bab i menilik persoalan konversi orang suku laut a. latar...
TRANSCRIPT
1
Bab I
Menilik Persoalan Konversi Orang Suku Laut
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sampai saat ini masih dikategorikan
sebagai negara berkembang. Berbagai upaya perubahan melalui pembangungan
hingga saat ini masih dilakukan oleh pemerintah di berbagai wilayah di Indonesia
dalam berbagai bidang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya
dan mencatatkan diri sebagai salah satu negara yang dikategorikan negara maju.
Upaya pemerintah ini tidak hanya sekedar memajukan negara dalam bidang
ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, tetapi juga berkaitan dengan
bagaimana pemerintah mengubah mental dan pola pikir masyarakatnya agar siap
dengan berbagai perubahan tersebut.
Hal yang sering terjadi dalam upaya pembangunan daerah baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta adalah di samping upaya
tersebut ada aspek-aspek lain yang mau tidak mau juga harus ikut berubah agar
sejalan dengan pembangunan yang dilakukan. Hal ini menjadi semacam dampak
dari upaya pembangunan itu sendiri dan subjek utama dalam pembangunan yang
terkena dampak tersebut adalah masyarakat. Oleh karena itu, apapun alasannya
kepentingan warga negara atau masyarakat harus tetap menjadi prioritas dalam
setiap proyek pembangunan yang diupayakan pemerintah maupun pihak lainnya.
Karakter masyarakat Indonesia yang multietinis menjadi tantangan
tersendiri bagi pihak yang melakukan upaya pembangunan agar apa yang telah
2
direncanakan tersebut tepat sasaran dan sesuai dengan harapan masyarakatnya.
Dari berbagai etnis masyarakat di Indonesia, beberapa di antaranya masih
dikategorikan sebagai masyarakat terasing dan dalam upaya pembangunan yang
dilakuan oleh pemerintah mereka dianggap sebagai penghambat.
Oleh sebab itu, berbagai upaya konversi terhadap kelompok masyarakat
yang dikategorikan terasing tersebut dilakukan oleh pemerintah agar mereka dapat
menyesuaikan diri dan sejalan dengan program pengembangan potensi dan
pembangunan daerah yang terus berjalan. Akan tetapi, dalam beberapa kasus
banyak yang menunjukkan bahwa upaya tersebut tidak sesuai dengan harapan
masyarakatnya sehingga menimbulkan berbagai persoalan.
Misalnya saja kasus mengenai komunitas Kajang yang berada di Desa
Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka
pernah bentrok dengan aparat keamanan dalam sengketa yang telah sekian lama
menjadi konflik dengan pihak investor PT London Sumatera (LONSUM)
mengenai pembukaan lahan di kawasan tanah adat komunitas Kajang
(Syamsurijal Adhan 2007, h. 557).
Contoh lainnya adalah kasus yang diteliti oleh Heru Prasetia (dalam
Nurkhoiron 2007, hh. 52-54) mengenai pergulatan masyarakat adat di Wet
Semokan, Pulau Lombok, atau yang lebih dikenal dengan sebutan komunitas
Wetutelu. Mereka menolak pembangunan masjid yang akan dilakukan oleh
aparatur negara, meskipun mereka mengaku Islam karena praktek keagamaan
Islam yang mereka yakini berbeda dengan cara pandang Islam sebagaimana yang
diyakini oleh orang Islam di pada Umumnya. Hingga saat ini, upaya-upaya
3
memurnikan Islam terhadap komunitas Wetutelu di Kecamatan Boyan, Lombok
Barat, masih terus dilakukan (Prasetia 2007, h. 127).
Beberapa kasus yang disebutkan di atas hanyalah sebagain kecil dari
kisah-kisah perlawanan atau ketegangan yang muncul pada kelompok masyarakat
etnis minoritas di Indonesia yang menggambarkan sisi lain dari upaya
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal itu mereka lakukan sebagai
salah satu cara mereka untuk mempertahankan eksistensi dari tradisi dan budaya
yang menjadi bagian dari identitas mereka.
Terlepas dari ada atau tidaknya perlawanan, upaya pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta tentunya berdampak pada
masyarakat yang menjadi subjek pembangunan itu sendiri dan seringkali
memunculkan kondisi di mana masyarakat mau tidak mau harus menyesuaikan
diri terhadap hal tersebut. Masyarakat terpaksa melakukan perubahan dalam
berbagai aspek kehidupannya agar sejalan dengan upaya pengembangan potensi
dan pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.
Sebagaimana halnya yang terjadi pada masyarakat Suku Laut di Kota Batam.
Kota Batam merupakan salah satu pulau yang menjadi bagian dari
Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya yang strategis karena dikelilingi oleh lautan
dan perairan serta berbatasan langung dengan negara-negara seperti Singapura dan
Malaysia menjadikan Kota Batam merupakan kawasan yang sempurna sebagai
jalur pelayaran dan perdagangan serta memiliki potensi besar untuk
pengembangan dan pembangunan di bidang industri/ekonomi dan pariwisata.
Kota Batam yang saat ini dikenal sebagai kawasan industri dan pariwisata yang
4
cukup besar dan terus berkembang menjadi bukti bahwa terjadi perubahan yang
sangat cepat sebagai dampak dari upaya pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah maupun pihak sawasta. Hal ini tentu saja harus didukung
dengan adanya mental yang tangguh dan pola pikir maju dari masyarakatnya.
Akan tetapi, di sisi lain ada salah satu bagian dari masyarakat Kota Batam
yang masih dikategorikan sebagai kelompok masyarakat “terasing” dan
“terbelakang”, yaitu kelompok masyarakat Suku Laut. Salah satunya adalah
kelompok masyarakat Suku Laut yang berada di Pulau Air Mas Kelurahan
Ngenang Kecamatan Nongsa Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Suku Laut
diyakini sebagai penduduk asli Kepulauan Riau yang sudah ada sejak lama,
bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dikategorikan masyarakat “terasing”
dan “terbelakang” dikarenakan pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan
masyarakat pada umumnya, yaitu hidup mengembara di lautan, serta menganut
kepercayaan animisme. Selain itu, karakternya nya tertutup dan memiliki pola
pikir sederhana menjadikan mereka sulit untuk menerima pengaruh dari luar.
