONESIA :THEREGULATIONONTHETOXIC CONTENTANDTHE DEVELOPMENTOFDETECTIONTECHNIQUE Aflatoxincontaminationofagriculturalcommodities includingfeedstuffpotentiallyoccursinIndonesia, andcancause problemtoanimalhealthandproductivity .Tominimizethe impactofsuchcontaminationtobothhumanandanimalhealth, regulationsregardingfeedqualityhavebeenissuedbythegovernment . Acontinuousmonitoringofthecontaminationusinga simple,sensitive,rapidandcost-effectivemethod isgreatlyneeded .Thispapercontainssomeinformation aboutthecurrent situationofaflatoxincontaminationinfeedanditsingredient (corn),theregulationrelatedtoaflatoxincontamination andthe developmentofdetectiontechniqueforanalysisaflatoxinB, infeedstuffconductedbyResearchInstituteforVeterinaryScience (RIVS) .Fromresearchresults,interlaboratorystudies andcollaborationresearchconductedinIndonesia, theyindicatethat poultryfeedcollectedfromdifferentareasofIndonesiaiscontaminatedbyaflatoxins .Resultsofinterlaboratorystudyand collaborativeresearchwithFeedLab,Directorate GeneralforLivestockServices(DGLS)showedthat 14 .0%of207feed samplesfromdifferentsources containaflatoxinabovethestandarddeterminedbyStandarNasionalIndonesia(SNI) . Regulationsrelatedtoaflatoxincontentinfeedarecompiled intheSNI(revisedformed),theMinimumTechnicalRequirement offeedconcentrateforruminantandnonruminant,andtheregulation fromDGLS,letterNo524/TN .250/Kpts/DJP/Deptan/1997 . RIVSdevelopedan ELISAtechniqueforanalysisaflatoxininfeedandcorn, whichwasinvolvingsomestepsofactivities includehaptensynthesis,productionandcharacterizationofantibody, developmentofassayperformance,designingamethodas aprototypekit .Forvalidationofthistechnique,RIVShasconducteda trainingworkshopandafieldtrial .RapidassayELISAkit hasbeendesignedwithincubationtimeof5minutesforconjugateand 10minutesforsubstrate .Antibodyresponsewasspecific toAFB,(100%)withcrossreactivityof0 .9,3 .5and1 .6%foraflatoxins B,, G,and G,, respectively .Thelimitofdetectionof 26

Upload: hadan

Post on 28-Dec-2016

289 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

AFLATOKSIN DALAM PAKAN TERNAK DI INDONESIA :PERSYARATAN KADAR DAN PENGEMBANGAN

TEKNIK DETEKSI-NYA

SRI RACHMAWATI

Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

ABSTRAK

Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak di Indonesia sangat mungkin terjadi dan dapat mempengaruhi kesehatan danproduktivitas ternak. Untuk mengurangi akibat yang merugikan, maka peraturan yang berkaitan dengan mutu pakan telahdikeluarkan pemerintah. Selain itu kontrol kualitas pakan secara kontinyu menjadi penting, dan memerlukan metoda analisisyang sederhana, cepat, sensitif dan murah . Pada makalah ini disajikan keadaan, situasi cemaran aflatoksin pada pakan dan bahanpakanjagung di Indonesia, perundang-undangan yang berkaitan dengan mutu pakan terutama aflatoksin, dan teknik deteksi yangdikembangkan Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) . Dari hasil penelitian, uji banding antar laboratorium, kerjasama penelitianyang pernah dilakukan di Indonesia, maka terbukti pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah . umumnya tercemaraflatoksin . Hasil uji banding antar laboratorium dan hasil penelitian kerjasama dengan Balai Pengujian Mutu Pakan TernakDirektorat Jendral Peternakan (BPMPT), menunjukkan bahwa 14% pakan ayam dari 207 sampel yang berasal dari berbagaisumber mengandung aflatoksin melebihi standar mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) . Peraturan mutu pakanyang berkaitan dengan batas maksimum aflatoksin yang masih aman untuk dikonsumsi ternak tertuang dalam revisi SNI (1995),Persyaratan Teknis Minimal pakan konsentrat non ruminansia dan ruminansia serta SK Dirjen Peternakan Nomor524/TN.250/Kpts/DJP/Deptan/ 1997 . Teknik deteksi aflatoksin yang dikembangkan Balitvet adalah secara Enzyme LinkedImmunosorbent Assay (ELISA), yang dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu sintesa hapten, imunisasi dan produksi antibodi,pengembangan format, pengujian pert orman, perakitan kit ELISA. Pelatihan serta uji coba lapang dilakukan untuk validitasteknik ELISA ini . Telah dihasilkan kit ELISA "rapid assay" dengan waktu inkubasi konjugat 5 menit dan substrat 10 menit .Respon antibodi spesifik terhadap AFB, (100%) . dengan reaksi silang terhadap AFB, 0,9%, AFG, 3,5% dan AFG7 1,6% . Limitdeteksi 0,3 ppb, dan analisis dapat dilakukan sampai 30 ppb. Komposisi kit ELISA terdiri dari 7 botol AFB, standar (30, 10, 3,3,1,2, 0,4, 0,12 dan 0 ppb), konjugat, substrat dan larutan penghenti, plat pencampuran dan plat yang terlapis antibodi . Kit ELISAstabil disimpan dalam suhu 4°C selama 2 bulan. Uji coba lapang, pengujian antar laboratorium menunjukkan hasil cukup akurat,perbandingan hasil analisa sampel pakan dan jagung secara ELISA dan HPLC menunjukkan hasil yang konsisten . Dengandisajikannya informasi di atas diharapkan potensi tercemarnya pakan dan bahan dasar pakan oleh aflatoksin serta bahayanya bagikesehatan ternak dan manusia dapat lebih diwaspadai . Dengan tersedianya teknik deteksi yang dikembangkan, kontrol kualitaspakan dan jagung diharapkan dapat dilakukan secara lebih cepat dan berkesinambungan .

Kata kunci : Aflatoksin, ELISA, deteksi, pakan

ABSTRACT

AFLATOXIN IN ANIMAL FEED IN INDONESIA: THE REGULATION ON THE TOXIC CONTENT AND THEDEVELOPMENT OF DETECTION TECHNIQUE

Aflatoxin contamination of agricultural commodities including feedstuff potentially occurs in Indonesia, and can causeproblem to animal health and productivity . To minimize the impact of such contamination to both human and animal health,regulations regarding feed quality have been issued by the government . A continuous monitoring of the contamination using asimple, sensitive, rapid and cost-effective method is greatly needed. This paper contains some information about the currentsituation of aflatoxin contamination in feed and its ingredient (corn), the regulation related to aflatoxin contamination and thedevelopment of detection technique for analysis aflatoxin B, in feedstuffconducted by Research Institute for Veterinary Science(RIVS). From research results, inter laboratory studies and collaboration research conducted in Indonesia, they indicate thatpoultry feed collected from different areas of Indonesia is contaminated by aflatoxins . Results of inter laboratory study andcollaborative research with Feed Lab, Directorate General for Livestock Services (DGLS) showed that 14.0% of 207 feedsamples from different sources contain aflatoxin above the standard determined by Standar Nasional Indonesia (SNI) .Regulations related to aflatoxin content in feed are compiled in the SNI (revised formed), the Minimum Technical Requirementof feed concentrate for ruminant and non ruminant, and the regulation from DGLS, letter No 524/TN.250/Kpts/DJP/Deptan/1997.RIVS developed an ELISA technique for analysis aflatoxin in feed and corn, which was involving some steps of activitiesinclude hapten synthesis, production and characterization of antibody, development of assay performance, designing a method asa prototype kit . For validation of this technique, RIVS has conducted a training workshop and a field trial . Rapid assay ELISA kithas been designed with incubation time of 5 minutes for conjugate and 10 minutes for substrate . Antibody response was specificto AFB, (100%) with cross reactivity of 0 .9, 3 .5 and 1 .6% for aflatoxins B,, G, and G,, respectively . The limit of detection of

