bab i pendahuluan 1.1. latar belakang kawasan asia

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh beberapa negara. Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan sekutu yang terdapat di wilayah Asia Tenggara pada waktu itu dengan nama Komando Asia Tenggara (Southeast Asia Command) yang berpangkalan di Kolombo, karena wilayah Asia Tenggara sedang diduduki oleh Jepang selama perang dunia II berlangsung. 1 Persaingan antara kedua blok tersebut menjadikan kawasan ini tempat persaingan militer antara kedua kekuatan adidaya tersebut pula. Blok Komunis di bawah komando Uni Soviet menempatkan pangkalan militernya di Vietnam, sedangkan blok Barat di bawah komando Amerika Serikat menempatkan pangkalan militernya di Filipina. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan ini memiliki nilai strategis. Hal itu terbukti pada masa perang dingin antara blok Barat dan blok Timur terdapat persaingan yang terlihat jelas dengan konflik Vietnam Utara yang dikuasai oleh komunis atau Uni Soviet dan Vietnam Selatan yang dikuasai oleh Amerika Serikat. 2 1 Sjamsudar Dam, Riswandi. 1995. Kerja Sama ASEAN : Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm 17. 2 Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010 (Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), hal. 1. Selain konflik dari dua negara adidaya tersebut, negara-negara di kawasan ini juga terlibat konflik masing-masing seperti yang Universitas Sumatera Utara

Upload: vandat

Post on 03-Jan-2017

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh

beberapa negara. Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan

sekutu yang terdapat di wilayah Asia Tenggara pada waktu itu dengan nama

Komando Asia Tenggara (Southeast Asia Command) yang berpangkalan di

Kolombo, karena wilayah Asia Tenggara sedang diduduki oleh Jepang selama

perang dunia II berlangsung.1

Persaingan antara kedua blok tersebut menjadikan kawasan ini tempat

persaingan militer antara kedua kekuatan adidaya tersebut pula. Blok Komunis di

bawah komando Uni Soviet menempatkan pangkalan militernya di Vietnam,

sedangkan blok Barat di bawah komando Amerika Serikat menempatkan

pangkalan militernya di Filipina.

Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan ini

memiliki nilai strategis. Hal itu terbukti pada masa perang dingin antara blok

Barat dan blok Timur terdapat persaingan yang terlihat jelas dengan konflik

Vietnam Utara yang dikuasai oleh komunis atau Uni Soviet dan Vietnam Selatan

yang dikuasai oleh Amerika Serikat.

2

1 Sjamsudar Dam, Riswandi. 1995. Kerja Sama ASEAN : Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm 17. 2 Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010 (Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), hal. 1.

Selain konflik dari dua negara adidaya tersebut,

negara-negara di kawasan ini juga terlibat konflik masing-masing seperti yang

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

2

terjadi antara Laos, Kamboja, dan Vietnam, kemudian konflik bilateral antara

Indonesia dengan Malaysia.

Situasi persaingan tersebut menyebabkan kekhawatiran dari pemimpin

negara-negara di kawasan ini akan terjadinya konflik bersenjata yang merugikan.

Kesadaran itu kemudian menimbulkan gagasan untuk membentuk suatu

kerjasama agar tidak terjadi saling curiga di antara negara-negara di kawasan ini.

Untuk mewujudkan gagasan para pemimpin tersebut beberapa inisiatif yang telah

dilakukan, antara lain, adalah pembentukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia

Tenggara (Association of Southeast Asia (ASA), Malaya–Philippina–Indonesia

(MAPHILINDO), Traktat Organisasi Asia Tenggara (South East Asia Treaty

Organization / SEATO), dan Dewan Asia-Pasifik (Asia and Pacific Council /

ASPAC).3

Menanggapi hal itu Menteri Luar Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina,

Singapura, dan Thailand melakukan berbagai pertemuan konsultatif secara intens.

Sehingga disepakati suatu rancangan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang

isinya mencakup, kesadaran perlunya meningkatkan saling pengertian untuk hidup

bertetangga secara baik dan membina kerja sama yang bermanfaat di antara

negara-negara di kawasan yang terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.

Pembentukan berbagai aliansi atau usaha mengikat negara-negara di

kawasan itu tidak berlangsung dengan mudah. Kegagalan dari pembentukan

ikatan sebelumnya kembali menimbulkan gagasan untuk dapat hidup

berdampingan antara negara-negara di kawasan ini secara damai dan aman.

4

3 Ibid, hal. 2. 4Ibid.

Sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

3

tindak lanjut dari kesepakatan pembentukan deklarasi itu maka tepat pada tanggal

8 Agustus 1967 bertempat di Bangkok dilakukan pertemuan perwakilan dari lima

negara yaitu, Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina

menandatangani deklarasi ASEAN atau sering juga disebut deklarasi Bangkok.

Deklarasi tersebut menjadi pertanda berdirinya suatu organisasi regional

yang dinamai Association of Southeast Asia Nations (ASEAN). Sejak awal

didirikannya ASEAN bercita-cita untuk mewujudkan Asia Tenggara bersatu,

sehingga keanggotaan ASEAN telah mengalami perluasan menjadi sepuluh

negara (Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam

1984, Vietnam 1995, Laos 1997, Myanmar 1997, dan Cambodia 1999).5

Peningkatan potensi masalah ini kemudian menimbulkan kritik terhadap

ASEAN sebagai suatu organisasi yang dianggap tidak begitu memiliki kekuatan

dalam menyelesaikan permasalahan anggotanya. Prinsip non-intervensi dianggap

sebagai salah satu penyebabnya. Prinsip tersebut menjadi dasar utama dalam

hubungan antarnegara anggota dan dipegang teguh oleh para negara anggotanya

dengan dasar sovereignty.

Peningkatan kuantitas anggota ini secara otomatis meningkatkan potensi sengketa

antar negara anggota ASEAN baik itu masalah keamanan, perbatasan,

ketenagakerjaan, dan berbagai masalah lainnya.

6

5 C.P.F. Luhulima, dkk. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 4. 6 Ibid. hal. 4

Prinsip yang berhasil mempersatukan ASEAN selama

40 tahun tersebut apabila dapat dilakukan lebih fleksibel diperkirakan dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

4

membuka peluang penyelesaian permasalahan internal dari negara-negara

anggotanya.