Sehingga proses mereka untuk beradaptasi dengan segala kemungkinan adanya
perubahan dan pengaruh yang datang dari luar akan menjadi proses panjang dari
rangkaian perubahan sosial itu sendiri.
Suku Laut hidup dengan karakter dan pola hidup seperti itu di tengah-
tengah lingkungan dan masyarakat di mana perubahan itu terjadi dengan sangat
cepat. Perubahan yang terjadi dengan cepat itu terbukti dengan jangka waktu dua
dekade terakhir Kota Batam sudah mampu berkembang menjadi daerah
perdagangan, perindustrian, dan pariwisata yang cukup maju. Lalu bagaimana
5
pula dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut yang hidup
dalam kondisi lingkungan seperti itu?
Orang Suku Laut terpaksa dikonversi agar bisa menyesuikan dengan
perkembangan zaman dan upaya pembangunan yang terus berlangsung. Dari segi
agama misalnya, pada tahun 2005 pihak Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya
Batam mengadakan sunat (khitan) massal bagi masyarakat Suku Laut di pulau
tersebut dalam rangka untuk mengislamkan mereka (Pak Dollah, komunikasi
personal, 12 Maret 2013). Meskipun tidak keseluruhan, tetapi banyak masyarakat
Suku Laut yang pada saat itu mengikuti sunat massal dan menjadi pemeluk agama
Islam.
Hal yang menarik lainnya di sini adalah tidak pernah terdengar berita atau
kabar yang menceritakan tentang adanya perlawanan dari masyarakat Suku Laut
disepanjang proses perubahan serta pembangunan daerah yang dilakukan seperti
halnya yang terjadi pada beberapa kelompok masyarakat minoritas yang telah
diceritakan di awal. Lalu bagaimana cara masyarakat Suku Laut beradaptasi dan
bertahan hidup hingga saat ini di tengah-tengah kondisi lingkungan dan
masyarakat yang terus berkembang dan berbenah diri melalui upaya-upaya
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta
dalam rentang waktu yang cukup panjang tersebut.
Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan besar tentang bagaimana proses
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut tersebut. Oleh karena
itu, persoalan ini jelas akan menjadi studi yang sangat menarik dan patut dikaji
dengan tujuan untuk melihat dan menjelaskan seperti apa proses-proses perubahan
6
sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut dan siapa saja aktor-aktor yang
terlibat di sepanjang proses perubahan sosial tersebut.
Tidak hanya itu, studi ini akan menjadi lebih menarik lagi karena tidak
hanya identitas yang akan dipersoalkan, tetapi kita juga bisa melacak bagaimana
masyarakat Suku Laut bertahan selama berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan
tahun di tengah-tengah lingkungan dan mayoritas masyarakat yang memiliki
kepercayaan dan budaya yang jauh berbeda dengan mereka. Fokus terhadap
perilaku masyarakat tersebut juga menjadi hal yang paling diutamakan. Perlu
diketahui bahwa Suku Laut sebagai masyarakat minoritas telah ada lebih dulu,
jauh sebelum Pulau Batam dibangun sebagai sebuah kota industri sekitar tahun
1970. Selain itu, kita juga bisa melacak sejauh mana keterlibatan negara dalam
fenomena perubahan sosial yang dialami kelompok masyarakat Suku Laut ini,
yang mungkin saja bisa membuka jalan bagi kita untuk mendapatkan sebuah
penjelasan guna menjawab pertanyaan kunci atau rumusan masalah yang
diajukan.
Untuk mendapatkan jawaban serta penjelasan mengenai beberapa hal
tersebut, maka penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif. Data dokumen dan wawancara secara mendalam (indepth
interview) akan menjadi sumber data utama dalam studi ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan kunci yang akan
diawab dalam penelitian ini adalah:
7
Bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku
Laut di Pulau Air Mas, Kota Batam?
C. Tujuan Penelitian
Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat dan memahami
bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada pada sebuah masyarakat
etnis minoritas yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing.
D. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Strukturasi dari
Anthony Giddens (2011) yang dijadikan sebagai sebuah pendekatan untuk
menjelaskan proses perubahan sosial yang terjadi. Fokus pembahasan Teori
Strukturasi ini adalah pada upaya memahami agensi manusia dan lembaga-
lembaga sosial. Teori Strukturasi ini menjelaskan tentang keterkaitan struktur dan
agen, tentang bagaimana orang bereaksi pada pola struktur yang dibentuk. Teori
ini hadir sebagai koreksi Giddens terhadap perspektif dalam ilmu-ilmu sosial yang
memproduksi analisis mengenai agensi dan struktur secara terpisah atau sendiri-
sendiri. Misalnya, perspektif strukturalisme yang terlalu fokus pada struktur dan
menganggap agen atau pelaku (yang berada di level mikro) bukanlah hal yang
penting, ataupun perspektif fungsionalisme yang lebih fokus terhadap individu
atau agensi dan mengabaikan struktur.
Giddens berpendapat bahwa agensi dan struktur justru memiliki
keterkaitan yang erat dalam sebuah analisis sosial dan melihat realitas yang ada
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Teori Strukturasi ini dianggap tepat
8
untuk menjelaskan alasan-alasan serta pelaku-pelaku yang mempengaruhi pilihan
atas tindakan-tindakan individu maupun kelompok masyarakat untuk melakukan
dan tidak melakukan sesuatu, termasuk dalam menjelaskan aktor-aktor dibalik
tidak adanya resistensi ketika terjadi sebuah konversi agama. Artinya, analisis
mengenai keterkaitan agensi dan struktur sangat diperlukan dan dirasa mampu
untuk menjawab rumusan masalah serta memenuhi tujuan penelitian dari studi ini.
Inti dari teori strukturasi ini adalah ingin mengatakan bahwa pembentukan
agen (pelaku) dan struktur bukanlah dua hal yang terpisah (dualisme), tetapi
merupakan penggambaran dua fenomena yang saling berkaitan (dualitas).
