bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengertian rumahtangga menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Rumahtangga dipimpin oleh kepala rumahtangga yaitu seseorang yang dianggap/ditunjuk untuk bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-hari rumahtangga tersebut. Menurut Guhardja (1992), rumahtangga mempunyai fungsi untuk bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu: a. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial; dan b. Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Pembagian tugas di dalam rumahtangga telah tercipta dan terbiasa di dalam masyarakat. Pembagian tugas ini sebenarnya telah disadari oleh sebagian besar masyarakat serta membudaya dalam kehidupan masyarakat sehingga pembagian tersebut dianggap wajar. Pembagian tugas ini adalah seorang laki-laki (bapak/suami) sebagai kepala rumahtangga berkewajiban mengelola sesuatu yang berada di luar rumah, termasuk mencari nafkah. Wanita berkewajiban mengelola segala sesuatu yang berada di dalam rumah dan tidak dibenarkan ke luar dari lingkungan dan domisilinya kecuali dengan izin suaminya (Rochaini, 1981 dalam Muhibat, 1994). Menurut Oppong dan Church (Tjokrowinoto, 1986 dalam Muhibat, 1994) ada 7 peran yang dilakukan oleh wanita sebagai ibu rumahtangga, yaitu 1) peran sebagai orangtua, 2) peran sebagai istri, 3) peran di dalam rumahtangga, 4) peran di dalam kekerabatan, 5) peran pribadi, 6) peran di dalam komunitas, dan 7) peran

Upload: dinhkhue

Post on 01-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pengertian rumahtangga menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah

seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan

fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Yang dimaksud dengan

makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi

satu. Rumahtangga dipimpin oleh kepala rumahtangga yaitu seseorang yang

dianggap/ditunjuk untuk bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-hari

rumahtangga tersebut. Menurut Guhardja (1992), rumahtangga mempunyai fungsi

untuk bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan

anggota-anggotanya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan,

tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:

a. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk

pengembangan fisik dan sosial; dan

b. Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk

pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual.

Pembagian tugas di dalam rumahtangga telah tercipta dan terbiasa di

dalam masyarakat. Pembagian tugas ini sebenarnya telah disadari oleh sebagian

besar masyarakat serta membudaya dalam kehidupan masyarakat sehingga

pembagian tersebut dianggap wajar. Pembagian tugas ini adalah seorang laki-laki

(bapak/suami) sebagai kepala rumahtangga berkewajiban mengelola sesuatu yang

berada di luar rumah, termasuk mencari nafkah. Wanita berkewajiban mengelola

segala sesuatu yang berada di dalam rumah dan tidak dibenarkan ke luar dari

lingkungan dan domisilinya kecuali dengan izin suaminya (Rochaini, 1981 dalam

Muhibat, 1994).

Menurut Oppong dan Church (Tjokrowinoto, 1986 dalam Muhibat, 1994)

ada 7 peran yang dilakukan oleh wanita sebagai ibu rumahtangga, yaitu 1) peran

sebagai orangtua, 2) peran sebagai istri, 3) peran di dalam rumahtangga, 4) peran

di dalam kekerabatan, 5) peran pribadi, 6) peran di dalam komunitas, dan 7) peran

2

di dalam pekerjaan. Peran wanita tersebut bertujuan untuk mendukung kepala

rumahtangga (suami) dalam memenuhi kebutuhan agar mencapai kesejahteraan.

Kondisi rumahtangga yang utuh tersebut tidak dinikmati oleh semua

rumahtangga. Ada beberapa faktor demografis yang menyebabkan wanita menjadi

orangtua tunggal sekaligus kepala rumahtangga. Pertama, karena ada wanita yang

tidak pernah menikah dan mendirikan rumahtangganya sendiri, atau mengambil

alih tanggungjawab kepala rumahtangga dimana ia menjadi anggota. Kedua,

karena perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, wanita tersebut tidak

meleburkan dirinya kembali menjadi anggota rumahtangga dimana ia dilahirkan

atau rumahtangga bekas suaminya dan ia juga belum menikah lagi. Ketiga, karena

perantauan, baik oleh suami maupun oleh wanita itu sendiri sehingga wanita

tersebut secara de facto adalah kepala rumahtangga. Keempat, karena satu dan

lain hal suami tidak dapat mencari nafkah lagi sehingga wanita secara de facto

menjadi pencari nafkah utama (Sajogyo, 1991 dalam Sugiatmi, 2001).

Beal (1980) dalam Walsh (2003) mengungkapkan bahwa wanita memiliki

usia rata-rata yang lebih panjang, umumnya wanita menikah dengan pria yang

lebih tua, dan lebih banyak duda yang menikah kembali, sehingga lebih banyak

janda daripada duda. Mengingat siklus hidup wanita, mereka telah mencapai usia

senja menurut keadaan penduduk Indonesia maka mereka dikatakan telah berada

dalam stadium “sarang kosong” (empty nest stage) dan mereka tidak hanya

ditinggal suaminya tetapi juga anak-anaknya. Dalam keadaan demikian mereka

tergantung pada dirinya sendiri atau dibantu oleh keponakan atau cucu. Golongan

wanita ini sering kali menghadapi hambatan dalam memenuhi kebutuhan dasar

rumahtangganya karena tidak ada anggota lain yang mampu membantu

memperoleh nafkah. Lebih-lebih jika mereka miskin, maka keadaan tersebut akan

menimbulkan berbagai kesulitan dalam kehidupannya (Oey dan Surbakti, 1990).

3

Tabel 1.1 Perbandingan Angka Harapan Hidup (Tahun) Menurut Jenis Kelamin dan Provinsi di Jawa Hasil SP90 – SP2010

No Provinsi SP90 (1986) SP2000 (1996) SP2010 (2006) L P L P L P

1 DKI Jakarta 64,3 68,2 69,2 73,1 72,8 76,5 2 Jawa Barat 54,2 57,4 61,1 64,8 68,9 72,8 3 Jawa Tengah 59,4 63,0 64,0 67,9 70,4 74,3 4 DI Yogyakarta 64,7 68,5 69,2 73,1 72,1 75,9 5 Jawa Timur 59,7 63,3 63,1 66,9 69,3 73,2 6 Banten - - 59,1 62,8 69,4 73,3

Indonesia 58,1 61,5 63,5 67,3 68,7 72,6 Sumber: BPS, 2010 L = Laki-laki P = Perempuan

Usia rata-rata wanita yang lebih panjang daripada usia laki-laki jelas

terlihat pada Tabel 1.1 terutama di DI Yogyakarta. Pada tabel tersebut Angka

Harapan Hidup (AHH) wanita selalu lebih tinggi dibandingkan dengan AHH laki-

laki. Berdasarkan Tabel 1.1 Angka Harapan Hidup (AHH) DI Yogyakarta lebih

tinggi dibandingkan AHH Indonesia dan provinsi lainnya di Jawa. Angka

Harapan Hidup (AHH) wanita yang tinggal di DIY semakin meningkat menurut

hasil SP 1990 – 2010. Wanita yang menikah dengan laki-laki yang lebih tua

cenderung menjadi janda saat tua karena AHH wanita lebih tinggi dibandingkan

AHH laki-laki. Saat wanita menjadi janda umumnya mereka sekaligus menjadi

kepala rumahtangga.

