bab i pendahuluan 1.1. latar...

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara ekonomi politik, pasar (tradisional) di Indonesia memegang peranan yang penting terutama bagi para penguasa, pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap ekonomi, sosial, politik dan budaya di pasar. Pasar banyak “diincar” para elit politik di pemerintahan dan partai -partai politik untuk mencari dukungan, terutama pada saat-saat menjelang pemilu. Demikian pula bagi kaum pengusaha dalam dan luar negeri, mereka berkepentingan karena potensi pasarnya yang sangat besar. Pendek kata, pasar bukan hanya berarti tempat dalam pengertian yang sempit bagi bertemunya penjual dan pembeli, tetapi juga menjadi tempat bertemunya kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pendek kata, mengapa pasar (tradisional) penting, adalah karena: Pertama, dilihat dari sisi besarnya jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan perdagangan skala kecil (ritel) di pasar-pasar tersebut. Merujuk data Kementerian Perdagangan, jumlah pedagang rakyat (tradisional) saat ini mencapai 12,6 juta lebih dan menempati lebih dari 13.450 pasar yang tersebar di Indonesia. Jika ditambah dengan pelaku lainnya (toko kelontong, toko tradisional, warung, Mom and Pop Store) 5 juta, maka jumlahnya menjadi 17,6 juta. Apabila masing-masing pedagang memiliki 4 anggota keluarga, maka pasar meliputi 68 juta lebih orang. Selanjutnya jika setiap pedagang memiliki 5 pemasok (supplier) maka pasar juga meliputi 12 juta dikalikan 5 menjadi 60 juta pelaku usaha (petani atau perajin dari desa). Dari sisi pelanggan, apabila rata-rata pedagang punya 5 pelanggan rumah tangga/buruh kecil/miskin maka pasar meliputi pula 12 juta kali 5 pelanggan atau 60 juta

Upload: doankiet

Post on 04-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara ekonomi politik, pasar (tradisional) di Indonesia memegang

peranan yang penting terutama bagi para penguasa, pihak yang memiliki

kepentingan langsung terhadap ekonomi, sosial, politik dan budaya di pasar.

Pasar banyak “diincar” para elit politik di pemerintahan dan partai-partai

politik untuk mencari dukungan, terutama pada saat-saat menjelang pemilu.

Demikian pula bagi kaum pengusaha dalam dan luar negeri, mereka

berkepentingan karena potensi pasarnya yang sangat besar. Pendek kata, pasar

bukan hanya berarti tempat dalam pengertian yang sempit bagi bertemunya

penjual dan pembeli, tetapi juga menjadi tempat bertemunya kepentingan

ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pendek kata, mengapa pasar (tradisional)

penting, adalah karena:

Pertama, dilihat dari sisi besarnya jumlah orang yang terlibat dalam

kegiatan perdagangan skala kecil (ritel) di pasar-pasar tersebut. Merujuk data

Kementerian Perdagangan, jumlah pedagang rakyat (tradisional) saat ini

mencapai 12,6 juta lebih dan menempati lebih dari 13.450 pasar yang tersebar

di Indonesia. Jika ditambah dengan pelaku lainnya (toko kelontong, toko

tradisional, warung, Mom and Pop Store) 5 juta, maka jumlahnya menjadi

17,6 juta. Apabila masing-masing pedagang memiliki 4 anggota keluarga,

maka pasar meliputi 68 juta lebih orang. Selanjutnya jika setiap pedagang

memiliki 5 pemasok (supplier) maka pasar juga meliputi 12 juta dikalikan 5

menjadi 60 juta pelaku usaha (petani atau perajin dari desa). Dari sisi

pelanggan, apabila rata-rata pedagang punya 5 pelanggan rumah tangga/buruh

kecil/miskin maka pasar meliputi pula 12 juta kali 5 pelanggan atau 60 juta

2

rumah tangga/buruh menengah bawah Indonesia. Jadi jika dijumlahkan

seluruhnya, sekurang-kurangnya pasar meliputi kegiatan ekonomi dari 188

juta orang, atau 75% dari penduduk Indonesia (Santosa, 2013).

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pasar-pasar tradisional menurut

menurut catatan statistik berjumlah 284 buah dan menjadi tempat jualan bagi

54 ribu lebih pedagang kecil. Angka-angka tersebut tentu saja belum termasuk

para pemasok/bakul, pekerja informal, tukang becak, buruh gendong, dan

lain-lain. Jika penduduk DIY tahun 2012 adalah 3,5 juta orang, maka

diperkirakan 75 % penduduk atau 2,6 juta orang berkepentingan langsung dan

tidak langsung dengan pasar tradisional di DIY. Di kabupaten Bantul,

berdasarkan catatan Kantor Pengelola Pasar (KPP) kabupaten Bantul

berjumlah 29 pasar dengan jumlah pedagang 12 ribu orang lebih. Tentu angka

itu juga belum termasuk pasar-pasar desa yang dikelola oleh desa atau

komunitas yang letaknya di pedesaan yang umumnya beroperasi berdasarkan

hari-hari pasaran. Apabila jumlah penduduk Bantul 927 ribu orang, maka

pasar menjadi tempat atau ruang yang penting bagi kira-kira 700 ribu orang

penduduk Bantul. Angka yang sangat besar ini tentu menjadi daya tarik bagi

siapapun, elit dan partai politik, anggota DPR, pengusaha dalam dan luar

negeri, elit pemerintah, akademisi, budayawan, dan lain-lain. Demikian ketika

pada era politik sekarang, yang menempatkan kuantitas pemilih sebagai unsur

penting dalam ritual politik demokrasi, ruang “becek, sempit, berbau” di

pasar-pasar tetap menjanjikan peluang bagi jalan menuju kekuasaan.

Kedua, dari sisi pemasok lokal atau produsen dari desa, pasar juga

menjadi saluran rantai pemasaran hasil bumi paling utama. Tidak adanya

ketentuan yang rigid atas dasar kuantitas dan kualitas, menyebabkan pasar

mampu menampung hasil produksi petani berapapun besarnya, mulai dari

hitungan kilogram, kwintal, atau ton, semua bisa masuk pasar. Demikian pula,

tidak perlu standarisasi produk yang butuh biaya besar yang tak mampu

dipenuhinya, petani kecil dapat membawa semua barangnya ke pasar. Ia

3

cukup membawa sekarung sayuran hasil panen dari kebun dengan naik sepeda

ke pasar, ditawarkannya di sana, dan pulang ia sudah mendapat uang untuk

keperluan lain. Tidak dibutuhkannya keahlian khusus karena sifat informalitas

dalam tata cara jual beli di pasar menyebabkan sektor perdagangan kecil ini

menjadi alternatif bagi masyarakat kelas bawah dalam penyediaan lapangan

pekerjaan. Kalau perlu, ia cukup datang hanya membawa tenggok, menjual

jasa membawakan dagangan dari penjual atau pembeli, ia sudah bisa pulang

membawa uang untuk keperluan anak atau keluarganya. Menyempitnya lahan

pertanian di desa sementara waktu mereka yang masih longgar, dapat

digunakan untuk mengais rejeki di pasar-pasar, sebagai alternative lain dari

pekerjaan buruh bangunan di perkotaan. Oleh karenanya menurut data

statistik, pasar juga menempati sektor kedua penyerap tenaga kerja nasional

setelah pertanian.

Ketiga, bagi pelanggan atau konsumen, pasar tradisional masih

menjadi tumpuan atau andalan tempat belanja murah bagi masyarakat,

umumnya bagi rumah tangga menengah ke bawah berpendapatan kecil.

Dengan sedikit uang, mereka masih dapat memperoleh beberapa barang untuk

memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Memang dibutuhkan kejelian dan

keahlian menawar agar barang-barang yang diperoleh sesuai dengan yang

diinginkan dengan uang terbatas. Bahkan kalau terpaksa tidak ada uang, ia

bisa ngebon (utang) dulu ke pedagang yang sudah lama diakrabinya.

Keempat, bagi pemerintah yang berkepentingan untuk menjaga agar

stabilitas ekonomi dapat terkendali, pasar-pasar juga penting bagi sarana atau

instrumen untuk pengendalian stabilitas harga-harga, sumber informasi

penting terutama menyangkut stabilitas harga-harga pangan, seperti beras,

gula, dan sembako lainnya. Operasi pasar juga sering dilakukan di pasar-pasar

tradisional. Jika pendapatan asli daerah (PAD) dianggap pencerminan

kemandirian daerah, maka retribusi pasar merupakan andalan pendapatan

utama di beberapa daerah.

4

Kelima, secara sosial budaya, pasar tradisional juga menjadi tempat

kumpulan orang-orang kecil (smallholders) yang mandiri, sumber inspirasi

masyarakat dalam berwirausaha, berkreasi, dan berproduksi dengan modal

sendiri, serta menjajakan produk melalui interaksi tawar menawar baik skala

“grosiran” kecil. Informalitas menjadi penanda utama bangun usaha mereka.

Metode pembayaran umumnya jual beli langsung, “ada uang, ada barang”.

Mencermati modal finansial yang digunakan pedagang, mayoritas pedagang

tidak mengandalkan bank karena petugas sering menganggap mereka tidak

layak bank (unbankable). Tentu ada perkecualian, karena sejak

dikembangkannya kredit usaha kecil oleh pemerintah atau cabang bank yang

berkantor di kios beberapa pasar yang tergolong besar atau mereka yang

memiliki agunan, mulai mengenal dan memanfaatkan pembiayaan bank.

Namun mayoritas pedagang jarang yang bisa mengakses layanan lembaga

keuangan formal ini. Survei di 15 pasar di DIY tahun 2012, menunjukkan

bahwa 66,4% pedagang menggunakan modal sendiri, 14,8% meminjam

modal di bank, 4% meminjam ke koperasi, 2,7% meminjam kepada rentenir,

dan 12,1% menggunakan modal konsinyasi (LOS DIY, 2012).

Akhir-akhir ini pasar tradisional mengalami “ancaman” serius

perubahan cepat yang mempengaruhi keberadaan jutaan pedagang bese rta

mereka yang menggantungkan penghidupannya di pasar. Ancaman itu berupa

penetrasi masif toko-toko modern skala dunia (supermarket, hypermarket)

maupun menjamurnya minimarket-minimarket berjejaring. Kehadiran pasar

modern telah dapat menggerogoti pangsa pasar. Kebijakan liberalisasi

ekonomi di sektor perdagangan ritel di awal periode reformasi, telah

menumbuhkan pemain ritel (eceran) baru bermodal besar yang bak menjamur

tumbuh di musim hujan, tumbuh subur di mana-mana. Dalam kurun waktu

yang tidak terlalu lama, pedagang kecil menurun omsetnya, sementara pasar

modern mengalami peningkatan omset berlipat-lipat. Banyak studi

mengungkapkan perubahan itu, salah satu studi yang banyak dijadikan

5

rujukan adalah survey AC Nielsen. Surveinya mengungkap pangsa pasar

pusat perbelanjaan dan ritel modern di Indonesia mengalami peningkatan dari

35% pada tahun 2000, menjadi sebesar 53% pada tahun 2008. Sebaliknya,

omset ritel tradisional menurun dari 65% tahun 2000, menjadi hanya 47% di

tahun 2008 (KPPU, 2009). Kondisi ini misalnya dirasakan oleh pedagang

pasar tradisional di DKI Jakarta yang menurun 60%, di Malang menurun

30%, dan Bandung menurun 40%. Menjamurnya supermarket, minimarket,

dan midi-market juga dirasakan dampaknya oleh para pemasok (bakul) dalam

negeri, distributor lokal, warung-warung kelontong lokal, termasuk pekerja

informal di pasar-pasar (LOS-DIY, 2011).

