bab i pendahuluan 1.1 latar belakang i.pdf · 1.1 latar belakang bali dengan potensi budaya yang...
TRANSCRIPT
! 1
BAB I
PENDAHULUAN
!
1.1 Latar Belakang
Bali dengan potensi budaya yang dimiliki telah dijadikan salah satu tempat
pengembangan pariwisata. Menurut Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 2
Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bab III pasal 4, disebutkan bahwa
pembangunan pariwisata budaya Bali diarahkan untuk meningkatkan harkat dan
martabat, serta memperkukuh jati diri masyarakat Bali; meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Bali secara merata dan berkelanjutan; serta melestarikan
lingkungan alam Bali sebagai basis penyangga kehidupan masyarakat dan
kebudayaan Bali secara berkelanjutan. Pembangunan pariwisata Bali juga antara
lain ditujukan untuk mengembangkan dan mendayagunakan berbagai potensi
kepariwisataan daerah, mengembangkan daya tarik wisata, dan meningkatkan
peran serta masyarakat (Biro Humas & Protokol Setwilda Tingkat I, 1998: 17-18).
Terkait dengan pengembangan potensi daerah, Pemerintah Kabupaten
Bangli sebagai salah satu kabupaten di Bali mengeluarkan kebijakan berupa Surat
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bangli Nomor 115 Tahun 1993
tentang penetapan objek-objek wisata Daerah Kabupaten Bangli. Salah satu desa
yang ditetapkan sebagai daya tarik wisata adalah Desa Adat/Pakraman
Penglipuran. Dalam pengembangan daerah tujuan wisata, pemerintah melalui
Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli melakukan pembinaan, pengarahan, penataan
fisik maupun non fisik, serta melakukan berbagai promosi pariwisata. Hal ini
dimaksudkan agar pengembangan pariwisata dapat memberikan manfaat untuk
! 2
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten Bangli.
Desa Penglipuran merupakan salah satu Desa Bali Aga yang berada di
Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Menurut Reuter (2005:
18), Desa Bali Aga merupakan suatu wilayah yang terletak di daerah pegunungan
dan didiami oleh kelompok etnis minoritas. Ciri-ciri Desa Bali Aga antara lain
adalah kehidupan komunal atau kebersamaan, susunan pengurus ulu apad, dan
adanya konsep luan teben (Dwijendra, 2009: 9). Sebagai sebuah Desa Bali Aga,
Desa Penglipuran memiliki berbagai keunikan baik dari segi fisik, ekologi,
kehidupan sosial budaya, dan tradisi.
Dari segi fisik, Desa Penglipuran memiliki pola pemukiman yang unik
berupa pola pemukiman yang linier dengan sistem pembagian tata ruang
horizontal berorientasi pada gunung dan laut sesuai arah mata angin dengan
sumbu kaja (utara) atau gunung dan kelod (selatan) atau laut. Dengan adanya
sumbu utara-selatan dengan pola linier yang berfungsi sebagai ruang terbuka
(open space) untuk kegiatan bersama, maka pemukiman di Desa Penglipuran
dibagi menjadi dua bagian yaitu jejer timur “kangin” dan jejer barat “kauh”
berdasarkan orientasi terbit dan tenggelam matahari. Secara simbolis tata ruang
Desa Penglipuran dibagi menjadi tiga bagian atau sesuai dengan konsep Tri
Mandala yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian teben. Keunikan lainnya
juga dapat dilihat dari struktur desa seperti tembok penyengker, angkul-angkul
(candi bentar khas), dan telajakan yang seragam dari ujung utara (ulu) sampai ke
ujung selatan desa (teben).
