bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i pendahuluan.pdfbagi manusia. menurut...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial artinya bahwa dalam hidupnya manusia
hidup berdampingan satu sama lain. Manusia juga selalu membutuhkan
sesamanya. Selain itu, manusia juga harus hidup dalam suatu kolektif. Salah satu
bentuk kolektif manusia adalah keluarga. Haviland (1985:74) menyebutkan
keluarga telah lama dipandang sebagai sesuatu yang mutlak dan menentukan, dan
merupakan lembaga sosial inti. Lingkungan keluarga menjadi ruang pertama
berkembangnya suatu budaya.
Pembentukan keluarga diawali dengan perkawinan. Teori hirearki
kebutuhan hidup manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow
menunjukkan perkawinan sebagai salah satu kebutuhan dasar (the basic needs)
bagi manusia. Menurut Maslow dalam Dewi (2006:68-70) kebutuhan manusia
yang paling mendasar dan esensial adalah kebutuhan fisiologis (physiological
needs), salah satunya seks. Manusia juga memiliki kebutuhan akan rasa kasih
sayang (need to belong and to love) yang merupakan tahap adanya kebutuhan
mencintai dan dicintai. Kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi melalui
perkawinan.
Haviland (1985:77) menjelaskan perkawinan dapat didefinisikan sebagai
suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang wanita dan seorang
pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seksual satu
sama lain dan yang menegaskan bahwa si wanita yang bersangkutan sudah
memenuhi syarat untuk melahirkan anak. Selanjutnya, Goodenough dalam
Keesing (1981:6) merangkum pemikiran-pemikiran umum tentang perkawinan.
Secara karakteristik perkawinan itu bukan hubungan antara individu akan tetapi
suatu kontrak antarkelompok (sering, antarkorporasi). Maka dari itu, perkawinan
juga menghubungkan keluarga yang berbeda dan melahirkan keluarga inti yang
baru. Hubungan yang terjalin oleh kontrak perkawinan dapat berlangsung terus
2
meskipun salah satu dari pasangannya meninggal (atau bahkan keduanya sudah
meninggal).
Dua bentuk perkawinan yang berkaitan dengan pemilihan pasangan yaitu
eksogami (exogamy) dan endogami (endogamy). Eksogami adalah perkawinan
antara anggota suatu kelompok dengan orang di luar kelompok atau di luar
lingkungan kerabat sendiri. Batasan eksogami meliputi pemilihan pasangan di luar
batas keluarga batih, di luar batas marga dan di luar batas desa. Sebaliknya,
endogami adalah perkawinan antara anggota suatu kelompok dengan anggota
kelompok yang sama atau perkawinan di lingkungan sendiri. Batasan endogami
meliputi pemilihan pasangan di dalam lingkungan desa, di lingkungan komunitas
dan di dalam suku, marga dan lain-lain (Hasjir, 1984:115).
Umumnya setiap suku bangsa menganut salah satu bentuk perkawinan
baik eksogami maupun endogami. Namun, pada dasarnya setiap suku bangsa
mengharapkan pasangan dari suku bangsa yang sama demi menjaga kemurnian
sukunya. Pemilihan pasangan juga bergantung pada agama yang dianut. Masing-
masing agama tentu mengajarkan pemeluknya untuk mengawini pasangan yang
beragama sama. Hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia mengembalikan
aturan perkawinan kepada masing-masing warganya sesuai dengan adat istiadat
kesukuan dan agama. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Negara Indonesia terdiri atas 1340 suku bangsa (Sensus Penduduk 2010
Badan Pusat Statistik) dan mengakui enam agama, yaitu Hindu, Buddha, Islam,
Kristen, Katolik dan Kong Hu Cu. Masdiana Damanik dalam situs
http://masdampsi.wordpress.com (diakses 18 Desember 2014) menerangkan pada
mulanya masing-masing suku bangsa masih menetap bersama-sama di daerah
asalnya. Perkembangan zaman menyebabkan banyak orang merantau keluar
daerah asal untuk mencari pekerjaan atau menuntut ilmu. Kehidupan multikultural
mendorong pertemuan orang-orang dari berbagai suku bangsa yang dapat terjadi
di mana saja; misalnya sekolah, kampus, tempat kerja, tempat rekreasi, dan
tempat ibadah. Pertemuan dengan lawan jenis yang berbeda suku bangsa juga tak
3
terhindarkan. Inilah yang menjadi awal mula terjadinya perkawinan campur atau
amalgamasi. Wilayah persebaran penduduk pendatang seperti Pulau Jawa dan
Bali memiliki potensi terjadinya amalgamasi.
Data Sensus Penduduk 2010 oleh Badan Pusat Statistik kepadatan
penduduk tertinggi terdapat di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 136.610.590
orang. Hal ini disebabkan oleh sentralisasi pemerintah yang berada di Pulau Jawa.
Sehingga, banyak penduduk pendatang yang berbondong-bondong ke berbagai
wilayah di Pulau Jawa untuk mengais rezeki.
Wilayah lain yang turut menjadi persebaran penduduk pendatang adalah
Provinsi Bali. Kebanyakan pendatang berasal dari Pulau Jawa. Bali menjadi
pilihan terdekat akibat tingginya kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Situs
http://beritabali.com (diakses 15 Februari 2014) menghimpun data yang
menunjukkan peningkatan jumlah penduduk pendatang ke Bali. Tahun 2012
jumlah penduduk yang masuk ke Bali melalui pelabuhan Gilimanuk sebanyak
4173 orang. Kemudian, hingga bulan Juni 2013 ada 2297 orang penduduk
pendatang yang masuk ke Bali.