Giddens menyebut keterkaitan tersebut dengan istilah ‘dualitas struktur’. Gagasan
dualitas struktur ini menjelaskan bahwa sifat-sifat struktural sistem sosial
keduanya merupakan media dan hasil praktek-praktek yang mereka organisir
secara rekursif (Giddens 2011, hh. 31-32). Dengan kata lain, agen membentuk
struktur dan setelah struktur itu terbentuk, maka agen akan bertindak mengikuti
atau mentaati struktur yang telah mereka bentuk tersebut. Inilah yang disebut oleh
Giddens sebagai dualitas struktur. Selain itu, dalam gagasan dualitas struktur,
aturan dan sumberdaya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan
sosial sekaligus merupakan alat reproduski sistem.
Penjelasan logis dan lebih terperinci mengenai gagasan dualitas struktur
tersebut tersirat dalam dua konsep penting dari Teori Strukturasi yang akan
digunakan dalam studi ini yaitu konsep agensi dan konsep struktur.
9
D.1. Agensi
Dalam konsep agensi, manusia dipahami sebagai pelaku atau pelaku yang
memiliki kesadaran dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari yang kemudian
menjadi sebuah rutinitas dan akhirnya membentuk struktur. Pada tahap
selanjutnya, struktur yang telah dibentuk itu pada gilirannya membentuk perilaku
atau tindakan manusia. Singkatnya, struktur itu dibentuk melalui tindakan
manusia sebagai pelaku atau agen dan tindakan agen dibentuk oleh struktur.
Giddens menyakini bahwa agen-agen selalu bisa menjelaskan atau menguraikan
apa yang mereka lakukan beserta alasan-alasan dibalik perilaku atau tindakan
mereka tersebut. Para agen selalu memahami kondisi dan konsekuensi-
konsekuensi atas apa yang mereka lakukan. Intinya, selalu ada penjelasan dibalik
pilihan tindakan atau perilaku seseorang. Hal tersebut menjadikan teori ini relevan
untuk digunakan dalam menjelaskan alasan serta pelaku-pelaku yang
mempengaruhi bagaimana individu atau sekelompok orang merespon konversi
agama yang dilakukan terhadap mereka.
D.2. Struktur
Giddens (2011, h. 31) mendefinisikan struktur sebagai seperangkat aturan
dan sumberdaya yang diorganisasikan secara rekursif (berulang), berada diluar
ruang dan waktu, dan memerlukan koordinasi. Sumberdaya yang dimaksud oleh
Giddens (2011, h. 19) adalah merupakan sifat-sifat sistem sosial yang terstruktur,
yang ditimbulkan dan direproduksi oleh agen-agen yang berpengetahuan
mumpuni selama interaksi berlangsung. Lebih lanjut Giddens menjelaskan bahwa
10
apa yang dilakukan oleh pelaku atau agen muncul dari pelaku-pelaku yang secara
eksternal mempengaruhi mereka, yaitu struktur itu sendiri.
Konsep struktur yang dikemukakan oleh Giddens dalam Teori Strukturasi
yang dikembangkannya menjelaskan bahwa struktur itu tidak hanya memberikan
kekangan (constraining), tetapi juga memberikan kemungkinan (enabling) bagi
manusia sebagai agensi untuk melakukan sesuatu (Maliki 2012, h. 298). Hal
tersebut tergambar dari ungkapan Giddens (2011, h. 32) dalam tulisannya bahwa:
Struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint), namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling).
Artinya, dari berbagai bentuk pengekangan yang dihasilkan oleh struktur di
banyak sisi juga merupakan bentuk pembebasan. Bentuk-bentuk tersebut
berfungsi membuka kemungkinan-kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan
tindakan tertentu sekaligus membatasi atau mengingkari bentuk-bentuk tindakan
lainnya. Kedua aspek ini (struktur yang constarining dan enabling) harus dikaji
secara bersama.
Dalam menjelaskan hal ini, Giddens banyak mengkoreksi argumen yang
dikemukakan oleh para ahli sosiologi struktural mengenai struktur. Para ahli
sosiologi struktural menurut Giddens ketika mendefinisikan structural constraint
terlalu memberikan penekanan yang besar dalam mengasosiasikan antara
“struktur” dengan “constraint”, salah satunya adalah Durkheim. Giddens
mengkritik Durkheim yang mengatakan bahwa struktur itu adalah sebuah
kekangan dan mengikat tindakan seseorang (Giddens 2011, h. 209). Artinya,
Durkheim menganggap bahwa struktur membuat seseorang tidak bisa melakukan
apapun. Di titik inilah Giddens menentang argumen tersebut dengan meyakini
11
bahwa struktur itu tidak sepenuhnya memberikan kekangan bagi manusia atau
agensi, tetapi struktur juga bisa meng-enable agensi untuk bisa melakukan
sesuatu. Enable di sini memiliki arti bahwa manusia atau agensi dimungkinkan
untuk melakukan sesuatu berdasarkan hubungan yang ada antara struktur dan
agensi serta agensi dan kekuasaan. Melalui teori strukturasi ini juga, Giddens
ingin meminimalkan signifikasi aspek-aspek pengekang dari struktur.
