bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah …. skripsi bab... · untuk menertibkan, mengatur,...

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan pasal ini mengandung makna bahwa setiap penyelenggaraan negara harus senantiasa berlandaskan pada hukum yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa negara atau penguasa masyarakat yang berwenang dan hukum dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi seluruh anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mewujudkan suatu tatanan yang dikehendaki oleh penguasa atau pemerintah. Hukum menjadi landasan hidup dalam mengatur kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Singkatnya, hukum diartikan sebagai kaidah atau norma, yang merupakan patokan atau pedoman mengenai perilaku manusia yang dianggap pantas. 1 Untuk menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap 1 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 43. 1

Upload: duongdiep

Post on 01-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

menyatakan ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan pasal ini

mengandung makna bahwa setiap penyelenggaraan negara harus senantiasa

berlandaskan pada hukum yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat

diketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum

(rechtsstaat).

Hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa negara atau

penguasa masyarakat yang berwenang dan hukum dianggap sebagai peraturan yang

mengikat bagi seluruh anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mewujudkan suatu

tatanan yang dikehendaki oleh penguasa atau pemerintah. Hukum menjadi landasan

hidup dalam mengatur kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Singkatnya,

hukum diartikan sebagai kaidah atau norma, yang merupakan patokan atau pedoman

mengenai perilaku manusia yang dianggap pantas.1

Untuk menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional

dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap

1 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 43.

1

2

hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang tergabung

dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan

hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang

mengadakan berbagai perundingan atas nama negara, dan meresmikan persetujuan

yang dicapai dalam perjanjian antarnegara.2

Perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional sangat berperan penting

dalam mengatur hubungan negara sebagai subjek hukum dalam masyarakat

internasional. Dalam dunia yang cenderung saling ketergantungan antara negara satu

dengan lainnya pada era global ini, tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai

kesepakatan perjanjian dengan negara lain yang tidak dituangkan dalam suatu

perjanjian internasional.3

Dewasa ini negara melakukan penguasaan yang luas terhadap urusan

ekonomi, yang memiliki konsekuensi mengharuskan negara untuk terlibat langsung

dalam menjalin hubungan kerja sama dengan negara lain, khususnya di bidang

ekonomi. Oleh karena itu instrumen hubungan antar negara pada umumnya adalah

perjanjian internasional, yang mengharuskan negara untuk membuat suatu perjanjian

internasional bilateral maupun multilateral di bidang ekonomi, dengan tujuan agar

tidak ada salah satu pun yang merasa dirugikan karena telah memiliki kekuatan

hukum yang mengikat. Karena hubungan antar bangsa-bangsa bersifat timbal balik,

2 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,

Alumni, Bandung, hlm. 13. 3 Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 83.

3

kepentingan memelihara dan mengatur hubungan yang bermanfaat demikian

merupakan suatu kepentingan bersama.4

Untuk meningkatkan kerja sama bilateral maupun regional antar negara-

negara Asia Tenggara, juga agar dapat secara kolektif menanggulangi munculnya

permasalahan-permasalahan ataupun ancaman-ancaman baik internal maupun

eksternal yang berpotensi timbul, maka negara-negara Asia Tenggara membentuk

suatu organisasi melalui lima negara penggagas yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand,

Filipina, dan Singapura pada tahun 1967 didirikanlah suatu wadah yang dinamakan

dengan Association of South-East Asia Nations atau lebih dikenal dengan ASEAN.

ASEAN merupakan sebuah organisasi geopolitik dan ekonomi dari negara-

negara kawasan Asia Tenggara yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 melalui

deklarasi Bangkok atau yang lebih dikenal dengan Declaration of ASEAN. Hingga

kini ASEAN telah memiliki 5 anggota baru diantaranya Brunei Darussalam, Vietnam,

Myanmar, Laos, dan Kamboja.5 Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-

negara anggotanya serta memajukan perdamaian di tingkat regionalnya. Pada tahun

1995, ASEAN mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan kerjasamanya

dengan ditandatanganinya ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS),

4 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, loc.cit. 5 http://www.asean.org/asean/asean-member-states. diakses tanggal 31 Maret 2015

4

selanjutnya disepakati ASEAN Investment Area (AIA) yang merupakan kesepakatan

kerjasama ASEAN di bidang investasi.

