polemik kenaikan iuran bpjs di tengah pandemi menilik...

16
Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO 9001:2015 Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685 Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu: Urgensi dan Tantangannya p. 12 Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi p. 3

Upload: others

Post on 14-Jul-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

Vol. V, Edisi 11, Juni 2020

Menilik Kemandirian Fiskal Daerah

p. 8

ISO 9001:2015Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685

Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu: Urgensi dan

Tantangannyap. 12

Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi

p. 3

Page 2: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

2 Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

Kemandirian fiskal daerah menjadi sorotan mengingat pasca otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan belum membuahkan hasil. Tingkat kemandirian fiskal daerah dinilai masih rendah. Seharusnya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan kesempatan daerah untuk mandiri. Ditambah lagi, kondisi pandemi Covid-19 yang membuat pemerintah pusat mengurangi dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang cukup besar. Tahun 2021, rencananya pemerintah pusat akan mereformasi TKDD. Rencana ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk berbenah.

UnTUK meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya logistik nasional, pemerintah berencana mengembangkan 7 pelabuhan menjadi Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu (JPUT), yang tersebar di seluruh Indonesia. Pelabuhan-pelabuhan ini kedepannya diharapkan dapat menjadi pelabuhan hub internasional, dan dapat mengurangi dominasi Singapura sebagai pelabuhan hub internasional. Namun dalam pengembangan JPUT masih terdapat kendala-kendala yang harus dihadapi agar pelabuhan-pelabuhan ini siap untuk menjadi hub internasional dimasa mendatang.

Kritik/Saran

http://puskajianggaran.dpr.go.id/kontak

Dewan RedaksiRedaktur

Dwi Resti PratiwiRatna Christianingrum

Martha CarolinaAdhi Prasetio SW.

EditorAde Nurul Aida

Marihot Nasution

di tengah pandemi, pemerintah justru kembali menerbitkan aturan terkait kenaikan iuran BPJS sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.64/2020. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan peraturan serupa yaitu Perpres No. 75/2019 namun Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Adapun pertimbangannya ialah terdapat kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Sehingga hal ini tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP. Dengan kembalinya diterbitkan aturan terkait kenaikan BPJS, seolah-olah pemerintah kurang mengindahkan putusan MA tersebut. Ditambah kenaikan ini dilaksanakan ketika daya beli masyarakat semakin menurun

Penanggung JawabDr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E.,

M.Si.Pemimpin Redaksi

Slamet Widodo

Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi p.3

Menilik Kemandirian Fiskal Daerahp.8

Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu: Urgensi dan Tantangannya p.12

Page 3: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

3Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi

oleh Marihot Nasution*)

Arjun Rizky Mahendra Nazhid**)

Pandemi Covid-19 menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat dan membuat aktivitas ekonomi

menurun tajam. Menurunnya aktivitas ekonomi menciptakan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berakibat pada penurunan pendapatan masyarakat. Namun, pada saat pandemi Covid-19, pemerintah justru menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Salah satu alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan adalah untuk menjaga keberlangsungan usaha BPJS Kesehatan akibat defisit keuangan anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemerintah mengklaim jika tidak ada kenaikan iuran BPJS maka defisit keuangan BPJS diperkirakan pada tahun 2020 mencapai sebesar Rp44,6 triliun, tahun 2021 sebesar Rp56,8 triliun hingga tahun 2023 dapat mencapai Rp75,25

triliun (Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 7P/HUM/2020). Menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) salah satu penyebab defisit keuangan BPJS Kesehatan semakin besar adalah struktur iuran BPJS masih di bawah perhitungan aktuaria atau underpriced. Oleh karena itu, sebelum diterbitkan Perpres 64/2020, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No. 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan.

Namun oleh MA, Perpres No. 75/2019 dibatalkan atas pertimbangan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, terdapat cacat yuridis secara substansi pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan bertentangan Pasal 2 UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Adapun dalam amar putusannya, MA menyebutkan akar masalah di

Abstrakdi tengah pandemi, pemerintah justru kembali menerbitkan aturan terkait

kenaikan iuran BPJS sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.64/2020. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan peraturan serupa yaitu Perpres No. 75/2019 namun Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Adapun pertimbangannya ialah terdapat kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Sehingga hal ini tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP. Dengan kembalinya diterbitkan aturan terkait kenaikan BPJS, seolah-olah pemerintah kurang mengindahkan putusan ma tersebut. ditambah kenaikan ini dilaksanakan ketika daya beli masyarakat semakin menurun, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan kembali penerbitan Perpres No. 64/2020 di tengah pandemi.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

belanja transfer ke daerah

Page 4: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

4 Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

tubuh BPJS Kesehatan yakni mengenai tata kelola BPJS Kesehatan yang secara keseluruhan tidak terselesaikan sehingga mengakibatkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan selalu defisit.

Namun dengan diterbitkannya kembali peraturan serupa yaitu Perpres No. 64/2020 menimbulkan polemik di tengah situasi pandemi Covid-19. Tabel 1 menunjukkan perbedaan nilai iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, Perpres No. 75/2019 dan Perpres No. 64/2020. Dimana dalam Perpes 64/2020 tersebut akan membebankan kenaikan iuran BPJS kepada Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Bukan Pekerja (BP)sebagaimana tertuang dalam Tabel 1.