26

Page 2: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

PENDAHULUAN

Kerugian akibat pencemaran kapang danaflatoksin merupakan masalah di bidang peternakan,karena dapat mempengaruhi produktivitas ternak .Kapang dapat menyebabkan kerusakan fisik dankimiawi pakan. Kerusakan fisik terjadi olehpeningkatan pertumbuhan dan populasi kapangsehingga warna, bentuk, dan ban pakan tersebutberubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi olehadanya produksi aflatoksin dari kapang tersebut,sehingga pakan tercemar aflatoksin . Peluangpencemaran ini cukup besar, karena iklim tropis diIndonesia sangat mendukung. Kondisi lingkungan yangdiperlukan untuk terbentuknya aflatoksin oleh kapangadalah kelembaban minimum 85 persen dan suhuoptimum 25-27°C . Kapang pencemar yangmenghasilkan metabolit sekunder aflatoksin terutamaadalah Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus .A . flavus umumnya memproduksi aflatoksin B (AFB,dan AFBZ ), sedangkan A . parasiticus dapatmemproduksi aflatoksin B dan aflatoksin G (AFG) . A .flavus terdapat di mana-mana, sedangkan A . parasiticustidak. Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB,,AFG2 , AFG, dan AFG 2 yang merupakan aflatoksininduk yang telah dikenal secara alami dan dijumpai dialam . AFB, adalah jenis aflatoksin yang paling toksik .AFG2 , AFG, dan AFG, mempunyai daya racun yangrendah, hanya 1/60-1/100 kali dibandingkan AFB, dantidak terlalu berbahaya. Kapang tersebut banyakmencemari produk pertanian, diantaranya adalahkacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapasdan biji-bijian lainnya (DIENER dan DAVIS, 1969) .

Masalah yang cukup berat akibat dari pencemaranaflatoksin pada pakan akan berlanjut dengan timbulnyagangguan keracunan bagi ternak yang mengkonsumsipakan tercemar tersebut . Data FAO menyatakan bahwa25% suplai biji-bijian di dunia terkontaminasi olehkapang dan mikotoksin . Di negara Asia Tenggaramalahan ditemukan sebanyak kira-kira 50% jagung dan90% pakan ternak unggas terkontaminasi mikotoksin,yang merupakan sumber kerugian ekonomi utama padaindustri peternakan di negara-negara tropis ini (Liu,2002). Hasil studi di tiga negara ASEAN melaporkanbahwa sebesar 400 juta dollar kerugian setiap tahunnyaterjadi akibat menurunnya produktivitas ternak(ZANNELI, 2000) .

WARTAZOA Vol. 15 No . I Th . 2005

AFB, was 0 .3 ppb. The range of analysis is from 0 .3 ppb up to 30 ppb. An ELISA kit composed of seven bottles of AFB,standards solution of 30 . 10, 3 .3, 1.2, 0.4, and 0 .12 ppb and blank (0 ppb AFB,), a conjugate of AFB I-HRPO, a substrate, astopping solution, an antibody coated plate, and one mixing plate . The kit was stable at 4 °C for two months . The field trial ofELISA kit showed an accurate result and when comparing the ELISA method with the standard method of HPLC, a consistentresult was also found . With the information given above, people or farmers should be aware of the danger of aflatoxin and shouldtake precaution to prevent aflatoxin contamination . RIVS ELISA kit is a useful technique to detect aflatoxin in feedstuff and,hence, controlling the aflatoxin contamination .

Keywords: Aflatoxins, ELISA, detection, feed

Hasil penelitian yang dilakukan InternationalAgency for Research on Cancer terhadap hewanpercobaan terbukti bahwa AFB, adalah senyawa racunbersifat karsinogen, dan pada tahun 1988 dimasukkanke dalam urutan senyawa karsinogen bagi manusia .Pernyataan ini didukung oleh data studi epidemiologiyang dilakukan di negara Asia dan Afrika yangternyata ada korelasi positif antara mengkonsumsipangan yang mengandung AFB, dengan kejadiankanker set hati . Kejadian penyakit akibat aflatoksin inidipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jeniskelamin, status pangan dan atau terjadi bersama-samadengan agen penyebab lain seperti virus hepatitis atauinfeksi parasit (GROOPMAN et al., 1988) .

Untuk menjaga agar kadar aflatoksin pada pakandan pangan tetap dalam batas-batas yang masih dapatditolerir dan tidak membahayakan ternak dan manusia,beberapa negara termasuk Indonesia telah menetapkanbatas maksimum kadar aflatoksin pada pakan danpangan. Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay(ELISA) dianggap dapat dilakukan lebih mudah dancepat serta cukup sensitif. Kegiatan pengembangan kitELISA aflatoksin B, telah dilakukan oleh Balitvet, dantelah dapat dirakit kit ELISA aflatoksin B, untuk analisiskandungan aflatoksin pada sampel pakan dan jagung .

Pada tulisan ini disajikan situasi cemaranaflatoksin pada pakan dan bahan pakan jagung diIndonesia, peraturan yang berkaitan dengan mutupakan terutama aflatoksin, serta teknik deteksi yangdikembangkan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuklebih mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahandasar pakan oleh aflatoksin, serta bahayanya bagikesehatan ternak dan manusia . Dengan tersedianyateknik deteksi yang dikembangkan ini, maka kontrolkualitas pakan dan jagung diharapkan dapat dilakukansecara lebih cepat dan berkesinambungan .