Lebih lanjut, Giddens (2011, h. 225) mengungkapkan bahwa structural
constraint tidak bekerja secara terpisah dengan penjelasan mengenai motif atau
alasan para agen atas apa yang dilakuannya. Pemahaman mengenai ‘constraint’
dalam menjelaskan tindakan seseorang perlu dicermati secara teliti. Hal pertama
yang harus dipahami betul adalah bahwa ‘constraint’ tidak ‘mendorong’ siapapun
untuk melakukan sesuatu jika orang tersebut memang belum siap untuk
‘didorong’. Kedua, istilah ‘constraint’ memiliki beberapa definisi yang berbeda-
beda. ‘Constraint’ yang dipahami dalam konsep ‘structural constraint’
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas berbeda dengan ‘constraint’ yang ada
dalam konsep sanksi. Dalam pengertian sanksi, ‘constraint’ dipahami sebagai
kekangan yang muncul akibat dari pemberian sanksi itu sendiri. Artinya,
kekangan yang diberikan adalah bentuk hukuman sebagai konsekuensi dari sanksi
yang ia dapatkan, misalnya pembatasan atas kebebasan seseorang. Ketiga, untuk
mengkaji bekerjanya ‘structural constraint’ dalam konteks tindakan tertentu,
berarti kita harus melacak aspek-aspek yang relevan berkaitan dengan
pengetahuan agen secara spesifik (Giddens 2011, h. 385). Misalnya saja, kita
menspesifikkan hal-hal apa yang mungkin diketahui oleh para agen mengenai
12
berbagai hal disekitanya. Pengetahuan yang dimiliki agen bisa jadi merupakan
bentuk kesadaran mereka atas terbatasnya pilihan yang ada sehingga
keputusanpun harus diambil. Berbagai jenis pengetahuan yang dimiliki oleh agen
bisa digunakan untuk menjelaskan alasan-alasan atau faktor yang menjadi
pertimbangan serta motivasi atas perilaku dan tindakan yang dilakukan. Hal ini
perlu dilakukan karena ‘structural constraint’ selalu bekerja melalui alasan dan
motif-motif agen, yang mampu mencipatakan konsekuensi-konsekuensi dan
kondisi-kondisi yang mempengaruhi pilihan-pilihan yang terbuka bagi orang lain,
serta apa yang mereka inginkan dari apapun pilihan yang dimiliki.
Hal tersebut secara sederhana bisa kita jelaskan melalui fenomena
konversi agama. Konversi agama bisa saja tidak memunculkan resistensi jika ada
struktur yang mendorong munculnya kebutuhan akan adanya perubahan. Artinya,
konversi agama tidak akan memunculkan resistensi karena perubahan itu memang
dibutuhkan oleh sebuah kelompok masyarakat. Ketika mereka tidak bisa survive
dalam struktur sosial ekonomi yang sedemikian rupa dengan kepercayaan dan
budaya yang jauh berbeda dari masyarakat mayoritas disekelilingnya, maka hal
tersebut akan mendorong tumbuhnya kebutuhan akan perubahan. Dengan kata
lain, struktur sosial ekonomi yang ada di lingkungan sekitar masyarakat
tersebutlah yang mempengaruhi dan mendorong mereka untuk melakukan
perubahan pada budaya dan tradisi beragama yang selama ini diyakini.
Jika yang terjadi adalah benar demikian, berarti nilai-nilai fundamental dan
kesakralan dari identitas yang bernama agama tidak lagi menjadi hal yang bisa
dan harus dipertahankan dengan segala cara. Nilai fundamental dan kesakralan
13
paraktek beragama juga tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam pilihan
identitas. Sehingga kasus ini bukan lagi menjadi persoalan agama sebagai
identitas, tetapi lebih pada soal adanya relasi struktur yang mulai bergeser yang
kemudian menentukan dan sangat mempengaruhi perilaku seseorang atau
sekelompok orang.
E. Kerangka Teori
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
disampaikan di atas, maka pada tahap ini penting untuk memaparkan kerangka
teoritik yang akan digunakan untuk menganalisa sekaligus mengkerangkai data-
data hasil temuan penelitian untuk mencapai sebuah kesimpulan sebagai jawaban
atas rumusan masalah atau pertanyaan kunci yang diajukan dalam studi ini.
Studi ini akan menggunakan Teori Perubahan Sosial yang dijelaskan
dengan pendekatan Strukturasi dari Anthony Giddens (2011) sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas.
Mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perubahan sosial secara pasti
tidaklah mudah, karena ada perdebatan-perdebatan mengenai hal tersebut diantara
para ahli yang memunculkan definisi perubahan sosial berbeda-beda. Perubahan
sosial memiliki pengertian yang cukup luas karena masyarakat sering diasumsikan
sebagai sesuatu yang life, sehingga pasti akan terus mengalami perkembangan dan
perubahan (Narwoko & Suyatno 2011, h. 362). Oleh sebab itu, kajian mengenai
perubahan sosial semestinya juga menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat
secara menyeluruh, termasuk dimensi struktural, kultural, dan interaksioanl. Akan
tetapi, pemahaman yang seperti ini banyak dikritik oleh para sosiolog yang
14
menganggap bahwa asumsi tersebut terlalu luas, sehingga akan sulit untuk
melakukan analisis secara mendalam. Para pengkritik berpendapat bahwa harus
ada batasan-batasan yang jelas dalam definisi dan orientasi kajian perubahan
sosial. Hal ini menyebabkan adanya berbagai macam definisi mengenai perubahan
sosial menurut masing-masing ahli.
William F. Ogburn pada tahun 1922 (dalam Soekanto 1975, h. 233) dalam
tulisannya mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial
mencakup unsur-unsur kebudayaan baik dari segi materiil maupun immateriil,
dengan menekankan bahwa adanya pengaruh yang besar dari unsur-unsur
kebudayaaan materiil terhadap unsur-unsur immateriil. Kingsley Davis (1960)
mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat. Dalam kaitannya dengan perubahan kebudayaan,
Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial itu sendiri merupakan bagian
dari perubahan kebudayaan yang mencakup kesenian, ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat, dan seterusnya termasuk perubahan-perubahan dalam bentuk
serta aturan-aturan organisasi sosial.
Mac Iver pada tahun 1937 (dalam Soekanto 1975, h. 234) dalam bukunya
mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan dalam
hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap
keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Sementara, Gillin dan Gillin
mengatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup
yang telah diterima, baik itu disebabkan oleh kondisi geografis, kebudayaan
15
materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Soekanto 1975, hh. 233-234).
Sedangkan menurut Wilbert E. Moore (1965, h. 6), perubahan sosial
merupakan perubahan yang terjadi pada sistem sosial termasuk di dalamnya
interaksi antar aktor serta aturan atau norma yang berlaku. Oleh sebab itu, dalam
menganalisa perubahan sosial ada tiga hal penting yang harus diamati, yaitu
perubahan struktur sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial, termasuk
perubahan norma, nilai, dan fenomena kultural yang ada dalam lingkungan
masyarakat.