Namun terbitnya Perpres No. 64/2020 perlu dipertanyakan legalitasnya mengingat MA telah memberikan berbagai catatan penting dalam amar putusannya terkait pembatalan sejumlah norma di Perpres No. 75/2019 namun diterbitkan kembali peraturan serupa seolah pemerintah kurang mengindahkan putusan MA tersebut.

Sementara itu, pembebanan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi PBPU belum sepenuhnya dapat menutup permasalahan defisit BPJS Kesehatan karena terdapat persoalan-persoalan krusial dalam tata kelola BPJS yang belum diatasi. Dalam tulisan ini akan mengangkat berbagai permasalahan dalam tata kelola BPJS Kesehatan yang perlu diatasi dalam membenahi permasalahan defisit keuangan BPJS Kesehatan, dan apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tepat dilakukan di tengah pandemi Covid-19.

Permasalahan dalam Tata kelola BPJS KesehatanSejak tahun 2014, ketika program digulirkan BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit keuangan. Bahkan setiap tahunnya defisit BPJS Kesehatan mengalami tren yang meningkat. Tahun 2014, defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp9 triliun kemudian disuntik pemerintah Rp5 triliun. Tahun 2016, defisit sebesar Rp6 triliun pemerintah suntik Rp6 triliun. Tahun 2017, defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp13 triliun. Tahun 2018, mengalami kenaikan sebesar Rp19 triliun. Tahun 2019, BPJS menuliskan

Tabel 1. Rincian Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Sumber: Perpres No.64/2020 (diolah)

Page 5: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

5Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

perbaikan masalah tata kelola BPJS Kesehatan bukan hanya harus dilakukan di manajemen BPJS Kesehatan tapi juga manajemen rumah sakit, klinik, atau puskesmas.

Catatan Kritis Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Pandemi Covid-19Berbagai temuan BPK tersebut menunjukkan bahwa tata kelola BPJS dianggap masih belum optimal dalam hal transparansi data, dan akuntabilitas. Ditambah koordinasi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang masih lemah dalam pelaksanaan JKN mengakibatkan sistem mutu pelayanan kesehatan serta fungsi pencegahan dan penindakan fraud belum berjalan dengan baik.

Selain berbagai persoalan tata kelola BPJS tersebut, dalam Putusan MA No. 7P/HUM/2020 menyebutkan bahwa terdapat perilaku tercela sejumlah peserta mandiri atau PBPU yang menggunakan layanan jaminan kesehatan nasional (JKN) namun menunggak iuran BPJS Kesehatan. Hal ini juga menjadi indikasi penyebab defisit BPJS yang semakin melebar. Atas dasar ini yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerbitkan kembali peraturan terkait kenaikan iuran BPJS yang dibebankan kepada peserta mandiri atau PBPU dan BP. Adapun peserta mandiri ini mencakup 30,6 juta dari 222,9 juta total peserta terdaftar BPJS. Direktur utama BPJS menyebutkan bahwa kenaikan iuran BPJS mengakibatkan tren peserta turun kelas sekitar 7,54 persen atau hingga akhir tahun terdapat 2,3 juta peserta yang berpotensi turun kelas (Kompas.com, 2020). Namun yang perlu dikhawatirkan ialah pandemi ini mengakibatkan tingkat kemiskinan semakin meningkat yang memungkinkan peserta PBPU maupun BP bukan lagi turun kelas melainkan pindah golongan menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang kemudian dapat meningkatkan beban keuangan negara.

surat kepada Kemenkeu bahwa estimasi defisitnya mencapai Rp32 triliun. Permasalahan defisit keuangan BPJS Kesehatan menandakan belum berhasilnya tata kelola JKN oleh pemerintah.

Berdasarkan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai tata kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan pada 2019, KPK menemukan defisit BPJS Kesehatan disebabkan oleh inefisiensi tata kelola dan ketidaktepatan tata kelola. Begitupula dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2019. BPK menemukan adanya sejumlah permasalahan tata kelola BPJS Kesehatan yang membebani BPJS Kesehatan hingga Rp521,46 miliar. Selain itu, BPK menemukan adanya sejumlah permasalahan signifikan, misalnya Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang merujuk diagnosis spesialistik atau pelayanan kesehatan oleh dokter spesialis, tetapi diagnosis akhir dokter di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) merupakan nonspesialistik. BPK pun menemukan adanya beban keuangan dari diagnosis atas 144 penyakit yang seharusnya dapat dilakukan pengobatan di FKTP tanpa rujukan ke FKRTL. Selain itu, terdapat rujukan kelainan refraksi mata ke FKRTL yang seharusnya dapat disesuaikan di FKTP pemerintah. Selain itu terdapat temuan pembayaran kapitasi yang belum didasarkan kepada jumlah peserta aktif yang terdaftar di FKTP sesuai data mutakhir. Terdapat pula masalah pembayaran klaim dana nonkapitasi dan promotif preventif kepada FKTP milik pemerintah dan swasta yang belum tepat waktu. BPK pun menemukan adanya potensi benturan kepentingan dari migrasi oleh Dinas Kesehatan atas 4.514 peserta penerima bantuan iuran (PBI) daerah dari puskesmas ke klinik milik swasta. Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian KPK dan IHPS 2 tahun 2019,

