bab 1 pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Vietnam saat ini dikenal sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia Tenggara.
Pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) Vietnam pada 2013 mencapai 5,3%
dan terus meningkat.1 Hal ini tentu mempengaruhi perilaku ekonomi negara.
Vietnam saat ini terus mengembangkan sektor investasi untuk mengikuti
perkembangan globalisasi. Terlebih lagi, Vietnam saat ini merupakan pemain baru
di bidang ekonomi regional maupun global, sehingga perkembangan ekonomi
Vietnam cukup diperhitungkan oleh negara-negara.
Vietnam menyadari bahwa integrasi dalam organisai internasional sangat
penting untuk menunjang pembangunan negara. Bergabung dalam organisasi
ekonomi internasional membantu Vietnam membuka pasar bebas dan menyokong
perdagangan bebas. Momentum bergabung dalam WTO membawa peluang dan
tantangan bagi pembangunan ekonomi Vietnam. Vietnam sebagai negara
berkembang menghadapi tantangan yang lebih besar, tidak lagi perdebatan
mengenai comparative advantage dengan skema proses produksi, isu buruh dan
sumber daya alam (SDA) dalam perdagangan konvensional, namun juga
menghadapi dan menjaga hubungan baik dengan organisasi ekonomi
internasional. Di abad 21 saat globalisasi berkembang, batas antar negara
terkaburkan dan membuat akses antar negara lebih mudah dijangkau, namun hal 1 CIA (Central Intelligence Agency), The World Factbook, Vietnam GDP-Real Growth Rate (online),
< https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/vm.html>, diakses pada 24 Maret 2014.
2
tersebut justru menghasilkan tantangan baru bagi negara dalam menjalin
hubungan dengan negara lain. Cross-border relationship (hubungan melintasi
batas-negara) antara Vietnam dengan negara, organisasi regional dan internasional
di bidang perdagangan harus diperhatikan dengan baik.
Praktek perdagangan bebas di Vietnam membawa pada kondisi dimana
transfer pengetahuan bukan semata-mata pada teknologi namun juga nilai-nilai
(values). Values yang tersebar melalui kegiatan perdagangan domestik maupun
antar negara dapat berupa kekayaan intelektual (intellectual property). Dalam
sebuah praktek perdagangan bebas yang melibatkan banyak aktor dari berbagai
negara pasti melibatkan perpindahan nilai kekayaan industrial (industrial
property) dimana di dalamnya terkandung poin-poin trademark, hak paten, desain
industri, dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut harus dilindungi oleh negara supaya
pelaksanaan kegiatan perdagangan internasional berjalan dengan baik.
Belajar dari fenomena diatas, negara harus memberikan perhatian lebih
terhadap regulasi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Untuk menjamin keamanan
HAKI, Vietnam layaknya negara berkembang lain turut berperan aktif dalam
organisasi perdagangan internasional, dalam hal ini organisasi yang dimaksud
adalah World Trade Organization (WTO). Sebelum bergabung dalam WTO
Vietnam telah aktif dalam beberapa perjanjian internasional yang berkaitan
dengan HAKI. Namun perlu adanya kesadaran dari Vietnam agar regulasi HAKI
dapat diperbaiki dan pelaksanaannya lebih spesifik. Untuk itu pada 20002,
2 Ketentuan WTO terhadap negara berkembang dalam menetapkan periode transisi terhadap
peraturan TRIPS, yaitu selama 5 tahun terhitung dari 1 Januari 1995 hingga 1 Januari 2000. Tertuang dalam The TRIPS Agreement, Artikel 65.
3
Vietnam berkomitmen pada TRIPS untuk memperbaiki sistem legal HAKI.