Keadaan ini menimbulkan kesadaran dari negara-negara anggota bahwa

ASEAN belum mewujudkan suatu perasaan kolektif yang menjadikan negara-

negara ASEAN sebagai keluarga. Keinginan untuk menciptakan suatu perasaan

kolektif ini diwujudkan dengan ide pembentukan komunitas Asia Tenggara yang

“saling perduli dan berbagi” yang disampaikan pada 15 Desember 1997 di Kuala

Lumpur yang dikenal dengan “ASEAN Vision 2020”. Angka 2020 adalah sama

dengan batas akhir dari transisi menuju globalisasi ekonomi yang pada saat itu

ditandai oleh kebebasa arus barang, jasa dan orang pada skala dunia.7

Selanjutnya, untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan

Bali Concord II pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003 yang menyepakati

pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community).

Kondisi

persaingan global yang bebas itu diperkirakan akan memberikan dampak yang

dahsyat bagi kawasan Asia Tenggara hingga dibutuhkan suatu komunitas yang

akan membentuk rasa kebersamaan dalam menghadapi persaingan global.

8

7 Ibid. hal. 5 8 Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010. ( Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia) hal.4.

Para pemimpin negara-

negara ASEAN memproklamirkan pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN

Community) yang terdiri atas tiga pilar, yakni Komunitas Kemanan ASEAN

(ASEAN Security Community- ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN

Economic Community-AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN

Socio-Cultural Community-ASCC) yang saling mengikat dan memperkuat untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

5

mencapai tujuan bersama demi menjamin perdamaian yang dapat dipertahankan,

stabilitas dan kemakmuran yang terbagi di kawasan Asia Tenggara.9

Pada KTT ASEAN ke-10 di Vientiane, Laos, tahun 2004, konsep

Komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga Rencana Aksi

(Plan of Action/ PoA) untuk masing-masing pilar.

10 Ketiga rencana aksi tersebut

dimasukkan ke dalam Vientiane Action Programme (VAP) sebagai pedoman

ASEAN untuk jangka pendek dan menengah (2004-2010) yang terfokus pada

usaha untuk melakukan integrasi dan persempitan kesenjangan di dalam ASEAN.

Selanjutnya KTT ASEAN ke-11 pada tahun 2006 di Kuala Lumpur

mendeklarasikan pembentukan piagam ASEAN.11

Selanjutnya, pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina, melalui Deklarasi

Cebu mengenai Cetak Biru Piagam ASEAN para Kepala Negara/Pemerintahan

ASEAN kemudian menginstruksikan para Menteri Luar Negeri negara-negara

ASEAN untuk membentuk Gugus Tugas Tingkat Tinggi mengenai penyusunan

Piagam ASEAN (High Level Task Force on the drafting of the ASEAN

Charter/HLTF), yang akan menindaklanjuti hasil rekomendasi EPG menjadi suatu

draf Piagam ASEAN.

12

9 C.P.F. Luhulima, dkk. Op Cit. hal. 5-6. 10 Tim Penyusun. Op Cit. hal. 4. 11 Ibid. hal. 7. 12 Ibid. hal. 7-8.

Melalui perundingan yang panjang dari para pemimpin

negara-negara ASEAN, maka pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura tahun 2007

ditandatanganilah Piagam ASEAN yang terdiri atas Mukadimah, 13 Bab, 55

Pasal, dan lampiran-lampiran lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

6

Melalui penandatanganan itu maka dimulailah proses ratifikasi oleh

kesepuluh negara anggota ASEAN. Hingga pada 15 Desember 2008 mulailah

diberlakukan Piagam ASEAN tersebut setelah semua negara melakukan ratifikasi

dan menyampaikan instrumen ratifikasinya kepada Sekretariat ASEAN. Piagam

ASEAN (ASEAN Charter) mengubah ASEAN dari organisasi yang longgar (loose

association) menjadi organisasi yang berdasarkan hukum (rules-based

organization) dan menjadi subjek hukum (legal personality).13

Sebelum diterapkannya Piagam ASEAN tersebut, tepatnya pada KTT

ASEAN ke -12 yang diselenggarakan di Cebu, Filipina telah disepakati

percepatan pembentukan komunitas ASEAN di tahun 2015 dan pembentukan

Cetak Biru dari ketiga pilar komunitas ASEAN. Para pemimpin negara-negara di

ASEAN sepakat untuk mewujudkan One Caring and Sharing Community pada

2015 atau lima tahun lebih awal dibandingkan kesepakatan di Kuala Lumpur pada

tahun 1997. Komunitas ASEAN akan diwarnai pencapaian kerja sama, solidaritas,

bersama melawan kemiskinan, dan menikmati rasa aman, termasuk keamanan

manusia (human security).

14

Rasa aman yang dimaksud ini merupakan salah satu hal yang ingin

diwujudkan oleh salah satu pilar Komunitas ASEAN yaitu Komunitas Keamanan

ASEAN. Penggunaan istilah Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security

Community/ASC) sebagaimana dicantumkan di dalam Rencana Aksi Vientianne

(Vientianne Action Plan/VAP) diubah menjadi Komunitas Politik-Keamanan

13 Ibid. hlm 5. 14 C.P.F. Luhulima, dkk. Op Cit. hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

7

ASEAN (ASEAN Political-Security Community/APSC) sebagaimana dipakai

dalam Piagam ASEAN.15 Komunitas keamanan ini sendiri merupakan konsep

yang berbeda dari aliansi dan sistem keamanan kolektif. Aliansi tumbuh sebagai

akibat dari munculnya persepsi tentang adanya musuh bersama atau ancaman luar.

Komunitas keamanan sebaliknya, tumbuh dari kehadiran kepentingan dan

identitas bersama di antara-negara anggotanya.16

Komunitas keamanan juga berbeda dari sistem keamanan kolektif. Sistem

keamanan kolektif menekankan pemberian sanksi terhadap negara yang

melanggar aturan. Kemudian, sistem ini juga mendukung penggunaan kekuatan

militer dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan komunitas keamanan sangat

menghindari hal-hal tersebut. Komunitas keamanan mengupayakan adanya

penciptaan suatu identitas bersama dari tiap negara anggotanya secara bersama

dan terus menerus hingga dapat menjaga stabilitas negara-negara anggotanya.