SITUASI CEMARAN AFLATOKSIN PADAPAKAN DENGAN BAHAN DASAR JAGUNG DI

INDONESIA

Kerugian di bidang peternakan akibat pencemaranpakan oleh aflatoksin antara lain penurunan kualitasdan kuantitas produk peternakan. Kualitas produkmenurun karena adanya residu aflatoksin pada produkternak tersebut . Aflatoksin terdeteksi sesekali pada

27

Page 3: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

28

SRI RACHMAWATt : Aflatoksin dalam Pakan Ternak di Indonesia : Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksi-nva

susu dan daging, karena ternaknya mengkonsumsipakan yang mengandung aflatoksin . Dari hasilpenelitian yang pernah dilakukan di Indonesia terbuktipakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah diIndonesia umumnya tercemar aflatoksin (BAHRI et al.,1994a). Hasil uji banding antar laboratorium dan hasilpenelitian kerjasama dengan Pengujian Mutu PakanTernak (BPMPT), Direktorat Jenderal Peternakan(tahun 2003-2004) juga menunjukkan bahwa 14%pakan ayam dari jumlah 207 sampel pakan yangdianalisis mengandung aflatoksin melebihi standarmutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) .Sampel tersebut dikumpulkan dari beberapa sumbertermasuk pabrik pakan, penjual pakan ternak, dansampel-sampel pakan yang datang ke BPMPT, yangberasal dari beberapa propinsi di Indonesia. Datakandungan aflatoksin pada sampel-sampel tersebutdisajikan pada Tabel 1 . Ternyata jumlah sampel pakanyang mengandung aflatoksin tinggi (>SNI, >50 ppb)relatif lebih sedikit, karena pabrik-pabrik pakan telahmengantisipasi kadar aflatoksin pada bahan bakunya,terutama pada jagung . Kadar aflatoksin pada bahandasar jagung dapat dilihat pada Tabel 2 . Jagungmerupakan bahan dasar pakan dan digunakan palingbanyak (50-60%) dalam ransum unggas . Jagung lokalternyata mengandung aflatoksin lebih tinggidibandingkan dengan jagung impor terutama yangberasal dari Cina yang kadar aflatoksinnya rendah .Kadar aflatoksin pada jagung sebagai bahan bakupakan harus rendah, maksimal 50 ppb (SK DirjenPeternakan), sehingga pakan jadinya akan mengandungaflatoksin yang lebih rendah lagi . Biasanya pakan yangsudah disimpan cukup lama dengan cara penyimpananyang kurang baik, seperti disimpan pada ruang ataugudang yang lembab, bocor akan mengandungaflatoksin tinggi .

Dari hasil penelitian, residu aflatoksin padaproduk ternak (hati, daging) dan susu sapi jugaditemukan . Dari 31 sampel hati ayam, sebanyak 14sampel positif mengandung residu AFB I dengan kadarrata-rata 0,007 ppb dan 30 sampel mengandung AFM Ikadar rata-rata 12,072 ppb. Pada 31 sampel dagingayam yang dianalisis ternyata semuanya mengandungAFM I kadar rata-rata 7,364 ppb dan sebanyak 24sampel terdeteksi adanya residu AFB I kadar rata-rata0,002 ppb . Sampel hati dan daging sapi yangdikumpulkan dari pasar tradisional dan swalayan didaerah Jawa Barat ternyata juga mengandung residuAFB I dan AFM I . Tiga belas dari 21 sampel hati sapiyang dikumpulkan mengandung residu AFB I dalamkisaran 0,33-1,44 ppb, tujuh sampel diantaranya jugamengandung AFM I kadar <0,1 ppb. Hanya lima dari31 sampel daging sapi terdeteksi residu AFB I kadardalam kisaran 0,46-1,14 ppb, dan empat sampeltersebut juga mengandung residu AFM I <0,1 ppb.Sementara itu, residu AFMI pada 12 sampel susu

terdeteksi dalam kisaran 0,04-0,17 ppb (MARYAM,1996 ; BAHRI et al., 1994b ; WIDIASTUTI, 2000). Hasilpenelitian juga menyimpulkan adanya penurunan bobotbadan ternak, baik pada unggas maupun ruminansiaakibat pencemaran aflatoksin pada pakan yangdikonsumsinya . Hasil penelitian GINTING (1988)memperlihatkan bahwa, pemberian 300 ppb AFBI (0,3mg/kg BB) pada DOC broiler selama 35 harimengakibatkan penurunan konsumsi ransum dan bobotbadan dari 1049 gram (kontrol) menjadi 640 gram (ayamperlakuan AFB I ) . Penurunan bobot ayam pedagingjuga terjadi pada pemberian pakan yang mengandungAFB I 200 ppb selama 8 minggu. Bobot ayam turunsecara nyata yaitu 1853,3 ± 18,9 gram pada ayam yangdiberi perlakuan AFB I dibandingkan dengan bobotayam kontrol 1999,3 ± 25,1 gram (MANI et a!., 2001) .

Penurunan produksi telur juga terjadi pada ayamyang pakannya mengandung aflatoksin . Hasilpenelitian EXARHOS dan GENTRY (1982), menunjukkanadanya penurunan produksi telur dari 85 persen(kontrol) menjadi 40 persen pada ayam yang diberiAFB I 1,0 mg/kg BB/hari selama 6 minggu . MUTHIAHet al. (1998) juga melaporkan bahwa pada percobaanayam petelur, makin tinggi AFB I dalam pakan yangdiberikan, maka produksi telur makin menurun . Ayampetelur yang diberi pakan mengandung AFB I 0; 0,5 ;1,0 dan 1,5 ppm menghasilkan telur yang berbedanyata untuk masing-masing perlakuan . Produksi telurayam kontrol 81,3 persen, sedangkan produksi telurayam perlakuan masing-masing adalah 73,6 persen,68,9 persen dan 64,7 persen .

Pengaruh aflatoksin pada ternak ruminansiadilaporkan oleh DASS dan ARORA (1994) . Padapercobaan ini kerbau Murrah umur 10 hari diberi susuyang mengandung AFB I 0; 0,3 ; 0,6 ; dan 1,0 ppmselama 13 minggu. Ternyata rata-rata pertumbuhanbobot badan menurun secara nyata denganmeningkatnya dosis AFB, yang diberikan .Pertambahan bobot badan kerbau masing-masingadalah 2,76; 2,15; 1,86 ; dan 1,5 kg . Analisis lebihIanjut dari data pertumbuhan disarankan bahwa 0,14ppm AFB I adalah level aman yang dapat diberikanpada ternak besar pada periode umur di atas .Tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksinyang dihasilkannya juga dilaporkan dapat mengganggufungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsurmineral, khususnya tembaga (Cu), besi (Fe), kalsium(Ca), dan fosfor (P), serta beta-karoten, penurunankekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi,kerusakan kromosom, perdarahan, dan memar. Semuagangguan tersebut berakibat pertumbuhan terhambatdan kematian meningkat sehingga produksi ternakmenurun (JASSAR dan BALWANT SINGH, 1989 ;ABDELHAMID dan DORRA, 1990 ; DIMRI et al., 1994 ;MANI et a!., 2001 ; PRABAHARAN et al., 1999) .

