bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i agus... · 4 “pemerintahan daerah ... bagaimanakah...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di dalam menjalankan roda kehidupan setiap orang harus mampu bersaing
dalam mencari penghasilan. Persaingan mencari penghasilan ini dilakukan oleh
setiap orang untuk memenuhi dan membiayai semua kebutuhan hidupnya.
Demikian juga halnya dengan suatu Negara, sangat memerlukan penghasilan dari
segala bidang dalam memenuhi setiap kebutuhan yang akan di gunakan untuk
membiayai pembangunan sarana dan prasarana serta untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi warga masyarakatnya.
Negara Republik Indonesia melalui pemerintah sebagai penyelenggara
negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut harus mencari sumber pendapatan
baik yang berasal dari dalam negeri dan ada yang dari luar negeri. Pendapatan
yang berasal dari luar negeri biasanya merupakan dana pelengkap, baik berupa
penanaman modal asing maupun berupa pinjaman dana yang dilakukan secara
bilateral atau multilateral. Pendapatan yang berasal dari dalam negeri biasanya
dapat berupa tabungan masyarakat, tabungan pemerintah ataupun dari pajak yang
dibayar oleh masyarakat sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan
tersebut.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara telah dipungut di Indonesia sejak
awal kemerdekaan. Pungutan terhadap pajak bersifat memaksa dan terutang oleh
wajib pajak dengan tidak mendapat prestasi kembali secara langsung, hasil dari
2
pungutan pajak dapat digunakan membiayai pengeluaran negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.1
Seiring dengan perkembangan zaman, pajak sebagai sektor yang
memberikan penerimaan terbesar bagi negara serta merupakan salah satu sumber
dana utama dalam melakukan pembangunan di Indonesia. Pada pertengahan
tahun 70-an sampai dengan tahun 80-an, penerimaan negara dalam APBN masih
dikuasai oleh penerimaan dari sektor minyak dan gas (Migas). Akhir tahun 80-an
ketika potensi minyak mulai menurun, maka pajak muncul sebagai penerimaan
negara yang besar dan menggantikan peran dari minyak dan gas (Migas). Secara
implisit ini berarti bahwa peranan rakyat semakin besar dalam pelaksanaan
pembangunan, sehingga pemerintah lebih peduli dan lebih memperhatikan
kepentingan rakyat baik dalam penerapan peraturan perpajakan maupun terhadap
penggunaannya.2
Pajak merupakan iuran dari rakyat diperoleh berdasarkan jenis dan
kebutuhannya. Salah satunya adalah pajak atas kekayaan berupa tanah, hal
tersebut oleh Negara telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang - Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan : “Bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar - besarnya kemakmuran rakyat”. Tanah sebagai bagian dari bumi yang
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berguna untuk memenuhi kebutuhan
dasar untuk papan dan lahan usaha, serta merupakan alat investasi yang sangat
menguntungkan.
1Marihot P. Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (selanjutnya disebut
Marihot P. Siahaan I), PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 7. 2Indra Ismawan, 2000, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, PT. Elex Media
Komputindo, Kelompok Media Jakarta, hal. 4.
3
Selain tanah, segala bangunan yang dibangun diatas suatu bidang tanah
juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Mereka yang memperoleh hak
atas tanah dan atau bangunan sangat wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi
yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini
adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
merupakan pajak pertama yang pemungutan dan pengelolaannya diserahkan
kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten mulai 1 Januari 2010.
Sebelumnya PBB dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pajak (DJP).
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) merupakan landasan yang kuat untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 menyebutkan adanya pembagian pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan
amanat yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang
yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. Sistem otonomi
daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh
undang-undang. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwa, “pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya, pada
ayat (5) menyebutkan bahwa, “pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat”. Kemudian pada ayat (6) menyatakan bahwa
4
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus
diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang
berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sesuai kewenangan yang
dimiliki dan didukung dengan berlakunya kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah maka
Pemerintah daerah umumnya mencari sumber penerimaan alternatif di daerahnya,
untuk meningkatkan PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah.
Langkah yang ditempuh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD-
nya adalah dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Otonomi Daerah.
Salah satu kewenangan otonomi yang nyata bagi Pemerintah Daerah adalah
pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk itu Pemerintah daerah
menerbitkan berbagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak, retribusi dan
pungutan lain. Di samping itu, Pemerintah Daerah juga mengeluarkan kebijakan
di seputar kegiatan usaha, terutama melalui perdagangan atau pengaturan pasar.3
Terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah (sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 dan perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah), daerah diberi keleluasaan dan
3Adrian Sutedi, 2008, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Cetakan I, Ghalia Indonesia,
Ciawi-Bogor, hal. 19.
5
peluang besar untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah. Berdasarkan
ketentuan tersebut maka daerah memiliki kewenangan untuk menggali dan
mengatur sumber-sumber penerimaannya dalam rangka meningkatkan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, kemajuan, kemakmuran, kemandirian dan
pemberian pelayanan kepada masyarakat daerah.
Salah satu kabupaten/kota di Bali yang melaksanakan pembangunan
dengan sumber pendapatan terbesar dari sektor pajak adalah Kabupaten Badung.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 Tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, pemerintah kabupaten
Badung telah mengakomodir regulasi mengenai pemungutan PBB. Hal ini
menjadi menarik, karena kabupaten Badung merupakan salah satu daerah di
Provinsi Bali yang nilai investasinya sangat tinggi terutama karena faktor
perkembangan pariwisata. Nilai investasi yang menyebabkan harga tanah
melambung terus, maka sangat dibutuhkan regulasi yang tepat untuk mengatur hal
ini sehingga sektor pajak dan retribusi menjadi sumber pemasukan utama
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pemerintah kabupaten Badung.