17

a. Komunitas Berbasis Aturan dengan Nilai dan Norma Bersama (A Rules-based

Community of Shared Values and Norms)

Berdasarkan hal tersebut, Komunitas Politik-Keamanan ASEAN membentuk

suatu cetak biru untuk menjadi acuan dari pelaksanaan komunitas politik-

keamanan tersebut.

Cetak biru dari Komunitas Politik-Keamanan ASEAN atau yang sering

disebut APSC Blueprint tersebut mengandung tiga karasteriktik utama. Tiga

karakteristik tersebut adalah :

15 Tim Penyusun. Op Cit. hal. 20. 16 Bambang Cipto. 2010. Hubungan Internasional di Asia Tenggara : Teropong Terhadap Dinamika, Kondisi Riil, dan Masa Depan. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hal. 7. 17 Lihat : Ibid. hal.7-8.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

8

b. Sebuah Wilayah Terpadu, Damai dan Tangguh dengan Tanggung Jawab Bersama untuk

Keamanan Menyeluruh (A Cohesive, Peaceful, Stable and Resilient Region with Shared

Responsibility for Comprehensive Security)

c. Kawasan yang Dinamis dan Berpandangan Keluar dalam Dunia yang Semakin

Terintegrasi dan Saling Bergantung (A Dynamic and Outward Looking Region in an

Increasingly Integrated and Interdependent World).18

Perubahan cetak biru dari ketiga pilar Komunitas ASEAN terjadi pada

KTT ke 27 di Kuala Lumpur tahun 2015 yang disesuaikan dengan Visi ASEAN

2025. Terdapat perubahan pada cetak biru APSC yang mengubah karakteristik

menjadi empat, yaitu :

a. Komunitas berbasis nilai, berorientasi pada masyarakat, berpusat pada

masyarakat (Ruled Based, People-Oriented, People-Centred

Community).

b. Kawasan damai, aman, dan stabil (Peaceful, Secure, and Stable

Region).

c. Sentralitas ASEAN dalam kawasan yang dinamis dan berpandangan ke

luar (ASEAN Centrality in A Dinamic and Outward-Looking Region).

d. Penguatan kapasitas dan kehadiran institusi ASEAN (Strengthened

ASEAN Institutional Capacity and Presence).19

Sebagai sebuah komunitas keamanan, APSC mengedepankan langkah-

langkah preventif atau pencegahan terhadap berbagai ancaman keamanan.

Keamanan yang dimaksud dalam APSC bukan hanya yang menyangkut isu-isu

18 ASEAN Political-Security Community Blueprint. (Jakarta : Sekretariat ASEAN), hal. 2. 19 ASEAN 2025 : Forging Ahead Together (Jakarta : Sekretariat ASEAN) hal. 20

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

9

keamanan tradisional. Keamanan tradisional itu mengacu pada situasi atau

keadaan di mana unsur-unsur pokok yang membentuk suatu negara seperti

kedaulatan wilayah, penduduk, atau warganegara, basis ekonomi, pemerintah,

konstitusi dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa gangguan dari pihak lain.20

Masalah keamanan non tradisional juga masuk sebagai bagian dalam cetak

biru APSC. Keamanan non tradisional sendiri merupakan konsep keamanan yang

memperhatikan aspek non militer baik dari segi ekonomi, kesehatan, lingkungan

hidup, hingga hak asasi manusia.

21 Masalah keamanan non tradisional yang

dimasukkan ke dalam cetak biru APSC antara lain kejahatan transnasional,

terorisme, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, penyelundupan senjata,

cybercrimes, pengamanan lintas batas, dan penanganan bencana.22

Masalah keamanan non tradisional yang dimasukkan dalam cetak biru

APSC tersebut menunjukkan adanya upaya membentuk kesamaan pandangan

dalam melihat ancaman dari sisi keamanan non tradisional. Kesamaan pandangan

tersebut merupakan salah satu ciri dari komunitas politik-keamanan. Sebagai

upaya menjaga keberlangsungan kesamaan pandangan tersebut, APSC melalui

cetak birunya memberikan panduan berbagai tindakan yang harus dilakukan

dalam menghadapai isu-isu keamanan non tradisional di kawasan. Tindakan yang

dimaksud berupa penguatan kapabilitas nasional masing-masing negara.

20 Lihat : Aleksius Jemadu. 2014. Politik Global dalam Teori dan Praktek edisi 2. (Yogyakarta : Graha Ilmu) hal. 107. 21 Ibid hal. 109. 22Lihat : ASEAN 2025 : Forging Ahead Together (Jakarta : Sekretariat ASEAN). hal. 33-40

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

10

Kapabilitas nasional itu dapat berupa peraturan atau dasar hukum, dan badan-

badan.

Penguatan kapabilitas nasional di negara masing-masing merupakan upaya

untuk menciptakan kesamaan pandangan dan pemerataan kekuatan dalam

menghadapi ancaman keamanan non tradisional. Hal tersebut dilakukan karena

cetak biru APSC menyatakan penghormatan prinsip independensi, kedaulatan,

kesetaraan, integritas wilayah, non interference, dan identitas nasional.23

1.2. Rumusan Masalah

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa permasalahan tiap negara tidak dapat

diurusi oleh negara lain yang ada di dalam kawasan. Penguatan tersebut juga

dilakukan di tiap negara demi menjaga kedaulatan negara seiring dengan upaya

mewujudkan kawasan yang aman, damai dan stabil.

Masalah keamanan non tradisional ialah ancaman terhadap keamanan

manusia yang ada di dalam suatu negara. Masalah keamanan non tradisional itu

dapat berupa kejahatan transnasional, terorisme, perdagangan narkoba,

perdagangan manusia, penyelundupan senjata, cybercrimes, pengamanan lintas

batas, dan penanganan bencana. Masalah keamanan non tradisional ini berbeda

dengan masalah keamanan tradisional yang mengancam kedaulatan sebuah negara

karena bentuk ancamannya berbentuk perang untuk merebut wilayah, atau

pemaksaan terhadap penerapan ideologi tertentu.