Page 4: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

Tabel 1 . Kadar aflatoksin pada pakan yang diperoleh dari beberapa sumber

*sampel datangdari berbagai propinsi di Indonesia**> 50 ppb (part per billion)

WARTAZOA Vol. 15 No . I Th. 2005

Tabel 2. Kadar aflatoksin (AFL) pada bahan baku pakan (jagung) yang diperoleh dari beberapa sumber

TD = Tidak diketahui*>50 ppb (part per billion)

29

Sumber bahan Jenis jagung Jumlahsampel

KisaranAFL, ppb

Jumlah sampel(> standar)*

Somber pustaka

PT Sinta Lokal, Jatim 3 123,0-165,0 3 RACHMAWATI, 2004aLokal Lampung 3 24,5-131 2 IdemLokal, Jatim TD 2-214 TD YANUARTIN, 2004Lokal Lampung TD 2,0-36,0 0 IdemLokal, Makasar TD 218,0-517,0 TD IdemImpor, Thailand TD 43,0-82,0 TD IdemImpor, Thailand 3 47,3-74,6 2 RACHMAWATI, 2004aImpor. China 3 1,8-4,2 0 IdemTD 7 2,1-91,6 5 IdemImpor, China TD 1,0-7,0 0 YANUARTIN, 2004Impor, India TD 4,0-8,0 TD Idem

PT Sierad Tbk Lokal l 32,1 0 RACHMAWATI, 2004aImpor China 17 <0,3-1,2 0 Idem

Toko Pakan,Jabotabek

TD 12 0,5-182,9 6 Idem

Toko Pakan,daerahBogor

TD 12 5,1-36,9 0 RACHMAWATI, 2004b

BPMPT (1) Lokal, Lampung 3 0,3->60 1 RACHMAWATI, 2004cTD, Pabrik pakan 5 0,58->60 1 IdemLokal, Boyolali 1 1,05 0 IdemLokal, Purwokerto 1 >60 1 Idem

BPMPT (2) TD 21 <0,3->60 15 Idem

Sumber pakan Jumlah sampel Kisaran kadar(ppb) Jumlah sampel(>standar)*

Sumber pustaka

PT Behn Meyer Kimia 4 12,0-50,0 0 SUPARTO, 2004Disnak Prop. Sumut 15 0.3-123,3 2 IdemPT Altech 1 60 1 IdemBPMPT* 26 <0,3-123,3 4 RACHMAWATI, 2004aPT Sinta Prima 11 0.96-175 .1 4 IdemPT Sierad Tbk 15 0,3-26,0 0 IdemToko pakan, Jabotabek 12 2,0-38,0 0 IdemToko Pakan, Bogor 20 <0,3-23,9 0 RACHMAWATI, 2004bBPMPT* (Tahap 1) 30 <0,3-107,3 7 RACHMAWATI, 2004cBPMPT*(Tahap 2) 53 2,2-105,29 6 IdemBPMPT*(Tahap 3) 40 1,0-88,9 8 Idem

Page 5: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

SRI RACHMAWATI : Aflatoksin dalam Pakan Ternak di Indonesia . Persyaralan Kadar dan Pengembangan Teknik Deleksi-nva

PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN

MUTU PAKAN DAN BAHAN BAKU PAKAN

Pengeluaran terbesar dari biaya produksi usaha

peternakan adalah untuk pakan, oleh sebab itu mutupakan harus benar-benar terjaga agar tidak merugikanpeternak. Mutu pakan tidak hanya ditentukan olehkomposisi nilai gizi dari pakan tersebut, tetapi jugaharus bebas dari kontaminan seperti senyawa racunaflatoksin yang berpotensi mencemari pakan ternak .Senyawa aflatoksin yang terkandung pada pakan dapatmenyebabkan kerugian peternak, karena kesehatan danprodukivitas ternak menurun . Kadar aflatoksin yangtinggi pada pakan juga dapat menyebabkan adanyaresidu toksin pada produk ternak daging, hati dan susu,

yang akhirnya berbahaya bagi manusia yangmengkonsumsi produk ternak yang mengandung residu

toksin tersebut . Meskipun dosis mematikan (LD50)AFB, untuk ternak ayam cukup tinggi yaitu 8,80 mgAFB,/kg bobot badan (BAITON et al ., 1980), namunefek kronis senyawa racun tersebut tidak dapatdiabaikan. Oleh sebab itu untuk menghindari kerugian

dan melindungi konsumen produk peternakan,pemerintah merasa perlu untuk menetapkan peraturan

berkaitan dengan mutu pakan .

Tabel 3. Kadar maksimum aflatoksin (AFL) dalam

Sumber : Revisi Standar Nasional Indonesia, SNI, dalamSUPARTO (2004)

30

Pengujian bahan baku pakan dan pakan mengacu

pada persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) danPersyaratan Teknis Minimal yang berlaku secaranasional. SNI adalah standar yang dikeluarkan olehBadan Standarisasi Nasional (BSN) dan berlaku secara

nasional, sedangkan terhadap standar mutu pakan yangtidak atau belum ditetapkan dalam SNI, maka Menteri

Pertanian telah menetapkan Persyaratan TeknisMinimal (PTM) seperti tmtuk PTM pakan konsentratnon ruminansia dan ruminansia, serta ada pulaperaturan yang tertuang dalam keputusan DirekturJenderal Peternakan, seperti kriteria mutu bahan bakupakan yang baik sehingga Iayak diproses untukdijadikan pakan .

Peratttran untuk mutu pakan yang berkaitan denganbatas maksimum aflatoksin yang masih aman untukdikonsumsi ternak tertuang dalam revisi SNI, PTM

pakan konsentrat non ruminansia dan ruminansia sertaSK Dirjen Peternakan Nomor 524/TN .250/Kpts/ DJP/Deptan/1997, seperti disajikan pada Tabel 3, 4 dan 5 .

Tabel 4. Kadar aflatoksin (AFL) dalam Persyaratan TeknisMinimal (PTM) pakan konsentrat non ruminansiadan ruminansia

Jenis pakan

Non Ruminansia

AFL maks (ppb)

persyaratan pakan non ruminansia (revisi SNI) Konsentrat broiler 50

No Jenis pakan AFL ppb Kode SNI Konsentrat layer grower 50

A Ayam ras petelur Konsentrat layer 50

Anak (starter) 50 01-3927-1995 Konsentrat babi grower 50Dara (grower) 50 01-3928-1995 Konsentrat babi finisher 50Petelur (layer) 50 01-3929-1995

Konsentrat babi induk 50B Ayam pedaging

Konsentrat itik 50Broilerstarter 50 01-3930-1995

Broilerfinisher 50 01-3931-1995 Konsentrat ayam buras 50

C Puyuh petelur Pakan ayan buras 50

Anak (starter) 40 01-3905-1995 Pakan burung berkicau 50Dara (grower) 40 01-3906-1995 Konsentrat RuminansiaPetelur (layer) 40 01-3907-1995 Sapi perah laktasi 200

D Itik petelurSapi perah laktasi produksi 200Anak (starter) 20 01-3908-1995

Dara (grower) 20 01-3909-1995 Sapi perah kering bunting 200

Petelur (layer) 20 01-3910-1995 Pengganti air susu 100E Babi

Pemula, calfstarter 100Anak prasapih 50 01-391 1-1995

Anak sapih, Starter 50 01-3912-1995Sapi dara 200

Pembesaran, Grower 50 01-3913-1995 Sapi pejantan 200

Finisher 50 01-3914-1995 Sapi potong penggemukan 200Induk bunting 50 01-3915-1995

Sapi potong induk 200Induk menyusui 50

Pejantan 50 01-3916-1995 Sumber : SUPARTO, 2004

Page 6: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

Sebagai perbandingan persyaratan kadaraflatoksin yang ditetapkan beberapa negara laindisajikan pula pada Tabel 6 . Pada umumnya batasmaksimum kadar aflatoksin yang ditetapkan diIndonesia relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengannegara-negara di Eropa dan Amerika balk bagi ternakunggas maupun ruminansia . Negara di Eropa danbeberapa lainnya menetapkan kadar maksimumspesifik terhadap AFB I , sedangkan Indonesia batasmaksimum aflatoksin ditujukan untuk total aflatoksin(AFB,, AFB2 , AFG, dan AFG,) . Berbeda dengannegara maju, meskipun peraturan telah ditetapkan diIndonesia, namun implementasinya belum begitu ketat .