Tabel 1.2 Persentase Jumlah Wanita Kepala Rumahtangga Hasil Sensus Penduduk Menurut Provinsi di Jawa Tahun 1990 - 2010

No Provinsi Persentase WKRT (%)

1990 2000 2010 1 DKI Jakarta 5,01 7,28 8,26 2 Jawa Barat 5,93 5,32 7,11 3 Banten - 4,62 6,01 4 Jawa Tengah 6,23 6,79 7,96 5 DI Yogyakarta 9,16 11,04 11,16 6 Jawa Timur 7,48 7,98 8,70

Indonesia 5,86 6,20 7,24 Sumber: BPS, 1990, 2000, 2010

4

Tabel 1.2 menunjukkan persentase wanita kepala rumahtangga (WKRT)

terhadap jumlah wanita yang tinggal di DIY lebih tinggi dibandingkan dengan

mereka yang tinggal di provinsi lainnya di Jawa. Pada tabel tersebut jumlah

WKRT di DIY meningkat menurut hasil Sensus Penduduk. Pada tahun 2010

sebanyak 11,16% dari jumlah penduduk wanita di DIY adalah WKRT yang ini

merupakan persentase tertinggi di antara provinsi lainnya di Jawa. Angka ini lebih

tinggi dibandingkan dengan hasil SP2000. Hal ini merupakan suatu kajian yang

menarik untuk diteliti.

Wanita berstatus cerai mati atau cerai hidup yang menjadi kepala

rumahtangga harus menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama

suaminya, seperti mengurus rumah dan memenuhi seluruh kebutuhan

rumahtangga. Keadaan seperti ini menyebabkan perubahan peran wanita dalam

rumahtangga. Menurut Perlmutter dan Hall (1985), perubahan ini dapat

menimbulkan masalah, sebab wanita yang semula berperan hanya sebagai ibu

saja, sekarang harus berperan ganda. Melakukan berbagai tugas yang semula

dilakukan berdua akan membuat wanita mengalami kelebihan tugas.

Wanita yang memiliki status kawin namun karena suaminya tidak dapat

bekerja (sakit) kemudian dia menjadi kepala rumahtangga memiliki tugas yang

berlebihan. Begitu juga dengan wanita kepala rumahtangga yang belum kawin.

Dia harus mengurus rumahtangga dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan secara

bersamaan. Seperti yang dikatakan oleh Beal (dalam Walsh, 2003) bahwa masalah

utama wanita kepala rumahtangga terutama orangtua tunggal wanita adalah tugas

yang berlebihan.

Gardiner (1991) dalam Sugiatmi (2001) menyatakan bahwa rumahtangga

yang dikepalai oleh seorang wanita cenderung dalam kondisi kekurangan. Salah

satu faktor yang menyebabkan kondisi tersebut adalah faktor pendidikan. Wanita

yang terpaksa harus berperan sebagai kepala rumahtangga memiliki tingkat

pendidikan yang rendah. Akibatnya mereka bekerja sebagai buruh tani, buruh

harian dengan upah yang rendah. Pendapatan yang terbatas menyebabkan tidak

terpenuhinya kebutuhan hidup. Selain itu tingkat pendidikan wanita kepala

5

rumahtangga yang rendah dapat dilihat dari akses wanita kepala rumahtangga

terhadap media massa.

Studi Sigit (1983) dalam Sugiatmi (2001) yang didasarkan pada data Supas

tahun 1978 menemukan bahwa kelompok rumahtangga yang dikepalai oleh

wanita merupakan kelompok yang ekonominya lemah. Mereka mempunyai

pendidikan lebih rendah sebagai anggota pencari nafkah yang sedikit jumlahnya

dan berpenghasilan lebih rendah (Sajogyo, 1991). Hal itu dikuatkan oleh

Garfinkel MC Lanahan (1986) dan Hull (1979) dalam Rahmani (1995) yang

mengatakan bahwa rumahtangga-rumahtangga yang dikepalai oleh wanita pada

umumnya berada pada kondisi miskin.

Saat ini diperkirakan ada sekitar 7 juta wanita di Indonesia yang berperan

sebagai kepala rumahtangga menurut BPS. Jumlah ini mewakili lebih dari 14%

dari total jumlah rumahtangga di Indonesia. Mayoritas dari wanita kepala

rumahtangga ini hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan dibawah

US$ 1 dollar. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka banyak

mengandalkan usaha di sektor informal alias kerja serabutan seperti berdagang,

menjadi buruh tani, pembantu rumahtangga, menjahit dan lain-lain (Radio

Australia edisi 17 Mei 2012). Hal demikian menunjukkan bahwa rumahtangga

yang dikepalai wanita di Indonesia belum sejahtera.

Kesejahteraan rumahtangga juga dapat dilihat dari pola konsumsi dan

pengeluaran dari rumahtangga tersebut. Secara umum rata-rata pengeluaran

perkapita sebulan dari rumahtangga yang dikepalai wanita lebih besar daripada

pengeluaran sebulan dari rumahtangga yang dikepalai oleh pria. Keadaan ini tidak

sama untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Di daerah pedesaan rata-rata

pengeluaran perkapita sebulan dari rumahtangga yang dikepalai oleh wanita lebih

kecil dibandingkan rata-rata pengeluaran perkapita sebulan rumahtangga yang

dikepalai pria. Bila rata-rata pengeluaran dilihat dari kelompok umur kepala

rumahtangga, umumnya semakin tua umur kepala rumahtangga semakin kecil

rata-rata pengeluaran perkapita rumahtangga (Sugiatmi, 2001).

Salah satu indikator kesejahteraan keluarga adalah dengan mengukur

besarnya pengeluaran. Keluarga dengan kesejahteraan lebih baik, mempunyai

6

persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibanding keluarga dengan

kesejahteraan lebih rendah. Jika dikaitkan dengan teori kebutuhan, maka pangan

merupakan kebutuhan paling utama (Rambe, 2008). Teori Engel menyatakan

semakin tinggi tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran rumahtangga

untuk konsumsi pangan akan mengalami penurunan. Berdasarkan teori klasik ini

maka keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila persentase pengeluaran untuk

konsumsi pangan jauh lebih rendah daripada pengeluaran non pangan. Artinya,

setiap tambahan pendapatan yang diperoleh akan dialokasikan untuk memenuhi

kebutuhan non pangan.

Alokasi pengeluaran atau tingkat konsumsi rumahtangga sangat

berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi kepala

ruamhtangganya. Karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga

kemungkinan akan mempengaruhi alokasi pengeluaran rumahtangganya sehingga

hal ini sangat menarik untuk dikaji. Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki

jumlah wanita kepala rumahtangga banyak pada tahun 2005 dan 2010 merupakan

daerah kajian yang menarik dalam penelitian ini dengan membandingkan tipe

daerah, perkotaan dan pedesaan.

1.2. Perumusan Masalah

Wanita menjadi kepala rumahtangga disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut antara lain pertama, wanita yang tidak menikah dan

mendirikan rumahtangga sendiri atau mengambil alih tanggungjawab kepala

rumahtangga. Kedua, karena perceraian baik cerai hidup atau cerai mati, wanita

tersebut tidak menikah lagi dan hidup terpisah dari anggota rumahtangga dimana

ia dilahirkan atau bekas suaminya. Ketiga, karena perantauan dan keempat, karena

satu dan lain hal suami tidak mencari nafkah lagi sehingga wanita secara de facto

menjadi pencari nafkah utama.

Jumlah wanita kepala rumahtangga yang semakin meningkat di Daerah

Istimewa Yogyakarta menarik untuk dikaji terutama pada tahun 2005 dan 2010.

Menurut tipe daerah, perkotaan dan pedesaan, wanita kepala rumahtangga

memiliki karakteristik sosial ekonomi tertentu yang menarik untuk dikaji. Faktor-

7

faktor sosial ekonomi seperti umur, status perkawinan, tingkat pendidikan dan

pekerjaan wanita kepala rumantangga yang kemudian dikaitkan dengan tingkat

kesejahteraan rumahtangganya.