Dengan berjalannya waktu dan dalam rangka menghadapi berbagai tantangan

kerja sama regional, para pemimpin dari negara-negara ASEAN kembali

memformulasikan ASEAN Vision 2020 pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur

yang menjadi tujuan jangka panjang ASEAN yaitu: “…as a concert of South-East

Asia Nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded

together in partnership in dynamic development and in a community of caring

societies.”.6

Sekarang ini Indonesia telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA). Hal ini dapat diketahui berdasarkan pada adanya kesepakatan antar anggota

ASEAN di bidang ekonomi, khususnya perdagangan barang dan jasa. Dengan

diratifikasinya ASEAN Free Trade Area atau AFTA yang telah disetujui oleh seluruh

anggota ASEAN pada tahun 1995, kemudian dengan adanya pengesahan mengenai

ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), berdasarkan Keppres No. 88

Tahun 1995 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Services yang

diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1996.

Hal ini kemudian dituangkan kembali dalam Charter of the Associations of

South East Asia Nations dan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

6 Arifin, Sjamsul (Ed.), 2008, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat

Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. PT. Elexmedia Komputindo, hlm. 1

5

Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of South East

Asia Nations yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2008 Nomor 165. Hal ini juga didukung dengan diselenggarakannya Asia Pacific

Economic Cooperation (APEC) di Nusa Dua Bali, pada tanggal 8 Oktober 2013 lalu,

yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat hukum

internasional dan sudah menjadi salah satu subjek hukum internasional yang harus

mematuhi hukum internasional yang telah disepakati.

ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi negara pesertanya adalah sebuah

kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini dikarenakan sejak tanggal 1

Januari 2002, kesepakatan AFTA ini telah secara resmi diberlakukan khususnya di

negara ASEAN-6, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia,

Singapura, dan Thailand. Vietnam baru mulai memberlakukannya tahun 2006, Laos

dan Myanmar pada 2008, dan Kamboja pada 2010.

Pada 2015, dengan ASEAN Economic Community (AEC) tersebut maka

ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi

arus barang, jasa, investasi, dan termasuk tenaga terampil yang bebas, serta arus

modal yang lebih bebas diantara negara-negara ASEAN. Dengan terbentuknya pasar

tunggal yang bebas tersebut maka akan terbuka peluang bagi Indonesia untuk

meningkatkan pangsa pasarnya di kawasan ASEAN. Tujuan dari upaya

pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN diantaranya untuk meningkatkan daya

saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea

6

dan halangan non-bea dalam ASEAN dan menarik investasi asing langsung ke

ASEAN.

AEC terintegrasi lewat kerja sama ekonomi regional yang diharapkan mampu

memberikan akses yang lebih mudah, tidak terkecuali terhadap perdagangan luar

negeri. Indonesia adalah pasar yang cukup menjanjikan bagi produsen untuk

menawarkan barang produksinya, bahkan tidak sedikit yang menganggap Indonesia

adalah sasaran pemasaran yang paling menguntungkan dibandingkan negara-negara

berkembang lain tidak cuma di ASEAN.

Sekian lama sektor perdagangan internasional di bidang jasa kurang mendapat

perhatian karena dianggap sebagai barang “non-traded” dan memiliki potensi

pertumbuhan yang minimal. Ekspansi sektor jasa hanya dianggap sebagai produk

sampingan, khususnya dari pertumbuhan sektor industri manufaktur. Non-tradability

dari jasa timbul karena transaksi jasa mensyaratkan adanya interaksi langsung antara

produsen dan konsumen.

Biaya transaksi – entah diukur dari waktu, jarak, bea cukai, dan lain

sebagainya, dianggap terlalu besar untuk memungkinkan terjadinya sebuah transaksi

jasa. Selain itu, kompleksnya hubungan atau transaksi ini disebabkan oleh adanya

kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi yang pesat sangat signifikan

meningkatkan tradability dan internasionalisasi dari komoditi jasa, sehingga dengan

perkembangan dewasa ini, para pelaku dagang tidak perlu bertemu langsung dengan

7

rekan bisnisnya. Kontribusi dan peran perdagangan jasa bahkan diyakini semakin

besar dan strategis di masa datang.