Page 6: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

6 Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Selain itu, dalam putusan MA No. 7P/HUM/2020 juga tertuang bahwa salah satu alasan MA membatalkan ketentuan pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75/2019 adalah karena kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu. Sementara itu, Perpres No. 64/2020 ini terbit di tengah pandemi di saat daya beli masyarakat sedang menurun. Hal ini terkesan penerbitan Perpres No. 64/2020 mengesampingkan putusan MA tersebut. Maka dengan adanya kenaikan iuran di tengah pandemi ini dapat memicu polemik di tengah masyarakat akan kurangnya empati pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Dengan begitu kenaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No. 64/2020 saat ini perlu dipertimbangkan kembali.

Daftar PustakaPeraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

Mahkamah Agung. 2020. Putusan MA 7 P/HUM/2020

BPK. 2020. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2019

Kontan. 2020. Ada Perpindahan Peserta Yang Kena Phk Imbas Covid-19 BPJS Kesehatan Bisa Masuk PBI. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/ada-perpindahan-peserta-yang-kena-phk-imbas-covid-19-bpjs-kesehatan-bisa-masuk-pbi

Kompas. 2020. Iuran BPJS Kesehatan Batal Naik, Ancaman Defisit Rp 77 Triliun di Depan Mata. Diakses dari https://money.kompas.com/read/2020/03/10/115215926/iuran-bpjs-kesehatan-batal-naik-ancaman-defisit-rp-77-triliun-di-depan-mata?page=all.

Kontan. 2020 .Ternyata Peserta Bpjs Kesehatan Yang Terkena Phk Bisa Masuk Penerima Bantuan Iuran. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/

ternyata-peserta-bpjs-kesehatan-yang-terkena-phk-bisa-masuk-penerima-bantuan-iuran

Okezone.com. 2020. Sri Mulyani Sejak 2014 Defisit BPJS Kesehatan Trennya Naik. Diakses dari https://economy.okezone.com/read/2020/02/18/20/2170274/sri-mulyani-sejak-2014-defisit-bpjs-kesehatan-trennya-naik

Kompasiana.com. 2020. Catatan Singkat Anak Bangsa Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 Dalam Pusan Pandemi Covid 19. Diakses dari https://www.kompasiana.com/ asangalih/5ec5843ad541df1b87719c66/catatan-singkat-anak-bangsa-peraturan-presiden-no-64-tahun-2020-dalam-pusan-pandemi-covid-19

RekomendasiPemerintah sebaiknya kembali pada pertimbangan MA bahwa kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit DJS Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP. Apalagi kenaikan ini dilaksanakan dalam kondisi ekonomi yang menurun akibat pandemi. Berbagai permasalahan terkait tata kelola BPJS perlu diperbaiki serta berbagai temuan dari BPK harus segera ditindaklanjuti terlebih dahulu. Tentunya dengan pengelolaan yang semakin baik maka kenaikan iuran dapat dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat.

Page 7: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

7Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan dari pusat masih cukup besar di

masa desentralisasi fiskal yang telah berjalan selama 20 tahun. Sampai saat ini, secara rata-rata nasional, ketergantungan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih tinggi yaitu sebesar 80,1 persen terhadap Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), sementara kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya sebesar 12,87 persen (Nugraha, 2019). Padahal, desentralisasi fiskal di Indonesia ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah (Haryanto, 2015).Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi sebagai sumber PAD diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah.Kondisi saat ini menjadi sulit dengan adanya pandemi Covid-19. Di masa awal pandemi melalui surat S.247/MK.07/2020 yang terbit pada 27 Maret 2020, pemerintah menyatakan bahwa

pengadaan barang dan jasa DAK Fisik selain untuk pendidikan dan kesehatan dihentikan. Dana TKDD 2020 juga dipangkas sebesar Rp94,2 triliun dan PAD diperkirakan mengalami tekanan sebagai dampak dari berkurangnya aktivitas perekonomian di daerah yang diperkirakan menurun sebesar 34 persen (Kemenkeu, 2020).Pemanfaatan TKDD yang belum tepat menyebabkan kemandirian fiskal masih belum tercapai. Peningkatan TKDD belum diiringi dengan peningkatan kualitas outcome. Sampai saat ini masih terdapat ketimpangan indikator kesejahteraan antardaerah (Fin, 2020). Meski telah terjadi penurunan ketimpangan layanan publik antardaerah (terlihat dari penurunan gap IPM antara yang tertinggi dan yang terendah) namun tingkat penurunan gap ini tidak signifikan. Begitupula, penurunan ketimpangan tingkat kemiskinan antardaerah, masih menunjukkan gap yang tinggi. Padahal, volume TKDD sudah relatif besar yakni mencapai 1/3 dari belanja negara dan meningkat 22,4 persen dalam 5 tahun dari Rp623,1 triliun (2015) menjadi Rp762,7 triliun di 2020 (Kemenkeu, 2020).Berdasarkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Tahun