Pada dimensi yang lain, implikasi dari fenomena di atas juga dirasakan

berdampak kepada kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Sebagaimana

dinyatakan Zuhal, ekspansi ritel modern merupakan satu indikasi stagnasi

sosial jika dilihat dari jenis dan asal produk yang diperdagangkan. Ritel

modern selama ini lebih merupakan etalasi distribusi pabrikan besar yang

dikuasai oleh pemodal besar, termasuk sebagian besar dikuasai (dimiliki)

pemodal luar negeri. Sekalipun pasar jenis ini mampu mendatangkan omset

ratusan trilyun per tahun, ritel-ritel modern tersebut, menurut mantan

Menristek Kabinet Reformasi ini, lebih merupakan fenomena “bubble

economy”. Ia tidak dapat digunakan untuk mengukur produktitas, inovasi,

kemajuan, dan kesejahteraan sebuah bangsa dengan melihat kondisinya

sekarang. Ia juga menyatakan bahwa kegiatan bubble economy, seperti

menjamurnya mal-mal megah, pasar swalayan, hypermarket, rumah makan

cepat saji hingga ke desa-desa, hanya menumbuhkan budaya konsumtif yang

pada gilirannya melemahkan modal sosial masyarakat kita. Campurtangan

pemerintah karenanya perlu dikembangkan untuk menumbuhkan prakarsa

individu/UKM berjiwa entrepreneurship, yaitu sebuah kebijakan

perekonomian rakyat yang dapat menumbuhkan budaya produktif dengan

berbasis kepada ilmu pengetahuan dan teknologi (Zuhal, 2010:42).

6

Di beberapa negara maju (negara produsen) seperti Inggris, Jepang,

dan Korea Selatan, dan lain-lain, pemerintahnya sangat membatasi ekspansi

ritel modern dari luar yang melemahkan budaya produksi sekaligus mengikis

modal sosial. Di negara tersebut ada pembatasan penguasaan asing di sektor

ritel dengan penguasaan pangsa pasar 1 sampai 3 persen. Sedangkan di

Indonesia, penguasaan pangsa pasar ritel asing dan perusahaan besar justru

mencapai di atas 13 persen sehingga tidak ada perlakuan yang adil bagi

pedagang kecil (Santosa, 2011).

Jika dilihat masa yang lebih lampau, fenomena pertarungan antara

kekuatan penetrasi “pasar modern” terhadap “pasar tradisional”, sebenarnya

bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Akar kehadiran kekuatan pasar

modern telah dimulai pada awal lahirnya Orde Baru yang ditandai dengan

diterbitkannya UU PMA No. 1 Tahun 1967. Liberalisasi “awal” tahun 1967

maupun liberalisasi “lanjutan” pada penghujung abad 20, sama-sama

didahului krisis ekonomi dan adanya pergantian rejim penguasa. Kurang lebih

sama, argumentasi yang dibangun untuk membenarkan kebijakan liberalisasi

tersebut, bahwa masuknya investasi (asing) dari luar merupakan suatu

keharusan yang tak terelakkan dalam pembangunan karena investasi akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja atau

mengurangi pengangguran. Gagasan ini mendominasi orientasi pemikiran

para elit pengambil kebijakan di pemerintahan, termasuk dalam hal sektor

perdagangan. Sejak diterbitkannya UU tersebut, dari tahun ke tahun

investasipun meningkat, dan pertumbuhan ekonomi pun mengalami perbaikan

seiring dengan masuknya investor asing di kedua era tersebut. Sekalipun data

empiris BKPM menunjukkan bahwa 70% modal asing dan lokal hanya

mampu menyerap 10-16% angkatan kerja. Sedangkan ILO memaparkan 65%

penduduk Indonesia bergiat di sektor informal, hanya 35% yang bekerja di

sektor formal (Santosa, 2009). FAO menunjukkan bahwa jika pada tahun

1990an penguasaan pasar oleh pasar modern atas ritel makanan masih sangat

7

tipis, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi 30%, atau meningkat

sebesar 15% per tahun. Sementara pangsa pasar ritel tradisional hanya

meningkat 5%. Proyeksi FAO misalnya, pada tahun 2010, supermarket akan

menguasai lebih dari 50 persen pangsa ritel makanan di Indonesia (Mudrajat,

2008).

Yang membedakan antara pemerintah Orde Baru dan Orde Reformasi

adalah dalam hal struktur pemerintahannya, yakni antara pemerintah

sentralistik dan pemerintah desentralisasi. Dalam pemerintahan sentralistik,

segala keputusan menyangkut ekonomi politik perdagangan diputuskan di

level pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya melaksanakan

apa yang sudah diputuskan tersebut. Sedangkan pada era otonomi daerah, ada

pelimpahan wewenang kepada daerah untuk melakukan improvisasi kebijakan

secara otonom (Suyatna, 2012). Meskipun demikian, hubungan

ketergantungan antara pemerintah daerah kepada pemerintah pusat tetap

sangat besar. Desentralisasi keuangan dan fiskal misalnya, tidak mampu

mendorong pemerintah daerah untuk secara otonom membangun sistem pasar

sesuai yang diinginkan daerah.

Fenomena menjamurnya pusat perbelanjaan, supermarket, yang

memarjinalisasi pasar tradisional ternyata juga dialami oleh negara-negara

lain di Asia seperti Thailand, Philiphina, India, Vietnam, China, Bangladesh,

Jepang, dan lain-lain. Seorang antropolog asal Jerman, Kirsten W. Endres

misalnya, menyatakan bahwa dalam dua dekade terakhir ini, pasar

(marketplace) sebagai tempat berlangsungnya pertukaran ekonomi, sosial, dan

budaya, makin menarik bagi para antropolog ekonomi untuk memperbaharui

minat mereka1. Dalam studinya di Vietnam, ia mengungkapkan bahwa:

“runtuhnya komunisme telah melepaskan gelombang pasang bagi pedagang

1 Kirsten W. Endres, “Traders, Markets, and the State in Vietnam: Anthropological

Perspectives”, ASEAS – Austrian Journal of South-East AAsian Studies, 6(2), 356-365.

8

antar-jemput lintas batas skala kecil dan memberikan kontribusi terhadap

menjamurnya pasar pasca-sosialis (bazaar) yang telah sejak (lama) mengalami

berbagai bentuk regulasi negara. Kebijakan baru sejak tahun 2000 dikeluarkan

di bidang perencanaan jaringan distribusi, peraturan tentang pasar-publik,

privatisasi dalam pembangunan kontruksi pasar untuk memperbaharui atau

merenovasi pasar lama. Di ibukota Hanoi, sejumlah pasar ritel publik

dihancurkan dan membangun kembali menjadi pusat perdagangan yang

dilakukan oleh kontraktor swasta. Akibatnya, banyak pedagang pasar skala

kecil, setelah bertahun-tahun berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

di pasar sementara menunggu relokasi. Dan kini mereka menghadapi

konsekuensi dari tarif bulanan yang lebih tinggi, kondisi spasial yang tidak

cocok, dan hilangnya pelanggan.

Hal yang sama juga dialami banyak negara lain di Asia. Di China dan

India misalnya, oleh para kritikus menyatakan bahwa jaringan supermarket

menggunakan isu “ketahanan pangan” sebagai kedok untuk menyingkirkan

fresh market lokal. Demikian pula di Filipina, undang-undang dan peraturan

didorong untuk memprivatisasi pasar tradisional dengan kedok melakukan

pembangunan atau revitalisasi pasar. Pendek kata, privatisasi telah mendorong

banyak pemasok kecil tidak bisa masuk pasar sehingga membatasi akses

mereka terhadap konsumen (Grain, 2014)

Isu-isu lain tentang pasar yang sering mengemuka di Indonesia dan

juga di berbagai negara tersebut adalah ketidakpuasan dan penolakan

pedagang yang menyertai upaya-upaya pembangunan atau pemugaran

bangunan pasar oleh pemerintah. Banyak program revitalitasi pasar yang

berakhir dengan penolakan pedagang untuk menempati pasar baru, yang

notabene tidak lagi kumuh seperti sebelumnya. Di Klaten, Jawa Tengah, ada

pasar yang sudah dibangun kembali, tetapi pedagang tidak mau menempati

dan lebih memilih di tempat relokasi. Bahkan seringkali para pedagang sejak

awal merasa takut dan menolak pasarnya hendak di-revitalisasi. Seolah “niat

9

baik” pemerintah tidak direspon positif, tetapi sebaliknya justru ditanggapi

dengan sikap menolak. Namun biasanya dalam banyak kasus, rencana tetap

dilaksanakan pemerintah dan bangunan pasar harus dipugar sesuai rencana.

Sikap protes dan menolak dari pedagangpun akhirnya sirna. Pasar barupun

kembali beroperasi dan ramai meskipun “lebih banyak pedagangnya

dibanding pembeli”.

Dapat disimpulkan bahwa penetrasi supermarket dan minimarket,

tidak hanya berkaitan dengan isu hubungan pertukaran ekonomi antara

penawaran dan permintaan barang dan jasa dalam masyarakat. Pasar-pasar

dalam kasus di atas juga dipengaruhi oleh pola relasi dengan struktur dan

supra struktur ekonomi politik yang di dalamnya terdapat kekuatan yang

mampu mempengaruhi berjalannya pasar. Pasar dalam hal ini tidak bersifat

otonom sebagaimana dipikirkan pada awal terbentuknya. Perkembangan pasar

tradisional dari masa ke masa nampak selalu berada pada posisi yang

tersubordinasi oleh kepentingan-kepentingan dari lingkungan eksternal. Selain

itu, tidak ada atau belum ada suatu “model” pengembangan pasar (tradisional)

yang dapat dijadikan acuan selain model pasar modern yang bersifat

kapitalistik. Revitalisasi pasar yang banyak dilaksanakan selama beberapa

tahun akhir-akhir ini dapat dimaknai sebagai privatisasi pembangunan

konstruksi pasar.

Model pengembangan pasar tradisional senantiasa menjadi subordinasi

dalam setiap kebijakan sektoral lainnya. Pengembangan pasar selalu dikaitkan

dengan tema di luar “kepentingan” pengembangan pangsa pasar itu sendiri,

seperti program pengembangan “pasar sehat/higienis” oleh kementerian

kesehatan, “pasar wisata” oleh kementerian pariwisata, “pasar desa” oleh

kementerian dalam negeri, dan lain-lain. Demikian pula kepentingan birokrasi

pemerintah kabupaten pada era otonomi daerah yang “mengambilalih”

pengelolaan pasar yang semula dikelola oleh komunitas atau oleh pemerintah

desa, menempatkan pelaku pasar tradisional dalam kerangka subordinasi dari

10

kepentingan di luar pasar, serta tidak berkaitan langsung dengan kondisi dan

permasalahan struktur perdagangan atau kelembagaan pasar. Dalam pada itu,

permasalahan mendasar seperti adanya dominasi dan ketergantungan pada

oligopsonis pasar yang memperlemah pemasok pasar tradisional dan

pedagang kecil, dominasi ketergantungan pada produk pabrikan, dominasi

pemerintah dan kekuatan di luar pasar tradisional yang melemahkan aspek

pengelolaan pasar, informasi asimetris yang berlangsung di pasar, dan lain-

lain, tidak pernah menjadi bahan permasalahan dalam kajian tentang pasar

tradisional (PUSTEK, 2013).

