bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah …. skripsi bab... · untuk menertibkan, mengatur,...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan pasal ini
mengandung makna bahwa setiap penyelenggaraan negara harus senantiasa
berlandaskan pada hukum yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat
diketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat).
Hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa negara atau
penguasa masyarakat yang berwenang dan hukum dianggap sebagai peraturan yang
mengikat bagi seluruh anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mewujudkan suatu
tatanan yang dikehendaki oleh penguasa atau pemerintah. Hukum menjadi landasan
hidup dalam mengatur kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Singkatnya,
hukum diartikan sebagai kaidah atau norma, yang merupakan patokan atau pedoman
mengenai perilaku manusia yang dianggap pantas.1
Untuk menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional
dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap
1 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 43.
1
2
hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang tergabung
dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan
hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang
mengadakan berbagai perundingan atas nama negara, dan meresmikan persetujuan
yang dicapai dalam perjanjian antarnegara.2
Perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional sangat berperan penting
dalam mengatur hubungan negara sebagai subjek hukum dalam masyarakat
internasional. Dalam dunia yang cenderung saling ketergantungan antara negara satu
dengan lainnya pada era global ini, tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai
kesepakatan perjanjian dengan negara lain yang tidak dituangkan dalam suatu
perjanjian internasional.3
Dewasa ini negara melakukan penguasaan yang luas terhadap urusan
ekonomi, yang memiliki konsekuensi mengharuskan negara untuk terlibat langsung
dalam menjalin hubungan kerja sama dengan negara lain, khususnya di bidang
ekonomi. Oleh karena itu instrumen hubungan antar negara pada umumnya adalah
perjanjian internasional, yang mengharuskan negara untuk membuat suatu perjanjian
internasional bilateral maupun multilateral di bidang ekonomi, dengan tujuan agar
tidak ada salah satu pun yang merasa dirugikan karena telah memiliki kekuatan
hukum yang mengikat. Karena hubungan antar bangsa-bangsa bersifat timbal balik,
2 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung, hlm. 13. 3 Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 83.
3
kepentingan memelihara dan mengatur hubungan yang bermanfaat demikian
merupakan suatu kepentingan bersama.4
Untuk meningkatkan kerja sama bilateral maupun regional antar negara-
negara Asia Tenggara, juga agar dapat secara kolektif menanggulangi munculnya
permasalahan-permasalahan ataupun ancaman-ancaman baik internal maupun
eksternal yang berpotensi timbul, maka negara-negara Asia Tenggara membentuk
suatu organisasi melalui lima negara penggagas yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Singapura pada tahun 1967 didirikanlah suatu wadah yang dinamakan
dengan Association of South-East Asia Nations atau lebih dikenal dengan ASEAN.
ASEAN merupakan sebuah organisasi geopolitik dan ekonomi dari negara-
negara kawasan Asia Tenggara yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 melalui
deklarasi Bangkok atau yang lebih dikenal dengan Declaration of ASEAN. Hingga
kini ASEAN telah memiliki 5 anggota baru diantaranya Brunei Darussalam, Vietnam,
Myanmar, Laos, dan Kamboja.5 Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-
negara anggotanya serta memajukan perdamaian di tingkat regionalnya. Pada tahun
1995, ASEAN mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan kerjasamanya
dengan ditandatanganinya ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS),
4 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, loc.cit. 5 http://www.asean.org/asean/asean-member-states. diakses tanggal 31 Maret 2015
4
selanjutnya disepakati ASEAN Investment Area (AIA) yang merupakan kesepakatan
kerjasama ASEAN di bidang investasi.
Dengan berjalannya waktu dan dalam rangka menghadapi berbagai tantangan
kerja sama regional, para pemimpin dari negara-negara ASEAN kembali
memformulasikan ASEAN Vision 2020 pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur
yang menjadi tujuan jangka panjang ASEAN yaitu: “…as a concert of South-East
Asia Nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded
together in partnership in dynamic development and in a community of caring
societies.”.6
Sekarang ini Indonesia telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Hal ini dapat diketahui berdasarkan pada adanya kesepakatan antar anggota
ASEAN di bidang ekonomi, khususnya perdagangan barang dan jasa. Dengan
diratifikasinya ASEAN Free Trade Area atau AFTA yang telah disetujui oleh seluruh
anggota ASEAN pada tahun 1995, kemudian dengan adanya pengesahan mengenai
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), berdasarkan Keppres No. 88
Tahun 1995 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Services yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1996.