Bali dihuni oleh suku bangsa Bali. Suku bangsa Bali juga tersebar di
daerah lain di Indonesia akibat adanya transmigrasi, seperti Pulau Sumatera dan
Sulawesi. Namun, suku bangsa Bali masih tetap mendominasi di Provinsi Bali
dengan mempertahankan bahasa, tradisi, kepercayaan dan agama Hindu.
Berdasarkan kesukuan dan agama, orang Bali menjadi kaum minoritas di
Indonesia. Data Sensus Penduduk Tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik, jumlah
penduduk yang menganut agama Hindu di Indonesia sebanyak 4.012.116 orang.
Data tersebut kemudian dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
menganut agama Islam di Indonesia yaitu sebanyak 207.175.162 orang.
Perbandingan data tersebut menjelaskan adanya kesenjangan jumlah penduduk
yang menganut agama Hindu dan Islam sebesar 1 : 50. Penduduk beragama Hindu
paling banyak berada di Provinsi Bali, sedangkan penduduk beragama Islam
dominan berada di Pulau Jawa.
Wilayah yang berdekatan dan sama-sama menjadi persebaran penduduk
pendatang tentu memicu interaksi sosial hingga hubungan perkawinan antara
4
orang Jawa dan Bali. Latar belakang budaya dan agama acap kali menjadi batu
sandungan amalgamasi di antara orang Jawa dan Bali, terutama amalgamasi
agama Hindu dan Islam. Keduanya memiliki aturan perkawinan yang
mengharuskan adanya kesamaan agama dan suku bangsa.
Perkawinan bagi orang Bali merupakan suatu proses seseorang menuju
tingkatan yang lebih tinggi. I Gusti Ngurah Bagus (2007:294) mengungkapkan
perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali,
karena saat itulah ia menjadi warga penuh dan memperoleh hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen. Perkawinan sedapat mungkin
dilakukan di antara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang
dianggap sederajat dalam kasta.
Keturunan dalam sistem kekerabatan orang Bali diperhitungkan secara
patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta
pusaka dari klen itu (Bagus, 2007:295). Dalam keluarga, sang ayah berperan
sebagai kepala keluarga serta perantara dalam penentuan nasib. Menurut adat
kebiasaan di beberapa negara menurut hukum, ia menguasai sumber-sumber
ekonomi keluarga. Hal yang paling utama adalah fungsinya sebagai pengadilan
tertinggi dalam mendisiplinkan anak-anak. Sehubungan dengan itu, maka
hubungannya dengan anak-anaknya, serta kerabatnya dari garis samping berlainan
sekali dari hubungan istrinya dengan mereka itu. Di luar rumah, dialah biasanya
yang berbicara atas nama kelompok; sedangkan di dalam rumah tangga khususnya
terhadap anak-anaknya, peranan sang isteri lunak dan lebih lembut tentunya
dengan mengingat perbedaan wajah ibu tersebut (Herskovits, 1996:85).
Perkawinan adat Bali dapat berlangsung jika kedua mempelai telah
beragama Hindu. Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama IBG Yudha Triguna
menyatakan, pernikahan beda agama tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Jika ada umat Hindu melakukan pernikahan dengan calon yang berbeda agama,
maka terlebih dahulu calonnya tersebut wajib melaksanakan Suddhi-Wadani
(http://www.republika.co.id/ diakses 2 Januari 2015). I Made Titib (1997:19)
menyatakan upacara Suddhi-Wadani bertujuan untuk mengesahkan seseorang
5
untuk menjadi penganut atau pemeluk agama Hindu. Bila seseorang telah
melaksanakan upacara Suddhi-Wadani maka yang bersangkutan hendaknya
melaksanakan swadharma atau tugas dan kewajiban sebagai umat Hindu.
Kepadanya diberlakukan pula hukum agama (hukum Hindu), misalnya seorang
gadis karena keinginannya sendiri, yang dilandasi hati yang tulus ikhlas, setelah
mengenal ajaran agama Hindu, menyatakan diri memeluk agama Hindu,
selanjutnya oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia yang terdekat berkewajiban
untuk mengambil prakarsa untuk melaksanakan upacara Suddhi-Wadani bagi
yang bersangkutan.
Perkawinan menurut agama Islam adalah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai
suami istri yang dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan syariat
Islam (Sholikhin, 2010:179). Perkawinan yang dikehendaki adalah perkawinan
dari pasangan yang beragama Islam. Hal tersebut tercermin dalam Al-Quran, pada
surat Al-Baqarah [2]:221, “…dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik sebelum mereka beriman.” Moh. Quraish Shihab (1998:197),
berpendapat bahwa ayat tersebut berarti pula pada wanita Islam hendaknya kawin
dengan pria yang beragama sama. Larangan perkawinan antarpemeluk agama
yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah
dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat
kesesuaian pandangan hidup antarsuami dan istri, karena jangankan perbedaaan
agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami
dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Di Bali, perkawinan antara pria Hindu dan wanita Islam maka upacara
dilaksanakan menurut tata cara suku bangsa Bali dan agama Hindu. Wanita ini
juga patut menjalankan tradisi sebagai orang Bali termasuk beragama Hindu.