Undang-Undang Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
sebagai salah satu dasar hukum pajak daerah, memberikan kebijakan kepada
pemerintah daerah untuk memungut dan mengelola sendiri Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sehingga diharapkan dapat secara maksimal meningkatkan PAD
agar kesejahteraan masyarakat juga dapat meningkat. Pemerintah kabupaten / kota
dalam hal ini diberikan ruang untuk mengimplementasikan regulasi yang cocok
dengan kondisi di daerah masing-masing. Undang-undang PDRD hanya
memberikan limitasi terkait pemungutan PBB di daerah, kemudian memberikan
6
rongga kepada pemerintah daerah untuk menerapkan regulasi tersebut menjadi
sesuai dengan kebutuhan di daerah.
Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa Objek Pajak yang tidak
dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak
yang:
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pengaturan tersebut jika dikaitkan dengan kawasan jalur hijau dan kawasan
limitasi tidak ditemukan secara jelas pengaturan tentang hal tersebut, akan tetapi
menunjukkan adanya kekaburan norma yaitu pada frasa kata “yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” dan frasa kata “atau sejenis dengan
itu” terkandung kekaburan norma dan bisa terjadi multitafsir.
Dalam menafsirkan ketentuan Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tersebut di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung menerbitkan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Pasal 21 ayat (3) mengatur pengurangan
pajak pada kawasan hijau dan kawasan limitasi lainnya, yang berbunyi
7
“Pengurangan penetapan pajak terhutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e, khusus untuk kondisi tertentu objek pajak pada tanah pertanian, jalur
hijau, kawasan limitasi, dan wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Bupati,
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari besaran pokok pajak terutang”.
Pada penafsiran selanjutnya atas Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009, Pemerintah Kabupaten Badung berpendapat bahwa jalur hijau dan
kawasan limitasi lainnya dapat dibebaskan PBB-nya (tidak dikenakan PBB). Oleh
sebab itu, menerbitkan Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 Tentang
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk kondisi
tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi, yang dalam Pasal 1
diatur mengenai “pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi” dan
Pasal 2 diatur mengenai “pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sebesar 100% (seratus
persen) kepada wajib pajak atas pajak yang tertuang”. Dari keadaan demikian
akan timbul masalah apakah kebijakan pengurangan pajak ini bertentangan
dengan asas dan tujuan pemungutan pajak pada umumnya karena akan
berpengaruh pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga menarik untuk
diungkap apa dasar pembenar dari kebijakan pengurangan pajak ini.
Berdasarkan hal tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
berkaitan dengan program/kebijakan Bupati Badung untuk meniadakan
pemungutan PBB berkaitan dengan pengurangan pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan
kawasan limitasi apakah dapat dilaksanakan, sedangkan sudah ada peraturan yang
8
lebih tinggi yang mengatur tentang itu. Dalam pelaksanaannya juga, proses PBB
melibatkan banyak pihak yang terkait seperti : Kantor Pertanahan, Notaris,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Bank, Pemerintah Daerah, Kantor Pajak,
Pengadilan dan lembaga-lembaga berwenang lainnya. Selain itu peraturan-
peraturan yang mendukung pelaksanaan PBB juga saling terkait antara satu
dengan lainnya. Karena saling keterkaitan tersebut, baik keterkaitan peraturan
maupun lembaga-lembaganya, maka dalam prakteknya tidak jarang malah
menimbulkan permasalahan.
Setelah di telusuri tesis-tesis yang sudah ada di Indonesia pada umumnya
dan lingkungan Universitas Udayana pada khususnya ditemukan beberapa judul
tesis yang menyangkut tentang pajak bumi dan bangunan, adapun judul-judulnya
sebagai berikut:
1. Tesis yang berjudul “Pengaturan Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan
di Kawasan Jalur Hijau”, oleh Ni Luh Putu Miarmi Pada Program
Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana Tahun 2013, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apakah dasar pembenar pembebasan pajak bumi dan bangunan di
kawasan jalur hijau?
b. Bagaimanakah menciptakan harmonisasi pengaturan dalam pembayaran
pajak bumi dan bangunan oleh masyarakat di kawasan jalur hijau ?
2. Tesis yang berjudul “Keberadaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak
Pusat dalam Era Otonomi Daerah”, oleh Hernanda Bagus Priandana Pada
Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
9
a. Apakah ada kemungkinan Pemerintah Pusat dapat menyerahkan PBB
kepada Pemerintah Daerah sebagai pajak daerah untuk menaikkan
penerimaan daerahnya dengan berlakunya Undang-Undang No. 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah?
b. Apakah Pemerintah Daerah mampu melaksanakan dan
pengambilalihan administrasi pengelolaan PBB?
3. Tesis yang berjudul ”Penyelesaian Sengketa Pajak Bumi dan Bangunan di
Kantor Palayanan Pajak Bumi dan Bangunan Semarang”, oleh Indra
Hadyanto pada Program Pasca Sarjana Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2007, dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah terjadinya sengketa pajak di wilayah kerja Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Semarang Satu?
b. Upaya-upaya hukum apa yang dapat di tempuh oleh wajib pajak
apabila terjadi sengketa pajak tersebut?
c. Bagaimana penyelesaian sengketa pajak yang dilakukan di Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Semarang Satu?