! 3
Selain Desa Penglipuran, terdapat juga Desa Bali Aga yang memiliki pola
pemukiman serupa seperti misalnya Desa Bayung Gede. Pola pemukiman yang
diterapkan di Desa Bayung Gede, yaitu pola linier (linier pattern) dengan struktur
rumah berderet tanpa adanya tembok pembatas antara rumah yang satu dengan
yang lainnya. Halaman rumah tampak menyatu dengan rumah-rumah di
sekitarnya. Pola pemukiman di Desa Bayung Gede menunjukkan perbedaan dan
persamaan dengan pola pemukiman yang ada di Desa Penglipuran. Perbedaannya
adalah pola pemukiman yang ada di Desa Bayung Gede tidak memiliki angkul-
angkul yang seragam seperti yang ada di Desa Penglipuran. Persamaannya adalah
sama-sama memiliki pola pemukiman yang linier. Kesamaan pola pemukiman
tersebut tidak terlepas dari sejarah Desa Penglipuran yang leluhurnya berasal dari
Desa Bayung Gede, Kintamani (Dwijendra, 2009: 91).
Dari segi ekologi, Desa Penglipuran memiliki struktur lingkungan berteras
yang miring atau melereng dari arah utara ke selatan sehingga posisi saluran air
(drainase) cukup baik. Dibagian utara desa terdapat hutan bambu dan hutan kayu
yang terpelihara dengan baik sehingga menambah sejuknya suasana desa. Hutan
tersebut berfungsi untuk menjaga atau menahan air sehingga terhindar dari erosi.
Dari segi sosial budaya, Desa Penglipuran memiliki sejumlah aturan adat,
salah satunya adalah pantangan bagi kaum lelaki untuk beristri lebih dari satu atau
berpoligami. Lelaki Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami yakni
hanya memiliki seorang istri. Pantangan berpoligami ini diatur dalam peraturan
(awig-awig) desa adat. Jika ada lelaki Penglipuran yang melakukan praktik
poligami, maka lelaki tersebut akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi
nama karang memadu.
! 4
Dari segi tradisi, Desa Adat Penglipuran menggunakan sistem
pemerintahan ulu apad. Pemerintahan desa adatnya terdiri atas prajuru adat dan
prajuru ulu apad. Prajuru ulu apad terdiri dari Jero Kubayan, Jero Kubahu, Jero
Singgukan, Jero Cacar, Jero Balung dan Jero Pati. Prajuru ulu apad otomatis
dijabat oleh mereka yang paling senior dilihat dari usia perkawinan tetapi yang
belum ngelad. Ngelad atau pensiun terjadi bila semua anak atau salah seorang
cucunya sudah menikah. Mereka yang baru menikah akan duduk pada posisi yang
paling bawah dalam jenjang keanggotaan desa adat. Keunikan-keunikan tersebut
merupakan potensi yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata.
Dalam hubungannya dengan peran serta masyarakat, pengembangan
pariwisata di Desa Penglipuran dilakukan dengan lebih mengedepankan peran
serta desa adat setempat. Pengembangan pariwisata dengan melibatkan peran desa
adat pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari konsep kebijakan
pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan. Wacana mengenai pembangunan
berwawasan kerakyatan merupakan reaksi keras terhadap kebijakan pembangunan
konglomerasi yang selama ini lebih berpihak pada pemilik modal yang pada
umumnya bukan berasal dari anggota masyarakat setempat. Pembangunan
berwawasan kerakyatan lebih mengedepankan peningkatan ekonomi rakyat dan
pemberdayaan masyarakat. Para pemikir dan praktisi pembangunan pedesaan
telah lama menyadari bahwa pembangunan konglomerasi kerap merugikan
masyarakat setempat. Masyarakat sebagai pemilik sah atas sumber daya setempat
justru kerap mengalami marginalisasi sehingga kualitas hidupnya justru menurun
dibandingkan sebelum adanya pembangunan. Atas dasar itu beberapa ahli lain
! 5
menekankan pentingnya pembangunan dari bawah, pembangunan sebagai social
learning, dan pembangunan harus mulai dari bawah (buttom up).
Menurut Korten (Pujaastawa, 2009: 30), pembangunan dengan paradigma
yang dibalik ini menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai
tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan
oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan
tersebut, atau apa yang dikenal dengan community based resource management
atau community management.