Sebagai wanita Bali, ia diharapkan menjadi ibu yang akan mendidik anak-
anaknya sesuai dengan tradisi dan agama yang dianut keluarga suami. Dalam
lingkup masyarakat, ia juga diharapkan aktif dalam organisasi sosial di banjar dan
desa pakraman baik di wilayah tempat tinggal atau wilayah asal suami. Kehidupan
baru ini tentu menimbulkan lebih banyak tantangan dan tekanan. Tapi inilah yang
6
disebut proses adaptasi. Jika tak kuat melewati prosesnya, maka perkawinan tak
akan langgeng.
Kesulitan dalam melewati proses adaptasi ini memang wajar, karena ada
perbedaan kebiasaan sebelum dan sesudah kawin. Manusia lahir di dalam
lingkungan keluarga yang menganut tradisi tertentu. Kebiasaan sudah terbentuk
sejak lahir hingga menginjak remaja. Karl Mannheim dalam Soekanto (1985:10)
menjabarkan kebiasaan sebagai pola perilaku yang tidak diwariskan, namun
merupakan hasil pengalaman. Pada dasarnya kebiasaan berisi pola perilaku
sederhana yang bersifat naluriah. Pengulangan pola perilaku akan membentuk
rasa terikat antar pelaku kebiasaan.
Manusia juga meyakini agama yang dianut bersama-sama dengan
keluarga. Manusia merasakan agama sebagai suatu getaran orang yang
mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta dan sebagainya. Agama merupakan
salah satu unsur kebudayaan yang paling sulit untuk diubah. Jika terjadi
perkawinan yang berlatar perbedaan agama, maka salah satu mempelai harus
pindah agama atau konversi agama. Secara etimologi ‘konversi’ berasal dari kata
Latin conversio atau dalam bahasa Inggris conversion yang berarti masuk agama
atau pindah agama. Dalam pengertian yang luas, konversi merupakan suatu
tindakan seseorang atau kelompok mengadakan perubahan mendalam mengenai
pengalaman dan tingkat keterlibatannya pada suatu hal (Hendropuspito, 1983:79).
Jika disandingkan dengan ‘agama’, maka konversi agama berarti suatu tindakan
seseorang atau kelompok masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau
perilaku yang berbeda dengan kepercayaan sebelumnya.
Konversi agama terasa sulit dilakukan karena adanya tekanan bagi
seseorang yang melakukannya dan anggapan umum masyarakat. Hal ini
ditegaskan oleh Durkheim dalam Koentjaraningrat (1981:224) pada Teori
Sentimen Kemasyarakatan. Aktivitas religi tidak hanya terjadi pada individu
tetapi secara kolektif dalam bentuk masyarakat. Belum lagi tradisi baru dalam
etnis yang berbeda dari sebelumnya juga akan menimbulkan tekanan.
Amalgamasi antara pria Hindu dan wanita Islam memang penuh tantangan
dan tekanan. Namun, hal ini bukan berarti amalgamasi keduanya cenderung gagal.
7
Di Bali, masih banyak pasangan amalgamasi utamanya pasangan pria Hindu dan
wanita Islam. Usia perkawinannya pun telah melewati sepuluh tahun. Hal ini
berarti wanita itu telah melewati proses adaptasi menjadi orang Bali. Terlebih lagi
orang Bali masih mempertahankan tradisi leluhur yang sinkretis dengan agama
Hindu.
Orang Bali yang melakukan perkawinan memang mendaftarkan diri ke
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Tapi, pencatatan hanya dilakukan bagi
orang Bali yang telah masuk agama Hindu saja. Tidak ada data yang
menggambarkan jumlah perkawinan amalgamasi di Bali, khususnya perkawinan
pasangan Hindu-Islam. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan metode
studi kasus yang dilakukan di Provinsi Bali. Creswell dalam Raco (2010:49)
mendefinisikan studi kasus sebagai suatu eksplorasi dari sistem-sistem yang
terkait (bounded system) atau kasus.
Para informan dalam studi kasus ini adalah wanita yang berasal dari
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, menganut agama Islam dan melakukan
perkawinan dengan pria Hindu di Bali lebih dari sepuluh tahun. Acuan pemilihan
informan menggunakan indikator, yaitu asal daerah, tingkat pendidikan, warna
suami, pekerjaan dan usia perkawinan. Ada empat informan yang dipilih dengan
memperhatikan lima indikator tersebut.
Informan pertama ialah Dian Puspita Sari berasal dari Kota Solo, Provinsi
Jawa Tengah dan telah menyelesaikan pendidikan SMEA di Surabaya. Ia kawin
dengan pria Bali asal Kabupaten Karangasem, I Made Sumadi (warna jaba atau
Sudra) sejak tahun 2000 (usia perkawinan 15 tahun). Dian telah mengundurkan
diri dari bagian sirkulasi di Harian Pos Bali sejak tahun 2014. Kini, Dian hanya
menjadi ibu rumah tangga. Dian menetap bersama suami dan tiga anaknya di
Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Informan kedua ialah Nanik Eka Subaryanti berasal dari Kota Madiun,
Provinsi Jawa Timur. Ia kawin dengan pria Bali asal Kelurahan Peguyangan, Kota
Denpasar, Anak Agung Putu Gede Wisnawa (warna Ksatria) sejak tahun 1992
(usia perkawinan 23 tahun). Keduanya menetap bersama keempat anaknya di
8
sekitar Puri Peguyangan, Kota Denpasar. Pendidikan terakhirnya adalah SMA.