Kesejahteraan rumahtangga dapat diukur dengan besarnya tingkat

konsumsi atau pengeluarannya. Biasanya dapat dilihat dari alokasi pengeluaran

rumahtangganya. Teori Engels menyatakan bahwa rumahtangga yang

kesejahteraannya lebih baik memiliki alokasi pengeluaran pangan lebih rendah

daripada pengeluaran non pangan. Peran wanita kepala rumahtangga dalam

penentuan alokasi pengeluaran ini tentunya dipengaruhi oleh karakteristik sosial

ekonominya. Berdasarkan paparan tersebut maka permasalahan dalam penelitian

ini dapat dirumuskan:

1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga di

Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005 dan 2010?

2. Bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi wanita kepala

rumahtangga terhadap alokasi pengeluaran rumahtangganya di Daerah

Istimewa Yogyakarta tahun 2005 dan 2010?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga di

Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2005 dan 2010.

2. Mengetahui hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi wanita kepala

rumahtangga terhadap alokasi pengeluaran rumahtangga di Daerah Istimewa

Yogyakarta tahun 2005 dan 2010.

1.4. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Akademis

1. Sebagai sumber informasi tambahan terkait wanita kepala

rumahtangga di Daerah Istimewa Yogyakarta.

8

2. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian

selanjutnya yang terkait dengan WKRT baik di Daerah Istimewa

Yogyakarta maupun daerah lainnya.

3. Dapat menjadi inspirasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian

selanjutnya yang terkait WKRT di Daerah Istimewa Yogyakarta dan

daerah lainnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

penentuan kebijakan yang tepat berkaitan dengan kesejahteraan

rumahtangga yang dikepalai oleh wanita di DIY.

1.5. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Wanita Kepala Rumahtangga

Rumahtangga biasa menurut BPS (2005, 2010) adalah seorang atau

sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan

fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Yang dimaksud

dengan makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama

menjadi satu. Ada bermacam-macam bentuk rumahtangga biasa di antaranya:

1) orang yang tinggal bersama istri dan anaknya;

2) orang yang menyewa kamar atau sebagian bangunan sensus dan mengurus

makannya sendiri;

3) keluarga yang tinggal terpisah di dua bangunan sensus, tetapi makannya

dari satu dapur, asal kedua bangunan sensus tersebut masih dalam satu

blok sensus;

4) rumahtangga yang menerima pondokan dengan makan (indekos) yang

pemondoknya kurang dari 10 orang;

5) pengurus asrama, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan dan sejenisnya

yang tinggal sendiri maupun bersama istri, anak, serta anggota

rumahtangga lainnya, makan dari satu dapur yang terpisah dari lembaga

yang diurusnya;

9

6) beberapa orang yang bersama-sama mendiami satu kamar dalam satu

bangunan sensus walaupun mengurus makannya sendiri-sendiri.

Setiap rumahtangga memiliki kepala rumahtangga yang menurut BPS

(2005, 2010) adalah seorang dari sekelompok anggota rumahtangga yang

bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumahtangga tersebut atau orang

yang dianggap/ditunjuk sebagai kepala rumahtangga di rumahtangga tersebut.

Menurut pengertian tersebut kepala rumahtangga dapat seorang pria atau

wanita yang dianggap/ditunjuk.

Ada beberapa faktor demografis yang menyebabkan wanita menjadi

kepala rumahtangga menurut Sajogyo (1991) dalam Sugiatmi (2001). Faktor-

faktor tersebut antara lain:

1) Ada wanita yang tidak pernah menikah dan mendirikan rumahtangganya

sendiri, atau mengambil alih tanggungjawab kepala rumahtangga dimana

ia menjadi anggota.

2) Karena perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, wanita tersebut

tidak meleburkan dirinya kembali menjadi anggota rumahtangga dimana ia

dilahirkan atau rumahtangga bekas suaminya dan ia juga belum menikah

lagi.

3) Karena perantauan, baik oleh suami maupun oleh wanita itu sendiri

sehingga wanita tersebut secara de facto adalah kepala rumahtangga.

4) Karena satu dan lain hal suami tidak dapat mencari nafkah lagi sehingga

wanita secara de facto menjadi pencari nafkah utama.

2. Karakteristik Sosial Ekonomi Wanita Kepala Rumahtangga

Rumahtangga di Indonesia umumnya terdiri dari suami, istri dengan

atau tanpa anak biasanya yang diangkat sebagai kepala rumahtangga adalah

suami (BPS, 1986) dalam Sugiatmi (2001). BPS membuat ketentuan bila suami

tercatat sebagai anggota rumahtangga, maka secara langsung ia dianggap

sebagai kepala rumahtangga, sehingga tidak ada kepala rumahtangga wanita

yang mempunyai suami dalam rumahtangganya. Selanjutnya BPS menyatakan

bahwa wanita yang mengepalai rumahtangga adalah wanita yang dianggap

10

bertanggungjawab terhadap rumahtangga dibedakan menurut status

perkawinan yaitu:

1) Wanita yang tidak kawin yaitu wanita yang tidak terikat di dalam

perkawinan dan bertanggungjawab terhadap rumahtangganya.

2) Wanita yang kawin yaitu wanita yang terikat di dalam perkawinan tetapi

tempat tinggalnya berpisah dari suami sehingga wanita yang mengepalai

rumahtangga.

3) Wanita yang cerai hidup maupun cerai mati (janda) adalah wanita yang

telah bercerai maupun suaminya meninggal dunia dan belum menikah lagi.

Seorang wanita yang cerai hidup maupun cerai mati dan memiliki anak

kemudian menjadi kepala rumahtangga menurut Qaimi (2003) adalah suatu

keadaan dimana seorang wanita akan menduduki dua jabatan sekaligus;

sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah dan sebagai ayah. Hal ini berarti

tanggungjawab ibu akan bertambah, ia harus mencari nafkah sendiri,

mengambil keputusan-keputusan penting sendiri, dan sekian banyak tugas-

tugas yang harus dilaksanakan. Perubahan besar yang harus dijalankan ibu

menjalankan peran ibu sekaligus sebagai ayah, yang senantiasa berjuang

menjadi tulang punggung keluarga dan panutan anak–anaknya (Usman, 2009).

Perubahan status wanita menjadi kepala rumahtangga, akan

mempengaruhi karakteristik rumahtangganya. Karakteristik rumahtangga yang

dikepalai wanita di negara-negara berkembang atau dunia ketiga pada

umumnya miskin (Kasoudji dan Muller, 1978; Garfinkel Mc Lanahan, 1986;

Hull, 1979) dalam Sugiatmi (2001). Menurut Clark (1986) dalam Sugiatmi

(2001), hal tersebut karena wanita yang mengepalai rumahtangga pada

umumnya kurang pendidikan formal, mempunyai kebutuhan lebih besar

(dibanding rata-rata) bagi pemeliharaan anak, mempunyai keterbatasan akses

terhadap pekerjaan, pelayanan sosial, sumber-sumber produktif, modal, kredit,

tanah dan ternak; dan mempunyai lebih sedikit jaringan kekerabatan yang

mendukungnya.