Dalam pengembangan pariwisata, masyarakat Desa Adat Penglipuran
sebagai Desa Bali Aga tetap mempertahankan nilai dan norma yang mengatur
kehidupan masyarakat setempat. Menurut Koentjaraningrat (2003: 76) sistem nilai
budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Sebabnya
ialah karena nilai budaya terdiri atas konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang
dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat
berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat
yang bersangkutan. Hal ini tampak pada berbagai aturan yang diterapkan di Desa
Penglipuran, seperti (1) masyarakat tidak diperbolehkan menjual tanah karena
tanah tersebut adalah milik desa; (2) masyarakat tidak diperbolehkan untuk
membuat bangunan bertingkat agar tidak melampaui bangunan suci yang ada; (3)
dilarang menebang pohon bambu tanpa seijin desa; (4) wisatawan yang
mengunjungi Pura Penataran harus menaati peraturan yang ditetapkan seperti
tidak boleh memasuki areal pura pada saat menstruasi dan bagi yang memasuki
pura wajib menggunakan selendang; (5) ada tempat-tempat yang dianggap sakral
! 6
dan pengunjung diharapkan tidak mengunjungi tempat tersebut melewati waktu
yang ditentukan.
Dari penjelasan di atas ada dua hal yang dapat dilihat dari pengembangan
pariwisata oleh desa adat di Desa Penglipuran. Pertama, pengembangan
pariwisata oleh desa adat dilakukan dengan menyerahkan pengelolaannya kepada
lembaga pengelola yang disebut “Pengelola Desa Wisata Penglipuran”. Kedua,
pengembangan pariwisata oleh lembaga tersebut memberikan dampak positif
maupun negatif terhadap desa adat di Penglipuran baik dari aspek lingkungan
fisik, sosial budaya dan ekonomi. Terkait dengan persoalan tersebut, maka
penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bentuk dan dampak dari
pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa Penglipuran Kabupaten
Bangli.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini
difokuskan pada bentuk dan dampak pengembangan pariwisata berbasis desa adat
di Desa Penglipuran Kabupaten Bangli. Permasalahan tersebut akan dipahami
dengan menjawab pertanyaan penelitian yang diformulasikan sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa
Penglipuran Kabupaten Bangli ?
2. Bagaimana dampak pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa
Penglipuran Kabupaten Bangli ?
! 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka dapat
dikemukakan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Ingin mengetahui bentuk pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa
Penglipuran Kabupaten Bangli.
2. Ingin mengungkapkan seberapa jauh dampak pengembagan pariwisata berbasis
desa adat di Desa Penglipuran Kabupaten Bangli
1.3.2 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang diuraikan di atas, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis dan praktis seperti
berikut.
1.3.2.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
bagi pengembangan ilmu antropologi, khususnya pada studi-studi antropologi di
bidang pariwisata. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan
informasi kepada para akademisi mengenai bentuk dan dampak dari
pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa Penglipuran. Selanjutnya,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan inspirasi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya mengenai pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa
Penglipuran Kabupaten Bangli.
! 8
1.3.2.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
baik kepada masyarakat umum maupun masyarakat Desa Penglipuran sendiri
mengenai pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa Penglipuran.
Selain itu, penelitian ini juga berupaya memberikan sumbangan pemikiran kepada
pemerintah kabupaten maupun provinsi dalam hal pengambilan kebijakan yang
berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis desa adat dan sebagai
pedoman dalam mengembangkan pariwisata di Desa Penglipuran Kabupaten
Bangli.
1.4 Kerangka Teori dan Konsep
1.4.1 Kerangka Teori
Permasalahan dalam penelitian ini akan dipahami dengan menggunakan
kerangka teori sebagai berikut.