Sehari-hari Nanik membuka usaha binatu di rumahnya.
Informan ketiga ialah Oktoviani Triganevianti berasal dari Kota
Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Ia kawin dengan pria Bali asal Kabupaten
Buleleng, Gusti Bagus Sumertana (warna Waisya) sejak tahun 1989 (usia
perkawinan 26 tahun). Pendidikan terakhirnya adalah S1 Kurikulum dan
Teknologi Pendidikan di IKIP Yogyakarta. Kini, mereka menetap di Desa
Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Informan keempat ialah Sri Wahjuni berasal dari Pulau Madura, Provinsi
Jawa Timur. Ia kawin dengan Ida Bagus Putra Manuaba asal Kabupaten
Klungkung (warna Brahmana) sejak tahun 1983 (usia perkawinan 32 tahun). Ibu
dua anak ini menyelesaikan pendidikan Doktor di Universitas Udayana dan
sekarang menjadi dosen di kampus almamaternya, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Saat ini mereka menetap di Kota Denpasar.
Penelitian tentang perkawinan amalgamasi sudah beberapa kali dilakukan.
Namun, penelitian seputar proses adaptasi dalam perkawinan seperti ini jarang
diteliti, terutama perkawinan wanita Islam dan pria Hindu di Bali. Berdasarkan
pemaparan di atas, penelitian amalgamasi antara wanita Islam dan pria Hindu di
Bali menjadi menarik untuk diteliti, terutama strategi adaptasi beserta dampaknya.
Para informan yang telah mengarungi biduk rumah tangga lebih dari sepuluh
tahun ini telah mampu beradaptasi. Adaptasi membantu manusia untuk
menyesuaikan atau menyelaraskan kembali kehidupannya sehingga dapat berjalan
sesuai dengan lingkungan baru yang dihadapi (Triyanto, 2010:154). Dalam proses
adaptasi, masing-masing informan tentu memiliki ceritanya sendiri berdasarkan
latar belakang hidup mereka.
Para informan juga harus berinteraksi dengan keluarga suami dan
berperilaku selayaknya orang Bali. Banyak kisah etnografi yang menarik untuk
menjabarkan proses ia beradaptasi. Proses adaptasi yang dijalani juga akan
menimbulkan dampak terhadap kehidupan para informan. Permasalahan tersebut
kemudian akan diramu sebagai studi kasus dengan penjabaran life history masing-
masing informan dalam penelitian ini.
9
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana wanita Islam yang kawin dengan pria Hindu di Bali
beradaptasi terhadap kehidupan keluarga suami?
2. Bagaimana dampak adaptasi yang dilakukan wanita itu dalam
kehidupannya?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Untuk memahami proses adaptasi wanita Islam yang kawin dengan pria
Hindu di Bali terhadap kehidupan keluarga suami.
Untuk mengetahui dampak adaptasi wanita itu dalam kehidupannya.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat Akademis
Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori dan merupakan salah satu
syarat pelengkap untuk mendapatkan gelar sarjana (S1) Program Studi
Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana.
Manfaat Praktis
Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian-
kajian antropologi.
Studi kasus perkawinan amalgamasi yang berkaitan dengan proses
adaptasi wanita terhadap keluarga suaminya.
10
1.4 Kerangka Teori dan Konsep
1.4.1 Kerangka Teori
Teori Adaptasi
Prasetijo (2008) menyatakan konsep adaptasi datang dari dunia
biologi. Ada 2 poin penting yaitu evolusi genetik yang berfokus pada umpan
balik dari interaksi lingkungan dan adaptasi biologi yang berfokus pada
perilaku dari organisme selama hidupnya, di mana organisme tersebut
berusaha menguasai faktor lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan level
gerak yang terus-menerus.
Adaptasi mencakup dua hal, yaitu menyesuaikan diri terhadap
lingkungan dan menyesuaikan lingkungan terhadap dirinya sendiri. Dalam
biologi, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan alam sebagai tempat
tinggal makhluk hidup. Bentuk lingkungan adalah lingkungan secara fisik
terlihat atau kasat mata. Pada perkembangan berikutnya, ilmu-ilmu sosial juga
menggunakan istilah adaptasi. John William Bennett dalam bukunya The
Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human Adaptation
(1976:2) menyebutkan masyarakat dengan fenomena sosialnya juga
merupakan bagian dari lingkungan dan menjadi pengaruh bagi perilaku
manusia dan institusi.
Bennett menggunakan tiga konsep kunci untuk membahas dan
memahami dinamika kehidupan manusia dalam beradaptasi dengan
perubahan lingkungan, yaitu “perilaku adaptif”, “tindakan strategis” dan
“strategi adaptif” (Dhana, 1993:19). Perilaku adaptif merupakan bentuk-
bentuk perilaku yang menunjukkan penyesuaian cara-cara mencapai tujuan,
melakukan pilihan-pilihan dan menolak dalam melakukan tindakan atau
keterlibatan, dengan maksud untuk beradaptasi. Sedangkan tindakan strategis
merupakan tindakan-tindakan yang khusus direncanakan untuk menyelesaikan
upaya penyesuaian demi tercapainya kemajuan-kemajuan yang merupakan
tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya. Kemudian, konsep startegi
11
adaptif mengacu lebih khusus pada tindakan-tindakan yang dipilih oleh
manusia dalam proses pengambilan keputusannya, karena keberhasilannya
telah dapat diprediksinya (Dhana, 1993:20).