Isu menarik lain menyangkut pasar adalah ketika pasar dijadikan

“obyek” bagi kepentingan politik pada saat menjelang pemilihan umum. Di

masa kampanye, banyak calon pemimpin berbondong mendatangi pasar-

pasar. Mereka ingin memberi kesan kepada pemilih bahwa mereka dekat

dengan rakyat kecil yang ada di pasar. Di pasar-pasar mereka memang dapat

menemui banyak pedagang kecil atau pelaku ekonomi rakyat, yang sangat

dibutuhkan kala ada pemilu lima tahunan. Seiring dengan itu, ada pula

motivasi para calon pemimpin yang pergi ke pasar-pasar, yakni agar ia

dikenal atau dikesankan “dekat dengan pasar” (market friendly). Yang

terakhir ini tentu berbeda makna simboliknya secara politis.

Kabupaten Bantul adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang saat

ini tengah mengembangkan pasar-pasar tradisional di wilayahnya. Yang

menarik dari Bantul adalah ketika Bupati menyatakan penolakannya terhadap

pendirian mall, supermarket, atau pusat perbelanjaan. Di tengah kebijakan

pusat yang cenderung mengucapkan selamat datang kepada perkembangan

pusat-pusat perbelanjaan dan toko modern yang menjamur melalui ritel

modern berjejaring, statement Bupati tersebut cenderung “melawan arus” dan

kerenanya tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Namun banyak yang

melihat ini sebagai strategi atau cara untuk mencari popularitas dan dukungan

secara politik. Di lain pihak, sikap menolak pendirian mall dan supermarket,

11

tidak diiringi juga dengan penolakan terhadap menjamurnya toko-toko ritel

modern berjejaring. Menurutnya, “membatasi keberadaan pasar modern bukan

berarti mematikan pasar modern, namun, keberadaan mereka ditekan hingga

titik tertentu. Minimarket di Bantul dibatasi hanya sampai 87 buah (Kompas,

18/6/09). Meskipun dibatasi, tampaknya Bantul tetap tidak mampu

membendung, karena jika dibandingkan dengan kabupaten/kota di DIY,

angka minimarket/waralaba di Bantul adalah yang paling besar ketimbang

kabupaten.kota di DIY. Demikian, kepentingan pemimpin local dan penetrasi

pasar modern, menjadi hal yang menarik untuk dijadikan bahan dalam

penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

Pasar dalam negeri dari masa ke masa selalu menjadi obyek bagi

kepentingan di luar pasar dan atau menempatkan dalam subordinat

kepentingan ekonomi politik dari luar pasar. Fenomena tersebut juga nampak

makin mengemuka pada dasawarsa terakhir ini. Diawali oleh krisis ekonomi

1998 dan memunculkan gerakan reformasi serta terjadi pergantian rezim

penguasa yang mengubah orientasi dalam kebijakan ekonomi menyangkut

pasar. Perubahan itu ditandai dengan pencabutan pembatasan kepemilikan

asing melalui Keputusan Presiden No. 118 tahun 2000, tentang Bidang Usaha

Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu

Bagi Penanaman Modal.

Kebijakan itu dikenal dengan pencabutan Daftar Negatif Investasi

(DNI) sektor perdagangan ritel, yang semula dicadangkan bagi pemain dalam

negeri. Pada awalnya ritel internasional melakukan penetrasi di perkotaan,

namun dalam perkembangannya peritail besar itu masuk juga ke wilayah

perdesaan melalui pendirian minimarket-minimarket. Bahkan jaring-jaring

kecil juga mereka tebar melalui midi dan sales motorcycle. Kedua, pada arena

12

kebijakan, peran negara yang menyusut di satu pihak, justru menguatkan

peran mekanisme pasar dalam pengambilan kebijakan. Kepentingan rakyat

pada kondisi ini berada pada subordinasi kepentingan elit pengusaha atau elit

pemerintah. Fenomena elit politik yang pada era ini lebih banyak berasal dari

latar belakang pengusaha, menjadi salah satu indikasi adanya dominasi

kepentingan swasta dalam arena kebijakan. Beberapa permasalahan

menyangkut “APBD Pro rakyat” menjadi banyak dipertanyakan. Dalam kasus

di pasar-pasar, muncul pula isu “mafia pasar”, dalam hubungannya dengan

banyaknya proyek APBN dan APBD untuk proyek revitalisasi pasar

tradisional. Kalau dipertanyakan siapa yang paling mendapat untung dari

adanya proyek revitalisasi, maka muncul jawaban sarkastik, “yang paling

diuntungkan adalah perusahaan kontraktornya”.

Ketiga, pada arena institusi pembentukan harga di pasar, dominasi

perdagangan skala besar juga makin mendorong munculnya oligarki di pasar-

pasar. Arena pasar yang semula berfungsi sebagai saluran atau etalase bagi

ribuan atau jutaan produsen skala kecil, kini tidak lagi. Jika para era

sebelumnya institusi negara banyak ikut campurtangan dalam penentuan

harga, terutama dalam kepentingannya menjaga stabilitas harga, kini

fenomena harga menjadi makin fluktuatif dan dominannya oligarki produsen

skala besar cenderung bisa mempermainkan harga untuk mengambil

keuntungan sebesar-besarnya.

Keempat, peran organisasi sosial pedagang dalam arena pasar yang

didominasi kepentingan di luar pasar lebih banyak yang tertinggal dan

tersubordinasi dengan kepentingan luar pasar. Kepentingan asosiasi pedagang

pasar cenderung terkooptasi oleh kepentingan luar pasar, atau bahkan menjadi

pemberi legitimasi meskipun tidak menguntungkan bagi pedagang secara

kolektif. Kelemahan yang ada pada asosiasi/paguyuban justru dimanfaatkan

oleh pihak lain untuk semakin menancapkan pengaruh kepentingan ekonomi,

sosial, dan budaya dari pihak non-pedagang. Sementara koperasi pedagang

13

pasar yang selama ini lemah, karena di masa Orde Baru dimanfaatkan untuk

kepentingan politik penguasa, saat ini secara organisasi juga sangat lemah,

tidak mampu mengemban misi awalnya, di antaranya member solusi atas

permasalahan rentenir yang menjerat pedagang. Pendidikan anggota koperasi

juga tidak berkembang dalam meningkatkan sumber daya pedagang.

Kelima, last but not least, masalah penguasaan ilmu pengetahuan dan

inovasi-inovasi teknologi para pedagang yang lamban, sementara tempat

memproduksi ilmu pengetahuan dan keahlian bisnis ada di lingkungan

terdekat pasar. Sebagai contoh simboliknya adalah koperasi “Rukun Agawe

Santoso” di pasar Kranggan, yang berlokasi di tengah pusat peradaban dan

kota pendidikan. Koperasi yang berdiri sejak lebih dari 15 tahun lalu, kini

melayani simpan pinjam untuk 600 anggota dengan besaran pinjaman 1-3

juta. Koppas yang sehari-hari dikelola oleh 2 orang pengurus tersebut, masih

menggunakan pencatatan manual ala tata buku klasik. Ketua pengurusnya

tidak mengalami perubahan sejak berdirinya. Sementara kantor koperasi

dengan ruang sempit berada di bawah tangga di depan pasar, seolah

menggambarkan posisinya yang selalu terinjak oleh kepentingan lalu-lalang

orang atau lembaga dalam mencari keuntungan di pasar.

Berangkat dari kondisi-kondisi dan permasalahan di atas, penelitian ini

berupaya mengkaji permasalahan pengaruh dominasi elit ekonomi politik

dalam dinamika proses pengembangan pasar rakyat atau pasar tradisional.

1.3. Tujuan Penelitian

Studi ini dilakukan untuk mengkaji proses dan dinamika dalam

pengembangan pasar-pasar rakyat pada era desentralisasi dan otonomi daerah.

Proses dan dinamika pengembangan pasar sering memunculkan berbagai

pertentangan dan perbedaan kepentingan antara pengambil kebijakan maupun

mereka yang terkena dampak dari kebijakan itu. Salah satu kebijakan penting

14

yang diangkat dalam studi ini adalah “revitalisasi pasar”. Selain itu studi ini

berupaya mengungkapkan apakah kebijakan tersebut memiliki

“keberpihakan” terhadap upaya untuk benar-benar mengangkat kepentingan

sosial ekonomi para pedagang kecil, ataukah sebaliknya hanya sekedar

mengikuti arus kecenderungan di lingkungan nasional dan global berikut

kepentingan-kepentingannya.

Lokasi penelitian ini dilakukan di kabupaten Bantul, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Adapun pasar tradisional yang dipilih dalam penelitian ini adalah

pasar Imogiri. Ada beberapa hal menarik tentang kabupaten Bantul dan pasar

Imogiri terkait fenomena menjamurnya pasar modern di Indonesia. Pertama,

melalui Bupati, pemerintah kabupaten Bantul menyatakan menolak daerahnya

didirikan Mall, Supermarket atau Hypermarket. Namun demikian, daerahnya

tidak anti terhadap investor, bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal, “saya

bersedia “ngelapi” membersihkan sepatunya, bagi investor yang masuk ke

Bantul”. Kedua, Bantul juga dikenal dengan daerahnya sentra-sentra pertanian

rakyat dan industri kecil. Pertanian dan perdagangan menyerap lebih dari

separo tenaga kerja di wilayah itu. Oleh karenanya secara politik dan sosial

budaya, kondisi tersebut sangat penting sebagai basis bagi kepemimpin

daerah. Kontradiksi antara kepentingan pasar modern dan pasar tradisional

dapat menjadi dilemma bagi para pemimpin dalam meraih dukungan. Ketiga,

keberhasilan gerakan pedagang pasar Imogiri dalam “menolak” kehadiran

pasar modern di dekat lokasi pasar. Melalui pendekatannya kepada

pamerintah kabupaten Bantul, toko modern yang semula telah berdiri di depan

pasar pada akhirnya ditutup atas desakan pedagang pasar.

Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kondisi usaha, permasalahan pedagang, dan peluang

pengembangan pada era kebijakan libaralisasi pasar ritel

15

2. Mengkaji dan menggambarkan berbagai regulasi yang ada terkait

penataan dan pembinaan pasar di lingkup nasional dan daerah

3. Menggambarkan kedudukan pedagang, asosiasi pedagang, dan

dinamika implementasi kebijakan penataan dan pembinaan dalam

upaya pengembangan pasar tradisional

1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Peran Negara di Pasar dari Masa ke Masa

Dalam studi sejarah peradaban, pasar-pasar secara historis-sosiologis

tumbuh “dengan sendirinya” seiring dengan perkembangan sosial ekonomi

masyarakat. Kehadiran pasar dimulai ketika individu atau keluarga

berkembang dari kondisi awal subsistensi, menuju pada kondisi sudah tidak

lagi berdiri sendiri meskipun masih bisa tetap mandiri. Individu atau keluarga

mulai berhubungan dengan pasar baik untuk menjual hasil produksinya

maupun untuk membeli berbagai sarana produksi yang dibutuhkan. Dalam

situasi itu, pasar menjadi tempat bertemunya antara penjual dan pembeli

setelah masyarakat mulai berkembang. Pasar berkembang secara alamiah

dalam masyarakat manapun tanpa aturan negara atau pemerintah. Pendek

kata, pasar dalam pengertian asli, ada dan berkembang karena kebutuhan

ribuan individu atau perorangan yang semuanya dapat dikatakan berbeda,

tidak ada yang persis sama atau serupa (Mubyarto, 2000:118).

Hingga kini keadaan pasar masih menunjukkan ciri dan karakteristik

awalnya antara lain melalui penyebutan nama-nama pasaran (di Jawa), Pon,

Wage, Kliwon, Legi, Pahing. Di Kalimantan, “pasar apung” juga masih dapat

kita lihat di beberapa tempat di hilir sungai-sungai di sekitar perkampungan

penduduk. Di Sumatera, kota Bukittinggi berkembang sebelum era kolonial

bermula dari sebuah pasar. Selain itu, pasar tradisional juga dapat dikenali

dari barang-barang yang dipasarkan, yang pada umumnya adalah hasil

16

pertanian dan industri kecil yang diproduksi di lingkungan sekitar pasar yang

bersangkutan. Pasar tumbuh sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi

masyarakat, bukan dibentuk by-design. Jika di awal mereka tidak terorganisir,

namun seiring dengan perkembangan waktu dan jumlah peserta yang

bergabung, mau tidak mau harus menjalankan semacam norma dan aturan

yang terbentuk dan melembaga. Didukung oleh perkembangan sistem sosial

budaya yang ada atau terbentuk di wilayah tersebut, termasuk masuknya

sistem budaya lain karena adanya perkembangan sistem pertukaran dengan

“orang luar”, akhirnya menghasilkan bentuk komunitas pasar yang “unik”.

Pasar merupakan wilayah “publik”, sehingga berbagai aturan diputuskan ala

pasar berdasarkan dialektika yang berkembang sepanjang waktu. “Jasa” yang

ditawarkan pemerintah setempat kepada pasar biasanya mencakup tanah,

pengelolaan bangunan, air, penerangan, sampah, dan lain-lain.

Di era setelah terbentuknya “negara”, birokrasi pemerintahan

tradisional (kerajaan) dan modern mulai terlibat langsung atau tidak langsung

dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pasar. Di mulai dari pemerintah

dusun/desa, karena kewenangannya untuk membentuk ketertiban, campur

tangan mereka makin lama makin besar. Mereka menetapkan “peraturan” dan

menarik “pajak/retribusi”, serta mengupayakan agar pasar komunitas berjalan

dengan tertib sesuai peraturan dan norma-norma yang ada di desa. Di desa,

pasar biasanya menempati tanah bersama (the common) atau tanah “kas desa”,

yang berarti “milik” seluruh rakyat, atau setidaknya, keputusan menyangkut

tanah desa diputuskan melalui mekanisme demokrasi yang berkembang di

desa, bukan atas kepentingan pribadi-pribadi atau privat. Pada awalnya

pemerintah setingkat desa berupaya menfasilitasi pasar dengan menyediakan

tanah desa termasuk beberapa fasilitas yang mendukung terselenggaranya

pasar. Untuk “jasa”nya itu pemerintah memungut iuran dan uang jasa, agar

penyelenggaraan pasar dapat berlangsung dengan kontinue, tertib, dan aman.

17

Infrastruktur juga disediakan seperti air, tempat sampah, dan keamanan, kalau

perlu pemerintah menugasi jajarannya dengan gaji/upah tertentu.

Pada era itu pula, dikenal juga pasar khusus atau pasar rojokoyo, yang

dikelola oleh desa untuk tempat berdagang hewan-hewan atau ternak. Ada

pula pasar ikan di daerah-daerah pesisir. Dalam perkembangannya, birokrasi

pemerintah kabupaten, yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih

besar, juga berkepentingan agar pasar juga semakin berkembang. Terutama

pada era otonomi daerah, pemerintah kabupaten berlomba untuk dapat

meningkatkan “pundi-pundi” kas daerahnya. Dalam banyak kasus, perbedaan

kepentingan antar pemerintahan desa dan pemerintahan di atas desa, sering

juga menimbulkan persoalan tarik-menarik kepentingan di antara keduanya.

Demikian pula pada era globalisasi sekarang ini, perbedaan kepentingan

antara pedagang dan birokrasi pemerintahan yang secara normatif bertugas

menjaga eksistensi pasar, seringkali berujung kepada pola hubungan yang

kurang harmonis. Kepentingan pedagang pasar dalam mengembangkan usaha

dagangnya untuk kesejahteraan keluarga mereka, seringkali berbenturan

dengan kepentingan pengelola dan penguasa atas nama negara di pasar-pasar

tradisional.

Dalam sistem dimana negara yang berperan sangat dominan, segala

sesuatu direncanakan secara terpusat seperti Vietnam atau Uni Soviet sebelum

“bubar” misalnya, sistem pasar juga tetap berkembang. Yang “direncanakan

dan diatur” secara terpusat oleh negara sebenarnya (atau seharusnya secara

teoritis) terbatas pada besaran-besaran perencanaan indikatif makro

(indicative planning) khususnya investasi yang menyangkut kepentingan

masyarakat banyak. Perubahan sosial yang masif pada abad 20, telah

membawa transformasi yang tidak diharapkan. Sistem komunis menghentikan

perencanaan sentral bagi ekonomi mereka dan mencoba mengembangkan

sistem pasar. China membebaskan petaninya untuk memproduksi dan menjual

untuk keuntungan (sell for profit) ketimbang menjalankan instruksi dari

18

negara. Selain itu, China maupun Soviet juga membebaskan industri mereka

dari “belenggu” sistem target yang ditetapkan negara (Lindblom, 2001:1).

Jauh-jauh hari lebih awal, negara-negara demokrasi di Eropa Barat,

kaum sosialisnya telah meninggalkan permusuhan ideologis tradisional

mereka dengan sistem pasar. Bahkan sebaliknya, kaum sosialis di Perancis,

Italia, dan Inggris, menganjurkan sistem pasar jenis baru, perusahaan negara

bercorak swasta. Tapi sebagaimana dinyatakan Lindblom, kondisi ini tidak

lama, mereka mulai kembali lagi akrab dengan perusahaan swasta kapitalis,

sementara aspirasi sosialis mereka difokuskan pada program redistribusi dan

sosial melalui welfare state. Demikian pula Partai Buruh di Inggris akhir-

akhir ini, mereka tidak banyak bicara tentang perusahaan negara tetapi dengan

“jalan ketiga”, suatu istilah/cara yang tidak jelas tetapi dalam banyak kasus

memalukan sistem pasar (Lindblom, 2001).

Gambaran yang terlalu eropasentris di atas tentu problematis jika

harus dipakai untuk menjelaskan apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.

Setelah Indonesia merdeka di masa Orde Lama, pola negara memang tampak

seperti mendominasi sistem pasar, sehingga segala upaya dilakukan untuk

menciptakan iklim agar sistem pasar yang berkembang di negara bekas

jajahan ini sesuai dengan arah yang dirancang secara makro dengan target-

target tertentu. Berbagai kebijakan dan program menyangkut sistem pasar di

Indonesia diarahkan secara “terpimpin”, perusahaan negara dirancang agar

berperan tidak hanya berfungsi sebagai perusahaan dengan manajemen ala

pasar, tetapi juga diharapkan dapat berperan sesuai rancangan makro tertentu

berdampak pada perbaikan sistem dengan indikatif terukur.

Banyak studi yang dilakukan untuk menjelaskan tentang implikasi

surutnya peran negara dalam sistem “pasar tradisional”, khususnya yang

terjadi pada satu dasawarsa terakhir. Seperti yang dilakukan Endres dan

beberapa antropolog dari Jerman, menyatakan bahwa berbagai perubahan

terjadi di pasar-pasar tradisional (marketplace), tempat terjadinya pertukaran

19

ekonomi, sosial, dan budaya, telah menarik kembali perhatian para ahli

antropolog ekonomi untuk melakukan penelitian dan investigasi. Dimulai

dengan terjadinya “krisis-krisis ekonomi” di berbagai belahan bumi, di

negara-negara maju maupun berkembang, yang seolah “memaksa”

pemerintahan-pemerintahan dan masyarakat untuk menyesuaikan diri dan

melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam regulasi menyangkut pasar-pasar

di negaranya masing-masing. Di negara-negara komunis, muncul fenomena

menjamurnya pasar “post-sosialis” yang sejak lama mengalami berbagai

bentuk regulasi negara. Di tempat lain, ada juga pasar tradisional (traditional

marketplace), yang dipromosikan untuk memuaskan turis-turis dari Barat

untuk menjelajahi pengalaman di pasar yang otentik (Endres, 2013: 356).

Bahkan di tempat lain dengan konteks yang berbeda, banyak negara –

termasuk Indonesia, yang seolah ingin mengganti dengan supermarket

modern atau shopping malls, atau ada pula mengganti sebutan “pasar

tradisional” dengan “pasar semi-modern”. Sebaliknya, ada yang berbeda

tentang apa yang terjadi di negara-negara post-sosialis dan negara-negara di

Asia, para perencana di Barat justru sekarang ini punya minat dan perhatian

besar pada upaya untuk mendorong pengembangan pasar-pasar komunitas,

meningkatkan atau memperluas kehidupan publik, dan meningkatkan

hubungan masyarakat (Endres, 2013).

Apabila penelusuran tentang pasar tradisional ditarik ke belakang,

beberapa penjelasan dapat ditarik dari perjalanan sejarah perkembangan

negara. Beberapa studi menyangkut sejarah pasar misalnya dimulai dari

terbentuknya negara kerajaan feodal maupun negara modern, dimana pasar

mengalami pelembagaan dengan corak tertentu dan perkembangan sesuai

dengan kondisi lingkungan negara yang terbentuk pada masa itu. Dalam

periode itu, pasar bisa dianggap sebagai bukan lahir alamiah, tapi bisa pula

dibentuk by design, atau merupakan gabungan antara kepentingan negara dan

kepentingan pasar “lokal”. Pengaturan tata-kota juga menempatkan bangunan

20

pasar pada tempat yang khusus, dilengkapi fasilitas-fasilitas pendukung,

termasuk mempertimbangkan arus transportasi, dan lain sebagainya. Interaksi

di pasar mulai “diatur” atau dirancang sedemikian rupa oleh otoritas untuk

menjaga ketertiban seperti melalui penciptaan administrasi pemerintahan

urusan pasar hingga mengangkat lurah pasar sebagai kepanjangan tangan dari

penguasa yang memegang otoritas ekonomi, politik, dan sosial budaya di

wilayah tertentu.