Gagasan liberalisasi perdagangan jasa di kawasan ASEAN sendiri bermula

dari hasil pertemuan negara-negara ASEAN di Bangkok, yang kemudian melahirkan

ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) sebagai landasan dasar dari

proses menuju liberalisasi perdagangan jasa di wilayah ASEAN. Dalam rangka

meningkatkan daya saing para penyedia sektor jasa di ASEAN melalui liberalisasi

perdagangan bidang jasa, telah mengesahkan AFAS pada KTT ASEAN ke-5 tanggal

15 Desember 1995.

Bagi negara-negara ASEAN, masa depan yang lebih menguntungkan adalah

sistem internasional yang tetap terbuka. Upaya untuk menjamin keberlangsungan dari

keterbukaan sistem perdagangan merupakan pilihan yang bisa dikatakan tidak bisa

dihindari untuk dapat menjamin masa depan negara Asia Pasifik, karena dengan

demikian strategi untuk mencapai laju pertumbuhan yang tinggi dan strategi untuk

mencapai tujuan program pembangunan yang mantap melalui kegiatan yang

berorientasi ekspor akan lebih terjamin.

Dengan adanya pengesahan AFAS dan penandatanganan Piagam PBB, maka

dengan ini Indonesia menyatakan diri untuk turut terikat dalam perjanjian

Internasional yang dibuat dan melibatkan seluruh negara anggota ASEAN.

Berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

8

Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000) yang menyatakan

bahwa:

Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional

melalui cara-cara sebagai berikut:

a. penandatanganan;

b. pengesahan;

c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;

d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian

internasional.

Keikutsertaan proaktif Indonesia dalam General Agreement on Trade in

Services (GATS) dan AFAS berimplikasi pada liberalisasi di sektor pariwisata.

Proses ini menjadi isu sentral yang menjadi sorotan publik di tengah upaya strategis

yang disiapkan untuk memajukan sektor jasa. Berbagai upaya promosi dan

serangkaian aksi keterpihakan dilakukan untuk mendongkrak sektor ini. Proses

liberalisasi pada sektor jasa mencakup pemasokan atau penyediaan jasa-jasa melalui

4 modus penyelenggaraan jasa (modes of supply) yaitu:

1. Cross Border Supply, yakni penyelenggaraan lintas negara dari wilayah satu

negara anggota ke wilayah negara anggota lainnya.

2. Consumption Abroad atau konsumsi di luar negara, yaitu konsumsi dalam

wilayah suatu negara anggota kepada konsumen dari negara anggota.

3. Commercial Presence yakni keberadaan komersial oleh penyedia jasa dari

suatu negara anggota melalui kehadirannya di negara anggota lainnya, seperti

kantor perwakilan/cabang, dan

9

4. Presence/Movement of Natural Persons, hal ini sangat berkaitan dengan

keberadaan SDM (Sumber Daya Manusia). Penyediaan jasa dari satu negara

anggota melalui kehadiran personil (penyedia jasa) di negara anggota

lainnya.7

Dalam menyongsong liberalisasi pariwisata yang rencananya akan

diberlakukan di tahun 2020, Indonesia dapat melakukan manual prosedur offer and

request pada sektor-sektor yang telah menjadi brand image dan menjadi keunggulan

komparatif pariwisata. Sebagai suatu mekanisme perundingan yang lazim berlaku di

dalam World Trade Organization (WTO), setiap negara dapat menyampaikan

komitmen (offer) mengenai deregulasi dan debirokrasi bagi orang atau perusahaan

asing untuk ikut ambil bagian dalam jasa pariwisata misalnya memungkinkan warga

negara lain atau perusahaan asing memiliki persentase saham dalam sektor perhotelan

di suatu wilayah negara pemberi komitmen, dan sebaliknya dapat pula meminta hal

yang sama kepada negara lain (request). Proses negosiasi intensif ini dapat

dilangsungkan secara bilateral, plurateral dan multirateral.8

Sebagai industri perdagangan jasa, kegiatan pariwisata tidak terlepas dari

peran serta pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah

bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau

kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan pendukung

7 IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita,

Udayana University Press, Denpasar. hlm. 47. 8 Ibid.