Bahwa tesis dan laporan penelitian yang diuraikan di atas berbeda dengan
penulisan tesis ini, begitu juga apa yang pernah dilakukan oleh penulis-penulis
lainnya tetapi cakupan dan pembahasannya berbeda sehingga karya ilmiah ini
adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan masih sangat
10
relevan untuk penelitian lebih lanjut. Berdasarkan uraian latar belakang
permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul :
“Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Jalur Hijau dan
Kawasan Limitasi di Kabupaten Badung”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Apakah dasar pengaturan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
pada jalur hijau dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum Peraturan Bupati Badung Nomor 89
Tahun 2012 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan pada jalur hijau dan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian atas permasalahan yang telah dipaparkan
sebelumnya adalah untuk pengembangan ilmu hukum. Salah satunya adalah di
bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pajak yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemungutan PBB pada jalur hijau dan kawasan limitasi.
11
1.3.2 Tujuan Khusus
Sehubungan dengan tujuan umum, maka tujuan khusus yang ingin dicapai
melalui penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang dasar pengaturan pengurangan
PBB pada jalur hijau dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum Peraturan Bupati
Badung Nomor 89 Tahun 2012 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan pada
jalur hijau dan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 Tentang Pajak Bumi
dan Bangunan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan
sumbangan dan manfaat bagi pengembangan pengetahuan dan membantu dalam
membuat peraturan di bidang hukum khususnya hukum pajak yang dalam hal ini
berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB).
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pemerintah sebagai aparat perpajakan dan administrasi negara, agar memberikan
pelayanan yang lebih baik dan efektif serta pembinaan terhadap wajib pajak
sehingga segala program yang dikembangkan mampu mensejahterakan
masyarakat.
12
1.5 Landasan Teoritis
Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,
norma-norma/kaidah hukum yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-
konsep, dan asas-asas hukum yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran
penelitian. Untuk membahas dan mengklarifikasi permasalahan penelitian ini,
dipergunakan teori-teori hukum sebagai berikut :
1.5.1 Teori Welfare State (Teori Negara Kesejahteraan)
Teori welfare state (teori negara kesejahteraan) digunakan dalam penelitian
ini untuk membahas rumusan masalah pertama maupun kedua. Tujuan negara
kesejahteraan (welfare state) adalah memberikan kesejahteraan kepada segenap
masyarakat (kesejahteraan umum). Dalam rangka kesejahteraan umum tersebut,
negara kesejahteraan wajib memprioritaskan upaya-upaya yang harus ditempuh
pemerintah supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati segenap lapisan
masyarakat. Dikaitkan dengan permasalahan penelitian ini yaitu pengurangan
pajak bumi dan bangunan pada jalur hijau dan kawasan limitasi yang besarnya
mencapai 100% atau pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan
bangunan di kawasan jalur hijau dan kawasan limitasi, pemerintah daerah
Kabupaten Badung telah menunjukkan suatu upaya dimaksud, supaya
kesejahteraan dapat dinikmati masyarakat umum, terutama dalam penelitian ini,
bagi masyarakat yang tanahnya terkena kawasan jalur hijau diberikan suatu
bentuk kenikmatan berupa pembebasan pajak bumi dan bangunan untuk
meringankan beban pajak, karena tanahnya tidak bisa difungsikan selain yang
telah ditentukan dalam Perda Kabupaten Badung tentang Kawasan Jalur Hijau dan
Kawasan Limitasi.
13
Sejarah kelahiran Teori Negara Kesejahteraan4 menjadi landasan dan
kedudukan dan fungsi pemerintahan dalam konsep negara modern. Negara
kesejahteraan merupakan antitesis dari negara hukum formal (klasik)., yang
dilandasi pemikiran untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap
penyelenggaraan kekuasaan negara.
Konstruksi intelektual yang menandai sebuah teori negara kesejahteraan
memiliki tujuan pokok antara lain: pertama, mengontrol dan mendayagunakan
sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik; kedua, menjamin
pendistribusian kekayaan secara adil dan merata; ketiga, mengurangi kemiskinan;
keempat, menyediakan asuransi sosial bagi masyarakat miskin; kelima,
menyediakan subsidi untuk layanan sosial bagi disadvantage people; keenam,
memberikan proteksi bagi setiap warga negara.5 Dari tujuan negara modern
tersebut, dapat dimaknai bahwa teori negara kesejahteraan tidak semata-mata
berorientasi untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, akan tetapi lebih
menekankan pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan negara kesejahteraan, Spicker menyatakan bahwa
welfare state adalah a state which benefits its citizen in accordance with certain
set of principles, from cradle to grave.6 (terjemahan bebas : negara kesejahteraan
adalah keadaan yang menguntungkan warga sesuai dengan set tertentu prinsip,
dari buaian sampai liang kubur) Fungsi negara semacam itulah yang menjadi
4 Sejak turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, lapangan pekerjaan
pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Diberinya tugas “bestuurszorg” itu membawa suatu konsekuensi yang khusus bagi administrasi negara. Lihat E. Utrecht, 2008, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 28-29.
5 Amien Alhumami, 2005, “Negara Sejahtera”, Artikel Harian Kompas. 6 Paul Spicker, 2000, The Welfare State: A General Theory, Sage, London, hal. 6.
14
keharusan bagi peran kontekstual negara-negara modern. Pergeseran konsep ini
sekaligus mengubah skema peran sosial pemerintah yang semula sekedar
subordinate terhadap legislasi parlemen, menjadi berperan aktif untuk mampu
mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan melalui kebijakan regulasi operasional
dan berbagai diskresi untuk tujuan mencegah menajamnya kesenjangan sosial
serta mengupayakan terwujudnya social welfare.
Berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan yang merupakan revisi dari
konsep negara pasif, Asshiddqie7 menguraikan bahwa dalam konsep negara
kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan
inilah yang memberikan legalisasi bagi negara intervensionis abad ke-20. Negara
justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah
sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam
masyarakat. Melalui intervensi ini, fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan
yang sebelumnya berada di luar jangkuan fungsi negara, seperti memperluas
ketentuan pelayanan sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus,
seperti social security, kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan dan pelatihan
serta perumahan. Di samping itu, kegiatan intervensi negara itu juga meluas
sampai pada pengaturan terhadap berbagai aktivitas masyarakat, baik secara
individual maupun badan-badan koletif (corporate bodies) untuk maksud
mengubah kondisi hidup dan kehidupan individu dan kelompok penduduk secara
relatif cepat.