1.4.1.1 Teori Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pariwisata berbasis masyarakat berlandaskan pada teori pengelolaan
sumber daya yang bertumpu pada masyarakat. Menurut David Korten (Moeljarto,
1993: 26), ciri-ciri pokok teori ini adalah (1) prakarsa dan proses pengambilan
keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus
diletakkan pada masyarakat itu sendiri, (2) fokus utamanya adalah meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan mereka, (3) mentoleransi variasi lokal dan karenanya
sifatnya sangat fleksibel menyesuaikan dengan kondisi lokal, (4) di dalam
melaksanakan pembangunan, menekankan pada social learning yang didalamnya
! 9
terdapat interaksi antar warga komunitas mulai dari proses perencanaan sampai
evaluasi proyek, dan (5) proses pembentukan jaringan (net working) antara
birokrat dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional
yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini baik untuk
meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola berbagai
sumberdaya maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan
horizontal. Melalui proses net working ini diharapkan terjadi simbiosis antara
struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.
Menurut Korten (Pujaastawa, 2009: 30) ada tiga alasan dasar mengapa
pengelolaan berbasis masyarakat (community management) sangat penting
sebagai ancangan dasar pembangunan. Pertama, adanya local variety (variasi
lokal) yang tidak dapat diberikan perlakuan sama. Situasi daerah yang berbeda
menuntut sistem pengelolaan yang berbeda pula dan masyarakat lokallah yang
paling memahami situasi daerahnya. Kedua, adanya local resources (sumber daya
lokal) yang secara tradisional telah dikelola oleh masyarakat setempat dari
generasi ke generasi. Pengalaman mengelola sumber daya setempat yang telah
diwariskan secara turun-temurun umumnya menimbulkan akumulasi pengetahuan
tentang pengelolaan. Pengambilalihan pengelolaan ini akan dapat menimbulkan
rasa ketersinggungan masyarakat dan masyarakat antipati terhadap proyek
pembangunan. Ketiga, local accountability (tanggung jawab lokal) yang berarti
bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat biasanya lebih
bertanggung jawab karena berbagai hal yang mereka lakukan terhadap sumber
daya akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka. Pengelolaan oleh
! 10
pihak luar kerap tidak mengandung kedekatan moral dengan masyarakat lokal,
sehingga tidak merasa mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi.
Dalam konteks pariwisata, pembangunan berbasis masyarakat belakangan
ini sangat penting. Menurut Kit (Kusuma Dewi, 2012: 30) ada 4 tujuan pariwisata
berbasis masyarakat, yaitu:
1. Pariwisata berbasis masyarakat harus berkontribusi untuk meningkatkan dan
atau memperbaiki konservasi alam atau sumber daya budaya, termasuk
keanekaragaman hayati.
2. Pariwisata berbasis masyarakat harus berkontribusi terhadap pembangunan
ekonomi lokal sehingga meningkatkan pendapatan dan keuntungan bagi
masyarakat.
3. Pariwisata berbasis masyarakat harus melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
4. Pariwisata berbasis masyarakat mempunyai tanggung jawab kepada wisatawan
untuk memberikan produk yang peduli terhadap lingkungan alam, sosial
maupun budaya.
Teori pariwisata berbasis masyarakat di atas dipandang relevan untuk
menjelaskan permasalahan pertama, yakni mengenai bentuk pengembangan
pariwisata berbasis desa adat di Desa Penglipuran Kabupaten Bangli.
1.4.1.2 Teori Dampak Pariwisata
!Teori dampak pariwisata adalah teori tentang pengaruh atau akibat dari
perkembangan pariwisata. Pengelolaan destinasi pariwisata tentu akan
memberikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Sebagaimana dikemukakan
oleh Gee (1989) bahwa dampak atau pengaruh positif maupun negatif disebabkan
! 11
karena adanya pengembangan pariwisata dan kunjungan wisatawan yang
meningkat. Menurut Dickman (1992), dampak pariwisata merupakan konsekuensi
dari sebuah kegiatan yang terus berkembang yang secara umum menimbulkan
berbagai dampak positif maupun negatif terhadap kondisi fisik, sosial budaya, dan
ekonomi. Mill (2000: 168) juga menyatakan bahwa pariwisata dapat memberikan
keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah dan dapat menaikkan
taraf hidup melalui keuntungan ekonomi yang dibawa ke kawasan tersebut.