Selain beberapa sosiolog di atas, Selo Soemardjan tahun 1962 (dalam
Soekanto 1975, h. 234) juga mencoba mendefinisikan apa yang disebut sebagai
perubahan sosial. Menurutnya, perubahan sosial adalah segala bentuk perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam sebuah masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan
pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Ia sangat
menekankan bahwa faktor penting perubahan itu ada pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia yang kemudian mempengaruhi
segi-segi struktur masyarakat lainnya.
Dari sekian banyak definisi tentang perubahan sosial tersebut, penelitian
ini sepertinya akan lebih banyak mengarah pada perubahan sosial yang
didefinisikan oleh Wilbert E. Moore. Menurut Moore (1965, h. 5), tindakan atau
perilaku manusia memiliki keteraturan dan pola tertentu yang ditandai dengan
adanya perubahan dari waktu ke waktu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Moore
16
(dalam Soekanto 1975, hh. 232-233) bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat terikat oleh ruang dan waktu, tetapi karena sifatnya yang
berantai, maka keadaan tersebut belangsung secara terus menerus, meskipun
terkadang diselingi oleh keadaan-keadaan di mana masyarakat yang bersangkutan
mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena oleh
proses perubahan tersebut.
Struktur sosial menjadi hal penting ketika melihat perubahan sosial dalam
masyarakat. Hal ini dikarenakan ketika struktur sosialnya berubah, maka pola
relasi antar aktor yang terlibat di dalamnya juga akan turut berubah sehingga
mempengaruhi perubahan-perubahan lainnya karena adanya kepentingan aktor
yang berbeda-beda. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sztompka (2011, h. 5),
bahwa struktur sosial merupakan sejenis kerangka pembentukan masyarakat dan
operasinya. Sehingga ketika strukturnya berubah, maka semua unsur lainnya juga
cenderung berubah, termasuk perubahan sistem secara keseluruhan.
Perubahan sosial sendiri memeiliki beberapa bentuk, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Soekanto dalam bukunya. Berikut adalah beberapa bentuk
perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto (1945, hh. 237-242):
1. Perubahan yang berjalan lambat dan perubahan yang berjalan cepat.
Perubahan yang berjalan lambat atau yang disebut evolusi ini dikarenakan
usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-
keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat tidak perlu sejalan dengan rentetan
17
peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Ilmuan-
ilmuan yang menjadi pelopor teori evolusi adalah seperti Charles Darwin,
August Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim. Sedangkan perubahan
yang berjalan secara cepat yang dinamakan revolusi ini biasanya mengenai
perubahan pada dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat,
mislanya saja revolusi di Inggris.
2. Perubahan kecil dan perubahan besar.
Perubahan kecil merupakan perubahan yang tidak membawa dampak
dalam masyarakat secara keseluruhan. Contohnya seperti perubahan mode
pakaian, perubahan ini tidak membawa pengaruh bagi masyarakat secara
keseluruhan karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan.
3. Perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang
direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak dikehendakai
(unintended change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplenned
change).
Perubahan yang dikehendakai merupakan perubahan yang diperkirakan
atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang ingin melakukan
perubahan terhadap masyarakat tersebut. Pihak-pihak ini disebut sebagai agen
of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang dipercaya oleh
masayarakat untuk memimpin mereka dalam melakukan perubahan. Suatu
perubahan yang dikehendakai atau yang direncanakan ini selalu berada di
18
bawah pengendalian dan pengawasan agen of change tersebut. Sedangkan
perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan merupakan
perubahan-perubahan yang terjadi diluar jangkauan pengawasan masyarakat
dan dapat menimbulkan akibat- akibat sosial yang tidak diharapkan. Akan
tetapi, konsep perubahan yang dikendaki atau tidak dikehendaki ini tidak
berarti bahwa perubahan tersebut diharapkan atau tidak diharapkan oleh
masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki bisa saja menjadi memnuhi
harapan dan dapat diterima oleh masyarakat, begitupula sebaliknya.
Lebih lanjut, Soekanto (1945, hh. 234-235) menjelaskan bahwa perubahan
sosial terjadi karena adanya kondisi-kondisi sosial primer yang mengalami
perubahan seperti kondisi-kondisi ekonomis, kondisi geografis, teknologis, atau
biologis. Perubahan pada kondisi-kondisi tersebut menyebabkan terjadinya
perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Perubahan sosial terjadi
dikarenakan adanya faktor-faktor yang baik yang berasal dari dalam masyarakat
itu sendiri (faktor internal) maupun yang berasal dari luar masyarakat tersebut
(faktor eksternal). Secara lebih rinci, Soekanto (1945, hh. 243-250) memaparkan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan
dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Faktor internal
a) bertambah dan berkurangnya penduduk
b) penemuan-penemuan baru
c) pertentangan (conflict) dalam masyarakat
d) terjadinya pemberontakan atau revolusi dalam masyarakat itu sendiri
19
2. Faktor ekternal
a) bencana alam
b) peperangan dengan negara lain
c) pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Selanjutnya, di dalam proses perubahan itu sendiri, ada faktor-faktor yang
mempengaruhi jalannya proses perubahan, baik itu faktor-faktor yang mendorong
proses perubahan tersebut ataupun faktor-faktor yang menghambat proses
perubahan sosial. Berikut adalah beberapa faktor tersebut (Soekanto, hh. 283-
287):
1. Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan:
a) kontak dengan kebudayaan lain
b) sistem pendidikan yang maju
c) sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju
d) toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang
e) sistem lapisan masyarakat yang terbuka
f) penduduk yang heterogen
g) ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
h) orientasi ke masa depan
i) nilai meningkatkan taraf hidup
2. Faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan:
a) kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
b) perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
c) sikap masyarakat yang tradisional
20
d) adanya keinginan-keinginan yang telah tertanam dengan kiut
e) rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
f) prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing
g) hambatan ideologis
h) kebiasaan
i) sikap pasrah
Berbagai faktor diatas akan ikut menentukan apakah masyarakat tersebut
akan melakukan penyesuaian terhadap perubahan, ataupun terjadi ketidakserasian
dalam perubahan tersebut sehingga menimbulkan cultural lag (ketertinggalan
budaya). Hal ini dikarenakan di dalam masyarakat itu sendiri ada unsur-unsur
yang bisa berubah secara cepat dan ada pula unsur-unsur yang sulit untuk dirubah.