Kondisi rumahtangga yang dikepalai wanita dibuktikan kembali oleh

BPS (1981) dalam Sugiatmi (2001) dengan studi mendalam di lima lokasi

11

komunitas tentang Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga. Hasil

penelitian tersebut menggambarkan pada umumnya rumahtangga yang

dikepalai wanita memnpunyai status sosial ekonomi yang lebih rendah

daripada rumahtangga yang dikepalai pria. Kesenjangan itu bersumber pada

pencari nafkah, pendidikan kesempatan kerja. Pencari nafkah disini diartikan

oleh perbedaan kemampuan besarnya anggota rumahtangga usia kerja yang

mendukung kelangsungan hidup rumah tangga yang dikepalai wanita. Sedang

pendidikan berkaitan erat dengan ketidakmampuan, keterampilan dan sarana

untuk menjangkau peluang kerja yang dibutuhkan, sehingga mengurangi

meraih kesempatan yang ada.

Penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status sosial

ekonomi wanita kepala rumahtangga (Surbakti, 1986) dalam Sugiatmi (2001)

ditemukan bahwa di antara variabel-variabel : tingkat pendidikan, kegiatan,

jam kerja dan umur ternyata tingkat pendidikan memiliki kaitan yang terbesar

dengan status sosial ekonominya. Kurangnya pendidikan bagi wanita

menyebabkan terbatasnya kesempatan memasuki angkatan kerja (Standing,

1976) dalam Sugiatmi (2001). Dibandingkan dengan pria, wanita kepala rumah

tangga memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Di negara ketiga,

gambaran wanita yang mengepalai rumahtangga adalah rendahnya pendidikan

formal, memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk mengasuh anak, memiliki

keterbatasan berpartisipasi dalam angkatan kerja, dalam pelayanan sosial,

sumber produksi, modal, barang, tanah maupun ternak (Sugiatmi, 2001).

3. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga

Pengeluaran rumahtangga menurut BPS dibedakan atas pengeluaran

untuk pangan dan pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Pengeluaran

pangan meliputi tindakan konsumsi terhadap bahan pangan kelompok padi-

padian, ikan, daging, telur, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak

dan lemak. Komoditi pangan yang berpengaruh sangat besar terhadap

pergeseran garis kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, tahu, tempe, mie

instan dan minyak goreng (BPS, 2008).

12

Sementara itu, pengeluaran non pangan meliputi biaya untuk

perumahan, bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian dan

barang-barang tahan lama lainnya. Pengeluaran untuk biaya transportasi,

listrik, bahan bakar dan perumahan merupakan kebutuhan yang berpengaruh

terhadap pergeseran garis kemiskinan bukan makanan (BPS 2008).

Menurut BPS (2008) data konsumsi dan pengeluaran dapat digunakan

untuk penelitian kesejahteraan rumahtangga. Ernest Engel, dalam Salvatore

(2006), yang dikenal sebagai Teori Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka

persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya

pendapatan. Oleh karena itu komposisi pengeluaran rumahtangga dapat

dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, makin

rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran makin

membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa

pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang

bersangkutan. Dalam kondisi pendapatan terbatas maka pemenuhan kebutuhan

pangan akan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat yang

berpendapatan rendah akan terlihat sebagian besar pendapatan mereka

digunakan untuk membeli pangan.

Struktur pengeluaran rumahtangga merupakan salah satu indikator

tingkat kesejahteraan rumahtangga. Rumahtangga dengan pangsa pengeluaran

pangan tinggi tergolong rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan rendah

relatif dibanding rumahtangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang

rendah (Rachman, 2001).

Pengambilan keputusan rumahtangga biasanya alokasi pengeluaran

untuk konsumsi dibatasi oleh tingkat pendapatan yang dimiliki rumahtangga.

Magrabi, et al (1991) dalam Rachman (2008) mengelompokkan kebutuhan

konsumsi rumahtangga menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan konsumsi

pangan (KF) dan konsumsi non pangan (KNF). Dengan asumsi pendapatan

rumahtangga seluruhnya dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

(tabungan atau saving = 0), maka total pengeluaran rumahtangga (TE) =

pendapatan rumahtangga (IC). Artinya bahwa pendapatan rumahtangga sama

13

dengan total pengeluaran rumahtangga yaitu jumlah pengeluaran untuk pangan

ditambah dengan jumlah pengeluaran untuk non pangan. Dalam kondisi

demikian, alokasi pengeluaran rumahtangga secara umum dapat dirumuskan

sebagai berikut:

TE = IC = KF + KNF

KF = ∑ Pi Qi untuk i = 1,2, ………..n

KNF = ∑ Pj Qj untuk j = 1,2, ………k

dimana Pi dan Pj adalah harga dari komoditas i dan j untuk i ≠ j , Qi dan Qj

menunjukkan jumlah komoditas i dan j yang dikonsumsi.

Apabila persamaan di atas dituliskan dalam bentuk pangsa, diperoleh

persamaan berikut:

SKF = KF/TE

SKNF = KNF/TE

SKF + SKNF = 1.0

SKF adalah pangsa pengeluaran pangan, SKNF adalah pangsa pengeluaran non

pangan, dan TE adalah total pengeluaran rumahtangga yang digunakan sebagai

proksi dari pendapatan rumahtangga.

Mengingat pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk

dapat bertahan hidup secara sehat, maka seseorang akan mengalokasikan

pengeluaran untuk pangan terlebih dahulu, berikutnya mengalokasikan untuk

pengeluaran non pangan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan

akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan rumahtangga, karena

sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non

pangan.

4. Faktor Pengaruh Alokasi Pengeluaran Rumahtangga

Pendapatan dan pengeluaran rumahtangga memiliki kaitan yang erat.

Engels (1857) dalam Yulianti (2001) menyatakan bahwa konsumsi terhadap

suatu barang atau jenis barang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatannya.

Proporsi pendapatan yang dikeluarkan untuk membeli jenis makanan akan

berkurang dengan naiknya tingkat pendapatan. Teori ini mempertegas bahwa

14

semakin tinggi penghasilan seseorang semain kecil persentase penghasilan

yang dikeluarkan untuk membeli pangan (Syahri, 1994 dan Mile, 1997 dalam

Yulianti, 2001). Kebutuhan manusia akan makan pada dasarnya mempunyai

titik jenuh, kemudian beralih ke kualitas atau pada pemenuhan kebutuhan lain

(non pangan) seperti kualitas rumah, hiburan atau barang kemewahan dan

ditabung atau investasi. Dengan demikian terjadi pergeseran pola pengeluaran

dalam suatu rumahtangga dari pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non

pangan.

Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh

terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga berpenghasilan rendah akan

menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan

pokok. Pendidikan dan pekerjaan mempengaruhi selera dan preferensi

konsumen pada jenis dan tingkat pengeluaran pilihan (Fan 1997; Ghany &

Sharpe 1997 dalam Rambe, 2008). Tingkat pendapatan yang tinggi memberi

peluang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik

berdasarkan jumlah maupun jenisnya (Roedjito, 1989). Rendahnya pendapatan

merupakan rintangan yang menyebabkan orang tak mampu membeli pangan

dalam jumlah yang diperlukan (Sajogyo et al. 1994 dalam Rambe, 2008).

Mangkuprawira (1985) menyatakan secara naluriah individu atau

keluarga akan mengutamakan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Namun, perilaku tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendapatan,

jumlah anggota keluarga, musim, tempat tinggal dan berbagai faktor lain

(selera dan budaya). Besarnya pengeluaran suatu keluarga dapat digunakan

untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yang bersangkutan. Lebih dari

50 persen total pengeluaran akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan

pangan pada keluarga miskin di negara-negara yang sedang berkembang,

seperti Indonesia (BPS, 1997 dalam Shinta, 2008). Proporsi pengeluaran

pangan pada rumah tangga di negara-negara maju terhadap total pengeluaran

tidak lebih dari 50 persen. Menurut Soekirman (1991) dalam Shinta (2008)

keluarga berpendapatan rendah membelanjakan 60 - 80 persen dari

pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan.