Pengembangan pariwisata yang dilakukan dengan benar dan tepat, maka dapat
memberikan keuntungan secara maksimal.
Selanjutnya, Mill (2000) menegaskan bahwa pariwisata memberikan
dampak terhadap kondisi fisik, kehidupan sosial budaya dan ekonomi. Pertama,
dampak terhadap kondisi fisik, lebih melihat pada kondisi lingkungan fisik akibat
adanya pengembangan pariwisata. Dampak ini berupa (1) dampak positif meliputi
(a) terpeliharanya kebersihan alam lingkungan untuk menarik datangnya
wisatawan, (b) terjaganya keistimewaan lingkungan, seperti hutan-hutan, pantai
serta pemandangan alam; (2) dampak negatif meliputi (a) lingkungan yang rusak,
seperti meningkatnya kadar polusi baik air, udara, suara dan kemacetan lalu lintas,
(b) pembakaran hutan untuk ladang luas, lokasi perumahan, jalan dan parkir, (c)
hilangnya suasana alam karena hilangnya area hutan, kehidupan satwa liar dan
kesejukan udara. Perkembangan pariwisata juga memberikan dampak terhadap
kehidupan sosial budaya. Dampak ini juga mencakup dampak positif dan dampak
negatif. Dampak positif meliputi (a) terpeliharanya bangunan-bangunan yang
menyimpan nilai-nilai budaya dan tempat-tempat yang bersejarah, (b)
terpeliharanya kebudayaan tradisional, seni, tarian, adat-istiadat dan cara
! 12
berpakaian. Dampak negatif meliputi (a) rusaknya kebudayaan dan tempat-tempat
bersejarah karena ulah manusia, (b) komersialisasi budaya, (c) meningkatnya
kriminalitas, konsumerisme masyarakat lokal, dan prostitusi, (d) terkikisnya nilai-
nilai budaya dan norma-norma masyarakat karena interaksi dengan masyarakat
asing.Perkembangan pariwisata juga memberikan dampak terhadap ekonomi,
meliputi (1) dampak positif berupa (a) terbukanya lapangan pekerjaan baru, (b)
meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat, (c) meningkatkan nilai tukar
mata uang rupiah terhadap mata uang asing, (d) membantu menanggung beban
pembangunan sarana dan prasarana setempat, (e) meningkatkan kemampuan
manajerial dan ketrampilan masyarakat yang memacu kegiatan ekonomi lainnya;
(2) dampak negatif berupa (a) meningkatkan biaya pembangunan sarana dan
prasarana, (b) meningkatkan harga barang-barang lokal dan bahan pokok, (c)
peningkatan yang sangat tinggi tetapi hanya musiman, sehingga pendapatan
masyarakat naik dan turun, (d) mengalirnya uang keluar negeri karena konsumen
menuntut barang-barang impor bahan konsumsi tertentu (Mill: 2000).
Dalam pengembangan pariwisata, masyarakat setempat mempunyai peran
yang sangat penting. Masyarakat setempat mau tidak mau harus terlibat langsung
dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan kepariwisataan di daerahnya
seperti bertindak sebagai tuan rumah, penyelenggara atraksi wisata dan budaya
khusus, produsen cindera mata yang memiliki kekhasan dari daya tarik wisata
tersebut dan turut menjaga keamanan lingkungan sekitar, sehingga membuat
wisatawan yakin, tenang dan aman selama mereka berada di daya tarik wisata
tersebut. Akan tetapi, apabila daya tarik wisata tidak dikelola dengan baik maka
dapat memberikan dampak terhadap kerusakan fisik, sosial budaya dan ekonomi.
! 13
Teori dampak pariwisata di atas dipandang relevan untuk menjelaskan
permasalahan kedua dalam penelitian ini, yakni mengenai dampak pengembangan
pariwisata berbasis desa adat di Desa Penglipuran Kabupaten Bangli.