Hal ini kemudian dituangkan kembali dalam Charter of the Associations of
South East Asia Nations dan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang
6 Arifin, Sjamsul (Ed.), 2008, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat
Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. PT. Elexmedia Komputindo, hlm. 1
5
Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of South East
Asia Nations yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 165. Hal ini juga didukung dengan diselenggarakannya Asia Pacific
Economic Cooperation (APEC) di Nusa Dua Bali, pada tanggal 8 Oktober 2013 lalu,
yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat hukum
internasional dan sudah menjadi salah satu subjek hukum internasional yang harus
mematuhi hukum internasional yang telah disepakati.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi negara pesertanya adalah sebuah
kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini dikarenakan sejak tanggal 1
Januari 2002, kesepakatan AFTA ini telah secara resmi diberlakukan khususnya di
negara ASEAN-6, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia,
Singapura, dan Thailand. Vietnam baru mulai memberlakukannya tahun 2006, Laos
dan Myanmar pada 2008, dan Kamboja pada 2010.
Pada 2015, dengan ASEAN Economic Community (AEC) tersebut maka
ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi
arus barang, jasa, investasi, dan termasuk tenaga terampil yang bebas, serta arus
modal yang lebih bebas diantara negara-negara ASEAN. Dengan terbentuknya pasar
tunggal yang bebas tersebut maka akan terbuka peluang bagi Indonesia untuk
meningkatkan pangsa pasarnya di kawasan ASEAN. Tujuan dari upaya
pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN diantaranya untuk meningkatkan daya
saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea
6
dan halangan non-bea dalam ASEAN dan menarik investasi asing langsung ke
ASEAN.
AEC terintegrasi lewat kerja sama ekonomi regional yang diharapkan mampu
memberikan akses yang lebih mudah, tidak terkecuali terhadap perdagangan luar
negeri. Indonesia adalah pasar yang cukup menjanjikan bagi produsen untuk
menawarkan barang produksinya, bahkan tidak sedikit yang menganggap Indonesia
adalah sasaran pemasaran yang paling menguntungkan dibandingkan negara-negara
berkembang lain tidak cuma di ASEAN.
Sekian lama sektor perdagangan internasional di bidang jasa kurang mendapat
perhatian karena dianggap sebagai barang “non-traded” dan memiliki potensi
pertumbuhan yang minimal. Ekspansi sektor jasa hanya dianggap sebagai produk
sampingan, khususnya dari pertumbuhan sektor industri manufaktur. Non-tradability
dari jasa timbul karena transaksi jasa mensyaratkan adanya interaksi langsung antara
produsen dan konsumen.
Biaya transaksi – entah diukur dari waktu, jarak, bea cukai, dan lain
sebagainya, dianggap terlalu besar untuk memungkinkan terjadinya sebuah transaksi
jasa. Selain itu, kompleksnya hubungan atau transaksi ini disebabkan oleh adanya
kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi yang pesat sangat signifikan
meningkatkan tradability dan internasionalisasi dari komoditi jasa, sehingga dengan
perkembangan dewasa ini, para pelaku dagang tidak perlu bertemu langsung dengan
7
rekan bisnisnya. Kontribusi dan peran perdagangan jasa bahkan diyakini semakin
besar dan strategis di masa datang.