15

Hasil kajian Suryana et. al (1988) dalam Shinta (2008) menunjukkan

bahwa 70,6 persen pengeluaran pada keluarga petani dialokasikan untuk

pangan dan pengeluaran untuk peningkatan kualitas hidup seperti pendidikan,

kesehatan dan rekreasi relatif kecil sekitar 29,4 persen. Sementara data Susenas

(2007) menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran untuk pangan masyarakat

Indonesia masih lebih dari 60 persen. Kondisi ini merupakan cerminan dari

tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum baik.

Alokasi pengeluaran atau tingkat konsumsi keluarga menurut Khomsan

(2007) sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial

ekonominya. Berdasarkan studi tentang pola pengeluaran rumahtangga maka

faktor-faktor yang berhubungan dengan alokasi pengeluaran antara lain ukuran

keluarga, nisbah jenis kelamin dan golongan usia, tingkat pendidikan orangtua

dan pendapatan keluarga.

Hasil Survei Biaya Hidup tahun 1989 dalam Primayuda (2002)

membuktikan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga semakin besar

proporsi pengeluaran keluarga untuk pangan daripada non pangan. Hal ini

berarti semakin kecil jumlah anggota keluarga semakin kecil pula proporsi

pendapatan untuk kebutuhan pangan. Selebihnya, keluarga akan

mengalokasikan sisa pendapatannya untuk konsumsi non pangan. Dengan

demikian, keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari

keluarga dengan jumlah anggota besar. Penambahan jumlah anggota keluarga

berarti meningkatkan beban perekonomian keluarga yang mengakibatkan

pengaturan pengeluaran menjadi semakin sulit. Hal ini disebabkan setiap

individu memiliki tingkat dan jenis kebutuhan serta preferensi yang berbeda-

beda dalam mengkonsumsi alat pemuas kebutuhan. Hasil penelitian

Megawangi et. Al (1994) dalam Shinta (2008) menunjukkan bahwa semakin

besar ukuran keluarga cenderung tidak ada pengaturan terhadap pengeluaran

keluarga.

Hasil Susenas Tahun 2000 dalam Sijrat (2005) menyatakan bahwa

jumlah anggota rumahtangga atau ukuran keluarga berpengaruh terhadap pola

konsumsi. Jumlah anggota rumahtangga atau ukuran keluarga dimana

16

rumahtangga miskin yang memiliki anggota rumahtangga cukup banyak yakni

5 orang atau lebih pemenuhan kebutuhan hidupnya sekitar 83% adalah untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi pangan.

Bian dalam Primayuda (2002) menyatakan bahwa usia, jumlah dan

nisbah jenis kelamin anggota keluarga merupakan faktor-faktor yang

mempengaruhi alokasi pengeluaran. Semakin banyak anggota keluarga yang

berusia balita maka pengeluaran keluarga untuk konsumsi susu, pakaian dan

biaya kesehatan cenderung akan meningkat. Hal ini terjadi karena usia balita

rentan terhadap masalah-masalah gizi dan kesehatan. Komposisi keluarga

(nisbah jenis kelamin) menurut hasil penelitian Suryawati dalam Rahmawati

(2006) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin akan mempengaruhi

pengeluaran non pangan.

Usia mencerminkan tingkat kematangan individu baik secara fisik

maupun emosional. Oleh sebab itu usia merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi produktivitas seseorang. Seiring dengan bertambahnya usia

produktivitas kerja seseorang akan mengalami penurunan, terutama ketika

mendekati usia lanjut (Roswita, 2005). Orangtua yang berusia lanjut menjadi

kurang produktif sehingga kontribusinya terhadap perekonomian keluarga

menjadi lebih rendah bila dibandingkan orangtua yang berusia muda. Tingkat

pendapatan yang diterima oleh keluarga juga akan menjadi rendah sehingga

alokasi pengeluaran keluarga menjadi lebih terbatas.

Tingkat pendidikan formal orangtua juga berpengaruh terhadap pola

konsumsi keluarga. Pendidikan dapat merubah sikap dan perilaku seseorang

dalam memenuhi kebutuhannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang

maka semakin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang

dapat mengubah pola konsumsinya. Selain itu, semakin tinggi tingkat

pendidikan formal seseorang maka semakin besar kemungkinan ia akan

mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi (Khomsan, 2007).

Menurut Firdausy (1999) keluarga yang dikepalai oleh seseorang

dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin bila dibandingkan

keluarga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Data

17

BPS (2004) menunjukkan bahwa 72,01 persen dari keluarga miskin di

pedesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD dan 24,32

persen berpendidikan SD. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk

berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk

berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2

persen.

Selanjutnya, hubungan status pekerjaan dengan pola konsumsi.

Berdasarkan hasil Susenas 2000 dalam Sjirat (2009) menunjukkan bahwa

kepala rumahtangga yang berstatus pekerjaannya sebagai buruh harian, buruh

kasar atau buruh yang bekerja dengan tidak tetap, pola konsumsinya lebih

besar porsinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan daripada

kebutuhan untuk konsumsi non pangan.

Widarti (1983) dan Hugo (2000) dalam Sjirat (2009) menggunakan

status pekerjaan utama untuk pengelompokkan sektor formal dan informal.

BPS dalam kegiatan perstatistikan memberikan batasan tentang status

pekerjaan yang terdiri atas : 1). Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain;.2).

Berusaha dengan dibantu anggota rumahtangga; 3). Karyawan

Swasta/Pemerintah; 4). Buruh Tetap; 5). Pekerja Keluarga. Lebih lanjut

Widarti (1983) dan Hugo (2000) dalam Sjirat (2009) telah berusaha untuk

mengelompokkan status pekerjaan tersebut menjadi dua kelompok dengan

terlebih dahulu telah mempelajari betul tentang karakteristik status pekerjaan

baik dari tingkat profesionalisme pekerjaan maupun dari sudut jenis

pekerjaannya. Yang termasuk sektor formal adalah buruh tetap/karyawan dan

berusaha dibantu buruh tetap/karyawan serta sisanya termasuk dalam sektor

informal.

Todaro (1998) dalan Sjirat (2009) menyatakan karakteristik sektor

informal adalah sangat bervariasi dalam bidang kegiatan produksi barang dan

jasa berskala kecil. Unit produksi yang dimiliki secara perorangan atau

kelompok, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi

yang dipakai relatif sederhana. Para pekerjanya sendiri biasanya tidak

memiliki pendidikan formal yang tidak memiliki keterampilan dan modal

18

kerja. Oleh sebab itu produktivitas dan pendapatan mereka cenderung rendah

dibandingkan dengan kegiatan bisnis yang dilakukan di sektor formal.

Pendapatan tenaga kerja informal bukan berupa upah yang diterima tetap

setiap bulannya, seperti halnya tenaga kerja formal. Upah pada sektor formal

diintervensi pemerintah melalui peraturan Upah Minimum Propinsi (UMP).

Tetapi penghasilan pekerja informal lepas dari campur tangan pemerintah.

Sijrat (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara

status pekerjaan kepala keluarga dengan pola konsumsi rumahtangga pada

rumahtangga miskin perkotaan di Sumatera Barat. Pada rumah tangga dengan

kategori rata-rata pengeluaran rendah variabel pendidikan dan status pekerjaan

berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi rumahtangga miskin di

perkotaan. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa semakin rendah pendidikan

kepala keluarga, terdapat kecenderungan bahwa rumahtangga tersebut dalam

pengeluaran rumahtangganya lebih besar terfokus pada keperluan pangan

dibandingkan non pangan. Kepala rumahtangga berpendidikan rendah bekerja

pada sektor informal dengan pendapatan yang terbatas, sehingga pendapatan

yang diperoleh kelompok rumahtangga ini sebesar-besarnya akan tersedot

untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.