WARTAZOA Vol. 15 No . 1 Th. 2005

Tabel 6 . Kadar maksimum aflatoksin yang ditetapkan negara lain

Total AFL adalah AFB,, AFB,, AFG, dan AFG,* Meliputi : Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Italy, UK, Belanda, Portugal

Sumber : VAN EGMOND (1989)

3 1

Tabel 5 . Kadar aflatoksin (AFL) dalam persyaratan mutubahan pakan

CGM = Corn Gluten Meal ; CGF = Corn Gluten Feed

Sumber : Lampiran I dan 2 SK Dirjen Peternakan No . 524/TN.250/Kpts/DJP/Deptan/1997, dalam SUPARTO(2004)

Kadar aflatoksin maksimum (ppb)

Negara Jenis ternak Pakan komplit Pakantambahan

Bahan dasarpakan (total

AFL)

Jenis bahan dasar pakan

AFB, Total AFL AFB,Austria Semua ternak AFB, 50 AFB,Brazil 50 Bungkil kacang (ekspor)Kanada Semua ternak 20Cina 1000 Bungkil kacang, kedelaiDominika 30 JagungEropa* Ruminansia (kecuali : 50 50 200 Bungkil kacang, kopra,

sapi perah, anaksapi, anak domba)Babi, unggas 20 30

bungkil kelapa, biji kapas,jagung,produkjagung

Ternak lain 10 10India - 120 (AFB I ) Bungkil kacang (ekspor)Jordania Semua ternak 15 30Nigeria Semua ternak 50Norwegia Tergantung jenis 10-50

OmanternakUnggas 20Anak ayam 10

Peru Unggas 20Polandia Unggas, babi, sapi 20

perahSapi, kambing, 50

RomaniadombaSemua ternak 50

Swedia Sapi potong, 50 50 100 (AFB,)kambing, dombaBabi, unggas 20Sapi perah . anak 10

USAkambing, dombaSemua ternak 20 20

Bahan baku pakan AFL, maks (ppb)Canola meal 100Repeseed meal 100Sunflower seed meal 90Cotton seed meal 100Sesame seed meal 200Jagung 50Hasil ikutan, CGM 60 50CGM 40 50CGF 50Homini 50

Page 7: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

32

SRI RACHMAWATI : AJlaloksin datain Pakan Ternak di Indonesia : Persyaralan Kadar dan Pengembangan Teknik Deleksi-nya

TEKNIK DETEKSI SENYAWA AFLATOKSINYANG DIKEMBANGKAN

Teknik deteksi aflatoksin berdasarkan AOAC(1984) adalah menggunakan kromatografi lapis tipis(Thin Layer Chromatography- TLC) atau kromatograficair kinerja tinggi (High Performance LiquidChromatography-HPLC) . Metode ELISA sudah mulaidipakai untuk analisis kuantitatif, dan diakui dapatdigunakan sebagai metode skrming yang cepat dansensitif serta sudah banyak dikembangkan dandigunakan. Dibandingkan dengan metoda kimia fisika(kromatografi), metoda ELISA mempunyai beberapakeuntungan karena dinilai cukup cepat, sensitif danrelatif murah . Sementara itu, metoda kimia fisikamempunyai kelemahan selain harga instrumen yangmahal, diperlukan pelaksana yang betul-betul terlatih,dan tahap analisis yang cukup panjang melalui tahapanekstraksi, pemurnian, pemisahan, dan memerlukanpereaksi cukup banyak, sehingga biaya analisis menjadimahal .

Metode ELISA dengan monoklonal dan poliklonalantibodi sudah diterapkan untuk analisis AFB I padakacang tanah (KAWAMURA et al., 1988), totalaflatoksin pada sampel jagung dan pakan ternak(TRUCKSESS et al., 1989) dan sampel-sampel biologiseperti twin manusia dan hewan ternak (STUBBLE et al.,1991). Limit deteksi untuk analisis metode ELISAdapat membaca sampai konsentrasi 0,1 ppb.

Format ELISA yang umum dikembangkan untuksenyawa dengan bobot molekul rendah (hapten) adalahELISA kompetitif. Pada dasarnya terdiri dari 2 formatyaitu kompetitif langsung dan kompetitif tidaklangsung (STANKER dan Beier, 1995) . Teknik deteksisenyawa racun aflatoksin yang dikembangkan Balitvetadalah secara format ELISA kompetitif langsung .Pengembangan ELISA format kompetitif langsungmenggunakan antibodi poliklonal dan konjugat enzimyang dibuat Balitvet ini ternyata cukup sensitif danlebih spesifik terhadap senyawa racun AFB,, denganreaksi silang yang rendah terhadap jenis AFB2 , AFG Idan AFG,, Pengembangan teknik deteksi tersebutmeliputi

beberapa

tahapan

sebagai

berikut(RACHMAWATI et al., 2004) :1) Sintesa hapten2) Imunisasi kelinci, untuk produksi antibodi3) Pengembangan format ELISA

4) Pengujian performan tes ELISA5) Perakitan prototipe ELISA kit, pelatihan dan uji

coba lapang

Sintesa hapten

Hapten adalah senyawa dengan bobot molekulrendah biasanya Iebih kecil dari 10.000 . Antibiotik,

pestisida, mikotoksin termasuk senyawa ini danumumnya tidak dapat merangsang terbentuknyaantibodi pada ternak, karena tidak bersifat imunogenik,atau sifat imunogeniknya lemah . Berbeda dengansenyawa dengan berat molekul besar sepertipolisakarida, protein, asam nukleat danmikroorganisme, yang masuk tubuh sebagai antigendan bersifat imunogenik, dapat merangsangterbentuknya antibodi, sehingga dapat diproduksiantibodi spesifik . Hapten sebagai antigen, dan supayaterbentuk antibodi pada tubuh ternak jika disuntikkanmaka senyawa hapten tersebut harus dikonjugasi secarakimiawi dengan senyawa bermolekul besar sepertiprotein (Bovine Serum Albumin-BSA atau KeyholeLimphet Haemocyanin-KLH, dli.) sehingga bersifatimunogenik dan dapat merangsang respon kekebalanpada ternak . Untuk keperluan kompetitor pada ELISAkompetitif langsung (direct competitive ELISA), haptenini dikonjugasi dengan enzim (Horse RaddishPerox idase-HRPO) .

Aflatoksin B, merupakan senyawa hapten denganikatan cincin yang tertutup, sehingga tidak reaktif .Untuk dapat mengikat protein atau enzim perludisintesa menjadi senyawa aflatoksin B, carboxymetiloxime, dan ester aktif hydroxysuccinamida . Hasilkonjugasi berupa AFB I -BSA dan/atau AFB,-KLHdiimunisasikan pada kelinci . Sedangkan hasil berupaAFB,-HRPO digunakan sebagai kompetitor padapenetapan ELISA kompetitif langsung .