Namun upaya untuk menyesuaikan regulasi WTO telah berlangsung jauh sejak
tahun 1995. Proses pengajuan keanggotaan hingga akhirnya Vietnam resmi
diterima sebagai anggota WTO memakan waktu yang lama, Vietnam resmi
menjadi anggota WTO pada 11 Januari 2007 sebagai anggota ke 1503. Isu HAKI
merupakan isu sensitif bagi negara berkembang, isu ini disampaikan dalam
Putaran Uruguay yang berlangsung selama 8 tahun.4 Bagaimanapun relasi yang
terbentuk antara perdangan bebas dan HAKI adalah kuat dan saling mendukung.
Vietnam mengalami sebuah tantangan besar dalam mengupayakan
keanggotaan dalam WTO. Vietnam telah menjadi observer5 WTO semenjak 1995.
Isu HAKI dipilih karena Vietnam sebagai perwakilan negara berkembang
memiliki tantangan yang kompleks dalam menghadapi perdagangan global.
Terlebih saat ini perdagangan dan HAKI merupakan isu sensitif bagi negara
berkembang, keduanya pun memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain.
Hal ini harus dijadikan perhatian khusus bagi negara berkembang karena
Dikutip dari World Trade Organization, Overview: The TRIPS Agreement, <http://www.wto.org/english/tratop_e/TRIPs_e/intel2c_e.htm>, diakses pada 29 November 2013. 3 World Trade Organization, Accessions: Vietnam (online),
<http://www.wto.org/english/thewto_e/acc_e/a1_vietnam_e.htm>, diakses pada 03 Juni 2013. 4 Putaran Uruguay berlangsung pada 1986-1994. Pertemuan ini dihadiri oleh 128 negara anggota
dan merupakan pertemuan yang paling besar dari putaran sebelumnya. Dalam putaran ini untuk pertama kalinya peraturan intellectual property rights pertama kali diperkenalkan dalam sistem perdagangan multilateral. Dikutip dari World Trade Organization, Understanding the WTO: Intellectual Property, <http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/agrm7_e.htm>, diakses pada 29 November 2013. 5 Observer status merupakan kondisi negara yang mengupayakan keanggotaan terhadap suatu
organisai internasional ditunjukkan dengan beberapa komitmen dalam aspek dan poin peraturan yang diharapkan dalam organisasi tersebut.
4
keberhasilan negara untuk bertahan dalam perdagangan internasional adalah
dengan menjaga iklim investasi dan menjamin HAKI juga menyesuaikan
peraturan in line dengan mekanisme WTO.
Vietnam dipilih dalam penelitian ini karena ketertarikan penulis terhadap
pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada dekade belakangan ini. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh keberhasilan reformasi Doi Moi yang diberlakukan mulai
tahun 1986. Sistem regulasi Vietnam belum mendukung sepenuhnya berkaitan
dengan pemenuhan HAKI. Terdapat beberapa kasus yang tidak dapat diselesaikan
oleh pengadilan karena keberadaan hukum HAKI sebatas “sub-law” sehingga
tidak memiliki status legal karena bukan dianggap hukum inti. Pemberlakuan
standar harmonisasi menjadi pertanyaan dalam studi kasus ini. Melalui tulisan ini
akan diulas mengenai upaya Vietnam dalam merespon sistem regulasi HAKI,
khususnya Kekayaan industrial sebagai tantangan perlindungan dan penegakkan
hukum pada hak tersebut di era globalisasi, juga akan dilihat praktek harmonisasi
terhadap ketentuan WTO.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang diajukan penulis adalah
Apa tantangan perlindungan dan penegakkan hukum kekayaan industrial
Vietnam dalam TRIPs Agreement ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada
riset ini akan mengulas kebijakan-kebijakan yang Vietnam buat sebelum dan
sesudah bergabung dalam WTO dan sejalan dengan komitmennya dalam TRIPS.
5
C. Landasan Konseptual
Riset ini memiliki beberapa landasan konseptual yang berguna sebagai
kerangka analisa dan membatasi fokus permasalahan. Landasan konseptual yang
digunakan adalah sebagai berikut:
i. Kekayaan-Properti Industri atau Industrial Property
Pemahaman terhadap konsep kekayaan industrial akan diawali
dengan uraian mengenai intellectual property (kekayaan intelektual).