Unsur-unsur yang sulit dirubah tersebut adalah seperti hal-hal yang berkaitan
dengan kebudayaan rohaniah, misalnya agama. Jika hal ini yang terjadi maka
cultural lag sangat mungkin terjadi karena ketidakseimbangan taraf kemajuan dari
berbagai bgaian dalam masyarakat yang mengalami perubahan.
F. Definisi Konseptual
Berdasrakan kerangka teori yang dipaparkan di atas dan dari sekian
banyak konsep perubahan sosial yang dirumuskan oleh para ilmuan, maka konsep
yang akan digunakan dalam studi ini adalah konsep perubahan sosial yang
merujuk pada perubahan sosial yang dirumuskan oleh Wilbert E. Moore yaitu
perubahan sosial yang terjadi pada sistem sosial, termasuk didalamnya struktur
sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial.
21
G. Metode Penelitian
Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena permasalahan
yang ingin dikaji sangat kompleks dan memerlukan pemahaman serta pemaknaan
secara mendalam, sehingga untuk mendapatkan data dan teknik analisa dalam
masalah sosial seperti ini tidak akan cukup jika hanya dilakukan dengan metode
penelitian kuantitatif yang menggunakan instrumen seperti kuesioner, pedoman
wawancara, atau obeservasi. Jenis penelitian kualitatif yang akan digunakan
adalah metode fenomenologi. Fenomenologi dipilih karena dirasa sesuai untuk
bisa memahami secara mendalam mengenai konteks dan fenomena konversi atau
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat etnis Suku Laut yang unik dan
jarang terjadi di masyarakat etnis minoritas pada umumnya karena tidak
memunculkan konflik atau perlawanan yang masif. Dengan menggunakan metode
fenomenologi, pemahaman arti dan pemaknaan dari sebuah pengalaman seseorang
atau individu bisa dilakukan secara mendalam. Konversi sebagai sebuah
fenomena perubahan sosial yang dialamai oleh masyarakat Suku laut merupakan
pengalaman yang bisa dilacak sebagai sebuah pengalaman individu maupun
sekelompok orang yang memiliki arti dan makna tersendiri.
Untuk bisa menjawab rumusan masalah yang telah diajukan, kita perlu
mengetahui tentang bagaimana pergulatan dan dinamika kehidupan masyarakat
Suku Laut. Artinya, kita akan melacak sejarah kemunculan dan keberadaan
masyarakat Suku Laut. Selain itu, kita juga akan melihat bagaimana relasi kuasa
antara masyarakat Suku Laut dengan struktur kekuasaan politik negara, serta
bagaimana interaksi mereka dengan masyarakat disekitarnya. Semua hal tersebut
22
dapat dideskripikan dengan baik dan jelas ketika peneliti mampu mengeksplorasi
pengalaman-pengalaman masyarakat Suku Laut tersebut secara mendalam. Hal ini
sesuai dengan inti dari penggunaan metode fenomenologi itu sendiri, yaitu untuk
memahamai dan mendeskripsikan esensi dari pengalaman yang menjadi fenomena
kehidupan seseorang atau sekelompok orang (Herdiansyah 2010, h. 66).
Tabel berikut adalah pemaparan secara lebih spesifik data-data yang
diperlukan dalam studi ini –tetapi tidak menutup kemungkinan ada data tambahan
yang dibutuhkan dalam studi ini-, yaitu:
Tabel 1.1
Deskripsi dan Pemetaan Data yang di Perlukan
Perubahan
Sosial
1. Perubahan apa saja yang terjadi di dalam kelompok
masyarakat Suku Laut? Untuk itu, perlu diketahui
bagaimana dinamika kehidupan masyarakat Suku Laut
sejak awal hingga saat ini.
2. Bagaimana proses perubahan perubahan tersebut
berlangsung?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya
proses perubahan sosial masyarakat Suku Laut?
Agensi atau
Aktor
1. Siapa yang berperan sebagai aktor dalam proses
prubahan sosial masyarakat Suku Laut. Hal ini berguna
untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam proses
perubahan sosial masyarakat Suku Laut.
2. Sejauh mana keterlibatan para aktor dalam proses
islamisasi dan perubahan sosial lainnya.
3. Sejauh mana keterlibatan aktor dalam membentuk
struktur. Melacak mengenai sejarah mereka, mulai dari
asal usul, kemunculan, dan dinamikanya.
23
Struktur Untuk memahami lebih dalam mengenai hal ini, maka hal
yang harus dilacak adalah adanya kemungkinan faktor-faktor
yang mempengaruhi individu atau masyarakat Suku Laut
dalam mengambil keputusan. Masing-masing individu
mungkin bertindak dengan harapan memperoleh keuntungan
lebih.
1. Dalam memutuskan untuk beragama islam diantara
berbagai pilihan agama/kepercayaan apakah individu
didorong atau memang keinginan pribadi?
2. Apakah latar belakang kelas mempengaruhi individu
dalam memilih agama?
3. Apakah ada dorongan kebutuhan ekonomi? Jika iya,
lacak pendapatan mereka saat sebelum masuk islam dan
sesudah masuk islam.
4. Apakah yang mereka bayangkan ketika memutuskan
untuk ikut serta memeluk agama islam? Biasanya,
masyarakat dari kelompok minoritas atau kelas sosial
yang rendah memiliki pemahaman yang realistis terhadap
kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi agar tetap
mampu bertahan dalam sistem kehidupan sosial dan
ekonomi yang ada disekitar mereka.