23 Ibid. hal. 21

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

11

Penanganan yang dilakukan pun berbeda, masalah keamanan tradisional

ini harus dihadapi dengan kekuatan militer sedangkan masalah keamanan non

tradisional dapat dihadapi dengan penguatan undang-undang, badan-badan

sektoral, serta kerjasama antar negara seperti yang dilakukan Indonesia dengan

mengikuti APSC. Namun, prinsip-prinsip yang ada di dalam cetak biru APSC

seperti disebutkan sebelumnya memberikan dilema tersendiri dalam mewujudkan

komunitas politik-keamanan ASEAN. Penguatan kapabilitas nasional untuk

menghadapi ancaman keamanan non tradisional pun mesti dilakukan tiap negara

berdasarkan kondisi keamanan non tradisional di dalam negerinya masing-masing.

Hal tersebut terjadi karena kondisi keamanan non tradisional di tiap negara

berbeda dan negara lain tidak dapat ikut campur dalam menangani permasalahan

tersebut.

Begitu pula yang terjadi di Indonesia sebagai negara yang ikut tergabung

dalam APSC dan memiliki masalah ancaman terorisme dan narkoba. Indonesia

harus melakukan penguatan terhadap undang-undang dan peraturan lain serta

badan-badan di Indonesia untuk mengurusi permasalahan terorisme dan narkoba.

Kedua permasalahan ini akan menjadi pokok pembahasan karena dalam cetak biru

APSC sendiri terdapat perhatian lebih terhadap kedua permasalahan ini. Hal itu

ditunjukkan dengan terdapatnya 12 tindakan dalam kategori terorisme dan 14

tindakan dalam kategori narkoba, jumlah tersebut lebih banyak dibanding dengan

jenis ancaman keamanan non tradisional lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

12

Kapabilitas nasional menjadi hal penting karena dalam komunitas politik-

keamanan ASEAN, Indonesia tidak dapat berharap bantuan dari negara lain dalam

menghadapi ancaman terorisme dan narkoba. Oleh sebab itu muncul pertanyaan,

bagaimana undang-undang, peraturan lainnya, badan-badan dan kerjasama antar

negara ASEAN yang dilakukan Indonesia dalam ruang lingkup APSC untuk

mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk :

1. Mengetahui bagaimana penetapan sektor-sektor keamanan non tradisional

oleh ASEAN dan Indonesia.

2. Mengetahui kapabilitas nasional Indonesia untuk melaksanakan cetak biru

APSC dalam bidang keamanan non tradisional.

3. Mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Indonesia sebagai pelaksanaan

langkah-langkah cetak biru APSC di bidang keamanan non tradisional.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, ialah :

1. Menggambarkan kemampuan dari undang-undang, badan-badan dan kerja

sama antar negara ASEAN yang dilakukan Indonesia dalam menangani

masalah terorisme dan narkoba dalam rangka pelaksanaan APSC.

2. Mendeskripsikan kesenjangan antara undang-undang, badan-badan

sektoral untuk menghadapi ancaman terorisme dan narkoba dalam

pelaksanaan APSC di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

13

1.5. Kerangka Teori

1.5.1. Realisme

Realisme merupakan sebutan yang digunakan dalam berbagai macam

disiplin ilmu. Ilmu politik merupakan salah satu disiplin ilmu yang menggunakan

istilah realisme, khususnya dalam ranah hubungan internasional. Realisme pada

umumnya dianggap sebagai tradisi teoritis paling berpengaruh dalam hubungan

internasional.24

Keamanan kolektif ini akan menyebabkan apabila ada negara yang

melakukan agresi akan berhadapan dengan kekuatan kolektif opini dunia dan

militer. Pada akhirnya, kesepakatan internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa

akan terbentuk sebagai sebuah mekanisme bagi resolusi konflik yang damai.

Hal itu disebabkan oleh pemikiran realisme yang lahir dari kritik

secara keras kepada internasionalisme liberal dan pengaruh pemikiran ini terhadap

praktek diplomasi internasional. Realisme mengkritik pemikiran liberalisme

dalam hubungan internasional yang mengedepankan kemungkinan munculnya

sistem keamanan kolektif.

25

24 Scott Burchill, Andrew Linklater. 2011. Teori-Teori Hubungan Internasional (Bandung : Nusa Media) hal. 90. 25 Ibid. hal. 91.

Namun, sifat imajiner atau lebih fokus pada harapan perdamaian dunia yang

dikemukakan oleh pemikiran liberal ini melupakan pada analisis fakta yang

terjadi. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa mencegah invasi Jepang atas Manchuria

dan pendudukan Italia atas Etopia telah menghancurkan harapan banyak kaum

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

14

liberal yang percaya bahwa dunia dapat menjadi damai hanya dengan berharap

saja.26

Menurut Carr, yang diperlukan adalah pendekatan yang tepat yang lebih

menekankan realitas kekuasaan politik internasional daripada pendekatan yang

menjadikan ‘suatu harapan mengenai bagaimana dunia seharusnya’ sebagai

sebuah dasar pemikiran: dengan kata lain, lebih cenderung pada kenyataan

daripada yang seharusnya.

27

Realisme menggambarkan manusia sebagai makhluk yang haus akan

kekuasaan. Manusia dianggap akan selalu mengejar kekuasaan di manapun dia

berada. Menurut Hans J. Morgenthau politik adalah perjuangan memperoleh

kekuasaan atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan

terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukkan

kekuasaan menentukan teknik tindakan politik.

Kondisi ini menunjukkan bahwa realime merupakan

pemikiran yang menekankan pada penerimaan fakta dan analisis atas sebab dan

dampaknya.

28 Pemikiran itu memiliki

kesamaan dengan pemikiran realisme Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes yang

mengemukakan bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan

kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik.29

Pemikiran itu menggambarkan politik internasional sebagai politik

kekuasaan, arena persaingan , konflik, dan perang antara negara-negara. Hal itu

26 Ibid. hal. 91-92. 27 Ibid.hal. 92 28 Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 88 29 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

15

menyebabkan muncul asumsi bahwa politik dunia berkembang dalam anarki

internasional, yaitu sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan, tidak ada

pemerintahan dunia.30 Negara-negara merupakan aktor utama dalam hubungan

internasional. Dalam keadaan anarkis, tiap negara harus menolong dirinya sendiri

atau self-help.31

Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan

hidup negara.