1.6. Hasil Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada beberapa penelitian

sebelumnya dan mempunyai perbedaan yang mempertahankan keaslian masing-

masing penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Eka Sugiatmi pada tahun 2001

yang berjudul Curahan Jam Kerja Pekerja Wanita Kepala Rumah Tangga di

Propinsi Jawa Tengah (Analisis Data Susenas 1998) menggunakan analisis tabel

frekuensi dan tabel silang. Analisis tersebut digunakan untuk memaparkan kondisi

atau keadaan demografi dan sosial ekonomi rumah tangga yang dikepalai oleh

wanita di Provinsi Jawa Tengah meliputi umur, status perkawinan, pendidikan,

jumlah anggota rumah tangga, akses ke media massa, rata-rata pengeluaran

sebulan dan menurut daerah tempat tinggal. Penelitian tersebut juga menggunakan

analisis tabel silang dan chi-square untuk melihat curahan jam kerja pekerja

19

wanita kepala rumah tangga berdasarkan kondisi demografi dan sosial ekonomi

menurut daerah tempat tinggal.

Hasil dari penelitian oleh Eka Sugiatmi tersebut adalah umur wanita

kepala rumahtangga sebagian besar sudah tua (60+ tahun), persentase tertinggi

terdapat di desa. Salah satu sebab mengapa wanita menjadi kepala keluarga adalah

karena cerai mati (kota 74,77% dan desa 78,5%). Wanita kepala rumahtangga

diketahui sebagian besar berpendidikan rendah terutama yang tinggal di desa.

Kegiatan akses ke media massa seperti mendengarkan radio di kota lebih tinggi

daripada di desa. Sumber penghasilan utama mereka adalah berasal dari sektor

agriculture, sektor manufacture dan service serta lainnnya (remittan, pensiunan).

Pengeluaran rata-rata per bulan rumah tangga yang dikepalai wanita di desa lebih

banyak pengeluarannya untuk pangan. Curahan jam kerja terdapat variasi antara

desa dan kota. Curahan jam kerja pekerja wanita kepala rumahtangga menurut

jenis pekerjaan ini, terlihat adanya dominasi rata-rata jam kerja < 35 jam per

minggu.

Muh. Rafly juga melakukan penelitian yan berkaitan dengan wanita kepala

rumahtangga pada tahun 2008 dengan judul Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi

Kelangsungan Hidup Wanita Kepala Rumahtangga Miskin di Pedesaan

Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan data

primer yang diperoleh melalui wawancara kepada responden terpilih. Menurut

penelitian tersebut sebagian besar kepala rumahtangga wanita berumur muda dan

rata-rata umurnya 30 tahun dengan tanggungan yang banyak, pendidikan rata-rata

adalah rendah. Status ekonomi rumahtangga wanita adalah miskin dengan rata-

rata pendapatan rumahtangga sebesar Rp 300.000 per bulan. Strategi

kelangsungan hidup rumahtangga wanita dapat memberikan kontribusi bagi upaya

mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga seperti: 1) Menghemat

pengeluaran pangan dan nonpangan, 2) Meminjam kepada tengkulak, 3) Bantuan

tetangga, 4) Berkebun.

Penelitian yang berkaitan dengan wanita kepala rumahtangga tersebut

digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Sebagai tambahan acuan, peneliti

menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana Shinta pada tahun 2008

20

yang tidak berkaitan dengan wanita kepala rumahtangga. Penelitiannya yang

berjudul Analisis Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Pesisir Kabupaten Indramayu digunakan sebagai acuan karena salah satu tujuan

penelitian ini adalah menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi

ekonomi kepala rumahtangga dengan alokasi pengeluaran dan tingkat

kesejahteraan rumahtangga.

Penelitian Yuliana Shinta memberikan hasil bahwa proporsi terbesar dari

usia orangtua berada pada kategori dewasa madya yaitu 43,9 tahun untuk usia

suami dan 38 tahun untuk usia istri. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orangtua

memiliki tingkat pendidikan dasar. Rata-rata total pendapatan per kapita adalah

Rp 347.387,69. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan dan non pangan adalah 57,5

persen dan 42,5 persen. Proporsi terbesar dari contoh pada kategori miskin. Besar

keluarga berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan dan pajak. Usia

suami dan istri berhubungan positif dengan alokasi pengeluaran pangan.

Hubungan karakteristik sosial demografi dan ekonomi kepala

rumahtangga terhadap alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan. Tingkat

pendidikan suami berhubungan negatif dengan alokasi pengeluaran pangan.

Tingkat pendidikan suami berhubungan dengan tingkat kesejahteraan. Besar

keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan istri dan pendapatan per kapita tidak

berhubungan dengan kesejahteraan. Alokasi pengeluaran pangan berhubungan

negatif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan.

Munparidi pada tahun 2010 melakukan penelitian dengan judul Pengaruh

Pendapatan dan Ukuran Keluarga Terhadap Pola Konsumsi (Studi Kasus: Desa

Ulak Kerbau Lama Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Ogan Ilir). Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pendapatan dan ukuran keluarga

terhadap pola konsumsi. Penelitian ini dilakukan jumlah populasi sebanyak 408

rumahtangga. Pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan “standar

error of proportional” sehingga diperoleh responden sebanyak 103 kepala

keluarga. Kemudian teknik acak berstratifikasi diperoleh sebanyak 45 responden

rumahtangga miskin dan 58 responden rumahtangga tidak miskin. Data dianalisis

dengan menggunakan statistik inferensial dan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian

21

menunjukkan bahwa : (1) Proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan

berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan total keluarga. Sebaliknya

proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi non pangan berbanding lurus

dengan pendapatan total keluarga, (2) Besarnya ukuran keluarga tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap pola konsumsi rumahtangga.

Informasi terkait penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan

di atas memberikan banyak masukan dan menjadi bahan pertimbangan bagi

peneliti dalam penyusunan penelitian yang dilakukan yaitu “Hubungan Hubungan

Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Alokasi Pengeluaran Wanita Kepala

Rumahtangga di DIY (Analisis Susenas Tahun 2005 dan 2010)”. Karakteristik

sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga dianalisis secara keruangan dan waktu

serta karakteristik tersebut dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan

alokasi pengeluaran rumahtangganya.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder hasil

SUSENAS DIY tahun 2005 dan 2010 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

(BPS). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

komparasi dan korelasi koefisien kontingensi. Analisis komparasi merupakan alat

analisis yang dimanfaatkan untuk menjawab tujuan penelitian pertama. Tujuan

penelitian kedua dan hipotesis dalam penelitian ini dijawab menggunakan analisis

korelasi koefisien kontingensi. Keaslian dari penelitian ini dapat dilihat

berdasarkan Tabel 1.3.

22

Tabel 1.3 Perbandingan Penelitian yang Telah Dilakukan Sebelumnya dan Penelitian Ini

No Nama

Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

1 Eka Sugiatmi (Skripsi,

2001)

Curahan Jam Kerja Pekerja Wanita Kepala

Rumah Tangga di Propinsi Jawa

Tengah (Analisis Data Susenas

1998)

1. Untuk mengetahui kondisi atau keadaan demografi dan sosial ekonomi rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di Provinsi Jawa Tengah meliputi umur, status perkawinan, pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, akses ke media massa, rata-rata pengeluaran sebulan dan menurut daerah tempat tinggal.