7 Jimly Asshidiqie, 2004, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia-Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal. 223.
15
Mengomentari konsep negara pengurus versi Bung Hatta, Asshiddiqie8
lebih jauh berpendapat bahwa kecenderungan intervensionistis ini muncul dan
berkembang di mana-mana, termasuk di negara-negara baru yang muncul sebagai
akibat proses dekolonisasi global pada abad ke-20. Indonesia, tak terkecuali, juga
dipengaruhi oleh gagasan negara kesejahteraan ini. Seperti dikemukakan oleh
Hatta dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, negara Indonesia yang akan
didirikan dengan konstitusi yang sedang mereka rumuskan dalam sidang BPUPKI
itu adalah negara pengurus. Apa yang dimaksudkan oleh Hatta dengan negara
pengurus itu, tidak lain adalah negara kesejahteraan atau welfare state. Hal ini
tercermin dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, yaitu dalam Bab XIV mengenai kesejahteraan sosial. Dengan demikian,
pada abad ke-20 ini konsep negara kesejahteraan ini menjadi populer, dan secara
cepat mempengaruhi cara kerja berbagai pemerintah di seluruh penjuru dunia.
Jadi, perspektif teori negara kesejahteraan lebih menekankan kepada
negara agar berperan secara aktif dalam mengelola dan mengorganisasi dan
mengelola perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara
untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat
tertentu bagi warga negara. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan konsep
kesejahteraan umum sebagai ”keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial yang
memungkinkan atau mempermudah manusia untuk mengembangkan semua
nilainya”, atau sebagai ”jumlah semua kondisi kehidupan sosial yang diperlukan
agar masing-masing individu, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok
8 Ibid.
16
masyarakat dapat mencapai kebutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih
utuh dan cepat”.9
Berdasarkan uraian tentang teori negara kesejahteraan, jika dihubungkan
dengan cita-cita negara Indonesia yang menjatuhkan pilihan pada negara
kesejahteraan. Hal tersebut tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa ”Pemerintahan melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Para pendiri negara dalam menjatuhkan pilihan negara kesejahteraan,
dilandasi alasan-alasan yang sekaligus menjadi alat ukur kesuksesan dalam
menjalankan sistem negara kesejahteraan, sebagai berikut: pertama, untuk
mempromosikan efisiensi ekonomi; kedua, untuk mengurangi kemiskinan; ketiga,
mempromosikan kesamaan sosial (social equality); keempat, mempromosikan
integritas sosial atau menghindarkan eksklusif sosial; kelima, mempromosikan
stabilitas sosial; dan keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian
individu.10
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri utama
negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata lain, ajaran welfare state11
9Frans Magnis Suseno, 2009, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 314. 10Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, 2008, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi,
Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, PSIK Universitas Paramadina, Jakarta, hal. 21-22.
11Pemikiran perihal tercapainya imbangan kegiatan ekonomi yang menguntungkan semua warga bangsa telah menjadi wacana yang menghasilkan sistim Negara kebangsaan yang bersifat Negara kesejahteraan. Lazimnya dengan berbagai variant definisi karena perbedaan sudut pandang terhadap unsur-unsurnya akan tetapi tidak berbeda dalam substansi dari berbagai Negara tersebut akan disebut sebagai social welfarestate atau sociale rechtsstaat.
17
merupakan bentuk konkrit dari peralihan prinsip staatsonthouding, yang
membatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi
dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan
pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai
langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, disamping menjaga ketertiban
dan keamanan.
1.5.2 Teori Kewenangan
Wewenang (atau sering pula disebut dengan istilah kewenangan)
merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan
yang bersangkutan.12 Sjahran Basah mengemukakan bahwa kewenangan
seseorang atau badan hukum pemerintah untuk melakukan suatu tindakan
pemerintahan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara
langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas
dasar penugasan (mandate).13 Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D. Van Wijk
dan Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan
atas 3 (tiga) cara antara lain:
a. Atributie : “Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuurorgaan”, atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegatie : “Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan aan een ander”, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
12 Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 77. 13Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, hal.7.
18
c. Mandate : “een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen door een ander”, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.14
Melihat kepada ada atau tidaknya suatu peralihan kewenangan, F.A.M. Stroink
dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara peralihan wewenang pada
hakekatnya hanya melalui cara atribusi dan delegasi saja. Atribusi adalah
pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi dan pada atribusi terjadi
pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang
(dalam arti material kepada organ administrasi negara).
Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi
kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat
peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu
badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan
tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar
delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya
dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya.15
Bagir Manan16 dan Irwan Yulianto17 menyatakan teori wewenang
pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan delegasi,
pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan
memuat unsur-unsur :
14 Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 45. 15 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66. 16 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Kedudukan dan Fungsi Keputusan Presiden
Sistem Perundang-undangan dan Peranannya Dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 206-214.
17Irwan Yulianto, 2014, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara,” Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XII, No. 1, hal 1180-1181.
19
1. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-undangan;
2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar atau pembentuk Undang-Undang kepada suatu lembaga;
3. Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut.
Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan
memuat unsur-unsur :
1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan; 2. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans)
kepada lembaga lainnya (delegataris); 3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.
Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang itu. Sedangkan perbedaannya adalah (1) pada delegasi
selalu harus didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang
mendahului dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada
delegasi terjadi penyerahan wewenang.18
Berkaitan dengan kewenangan menjalankan prinsip negara hukum baik
kewenangan atribusi, delegasi maupun mandate akan melahirkan pemberlakuan
asas dalam hukum Pemda baik asas desentralisasi, asas dekonsentrasi maupun
asas tugas pembantuan. Dalam desentralisasi yang merupakan penyerahan
kewenangan kepada daerah otonom dimana daerah otonom adalah hasil dari
pelimpahan kewenangan desentralisasi. Menurut Ateng Syaruddin istilah otonomi
mempunyai makna kebebasan atas kemandirian Zelfstandigheid tetapi bukan
18 S.F. Marbun, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta, hal. 109-120.
20
kemerdekaaan atau onafhakelijkheid, kebebasan yang terbatas/kemandirian itu
adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.19
Konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata
negara dan hukum administrasi negara. Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki,
maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu
perbuatan atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan
dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu
kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau
kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan
(policy executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik
negara yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de taak).20
Pelimpahan wewenang Pusat kepada Daerah, didasarkan kepada Teori
Kewenangan, yaitu pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie oleh
lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan. Setelah
menerima kewenangan attributie (diatur dalam Undang-Undang Dasar),
kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan melalui dua cara, yaitu
delegatie dan mandaat. Pada delegatie hanya boleh di Sub Delegatie, dan tidak
ada Sub-sub Delegatie. Ini dilakukan karena jabatan kenegaraan dalam setiap
sistem pemerintahan, wajib dipertanggungjawabkan, sesuai dengan prinsip
pembagiannya. Untuk menentukan batas dan tanggung jawab dari masing-masing
lembaga negara ditentukan beberapa prinsip, yaitu :
19 Ateng Syarudin, 1993, Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah, Mandar Maju
Bandung, hal. 1. 20 Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara,
Jakarta, hal. 30.
21
1. Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan 2. Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk
setiap penerima kekuasaan 3. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah
diterima pada saat menerima kekuasaan 4. Tiap kekuasaan ditentukan batasnya dengan teori kewenangan.21
1.5.3 Teori Keadilan
Teori keadilan dipergunakan sebagai landasan teoritis dalam penelitian ini
karena ada relevansinya dengan permasalahan terkait dengan pembebasan
kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dan
kawasan limitasi sedangkan kewajiban dari wajib pajak adalah membayar pajak.
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai
“tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”.22 Di antara ketiga asas
tersebut sulit untuk ditegakkan secara bersamaan, karena untuk menegakkan yang
satu, harus mengalahkan/mengorbankan yang lainnya. Pendapat Gustav Radbruch
sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bismar Siregar yang menyatakan: untuk
menegakkan keadilan, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan
hukum itu, karena hukum hanyalah sarana, sedangkan tujuannya adalah
keadilan23.
Sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan
bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how
it distributes its benefits and cost,” (terjemahan bebas: Dalam hal hukum,
21Ibrahim R., 2009, Hubungan Pemerintah Pusat–Daerah dan Konstalasi Demokrasi di
Indonesia, Makalah, Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Denpasar 5 – 7 Februari 2009, hal. 7.
22 Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, hal. 95.
23Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 154.
22
keadilan akan dinilai sebagai bagaimana hukum memperlakukan orang dan
bagaimana mendistribusikan manfaat dan biaya) dan dalam hubungan ini
Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is
allocative”.24 (terjemahan bebas : setiap fungsi hukum, umum atau khusus, adalah
alokasi) Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak ahli
hukum disebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik
Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan
secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum
sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal
itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu
dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila
hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya
sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.25
Radbruch26 mengajarkan “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas
dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan
terakhir kepastian hukum”. Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya
pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya :
“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”27
24 Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal
Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28. 25 Achmad Ali, Op.Cit, hal. 95-96. 26 Achmad Ali, Op.Cit, hal. 96. 27 Achmad Ali, Op.Cit.
23
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis,
tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum
semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.
Keadilan menurut Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia. Keadilan artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata
lain keadilan merupakan kebajikan yang utama. Aristoteles menyatakan: justice
consists intreating equals equally and unequals unequally, in proportion to their
inequality.28 Prinsip ini beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama
secara proporsional. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu29:
Pertama keadilan distribusi, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya yang hilang. Selanjutnya di kemukakan oleh Thomas Aquinas adalah30: Keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam kontek keadilan distributive, keadilan dan kepatutan (equitas) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (acqualitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan, yaitu: 1) kesamaan proporsional (acqualitas proportionis); dan 2) kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas).
28Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 36. 29Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, hal. 47-48. 30E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Kanisius, Yogyakarta, hal. 90-91.
24
John Rawls berpendapat keadilan sebagai fairness yang subjek utamanya
adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial
utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian
keuntungan dari kerjasama sosial.31
Aliran utilitarianisme dari Jeremy Bentham, keadilan itu bukan untuk satu
dua orang saja, namun yang dianggap adil itu harus berlaku untuk banyak orang
(the greatest happiness of the greatest number). Hal ini dapat dimaknai bahwa
adil menurut aliran utilitarianisme adalah didasari oleh asas moral kebaikan dan
kebenaran untuk kemanfaatan atau kebahagian sebanyak-banyaknya dari jumlah
yang sebanyak-banyaknya pula.32
Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak),
sedangkan disisi lain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat
kepada setiap individu (unsur manfaat). Keadilan itu sesungguhnya berhubungan
dengan hati nurani, bukan hanya sekedar definisi dan juga bukan soal formal-
formalan. Ia berhubungan erat dengan praksis kehidupan sehari-hari dari manusia.
sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch : “Summum ius
summa inuiria”, bahwa keadilan tertinggi itu adalah hati nurani. Orang yang
terlalu mematuhi hukum secara apa adanya seringkali justru akan merugikan
keadilan.33 Dalam penelitian ini teori keadilan yang digunakan adalah teori
keadilan dari Gustav Radbruch yang meletakkan tujuan keadilan di atas tujuan
hukum yang lain yaitu kemanfaatan dan kepastian hukum.