Keadaan anarkis dalam hubungan internasional ini tidaklah

menempatkan negara-negara dalam posisi yang sejajar. Tedapat hirarki

internasional atas kekuasaan negara-negara yang didominasi oleh negara dengan

kekuatan besar (great powers) yang menggunakan dominasinya untuk

memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

32

30 Ibid.hlm 89. 31 Abu Bakar Eby Hara. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai Konstruktivisme (Bandung: Nuansa) hal. 36. 32 Robert Jackson dan Georg Sorensen. Op Cit. hal. 89.

Tindakan negara-negara dalam hubungan internasional yang

berbentuk kebijakan politik luar negeri didasarkan pada keinginan untuk

mempertahankan eksistensinya dan keamanannya secara terus menerus. Negara

dipandang sangat vital bagi kehidupan warganya, negara bertindak sebagai

pelindung wilayah, penduduk dan kebudayaannya. Kepentingan nasional adalah

sebagai penentu dalam membuat kebijakan politik luar negeri. Fakta bahwa tiap

negara mengejar pencapaian kepentingan nasionalnya menjadikan tiap negara

tidak dapat dipercaya satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

16

kesepakatan internasional bersifat sementara dan kondisional atas dasar keinginan

negara untuk mematuhinya.33

Secara garis besar, realisme sebagai teori dibagi menjadi dua yaitu

realisme klasik dan realisme modern atau neorealisme. Realisme klasik

merupakan hasil dari pemikiran tokoh-tokoh seperti Thucydides yang

menganggap hubungan antar bangsa sebagai konflik dan kompetisi yang tidak

dapat dihindari antara negara-kota Yunani Kuno dan antara Hellas dan kekaisaran

non-Yunani di sekitarnya, seperti Macedonia atau Persia.

34

Selain Thucydides adapula Machiavelli, yang dalam ajaran politiknya ada

dua hal penting dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri, yaitu kekuasaan dan

penipuan. Menurutnya, nilai politik tertinggi adalah kemerdekaan serta adanya

tanggung jawab penguasa yang berupaya mencari keunggulan dan

mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin kehidupannya. Hal itu

membutuhkan kekuatan serta kecerdikan untuk memanfaatkan hubungan dengan

negara lain sebagai sarana pencapaian kepentingan nasional. Teori realis

klasiknya merupakan teori kelangsungan hidup negara.

Negara-negara pada

saat itu juga memiliki kekuatan yang tidak setara dan perbedaan itu tidak dapat

dihindari antara negara-negara besar dan kecil pada saat itu.

35

Kemudian, Hobbes juga menjadi realis klasik. Hobbes menyatakan bahwa

keadaan alami merupakan lingkungan manusia yang sangat tidak bersahabat di

33 Ibid. 34 Ibid. hal. 91-92. 35 Ibid. hal. 94.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

17

mana terdapat keadaan perang setiap manusia terhadap setiap manusia.36

Kondisi alamiah ini akan menyebabkan konflik antara satu negara dengan

negara lain dan sangat sulit untuk menyelesaikannya. Hal ini berbeda dengan

menangani kondisi alamiah manusia karena tidak akan ada negara yang mau

menyerahkan kedaulatannya untuk menjamin keamanan global. Akan tetapi,

menurut Hobbes, negara-negara dapat juga membuat perjanjian satu sama lain

untuk menyediakan dasar hukum bagi hubungannya. Hukum internasional dapat

menenangkan keadaan alami internasional dengan menyediakan kerangka

persetujuan dan aturan yang menguntungkan semua negara.

Hobbes

yakin pula dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan pembentukan negara

berdaulat. Negara berdaulat itu akan menjadikan manusia membentuk perjanjian

keamanan yang menjamin keselamatan mereka. Akan tetapi terjadi dilema

keamanan dimana penciptaan satu negara berdaulat akan menciptakan kondisi

alami di antara negara-negara lain dalam politik dunia.

37

Setelah itu ada pula Hans J. Morgenthau yang mempercayai bahwa secara

alami manusia dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan memperoleh hasil dari

kekuasaan.

Akan tetapi hukum

itu hanya akan dipatuhi jika berada dalam kepentingan keamanan dan

kelangsungan hidup negara untuk melakukannya, dan apabila tidak hukum itu

akan diabaikan.

38

36 Ibid. hlm 96. 37 Ibid. hal. 98. 38Ibid.hal. 99.

Kemudian, dalam mengejar kekuasaan dan pencarian keuntungan

dari kekuasaan itu, manusia akan mencari wilayah politik yang menjamin

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

18

keamanannya. Wilayah politik yang dapat mengatur keamanannya ini adalah

negara karena mustahil ada keamanan di luar negara. Dalam politik internasional,

kalau mengikuti realisme klasik seperti Morgenthau, negara-negara masih diangap

memiliki tujuan dan aspirasi politik luar negeri sendiri dan tidak sepenuhnya

dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan pada struktur internasional.39

1. Politik ditentukan oleh hukum-hukum objektif yang berakar pada

kodrat manusia. Hukum ini tidak berubah dari waktu ke waktu dan

kedap terhadap pilihan manusia. Hukum-hukum ini memberikan kita

kepastian dan kepercayaan dalam memperhitungkan sikap politik yang

rasional.

Ada enam prinsip realisme politik yang diungkapkan oleh Morgenthau,

yaitu :

2. Kunci untuk memahami politik internasional adalah mendefenisikan

konsep kepentingan dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dengan

merujuk pada konsep ini kita punya peluang utnuk melihat politik

sebagai sebuah ruang tindakan otonom. Kepentingan negara yang

harusnya menjadi tujuan tunggal negarawan, selalu didefenisikan

dalam pengertian kemampuan strategis atau ekonomi.

3. Bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam dalam

waktu, tempat dan konteks, tetapi konsep kepentingan masih tetap

sama.