5. Bagaimana tingkat perkembangan ekonomi yang ada
dilingkungan sekitar mereka/masyarakat Suku Laut.
Kesadaran mengenai hal ini dirasa mampu
mempengaruhi keputusan-keputusan mereka dalam
bertindak.
6. Bagaimana pengetahuan masyarakat Suku Laut tentang
peluang kerja dan bagaimana sikap/pandangan mereka
terhadap kerja/pekerjaan. Hal ini bisa dianggap sebagai
motivasi bagi masyarakat Suku Laut untuk melakukan
24
perubahan. Islamisasi bisa jadi oleh Orang-orang Suku
Laut dipahami sebagai strategi baru untuk mengikuti
perkembangan zaman dan perkembangan ekonomi
sehingga mampu mengakses peluang kerja untuk
memperbaiki hidup.
7. Untuk mengetahui bekerjanya ‘structural constraint’,
perlu diselidiki bagaimana motif dan proses penalaran
aktor dipengaruhi atau dibentuk oleh faktor dalam
pengalaman saat ini dan pengalaman sebelumnya, serta
bagaimana faktor-faktor tersebut pada gilirannya
dipengaruhi oleh ciri-ciri institusional masyarakat umum
yang lebih luas.
Untuk bisa memperoleh data-data tersebut, penelitian kualitatif akan
sangat membantu untuk bisa mengekplorasi informasi dan data secara mendalam
dengan cara menemukan informan yang tepat dan relevan. Pemilihan informan
akan dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan informan
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya orang yang dianggap
paling tahu mengenai permasalahan yang ada dan mengerti apa yang diharapkan
peneliti, atau mungkin orang yang dianggap sebagai penguasa atau yang disegani
sehingga memudahkan peneliti memperoleh data yang dibutuhkan.
Yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah individu-individu dalam
kelompok masyarakat Suku Laut yang mengalami fenomena konversi agama yang
sama di Pulau Air Mas, Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Masyarakat Suku
Laut atau yang lebih sering disebut dengan Orang Suku Laut ini adalah kelompok
masyarakat etnis yang sering ditemukan di daerah-daerah perairan Provinsi
25
Kepulauan Riau, Indonesia. Akan tetapi, saat ini sudah jarang ditemukan Orang
Suku Laut yang menghabiskan hidupnya di laut atau perairan, mereka saat ini
lebih banyak membangun rumah di pesisir pantai dan menetap di sana.
Orang Suku Laut di wilayah Kota Batam tidak hanya terdapat di Pulau Air
Mas Saja, tetapi juga bisa ditemukan di bagian-bagian wilayah Kota Batam
lainnya. Akan tetapi, untuk penelitian ini, unit analisisnya tetap hanya akan fokus
pada masyarakat Suku Laut yang ada di Pulau Air Mas saja. Hal ini dirasa penting
untuk ditegaskan agar penelitian ini lebih jelas, terarah, dan lebih fokus.
G.1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini lebih berdasarkan pada ‘social situation’
atau situasi sosial yang ditemukan dilapangan seperti tempat, pelaku, dan aktivitas
yang berinteraksi secara sinergis. Akan tetapi, sebagai gambaran awal peneliti,
ada beberapa sumber data yang dianggap relevan untuk memperoleh data dan
informasi yang dibutuhkan–tetapi tidak menutup kemungkinan akan ada sumber
data tambahan selain ini-, yaitu:
1. Masyarakat Suku Laut
Informasi atau data dari masyarakat Suku Laut sangat penting karena
mereka menjadi fokus analisis dari penelitian ini. Mereka adalah pihak
yang paling mengetahui seluk beluk dan dinamika kehidupan masyarakat
Orang-orang Suku Laut. Karena yag akan dianalisis adalah pengalaman
individu dari kelompok masyarakat Suku Laut dalam fenomena konversi
agama, maka informasi dengan cara wawancara secara langsung kepada
26
orang-orang tersebut sangat dibutuhkan. Data atau informasi dari
masyarakat Suku Laut ini akan menjadi data utama yang digunakan oleh
peneliti.
2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Batam
LAZ menjadi sumber data penting karena mereka adalah pihak yang
terlibat secara langsung dalam konversi agama yang dilakukan terhadap
masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas.
3. Pemerintah Setempat
Pemerintah setempat seperti Pemerintah Kota Batam, Dinas Sosial, dan
pihak kelurahan merupakan pihak yang memiliki otoritas atas masyarakat
Suku Laut sehingga relevan untuk dijadikan sebagai informan penting.
4. Data Dokumen
Berbagai data dokumen berbentuk tulisan, gambar, maupun karya-karya
seseorang akan digunakan untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari
masyarakat Suku Laut dan juga LAZ. Misalnya saja media massa baik
internet maupun cetak, data-data literatur seperti buku, hasil penelitian,
jurnal-jurnal, dan dokumen-dokumen lainnya yang mencatat sejarah
mengenai Orang-orang Suku Laut juga menjadi penting untuk
memperoleh konsep-konsep dan teori yang berkaitan dengan studi ini.
G.2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk bisa memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan secara
lengkap agar bisa menjawab pertanyaan penelitan, maka teknik pengumpulan data
yang akan dilakukan yaitu dengan menggunakan observasi, wawancara
27
mendalam, dan data dokumen. Observasi dan wawancara mendalam menjadi data
primer yang akan digunakan daam studi ini. Sedangkan teknik pengumpulan data
dengan dokumen akan menjadi data sekunder.
Wawancara langsung secara mendalam akan dilakukan dengan masyarakat
Suku Laut, Guru Agama yang ditempatkan di Pulau Air Mas, Pihak LAZ Kota
Batam, dan informan-informan lainnya yang dianggap relevan dalam penelitian
ini. Pemilihan informan ini sebagaimana yang telah dijelaskan di atas akan
dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini
diharapkan bisa membantu peneliti untuk memperolah data secara mendalam dan
akurat serta membantu peneliti melakukan pengecekan atas kebenaran data atau
informasi yang diberikan oleh informan satu dan yang lainnya.