10

pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan penegakan

peraturan (regulation).9 Terkait dengan penjabaran AFAS di bidang akomodasi,

terdapat kekosongan norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hal

ini disebabkan karena dalam Undang-Undang Kepariwisataan maupun dalam

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Nomor PM.

86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi,

dan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor

PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel belum dijabarkan

mengenai komitmen AFAS di bidang akomodasi jasa yang telah disepakati oleh

Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, pemerintah

menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan pariwisata yang berorientasi

pada penyediaan jasa pariwisata yang berstandar internasional, sehingga dalam

skripsi ini menarik untuk dibahas lebih lanjut dengan mengangkat judul

“Penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam

Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata di Indonesia”.

9 Bali Tourism Watch, “Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Pariwisata”,

https://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, diakses pada 01 Juni 2015

11

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka rumusan masalah yang

diajukan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam

skema ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS)?

2. Bagaimanakah penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services

(AFAS) dalam pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di

Indonesia?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan pengaturan jasa pariwisata di

ASEAN, sehingga dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan memfokuskan

pembahasan pada permasalahan yang telah disebutkan diatas, yaitu mengenai

pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam skema ASEAN Framework

Agreement on Services (AFAS) dan pada permasalahan kedua akan membahas

mengenai penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam

pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di Indonesia.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul “Penjabaran

ASEAN Framework Agreement on Services dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa

Akomodasi Wisata di Indonesia” adalah sepenuhnya hasil pemikiran dan tulisan yang

ditulis oleh penulis sendiri dengan menggunakan 1 (satu) skripsi dan 2 (dua) tesis

12

sebagai referensi. Beberapa penelitian yang ditelusuri berkaitan dengan penelitian ini

dapat dikemukakan sebagai berikut:

No NAMA & NIM JUDUL RUMUSAN MASALAH

1 Nurchalis

B 111 06 269

[skripsi]

Analisis Hukum

Internasional Terhadap

Liberalisasi Perdagangan

Dibidang Jasa Oleh

Negara-Negara Asean

Melalui AFAS (Asean

Framework Agreement

on services)

1. Bagaimanakah status AFAS

terhadap aturan GATS (General

Agreement on Trade Service)/

WTO?

2. Bagaimana penerapan Prinsip-

Prinsip dan Mekanisme AFAS

terhadap Negara-Negara ASEAN?

3. Sejauh mana Liberalisasi

perdagangan di bidang jasa melalui

AFAS dapat meningkatkan Industri

jasa dalam negeri?

2. Sri Sunardi

0906578390

[tesis]

Strategi Indonesia Dalam

Menghadapi Liberalisasi

Jasa Telekomunikasi

Dalam Kerangka Asean

Framework Agreement

on Services (AFAS)

1. Bagaimana strategi yang akan

diterapkan oleh Indonesia dalam

menghadapi liberalisasi jasa

telekomunikasi di ASEAN?

2. Langkah-langkah apa yang dilakukan

dalam memperkuat strategi tersebut?

3 Cindy Cephanie

Manek

1292461010

[tesis]

Implikasi Pemberlakuan

Ketentuan Asean

Framework Agreement

On Services (AFAS)

Terhadap Wilayah

Jabatan Notaris

1. Bagaimana implikasi pemberlakuan

ASEAN Framework Agreement On

Services (AFAS) terhadap wilayah

jabatan Notaris?

2. Apakah notaris berwenang

melaksanakan tugas jabatannya di

wilayah yurisdiksi eksekutorial

Indonesia?

Berdasarkan penelusuran dari skripsi dan tesis dengan judul dan pokok

permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan

13

judul Penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Dalam

Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata Di Indonesia belum ada yang

membahasnya, sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

orisinalitas atau keasliannya.

1.5. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus yang diuraikan sebagai berikut:

a) Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan ilmu

hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu

proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam penggaliannya atas kebenaran

dalam bidang hukum Intenasional, khususnya yang berkaitan dengan Penjabaran

ASEAN Framework Agreement on Services Dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa

Akomodasi Wisata di Indonesia.

b) Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu

sebagai berikut:

Untuk lebih memahami mengenai pengaturan liberalisasi jasa

akomodasi wisata di dalam skema ASEAN Framework Agreement on

Services (AFAS)

14

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penjabaran ASEAN

Framework Agreement on Services (AFAS) dalam pengaturan

liberalisasi jasa akomodasi wisata di Indonesia.