Menilik Kemandirian Fiskal Daeraholeh

Tio Riyono*)

AbstrakKemandirian fiskal daerah menjadi sorotan mengingat pasca otonomi daerah

dan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan belum membuahkan hasil. Tingkat kemandirian fiskal daerah dinilai masih rendah. Seharusnya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan kesempatan daerah untuk mandiri. Ditambah lagi, kondisi pandemi Covid-19 yang membuat pemerintah pusat mengurangi dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang cukup besar. Tahun 2021, rencananya pemerintah pusat akan mereformasi TKDD. Rencana ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk berbenah. Pemerintah pusat harus memberikan dukungan kepada pemerintah daerah untuk dapat meningkatkan kemandirian fiskalnya. Begitupula, pemerintah daerah harus melakukan optimalisasi PAD.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

belanja transfer ke daerah

Page 8: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

8 Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

2021, pemerintah akan mereformasi TKDD sebagai upaya penguatan quality control TKDD dan mendorong peningkatan peran pemerintah daerah (Pemda) dalam pemulihan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Hal tersebut dicapai melalui reformasi pengelolaan TKDD dan APBD secara komprehensif. Namun sayangnya, dari pengamatan Penulis, kemandirian fiskal belum menjadi agenda utama pada 2021 mendatang. Padahal permasalahan kemandirian fiskal yang rendah sudah dirasakan setidaknya sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.Penulis mencoba untuk mengungkapkan kondisi kemandirian fiskal sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal di Indonesia dan memberikan pandangan urgensi permasalahan kemandirian fiskal selama ini. Meskipun tidak tercantum dalam agenda utama reformasi TKDD dan APBD 2021, setidaknya pemerintah pusat dan daerah perlu melihat ini sebagai masalah yang penting untuk segera diselesaikan.

Tingkat Kemandirian Fiskal DaerahPembagian kewenangan dan fungsi antara pemerintah pusat dan daerah termuat dalam Undang-Undang (UU) No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sementara itu, UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur pembagian sumber-sumber daya keuangan antara pusat dan daerah menggunakan prinsip money follow function. Artinya, penyerahan kewenangan daerah juga dibarengi dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya masih dipegang oleh pemerintah pusat (Mahi, 2001). Otonomi daerah diharapkan bisa menjadi jembatan bagi pemerintah daerah untuk mendorong efisiensi ekonomi dan efisiensi pelayanan publik sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui berbagai efek multiplier dari desentralisasi yang diharapkan bisa terwujud (Khusaini, 2006). Sebab desentralisasi fiskal memberikan kesempatan daerah untuk mengoptimalkan potensi lokal dan meningkatkan kinerja keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah. Mengukur desentralisasi fiskal dapat menggunakan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah dan rasio PAD terhadap seluruh pendapatan daerah termasuk dana perimbangan (Suparmoko, 2002). Apabila rasio tersebut semakin besar, berarti kecenderungan tingkat kemandirian tersebut akan semakin besar. Selain itu, Ladjin (2008) mengukur derajat desentralisasi fiskal menggunakan: 1) Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah; 2) Perbandingan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Penerimaan Daerah; 3) Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah.Berdasarkan data dari Direktorat

Tabel 1. Indikator Kesejahteraan Antardaerah

Sumber: Handra, 2020 disampaikan 19 Februari 2020 pada RDPU Badan Anggaran DPR RI

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2020 *Data Anggaran

Gambar 1. Perkembangan Kemandirian Fiskal Pemerintah Provinsi & Kabupaten/Kota (dalam

persen)

Tingkat Kemiskinan (persen)

IPM (Dihitung dengan Metode Baru)

2010 Sep 2015

Sep 2019 2010 2014 2018

Indonesia 13,33 11,13 9,22 66,53 68,9 71,39

Provinsi

Tertinggi 36,8 28,4 26,55 76,31 78,39 80,47

Terendah 3,48 3,61 3,42 54,45 56,75 60,06

Gap 33,32 24,79 23,13 21,86 21,64 20,41

Page 9: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

9Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Jenderal Perimbangan (DJPK), rata-rata komposisi APBD ialah 25,66 persen dari PAD, 58,54 persen dari Dana Perimbangan, dan 15,81 persen dari pendapatan lain. Sejak 2001 hingga saat ini Dana Perimbangan masih mendominasi APBD di atas 50 persen (Gambar 1). Di sisi lain, PAD mengalami perkembangan dari 14 persen (2001) menjadi 26 persen (2020). Peningkatan yang signifikan hanya terjadi pada beberapa tahun. Perkembangan PAD sejak 2004 terlihat cenderung konstan. Sebelumnya, kebijakan perluasan sumber pendapatan daerah sudah dilakukan sejak diberlakukannya UU No. 28/2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Namun, nampaknya UU ini belum dapat memberikan dampak signfikan terhadap PAD Daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah harus memberikan perhatian khusus pada tataran implementasi UU ini. Tantangan Kemandirian Fiskal DaerahPelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia lebih menekankan kepada desentralisasi dari sisi pengeluaran