Kekayaan intelektual merupakan hasil karya manusia yang berupa benda
seni, benda temuan, simbol, suatu penamaan, ataupun gambar yang
bertujuan untuk diperdagangkan atau dikomersialkan. Kutipan di atas
diambil dari jurnal World Intellectual Property Organization (WIPO)6.
Kekayaan intelektual harus dilindungi dengan tujuan untuk menstabilkan
iklim perdagangan dunia, WIPO menjelaskan bahwa perlindungan
terhadap HAKI merupakan sarana “oils the wheels” bagi perdagangan
dunia.
Terdapat 8 macam bentuk HAKI menurut WTO, namun semua
dikategorikan menjadi 2 bentuk yaitu :
1. Copyright
6 WIPO berdiri pada tahun 1970, merupakan organisasi internasional yang membantu jaminan
pemenuhan hak bagi para pemilik dan pencipta karya cipta intelektual di seluruh dunia. Lebih lengkap dapat dilihat pada Jurnal WIPO, http://www.wipo.int/export/sites/www/freepublications/en/intproperty/450/wipo_pub_450.pdf>, diakses pada 03 Juni 2013.
6
Macam bentuk copyright adalah ekspresi, prosedur, dan
metode operasi, program komputer, dan database.7
2. Kekayaan industrial
Macam bentuk kekayaan industrial adalah paten, trademarks,
desain industri dan indikasi geografis.8
Dikutip dari Meriam-Webster dictionary, industrial property is
intangible property rights (as ownership of a trademark or patent)
connected with agriculture, commerce, and industry.9 Kekayaan industrial
merupakan hak kekayaan intelektual (dapat berupa paten) untuk
melindungi penemuan dan desain industri juga lebih spesifik nilai-nilai
yang berkaitan dengan proses industri, ataupun pendirian pabrik
pengolahan. Kekayaan industrial muncul sebagai respon terhadap
globalisasi. Kekayaan industrial turut melindungi trademarks, service-
marks, layout design, commercial names, geographic indication dan
semua itu ditujukan untuk menjamin fair-trade.10
7 Dilindungi dalam Article 9.2, 10.1, 10.2; TRIPS Agreement. Dikutip dari Jurnal ‘Accession to The
WTO and The Intellectual property System in Vietnam’. <http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/Resources/WBI-Training/vietIPR_hai.pdf>, diakses pada 28 September 2013. 8 UK Property Office, ‘Intellectual property Rights Primer for Vietnam: A Guide for UK Companies’,
<http://www.ipo.gov.uk/ipr-guide-vietnam.pdf>, diakses pada 1 Oktober 2013. 9 Meriam-Webster Dictionary, Full Definition of Kekayaan industrial (online),
<http://www.merriam-webster.com/dictionary/industrial%20property>, diakses pada 16 Maret 2014. 10
World Intellectual property Organization, ‘Understanding Kekayaan industrial’, p.5, <http://www.wipo.int/export/sites/www/freepublications/en/intproperty/895/wipo_pub_895.pdf>, diakses pada 4 Oktober 2013.
7
“Hak kekayaan industrial are the rights of
organizations, individuals to inventions; industrial designs;
layout-designs of semi-conductor integrated circuits;
trademarks; trade names, geographical indications,
business secrets created or owned by them and rights to
repression of unfair competition.”11
Dalam isu kekayaan industrial sangat erat kaitannya dengan
kegiatan investasi. Di saat intellectual property tidak dapat
dikesampingkan dari kegiatan perdagangan, sementara kekayaan industrial
tidak dapat pula dilupakan dalam investasi. Peranan penting kekayaan
industrial dalam sebuah kegiatan investasi adalah untuk memastikan dan
menjaga pemenuhan hak atas nilai-nilai kekayaan industrial dalam
kegiatan industri dan investasi.