39 Abu Bakar Eby Hara. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai Konstruktivisme (Bandung: Nuansa) hal. 39.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

19

4. Prinsip-prinsip moral universal tidak menuntun sikap negara, meski

sikap negara jelas akan memiliki implikasi moral dan etika. Sikap hati-

hati yang didasarkan pada penilaian bijaksana dari konsekuensi-

konsekuensi yang muncul dari pilihan politis alternatif adalah hukum

yang menjadi pedoman kaum realis.

5. Tidak ada serangkaian prinsip-prinsip moral yang disetujui secara

universal. Meski negara dari waktu ke waktu akan berusaha keras

mendandani sikap mereka dalam pengertian etis (pembelaan hak asasi

manusia), penggunaan bahasa moral untuk membenarkan sikap

eksternal dirancang untuk merundingkan keuntungan, legitimasi, dan

selanjutnya kepentingan nasional negara. Kepentingan adalah standar

tetap yang menjadi bahan petimbangan dan tujuan yang disasar oleh

tindakan politik.

6. Secara intelektual bidang politik itu otonom dari setiap bidang

perhatian manusia lainnya. Posisi ini memungkinkan untuk melihat

wilayah internasional seagai sesuatu yang berbeda secara analitis dari

bidang intelektual lainnya, dengan standar pemikiran dan kriteria

sendiri untuk analisis dan evaluasi sikap negara. Pertanyaan kunci

seperti ‘bagaimana kebijakan ini mempengaruhi kekuasaan bangsa?’

Menjadi titik perhatian lingkup analisis intelektual yang tersendiri

ini.40

40 Lihat : Hans J. Morgenthau. 1964. Politics Among Nations : The Struggle for Power and Peace. (New York: Knopf) hal. 4-11

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

20

Keenam prinsip yang dikemukakan oleh Morgentahau itu menempatkan

negara sebagai aktor penting dalam politik internasional.

Selain enam prinsip realisme itu, adapula asumsi realisme menurut Kegley

dan Wittkopf. Asusmsi tersebut antara lain ialah sekutu dibutuhkan untuk

meningkatkan kemampuan negara dalam mempertahankan diri tetapi kesetiaan

dan keandalannya tidak bisa dipastikan sebelumnya. Kemudian, negara tidak

boleh mengandalkan organisasi internasional atau hukum internasional untuk

menjamin keamanan nasionalnya. Selain itu negara juga harus menolak setiap

upaya pengaturan perilaku internasional melalui mekanisme pemerintahan global.

Berikutnya, karena semua negara berusaha untuk meningkatkan kekuatannya

maka stabilitas hanya bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan (balance of

power) yang diperlancar oleh pembentukan dan pembubaran aliansi-aliansi yang

saling bertentangan.41

Berdasarkan asumsi-asumsi dasar tersebut terlihat bahwa dalam ranah

hubungan internasional yang menjadi fokus utama adalah masalah keamanan

nasional dan eksistensi negara. Asumsi tersebut juga menyatakan bahwa dalam

hubungan antara negara-negara di dunia tidak ada suatu pemerintahan global.

Negara-bangsa sebagai entitas politik yang berdaulat dan independen merupakan

unit analisis yang menjadi fokus atau center of gravity bagi realisme.

42

41 Aleksius Jemadu. 2014. Politik Global dalam Teori dan Praktik edisi 2 (Yogyakarta : Graha Ilmu) hal.8 42 Aleksius Jemadu. Ibid. hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

21

Selanjutnya ada pula aliran realisme modern, atau neorealisme atau sering

juga disebut realisme struktural.43 Adanya kritik yang tajam terhadap realisme

menimbulkan pemikiran-pemikiran baru salah satunya adalah realisme modern

atau neorealisme yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz. Waltz menawarkan

eksplanasi terhadap perilaku negara dengan mengacu pada hakekat struktur politik

yang melingkupinya.44

Waltz menyatakan bahwa, unit-unit negara dari sistem internasional

“dibedakan khususnya oleh besar atau kecilnya kapabilitas mereka dalam

menjalankan tugas yang serupa...struktur suatu sistem berubah seiring dengan

perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem”.

Perhatian terhadap struktur internasional yang memberi

pengaruh pada usaha mempertahankan keamanan inilah yang menyebabkan

neorealisme dinamakan juga sebagai realisme struktural.

45

Bagi neorealisme, faktor distribusi kapabiltas di dalam struktur

internasional akan mempengaruhi perilaku atau aktor-aktor politik luar negeri.

Teori tersebut

menggambarkan bahwa sistem politik internasional berubah seiring dengan

perubahan kapabilitas tiap negara. Negara-negara dengan kapabilitas besar

cenderung lebih mampu memberi pengaruh terhadap sistem politik internasional.

46

43 Lihat : Aleksius Jemadu. Ibid. hal. 27. 44 Ibid. hal. 27. 45 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Op Cit. hal. 111. 46 Abu Bakar Eby Hara. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai Konstruktivisme (Bandung: Nuansa) hal. 43.

Hal ini membuktikan bahwa struktur sistem internasional dalam pandangan kaum

neorealis masih bersifat anarkis. Tidak ada negara yang dianggap menjadi

penguasa karena tidak ada pemerintahan internasional. Kondisi sistem

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

22

internasional yang anarkis ini dianggap sebagai pemicu ketakutan,

ketidakamanan, dan kecurigaan antar negara. Struktur internasional ini memaksa

tiap negara untuk mengejar kekuasaan. Keadaan saling mengejar kekuasaan ini

pula yang menimbulkan dilema keamanan dalam pandangan kaum neorealis.

Dilema ini menurut kaum neorealis dapat diatasi dengan menciptakan

kondisi keseimbangan kekuatan atau balance of power diantara negara-negara di

dunia. Dalam beberapa kasus, negara-negara mengadakan aliansi atau kerjasama

untuk mempertahankan keseimbangan ini. Perlu diperhatikan dalam proses

penyeimbangan dan dalam struktur politik internasional adalah peranan negara-

negara besar yang mempunyai kapabilitas yang besar, karena pada kenyataanya

negara dengan kapabilitas besarlah yang mengatur kestabilan di dunia.47

Pembentukan aliansi atau kerjasama sendiri menurut kaum neorealis

adalah sulit karena mempertimbangkan untung rugi, kekhawatiran keuntungan

lebih besar diperoleh lebih oleh rekan aliansi termasuk kekhawatiran kehilangan

otonomi sebagai negara yang berdaulat.