(Haryanto, 2015; Nurhemi & R, 2015). Daerah diberikan kewenangan untuk mengalokasikan pengeluarannya sesuai dengan diskresi daerah masing-masing. Pemerintah Pusat hanya memberikan saran serta monitoring pelaksanaan. Berikut perbandingan besarnya kewenangan atas penerimaan yang dipegang oleh daerah, dibandingkan dengan besarnya kewenangan belanja daerah.Gambar 2 merupakan gambaran posisi desentralisasi fiskal Indonesia diantara berbagai negara. Di Indonesia terlihat bahwa daerah diberikan kewenangan lebih pada sisi belanja dibandingkan dengan sisi pendapatan. Pada tahun 2019 persentase belanja daerah mencapai 33,54 persen, sementara pada sisi pendapatan hanya sebesar 7,53 persen. Artinya, sumber pendapatan mayoritas berada dalam kewenangan pemerintah pusat.Di tengah keterbatasan tersebut, pemerintah daerah diharapkan terus mengoptimalkan PAD melalui sumber-sumber yang ada. Walaupun

Gambar 2. Besaran Peran Pemerintah Daerah Terhadap Total Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintahan

Sumber: Kemenkeu, 2019, 2020; Sirait, 2017 *Data Anggaran

Page 10: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

10 Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

daerah masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya ialah masih kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah dan hanya sedikit pajak daerah yag dapat diandalkan (Kamaluddin, 2001; Kuncoro, 2004). Selain itu, daerah tidak memiliki insentif untuk meningkatkan PAD. Daerah lebih mudah mengandalkan dana perimbangan dibandingkan berusaha meningkatkan PAD. Sebab pada dasarnya prinsip transfer adalah mengisi celah antara

pendapatan dan pengeluaran daerah serta tidak bersifat menggantikan pendapatan pajak yang dikumpulkan oleh daerah (Jha, Kang, & Nagarajan, 2011 dalam Kartika (2015)).Hingga kini, tantangan di atas masih dihadapi oleh pemerintah daerah sejak era desentralisasi diberlakukan. Dan pada akhirnya permasalahan tersebut membuat pemerintah daerah masih bergantung pada pemerintah pusat hingga saat ini.

RekomendasiRendahnya kemandirian fiskal daerah masih menjadi tantangan pelaksanaan desentralisasi fiskal selama ini. Baik pemerintah pusat maupun daerah harus memiliki pandangan yang sama menyoal kemandirian fiskal daerah. Seperti dijelaskan di atas, ketergantungan daerah masih didominasi transfer dari pemerintah pusat. Kondisi ini harus menjadi perhatian khusus baik pemerintah pusat maupun daerah. Ke depan, pemerintah daerah dirasa perlu bagi untuk melakukan reformasi perihal kemandirian fiskal daerah selain poin yang sudah termuat dalam reformasi APBD yang tercantum dalam KEM PPKF 2021. Pemerintah daerah bersamaan dengan pemerintah pusat perlu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan atas UU No. 28/2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Selain itu, bagi pemerintah pusat perlu mempertimbangkan untuk memberikan tambahan perluasan sumber pendapatan kepada daerah. Kebijakan ini bisa dimulai dari daerah yang telah memiliki PAD di atas rata-rata nasional. Harapannya, akan mendorong daerah dengan PAD relatif rendah untuk bisa lebih cepat meningkatkan kemandirian fiskal.

Daftar PustakaFin. (2020). Tahun 2021, Kebijakan TKDD Direformasi. Fajar Indonesia Network (FIN). diakses dari https://fin.co.id/2020/05/13/tahun-2021-kebijakan-tkdd-direformasi/Handra, H. (2020). Efektifitas Dana Transfer Ke Daerah dan Desa (TKDD). Disampaikan Pada RDPU Banggar DPR RI.Haryanto, J. T. (2015). Desentralisasi Fiskal Seutuhnya. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Repblik Indonesia. diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/desentralisasi-fiskal-seutuhnyaJha, R., Kang, W., & Nagarajan, H. (2011). Fiscal Decentralization and Local Tax Effort.

Kamaluddin, R. (2001). Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Daerah. Majalah Perencaan Pembangunan. diakses dari https://www.bappenas.go.id/files/3913 /5022/6047/rustian__20091015125917__2359__0.pdfKartika, M. (2015). Transfer Pusat dan Upaya Pendapatan Asli Daerah (Studikasus Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat). Jurnal Ekonomi Bisnis Dan Kewirausahaan, 4.Kemenkeu. (2020). Nota Keuangan beserta APBN TA 2015-2018. Kementerian Keuangan RIKemenkeu. (2019). Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019 (Audited). Kementerian Keuangan RI.

Page 11: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

11Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Kemenkeu. (2020). Kerangka Ekonomi Makro Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021.Khusaini, M. (2006). Ekonomi publik: Desentralisasi fiskal dan pembangunan daerah. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.Kuncoro, M. (2004). Otonomi & Pembangunan Daerah. Erlangga.Ladjin, N. (2008). Analisis kemandirian fiskal di era otonomi daerah (Studi kasus di Propinsi Sulawesi Tengah). program Pascasarjana Universitas Diponegoro.Mahi, R. (2001). Fiscal decentralization: its impact on cities growth. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia, 2(1), 1–20.Nugraha, Y. N. (2019). Ketergantungan

Fiskal Daerah Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Kementrian Keuangan RI. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/ketergantungan-fiskal-daerah-dalam-pelaksanaan-desentralisasi-fiskal-di-indonesia/Nurhemi, & R, G. S. (2015). Dampak Otonomi Keuangan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan Bank Indonesia, 18.Sirait, L. (2017). Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah. Kementerian Keuangan.Suparmoko, M. (2002). Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Andi.