Gagasan liberalisasi perdagangan jasa di kawasan ASEAN sendiri bermula
dari hasil pertemuan negara-negara ASEAN di Bangkok, yang kemudian melahirkan
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) sebagai landasan dasar dari
proses menuju liberalisasi perdagangan jasa di wilayah ASEAN. Dalam rangka
meningkatkan daya saing para penyedia sektor jasa di ASEAN melalui liberalisasi
perdagangan bidang jasa, telah mengesahkan AFAS pada KTT ASEAN ke-5 tanggal
15 Desember 1995.
Bagi negara-negara ASEAN, masa depan yang lebih menguntungkan adalah
sistem internasional yang tetap terbuka. Upaya untuk menjamin keberlangsungan dari
keterbukaan sistem perdagangan merupakan pilihan yang bisa dikatakan tidak bisa
dihindari untuk dapat menjamin masa depan negara Asia Pasifik, karena dengan
demikian strategi untuk mencapai laju pertumbuhan yang tinggi dan strategi untuk
mencapai tujuan program pembangunan yang mantap melalui kegiatan yang
berorientasi ekspor akan lebih terjamin.
Dengan adanya pengesahan AFAS dan penandatanganan Piagam PBB, maka
dengan ini Indonesia menyatakan diri untuk turut terikat dalam perjanjian
Internasional yang dibuat dan melibatkan seluruh negara anggota ASEAN.
Berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
8
Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000) yang menyatakan
bahwa:
Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional
melalui cara-cara sebagai berikut:
a. penandatanganan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.
Keikutsertaan proaktif Indonesia dalam General Agreement on Trade in
Services (GATS) dan AFAS berimplikasi pada liberalisasi di sektor pariwisata.
Proses ini menjadi isu sentral yang menjadi sorotan publik di tengah upaya strategis
yang disiapkan untuk memajukan sektor jasa. Berbagai upaya promosi dan
serangkaian aksi keterpihakan dilakukan untuk mendongkrak sektor ini. Proses
liberalisasi pada sektor jasa mencakup pemasokan atau penyediaan jasa-jasa melalui
4 modus penyelenggaraan jasa (modes of supply) yaitu:
1. Cross Border Supply, yakni penyelenggaraan lintas negara dari wilayah satu
negara anggota ke wilayah negara anggota lainnya.
2. Consumption Abroad atau konsumsi di luar negara, yaitu konsumsi dalam
wilayah suatu negara anggota kepada konsumen dari negara anggota.
3. Commercial Presence yakni keberadaan komersial oleh penyedia jasa dari
suatu negara anggota melalui kehadirannya di negara anggota lainnya, seperti
kantor perwakilan/cabang, dan
9
4. Presence/Movement of Natural Persons, hal ini sangat berkaitan dengan
keberadaan SDM (Sumber Daya Manusia). Penyediaan jasa dari satu negara
anggota melalui kehadiran personil (penyedia jasa) di negara anggota
lainnya.7
Dalam menyongsong liberalisasi pariwisata yang rencananya akan
diberlakukan di tahun 2020, Indonesia dapat melakukan manual prosedur offer and
request pada sektor-sektor yang telah menjadi brand image dan menjadi keunggulan
komparatif pariwisata. Sebagai suatu mekanisme perundingan yang lazim berlaku di
dalam World Trade Organization (WTO), setiap negara dapat menyampaikan
komitmen (offer) mengenai deregulasi dan debirokrasi bagi orang atau perusahaan
asing untuk ikut ambil bagian dalam jasa pariwisata misalnya memungkinkan warga
negara lain atau perusahaan asing memiliki persentase saham dalam sektor perhotelan
di suatu wilayah negara pemberi komitmen, dan sebaliknya dapat pula meminta hal
yang sama kepada negara lain (request). Proses negosiasi intensif ini dapat
dilangsungkan secara bilateral, plurateral dan multirateral.8
Sebagai industri perdagangan jasa, kegiatan pariwisata tidak terlepas dari
peran serta pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah
bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau
kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan pendukung
7 IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita,
Udayana University Press, Denpasar. hlm. 47. 8 Ibid.
10
pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan penegakan
peraturan (regulation).9 Terkait dengan penjabaran AFAS di bidang akomodasi,
terdapat kekosongan norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hal
ini disebabkan karena dalam Undang-Undang Kepariwisataan maupun dalam
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Nomor PM.