Imunisasi kelinci

Imunisasi dilakukan dengan menyuntikkanantigen AFB 1-BSA dan AFB,-KLH masing-masingterhadap dua kelinci untuk mendapatkan antibodi yangakan digunakan untuk pengembangan metode ELISA .Jadwal imunisasi kelinci adalah sebagai berikut :

a) Penyuntikkan pertama sebanyak 0,5 mg/ml AFB,-BSA atau AFB,-KLH yang diemulsikan dalamfreund's complete adjuvant.

b) Penyuntikan kedua dan ketiga adalah penyuntikanboster dengan interval waktu 2 minggu yaitusebanyak masing-masing 0,25 mg/ml yangdiemulsikan dalam 250 µl incomplete adjuvant .

c) Penyuntikan boster selanjutnya diberikan setiapbulan dengan dosis 0,25 mg/ml antigen AFB 1 -BSAatau AFB,-KLH yang diemulsikan dalamincomplete adjuvant .

Selanjutnya darah dikumpulkan setiap bulan, 10hari setelah penyuntikan boster, dipisahkan serumnyadan dilakukan pemurnian serum dengan menggunakankolom Protein A Sepharose, dan inilah antibodiAFB 1-BSA atau antibodi AFB,-KLH murni yang

Page 8: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

digunakan untuk pengujian ELISA. KadarImunoglobulin G (IgG) yang terkandung dalamantibodi selanjutnya dihitung dengan mengukurabsorbansi larutan antibodi dengan spektrofotometerpada panjang gelombang 280 urn . Antibodi dengankadar IgG dalam kisaran 2,2-4,0 mg/ml untukpenyimpanan waktu yang lama perlu ditambahkannatrium azide dan disimpan beku .

Pengujian respon antibodi pada plat ELISAdilakukan dengan mentitrasi antibodi dan konjugatenzim. Antibodi yang dikumpulkan pada perdarahanke-5 yaitu setelah penyuntikan boster yang ke-6 kalimenghasilkan antibodi yang cukup baik dengan responyang sensitif dimana nilai absorpsi pada ELISA reader(OD) kontrol mencapai 0,8->l,0 .

Pengembangan format ELISA

Setelah dapat diidentifikasi antibodi denganrespon yang cukup sensitif, studi diteruskan denganpengembangan format ELISA . Format untuk ELISAyang dikembangkan adalah ELISA kompetitiflangsung . Dengan menggunakan antibodi AFB Z-BSAyang dikumpulkan pada perdarahan kelima (5BSA)didapatkan bahwa format ELISA kompetitif langsunglebih sensitif dibandingkan dengan format ELISAkompetitif tidak langsuung . Mekanisme analisis formatELISA kompetitif langsung seperti pada Gambar 1 .Pengembangan analisis yang dilakukan pertama kalimasih cukup lama "long assay" dengan waktu inkubasiantibodi, semalam, konjugat 45 menit dan substrat 30menit, dan pembacaan serapan warna dengan ELISAreader pada panjang gelombang 450 nm. Format ELISAkompetitif langsung dipilih untuk studi selanjutnya .

Pengujian performan tes ELISA

Pengujian spesifita& dilakukan denganmengevaluasi respon antibodi AFB, terhadap jenisaflatoksin lainnya yaitu AFB2, AFG, dan AFGZ .Antibodi ternyata memberikan respon yang spesifikterhadap AFB Z (100%), tetapi memberikan sedikitreaksi silang dengan jenis aflatoksin lainnya (0,9 ; 3,5dan 1,6%) untuk masing-masing AFB2 , AFG, danAFGZ . Perhitungan reaksi silang didasarkan ataskonsentrasi pada nilai inhibisi 50% (IC50 ) yaitu titikyang paling tepat pada kurva kalibrasi, dimanadidapatkan nilai untuk masing-masing AFB2 , AFG, danAFG2 yaitu 99,3 ; 25,1 dan 52,8 ng/mI serta 0,87 ng/mluntuk aflatoksin B 1 . Dari nilai IC 50 tersebut selanjutnyadihitung persen reaksi silang yaitu perbandingan nilaiIC 50 AFB Z dengan nilai IC 50 masing-masing jenisaflatoksin . Perhitungan limit deteksi ditetapkan pada

WARTAZOA Vol . 15 No. I Th . 2005

konsentrasi AFB Z yang memberikan nilai inhibisi 15%(IC 15 ) dari 10 penetapan . Pada percobaan ini diperolehIC 15 yaitu 0,18 ± 0,06 ppb. Maka limit deteksi adalahrata-rata penetapan 10 replikat ± 2 kali standar deviasiyaitu 0,3 ppb. Konsentrasi AFB Z 0,3 ppb adalah yangterendah dapat dideteksi dengan metode ELISA yangdikembangkan, dengan kisaran analisis sampai 30 ppb .

Selanjutnya tes ELISA diuji toleransinya terhadapbeberapa pelarut organik seperti metanol, etanol,asetonitril, aseton yang sering digunakan untuk ektraksiAFB Z pada sampel . OD menjadi lebih kecil padapelarut dengan konsentrasi yang semakin tinggi dan tesELISA dengan menggunakan antibodi 5 BSA dankonjugat yang dihasilkan hanya toleran terhadapmetanol dengan konsentrasi maksimum 60% . Asetondan asetonitril dapat digunakan sampai maksimum40%, sedangkan respon terhadap etanol kurang begitubaik. Pengujian ELISA hanya tahan pada pH antara7,2-9,6 . Pada pH 4 pembentukan warna sangat rendah,sedangkan pada pH 3, tidak terbentuk/warna hilangsehingga OD rendah sekali .

Pengujian selanjutnya terhadap matrik sampel .Matrik sampel dapat berpengaruh terhadap sensitifitas,perubahan/penurunan nilai absorban (OD) atau kedua-duanya . Pakan tersusun dari berbagai bahandiantaranya jagung, dedak padi, bungkil kedelai(soybean meal-SBM), gluten (corn gluten meal-CGM),canola meal, tepung ikan (flish meal) . Toleransi tesELISA diuji terhadap larutan bahan pakan tersebutdalam metanol . OD dari kontrol dengan matrik jagungtidak begitu berbeda dibandingkan OD dari kontroldalam metanol saja, yang menunjukkan bahwa matrikjagung tidak begitu berpengaruh terhadap penetapansecara ELISA. Terdapat sedikit pengaruh matrik daritepung ikan, bungkil kedelai dan dedak padi,sedangkan gluten dan canola memberikan efek matrikyang sedikit lebih besar dan ditandai dengan penurunanOD pada kontrol dengan bahan tersebut dibandingkankontrol dalam metanol . Efek matrik pakan bervariasi,nampaknya pakan yang banyak mengandung bahanseperti gluten dan canola, memberikan pengaruhterhadap penurunan nilai OD. Pengaruh matrik dapatdihilangkan dengan prosedur "clean up" atau denganmenganalisa sampel mengacu pada kalibrasi standardalam matrik. Cara pengenceran ekstrak sampelsebelum analisa cukup efektif, jika sensitivitaspenetapan mencukupi . Penambahan protein ataudeterjen pada pelarut dapat dilakukan untukmenghilangkan efek dari matrik, namun cara initerbatas pada tingkat kecocokan antibodi dan konjugatenzim terhadap pereaksi ini. Pengaruh matrik pakanpada analisis secara ELISA ternyata dapat diatasidengan cara pengenceran ekstrak sampel .