Kaplan dan Manners (2002:114) melihat suatu budaya yang sedang
bekerja, dan menganggap bahwa warga budaya itu telah melakukan semacam
adaptasi terhadap lingkungannya secara berhasil baik. Jika tidak demikian,
budaya niscaya sudah lenyap dan kalaupun ada peninggalannya itu hanya akan
berupa kenangan arkeologis tentang kegagalan budaya itu beradaptasi.
Penelitian ini akan mengungkap strategi adaptasi wanita Islam dalam
lingkungan keluarga suaminya. Ketika mereka mampu melakoni peran
sebagai orang Bali dengan baik maka dianggap telah berhasil melakukan
adaptasi, melestarikan bentuk-bentuk budaya Bali.
1.4.2 Kerangka Konsep
Adaptasi
Saat seseorang masuk ke dalam lingkungan yang baru, secara alamiah
dirinya sendiri akan melakukan perubahan untuk menyesuaikan diri. Setiap
orang tidak akan melewati proses yang sama karena bergantung pada
pandangan hidup. Konsep ini disebut dengan adaptasi. Bennett dalam Triyanto
(2010:154) menjelaskan bahwa adaptasi adalah upaya menyesuaikan dalam
arti ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan
lingkungannya; atau sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang
dihadapi dapat disesuaikan dengan keinginan dan tujuannya.
Penelitian ini membicarakan cara wanita Islam melakukan
penyesuaian dengan lingkungan budaya yang berbeda dari sebelumnya.
Dalam usaha adaptasinya, wanita tersebut berupaya untuk mempertahankan
hidup dalam situasi yang baru dialaminya. Wanita ini tidak hanya
menyesuaikan dirinya, tetapi melakukan modifikasi budaya untuk membuat
lingkungan barunya itu sesuai terhadap dirinya sendiri.
12
Strategi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1092), strategi adalah
rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran. Sejalan
dengan pengertian itu, Stephanie K. Marrus mendefinisikan strategi sebagai
suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada
tujuan panjang organisasi disertai penyusunan suatu cara atau upaya
bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai (Umar, 2008:31). Dalam
penelitian ini, strategi disandingkan dengan adaptasi yang berarti rencana para
wanita Islam beradaptasi disertai penyusunan cara atau upaya untuk diterima
di lingkungan keluarga suami.
Wanita
Wanita merupakan perempuan yang sudah menginjak fase dewasa.
Umumnya perkawinan terjadi pada fase ini. Suwardi Endraswara dalam
Falsafah Hidup Jawa (2003:56), kata wanita berasal dari tembung camboran,
khususnya jarwadhosok, dari perkataan wani ing tata. Artinya seorang wanita
harus dapat mengatur segala sesuatu yang dihadapinya, khususnya di dalam
rumah tangga. Secara umum, wanita memiliki bentuk tubuh yang menonjol
serta menampakkan garis-garis melingkar atau bulat (Tim Pusat
Pendampingan Keluarga KAS, 2007:40). Hal ini mencerminkan karakter
seorang yang cenderung lembut dan halus.
Wanita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah informan utama.
Para informan tersebut berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dan
kawin dengan pria Hindu asal Bali. Sebagai istri orang Bali, para informan
patut menjalankan tradisi orang Bali dan agama Hindu. Oleh karena itu, para
wanita yang dipilih menjadi informan ialah wanita yang sudah berhasil
menyatu dalam tradisi Bali dan agama Hindu.
13
Agama Islam
Nama agama Islam berasal dari kata Salam yang berarti damai dan
dapat pula berarti menyerahkan diri. Huston Smith (2001:254) menyimpulkan
keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah kedamaian sempurna
yang terwujud jika hidup seseorang diserahkan kepada Allah. Sebagaimana
halnya agama luhur lainnya, segala sesuatu dalam Islam berpusat pada
kenyataan utama, yaitu Tuhan atau Allah.
Dalam penelitian ini, agama Islam merupakan agama pertama yang
dianut oleh para informan. Pemaparan latar belakang di atas telah disebutkan
bahwa pemeluk Islam mendominasi Jawa, maka asal daerah informan dibatasi
dari dua provinsi di Pulau Jawa yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari sisi
kesukuan, informan yang dipilih merupakan suku bangsa Jawa dan Madura
yang berasal dari dua provinsi tersebut.
Keluarga Suami
Keluarga adalah kelompok yang berdasarkan pertalian sanak-saudara
yang memiliki tanggung jawab atas sosialisasi anak-anaknya dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu lainnya. Ia terdiri dari sekelompok orang
yang memiliki hubungan darah, tali perkawinan atau adopsi dan yang hidup
bersama-sama untuk periode waktu yang tidak terbatas (Cohen, 1983:172).
Sementara itu, suami adalah pasangan dari istri. Dalam hal pengistilahan ini,
istri adalah wanita Islam dan suami adalah pria Hindu. Maka keluarga suami
yang dimaksudkan adalah pertalian sanak saudara kepunyaan suami informan
penelitian ini, keluarga pria Hindu. Keluarga suami difokuskan pada keluarga
luas suami sebatas suami, anak, mertua dan para ipar.