31John Rawls, Tanpa Tahun, A Theory Of Justice; Teori Keadilan, Pustaka Belajar, hal. 7. 32 Erni R. Emawan, 2012, Etika Hukum dalam Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, hal. 93. 33 Jeremies Lemek, 2007, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan
Hukum di Indonesia, Galang Press, Yogyakarta, hal. 25.
25
1.5.4 Konsep Pajak
Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam
masyarakat. Jika tidak ada masyarakat, tidak akan ada pajak, karena di dalam
masyarakat ada kelangsungan hidup dari individu dan kelompok masyarakat
tersebut sebagai suatu kelangsungan hidup bernegara. Untuk menjaga
kelangsungan hidup itu diperlukan biaya. Di sinilah filosofi pajak yang
sesungguhnya, bahwa pajak digunakan sebagai alat untuk pembiayaan
kelangsungan hidup bernegara yang diambil dengan mengurangi penghasilan
rakyatnya.34
Brotodiharjo35 memberi batasan-batasan dari P.J.A. Adriani bahwa pajak
adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Pengertian pajak sendiri dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara RI Tahun 2007 Nomor 85 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4740)
yang tertuang dalam Pasal 1, sebagai berikut :
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
34 Soemitro, Rochmat, 1992, Pajak Bumi dan Bangunan (Edisi Revisi), Refika Aditama,
Bandung, hal. 1-2. 35 Brotodihardjo, Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika
Aditama, Bandung. hal. 2.
26
Definisi pajak yang dahulu tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sekarang
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sudah terdapat definisi tentang
pajak dan kata “kontribusi” dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tersebut menggantikan kata “iuran” pada batasan-batasan dari Prof. Dr. P.J.A.
Adriani tentang definisi dari pajak. Selanjutnya Brotodiharjo menegaskan bahwa
ciri-ciri yang melekat pada pajak antara lain adalah :
1. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
5. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter yaitu mengatur. Menurut Slamet dan Syarifuddin,36 Pajak dapat diartikan sebagai suatu pungutan yang merupakan hak
prerogatif negara atau iuran yang dibayarkan oleh rakyat didasarkan pada undang-
undang, yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk.
Mainstream pemikiran tersebut telah mendorong para pengelola pajak berlaku
kurang mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara yang berjiwa
demokratis.Dikatakan pula bahwa demokrasi yang berarti kesetaraan dan
partisipasi, maka demokrasi perpajakan dimaknai sebagai terbangunnya sistem
perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan
masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi
36 Irianto, Edi Slamet dan Syarifuddin Jurdi, 2005, Politik Perpajakan, Membangun
Demokrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 63.
27
masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengumpulan
pajak dan pemanfaatan uang pajak. Prinsip dari demokrasi yang paling urgen
adalah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.37
Penelitian ini bermaksud meneliti tentang Pajak Bumi dan Bangunan
khususnya Pajak Bumi dan Bangunan pada jalur hijau dan kawasan limitasi di
Kabupaten Badung. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang
dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Pajak Bumi dan Bangunan
adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi atau tanah dan atau bangunan. Keadaan
subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Pajak bumi
dan bangunan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah diberi pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Rochmat Soemitro memberikan pengertian dari pajak bumi dan bangunan
sebagai berikut :
”Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tidak bergerak, maka yang dipentingkan adalah obyeknya dan oleh karena itu keadaan status orang atau badan yang dijadikan subyek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak”.38
37Ibid, hal. 94. 38 Rochmat Soemitro, 2006, Pajak Bumi dan Bangunan, PT. Eresco, Bandung, hal.5.
28
Menurut Erly Suandy yang dimaksud pajak bumi dan bangunan adalah
pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terhutang ditentukan oleh
keadaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang
membayar) tidak ikut menentukan besar pajak.39
Menurut Mardiasmo, memberikan pengertian di bawah ini :
Pengertian pajak bumi dan bangunan adalah pajak bumi dan bangunan terdiri atas pajak terhadap bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, meliputi tanah dan perairan, serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan.40 Menurut Suharno, yang dimaksud Pajak Bumi dan Bangunan adalah
penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagi hasil
pajak.41 Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan Negara yang
berasal dari rakyat atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan yang
sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah masing-masing untuk
meningkatkan pendapatan daerah tersebut.
1.5.5 Konsep Jalur Hijau
Jalur hijau merupakan bagian dari elemen Ruang Terbuka Hijau Publik.
Salah satu bentuk jalur hijau adalah jalur hijau jalan. Terdapat beberapa struktur
39 Erly Suandy. 2002, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hal. 64. 40 Mardiasmo, 2008, Perpajakan Edisi Revisi 2008, CV Andy Offset, Yogyakarta, hal. 91. 41 Suharno, 2003, Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan, Perpustakaan Nasional,
Jakarta, hal. 32.
29
pada jalur hijau jalan yaitu daerah sisi jalan, median jalan, maupun pulau lalu
lintas (traffic islands). Daerah sisi jalan adalah daerah yang berfungsi untuk
keselamatan dan kenyamanan pemakai jalan, lahan untuk pengembangan jalan,
kawasan penyangga, jalur hijau, tempat pembangunan fasilitas pelayanan dan
melindungi bentukan alam.