Sementara observasi akan sangat berguna untuk bisa memahami lebih
dalam terkait bagaimana kehidupan masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas
dengan cara mengamati kegiatan sehari-hari mereka, serta mengamati bagaimana
relasi mereka dengan masyarakat sekitarnya dan juga pemerintah setempat.
Observasi ini akan sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman peneliti mengenai berbagai hal tentang Masyarakat Suku Laut yang
mungkin saja tidak bisa didapatkan pada saat wawancara.
Selain Observasi dan wawancara langsung, studi dokumen juga diperlukan
guna memperoleh data tambahan/penunjang yang akan digunakan untuk
memperkuat dan melengkapi data dari hasil wawancara dan observasi. Studi
dokumen yang akan dilakukan berbentuk tulisan, gambar, atau hasil karya
seseorang. Dokumen dalam bentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah
28
kehidupan yang menceritakan tentang masyarakat Suku Laut, artikel, jurnal,
laporan-laporan hasil penelitan terdahulu mengenai Orang-orang Suku Laut,
peraturan dan kebijakan pemerintah, atau informasi-informasi dari media massa
seperti surat kabar dan internet (website) yang sekiranya relevan dengan
penelitian ini.
G.3. Teknik Analisa Data
Selanjutnya, metode triangulasi akan digunakan untuk menganalisis data
hasil observasi, wawancara dan dokumen. Penggunaan teknik triangulasi seperti
ini sekaligus bertujuan untuk menguji kredibilitas data yang diperoleh. Dalam
studi ini, peneliti akan melakukan analisa data dalam dua tahap yaitu pada saat
proses pengumpulan data berlangsung dan setelah proses pengumpulan data
selesai. Hal seperti ini sangat mungkin dilakukan dalam metode penelitian
kualitatif. Inilah yang juga menjadi salah satu alasan mengapa peneliti memilih
menggunakan metode penelitian kualitatif. Analisa data pada saat proses
pengumpulan data berlangsung berarti bahwa untuk melakukan analisa data,
peneliti tidak harus menunggu seluruh data terkumpul. Analisa data bisa dimulai
dengan mengumpulkan hasil temuan yang telah diperoleh dan membuat semacam
transkrip ataupun catatan-catatan dari hasil obeservasi dan wawancara di
lapangan. Hal tersebut juga bermanfaat bagi peneliti untuk mengecek data-data
apa saja yang masih kurang dan harus dicari lebih lanjut. Kegiatan seperti ini akan
dilakukan secara terus menurus hingga seluruh data yang diperlukan terkumpul.
Setelah seluruh hasil temuan penelitian baik dilapangan (observasi dan
wawancara mendalam), media, maupun literatur dan dokumen-dokumen telah
29
diperoleh, maka peneliti akan melakukan analisa secara menyeluruh. Selanjutnya,
data-data tersebut akan dibaca secara berulang dengan tujuan untuk memahami
dan memilah data-data yang dianggap relevan dan berguna dalam studi ini.
Artinya, tidak semua informasi yang didapat selama proses pencarian data akan
digunakan. Dengan adanya proses penyaringan data, maka peneliti bisa
memahami dan memastikan bahwa data yang digunakan benar-benar relavan dan
dibutuhkan untuk bisa menjawab rumusan masalah yang diajukan. Penyaringan
data ini sekaligus dilakukan untuk mengkategorikan data–data yang ada sesuai
dengan perencanaan bab yang telah ditentukan. Membaca data secara berulang-
ulang juga bisa membantu peneliti untuk lebih mudah memahami gambaran
permasalahan secara utuh. Dengan demikian, data dan informasi yang diperoleh
akan tersusun secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan
diinformasikan kepada orang lain sebagai pembaca. Rangkaian proses analisa data
ini akan memudahkan peneliti untuk menarik kesimpulan sebagai jawaban dari
rumusan masalah.
H. Sistematika Penulisan
Seluruh hasil temuan atau data penelitian yang telah dianalisa akan
dipaparkan dengan membaginya menjadi empat bagian. Akan tetapi, seluruh
bagian dalam tulisan ini tetap akan memperilhatkan secara jelas bagaimana
prubahan sosial itu berlangsung dalam masyarakat Suku Laut. Bagian pertama,
kita akan melihat siapa dan bagaimana sejarah serta dinamika kehidupan
masyarakat Suku laut yang ada di Pulau Air Mas, termasuk budaya, tradisi dan
agama atau kepercayaan yang mereka anut dimulai sejak kemunculannya hingga
30
saat ini. Penjelasan mengenai hal ini penting untuk memperlihatkan bagaimana
masyarakat atau Orang-orang Suku laut ini menjadi agen utama yang membentuk
strukur kehidupan mereka sendiri.
Pada bagian kedua, kita akan melihat bagaimana proses konversi yang
dilakukan terhadap kelompok masyarakat Suku Laut serta alasan-alasan dibalik
dilakukannya konversi tersebut. Bagian ini juga akan menjelaskan bagaimana
keterkaitan antara negara dengan agama, serta pemetaan agen atau pelaku yang
terlibat dalam proses islamisasi dan bagaimana keterkaitan antar pelaku tersebut.
Di sinilah konsep agensi akan sangat berperan.
Pada bagian ketiga, kita akan melihat bagaimana kelanjutan proses
konversi tersebut dan bagaimana dampak dari proses panjang konversi yang
dilakukan terhadap Suku Laut tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
atau menyebabkan tidak adanya resistensi dalam proses islamisasi yang dilakukan
oleh LAZ terhadap masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas. Dalam menjelaskan
hal ini, konsep mengenai struktuk akan sangat berperan penting. Di sinilah akan
dijelaskan bagaimana struktur dan faktor-faktor lainnya berperan dalam
mendorong adanya kebutuhan akan perubahan yang terlihat melalui konversi
agama yang diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Suku Laut di Pulau
Air Mas.
Bagian terakhir, akan dipaparkan kesimpulan dari berbagai pembahasan
yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai jawaban atas rumusan masalah yang
telah diajukan dan mencoba memetik sebuah pelajaran penting yang bisa kita