48

Menghadapi sistem internasional yang bersifat anarkis ini kaum neorealis

juga mengemukakan dua pilihan yang bergantung pada kapabilitas negara masing-

masing. Pertama, ialah defensive realist seperti Kenneth Waltz yang menyatakan

Hal ini menyebabkan akan selalu ada

pengkajian berkala oleh negara-negara yang beraliansi atas untung rugi dari

keikutsertaannya dalam aliansi tersebut.

47 Lihat : Ibid. hal. 43. 48 Ibid. 44.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

23

bahwa tujuan utama negara adalah keamanan karena dunia yang anarkis.49

Kemudian ada realis yang bertindak ofensif seperti Mearsheimer juga

Fareed Zakaria dan Eric Labs, mengatakan bahwa mendapatkan power sebesar

mungkin adalah langkah strategis terutama bila keadaan memungkinkan untuk

mendapatkan hegemoni.

Pandangan ini mengungkapkan tidaklah bijaksana untuk memiliki power yang

besar karena sikap ofensif hanya akan meningkatkan rasa tidak aman dan saling

bersaing dalam meraih kekuasaan yang lebih besar antar negara.

50

49 Ibid.hlm 47. 50 Ibid.

Power tersebut bukanlah semata-mata digunakan untuk

menaklukkan atau mendominasi namun dalam dunia yang bersifat anarkis power

digunakan sebagai jaminan untuk keberlangsungan hidup. Kondisi dunia yang

anarkis itu kemudian mengharuskan tiap negara melakukan tindakan masing-

masing dalam mempertahankan eksistensinya.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa teori realisme

berfokus pada keamanan sebagai kepentingan nasional tiap negara dan

penggunaan kapabilitas nasional sebagai kekuatan dalam mencapai kepentingan

nasional tersebut. Kapabilitas nasional tersebut dapat berupa kekuatan militer,

kekuatan hukum dalam bentuk peraturan, dan badan-badan pelaksananya hingga

kerjasama antar negara. Realisme sendiri sejak awal perkembangannya

membernarkan adanya kerjasama antar negara sebagai upaya pembentukan

balance of power atau stabilitas antara negara-negara di dunia.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

24

Keamanan nasional sebagaimana dimaksud sebelumnya mengacu pada

situasi atau keadaan unsur-unsur pokok yang membentuk suatu negara seperti

kedaulatan, wilayah, penduduk, basis ekonomi, pemerintah, dan sistem konstitusi.

Acuan dalam keamanan nasional ini ialah negara-bangsa. Namun perlu dicatat

bahwa pada akhirnya yang merasa aman atau tidak aman adalah manusia atau

kelompok manusia bukannya benda mati atau entitas hasil abstraksi pikiran

manusia.51

Sam C. Sarkesian mendefinisikan keamanan nasional itu sebagai

kepercayaan diri dari sebagian besar bangsa yang negaranya memiliki kekuatan

militer dan kebijakan yang efektif untuk mencegah lawan-lawannya dari

pengunaan kekuatan untuk mencegah negara tersebut mencapai kepentingan

nasionalnya.

52

Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde menjelaskan tentang aspek

non militer ini terhadap masalah keamanan negara. Masalah keamanan negara

tersebut terbagi menjadi tiga kategori. Pertama bersifat tidak terpolitisasi, yaitu

tidak memerlukan intervensi kebijakan publik, kedua terpolitisasi yaitu

membutuhkan penanganan melalui kebijakan publik, dan kemudian bersifat

tersekuritisasi yaitu yang membutuhkan intervensi kebijakan yang bersifat

Berdasarkan dari definisi ini terlihat bahwa dalam mencapai

kepentingan nasional berupa keamanan bukan hanya melalui kekuatan militer,

namun juga dari aspek non militer yaitu melalui kebijakan yang efektif dari

sebuah negara.

51 Aleksius Jemadu. Op Cit. hal. 107. 52 Ibid. hal. 107.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

25

darurat.53

Keberadaan manusia sebagai pihak yang paling merasakan kondisi aman

atau tidak seperti disebutkan sebelumnya memunculkan konsep human security

yang merupakan upaya mengimbangi konsep keamanan yang terlalu fokus pada

negara berdaulat. Seiring meningkatnya proses globalisasi, terdapat peningkatan

perhatian terhadap masalah keamanan non tradisional yang merupakan peralihan

perhatian dari negara sebagai satu-satunya objek acuan keamanan. Masalah

keamanan baru seperti kejahatan transnasional dalam bentuk perdagangan

narkoba, human trafficking, penyelundupan senjata, pencucian uang, terorisme,

bajak laut memaksa pemerintah untuk menyusun kembali agenda keamanan serta

menciptakan pemecahan masalah pada level regional melalui kerjasama

internasional.

Berdasarkan penjelasan tersebut makin terlihat bahwa masalah

keamanan bukan hanya ditangani melalui kekuatan militer, namun juga kebijakan-

kebijakan yang merupakan produk politik.

54

Isu-isu keamanan non tradisional melanda baik negara maju maupun

negara berkembang. Negara-negara di Asia Tenggara juga menghadapi berbagai

isu keamanan non tradisional dan dituntut untuk menggalang kerjasama regional

untuk mengatasi berbagai isu tersebut.

55

53 Ibid. hal. 108. 54 Ibid. hal.109. 55 Ibid. hal. 110

Pembentukan ASEAN Security

Community pada 2003 dan berubah menjadi ASEAN Polical-Security Community

pada tahun 2008 merupakan upaya dalam menghadapi ancaman keamanan non

tradisional di negara-negara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

26

mengatasi masalah keamanan non tradisional, negara tetap menjadi aktor

utamanya.

Berdasarkan hal tersebut, teori realisme akan digunakan pada bagian

pembahasan dalam penelitian ini. Teori realisme dipilih karena teori ini

membenarkan adanya kerjasama antar negara dalam mengatasi masalah keamanan

nasionalnya. Kemudian teori realisme digunakan juga karena dalam ASEAN

Political Security Community yang menjadi aktor utamanya adalah negara.