Pada era abad 19, kondisi di pasar-pasar dapat digambarkan sebagai

arena pertarungan kepentingan politik ekonomi para penguasa kolonial

maupun kerajaan. Namun jika dilihat mana yang lebih berpengaruh dari

kepentingan penguasa kolonial atau lokal, maka kepentingan elit lokal lebih

menonjol. Hal ini dapat dilihat dari interaksi penguasa lokal dengan pelaku di

pasar-pasar, mulai dari penyelenggaraan pasar, rekrutmen pengurus pasar, dan

kebijakan yang ada di pasar. Pada masa itu, kepentingan kolonial masih lebih

banyak fokus kepada komoditas-komoditas industri perkebunan melalui

pembuatan kontrak-kontrak dengan penguasa, yang tidak secara langsung

berhubungan dengan pasar-pasar lokal. Pendek kata, pasar-pasar tradisional

masih menjadi “domain” para penguasa lokal, dan dari tangan-tangan

penguasa inilah yang mewarnai bentuk dan corak perkembangan pasar-pasar.

Pada era kolonial di pulau jawa misalnya, gambaran tentang pola dan

perkembangan pasar menunjukkan konstruksi konfigurasi politik penguasa

kerajaan pada waktu itu. Kerajaan-kerajaan seperti Kasultanan Yogyakarta,

misalnya, memiliki struktur organisasi dan pejabat ditugasi untuk mengelola

pasar-pasar yang ada di Kasultanan Yogyakarta. Demikian pula Kasunanan

Surakarta maupun Mangkunegaran. Organ ini membentuk semacam “badan

usaha” dikepalai oleh pejabat/manajer atau otoritas yang menyediakan

layanan penyelenggaraan pasar. Seiring dengan berjalannya politik etis oleh

Belanda, maka dilakukan upaya pembaharuan di lingkungan kerajaan di

Mangkunegaran dengan membentuk dinas-dinas, di antaranya adalah

21

pemberian wewenang kepengurusan semua pasar oleh Praja Mangkunegaran

dengan membentuk Kabupaten Parimpuna (Marktwezen) pada tahun 1917.

Dinas ini dipimpin oleh seorang Kliwon Inspektur yang membawahi para

kepala pasar di wilayah Mangkunegaran (Wasino:2012,39). Demikian pula di

Yogyakarta, pemegang tampuk kendali pasar-pasar di wilayah kekuasaan

dipegang oleh anak dari RM Putro yang memperoleh gelar Gusti Pangeran

Swargi. Ia memiliki dua putra Pangeran Pakuningrat dan Pangeran

Cakraningrat. Pangeran Cakraningrat kelak menjadi kepala urusan pasar di

Kesultanan Yogyakarta (Sesana: 2010).

Pada waktu itu Sultan-sultan di Jawa menjalin hubungan dengan

orang-orang Belanda yang tergabung dalam Persekutuan Dagang Hindia

Timur (Vereenigde Oost Indixche Compagni disingkat VOC) melalui kontrak-

kontrak dagang dan politik yang berakibat pada terhegemoninya sultan-sultan

di Jawa oleh kekuasaan asing. Jika sebelum abad ke XIX pola hubungan

hanya terbatas pada kerajaan, namun setelah itu seiring dengan pengaruh dan

perembesan kebudayaan sampai ke tingkat kabupaten dan desa.

“Modernisasi” yang dilakukan melalui sistem pemerintahan, ekonomi, tatanan

sosial, dan budaya, ikut pula mengubah tatanan masyarakat Jawa hingga ke

tingkat desa (Burger, 1983, Boeke,1953, dalam Wasino, 2012, 26-27), yang

pada masa itu sedikit banyak masih dalam kerangka kepanjangan tangan

penguasa kerajaan. Pada era itu, desa-desa juga menyelenggarakan “badan

usaha” pasar di atas tanah milik, diangkat seorang juru tulis untuk melakukan

pencatatan dan penarikan uang jasa fasilitas yang kelak dinamai retribusi.

Di wilayah-wilayah yang tergolong pelosok perdesaan, pasar

umumnya dikelola atau dikendalikan oleh pemegang kekuasaan di wilayah itu

yaitu Bupati, Wedana, hingga sampai kepala desa atau lurah. Karena berada di

wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan, pasar-pasarnya lebih kecil

ketimbang yang ada di pusat pemerintahan (perkotaan), namun jumlahnya

jauh lebih banyak. Meskipun demikian, ada pula pasar-pasar di wilayah yang

22

jauh dari pusat pemerintahan, namun pasarnya lebih ramai. Ini terjadi karena

lokasi yang relatif strategis yang antara lain ditunjang oleh infrastruktur jalan

raya atau jalan kereta api, sebagaimana digambarkan Alice Dewey di pasar

Mojokuto, Jawa Timur. Sayangnya Dewey tidak mencoba menjelaskan pola

relasi antara penguasa lokal dengan pasar dalam bukunya. Untuk

menyelenggarakan pasar, pemerintah desa juga membuat struktur organisasi

seperti yang ada di pusat dengan membentuk pula urusan pasar.

Penyelenggaraan pasarnya juga masih terbatas pada waktu itu, ada

kesepakatan di antara beberapa pemerintah desa yang berdekatan untuk

bersepakat menggunakan hari pasaran tertentu. Di lingkungan yang

penduduknya lebih padat, hari pasaran memang tidak terlalu diperhitungkan,

pasar tetap hidup setiap hari, namun pada hari-hari tertentu tetap jauh lebih

ramai ketimbang biasanya. Pengaturan pada era itu, misalnya pasar

ditempatkan dalam setting kekuasaan kerajaan yang sisa-sisa bangunan dan

strukturnya masih dapat dilihat pada masa sekarang. Bentuk pasar pada

akhirnya juga dibentuk secara berjenjang, mulai pasar di pusat kerajaan atau

pemerintahan, umumnya lebih besar ketimbang yang ada di daerah atau

wilayah kekuasaan yang masuk dalam wilayah kekuasaannya.

Pada era pasca kemerdekaan, pasar-pasar mulai berangsur-angsur

ditata setelah terbantuknya pemerintah Republik Indonesia serta membentuk

peraturan/undang-undang pemerintah daerah, yang di dalamnya mencakup

juga tentang desa. Istilah-istilah seperti kota-kecil, nagari, dan lain-lain masih

dipakai dalam penjelasan, namun yang pasti sistem pemerintahan dibentuk ke

dalam tiga kategori/tingkatan, yakni: provinsi, kabupaten/kota, dan

desa/nagari/marga. Kewenangan untuk mengelola pasar-pasar juga mengalami

perubahan di sana sini sesuai dengan kondisi obyektif yang ada di daerah-

daerah. Sedangkan pemerintahan desa sebelum kemerdekaan sebenarnya

sudah memiliki semacam otonomi dalam mengelola pasar-pasar desa, pada

akhirnya juga menyesuaikan peraturan itu. Menurut catatan Sutardjo

23

Kartohadikoesoemo dalam buku berjudul Desa yang terbit tahun 1967, pasar

desa merupakan perusahaan desa yang terpenting, selain lumbung desa, bank

desa. Hanya lumbung desa dan bank desa tidak ditempatkan secara langsung

dibawah kekuasaan pemerintah desa, tetapi pada saat tertentu mendapatkan

bagian dari hasil perusahaan itu. Sedangkan pasar desa, menurut gubernur

pertama Jawa Barat tersebut, dikelola langsung oleh pemerintah desa, baik

pengelolaan maupun administrasi keuangannya menjadi satu bagian dalam

anggaran desa yang dipertanggungjawabkan setiap tahun dalam sidang

“dewan desa” (Kartohadikoesoemo, 1967).

Kondisi era Orde Baru, diwarnai oleh era dimana kepentingan

ekonomi politik didorong untuk menempatkan negara sebagai berperan

penting dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam pengelolaan pasar-

pasar tradisional. Legitimasi pemerintah dibangun pada kesuksesannya

mengelola negara yang diharapkan dapat mendorong ke arah

“kemajuan/pembangunan”. Kebijakan ekonomi politik pun dibangun secara

sentralistik. Penguasa dengan latar belakang militer, yang bercirikan

sentralistik dicoba untuk diterapkan dalam berbagai kehidupan

kemasyarakatan. Kebijakan-kebijakan pembangunan di era pemerintahan

sentralistik ini pada gilirannya membentuk kebijakan yang lebih berorientasi

top down, uniformitas dan mengurangi partipasi masyarakat. Pemerintah pusat

cenderung tidak memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk

menginisiasi kebijakan-kebijakan pembangunan sendiri karena inisiatif selalu

berasal dari pemerintah pusat. Sistem pemerintahan dengan model komando

terlihat dominan di era pemerintahan Orde Baru. Hal ini menyebabkan

pemerintah daerah akhirnya lebih banyak sekedar menjalankan kebijakan-

kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat

(Hempri, 2013). Kebijakan-kebijakan menyangkut pasar tradisional yang

muncul pada waktu itu juga lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat.

24

Pada era 1970an, pengembangan pasar-pasar oleh pemerintah antara

lain dilakukan dengan mekanisme INPRES, yang setiap tahunnya rata-rata

dikucurkan bantuan dana untuk merehabilitasi atau membangun pasar-pasar di

seluruh penjuru wilayah Indonesia. INPRES-nya berbunyi “Bantuan Kredit

Pembangunan dan Pemugaran Pasar”, bertujuan untuk menyediakan tempat

berjualan yang wajar dan terjangkau oleh para pedagang golongan

ekonomi lemah. Tahun 1976/77 bagi setiap Pemerintah Daerah Tingkat II

telah disediakan kredit tanpa bunga melalui Inpres Pembangunan dan Pe-

mugaran Pasar. Selain itu, sejak tahun 1979 disediakan kredit melalui Inpres

Pertokoan bagi Pemerintah Daerah Tingkat II yang akan membangun

dan atau memugar pusat pertokoan/perbelanjaan/perdagangan.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dalam Repelita III terus dilanjutkan

sedang pelaksanaannya dalam tahun 1983/84 semakin dimantapkan

(BAPPENAS).

Dalam rangka meningkatkan akses pasar dan pangsa pasar usaha

kecil dan menengah dilakukan kegiatan promosi/pameran hasil produksi

usaha kecil baik di dalam maupun di luar negeri, penyebarluasan informasi

pasar, pendidikan dan pelatihan ekspor, peningkatan efektivitas

pelaksanaan kebijaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah

(Keppres No. 16 Tahun 1994 jo Keppres No. 24 Tahun 1995) dan

kebijaksanaan pencadangan bidang usaha melalui daftar negatif investasi

(DNI).

Pada era pasca reformasi, kebijakan negara menyangkut pasar

tradisional ditandai dengan liberalisasi sebagaimana disinggung dimuka.

Meskipun belakangan muncul peraturan yang mengatur keberadaan toko-toko

modern, namun kemunculannya terkesan setelah berbagai dampak dari

kebijakan sebelumnya setelah menuai banyak protes dan penolakan.