1.4.2 Konsep
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk memahami fenomena
pengembangan pariwisata berbasis desa adat di Desa Penglipuran. Terkait dengan itu,
berikut ini akan dijelaskan sejumlah konsep yang digunakan dalam penelitian ini.
1.4.2.1 Pengembangan Pariwisata
Menurut Poerwadarminta (2002: 474), pengembangan adalah suatu proses
atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna.
Sedangkan Pariwisata menurut UU RI Nomor 10 Tahun 2009, adalah berbagai
kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selanjutnya Mill
(2000: 168) mengungkapkan bahwa pengembangan pariwisata diharapkan mampu
meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui keuntungan secara ekonomi yang
dibawa ke kawasan tersebut. Dengan katalain pengembangan pariwisata melalui
penyediaan fasilitas infrastruktur, wisatawan dan penduduk setempat akan saling
diuntungkan. Pengembangan tersebut hendaknya memperhatikan berbagai aspek,
seperti aspek budaya, sejarah dan ekonomi daerah tujuan wisata. Pada dasarnya
pengembangan pariwisata dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dan
meminimalkan permasalahan. Pengembangan pariwisata akan memberikan
keuntungan ekonomi bagi daerah tujuan wisata, seperti tersedianya lapangan
pekerjaan, meningkatkan devisa negara, peningkatan infrastruktur, dan
! 14
menciptakan multiplier effects dari pengeluaran wisatawan terhadap
perekonomian domestik (Parining, dkk, 2001: 5). Pengembangan pariwisata
bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan
rumah. Pengembangan pariwisata dalam penelitian ini adalah cara menjadikan
Desa penglipuran menjadi lebih maju, baik, dan berguna dalam kegiatan wisata.
1.4.2.2 Desa Adat
!Sebagaimana tertuang di dalam pasal 1 (e) Peraturan Daerah Propinsi Bali
Nomor 06 Tahun 1986 disebutkan bahwa desa adat adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-
temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya
sendiri. Dengan berkembangnya masyarakat dan terjadinya perubahan sosial yang
demikian cepat, maka pada tahun 2001 pemerintah daerah mengeluarkan
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Menurut peraturan daerah ini desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum
adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari segi pengertian, desa adat dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali
Nomor 06 Tahun 1986 dan desa pakraman dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali
Nomor 3 tahun 2001 adalah sama. Dari segi istilah sejak dikeluarkannya peraturan
! 15
daerah nomor 3 tahun 2001 secara formal istilah desa adat diganti dengan desa
pakraman, namun dalam kenyataan sehari-hari istilah desa adat kadang-kadang
masih tetap dipergunakan di Bali termasuk dalam kehidupan masyarakat Desa
Penglipuran. Berdasarkan pandangan yang dikemukakan di atas, konsep desa adat
pada penelitian ini mengacu pada suatu masyarakat hukum adat di Desa
Penglipuran Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli.
1.5 Model Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan model penelitian yang akan
membantu mengambarkan permasalahan yang diambil. Model tersebut dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
!
: hubungan timbal balik (saling mempengaruhi)
: hubungan pengaruh
Desa Adat Penglipuran
Sumber Daya
Manusia
Sumber Daya Alam & Budaya
Pariwisata
Desa Wisata Penglipuran
Dampak
Daya Tarik Pengelola
! 16
Desa Adat Penglipuran memiliki potensi sumber daya alam dan budaya
serta sumber daya manusia. Sumber daya alam dan budaya menjadi sebuah daya
tarik dalam pengembangan pariwisata. Untuk mengembangkan pariwisata,
masyarakat sebagai sumber daya manusia membentuk sebuah lembaga pengelola
yang mengembangkan Desa Penglipuran menjadi sebuah desa wisata.