2. Untuk melihat curahan jam kerja pekerja wanita kepala rumah tangga berdasarkan keadaan demografi dan sosial ekonominya.

Data sekunder dari Susenas

tahun 1998 yang dianalisis dengan tabel frekuensi dan tabel silang

serta metode chi-square.

- Umur wanita kepala rumahtangga sebagian besar sudah tua (60+ tahun), persentase tertinggi terdapat di desa dengan status cerai mati (kota 74,77% dan desa 78,5%).

- Wanita kepala rumahtangga diketahui sebagian besar berpendidikan rendah terutama yang tinggal di desa.

- Sumber penghasilan utama mereka adalah berasal dari sektor agriculture, sektor manufacture dan service serta lainnnya (remittan, pensiunan). Pengeluaran rata-rata per bulan rumah tangga yang dikepalai wanita di desa lebih banyak pengeluarannya untuk pangan.

- Curahan jam kerja terdapat variasi antara desa dan kota. - Menurut kegiatan mencari pekerjaan maka wanita kepala

rumahtangga yang sudah bekerja lebih banyak yang masih mencari pekerjaan lagi.

2 Muh. Rafly

(Jurnal, 2008)

Analisis Sosial Ekonomi dan

Strategi Kelangsungan Hidup Wanita

Kepala Rumahtangga

Miskin di Pedesaan Kab.

Konawe Prov.Sulawesi

Tenggara

1. Untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan kemiskinan wanita kepala rumahtangga miskin di pedesaan Kabupaten Konawe.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk strategi yang digunakan dan pemanfaatan waktu luang wanita kepala rumahtangga miskin di pedesaan Kabupaten Konawe.

Data primer dari survei lapangan dan wawancara.

Secara umum dapat dikatakan sebagian besar kepala rumahtangga wanita berumur muda dan rata-rata umurnya 30 tahun denagn tanggungan yang banyak, pendidikan rata-rata adalah rendah. Status ekonomi rumahtangga wanita adalah miskin dengan rata-rata pendapatan rumahtangga sebesar Rp 300.000 per bulan. Strategi kelangsungan hidup rumahtangga wanita dapat memberikan kontribusi bagi upaya mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga seperti: 1) Menghemat pengeluaran pangan dan nonpangan, 2) Meminjam kepada tengkulak, 3) Bantuan tetangga, 4) Berkebun.

23

3 Yuliana Shinta

(Skripsi, 2008)

Analisis Alokasi Pengeluaran dan

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Pesisir Kabupaten Indramayu

1. Mempelajari karakteristik sosial demografi ekonomi contoh (besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan orangtua dan pendapatan perkapita).

2. Menganalisis alokasi pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan pada contoh.

3. Menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan alokasi pengeluaran.

4. Menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan tingkat kesejahteraan.

5. Menganalisis hubungan alokasi pengeluaran contoh dengan tingkat kesejahteraan.

Data sekunder dari survei Kontribusi Subsektor

Perikanan Dalam Akselerasi

Pencapaian Nilai IPM Provinsi

Jawa Barat tahun 2008 (contoh

yang terpilih ada 118 contoh dari 140 keluarga)

Rata-rata usia suami dari contoh adalah 43,9 tahun dan rata-rata usia istri adalah 38,0 tahun. Proporsi terbesar dari usia orangtua berada pada kategori dewasa madya. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orangtua memiliki tingkat pendidikan dasar. Rata-rata total pendapatan per kapita adalah Rp 347.387,69. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan dan non pangan adalah 57,5 persen dan 42,5 persen. Proporsi terbesar dari contoh pada kategori miskin. Besar keluarga berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan dan pajak. Usia suami dan istri berhubungan positif dengan alokasi pengeluaran pangan. Tingkat pendidikan suami berhubungan negatif dengan alokasi pengeluaran pangan. Tingkat pendidikan suami berhubungan dengan tingkat kesejahteraan. Besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan istri dan pendapatan per kapita tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Alokasi pengeluaran pangan berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan.

4 Munparidi (Jurnal,

2010)

Pengaruh Pendapatan dan

Ukuran Keluarga Terhadap Pola

Konsumsi (Stufi Kasus: Desa Ulak

Kerbau Lama Kec. Tanjung

Raja Kab Ogan Ilir)

Mengetahui hubungan antara pendapatan

dan ukuran keluarga terhadap pola

konsumsi.

Data Primer dengan teknik random kuota

berlapis (jumlah sampel 103 KK).

Analisis data dengan deskriptif

dan statistik inferensial (chi-

square).

Proporsi alokasi pengeluran untuk konsumsi pangan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan total keluarga, artinya semakin besar pendapatan total keluarga maka proporsi alokasi untuk konsumsi pangan semakin berkurang. Sebaliknya proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi non pangan berbanding lurus dengan besarnya pendapatan total keluarga, artinya proporsi alokasi untuk konsumsi non pangan bertambah seiring dengan pertambahan pendapatan total keluarga. Tidak ada hubungan yang signifikan antara besarnya ukuran keluarga terhadap pola konsumsi rumah tangga.

5 Fitri Astuti

(Skripsi, 2014)

Hubungan Karakteristik

Sosial Ekonomi Terhadap Alokasi

1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga menurut tipe daerah di DIY pada tahun 2005 dan 2010.

2. Mengetahui hubungan karakteristik sosial

Data Sekunder SUSENAS DIY 2005 dan 2010. Teknik analisis

- Wanita kepala rumahtangga (WKRT) di DIY tahun 2005 dan 2010 menurut tipe daerah cenderung didominasi lansia (>=65 tahun) di pedesaan dan dewasa muda (19-29 tahun) di perkotaan. WKRT yang tinggal di pedesaan sebagian besar

24

Pengeluaran Wanita Kepala

Rumahtangga di DIY (Analisis Susenas Tahun 2005 dan 2010

ekonomi tersebut dengan alokasi pengeluaran rumahtangga di DIY pada tahun 2005 dan 2010.

komparasi dan korelasi koefisien

kotingensi.

berstatus cerai mati sedangkan mereka yang tinggal di perkotaan belum kawin. Jumlah ART dalam rumahtangga yang dikepalai wanita baik di perkotaan maupun pedesaan termasuk kecil (<= 3 orang). Pendidikan wanita kepala rumahtangga di perkotaan cenderung tinggi sedangkan di pedesaan cenderung rendah. Kegiatan utama wanita kepala rumahtangga adalah bekerja dan mengurus rumahtangga namun di perkotaan cenderung sekolah. Wanita kepala rumahtangga banyak yang tidak bekerja; mereka banyak yang bekerja di sektor informal; mereka yang bekerja di sektor formal tinggal di perkotaan. Pengeluaran rumahtangga yang dikepalai wanita cenderung untuk bukan pangan tinggal di perkotaan.

- Jumlah anggota rumahtangga tidak berkorelasi dengan alokasi pengeluaran rumahtangga. Tingkat pendidikan dan status pekerjaan wanita kepala rumahtangga berkorelasi positif dengan alokasi pengeluaran.

25

1.7. Kerangka Pemikiran

Wanita yang menjadi kepala rumahtangga dapat disebabkan oleh beberapa

faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya pertama, wanita yang tidak menikah dan

mendirikan rumahtangga sendiri atau mengambil alih tanggungjawab kepala

rumahtangga. Kedua, karena perceraian baik cerai hidup atau cerai mati, wanita

tersebut tidak menikah lagi dan hidup terpisah dari anggota rumahtangga dimana

ia dilahirkan atau bekas suaminya. Ketiga, karena perantauan dan keempat, karena

satu dan lain hal suami tidak mencari nafkah lagi sehingga wanita secara de facto

menjadi pencari nafkah utama.