Simonds (1983) menyatakan bahwa karakter dan tingkat kelayakan untuk
hidup dari sebuah kota sangat ditentukan oleh kondisi alamnya dan pengaturan
ruang-ruang terbukanya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bentuknya berupa tepi
laut, jalur biru, jalur hijau, taman kota dan area rekreasi dan lain-lain. Bentuknya
jalur hijau dapat berupa jalan raya lintas, jalan raya yang berumput tengahnya,
koridor transportasi, lereng, jalan setapak, jalur jogging dan jalur sepeda.
Jalur hijau merupakan daerah hijau sekitar lingkungan pemukiman atau
sekitar kota, yang bertujuan mengendalikan pertumbuhan pembangunannya,
mencegah dua kota atau lebih menyatu, mempertahankan daerah hijau, rekreasi
ataupun daerah resapan hujan, di daerah ini tidak diperbolehkan ada bangunan
apapun.42 Menurut Arifin dan Nurhayati43 jalur hijau jalan merupakan ruang
terbuka hijau yang memanjang baik yang berada di sisi jalan maupun sebagai
pemisah atau median jalan. Undang-undang lingkungan hidup menyebutkan
bahwa jalur hijau diperuntukan sebagai resirkulasi udara sehat bagi masyarakat
guna mendukung kenyamanan lingkungan dan sanitasi yang baik.
42Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI Jakarta, 2011, Daftar Istilah, Tidak
dipublikasikan, Jakarta, hal. 11. 43 Arifin, H. S. dan Nurhayati, H. S. A., 2010, Pemeliharaan Taman, Penebar, Swadaya.
Jakarta, hal. 47.
30
Penanaman jalur hijau jalan merupakan hal penting dalam merancang dan
mengelola ruang serta memecah masalah.44 Vegetasi merupakan faktor penting
dalam lingkungan sehingga pemilihan vegetasi harus disesuaikan dengan tujuan
yang ingin dicapai dengan karakteristik vegetasi yang ditanam, terutama untuk
penanaman jalur hijau di lingkungan perkotaan yang berada di lingkungan yang
penuh polusi dan keadaan yang kurang mendukung. Pemilihan tanaman untuk
suatu lanskap harus memperhatikan aspek agronomis, arsitektural tanaman dan
nilai identitas tertentu, misalnya tanaman langka, unik, eksklusif dan lainnya.45
Jalur hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air
waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/ jaringan
listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah,
taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan
seterusnya, sebagai jalur hijau. Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park),
yang berada di luar atau di antara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan,
semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian
berkembang menjadi istilah jalur hijau kota, karena umumnya berupa ruang
terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup
permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon bebuahan dan tanaman
sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari jalur hijau berupa lahan pertanian kota
atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi
keseimbangan ekologis kota.
44 Booth, N.K., 2013, Basic Elements of Landscape Architectural Design, Waveland Press,
Inc. Illinois, hal. 62. 45 Nurisjah, S., 2011, Tanaman Untuk Taman dan Lansekap Kota, Kerjasama Lembaga
Pengabdian pada Masyarakat IPB dengan Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
31
1.5.6 Konsep Kawasan Limitasi
Kawasan limitasi merupakan kawasan yang tidak dapat dikembangkan
sama sekali yang memiliki ratio tutupan lahan sama dengan 0% sehingga tidak
boleh ada bangunan di dalam kawasan ini.46
Kawasan Limitasi yang ditetapkan adalah :47
1. Kawasan Suci merupakan kawasan yang dipandang memiliki nilai kesucian
oleh umat Hindu di Bali. Kawasan suci diantaranya pantai, campuhan
(pertemuan sungai), mata air (beji), catus patha/pempatan agung dan
setra/kuburan Hindu. Lokasi kawasan suci tersebut diantaranya di Pantai
Jimbaran, Pantai Kutuh, Pantai Benoa dan Pantai Tanjung Benoa;
2. Kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura), kawasan tahura yang ada
sekarang tetap dipertahankan fungsi sebagai hutan bakau dan dibuatkan
jalan inspeksi sebagai batas fisik antara tahura dan fungsi peruntukan
lainnya;
3. Kawasan Sempadan Pantai ditetapkan sesuai dengan rekomendasi rencana
sempadan pantai di Kabupaten Badung yaitu untuk Pantai di Kelurahan
Jimbaran, di Desa Pecatu, di Desa Ungasan dan di Desa Kutuh sebesar 50
meter, untuk Pantai di Kelurahan Benoa sebesar 30 meter dan untuk Pantai
di Kelurahan Tanjung Benoa sebesar 25 meter terhitung dari titik pasang
tertinggi sampai dengan daratan;
4. Kawasan Sempadan Sungai tersebar diseluruh Kuta Selatan pada sisi kiri
kanan sungai di luar kawasan permukiman dengan jarak sempadan
46 http://www.bappeda.badungkab.go.id/pecatu.htm. 47 Ibid.