Pengembangkan Desa Wisata Penglipuran oleh Desa Adat tentunya akan
memberikan dampak, baik positif maupun negatif bukan hanya terhadap daya
tarik wisata dan sumber daya alam dan budaya tetapi juga terhadap pengelola dan
sumber daya manusia.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Adat Penglipuran, Kecamatan Bangli,
Kabupaten Bangli. Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan, yakni: (1) Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu Desa Bali
Aga yang memiliki keunikan baik dari struktur fisik maupun sosial budayanya,
dan (2) Desa Penglipuran sudah menjadi salah satu daya tarik wisata di
Kabupaten Bangli yang termasuk kategori sudah berkembang dan cukup populer
di kalangan wisatawan nusantara maupun mancanegara.
1.6.2 Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan rancangan penelitian yang ditentukan, jenis data yang
digunakan adalah data kualitatif. Perolehan data tersebut bersumber dari
masyarakat Desa Penglipuran secara langsung dan dari bahan-bahan kepustakaan.
Subagyo (1997: 87) mengemukakan, data yang diperoleh secara langsung dari
! 17
masyarakat baik yang dilakukan melalui wawancara, observasi dan alat lainnya
merupakan sumber data primer. Sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan disebut data sekunder. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
data primer dan data sekunder dalam upaya menjelaskan fenomena budaya yang
terjadi pada objek penelitian. Data primer yang bersumber langsung dari
masyarakat yang diteliti akan diperoleh melalui proses wawancara. Sementara
data sekunder lebih banyak digunakan untuk menjelaskan konsep yang
digunakan, teori untuk menganalisis permasalahan, dan data lainnya yang
diperoleh dari buku, artikel, profil desa. Penggunaan kedua sumber data ini sangat
penting untuk menutup celah subyektivitas peneliti serta memperkaya penjelasan
dalam proses penelitian ini.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
(1) teknik observasi, (2) teknik wawancara, dan (3) teknik studi kepustakaan dan
dokumentasi.
1.6.3.1 Observasi
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik observasi. Sebagaimana
dikemukakan oleh Nawawi (1995: 94) teknik ini adalah cara pengumpulan data
yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak
pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu
peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi. Teknik observasi dalam penelitian
ini dilakukan melalui pengamatan langsung ke Desa Penglipuran. Observasi
dilakukan untuk mengetahui keberadaan daya tarik wisata alam dan budaya yang
! 18
ada di Desa Penglipuran meliputi, pola pemukiman dengan arsitektur yang khas,
kawasan hutan bambu dan hutan kayu, kehidupan masyarakat setempat dan
aktifitas yang berkaitan dengan pengembangan Desa Wisata Penglipuran. Dalam
observasi juga dilakukan pengambilan gambar dan pencatatan terhadap fenomena-
fenomena yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata di Desa Penglipuran.
1.6.3.2 Wawancara
Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data kualitatif dengan
menggunakan instrumen, yakni pedoman wawancara (interview guide). Tingkat
keberhasilan wawancara sangat bergantung pada kemampuan peneliti dalam
melakukan wawancara. Wawancara dimulai dengan menggunakan topik yang
umum untuk membantu peneliti memahami perspektif makna yang diwawancarai.
Mc Milan dan Schumacher dalam Iskandar (2009: 130) menyebutkan bahwa
wawancara mendalam merupakan proses tanya-jawab yang terbuka untuk
memperoleh data tentang maksud hati partisipan yang mampu menggambarkan
kejadian-kejadian ataupun fenomena-fenomena yang berhubungan dengan
peneliti. Hal tersebut dilakukan dengan berdialog antara peneliti sebagai
pewawancara dengan informan.
Adapun jenis wawancara yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah wawancara bebas terpimpin. Nawawi (1995:116) menyebutkan,
wawancara bebas terpimpin merupakan salah satu bentuk wawancara dengan
pedoman wawancara yang dipersiapkan sebelum memulai mengajukan
pertanyaan. Di dalam pedoman tersebut hanya dicantumkan pokok-pokok penting
yang akan ditanyakan, yang disusun sesuai dengan data yang diperlukan.