Contoh kegiatannya adalah pembangunan pabrik perusahaan
multinasional pembuatan sepatu asal Denmark di Vietnam. Maka investor
harus diberi jaminan akan keamanan paten, trademarks, indikasi geografis
dan lainnya agar kegiatan investasi dapat berjalan dengan lancar seperti
fungsi intellectual property di atas yaitu oils the wheels.
11
National Assembly, Socialist Republic of Vietnam, Intellectual property Right (online), 29 November 2005, <http://chinhphu.vn/portal/page/portal/English/legaldocuments/Policies?categoryId=886&articleId=10001401>, diakses pada 9 Oktober 2013.
8
ii. Prinsip Persetujuan TRIPS (TRIPS Agreement)
Pemberlakuan persetujuan TRIPS mengacu pada beberapa prinsip
utama. Prinsip-prinsip ini yang nantinya akan menjadi acuan bagi penulis
untuk menentukan tantangan yang dialami oleh Vietnam. Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut akan dilihat sejauh mana Vietnam dapat
mengakomodasi persetujuan TRIPS dan mengimplementasikannya
terhadap perlindungan kekayaan industrial bagi kegiatan industri dan
investasi. Putaran Uruguay menghasilkan 5 persetujuan mengenai
kerangka TRIPS, yaitu12
:
1. Principles : Prinsip-prinsip dasar sistem perdagangan dan
persetujuan bidang HAKI.
2. Protection : Perlindungan yang cukup terhadap HAKI.
3. Enforcement : Penegakan hukum bidang HAKI.
4. Dispute Settlement : Penyelesaian Sengketa.
5. Special Traditional Arrangement : Pengaturan khusus yang
diberlakukan selama periode transisi.
Pada paper ini akan mengangkat poin prinsip persetujuan TRIPS
yaitu protection dan enforcement. Hal ini dikarenakan 2 poin ini yang
sangat terlihat dalam implementasi perlindungan HAKI di Vietnam.
Protection merupakan komitmen negara anggota untuk melindungi HAKI
sesuai dengan standar yang telah telah ditetapkan oleh TRIPS. Dalam hal
ini protection atau perlindungan yang diharapkan harus sesuai dengan 12
Sekilas WTO (World Trade Organization), Direktorat Perdagangan dan Perlindungan Multilateral, Direktorat Jendral Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri, 2005, p. 35.
9
standar TRIPS. Akan ada standar minimal terhadap masing-masing
properti yang dilindungi. Perlindungan yang tertuang dalam persetujuan
ini berupa benda atau materi yang dilindungi, perundingan terhadap hak
beserta perijiian terhadap pengecualian, dan durasi minimal terhadap
perlindungan suatu materi. Pada dasarnya persetujuan TRIPS dibuat
dengan referensi terhadap Konvensi Paris dan Konvensi Berne. Maka
banyak regulasi yang dibuat untuk memperkuat keberadaan hukum yang
telah ada sebelumnya. Contohnya pada artikel 2.1 dan 9.1 yang secara
jelas mengatakan bahwa negara anggota harus menaati artikel artikel
tertentu dari 2 perjanjian terdahulu.13
Poin enforcement atau penegakan hukum merupakan daya ikat
TRIPS yang mengharuskan negara anggota menegakkan hukum terhadap
HAKI. Prosedur domestik dan solusi untuk penegakan HAKI adalah inti
dari poin ini. Selain itu penegakan hukum juga melingkupi prosedur
administrasi terhadap suatu materi kekayaan intelektual, peraturan
sementara, dan tersedianya prosedur dan solusi terhadap para pemegang
hak supaya mereka dapat menegakkan hak-haknya. Dalam persetujuan
TRIPS menetapkan prinsip-prinsip umum yang berlaku untuk semua
prosedur penegakan HAKI. Meskipun TRIPS Agreement dibuat
berdasarkan referensi dari WIPO yang memiliki kelemahan peraturan
prosedural dalam kewajiban penegakan hukum, namun WTO berupaya
agar terjadi penggabungan yang positif antara WIPO dan TRIPS.