86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi,
dan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor
PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel belum dijabarkan
mengenai komitmen AFAS di bidang akomodasi jasa yang telah disepakati oleh
Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, pemerintah
menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan pariwisata yang berorientasi
pada penyediaan jasa pariwisata yang berstandar internasional, sehingga dalam
skripsi ini menarik untuk dibahas lebih lanjut dengan mengangkat judul
“Penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam
Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata di Indonesia”.
9 Bali Tourism Watch, “Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Pariwisata”,
https://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, diakses pada 01 Juni 2015
11
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka rumusan masalah yang
diajukan dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam
skema ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS)?
2. Bagaimanakah penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services
(AFAS) dalam pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di
Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan pengaturan jasa pariwisata di
ASEAN, sehingga dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan memfokuskan
pembahasan pada permasalahan yang telah disebutkan diatas, yaitu mengenai
pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam skema ASEAN Framework
Agreement on Services (AFAS) dan pada permasalahan kedua akan membahas
mengenai penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam
pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di Indonesia.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul “Penjabaran
ASEAN Framework Agreement on Services dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa
Akomodasi Wisata di Indonesia” adalah sepenuhnya hasil pemikiran dan tulisan yang
ditulis oleh penulis sendiri dengan menggunakan 1 (satu) skripsi dan 2 (dua) tesis
12
sebagai referensi. Beberapa penelitian yang ditelusuri berkaitan dengan penelitian ini
dapat dikemukakan sebagai berikut:
No NAMA & NIM JUDUL RUMUSAN MASALAH
1 Nurchalis
B 111 06 269
[skripsi]
Analisis Hukum
Internasional Terhadap
Liberalisasi Perdagangan
Dibidang Jasa Oleh
Negara-Negara Asean
Melalui AFAS (Asean
Framework Agreement
on services)
1. Bagaimanakah status AFAS
terhadap aturan GATS (General
Agreement on Trade Service)/
WTO?
2. Bagaimana penerapan Prinsip-
Prinsip dan Mekanisme AFAS
terhadap Negara-Negara ASEAN?
3. Sejauh mana Liberalisasi
perdagangan di bidang jasa melalui
AFAS dapat meningkatkan Industri
jasa dalam negeri?
2. Sri Sunardi
0906578390
[tesis]
Strategi Indonesia Dalam
Menghadapi Liberalisasi
Jasa Telekomunikasi
Dalam Kerangka Asean
Framework Agreement
on Services (AFAS)
1. Bagaimana strategi yang akan
diterapkan oleh Indonesia dalam
menghadapi liberalisasi jasa
telekomunikasi di ASEAN?
2. Langkah-langkah apa yang dilakukan
dalam memperkuat strategi tersebut?
3 Cindy Cephanie
Manek
1292461010
[tesis]
Implikasi Pemberlakuan
Ketentuan Asean
Framework Agreement
On Services (AFAS)
Terhadap Wilayah
Jabatan Notaris
1. Bagaimana implikasi pemberlakuan
ASEAN Framework Agreement On
Services (AFAS) terhadap wilayah
jabatan Notaris?
2. Apakah notaris berwenang
melaksanakan tugas jabatannya di
wilayah yurisdiksi eksekutorial
Indonesia?
Berdasarkan penelusuran dari skripsi dan tesis dengan judul dan pokok
permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan
13
judul Penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Dalam
Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata Di Indonesia belum ada yang
membahasnya, sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
orisinalitas atau keasliannya.
1.5. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus yang diuraikan sebagai berikut:
a) Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan ilmu
hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu
proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam penggaliannya atas kebenaran
dalam bidang hukum Intenasional, khususnya yang berkaitan dengan Penjabaran
ASEAN Framework Agreement on Services Dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa
Akomodasi Wisata di Indonesia.
b) Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu
sebagai berikut:
Untuk lebih memahami mengenai pengaturan liberalisasi jasa
akomodasi wisata di dalam skema ASEAN Framework Agreement on
Services (AFAS)
14
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penjabaran ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS) dalam pengaturan
liberalisasi jasa akomodasi wisata di Indonesia.