Page 12: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

12 Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Indonesia menempati peringkat ke-73 dalam ease of doing Business (EoDB) tahun 2020. Meskipun

nilainya meningkat dari 68,2 pada tahun 2019 menjadi 69,6 pada tahun 2020, namun masih tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia ini tentunya tidak terlepas dari sektor logistik yang mendukung sistem perdagangan antar negara. Dalam laporan World Bank terkait kemudahan berbisnis, Indonesia menempati peringkat ke-116 dalam perdagangan antar negara melalui pelabuhan laut dan udara. Peringkat tersebut berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (47), Malaysia (49), Thailand (62), Vietnam (104), dan Filipina (113).Peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia dalam 10 tahun terakhir, juga mengalami peningkatan yaitu dari peringkat 75 pada tahun 2010 menjadi peringkat 46 pada tahun 2018. Walaupun meningkat secara global, namun peringkat Indonesia jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya mengalami penurunan, yaitu dari peringkat ke-4 pada tahun 2016 menjadi peringkat ke-5 pada tahun 2018 berada di bawah Singapura (7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41). Hal ini menunjukan bahwa kinerja sektor logistik Indonesia masih tertinggal jika

dibandingkan dengan 4 negara tersebut yang salah satunya mencakup aspek pelabuhan. Selain itu, biaya logistik Indonesia saat ini terbilang masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya yaitu mencapai 24 persen dari PDB (CNBC.com, 2020). Sementara itu, biaya logistik di beberapa negara ASEAN lainnya lebih rendah dari Indonesia, seperti Vietnam (20 persen), Thailand (15 persen), Malaysia dan Filipina (13 persen), serta Singapura (8 persen). Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa variabel, salah satunya yaitu terkait aspek pelabuhan yang merupakan bagian dari sistem logistik.Sebagai tempat keluar dan masuk barang, pelabuhan memegang peranan penting terhadap perekonomian melalui kegiatan perdagangan baik dari dalam maupun luar negeri. Namun yang terjadi selama ini kegiatan ekspor impor barang Indonesia masih melalui Singapura sehingga menambah waktu dan biaya logistik. Atas dasar tersebut, pemerintah berencana untuk mengembangkan Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu (JPUT) yang akan diproyeksikan mejadi pelabuhan hub internasional sekaligus meningkatkan efisiensi pelabuhan. Namun pembangunan JPUT tersebut tak terlepas dari berbagai tantangan, pada tulisan ini akan mengulas beberapa tantangan tersebut.

AbstrakUntuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya logistik nasional, pemerintah

berencana mengembangkan 7 pelabuhan menjadi Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu (JPUT), yang tersebar di seluruh Indonesia. Pelabuhan-pelabuhan ini kedepannya diharapkan dapat menjadi pelabuhan hub internasional, dan dapat mengurangi dominasi Singapura sebagai pelabuhan hub internasional. namun dalam pengembangan JPUT masih terdapat kendala-kendala yang harus dihadapi agar pelabuhan-pelabuhan ini siap untuk menjadi hub internasional di masa mendatang.

Jaringan Pelabuhan Utama Terpadu: Urgensi dan Tantangannya

oleh Damia Liana*)

Emilia Octavia**)

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

makroekonomi

Page 13: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

13Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

Dasar Hukum dan Urgensi JPUTDalam RPJMN 2014-2019, pemerintah telah merencanakan untuk mengembangkan pelabuhan Bitung dan pelabuhan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan hub internasional yang sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang direncanakan dalam 3 tahap. Namun di sisi lain, selama periode 2015-2019, ekspor dan impor Indonesia melalui pelabuhan cenderung meningkat (Gambar 1). Kegiatan ekspor impor tersebut mayoritas masih melalui pelabuhan Singapura sehingga berpengaruh pada waktu dan biaya logistik yang tinggi. Walaupun saat ini terdapat beberapa pelabuhan di Indonesia yang dapat melakukan direct call (ekspor impor langsung), namun jumlah dan rutenya masih terbatas, diantaranya melalui pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Makassar.Melihat hal tersebut, pemerintah berencana untuk mengembangkan JPUT dengan menambah jumlah pelabuhan hub internasional menjadi 7 pelabuhan utama yaitu Kuala Tanjung, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Kijing, Makassar, Bitung, serta Sorong. Penetapan pelabuhan-pelabuhan tersebut berdasarkan atas posisinya yang strategis sehingga mempermudah distribusi barang internasional. Rencana pembangunan JPUT ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan masuk ke dalam 41 proyek prioritas strategi nasional yang akan