13
World Trade Organization, Overview the TRIPS Agreement, < http://www.wto.org/english/tratop_e/TRIPs_e/intel2_e.htm>, diakses pada 24 Maret 2014.
10
Peraturan yang tertuang dalam TRIPS merupakan inovasi dari
penambahan atas regulasi WIPO Conventions dan diperkuat dengan
proteksi terhadap HAKI.14
Negara memiliki banyak aktor rasional yang terlibat dalam
kegiatan politik. Aktor tersebut memiliki pertimbangan untung rugi dalam
suatu keputusan atas pemenuhan terhadap perjanjian internasional.
Penegakkan hukum dalam suatu komitmen perjanjian melalui dua
komponen yaitu pengawasan (monitoring) dan sanksi (sanctions).15
1. Pengawasan dibutuhkan supaya kegiatan yang berlaku atas
sebuah perjanjian tersebut lebih transparan.
2. Sanksi dibutuhkan agar para aktor memiliki ketakutan untuk
melakukan pelanggaran.
iii. Regime Compliance
Sistem interaksi internasional saat ini memunculkan
interdependensi yang tinggi antar negara. Perjanjian internasional
merupakan sarana memfasilitasi interdependensi tersebut. Bentuk dari
perjajian internasional tersebut beragam meliputi bentuk dan ukuran
perjanjiannya-formal atau informal, bilateral atau multilateral, universal
14
P. V. D. Bosch, The Law and Policy of The World Trade Organization : Text, Cases, and Materials, 2
nd edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, p.171.
15
J. Tallberg,’ Paths to Compliance: Enforcement, Management, and the European Union’, International Organization, Vol. 56, No. 3 (Summer, 2002), p.612.
11
atau regional.16
Suatu negara yang menginginkan integrasi pada suatu
sistem organisasi besar, terlebih dahulu harus menyesuaikan dan
mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh organisasi tersebut.
Pemenuhan terhadap rejim (Regim Compliance) adalah suatu
kondisi ketika negara tergabung dalam suatu perjanjian maka mereka akan
merubah perilaku, sikap, dan hubungan terhadap suatu hal yang diatur
dalam perjanjian tersebut.17
Dan ini merupakan bentuk kepatuhan mereka
terhadap tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Peraturan yang dibuat
oleh organisasi iternasional mengakomodasi kepentingan seluruh negara
yang tergabung dalam rejim tersebut. Dalam hal ini kerangka nilai
menyesuaikan regim internasional. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh
negara dalam menyesuaikan peraturan tersebut adalah nilai, struktur, dan
proses politik di level nasional.18
Pada abad 20, kegiatan politik ekonomi negara tidak terlepas dari
ketergantungan antar negara. Hal yang menjadi masalah dari poin tersebut
adalah “bagaimana national treatment menjadi international-norms?”.
Kutipan tersebut menyuratkan pengertian bahwa dalam berkegiatan
dengan rejim internasional, maka negara harus dapat menyesuaikan
mekanisme perlakuan nasional seiring dengan norma internasional dan
nantinya membawa norma tersebut diimplementasikan kembali melalui
16
A. Chayes & A.H. Chayes, ‘On Compliance’, International Organization, Vol. 47, No. 2 (Spring, 1993), p 177. 17
A. Chayes & A.H. Chayes, p.177. 18
S. Haggard & B.A. Simmon, ‘Theories of International Regimes’, International Organization, Vol.41, No. 3 (Spring, 1987), p.492.
12
kebijakan nasional. Konsep ini berlaku pada syarat dan ketentuan
keanggotaan WTO. Working party menilai komitmen negara dalam
menyesuaikan peraturan perdagangan dan sistem hukum dalam WTO.
Akan diberikan periode transisi bagi negara untuk membuat perubahan
struktural dan legislatif yang diperlukan untuk menaati dan melaksanakan
komitmen WTO.