1.6. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini

yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis yang diuraikan sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif

bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang pariwisata terutama yang

berkaitan dengan penyediaan jasa pariwisata berstandar internasional melalui AFAS.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu

sebagai berikut:

Bagi kalangan pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

masukan dan mengantisipasi pengaruh pemberlakuan AFAS terhadap industri

jasa pariwisata dalam negeri.

Bagi kalangan mahasiswa penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penjabaran AFAS dalam

pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata.

15

1.7. Landasan Teoritis

Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis

tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis

ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak

hanya menggunakan metode sinskripsi saja. Dikatakan secara kritis karena

pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara

“otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran.10

Untuk membahas permalasahan yang diangkat dalam skripsi ini maka digunakan

beberapa teori hukum, diantaranya yaitu:

1.7.1. Teori Negara Hukum

Plato mencetuskan gagasan mengenai negara hukum, dengan menyatakan

bahwa negara yang baik adalah negara yang berdasarkan pada adanya pengaturan

(hukum) yang baik, yang disebut dengan istilah “nomoi”.11 Konsep negara hukum

yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya sistem hukum Eropa

Kontinental (rechtsstaat) namun juga menganut rule of law.

Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyatakan konsep negara hukum

memiliki 4 unsur pokok12, yaitu:

1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap HAM;

10 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pusaka,

Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I) hlm. 87. 11 Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 61. 12 Ibid.

16

2. Negara didasarkan pada teori trias politika (adanya pembagian kekuasaan);

3. Legalitas (terkait dengan pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-

undang atau dengan kata lain setiap tindakan harus berdasarkan hukum yang

telah diadakan terlebih dahulu);

4. Adanya peradilan yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar

hukum oleh pemerintah.

Secara formal Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara hukum dengan

mengacu pada Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(UUD NRI) Tahun 1945 yang menyebutkan ”Negara Indonesia adalah Negara

Hukum”. Dari ciri negara hukum yang telah disebutkan di atas khususnya mengenai

legalitas yang mana merupakan pemahaman dari adanya asas legalitas. Konsep

negara hukum ini dipergunakan sebagai pisau analisa untuk membahas permasalahan

kedua dalam skripsi ini dalam kaitannya dengan penjabaran AFAS terkait dengan

liberalisasi jasa pariwisata yang diadopsi kedalam peraturan perundang-undangan

bidang jasa akomodasi pariwisata di Indonesia.

1.7.2. Teori Common Consent

Merupakan teori yang menekankan pada dasar mengikat hukum internasional

adalah persetujuan bersama dari negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan

diri pada kaidah-kaidah hukum internasional. Hal ini berdasarkan pada pendapat

Zorn, Anzilotti, dan Triepel, yang pandangannya dapat digolongkan sebagai teori

17

kehendak atau persetujuan bersama (common will atau common consent theory)13.

Dalam teori ini juga terkandung asas pacta sunt servanda (agreement must be kept)

adalah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap perjanjian menjadi hukum yang

mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan haruslah ditaati. Asas ini

memiliki kaitan erat dengan asas itikad baik dan menjadi dasar hukum internasional

sebagaimana tersurat dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian

yang menyatakan bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and

must be performed by them in good faith.” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan

harus dilaksanakan dengan itikad baik)

Teori ini digunakan untuk menjawab permasalahan pertama dalam skripsi ini

terkait dengan pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam skema AFAS,

dimana pemberlakuan AFAS yang merupakan kesepakatan antar negara-negara

anggota ASEAN, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian dan disahkan

dengan cara ratifikasi dengan UU Piagam ASEAN, sehingga menjadi hukum nasional

pada negara-negara ASEAN. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994,

Indonesia telah meratifikasi WTO Agreement. GATS merupakan bagian dari WTO

Agreement dan terletak pada annex IB persetujuan tersebut.14 GATS-WTO yang

sifatnya multilateral mengikat Indonesia. Dengan adanya persetujuan GATS-WTO,

mempunyai implikasi hukum dimana Indonesia harus menyesuaikan peraturan di

13 SM Noor, 2012, Daya Mengikat Hukum Internasional,

http://www.negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-internasional-2.html, diakses tanggal 31

Maret 2015. 14 Ida Bagus Wyasa Putra, 2009, Hukum Pedagangan Jasa Pariwisata Internasional, Program

Studi Kajian Pariwisata Program Pasaca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 70.