dibangun pada tahun 2021. JPUT ini nantinya akan terintegrasi dengan kawasan industri, kereta api, jalan tol dan jalan raya serta diproyeksikan menjadi pelabuhan hub internasional. Adanya JPUT diharapkan dapat mengurangi dominasi Singapura sebagai pelabuhan hub internasional di masa mendatang. Melalui realisasi pengembangan JPUT, pemerintah berpendapat bahwa biaya logistik dapat turun hingga Rp765 triliun dalam kurun waktu 5 tahun atau turun sekitar 35-45 persen dari biaya logistik saat ini (CNNIndonesia, 2019). Adanya penurunan biaya logistik dari pelabuhan hub internasional juga pernah disebutkan dalam kajian mengenai Pelabuhan Bitung sebagai salah satu pelabuhan hub internasional. Dalam kajian tersebut disebutkan bahwa dengan adanya pelabuhan hub internasional Bitung, jarak tempuh ke pusat-pusat pelabuhan lainnya seperti Shanghai, Hongkong, Tokyo, Honolulu, Vancouver, Panama, Vladivostok dan San Francisco menjadi lebih dekat dibandingkan dari Jakarta atau Surabaya. Dengan demikian maka biaya ekspor ke negara tujuan dapat ditekan. Selain itu, pemotongan jarak yang signifikan juga akan menghemat dari sisi waktu.Tantangan JPUT dalam Menekan Biaya LogistikBeberapa permasalahan terkait pelabuhan sampai saat ini masih kerap terjadi sehingga menyebabkan biaya logistik yang tinggi. Apabila mengacu pada Cetak Biru Pengembangan Sislognas dan dari berbagai sumber yang ada, masalah terkait pelabuhan yang sampai saat ini terjadi mencakup infrastruktur dan fasilitas pendukungnya. Dengan melihat pada pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak sebagai pelabuhan yang paling banyak melakukan direct call serta perkembangan pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung yang sudah dimulai, maka terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan JPUT.Sebagai pelabuhan hub internasional, JPUT harus memiliki letak geografis yang strategis dan dapat menjadi pelabuhan terbuka untuk perdagangan

Gambar 1. Ekspor-Impor Melalui Pelabuhan Laut (juta Kg)

Sumber: Kemendag, diolah

Page 14: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

14 Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

internasional. Negara yang dapat dijadikan rujukan pelabuhan hub internasional yaitu Singapura. Dalam laporan One Hundred Ports yang dirilis oleh Llyod’s, kapasitas bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak masih berada di bawah pelabuhan Singapura dan negara ASEAN lainnya (Gambar 2). Kapasitas bongkar muat tersebut berpengaruh pada waktu lama kapal di pelabuhan dimana waktu lama kapal di pelabuhan Indonesia saat ini adalah 1,09 hari sedangkan di Singapura yang 0,77 hari (UNCTAD, 2019).Fasilitas di dermaga sebagai penunjang kelancaran lalu lintas kapal di pelabuhan juga mempengaruhi kapasitas bongkar muat pelabuhan. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia saat ini masih memiliki keterbatasan fasilitas dan peralatan sehingga belum mampu untuk menangani kapal besar generasi terbaru. Sedangkan fasilitas pelabuhan sangat penting dalam aktivitas bongkar muat barang. Kegagalan pelabuhan Batam dalam menjadi pelabuhan internasional menunjukkan bahwa fasilitas pelabuhan sangat berpengaruh dalam operasional pelabuhan (Detikfinance, 2019).Tantangan lainnya dari JPUT yaitu terkait muatan kapal. Dengan adanya beberapa pelabuhan hub internasional, maka muatan kapal akan tersebar di beberapa pelabuhan. Apabila pelabuhan yang didatangi kapal besar (mother vessel) tersebut tidak dapat memenuhi muatan balik (impor) yang nilai muatannya hampir sama dengan nilai ekspor, maka akan terjadi penambahan biaya ke dalam nilai barang yang diterima

(ekspor) yang timbul untuk menutupi biaya perjalanan balik. Sehingga diperlukan adanya perluasan dukungan dari hinterland1 diantaranya melalui pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK). Namun jika melihat yang sudah ada contohnya di KEK Sei Mangkei, belum banyak industri baru yang tumbuh sehingga kurang mendukung operasional pelabuhan Kuala Tanjung.Konektivitas menuju dan dari pelabuhan merupakan tantangan lainnya yang harus dihadapi pemerintah saat ini. Tidak adanya perbedaan antara jalan umum dan jalan untuk truk pengangkut barang ke pelabuhan, menyebabkan terjadinya kemacetan di sekitar area pelabuhan. Hal ini berbanding terbalik dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam yang memiliki akses jalan khusus truk untuk menuju ke pelabuhan (Bisnis.com, 2019). Kemacetan jalan menuju pelabuhan juga kerap dikeluhkan oleh pengguna jasa pelabuhan seperti yang terjadi di pelabuhan Tanjung Priok dan di pelabuhan Tanjung Perak (Bisnis.com, 2019; Jawapos, 2019). Keadaan yang demikian tentunya berdampak pada kinerja operasional pelabuhan sehingga diperlukan perbaikan akses dari dan menuju pelabuhan.Melihat pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung yang sudah berjalan, kebutuhan dana dan pembebasan lahan menjadi tantangan lainnya dalam pengembangan JPUT. Dari laporan tahunan Pelindo 1 dan Pelindo 42, terbatasnya dana investasi menjadi kendala dalam pengembangan pelabuhan. Meskipun sudah ada dana yang berasal dari modal perusahaan pengelola, penerbitan obligasi dan sekuritas aset, namun masih memerlukan suntikan dana dari sumber lainnya. Di samping itu, terkait lahan, pengelola masih harus menghadapi permasalahan hukum menyangkut ganti rugi atas lahan. Masyarakat sekitar proyek pelabuhan banyak mempermasalahkan mengenai ganti rugi lahan atas perluasan lahan pelabuhan. Tentunya, hal tersebut perlu menjadi perhatian khusus dalam pengembangan pelabuhan JPUT lainnya.