D. Argumentasi Utama
Vietnam menjadi observer WTO sejak 1994 dan pada saat itu Vietnam
mengupayakan penyesuaian terhadap peraturan WTO-pada saat itu masih GATT.
Keanggotaan Vietnam dalam WTO dicapai dengan upaya compliance terhadap
peraturan TRIPS meskipun negara ini belum menerapkan seluruhnya peraturan
secara rigid. Tantangan yang dihadapi oleh Vietnam mengacu pada standar
perlindungan dan penegakkan hukum yang belum dapat dilaksanakan dengan baik
oleh Vietnam, juga tuntutan dunia internasional akan penyelarasan peraturan.
Berbagai pelanggaran dan pembajakan masih terus berlaku disaat Vietnam telah
berkomitmen untuk menaati persetujuan TRIPS.
Kondisi yang kontradiktif terjadi setelah Vietnam resmi menjadi anggota
WTO. Lemahnya daya ikat hukum membuat pelanggaran tersebut semakin
meluas dan Vietnam dianggap melanggar komitmen yang ada dalam perjanjian.
Terdapat beberapa titik kelemahan pada Vietnam dalam menjalin hubungan
dengan WTO. Posisi sebagai negara berkembang sangat mempengaruhi cara
diplomasi ekonomi negara. Hal ini tentunya berimbas pada perlidungan dan
13
penegakkan hukum yang seharusnya berlaku sesuai standar TRIPS. Bergabungnya
Vietnam dalam WTO belum dapat menjamin keamanan perlindungan hak
kekayaan industrial. Hal tersebut dikarenakan perlindungan dan penegakkan
hukum kekayaan industrial righhts masih belum terbentuk dengan baik di
Vietnam.
E. Metode Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis melakukan tiga tahap penelitian, yaitu :
Tahap satu, proses pengumpulan data. Penulis mengumpulkan data dengan
menggunakan metode pengamatan dan klasifikasi dari berbagai sumber yang
dipublikasikan melalui buku, jurnal, artikel dan referensi online dari internet.
Penulis menggunakan referensi literatur dan online dari berbagai macam sumber
yang dapat dipercaya kebenarannya.
Tahap dua, pengolahan data. Pada proses ini, penulis melakukan olah data
berdasarkan tujuan skripsi ini. Setelah memperoleh data, penulis melakukan
analisis menggunakan konsep yang telah disebutkan dalam landasan konseptual,
seputar kebijakan Vietnam terkait dengan isu kekayaan industrial dan mengamati
keterlibatan Vietnam dalam forum diskusi TRIPS. Kemudian dilakukan
perbandingan untuk melihat tantangan yang dihadapi oleh Vietnam. Metode
tersebut diterapkan pada objek kebijakan sebelum bergabung dalam WTO dan
setelah bergabung dalam WTO.
14
Tahap tiga, pelaporan data. Dalam metode ini penulis menggabungkan
data yang telah diperoleh dan diolah kedalam penjelasan yang sistematis yang
bersifat deskriptif-analitis.
F. Sistematika Penulisan
Dalam membahas rumusan masalah yang diangkat, penulis membagi
sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I - Membahas mengenai latar belakang dan landasan konseptual yang
akan dipakai dalam penulisan. Rumusan masalah yang menjadi topik utama
pembahasan juga disampaikan pada bab ini.
BAB II – Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan
kekayaan industrial Vietnam sebelum diangkat menjadi anggota WTO. Akan
dilihat bagaimana upaya Vietnam sebagai negara observer untuk menjadi anggota
tetap WTO.
BAB III – Pembahasan mengenai praktek perlindungan dan penegakan hukum
yang ada di Vietnam akan dibahas dalam bab ini. Akan dilihat bagaimana
tantangan yang dialami oleh Vietnam dalam pelaksanaan TRIPs Agreement.
BAB IV – Analisa tantangan yang muncul terhadap upaya
pengimplementasian persetujuan TRIPS bagi Vietnam.
BAB V – Kesimpulan.