Penggunaan teori realisme akan digunakan untuk menunjukkan kesenjangan

antara undang-undang, dan keberadaan badan-badan sektoral dengan kondisi

ancaman terorisme dan narkoba di Indonesia. Teori ini juga akan menunjukkan

upaya penciptaan balance of power antar negara anggota ASEAN dalam

mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba.

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjenis kualitatif yang diartikan sebagai bentuk penelitian

yang mengeksplorasi dan memahami makna dari masalah sosial atau

kemanusiaan.56

Penelitian ini akan mengungkapkan masalah keamanan non tradisional di

Indonesia. Kemudian penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana keberadaan

Penelitian kualitatif ini akan mengeksplorasi masalah dengan cara

mengumpulkan data dari tema yang bersifat khusus menuju kepada tema yang

bersifat umum dengan tujuan akhir menafsirkan makna data.

56 Lihat John W. Creswell. 2014. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

27

kapabilitas Indonesia bentuk peraturan dan badan-badan untuk menghadapi

masalah keamanan non tradisonal yang ada di Indonesia. Masalah keamanan yang

akan dibahas adalah sesuai dengan cetak biru APSC karena Indonesia merupakan

aktor yang terlibat dalam APSC tersebut. Selain mengungkapkan kondisi

keamanan non tradisional yang dialami Indonesia beserta kapabilitas nasionalnya,

penelitian ini juga akan menunjukkan kerjasama antara Indonesia dengan negara-

negara ASEAN dalam rangka pelaksanaan cetak biru APSC.

Peraturan, badan-badan, serta kerjasama antar negara dalam rangka

pelaksanaan cetak biru APSC itu menjadi penting karena hal tersebut merupakan

mekanisme yang harus dilakukan Indonesia untuk mengatasi masalah keamanan

non tradisional. APSC sendiri menekankan kepada langkah-langkah pencegahan

dan penanggulangan melalui penguatan peraturan dan badan-badan di dalam

negeri yang dibuat sesuai dengan panduan dari cetak biru APSC. Cetak biru

APSC ada sebagai panduan terhadap mekanisme-mekanisme yang perlu

dilakukan dalam mengatasi masalah keamanan non tradisional di tiap negara

anggota ASEAN.

Teori realisme digunakan dalam pembahasan di penelitian ini karena

realisme membenarkan adanya kerjasama antar negara dalam mengatasi masalah

keamanan nasionalnya seperti yang dilakukan oleh Indonesia dengan mengikuti

APSC. Kemudian teori realisme digunakan karena dalam APSC yang menjadi

aktor utamanya adalah negara. Teori ini juga digunakan karena APSC

menekankan penggunaan kapabilitas nasional dalam bentuk undang-undang dan

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

28

badan-badan tiap negara untuk menghadapi ancaman keamanan non tradisional

tiap negara sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara anggotanya.

Pendekatan realisme digunakan untuk melihat bagaimana undang-undang dan

peraturan lainnya, badan-badan dan kerjasama antar negara ASEAN yang

dilakukan Indonesia dalam ruang lingkup APSC untuk mencegah dan menangani

masalah keamanan non tradisionalnya.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan mengumpulkan data dengan cara studi pustaka. Data

yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, artikel,

dan dokumen-dokumen baik itu berupa undang-undang maupun berita dari

berbagai media.

Peneliti akan mengumpulkan data tentang pelaksanaan APSC di Indonesia

dari sumber resmi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Indonesia, Kementerian

Hukum dan HAM. Untuk mendapatkan data berupa kondisi keamanan non

tradisional peneliti akan mencari melalui sumber resmi Badan Narkotika

Nasional, BNPT, Interpol, Kepolisian Republik Indonesia, dan BNPB. Sumber

resmi itu berupa website yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut.

Kemudian, apabila data yang diinginkan tidak didapatkan melalui website,

peneliti akan mengirimkan e-mail berupa permohonan permintaan data kepada

lembaga tersebut. Selain mengumpulkan data yang dari lembaga-lembaga

tersebut, peneliti juga mengumpulkan data tentang kondisi keamanan non

tradisional, dan juga pelaksanaan APSC dari situs-situs pemberitaan seperti

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

29

kompas.com, tempo.co.id, liputan6.com, detik.com, beritasore.com,

antaranews.com, cnnindonesia.com, poskotanews.com, serta republika.com.

Selanjutnya, peneliti juga akan mengumpulkan data dari buku, jurnal, majalah,

koran, dan sumber lain yang mengandung informasi tentang pelaksanaan APSC,

dan juga kondisi keamanan non tradisional di Indonesia.

1.6.3. Teknik Analisa Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian kali ini akan dianalisis secara

induktif. Maksudnya, peneliti akan mengumpulkan data berupa keadaan Indonesia

terkait keamanan non tradisional, undang-undang, dan peraturan lain serta badan

yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi gangguan

keamanan non tradisional, serta langkah-langkah atau kerjasama yang telah

dilakukan sebagai mekanisme dalam rangka pelaksanaan APSC oleh Indonesia.

Kemudian, data berupa undang-undang, peraturan lain, keberadaan badan-

badan, pelaksanaan langkah-langkah dan kerjasama dalam rangka APSC akan

dikategorikan sebagai kapabilitas nasional Indonesia. Kapabilitas tersebut akan

dianalisis dengan pendekatan realisme hingga menunjukkan apakah Indonesia

berada pada posisi yang diuntungkan atau tidak dalam pelaksanaan APSC.

1.7. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Asia

30

BAB II : Deskripsi Indonesia pada penerapan ASEAN Political-

Security Community yang berisi uraian kondisi keamanan non tradisional

sesuai kategori cetak biru APSC di Indonesia, kapabilitas Indonesia dalam

pencegahan dan penanggulangan kondisi keamanan non tradisional, dan

langkah-langkah atau kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dalam

rangka pelaksanaan APSC dalam bidang keamanan non tradisional.

BAB III : Pembahasan yang berisi Analisis Kapabilitas Nasional

terhadap Ancaman Terorisme dan Narkoba di Indonesia serta Komunitas

Politik-Keamanan ASEAN sebagai Pilihan Kerjasama yang dianalisis

dengan realisme.

BAB IV : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Universitas Sumatera Utara