Perkawinan Amalgamasi
Goodenough dalam Keesing (1981:6) perkawinan adalah suatu
transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seseorang (pria atau
wanita, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil) memiliki
hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual –
14
hak ini mempunyai prioritas atas hak untuk menggauli secara seksual yang
sedang dimiliki atau yang kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap
wanita tersebut (kecuali yang melalui transaksi semacam), sampai kontrak
hasil transaksi itu berakhir dan wanita yang bersangkutan dianggap memenuhi
syarat untuk melahirkan anak. Koentjaraningrat (1981:90) turut memberikan
penjelasan mengenai perkawinan ditinjau dari sudut pandang kebudayaan
manusia. Ia menyatakan perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia
yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah kelakuan-kelakuan
seks, terutama persetubuhan.
Perkawinan amalgamasi adalah proses terjadinya perkawinan
campuran dalam frekuensi tinggi; artinya perkawinan antara pihak-pihak yang
berbeda kebudayaan, berbeda pola perilakunya, dan berbeda golongannya.
Istilah lainnya ialah asimilasi perkawinan (Hasjir, 1984:9). Menurut
ensiklopedia politika (Cahyono, 1982:29) biasanya perkawinan tersebut
dilakukan oleh seseorang dari golongan minoritas dengan seorang dari
golongan mayoritas. Penelitian ini merujuk pada kasus amalgamasi suku
bangsa dan agama, dalam hal ini suku bangsa Bali beragama Hindu dan suku
bangsa Jawa dan Madura beragama Islam. Jika ditinjau berdasarkan pola
menetapnya maka suku bangsa Bali menjadi golongan mayoritas. Sebaliknya,
suku bangsa Jawa dan Madura menjadi golongan minoritas di Bali.
Pria
Pria adalah laki-laki yang telah menginjak fase dewasa. Sama dengan
wanita, pada fase ini, pria dianggap telah siap melangsungkan perkawinan dan
selanjutnya hidup berumah tangga. Pria memiliki bentuk tubuh yang
menonjolkan garis lurus, tegak, kuat dan penuh otot-otot kekar (Tim Pusat
Pendampingan Keluarga KAS, 2007:40). Bentuk-bentuk tersebut
mencerminkan karakter pria yang perkasa dan kuat. Tentu saja bertolak
belakang dengan karakter wanita. Oleh karena itu, pada masyarakat
15
kebanyakan mendaulat pria sebagai kepala keluarga dengan sistem patrilinear.
Pria diharapkan mampu menjadi pelindung wanita termasuk keluarganya.
Pria dalam penelitian ini adalah suami informan yang berasal dari Bali
dan beragama Hindu. Asal daerah suami informan beragam untuk
menunjukkan perbedaan proses adaptasi yang dijalani masing-masing
informan. Suami informan berasal dari Kota Denpasar, Kabupaten
Karangasem, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Buleleng.
Agama Hindu
Semua ajaran Agama Hindu diorangi oleh ajaran Weda, walaupun
sering dalam bentuknya berbeda-beda di berbagai tempat. Dari Wedalah
semua ajaran Agama Hindu mengalir. Weda dan kitab-kitab cabang dari
Weda menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai nama. Tuhan Yang
Maha Esa, Hyang Widhi Wasa disebut dengan ribuan nama, Brahma
Sahasranama, Wisnu Sahasranama, Siwa Sahasranama. Kata sahasra berarti
seribu. Walaupun disebut dengan ribuan nama, sesungguhnya Beliau adalah
Maha Esa. Penamaan yang beraneka ragam yang memuji dan
mengungkapkan-Nya adalah keterbatasan manusia untuk membayangkan
Tuhan Yang Maha Tidak Terbatas itu (Titib, 1994:16).
Dasar keyakinan Agama Hindu dijabarkan dalam Panca Sraddha.
Panca berarti lima dan Sraddha berarti kepercayaan atau keyakinan. Kelima
keyakinan tersebut meliputi Brahman (keyakinan terhadap Tuhan), Atman
(keyakinan terhadap Atman), Karmaphala (keyakinan terhadap hukum
Karma), Punarbhawa atau Samsara (keyakinan terhadap penjelmaan kembali)
dan Moksa (keyakinan terhadap bersatunya Atman dengan Brahman)
(http://babadbali.com diakses 19 Desember 2013). Agama Hindu berkembang
bersamaan dengan tradisi setempat. Begitu pula di Bali, agama Hindu tidak
lepas dari tradisi orang Bali. Sehingga, jika seseorang mengonversikan
agamanya menjadi agama Hindu, kemudian perlahan mengonversikan
tradisinya menjadi tradisi setempat. Dalam penelitian ini, suami informan
yang dipilih tidak hanya berasal dari Bali tetapi juga menganut agama Hindu.
16
Sesuai dengan ajaran agama Hindu, informan harus mengonversi agama agar
sama dengan suaminya.
Bali
Provinsi Bali merupakan salah satu dari 34 provinsi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bali terletak di wilayah Indonesia bagian
tengah. Suku bangsa Bali sebagai suku bangsa yang mendominasi wilayah
Bali. Dalam perkembangannya, Bali menjadi tujuan banyak orang dari
berbagai dunia untuk berwisata atau bekerja. Tak heran jika banyak pendatang
yang kini tinggal di Bali. Data dari situs http://beritabali.com menyebutkan
jumlah penduduk yang masuk ke Bali melalui pelabuhan Gilimanuk sebanyak
4173 orang pada tahun 2012. Jumlah pendatang yang tinggi membuat
interaksi antara orang Bali dan Jawa juga meningkat hingga hubungan
perkawinan. Dalam penelitian ini, Bali merupakan lokasi penelitian di mana
perkawinan amalgamasi wanita Islam dan pria Hindu terjadi.