Kebijakan yang “reaktif” itu misalnya Peraturan Presiden No 112 tahun 2007

dan Permendag No 53 tahun 2008, pada akhirnya menjadi rujukan yang

25

dipakai oleh semua pihak termasuk pemerintah daerah dalam menyikapi

terhadap perkembangan yang terjadi menyangkut pasar tradisional. Selain itu,

pemerintah Indonesia juga menyusun program-program “pemberdayaan”

untuk meningkatkan kekuatan pasar tradisional dalam persaingan. Setidaknya

ada 9 kementerian yang memiliki proyek dengan biaya APBN untuk

pengembangan pasar yang disesuaikan dengan sudutpandang kementerian

masing-masing. Kementerian Perdagangan memiliki Program “Revitalisasi

Pasar”, Kementerian Dalam Negeri memiliki program “Pengelolaan

Profesional Pasar Tradisional”, Kementerian Kesehatan dengan Program

“Pasar Sehat”; Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki Program

“Pasar Ikan Higienis”, Kementerian Budaya dan Pariwisata memiliki Program

“Pasar Wisata”, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki Program “Pasar

Berseri Ramah Lingkungan”, Kementerian UKM dan Koperasi memiliki

program “Revitalisasi pasar Koppas”, Kementerian Pertanian memiliki

program “Pasar Ternak”, dan Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal

punya program “Pasar Desa” (Litbang PU, 2012). Meskipun demikian,

program-program kementerian tersebut lebih banyak dikembangkan dengan

menitikberatkan kepada aspek fisik. Pedagang tetap ditempatkan dalam

subordinan, sehingga partisipasi yang diharapkan dari pedagang lebih kepada

upaya untuk “mendukung” program semata.

Selain itu sebagaimana dijelaskan di muka, kebijakan menyangkut

pasar tradisional di Indonesia mengalami perubahan penting sejak satu

dasawarsa lebih, terutama diawali oleh krisis ekonomi 1998 dan dilanjutkan

dengan munculnya gerakan reformasi. Pada saat yang sama, arah kebijakan

ekonomi politik nasional tetap menggunakan pola rejim sebelumnya, yaitu

mendasarkan kepada gagasan model pertumbuhan ekonomi melalui dorongan

investasi modal terutama dari modal luar negeri. Dimulai dengan pencabutan

pembatasan kepemilikan asing dalam penanaman modal asing melalui

Keputusan Presiden No. 118 tahun 2000, tentang Bidang Usaha Yang

26

Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi

Penanaman Modal. Di bidang perdagangan, kebijakan itu dilakukan dengan

menghapus Daftar Negatif Investasi sehingga berbondong-bondong para

pemodal internasional masuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Pada

awalnya perusahaan ritel internasional itu hanya melakukan penetrasi

pasarnya di perkotaan, melalui pendirian pusat perbelanjaan dan mall, namun

dalam perkembangannya peritail besar itu masuk juga ke wilayah perdesaan

melalui pendirian minimarket-minimarket berjejaring. Bahkan dalam

perkembangannya juga menggunakan jaringan yang lebih kecil, seperti midi

dan sales motorcycle. Implikasi dari menjamurnya pasar modern itu adalah

makin terpinggirkannya pelaku usaha ekonomi kecil yang tidak hanya di

pasar-pasar tradisional, tetapi juga toko-toko kelontong tradisional di

perkampungan.

Demikian pula bagi pemerintah daerah, selain peranan pasar-pasar

pada era otonomi daerah menjadi salah satu sumber PAD yang sangat penting,

pemerintah daerahlah yang sering “kena batunya”, karena demonstrasi atau

protes yang dilakukan oleh pedagang dan komponen lain di masyarakat sering

ditujukan kepada instansi-instansi di daerah. Bekerjasama dengan pemerintah

pusat, pemerintah daerah melakukan revitalisasi pasar-pasar yang menjadi

wilayah kewenangannya. Selama lima tahun terakhir misalnya, pemerintah

Kabupaten Bantul telah merevitalisasi pasar besar dan kecil, memperbaiki

atau membangun kembali bangunan pasar yang telah rusak dimakan usia atau

karena sebab lain. Peristiwa bencana gempa bumi di Bantul pada tahun 2006,

yang telah banyak merobohkan bangunan-bangunan pasar, oleh pemerintah

daerah diupayakan untuk dibangun kembali melalui program revitalisasi

pasar.

27

1.4.2. Teorisasi dan Model Ideal Pasar

Pada subbab terdahulu sudah dijelaskan tentang peran negara dalam

pengembangan pasar dari masa ke masa, sejak periode kolonial hingga akhir-

akhir ini. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa peran negara dari

masa ke masa mengalami transformasi, dimulai dari negara pra-

kolonial/kolonial dan periode kemerdekaan. Demikian pula pada periode

kemerdekaan, terjadi pula perubahan besar menyangkut peran negara, yang

dalam uraian di atas ditunjukkan melalui periode Orde Lama, Orde Baru, dan

Orde Reformasi. Di masing-masing periode tersebut, peran negara mengalami

pasang surut sesuai dengan gagasan besar yang diwujudkan dalam kebijakan,

termasuk dalam kebijakan yang menyangkut pasar-pasar di Indonesia. Jika

boleh dibilang bahwa konstruksi di atas sebagai wujud “makro” yang

melandasi proses-proses sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang muncul

dalam kebijakan menyangkut pasar, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana

pasar tradisional seharusnya dikembangkan dalam konteks “mikro”?

Penelitian ini tidak berupaya untuk mengembangkan model yang

seharusnya untuk pasar tradisional, karena setiap pasar memiliki karakteristik

yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sejarah, kondisi sosial

budaya masyarakat setempat. Namun demikian, untuk keperluan analisis

dalam penelitian ini tetap diperlukan model untuk melihat indikator-indikator

maupun kriteria sebagai instrumen untuk menjelaskan gambaran dan

pemahaman tentang apa yang terjadi di pasar-pasar yang menjadi bahan

dalam penelitian ini. Sekurang-kurangnya berdasarkan studi model, ada tiga

model pasar, yaitu: model “Tradisional-Modern” (TM), model “Publik-

Swasta” (PS), dan model “Pasar Mandiri”(PM).

Dalam model PS, pasar diasumsikan sebagai tempat (marketplace)

yang dapat dilihat aspek-aspek fisiknya dari berbagai aspek yaitu mulai dari

jenis barang dagangan, harga, kualitas produk, rantai pemasaran, lokasi,

konsep pasar, kepemilikan, dan lain-lain. Sedangkan pembagian pasar

28

menurut pola pengelolaannya dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni:

pasar tradisional, pasar semi-modern, dan pasar modern. Dalam model ini,

argumen yang dibangun memang cenderung mengundang kritik. Misalnya

penyebutan kata “tradisional” yang dilekatkan dan sering dilawankan dengan

“pasar modern” misalnya, sebenarnya menimbulkan pertanyaan besar tentang

relevansinya, apakah nantinya pasar tradisional akan dikembangkan menjadi

“pasar modern”, dengan pasar “semi-modern” sebagai sasaran antara.

Pendekatan ini pernah digunakan untuk merevitalisasi pasar-pasar di berbagai

daerah. Muncullah istilah-istilah pasar semi-modern untuk menunjukkan

bahwa pasar yang dibangun akan diarahkan menjadi pasar modern.

Belakangan istilah pasar tradisional mulai dihilangkan dalam regulasi

pemerintah dan diganti dengan istilah “pasar rakyat”. Bayu Krisnamurthi2

mencoba mengajak untuk mempopulerkan istilah “pasar rakyat” dan “pasar

swasta”, ketika ia berupaya untuk menjelaskan pasar atas dasar

“kepemilikan”. Pada uraiannya, ia juga mencoba untuk menegaskan bahwa

“dua-duanya” baik pasar rakyat maupun pasar swasta, boleh berkembang di

Indonesia. Menurutnya, pasar rakyat adalah pasar yang “dimiliki” secara

kolektif oleh negara/pemerintah atau komunitas atau milik publik, sedangkan

pasar swasta dimiliki oleh swasta atau individu-individu. Dengan

menggunakan definisi ini maka baik pasar rakyat maupun pasar swasta dapat

dikelola secara “modern” atau sebaliknya secara “tradisional”.

Secara terinci aspek-aspek yang digunakan dalam model PS dapat

dilihat pada table berikut :

2 Rekaman film yang menunjukkan diskusi “Sekolah Pasar” dengan Bayu Krisnamurthi (Wakil

Menteri Perdagangan Kabinet SBY) di Pasar Kranggan, Yogyakarta, 24 September 2012.

Belakangan, istilah pasar tradisional hilang dari naskah-naskah peraturan

pemerintah/kementerian perdagangan termasuk dalam Undang-Undang Perdagangan yang

terbit tahun 2014.

29

Tabel 1.1 Model Pasar Tradisional-SemiModern-Modern

Aspek Pasar tradisional Pasar Semi-Modern Pasar modern

Jenis barang

dagangan

Variatif namun sortasi,

grading dan

spesialisasi rendah

Variatif, sudah akukan

sortasi, grading dan

spesialisasi

Variatif dan sudah

sortasi, grading dan

spesialisasi tinggi

Harga Stabil Relatif stabil Fluktuasi relatif tinggi

Mutu produk Tidak ada standar Sebagian standar Memiliki standar

Rantai pasar Panjang Pendek Pendek

Lokasi Relatif lebih dekat Lebih jauh, memiliki

jarak tertentu

Lebih jauh, memiliki

jarak tertentu

Konsep pasar Ruang sosial lintas

strata

Ruang sosial lintas strata Konsumtif

Kepemilikan Pemerintah Pemerintah dan atau

dengan swasta

Swasta

Tawar menawar Ada Sebagian ada Tidak ada

Keragaman

barang

Lengkap Tidak lengkap Tidak lengkap

Area penjualan Luas Relatif sempit Sempit

Landasan

hokum

Perda masing-masing

provinsi

Perda masing-masing

provinsi

Perda masing-masing

provinsi

Landasan

operasional

Perda, SK Kepala

Daerah atau Dinas

Perda, SK Kepala Daerah

atau Dinas

RUPS, arahan dewan

komisaris

Lokasi Setiap sistem jaringan

jalan

Hanya sistem jaringan

jalan arteri primer atau

sekunder

Hanya sistem jaringan

jalan arteri primer atau

sekunder

Image - Bangunan tak

memenuhi syarat

- Perilaku buruk,

premanis

- Kualitas rendah

- Tidak professional

- Bangunan relatif baik

& bersih

- Kualitas barang

sedang dan tinggi

- Semi-profesional

- Bangunan baik &

bersih

- Kualitas barang tinggi

- Dikelola profesional

Kekurangan - Desain/tampilan

- Tata ruang, lletak

- Promosi, jam

operasi terbatas

- Kombinasi layanan

umum dan bisnis

- Produk dari petani

kecil kalah bersaing

dengan produk impor

- Orientasi

bisnis/Layanan umum

minimal

- kalah bersaing dengan

produk impor

Permasalahan

umum - Kesadaran usaha

rendah

- Lahan Pemda/ Desa

- Penetrasi pasar

modern

- Tidak beroperasi

maksimal

- Kesadaran retribusi

rendah

- Operasi pada hari

pasaran

- Kesadaran usahamasih

rendah

- Lahan PemdaDesa

- Berkembangnya pasar-

pasar modern

- Kesadaran untuk

membayar retribusi

relatif rendah

- Operasional pasar

masih terbatas

- Akses pedagang kecil

sangat rendah

- Memerlukan modal

yang besar

- Biaya operasional

tinggi

- Kontinuitas barang

berkualitas dan

perubahan selera

konsumen cepat

Sumber: (PSEKP, 2011)

30

Model kedua adalah Model Pengelolaan Publik-Swasta (PS), yang

melihat pasar dari aspek pengelolaannya didasarkan kepada 6 kriteria, yaitu:

struktur dan fungsi lembaga, SDM pengelola, pendanaan dan pengelolaan

asset, inovasi pengelolaan, layanan produk dan akses pedagang, serta ukuran

keberhasilan. Berdasarkan criteria itu, terdapat tiga tipe pengelola, yaitu

UPTD/SKPD, Perusda (Perusahaan Daerah) atau sering disebut dengan

BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), dan Swasta. Berdasarkan tipe

pengelola, maka dari criteria struktur dan fungsi lembaga pasar, dapat dilihat

dari orientasi pengelolaan pasar. Berdasarkan orientasi pasar, pada model ini

melihat bahwa orientasi pengelola UPTD/SKPD adalah pelayanan, sedangkan

untuk Perusda orientasi lembaga selain pelayanan juga berorientasi kepada

profit atau keuntungan. Berbeda dengan kedua tipe sebelumnya, maka

pengelola pasar oleh swasta lebih berorientasi kepada keuntungan semata.