1.6. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis yang diuraikan sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang pariwisata terutama yang
berkaitan dengan penyediaan jasa pariwisata berstandar internasional melalui AFAS.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu
sebagai berikut:
Bagi kalangan pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
masukan dan mengantisipasi pengaruh pemberlakuan AFAS terhadap industri
jasa pariwisata dalam negeri.
Bagi kalangan mahasiswa penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penjabaran AFAS dalam
pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata.
15
1.7. Landasan Teoritis
Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis
tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis
ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak
hanya menggunakan metode sinskripsi saja. Dikatakan secara kritis karena
pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara
“otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran.10
Untuk membahas permalasahan yang diangkat dalam skripsi ini maka digunakan
beberapa teori hukum, diantaranya yaitu:
1.7.1. Teori Negara Hukum
Plato mencetuskan gagasan mengenai negara hukum, dengan menyatakan
bahwa negara yang baik adalah negara yang berdasarkan pada adanya pengaturan
(hukum) yang baik, yang disebut dengan istilah “nomoi”.11 Konsep negara hukum
yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya sistem hukum Eropa
Kontinental (rechtsstaat) namun juga menganut rule of law.
Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyatakan konsep negara hukum
memiliki 4 unsur pokok12, yaitu:
1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap HAM;
10 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I) hlm. 87. 11 Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 61. 12 Ibid.
16
2. Negara didasarkan pada teori trias politika (adanya pembagian kekuasaan);
3. Legalitas (terkait dengan pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-
undang atau dengan kata lain setiap tindakan harus berdasarkan hukum yang
telah diadakan terlebih dahulu);
4. Adanya peradilan yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar
hukum oleh pemerintah.
Secara formal Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara hukum dengan
mengacu pada Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) Tahun 1945 yang menyebutkan ”Negara Indonesia adalah Negara
Hukum”. Dari ciri negara hukum yang telah disebutkan di atas khususnya mengenai
legalitas yang mana merupakan pemahaman dari adanya asas legalitas. Konsep
negara hukum ini dipergunakan sebagai pisau analisa untuk membahas permasalahan
kedua dalam skripsi ini dalam kaitannya dengan penjabaran AFAS terkait dengan
liberalisasi jasa pariwisata yang diadopsi kedalam peraturan perundang-undangan
bidang jasa akomodasi pariwisata di Indonesia.
1.7.2. Teori Common Consent
Merupakan teori yang menekankan pada dasar mengikat hukum internasional
adalah persetujuan bersama dari negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan
diri pada kaidah-kaidah hukum internasional. Hal ini berdasarkan pada pendapat
Zorn, Anzilotti, dan Triepel, yang pandangannya dapat digolongkan sebagai teori
17
kehendak atau persetujuan bersama (common will atau common consent theory)13.
Dalam teori ini juga terkandung asas pacta sunt servanda (agreement must be kept)
adalah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap perjanjian menjadi hukum yang
mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan haruslah ditaati. Asas ini
memiliki kaitan erat dengan asas itikad baik dan menjadi dasar hukum internasional
sebagaimana tersurat dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
yang menyatakan bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and
must be performed by them in good faith.” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan
harus dilaksanakan dengan itikad baik)
Teori ini digunakan untuk menjawab permasalahan pertama dalam skripsi ini
terkait dengan pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam skema AFAS,
dimana pemberlakuan AFAS yang merupakan kesepakatan antar negara-negara
anggota ASEAN, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian dan disahkan
dengan cara ratifikasi dengan UU Piagam ASEAN, sehingga menjadi hukum nasional
pada negara-negara ASEAN. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994,
Indonesia telah meratifikasi WTO Agreement. GATS merupakan bagian dari WTO
Agreement dan terletak pada annex IB persetujuan tersebut.14 GATS-WTO yang
sifatnya multilateral mengikat Indonesia. Dengan adanya persetujuan GATS-WTO,
mempunyai implikasi hukum dimana Indonesia harus menyesuaikan peraturan di
13 SM Noor, 2012, Daya Mengikat Hukum Internasional,
http://www.negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-internasional-2.html, diakses tanggal 31
Maret 2015. 14 Ida Bagus Wyasa Putra, 2009, Hukum Pedagangan Jasa Pariwisata Internasional, Program
Studi Kajian Pariwisata Program Pasaca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 70.