Dampak
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:234) mendefinisikan dampak
sebagai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat. Segala upaya yang
dilakukan para wanita Islam untuk beradaptasi pasti akan menimbulkan
dampak dalam kehidupannya. Penelitian ini turut mengungkap dampak-
dampak yang timbul setelah para wanita Islam berbaur dan beradaptasi di
dalam lingkungan keluarga suami.
17
1.5 Model Penelitian
Penjelasan Model:
Pusat dari keseluruhan penelitian ini berawal dari fenomena perkawinan
wanita Islam dan pria Hindu di Bali. Latar belakang budaya Bali keluarga
suaminya yang sangat kuat menyebabkan wanita Islam harus mengikuti tata
aturan orang Bali. Wanita tersebut juga harus masuk agama Hindu sesuai dengan
keyakinan yang dianut suaminya. Agar dapat diterima sebagai orang Bali, wanita
ini melewati proses adaptasi. Proses ini dilakukan untuk mendalami agama dan
tradisi serta kebiasaan yang berbeda dari sebelumnya. Adaptasi dikaji melalui tiga
konsep kunci yang dilakukan oleh para wanita Islam, yaitu “perilaku adaptif”,
“tindakan strategis” dan “strategi adaptif”.
Ada berbagai strategi adaptasi yang dilakukan, seperti strategi adaptasi
terhadap Bahasa Bali, makanan, banten, pakaian dan sistem sosial menyama
braya. Lima hal tersebut merupakan batu sandungan paling umum ditemui dalam
proses adaptasi para wanita Islam yang kawin dengan pria Hindu di Bali.
Meskipun para wanita tersebut memiliki masalah yang sama, strategi adaptasi
yang dilakukan belum tentu sama. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang
keluarga wanita itu dan suaminya, pendidikan, pekerjaan dan usia perkawinan.
Wanita Islam
Keluarga Suami
Dampak Adaptasi
Budaya Bali
Strategi Adaptasi
18
Dalam penelitian ini, pengaruh-pengaruh tersebut dituangkan ke dalam faktor-
faktor pendorong dan penghambat yang mewarnai perjalanan wanita tersebut
beradaptasi.
Proses adaptasi wajib dilakukan untuk memperoleh kedudukan dan
peranan dalam keluarga suami. Kedudukan dan peranan menunjukkan
keberhasilan para wanita Islam melebur dirinya sebagai orang Bali. Mereka telah
mampu menjadikan dirinya sejajar dengan orang Bali lainnya, setidaknya di
dalam keluarga suaminya. Hal ini merupakan dampak dari proses adaptasi yang
telah dilakukan. Perubahan kehidupan dan budaya mendorong wanita tersebut
untuk mengubah pandangan dan kebiasaan. Tujuan akhirnya ialah membangun
keluarga harmonis. Dalam konteks penelitian ini, keluarga harmonis merupakan
keluarga yang berjalan sesuai dengan fungsi-fungsi keluarga serta melakoni
peran-perannya sesuai dengan budaya Bali.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Lokasi Penelitian
Belum ada instansi atau penelitian yang menyajikan data jumlah
perkawinan antaragama di Bali, khususnya perkawinan agama Islam dengan
agama Hindu di Bali. Hal ini menyebabkan peneliti sulit menentukan batasan
lokasi penelitian yang sering mengadakan perkawinan seperti ini. Maka dari
itu, penelitian ini menyesuaikan lokasi penelitian dengan lokasi informan
berada. Robert K. Yin (2013:56) menyebutkan bagian utama dalam penelitian
multikasus yaitu logika “replika”. Replika yang dimaksud adalah para wanita
Islam yang mengalami perkawinan amalgamasi dengan pria Hindu di Bali
tanpa dibatasi lokasi tertentu. Berdasarkan informan yang telah ditentukan,
ada dua lokasi utama sebagai tempat tinggal informan saat ini yaitu Kota
Denpasar dan Kabupaten Gianyar.
19
1.6.2 Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Menurut Suwardi Endraswara (2006:115) teknik
purposive sampling artinya sampel yang bertujuan. Penyampelan dilakukan
dengan menyesuaikan gagasan, asumsi, sasaran, tujuan, manfaat yang hendak
dicapai oleh peneliti. Demi perolehan data yang sesuai dengan tujuan
penelitian, maka informan yang dipilih adalah wanita-wanita yang
sebelumnya beragama Islam. Mereka kawin dengan pria suku bangsa Bali
yang beragama Hindu. Informan berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur, wilayah yang menjadi dominasi suku bangsa Jawa dan agama Islam di
Indonesia. Informan yang dipilih adalah empat wanita yang turut aktif
melakukan kegiatan sehari-hari selayaknya orang Bali. Dalam penelitian ini,
informan merupakan wanita dari suku bangsa Jawa dan Madura.
Alasan pemilihan empat informan tersebut adalah jumlah informan
mewakili catur warna yang merupakan golongan suami informan. Catur warna
yang dimaksud adalah Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra. Kemudian,
peneliti memetakan beberapa indikator antarinforman untuk meneliti kasus
secara mendalam. Keempat informan memiliki latar belakang yang beragam.