32
sekurang-kurangnya 50 meter pada sungai tidak bertanggul dan 5 meter
pada sungai bertanggul. Untuk sungai di dalam kawasan permukiman
sekurang-kurangnya 10 meter kiri kanan sungai tidak bertanggul dan 3
meter kiri kanan sungai bertanggul serta cukup untuk dibangun jalan
inspeksi sungai atau jalan lingkungan;
5. Kawasan Sempadan Jurang tersebar di Daerah Bukit meliputi Kelurahan
Jimbaran, Desa Pecatu, Desa Ungasan dan Kelurahan Benoa dengan jarak
sekurang-kurangnya 2 kali kedalaman jurang pada jurang dengan batasan
yang memiliki kemiringan lereng sekurang-kurangnya 45% dan
kedalaman sekurang-kurangnya 5 meter pada garis datar 11 meter;
6. Kawasan Sekitar Mata Air tetap dilindungi karena selain berfungsi sebagai
sumber air untuk kebutuhan sehari-hari juga merupakan air suci dengan
radius pengamanan sebesar 100 meter. Tidak diperbolehkan kegiatan yang
mengganggu fungsi penyerapan air dan mengganggu kesucian mata air;
7. Kawasan Radius Kesucian Pura atau Kekeran adalah kawasan yang berada
pada radius kesucian pura sesuai Bhisama PHDI tentang kesucian Pura
yang terdiri atas Apaneleng Agung (minimal 5 Km dari pura) untuk Sad
Kahyangan, Apaneleng Alit (minimal 2 Km dari pura) untuk Dang
Kahyangan, dan Apanimpug atau Apanyengker untuk Kahyangan Tiga
dan lain-lain. Kebijaksanaan pengelolaan radius kesucian pura adalah :
a. Di daerah kekeran tidak diperkenankan membuat bangunan kecuali
bangunan penunjang kegiatan ritual dan tempat tinggal dengan
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) rendah;
33
b. Penetapan radius kesucian disesuaikan dengan kondisi di lapangan
serta kesepakatan dengan PHDI dan desa adat setempat dengan tetap
memperhatikan batasan kelestarian lingkungan dan radius kesucian
pura;
c. Penetapan radius kesucian pura kahyangan tiga adalah apenimpug atau
apenyengker yang jaraknya minimal 50 meter untuk bangunan
bertingkat dan 25 meter untuk bangunan tidak bertingkat ;
d. Pemanfaatan ruang suci dalam radius kesucian pura sebagai kawasan
tidak terbangun terkecuali bangunan-bangunan yang telah ada dan
rencana pembangunan yang berada dalam radius kawasan kesucian
pura yang telah memiliki perijinan lengkap tetap diijinkan, sedangkan
pembangunan baru mutlak berpedoman kepada keputusan ini.
e. Kawasan Sempadan Perbatasan Wilayah minimum 50 m pada kiri
kanan garis perbatasan wilayah kabupaten. Tidak ada kegiatan
bangunan fisik yang diijinkan untuk dilakukan pada kawasan ini.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Kajian ini adalah mempergunakan metode penelitian hukum normatif.
Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji
persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan-
bahan hukum primer (primary sources or authorities) dan bahan-bahan hukum
sekunder (secondary sources or authorities).48
48 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20,
Alumni Bandung, hal 134.
34
1.6.2 Jenis Pendekatan
Penelitian hukum normatif terdapat beberapa metode pendekatan yakni
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach)
pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konsep hukum (conceptual approach), dan
pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5049). Pendekatan konsep hukum (conceptual
approach) dilakukan dengan menelaah terbitnya Peraturan Bupati Badung Nomor
89 Tahun 2012 Tentang pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi
diatur (khusus mengenai pengurangan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sebesar 100% (seratus
persen) kepada wajib pajak atas pajak yang tertuang di kabupaten Badung).
Pendekatan sejarah (historical approach) digunakan dalam penelitian ini
mengingat Pemerintah Daerah Kabupaten Badung telah memberlakukan
pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur
35
hijau jauh sebelum Peraturan Bupati Kabupaten Badung Nomor 89 Tahun 2012
diterbitkan.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan hukum
sekunder. Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat
ketentuan hukum, dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3
Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta
Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 Tentang pengurangan pajak
bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk kondisi tertentu objek pajak
pada jalur hijau dan kawasan limitasi.
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau
karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Data
Penunjang yaitu berupa informasi dari lembaga atau pejabat, baik dari lingkungan
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung maupun dengan para pihak terkait yang
membidangi tentang pemungutan PBB.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengkaji
sumber tertulis seperti dokumen dan peraturan perundang-undangan. Bahan
hukum dikumpulkan melalui studi dokumentasi, yakni dengan melakukan
36
pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti yang
ditemukan dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Untuk
mendukung pengumpulan bahan hukum tersebut dilakukan studi lapangan. Studi
lapangan melalui sarana wawancara dilakukan terhadap informan yang terkait
seperti dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan pihak-pihak
berkompeten yang ada di lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung khususnya
yang membidangi perpajakan. Masukan yang diperoleh digunakan sebagai
penunjang dan untuk mengkonfirmasikan bahan hukum sekunder.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam
kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan
evaluasi. Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa teknik deskripsi adalah
mencakup isi maupun struktur hukum positif.49 Pada tahap deskripsi ini dilakukan
pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang dikaji dan
menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.
Lebih lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi, Alf Ross mengatakan :
The relation between a given formulation and specific complex of facts.The
technique of argumentation demanded by this method is directed toward
discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either
covered by it or not.50 (terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang
diberikan dan kumpulan fakta khusus. Teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh
49 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember, hal. 33.
50 Alf Ross, 1959, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles, hal. 111.
37
cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-
fakta yang saling melengkapi satu sama lain).
Menurut I Dewa Gede Atmadja dari sisi sumber dan kekuatan
mengikatnya, secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:51
1. Penafsiran otentik; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan (biasanya sebagai lampiran). Penafsiran otentik ini mengikat secara umum;
2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan;
3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum; merupakan penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang.
Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Gede
Atmadja diatas, maka untuk membahas persoalan hukum yang dikaji, akan
dipergunakan penafsiran otentik dan penafsiran gramatikal. Penafsiran Otentik
dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran yang didasarkan pada penafsiran
yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya
dan peraturan perundang-undangan yang lain. Sedangkan penafsiran Gramatikal
dalam kajian ini dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti
aturan hukum, khususnya aturan hukum yang berkaitan dengan pengenaan PBB.
51 I Dewa Gede Atmadja, 1996, “Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum,
Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen”, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH. UNUD, hal. 14.