33

Page 9: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

Sumber : STANKER dan BEIER (1995)

Untuk penerapan di lapangan, kit ELISA denganwaktu analisis lebih cepat "rapid assay" perlu dirakitdan kestabilan pereaksi perlu dipelajari untuk produksikit dan evaluasi selanjutnya . Antibodi dilapis pada platmikro, diblok, selanjutnya dikeringbekukan sehinggatahan untuk disimpan lama . Demikian pula dengankonjugat enzim disiapkan dan dikeringbekukankemudian dilarutkan dalam pengenceran tertentu .Selanjutnya dipelajari efek penyimpanan pada 4°C dan

34

SRI RACHMAWATI : Aflatoksin dalam Pakan Ternak di Indonesia : Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksi-nya

\7"b"V U V

An 't

Ko jugat

\ /

O \ /0V v v V

Vf 000

Substrat

N Warna

V+ E

* E 099

PERAKITAN PROTOTIPE KIT ELISA,PELATIHAN DAN UJI COBA LAPANG

(VALIDITAS METODE)

Antibodi di lapis pads mikroplat

Masukan analit (antigen AFB,) dan konjugat (AFB,-HRPO)

Kompetisi analit dan konjugat merebut antibodi

Penambahan substrat terbentuk warna

*Makin banyak AFB I pada sampel, makin sedikit konjugat yangmengikat antibodi, wama makin pudar

Gambar 1 . Format ELISA kompetitif langsung

suhu kamar untuk konjugat dalam bentuk larutan dankering beku serta antibodi yang sudah dilapis padamikro plat . Penyimpanan sampai 2 bulan pads suhu 4°C(refrigerator) menunjukkan respon yang masih balk .

Kit ELISA "rapid assay" dengan waktu analisis 5dan 10 men it inkubasi konjugat dan substrat telah dapatdirakit (Gambar 2) . Kit berisi antibodi yang sudahdilapis pada mikro plat dan sudah dikeringbekukan(coated plate), plat untuk mencampur sampel/standardan konjugat (mixing plate), serf dari larutan standarAFB,, konjugat kering beku dan diluen atau larutankonjugat, substrat dan larutan penghenti reaksi(stopping solution) .

Page 10: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

Substrat 13

Standar AFB,(0,12-30 ppb)

Substrat A

0 50

Stoppingsolution

Gambar 3 . Hubungan antara hasil analisis sampel jagung dan pakan secara HPLC dan ELISA, n= 10

Pelatihan dan ELISA "workshop" dilakukandengan partisipan yang datang dari staf "qualitycontrol" pabrik-pabrik pakan dan juga laboratoriumpemerintah dengan tujuan memperkenalkan teknologiyang dikembangkan . Pemilihan 2 laboratorium pabrikpakan dan 2 laboratorium pemerintah dilakukan untukuji lapang dan validitas metode (inter laboratorystudy) . Hasil analisis aflatoksin sampel standar (kadar

WARTAZOA Vol. 15 No. / Th. 2005

Konjugat

. Gambar 2. Kit ELISA aflatoksin B, yang dikembangkan

100

150

200

AFB 1 (ppb), HPLC

250 300

Coated plate

Mixing plate

AFB 1 10-250 ppb) yang disiapkan Balitvet dandiujicobakan di keempat laboratorium mitra denganmenggunakan kit ELISA aflatoksin menunjukkanpersentase perolehan kembali rata-rata 89,8-103,8persen dengan koefisien variasi 5,3-13,3 persen untuksampel standar jagung dan 95,9-100,7 persen dengankoefisien variasi 2,8-6,5 persen untuk sampel standar

35

Page 11: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

pakan. Hasil irli menunjukkan persentase perolehanyang baik . Hasil penelitian terdahulu rata-rataperolehan kembali untuk standar sampel jagung adalah94-108 persen (SPILMAN, 1985) . PATEY et a!. (1992)melaporkan hasil studi antar laboratorium untukanalisis AFB, dalam kacang, bahwa sebagai petunjukketepatan analisa, nilai koefisien variasi sebaiknyadalam kisaran 5-15 persen. Validitas metode jugadilakukan dengan membandingkan hasil analisis secaraELISA dengan metoda standar HPLC untuk beberapasampel pakan dan jagung. Hasil yang akurat dankonsisten ditunjukkan untuk kedua metode tersebutdengan koefisien korelasi Rz= 0,99 (Gambar 3) .

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulandan saran sebagai berikut :

1 . Umumnya pakan di Indonesia mengandungaflatoksin, namun sampel yang mengandungaflatoksin tinggi dan melebihi standar SNI (>50ppb) relatif sedikit . Hasil penelitian tahun 2003-2004, hanya 14% dari 207 sampel yangmengandung aflatoksin lebih dari 50 ppb, namundemikian potensi tercemarnya pakan oleh aflatoksinperlu selalu diwaspadai, karena bahan baku pakan,jagung lokal ternyata mengandung aflatoksin cukuptinggi .

2 . Peraturan perundang-undangan di Indonesia yangberkaitan dengan batas maksimal aflatoksin padapakan, pakan konsentrat dan bahan baku pakantermasuk jagung sudah ditetapkan danimplementasinya harus dilakukan secara benaruntuk melindungi konsumen produk peternakan .

3 . Balai Penelitian Veteriner telah dapat merakit kitELISA aflatoksin yang dapat digunakan untukanalisis aflatoksin secara cepat dan akurat . Dengantersedianya perangkat deteksi cepat ini diharapkankontrol kualitas pakan dan bahan pakan jagungdapat dilaksanakan lebih mudah, dan secara terusmenerus.

DAFTAR PUSTAKA

36

SRI RACHMAWATI: Aflatoksin dalam Pakan Ternak di Indonesia: Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksi-nya

ABDELHAMID, A.M, and T.M. DORRA . 1990. Study on effectof feeding laying hens on separate mycotoxins(aflatoxins, patulin, or citrinin)-contaminated diets onthe egg quality and tissue constituents . Arch. Anim .Nutr. 40(4) : 305-3 16 .

AOAC. 1984 . Official Methods ofAnalysis . 14 th Ed., AOAC,Arlington VA. Section 26.026-26-031, 26.049-26.051 .

BAHRI, S., OHIM dan R . MARYAM . 1994b . Residu aflatoksinM, pada air susu sapi dan hubungannya dengankeberadaan aflatoksin B, pada pakan sapi. DalamKumpulan Makalah Lengkap Kongres NasionalPerhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia danHewan, Indonesia ke I dan Temu Ilmiah, Bogor,21-24 Juli 1994. him . 269-275 .

BAHRI, S., YUNINGSIH, R. MARYAM dan P . ZAHARI . 1994a.Cemaran aflatoksin pada pakan ayam yang diperiksadi Laboratorium Toksikologi Balitvet tahun 1988-199 1 . Peny. Hewan 47: 39-42 .

BAITON, S.J., R.D. JONES, E.M. MORLEY, M .J. NAGLER andR.L. TURNER. 1980 . Mycotoxin Training Manual .Tropical Product Insitute London . pp. 20-65 .