Indikator tersebut adalah asal daerah, tingkat pendidikan, warna suami,
pekerjaan saat ini dan usia perkawinan. Indikator tersebut digunakan peneliti
untuk melihat pengaruhnya dalam cara-cara informan beradaptasi dalam
kehidupannya sebagai orang Bali.
1.6.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data kualitatif yang ditunjang
dengan data kuantitatif. Data kualitatif berasal dari informasi yang dilontarkan
oleh informan. Dalam tradisi kualitatif (Endraswara, 2003:15) peneliti sebagai
instrumen pengumpul data, mengikuti asumsi kutural dan mengikuti data.
Sehingga, peneliti akan lebih fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil
jarak. Data kualitatif ini merupakan data primer dalam penelitian ini berupa
20
wawancara pengalaman informan. Sementara itu, data kuantitatif bersifat
sekunder untuk mendukung data kualitatif berupa hasil penelitian yang serupa
dengan penelitian ini dan data kepustakaan.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data terdiri atas pengumpulan data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data ini dilakukan dengan beberapa metode, sehingga
pengumpulan data penelitian menjadi lengkap.
Metode Observasi
Observasi atau pengamatan dilakukan di lokasi penelitian disesuaikan
dengan tempat informan. Endraswara (2006:138) menyebutkan pengamatan
berperan serta menghendaki peneliti memasuki wilayah penelitian dan
mengungkap data sampai sekecil-kecilnya. Pengamatan ini berfungsi sebagai
informasi awal bagi peneliti sebelum melakukan metode wawancara. Peneliti
telah melakukan observasi di rumah dan tempat kerja informan beberapa kali
untuk menjalin keakraban agar informan merasa nyaman menceritakan
pengalamannya.
Metode Wawancara
Wawancara berbeda dengan percakapan sehari-hari. Wawancara
adalah a conversation with purpose (Endraswara, 2006:151) atau percakapan
dengan tujuan tertentu. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan
mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu
masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu (Koentjaraningrat, 1989:129).
Adapun dua metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
wawancara biasa dan wawancara mendalam. Wawancara biasa digunakan
untuk menggali informasi awal dan pendukung pada informan. Sementara itu,
wawancara mendalam diaplikasikan pada informan kunci atau key informan
dengan menggali informasi yang lebih mendalam. Wawancara dalam
21
penelitian ini lebih banyak dilakukan dengan para wanita Islam yang kawin
dengan pria Hindu di Bali sebagai informan utama. Wawancara juga
dilakukan dengan orang-orang di sekitar informan untuk memperoleh
informasi pendukung, yaitu anak, suami, mertua dan anggota keluarga
lainnya.
Metode Life History
Metode ini menggunakan data pengalaman individu (individual’s life
history) sebagai bahan analisis. Koentjaraningrat (1989:158) mengungkapkan
data pengalaman individu merupakan bahan keterangan mengenai apa yang
dialami oleh individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakat
yang sedang menjadi obyek penelitian. Metode ini mengarahkan peneliti
untuk memperoleh suatu pandangan dari dalam, melalui reaksi, tanggapan,
interpretasi dan penglihatan para informan mengenai strategi adaptasi yang
bersangkutan. Metode life history dalam penelitian ini mengacu pada cerita
tentang pengalaman wanita Islam saat awal pertemuan dengan suami hingga
saat penelitian ini dilakukan. Hal ini turut menentukan cara-cara wanita Islam
beradaptasi sebagai orang Bali.
Metode Kepustakaan
Riset kepustakaan merupakan pengumpulan data melalui sumber-
sumber informasi yang sudah ada dalam bentuk buku, tulisan, artikel dan
sebagainya. Idealnya, sebuah riset profesional menggunakan kombinasi riset
pustaka dan lapangan dengan penekanan pada salah satu di antaranya. Riset
pustaka tidak hanya sekedar urusan membaca dan mencatat literatur atau
buku-buku. Riset pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah
bahan penelitian (Zed, 2008:3). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan riset
kepustakaan melalui berbagai buku dan situs internet untuk memperoleh data
pendukung.
22
Metode Dokumentasi
Penelitian ini turut dilengkapi dengan dokumentasi dalam bentuk foto
dan rekaman video. Beberapa foto di antaranya adalah foto perkawinan, foto
close up, foto kegiatan informan. Rekaman video digabungkan menjadi
sebuah film pendek. Dokumentasi merupakan bagian dari data visual yang
bersifat sekunder. Peneliti mengharapkan penelitian ini menjadi suatu
kesatuan yang lengkap dengan data yang memadai, sehingga mampu
menggambarkan situasi informan dengan jelas.
1.6.5 Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah data-data yang telah
terkumpul, baik dengan metode observasi, wawancara, kepustakaan dan
dokumentasi. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam
mengorganisasikan data penelitian. Robert K. Yin (2013:137-138)
menjelaskan analisis deskriptif merupakan salah satu strategi umum analisis
studi kasus. Analisis deskriptif membantu pengidenttifikasian dan
pemamparan kasus perkawinan amalgamasi dengan apa adanya, dalam hal ini
amalgamasi wanita Islam dan pria Hindu di Bali Penelitian ini
mendeskripsikan ragam strategi adaptasi wanita Islam saat kawin dengan pria
Hindu di Bali serta berbagai dampak yang ditimbulkan ke dalam kehidupan
wanita itu.