18

bidang kepariwisataan terhadap ketentuan dan prinsip-prinsip GATS-WTO,

sebagaimana mengenai jasa pariwisatanya diatur lebih lanjut dalam skema AFAS.

1.7.3 Teori Liberalisasi Perdagangan Jasa Pariwisata

Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut dalam sistem liberalisme

bertendensi memberikan ruang perlindungan yang luas bagi kemerdekaan individu

dengan menegakkan prinsip-prinsip, diantaranya adalah prinsip kebebasan (principle

of freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality), serta prinsip timbal

balik (principle of reciprocity)15. Menurut pendapat Robertson, beliau menyatakan

“Globalization as a concept refers both to the compression of the world and the

intensification of consciousness of the world as a whole”16. Dengan kata lain,

globalisasi telah mengembangkan kesadaran bahwa dunia adalah kesatuan yang utuh

dan tidak lagi dilihat sebagai blok-blok yang terpisah satu dengan yang lain.

Ditinjau dari pendekatan historis, liberalisasi berakar dari gagasan sebuah

paham pada abad XIX yang belakangan dikenal sebagai liberalisme. Paham yang

dipelopori oleh Adam Smith ini menegaskan filsafat individualistik dalam pemikiran

ekonomi. Menurutnya, teori pembagian kerja atau spesialisasi dianggap sebagai kunci

pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Pemikiran yang demikian menghendaki

adanya dukungan solid dari pasaran barang produksi dengan manifestasinya

perluasan wilayah sebagai dalih untuk memperluas pasar, bahkan dengan bantuan

15 Soetikno, 1981, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 79-82. 16 Roland Robertson, 1992, Globalization, Social, Theory and a Global Culture, SAGE

Publication, London, hlm. 8.

19

pemerintah sekalipun.17 Thomas Friedman mempersepsikan fenomena ini sebagai

dunia yang rata (the world of flat). Menyangkut pranata hukum, Erman Rajagukguk

menjelaskan relasi antara globalisasi, liberalisasi ekonomi dan harmonisasi hukum.

Pada era globalisasi, kompetisi dan perdagangan bebas akan kerapkali terjadi. Proses

yang lazim disebut sebagai liberalisasi ini lalu diiringi oleh globalisasi hukum.

Artinya, apabila ekonomi menjadi terintegrasi, maka harmonisasi hukum akan

mengikutinya.18

Dalam bentuk yang ideal, liberalisasi perdagangan jasa adalah suatu keadaan

dimana perusahaan dan individu bebas untuk menjual jasa melampaui batas wilayah

negaranya. Ini berarti termasuk didalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan

perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain. Terlepas

dari timbulnya kekhawatiran akan munculnya “neo–liberalisme” dan neo-neo yang

lainnya, liberalisasi perdagangan jasa muncul karena beberapa fakta.19 Timbulnya

kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara atau disebut dengan

perdagangan internasional termotivasi oleh paham dan teori yang dikemukakan oleh

Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nation”, yang menyatakan

bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika

17 Adam Smith dalam Mahmul Siregar, 2005, Perdagangan Internasional dan Penanaman

Modal, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 43. 18 Erman RajaGukguk, 1999, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi,

Jurnal Hukum FH UII, No. 11, h. 112-115. 19 Basuki Antariksa, 2010, Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing

Kepariwisataan Indonesia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Kebudayaan dan

Pariwisata, Makalah, hlm. 1.

20

perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah

dilakukan seminimal mungkin.

Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan komitmen liberalisasi

pariwisata, telah mengijinkan pengoperasian perusahaan asing di Indonesia secara

progresif melalui sejumlah persyaratan. Untuk jasa hotel, pemerintah tidak lagi

menerapkan pembatasan-pembatasan akses pasar bagi perusahaan asing untuk

beroperasi di wilayah Indonesia Timur, Kalimantan, Bengkulu, Jambi dan Sulawesi.