DASS, R .S. and S .P. ARORA. 1994 . Effect of aflatoxins onimmunoglobulin level in blood and the growth ofbuffalo calves. Buffalo Bull. 13(2) : 37-4 1 .

DIENER, U.L. and N. DAVIS. 1969. Aflatoxin formation byaspergillus flavus . In : Aflatoxins . GOLDBLATT L .A.(Ed.). Academic Press, New york, USA . pp. 77-105 .

DIMRI, U., V .N. RAO and H.C. JOSHI. 1994 . Effect of chronicaflatoxin BI feeding on serum-calcium, magnesiumand iron profile in chicken . Indian. Vet . J . 71 (9) :907-910.

ExARHOS, C.C. and R.E. GENTRY . 1982 . Effect of aflatoxin onegg production. Avian Dis. 26 : 191-195 .

GINTING, NG .1988. Sumber dan Pengaruh AflatoksinTerhadap Pertumbuhan dan Performan Ayam Broiler .Disertasi . Universitas Pajajaran, Bandung .

GROOPMEN, J.D, L.G. CAIN and T.W. KENSLER. 1988 .Aflatoxin exposure in human populationsmeasurement relationship to cancer . Crit. Rev .Toxicol . 19(2) : 113-145 .

JASSAR, B .S. and BALWANT-SINGH . 1989. Immunosupressiveeffect of aflatoxin in broiler chicks . Indian . J . Anim .Sci . 59 (1) : 61-62 .

KAWAMURA, A.O ., S. NAGAYAMA, S. SATO, K . OHTANI, 1 .UENO and Y. UENO . 1988. Development of aflatoxinimmunoassay technique of peanut. Mycotoxin Res. 4 :76-87 .

Liu, Y .G.K. 2002. Prevention and control of molds andmycotoxins in raw materials and final feeds intropical countries. In: Feed and grain qualityWorkshop, Balitvet, Bogor Indonesia, 30 Januari-IFebruari 2002. US Grain Council, American SoybeanAssociation. pp . 1-23 .

MANI . K ., K. SUNDARESAN and K . VISWANATHAN . 2001 .Effect of immunomodulators on the performance ofbroilers in aflatoxicosis . Indian. Vet. J. 78(12) :1126-1129.

MARYAM, R. 1996 . Residu aflatoksin dan metabolitnya dalamdaging dan hati ayam. Pros . Temu Ilmiah NasionalBidang Veteriner . Balai Penelitian Veteriner, Bogor :hIm.336-339 .

Page 12: aflatoksin dalam pakan ternak di indonesia: persyaratan kadar dan

MUTHIAH, J ., P . REDDY and N.D .J . CHANDRAN . 1998. Effectof graded levels of aflatoxin B I and the effect ofdirect fed microbials (DFM) on egg production in eggtype breeders . Indian . Vet . J . 75(3) : 231-233 .

PATEY, A.L ., M. SHARMAN and J . GILBERT. 1992 .Determination of total aflatoxin levels in peanutbutter by Enzyme Linked Imunnosornbent Assay:Collaborative Study . J AOAC International 75(4) :693-697.

PRABAHARAN, S ., V .T. GEORGE and G.A . BALASUBRAMANIAM.1999. Influence of dietary aflatoxin and coccidiosison growth rate in broiler chicken . Indian . Vet . J.76(9) : 827-828 .

RACHMAWATI, S . 2004a. Uji Banding Antar Laboratorium,Pengujian ELISA Kit Aflatoksin . Laporan hasilkegiatan kerjasama antara Balai Penelitian Veterinerdengan PT Sinta Prima Feedmill, PT Sierad Tbk,Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, dan BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional IV .him. 2-9 .

RACHMAWATI, S . 2004b. Kit ELISA (Aflavet) untuk deteksiaflatoksin pada produk pertanian. Makalahdipresentasikan pada sesi poster fgW FoodConference . 6-7 Oktober, 2004. Jakarta. fgW Schoolof Food Technology .

RACHMAWATI, S . 2004c . Pengujian Lapang Perangkat ELISAKit Aflatoksin B, Untuk Monitoring Kualitas PakanDan Jagung. Laporan akhir kerjasama penelitianantara Balai Penelitian Veteriner dengan BalaiPengujian Mutu Pakan Ternak . Proyek PengkajianTeknologi Pertanian Partisipatif. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian .him. 14-17 .

WARTAZOA Vol. 15 No . 1 Th. 2005

RACHMAWATI, S ., A. LEE, T.B . MURDIATI dan I . KENNEDY .2004. Pengembangan Enzyme Linked ImmunosorbentAssay (ELISA) teknik untuk analisis aflatoksin B,pada pakan ternak. Pros. Seminar Parasitologi danToksikologi Veteriner. Kerjasama Balai PenelitianVeteriner, Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan dengan Department for InternatinalDevelopment (DflD-UK), Bogor 20-21 April, 2004 .him. 143-160 .

SPILMAN, J .R . 1985 . Modification of rapid screening methodfor aflatoxin in corn for quantitative use . JAOAC68(3): 453-456 .

STANKER, L.H. and R.C . BEIER . 1995. Introduction toimmunoassay for residue analysis : Concept, formatsand applications in immunoassays for residueanalysis . In . ELISA workshop. Simple test formonitoring mycotoxins and pestisides in produce.Post Harvest Technology Institute . Ho Chi Minh City,Vietnam, November 15-17, 1999. University ofSydney. pp. 12-22 .

STUBBLE, F ., R.D.J . GREER, O.L. SKOTWELL and A.M .AIKENS . 1989. Direct competitive ELISA ofaflatoxins in biological material . JAOAC 74(3) :530-532 .

SUPARTO, D.I . A.H. 2004. Situasi cemaran mikotoksin padapakan di Indonesia dan perundang-undangannya .Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.Kerjasama Balai Penelitian Veteriner, PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan denganDepartment for Internatinal Development (DOD-UK),Bogor 20-21 April, 2004 . him . 131-142 .

TRUCKSESS, M.W ., M.E . STACK, S . NESHEIM, D.L . PARK andA.E . PoHLAND . 1989. Enzyme Linked ImunnosorbentAssay of Aflatoxins B 1, B2 and G, in corn,cottonseed, peanut, peanut butter and poultry feed :Collaborative study . JAOAC 72(6) : 957-961 .

VAN EGMOND H.P. 1989. Current situation on regulation formycotoxin overview of tolerances and status ofstandard methods of sampling and analysis . FoodAdditive and contaminant 6(2) : 169-188 .

WIDIASTUT[, R . 2000. Residu aflatoksin pada daging dan hatisapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat .Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Bogor, 18-19 oktober 1999 . him . 609-614 .

YANUARTIN, C . 2004 . Permasalahan kualitas pakan diIndonesia. Pros . Seminar Parasitologi danToksikologi Veteriner . Kerjasama Balai PenelitianVeteriner, Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan dengan Department for InternationalDevelopment (DflD-UK), Bogor 20-21 April, 2004 .him. 127-130.

ZANNELL 2000. Mould, Bacteria and Solution . Feed IndustryService (FIS) . Italy : 1-21 .

3 7