31

Tabel 1.2. Model Pengelolaan “Publik–Swasta”

KRITERIA UPTD/SKPD PERUSDA SWASTA

1. Struktur dan Fungsi Lembaga

- Orientasi lembaga Pelayanan Pelayanan dan Profit Profit

- Proses pembentukan Relatif mudah Rumit Agak rumit

- Pengendalian Mudah Relatif sulit Sulit

- Bentuk Organisasi Terikat Regulasi Fleksibel Fleksibel

- Pengambilan

Keputusan

Birokratis,kurang efisien Relatif Efisien Efisien

- Kerentanan Intervensi

Politik

Tinggi Tinggi Rendah

2. SDM Pengelola

- Penilaian Kinerja Kurang Terukur Reward & Punishment Reward & Punish

- Rekrutmen Penempatan Kompetensi dan

Intervensi Tinggi

Kompetensi dan

Spesialisasi Tinggi 3. Pendanaan dan Pengelolaan Aset

- Sumber Pendanaan APBD APBD Investor/Pribadi

- Pengalihan Aset Sulit Agak Sulit Mudah

- Pengelolaan fas.

Pendukung

Cenderung Parsial Terpadu Terpadu

4. Inovasi

Pengelolaan

- Promosi . Rendah Relatif Tinggi Tinggi

- Kegiatan Pendukung Rendah Relatif Tinggi Tinggi

5. Layanan Produk & Akses Pedagang

- Produk yang

Ditawarkan

Beragam Beragam Terseleksi

- Orientasi Produk

Lokal

Tinggi Relatif Tinggi Rendah

- Kualitas Produk Beragam Beragam Relatif Seragam

- Akses Pedagang

Kecil dan UMKM

Luas/ Terbuka Relatif Terbuka Selaktif dan Terbatas

- Interaksi Sosial dan

tawar menawar

Terbuka Relatif Terbuka Terbatas

6. Ukuran Keberhasilan

Besarnya Retribusi Besarnya

keuntungan/profit

Besarnya

keuntungan/profit Sumber: (PSEKP, 2011)

Model ketiga adalah model Pasar Mandiri (PM). Dalam model ini,

pasar sebagai tempat terjadinya proses jual beli dapat dilihat dari 6 (enam)

unsur/elemen pasar, yaitu struktur perdagangan, produk, kelembagaan,

pengelolaan, mode transaksi dan layanan, serta informasi dan pengetahuan.

Berdasarkan enam elemen pasar tersebut maka permasalahan pasar yang ada

saat ini dapat dilihat indikasi dan permasalahannya, serta bagaimana pasar

dapat didorong menjadi pasar mandiri. Dari struktur perdagangannya, kondisi

yang dihadapi pasar-pasar hari ini adalah adanya dominasi dan

32

ketergantungan oligopsonis pasar, yang mengakibatkan terjadinya pelemahan

terhadap para pemasok dari desa dan pedagang kecil. Oleh karenanya, pasar

harus berupaya membangun kemitraan antara pedagang kecil dengan pemasok

lokal melalui mode pembelian secara kolektif.

Tabel 1.3. Model Pasar Mandiri

No Elemen

Pasar

Indikasi dan Problem

Ketidakmandirian Pasar

Indikasi dan Solusi Model Pasar

Mandiri

1 Struktur

perdagangan

Dominasi dan ketergantungan

pada oligopsonis pasar

memperlemah pemasok dari desa

dan pedagang kecil di pasar

tradisional

Kemitraan pedagang kecil dengan

pemasok lokal (desa) dengan mode

pembelian kolektif

2 Produk Dominasi dan ketergantungan

pada produk pabrikan dari luar

desa (luar daerah/luar negeri),

maraknya iklan pabrikan luar

negeri

Dominasi produksi lokal (desa), pasar

sebagai etalasi desa dan bebas dari iklan

pabrikan luar negeri

3 Kelembagaan Dominasi pemerintah, parpol,

partikelir, dan lemah atau

lambatnya pergerakan organisasi

ekonomi rakyat (koperasi)

Peran vital koperasi pasar yang

keanggotaannya terbuka agar dapat

mempersatukan stakeholder pasar

(pedagang, pemasok, pengecer,

konsumen, dan pekerja informal)

4 Pengelolaan Dominasi pengelolaan pasar dan

partisinya (parkir, sampah,

mushola, TPA, dsb) oleh

pemerintah, parpol, dan partikelir

Termasuk pengelolaan kebersihan

dan kerindangan dikelola oleh

Dinas Pasar

Pengelolaan pasar kemitraan antara

pemerintah dan koperasi pasar,

pengelolaan fasilitas pasar oleh koperasi

pasar, pasar menghasilkan energi

alternatif (biogas sampah).

5 Mode

transaksi dan

layanan

Tawar menawar dengan informasi

yang tidak simetris dan patokan

harga tidak jelas, konsumen

membutuhkan mode transaksi dan

layanan baru

Peningkatan “status” dari sekedar

pelanggan menjadi anggota (membership)

melalui keikutsertaan konsumen dalam

koperasi pasar sehingga transaksi lebih

terbuka dan adil (dirintis “member card”)

6 Informasi dan

pengetahuan

Dominasi informasi dan

pengetahuan oleh elit regulator

pasar

Pasar tersedia media informasi (misal

tentang Perda Pasar) dan peningkatan

pengetahuan (keahlian) kemitraan

perguruan tinggi dengan koperasi pasar

Sumber: (LOS-DIY & PUSTEK, 2012)

Berdasarkan ketiga model yang diidealkan di atas, maka penelitian ini

mencoba menerapkannya di lapangan yang menjadi lokasi penelitian ini. Oleh

karenanya model di atas disusun berdasarkan generalisasi-generalisasi melalui

berbagai disiplin, maka cenderung lebih melihat pasar yang diteliti dari

33

kacamata “orang luar”. Oleh karena itu untuk menggambarkan proses-proses

yang terjadi di lapangan, selain model-model di atas, dibutuhkan teori-teori

yang diharapkan dapat membantu peneliti dalam melihat permasalahan dan

dinamika yang terjadi di pasar kasus. Dalam ilmu antropologi dikenal

perspektif teori ekonomi politik, yang melihat adanya hubungan-hubungan

antara ekonomi dan politik yang terjelma dalam kehidupan sehari-hari di

lingkungan pasar. Misalnya kebijakan tentang pengembangan pasar

tradisional dapat dimaknai dalam perspektif ini sebagai relasi kepentingan-

kepentingan aktor luar pasar, yang berharap mendapatkan keuntungan-

keuntungan tertentu atas yang terjadi di dalam pasar. Misalnya kebijakan

revitalisasi pasar, dalam pandangan elit politik berpeluang untuk menjadi

sumber-sumber dukungan politik sehingga proses yang terjadi sering lebih

bersifat politis ketimbang ekonomi.

Selanjutnya untuk melihat dinamika yang terjadi di pasar, terutama

para pelaku yang terlibat di dalamnya, termasuk pelaku-pelaku kepentingan

ekonomi, sosial, dan budaya dari luar pasar, peneliti akan menggunakan

perspektif yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Tujuannya adalah untuk

melihat gambaran yang utuh struktur dan peran yang dimainkan oleh para

pelaku atau agen yang mewarnai dinamika di pasar kasus. Dalam kasus pasar

Imogiri, maka arena pasar akan diwarnai oleh kepentingan dari agen ulai dari

pedagang, pemerintah, pelaku usaha besar, lembaga keuangan/perbankan,

partai politik, dan lain-lain

Menurut Bourdieu, praktek kehidupan nyata dapat dilihat sebagai

akibat dari hubungan dialektis antara struktur dengan agensi. Praktik tidak

ditentukan secara objektif dan bukan merupakan produk dari kehendak bebas

(Bourdieu dalam Suyatna, 2012: 25-35). Bourdieu juga melihat bahwa

kekuasaan seringkali menyebar dan bersembunyi di dalam cara-cara melihat

dan menggambarkan dunia yang diterima luas oleh masyarakat dan seringkali

tidak dipertanyakan benar atau tidaknya. Penyebaran kekuasaan atau simbol

34

ini berkaitan erat dengan kekuasaan ekonomi dan politik sehingga fakta

penyebarannya juga berfungsi sebagai alat legitimasi yang sama kokohnya

dengan kekuasaan ekonomi dan politik itu sendiri. Dalam teorinya, Bourdieu

mengembangkan konsep arena (fields) atau ranah, habitus, modal dan

kekerasan simbolik. Arena di definisikan sebagai ruang yang terstruktur

dengan kaidah-kaidah keberfungsian sendiri dengan relasi kekuasaanya

sendiri. Di dalam arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam

posisi tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlibat di dalam

kompetisi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas

dalam arena bersangkutan.

Habitus merupakan sistem disposisi-disposisi (skema persepsi, pikiran,

dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama, bisa dialihpindahkan dan

merupakan struktur yang distrukturkan). Habitus merupakan hasil

pembelajaran melalui pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan

masyarakat dalam arti luas. Agen-agen mengembangkan disposisi mengikuti

kondisi sosial obyektif dan akhirnya mampu melahirkan praktik-praktik yang

sesuai dengan situasi khusus dan tertentu. Para pelaku sosial yang menempati

posisi dominan dalam suatu ranah adalah mereka yang ‟diberkahi‟ atau

mereka yang secara istimewa memiliki akses terhadap berbagai jenis modal.

Modal ini meliputi modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik dan modal

budaya. Modal merupakan energi sosial yang hanya ada dan membuahkan

hasil-hasil dalam ranah perjuangan dimana modal memproduksi dan

mereproduksi. Modal memiliki beberapa ciri penting yaitu terakumulasi

melalui investasi, bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan dan dapat

memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh

pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Haryatmoko, 2003 dalam

Suyatna, 2012).