Data publikasi hasil Sensus Penduduk dari tahun 1990 sampai 2010 (Tabel

1.2) menunjukkan bahwa persentase jumlah wanita kepala rumahtangga (WKRT)

di DIY paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa. Angka ini

juga meningkat dari tahun 1990 sampai 2010. Pada tahun 2005 dan 2010 menurut

data BPS, meskipun persentase WKRT di DIY menurun namun nilainya tetap

tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Rumahtangga yang umumnya dikepalai oleh laki-laki kemudian pada

kondisi tertentu wanita dapat pula menjadi kepala rumahtangga sangat menarik

untuk dikaji. Wanita kepala rumahtangga tersebut mengalami masalah utama

seperti kelebihan tugas. Wanita kepala rumahtangga harus menjalankan perannya

mengatur rumahtangga dan menjadi kepala rumahtangga. Karakteristik sosial

ekonomi wanita kepala rumahtangga tersebut menjadi menarik untuk dikaji.

Beberapa studi yang pernah dilakukan sebelumnya, karakteristik wanita

kepala rumahtangga (WKRT) dapat dilihat dalam penelitian ini dengan faktor

demografi, pendidikan dan ketenagakerjaan. Karakteristik WKRT menurut tipe

daerah, perkotaan dan pedesaan, dilihat berdasarkan umur, status perkawinannya

dan jumlah anggota rumahtangganya. Untuk melihat tingkat pendidikan WKRT

tersebut dapat dilihat dari pendidikan formal terakhir yang ditamatkan. Faktor

ketenagakerjaan untuk melihat kegiatan utama yang menghasibkan banyak jam

selama seminggu terakhir dan status pekerjaan utamanya.

Kesejahteraan rumahtangga yang dikepalai oleh wanita dengan

karakteristik sosial ekonomi seperti tersebut menarik untuk dikaji dalam

26

penelitian ini. Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan Teori Engel

yaitu bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan

menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu komposisi

pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat

kesejahteraan ekonomi penduduk, makin rendah persentase pengeluaran untuk

pangan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian

penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang

sejahtera rumahtangga yang bersangkutan.

Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa total pengeluaran rumahtangga

sama dengan pendapatan yang diterima rumahtangga tersebut. Hal ini karena data

pendapatan tidak diperoleh dari Susenas dan dianggap bahwa tabungan/saving

adalah nol (0). Artinya bahwa pendapatan yang diterima rumahtangga seluruhnya

digunakan untuk konsumsi.

Tentunya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi pengeluaran

rumahtangga tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya juga pernah dilakukan

untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi kepala rumahtangga yang

mempengaruhi alokasi pengeluaran rumahtangga. Penelitian ini membatasi faktor-

faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran

rumahtangga yang dikepalai wanita karena keterbatasan data yang diperoleh.

Faktor-faktor sosial ekonomi yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah jumlah

anggota rumahtangga, pendidikan dan status pekerjaan wanita kepala

rumahtangga. Karena dalam tinjauan pustaka sebelumnya ketiga faktor tersebut

dianggap paling berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran rumahtangga yang

berhubungan juga dengan kesejahteraan rumahtangga.

Primayuda (2002) semakin kecil jumlah anggota keluarga semakin kecil

pula proporsi pendapatan untuk kebutuhan pangan. Pendidikan kepala

rumahtangga juga mempengaruhi alokasi pengeluaran rumahtangga. Semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah ia dapat menerima

informasi dan inovasi baru yang dapat mengubah pola konsumsinya. Status

pekerjaan kepala rumahtangga juga memiliki hubungan yang signifikan dengan

alokasi pengelauran rumahtangga.

27

Hasil penelitian Sjirat (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi status

pekerjaan kepala rumahtangga maka pendapatannya akan tinggi dan alokasi

pengeluaran cenderung untuk bukan pangan. Banyak penelitian sebelumnya yang

berkaitan dengan alokasi pengeluaran rumahtangga dilakukan terhadap

rumahtangga biasa sedangkan dalam penelitian ini dilakukan terhadap

rumahtangga yang dikepalai wanita.

Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada

Gambar 1.1.

28

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Wanita Kepala Rumahtangga

Rumahtangga

Kegiatan utama

Faktor Ketenagakerjaan

Pendidikan yang ditamatkan

Faktor Pendidikan

Status perkawinan

Jumlah anggota rumahtangga

Umur

Faktor Demografi

Non Pangan Pangan

Alokasi Pengeluaran Rumahtangga

Faktor Ekonomi

Status pekerjaan utama

29

1.8. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disampaikan maka untuk

menjawab tujuan penelitian yang kedua dirumuskan hipotesis seperti berikut:

Terdapat hubungan positif dan signifikan antara jumlah anggota

rumahtangga dengan alokasi pengeluaran yaitu semakin banyak jumlah

anggota rumahtangga maka alokasi pengeluaran pangan semakin besar.

Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan wanita kepala rumahtangga

dengan alokasi pengeluaran yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan

wanita kepala rumahtangga maka alokasi pengeluaran pangan semakin

kecil.

Terdapat hubungan antara status/kedudukan pekerjaan utama wanita

kepala rumahtangga dengan alokasi pengeluaran yaitu semakin tinggi

status pekerjaan utamanya maka alokasi pengeluaran pangan semakin

kecil.

1.9. Konsep dan Batasan Operasional

1. Anggota rumahtangga adalah semua orang yang biasanya bertempat

tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di rumah pada saat

pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang

telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang

bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah/akan meninggalkan

rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga.

Sebaliknya, orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6 bulan atau

lebih atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6 bulan

tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut dianggap sebagai anggota

rumah tangga (BPS, 2005, 2010).

2. Status perkawinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini menurut BPS

(2005 dan 2010) yaitu:

Kawin adalah mempunyai istri (bagi laki-laki) atau suami (bagi

perempuan) pada saat pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah.

Dalam hal ini yang dicakup tidak saja mereka yang kawin sah secara

30

hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya), tetapi juga mereka yang

hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami-

istri.

Cerai hidup adalah berpisah sebagai suami/ istri karena bercerai dan

belum kawin lagi. Dalam hal ini termasuk mereka yang mengaku cerai

walaupun belum resmi secara hukum. Sebaliknya tidak termasuk mereka

yang hanya hidup terpisah tetapi masih berstatus kawin, misalnya

suami/istri ditinggalkan oleh istri/suami ke tempat lain karena sekolah,

bekerja, mencari pekerjaan, atau untuk keperluan lain. Wanita yang

mengaku belum pernah kawin tetapi pernah hamil, dianggap cerai hidup.

Cerai mati adalah ditinggal mati oleh suami atau istrinya dan belum

kawin lagi.

3. Pendidikan yang ditamatkan menurut BPS (2005 dan 2010) terdiri dari

SD/MI, SMP/MTs, SMU/K/MA, Diploma I/II, Diploma III/Sarjana Muda,

Diploma IV/Strata 1 dan Strata 2/Strata 3.

4. Kegiatan utama adalah kegiatan yang menghabiskan waktu paling banyak

selama seminggu terakhir yang terbagi dalam bekerja, sekolah, mengurus

rumahtangga dan lainnya.

5. Status pekerjaan utama yang digunakan dalam penelitian ini menurut BPS

(2005 dan 2010) terdiri dari: berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh

tidak tetap/buruh tidak dibayar, berusaha dibantu buruh tetap/buruh

dibayar, buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas dan pekerja tidak

dibayar.