! 19
Selanjutnya di dalam bertanya, seorang interviewer dapat melakukannya secara
bebas dalam kaitannya sendiri.
Data yang ingin digali oleh peneliti melalui teknik wawancara adalah
informasi mengenai gejala atau fenomena yang tidak kasat mata atau sudah
berlangsung sebelum penelitian ini dilakukan. Contohnya seperti informasi
mengenai data yang berkaitan dengan sejarah desa, sejarah perkembangan
kepariwisataan, dan sistem pengelolaan Desa Wisata Penglipuran. Untuk
kepentingan wawancara diperlukan sejumlah informan yang dipandang memiliki
pengetahuan dan pengalaman terkait dengan masalah penelitian. Para informan
yang dimaksud adalah perangkat desa adat (prajuru desa adat), pengurus lembaga
pengelola Desa Wisata Penglipuran, tokoh adat dan agama setempat, pengamat
pariwisata, Pejabat Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli yang berkompeten serta
warga masyarakat di Desa Penglipuran.
1.6.3.3 Studi Kepustakaan dan Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengetahui atau memperoleh data yang
berkaitan dengan teori yang mendukung penelitian. Oleh karena itu, metode
kepustakaan sangat penting untuk melengkapi data dari lapangan.
Koentjaraningrat (1993: 33) menyebutkan bahwa studi kepustakaan adalah cara
dalam hal melakukan penelitian untuk memperoleh data dengan berdasarkan pada
buku, majalah, laporan, karangan, skripsi dan karya tulis yang lain mengenai
suatu bidang ilmiah atau gejala yang relevan dengan hal atau masalah yang
diangkat dan dibahas. Informasi yang ingin digali oleh peneliti melalui studi
kepustakaan adalah sumber data sekunder berupa pandangan-pandangan, teori,
! 20
konsep, potensi dan keunikan wilayah, serta kondisi Desa Penglipuran Kabupaten
Bangli.
Teknik dokumentasi sebagaimana yang dikemukakan Nawawi (1995:
133), merupakan cara mengumpulan data melalui peninggalan tertulis.
Dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dan
membaca berbagai dokumen seperti surat keputusan, awig-awig Desa Adat
Penglipuran, Profil Desa Wisata Penglipuran. Disamping itu, dokumentasi juga
dilakukan dengan mencari beberapa dokumen berupa Peta Pulau Bali, Peta
Kabupaten Bangli, Peta Kecamatan Kubu, dan Peta Desa Wisata Penglipuran.
Dokumen-dokumen tersebut dapat diperoleh baik secara langsung pada instansi
terkait maupun diperoleh secara online.
1.6.4 Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Nawawi (1995: 63) mengemukakan analisis deskriptif adalah
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Subagyo (1996: 106)
mengemukakan, analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang bertumpu pada
informasi, uraian dalam bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya
untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya sehingga
memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada
atau sebaliknya. Analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini dilakukan
! 21
dengan menggambarkan keadaan Desa Penglipuran sehingga memperoleh suatu
gambaran mengenai pengembangan pariwisata berbasis desa adat.
Analisis ini dilakukan melalui 3 alur kegiatan secara bersamaan
sebagaimana yang dilakukan Miles dan Huberman (1992: 17-19), yaitu reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan
pemilahan, penyederhanaan data yang berasal dari catatan-catatan yang diperoleh
tentang pengembangan pariwisata di Desa Penglipuran. Penyajian data dilakukan
dengan penyusunan teks naratif terhadap data yang dikumpulkan. Selanjutnya
data disusun secara sistematis sesuai dengan kebutuhan masing-masing bab.
Untuk mempermudah proses penyusunan dilakukan penyederhanaan dan
penyeleksian terhadap data yang kompleks ke dalam bentuk yang lebih sederhana
sehingga mudah dipahami. Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dari
penelitian. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mencari makna dari data-data
yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya diverifikasi kembali dengan bukti-bukti
yang dikumpulkan untuk menguji kebenaran dan kecocokan data yang disajikan.