Melalui perspektif ini dapat dilihat lebih jauh bagaimana sebuah

modus operandi kekuasaan bekerja yang didalamnya terselebung praktik

35

simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai

sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan. Kekuatan simbol

mampu menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah

persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya

magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan

kenyataan, tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan logika

simbol. Dalam memproduksi serta menaikkan nilai simbolik, yang

mendominasi memakai strategi perbedaan (distinction) dalam arti mereka

berupaya membedakan dirinya dari kelompok sosial yang berada dibawahnya

(Saptandari, 2007). Pemahaman terhadap konsep arena, habitus, modal dan

kekerasan simbolik sangat penting dalam rangka menganalisis bagaimana

struktur kekuasaan bekerja dalam kebijakan di pasar tradisional.

Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralistik menuju desentralistik

membawa perubahan pula pada proses kebijakan di pasar. Pergeseran tersebut

tentunya juga akan mengubah pola interaksi antar aktor yang bersifat

hierarkhis atau korporatis, kepada pola interaksi yang baru kemudian lebih

banyak diwarnai oleh munculnya pola jejaring kolaboratif yang tidak stabil

dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks kebijakan revitalisasi

pasar di Bantul misalnya, aktor-aktor yang terlibat dalam kebijakan adalah

pedagang di pasar sebagai penerima manfaat, penguasa (bupati dan birokrasi

pemerintahan yang ada di bawahnya), anggota DPRD, elite pengusaha dan

elite-elite politik dan pihak-pihak lainnya seperti asosiasi bisnis, perusahaan

trading dan perbankan. Aktor-aktor tersebut memiliki kepentingan berbeda-

beda. Penguasa memiliki kepentingan untuk memperoleh legitimasi dan

dukungan atas kebijakan industri kecil yang dibuat. Elite pengusaha,

perusahaan trading dan perbankan memiliki kepentingan untuk

mengembangkan ekspansi usaha sehingga jangan sampai kebijakan yang ada

merugikan mereka. Pengusaha industri kecil memiliki kepentingan agar usaha

yang mereka miliki dapat berkembang. Sedangkan elite-elite politik memiliki

36

kepentingan terhadap kebijakan selain untuk meningkatkan popularitasnya di

mata masyarakat dan juga dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan

dengan penguasa. Meskipun memiliki kepentingan yang berbeda-beda akan

tetapi kepentingan mereka sama yaitu memperbesar kekuasaan yang telah

mereka peroleh saat ini. Perbedaan kepentingan inilah yang menyebabkan

proses pertarungan di antara mereka menarik untuk dicermati. Masing-masing

aktor akan melakukan berbagai strategi dan manuver untuk memenangkan

pertarungan dalam proses penyusunan dan implementasi kebijakan industri

kecil sehingga kebijakan yang ada memberikan kemanfaatan untuk

memperbesar kekuasaan yang telah mereka peroleh saat ini.

Meskipun teori Bourdieu ini relevan untuk dijadikan sebagai

perspektif kritis dalam penelitian ini, namun harus diakui bahwa

pemikirannya juga tidak lepas dari kritik. Gagasannya mengenai ranah

sebagai arena pertarungan dianggap telah mereduksi ”dunia kehidupan” pada

pertarungan semata. Padahal ranah sosial budaya bukan saja arena kompetisi

melainkan juga tempat bagi para pelaku untuk mendapatkan makna hidup

seperti solidaritas, kerjasama, kasih sayang dan sebagainya. Selain itu,

Bourdieu juga dikritik telah menggunakan kekerasan simbolik dalam

gagasannya seperti habitus dan field (arena). Ide-ide yang ia ciptakan

dianggap sebagai praktik kekerasan simbolik yang sedang dijalankannya.

Alih-alih menjauhi mekanisme kekerasan simbolik, Bourdieu malah

menggunakannya dalam menyebarluaskan gagasan-gagasannya (Fashri

dikutip Hempry, 2012:30). Meskipun ada berbagai kritik tersebut, namun

menurut peneliti pemikiran Bourdieu tersebut tetap relevan untuk dijadikan

sebagai perspektif teoritis dalam penelitian ini. Hal ini mengingat, kebijakan

menyangkut pasar-pasar di daerah merupakan arena politis, sehingga

kepentingan-kepentingan aktor dari luar pasar, berupaya untuk memperbesar

kekuasaan atau untuk mencari legitimasi atas kekuasaan mereka.

37

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Pasar Imogiri, Kabupaten Bantul.

Pemilihan lokasi sengaja dipilih karena pasar Imogiri merupakan pasar yang

telah berdiri sejak lama berabad-abad yang lalu dan telah mengalami banyak

perubahan dari zaman ke zaman. Pasar Imogiri juga bisa dianggap sebagai

pasar yang sampai saat ini masih menjadi andalan utama bagi masyarakat

sekitar, tidak hanya di pusat kota Imogiri Bantul, tetapi juga bagi daerah-

daerah atau desa-desa lain di sekitarnya. Sebagai pasar “terbesar” dari sisi

jumlah pedagangnya di wilayah selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, pasar

Imogiri juga menunjukkan adanya peran aktif dari pedagang melalui asosiasi

pedagang, yang relative diakui oleh penguasa untuk dapat menyalurkan

aspirasi ekonomi politik mereka, sehingga proses dialektika dan dinamika

yang terjadi mewarnai berbagai proses yang ada.

Pengumpulan data di lapangan dilakukan sepanjang bulan Maret 2014

– September 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan metode diskusi

terfokus dengan wakil-wakil pedagang yang tergabung dalam asosiasi

pedagang (APPSI) maupun individu pedagang, serta wawancara mendalam

(indept interview) melalui wawancara tidak terstruktur dan pengamatan

terlibat (participant observation). Tujuan pengumpulan data di lapangan

adalah untuk mendapatkan informasi baik yang tertulis maupun tidak, untuk

mendapatkan pemahaman tentang proses-proses ekonomi, politik, sosial, dan

budaya, yang terjadi di pasar Imogiri. Penulis beruntung karena di pasar

Imogiri telah terbiasa menerima peneliti-peneliti lain, sehingga interaksi yang

terjadi antara peneliti dan tineliti relative tidak mengalami hambatan.

Meskipun demikian, agar tidak terjebak kepada perulangan-perulangan

jawaban dari tineliti melalui teknik wawancara melingkar dan melakukan

38

cross-check atas informasi yang didapat dengan informan-informan yang

lain3.

Pada masa kini, penggunaan perangkat audio-visual sudah banyak

digunakan untuk merekam berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Penulis

cukup beruntung karena banyak terbantu dengan “dokumen” yang

menggunakan perangkat audiovisual, seperti contohnya adalah film

dokumenter yang diproduksi oleh Etnoreflika, yang menggambarkan proses

relokasi pedagang Imogiri. Demikian juga film-film rekaman yang

menunjukkan kegiatan APPSI dalam kegiatan Syawalan, yang dihadiri oleh

pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat.

Setelah terkumpul berbagai informasi, berupa data kuantitatif dan

kualitatif, kemudian dipilah-pilah berdasarkan kategorisasi untuk kebutuhan

analisis. Hasil analisis dituliskan secara deskriptif dimulai dari hal-hal yang

paling mendasar sampai kepada gambaran “mikro” yang disesuaikan dengan

konteks gambaran mendasar berupa gambaran ekonomi politik kebijakan

menyangkut pasar tradisional yang mempengaruhi struktur dan pola relasi

dalam pengelolaan pasar maupun aktivitas pedagang sehari-hari.

1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam 6 (enam) bab dengan

rincian sebagai berikut : Bab I memaparkan pendahuluan yang berisi antara

lain : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan

pustaka (peran negara dari masa ke masa, dan teorisasi dan model ideal pasar)

pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II masuk pada

3 Penulis juga beruntung karena sejak tiga tahun terakhir (sejak 2011) tengah terlibat dalam

gerakan sosial “Sekolah Pasar” di 7 pasar di Jawa Tengah dan DIY. Program ini digagas

sebagai gerakan perubahan melalui pengembangan pendidikan untuk pedagang yang terfokus

pada peningkatan modal intelektual, melalui pertemuan-pertemuan “kelas” dan

pendampingan pedagang. Selengkapnya bisa dilihat di www.sekolahpasar.org

39

penjelasan tentang lokasi penelitian menyangkut gambaran ekonomi, sosial

dan budaya, yang mempengaruhi proses-proses ekonomi politik di lokasi

penelitian, termasuk dalam hubungannya dengan pasar-pasar yang ada di

lokasi penelitian. Gambaran lebih detil juga diuraikan melalui gambaran

struktur perekonomian masyarakat Bantul melalui beberapa ukuran, seperti

sejauhmana partisipasi masyarakat dalam proses produksi, partisipasi dalam

investasi, termasuk partisipasi masyarakat dalam penguasaan faktor produksi.

Berdasarkan gambaran tersebut akan diketahui sejauhmana gambaran

masyarakat termasuk para pedagang di pasar-pasar dalam proses ekonomi di

kabupaten Bantul.

Bab III menjelaskan tentang peran negara dan kebijakan pengelolaan

pasar di kabupaten Bantul. Secara kronologis akan dikemukakan bagaimana

kebijakan negara dalam pengembangan pasar-pasar rakyat di masa sebelum

liberalisasi ekonomi, maupun pada era setelah liberalisasi pasar pada era

2000an. Bagaimana penetrasi pasar modern dalam kasus Bantul direspon oleh

pemerintah maupun elemen-elemen lain yang berkepentingan terhadap

kebijakan menyangkut pasar tradisional. Bagaimana kebijakan yang seolah

melawan arus “anti Supermarket” dimainkan oleh pemerintah maupun elit

politik di kabupaten Bantul, termasuk benarkah penetrasi ala pasar modern

dapat dihambat melalui kebijakan tersebut.

Bab IV selanjutnya bab ini akan menguraikan aspek-aspek

pengembangan pasar di lingkungan pasar-pasar rakyat, khususnya pada era

liberalisasi. Beberapa aspek yang dibahas dalam arena pengembangan pasar

mencakup aspek sumk pemasaran produk lokal, aspek harga, aspek berdaya

manusia, aspek lokasi atau tempat berjualan. Dari uraian mengenai aspek-

aspek pengembangan pasar tersebut, bagaimana posisi elit polirik ekonomi

sebagai pemegang kekuasaan menempatkan pedagang pasar, apakah

berdampak kepada kemajuan atau justru sebaliknya. Selain itu pada level

sistem perekonomian, bab ini juga akan menguraikan bagaimana tata kelola

40

dan pola relasi peran swasta dan negara dalam pengembangan pasar rakyat

khususnya di pasar Imogiri dan sekitarnya. Peran asosiasi pedagang pasar

juga diuraikan dalam bab ini, untuk melihat sejauhmana peran asosiasi dalam

konstelasi kepentingan negara dan swasta. Pada bab terakhir yaitu Bab V

merupakan bab penutup yang menegaskan kesimpulan yang menjadi temuan

dari studi dan catatan penutup dan rekomendasi strategi pengembangan peran

pedagang dalam pengelolaan pasar.