18
bidang kepariwisataan terhadap ketentuan dan prinsip-prinsip GATS-WTO,
sebagaimana mengenai jasa pariwisatanya diatur lebih lanjut dalam skema AFAS.
1.7.3 Teori Liberalisasi Perdagangan Jasa Pariwisata
Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut dalam sistem liberalisme
bertendensi memberikan ruang perlindungan yang luas bagi kemerdekaan individu
dengan menegakkan prinsip-prinsip, diantaranya adalah prinsip kebebasan (principle
of freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality), serta prinsip timbal
balik (principle of reciprocity)15. Menurut pendapat Robertson, beliau menyatakan
“Globalization as a concept refers both to the compression of the world and the
intensification of consciousness of the world as a whole”16. Dengan kata lain,
globalisasi telah mengembangkan kesadaran bahwa dunia adalah kesatuan yang utuh
dan tidak lagi dilihat sebagai blok-blok yang terpisah satu dengan yang lain.
Ditinjau dari pendekatan historis, liberalisasi berakar dari gagasan sebuah
paham pada abad XIX yang belakangan dikenal sebagai liberalisme. Paham yang
dipelopori oleh Adam Smith ini menegaskan filsafat individualistik dalam pemikiran
ekonomi. Menurutnya, teori pembagian kerja atau spesialisasi dianggap sebagai kunci
pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Pemikiran yang demikian menghendaki
adanya dukungan solid dari pasaran barang produksi dengan manifestasinya
perluasan wilayah sebagai dalih untuk memperluas pasar, bahkan dengan bantuan
15 Soetikno, 1981, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 79-82. 16 Roland Robertson, 1992, Globalization, Social, Theory and a Global Culture, SAGE
Publication, London, hlm. 8.
19
pemerintah sekalipun.17 Thomas Friedman mempersepsikan fenomena ini sebagai
dunia yang rata (the world of flat). Menyangkut pranata hukum, Erman Rajagukguk
menjelaskan relasi antara globalisasi, liberalisasi ekonomi dan harmonisasi hukum.
Pada era globalisasi, kompetisi dan perdagangan bebas akan kerapkali terjadi. Proses
yang lazim disebut sebagai liberalisasi ini lalu diiringi oleh globalisasi hukum.
Artinya, apabila ekonomi menjadi terintegrasi, maka harmonisasi hukum akan
mengikutinya.18
Dalam bentuk yang ideal, liberalisasi perdagangan jasa adalah suatu keadaan
dimana perusahaan dan individu bebas untuk menjual jasa melampaui batas wilayah
negaranya. Ini berarti termasuk didalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan
perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain. Terlepas
dari timbulnya kekhawatiran akan munculnya “neo–liberalisme” dan neo-neo yang
lainnya, liberalisasi perdagangan jasa muncul karena beberapa fakta.19 Timbulnya
kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara atau disebut dengan
perdagangan internasional termotivasi oleh paham dan teori yang dikemukakan oleh
Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nation”, yang menyatakan
bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika
17 Adam Smith dalam Mahmul Siregar, 2005, Perdagangan Internasional dan Penanaman
Modal, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 43. 18 Erman RajaGukguk, 1999, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi,
Jurnal Hukum FH UII, No. 11, h. 112-115. 19 Basuki Antariksa, 2010, Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing
Kepariwisataan Indonesia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, Makalah, hlm. 1.
20
perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah
dilakukan seminimal mungkin.
Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan komitmen liberalisasi
pariwisata, telah mengijinkan pengoperasian perusahaan asing di Indonesia secara
progresif melalui sejumlah persyaratan. Untuk jasa hotel, pemerintah tidak lagi
menerapkan pembatasan-pembatasan akses pasar bagi perusahaan asing untuk
beroperasi di wilayah Indonesia Timur, Kalimantan, Bengkulu, Jambi dan Sulawesi.