Pemerintah mengijinkan investor untuk menguasai 100% saham atas modal yang

digunakan. Pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata lalu menegaskan bahwa

pemerintah telah menetapkan sejumlah subsektor pariwisata yang akan

diliberalisasi. Pembatasan liberalisasi pariwisata masih akan diberlakukan hingga

nantinya berakhir pada tahun 2020.20 Pelaksanaan Liberaliasi sektor pariwisata

sampai saat ini masih berpegang kepada apa yang telah disepakati dalam komitmen

GATS Indonesia di sektor pariwisata

Terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka teori

liberalisasi Perdagangan Jasa Pariwisata dipergunakan dalam membahas

permasalahan kedua dalam skripsi ini. Dengan adanya liberalisasi di bidang

pariwisata, pemerintah Indonesia tentunya harus membuat kebijakan terutama di

20 Rinda Amalia, “Peranan Hukum Perdagangan Jasa Untuk Enterpreneur Dalam Menghadapi

Liberalisasi Industri Jasa Pariwisata di Indonesia”,

https://rindaamalia.wordpress.com/2012/08/28/peranan-hukum-perdagangan-jasa-untuk-untuk-

enterprenur-dalam-menghadapi-liberalisasi-industri-jasa-pariwisata-di-indonesia/ diakses pada tanggal

6 Agustus 2015.

21

bidang pariwisata agar dapat membendung arus masuknya pengusaha-pengusaha

penanam modal asing yang datang ke Indonesia terkait dengan liberalisasi jasa

akomodasi pariwisata namun tanpa menghilangkan karakteristik dan ciri khas dari

daerah pariwisata asli Indonesia, sehingga walaupun Indonesia sudah meratifikasi

ketentuan yang disepakati dalam skema GATS di bidang pariwisata, namun

pemerintah tetap harus memperhatikan kepentingan nasional.

1.8. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan oleh penulis adalah

sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dikualifikasikan

sebagai penelitian hukum normatif. Adapun penelitian hukum normatif mencakup

penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,

penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.21

b. Jenis Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut

pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis. Secara

teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu:

21 Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 51.

22

i. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), hal ini dimaksudkan

bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar

awal melakukan analisis;

ii. Pendekatan analitis (Analytical Approach), pendekatan ini dilakukan dengan

mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam perundang-

undangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru

dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan

menganalisis putusan-putusan hukum;

iii. Pendekatan konsep (Conceptual Approach), konsep-konsep dalam ilmu

hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian

hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum.

iv. Pendekatan Sejarah (Historical Approach), pendekatan sejarah ini dilakukan

dengan menelah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti.22

c. Sumber Bahan Hukum

Suatu penelitian hukum normatif sumber datanya adalah berupa data

sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan

dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah

tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan di

22 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 185-190.

23

perpustakaan, atau milik pribadi.23 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier:24

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat.

Dalam tulisan ini yang menjadi bahan hukum primer adalah:

(1) Charter of the Association of Southeast Asian Nations yang disahkan

pada 20 November 2007;

(2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156);

(3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional;

(4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 1995 tentang

Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Services (Persetujuan

Kerangka Kerja ASEAN tentang Jasa).

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat para sarjana hukum.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus, majalah, website, atau ensiklopedia.

23 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

Mandar Maju, Bandung, hlm. 65. 24 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 118.

24

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini

adalah dengan studi kepustakaan (library research), dimana studi kepustakaan ini

merupakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mempelajari buku-buku

hukum, majalah hukum, ketentuan-ketentuan hukum, atau pendapat-pendapat para

pakar hukum, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai ke

komponen-komponennya, dan kemudian menelaah hubungan masing-masing

komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaah

dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah diharapkan.25

Analisis terhadap bahan-bahan hukum yang telah diperoleh dilakukan dengan

cara deskriptif, analisis, dan augmentatif. Deskripsi disini dapat berupa penjelasan

atau penggambaran secara jelas tentang bahan-bahan hukum yang telah diperoleh,

yang dilanjutkan dengan pengevaluasian yaitu penilaian terhadap bahan hukum yang

telah diperoleh, setelah melakukan analisis terhadap data bahan hukum tersebut lalu

diambil kesimpulan.

25 Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 67.