Pemerintah mengijinkan investor untuk menguasai 100% saham atas modal yang
digunakan. Pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata lalu menegaskan bahwa
pemerintah telah menetapkan sejumlah subsektor pariwisata yang akan
diliberalisasi. Pembatasan liberalisasi pariwisata masih akan diberlakukan hingga
nantinya berakhir pada tahun 2020.20 Pelaksanaan Liberaliasi sektor pariwisata
sampai saat ini masih berpegang kepada apa yang telah disepakati dalam komitmen
GATS Indonesia di sektor pariwisata
Terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka teori
liberalisasi Perdagangan Jasa Pariwisata dipergunakan dalam membahas
permasalahan kedua dalam skripsi ini. Dengan adanya liberalisasi di bidang
pariwisata, pemerintah Indonesia tentunya harus membuat kebijakan terutama di
20 Rinda Amalia, “Peranan Hukum Perdagangan Jasa Untuk Enterpreneur Dalam Menghadapi
Liberalisasi Industri Jasa Pariwisata di Indonesia”,
https://rindaamalia.wordpress.com/2012/08/28/peranan-hukum-perdagangan-jasa-untuk-untuk-
enterprenur-dalam-menghadapi-liberalisasi-industri-jasa-pariwisata-di-indonesia/ diakses pada tanggal
6 Agustus 2015.
21
bidang pariwisata agar dapat membendung arus masuknya pengusaha-pengusaha
penanam modal asing yang datang ke Indonesia terkait dengan liberalisasi jasa
akomodasi pariwisata namun tanpa menghilangkan karakteristik dan ciri khas dari
daerah pariwisata asli Indonesia, sehingga walaupun Indonesia sudah meratifikasi
ketentuan yang disepakati dalam skema GATS di bidang pariwisata, namun
pemerintah tetap harus memperhatikan kepentingan nasional.
1.8. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan oleh penulis adalah
sebagai berikut:
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dikualifikasikan
sebagai penelitian hukum normatif. Adapun penelitian hukum normatif mencakup
penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,
penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.21
b. Jenis Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut
pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis. Secara
teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu:
21 Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 51.
22
i. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), hal ini dimaksudkan
bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar
awal melakukan analisis;
ii. Pendekatan analitis (Analytical Approach), pendekatan ini dilakukan dengan
mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam perundang-
undangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru
dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan
menganalisis putusan-putusan hukum;
iii. Pendekatan konsep (Conceptual Approach), konsep-konsep dalam ilmu
hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian
hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum.
iv. Pendekatan Sejarah (Historical Approach), pendekatan sejarah ini dilakukan
dengan menelah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti.22
c. Sumber Bahan Hukum
Suatu penelitian hukum normatif sumber datanya adalah berupa data
sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan
dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah
tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan di
22 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 185-190.
23
perpustakaan, atau milik pribadi.23 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier:24
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat.
Dalam tulisan ini yang menjadi bahan hukum primer adalah:
(1) Charter of the Association of Southeast Asian Nations yang disahkan
pada 20 November 2007;
(2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156);
(3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional;
(4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 1995 tentang
Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Services (Persetujuan
Kerangka Kerja ASEAN tentang Jasa).
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat para sarjana hukum.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus, majalah, website, atau ensiklopedia.
23 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 65. 24 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 118.
24
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini
adalah dengan studi kepustakaan (library research), dimana studi kepustakaan ini
merupakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mempelajari buku-buku
hukum, majalah hukum, ketentuan-ketentuan hukum, atau pendapat-pendapat para
pakar hukum, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai ke
komponen-komponennya, dan kemudian menelaah hubungan masing-masing
komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaah
dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah diharapkan.25
Analisis terhadap bahan-bahan hukum yang telah diperoleh dilakukan dengan
cara deskriptif, analisis, dan augmentatif. Deskripsi disini dapat berupa penjelasan
atau penggambaran secara jelas tentang bahan-bahan hukum yang telah diperoleh,
yang dilanjutkan dengan pengevaluasian yaitu penilaian terhadap bahan hukum yang
telah diperoleh, setelah melakukan analisis terhadap data bahan hukum tersebut lalu
diambil kesimpulan.
25 Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 67.