Gambar 2. Arus Peti Kemas (juta TEUs)

Sumber : One Hundred Ports, Llyod’s List dan PSA, diolah1) Hinterland merupakan daerah yang menjadi penyokong pelabuhan.2) Pelindo 1 merupakan pengelola pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelindo 4 merupakan pengelola pelabuhan Bitung.

Page 15: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

15Buletin APBN Vol. V. Ed. 11, Juni 2020

RekomendasiDalam mengurangi biaya logistik diperlukan pengembangan JPUT yang terintegrasi dengan baik antara industri dengan pelabuhan, maupun konektivitasnya. Terdapat beberapa rekomendasi dalam mengoptimalkan peran JPUT untuk menekan biaya logistik. Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pelabuhan mana saja dalam JPUT yang akan difungsikan sebagai pelabuhan hub internasional mengingat kemampuan tiap pelabuhan dalam memenuhi kapasitas muatan balik. Kedua, mendorong pengembangan dan aktivitas kawasan ekonomi khusus sebagai penyokong JPUT baik yang sudah maupun masih dalam tahap pembangunan. Ketiga, menyelaraskan antara pengembangan pelabuhan dengan konektivitas pelabuhan sehingga dapat meningkatkan akses dari dan ke pelabuhan.

Medanbisnisdaily. Industri Baru Tak Tumbuh, Pengelolaan Sejumlah Pelabuhan di Sumut Tidak Optimal. Diakses dari https://www.medanbisnisdaily.com/news/online/read/ 2020/01/31/99650/industri_baru_tak_tumbuh_pengelolaan_sejumlah_pelabuhan_di_sumut_tidak_optimal/ tanggal 19 Juni 2020Pradana, Rio Sandy. 2019. Tekan Biaya Logistik, Penyelengaraan Pelabuhan Harus Efisien. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190724/98/1127968/ tekan-biaya-logistik-penyelenggaraan-pelabuhan-harus-efisien tanggal 8 Juni 2020PSA. The World’s Port of Call. Diakses dari https://www.globalpsa.com/portsworldwide/ tanggal 10 Juni 2020Priyanti, Edi. 2016. Dwelling Time dan Problematikanya. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/09/18/odop0u396-dwelling-time-dan-problematikanya tanggal 19 Juni 2020PT. Pelabuhan Indonesia 1. Laporan Tahunan 2015-2018PT. Pelabuhan Indonesia 4. Laporan Tahunan 2015-2017UNCTAD. 2019. Review of Maritime Transport 2019.Zamroni, Salim et all. 2014. Pembangunan Bitung Sebagai Pelabuhan Hub Internasional. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 107-177.

Daftar Pustaka CNNIndonesia. 2019. Pelabuhan Terintegrasi, Biaya Logistik Bisa Hemat RP765 T. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190625141352-92-406245/pelabuhan-terintegrasi-biaya-logistik-bisa-hemat-rp765-t tanggal 10 Juni 2020CNBC.com. 2020. Jokowi Kesal Ongkos Logistik RI ‘Boros’ Sampai Rp 3.560 T. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200318121910-4-145769/jokowi-kesal-ongkos-logistik-ri-boros-sampai-rp-3560-t tanggal 10 Juni 2020Detikfinance. 2019. Batam Mau Saingi Singapura? JK: Pelabuhan Seperti Tahun 50-an. Diakses dari finance.detik.com/infrastruktur/d-4656700/batam-mau-saingi-singapura-jk-pelabuhan-seperti-tahun-50-an tanggal 10 Juni 2020Bisnis.com. 2020. Ini Daftar Proyek Prioritas yang akan dibangun hingga 2024. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20200224/9/1205151/ini-daftar-41-proyek-prioritas-yang-akan-dibangun-hingga-2024 tanggal 4 Juni 2020Lloyd’s List. 2020. One Hundred Ports 2019. Diakses dari https://lloydslist.maritimeintelligence.informa.com/one-hundred-container-ports-2019 tanggal 16 Juni 2020)Marpaung, Edward. 2014. Strategi Peningkatan Pelayanan Pelabuhan Dalam Mendukung Sistem Logistik Nasional. Warta Penelitian Perhubungan.

Page 16: Polemik Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Menilik ...berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Vol. V, Edisi 11, Juni 2020 Menilik Kemandirian Fiskal Daerah p. 8 ISO

“Siap Memberikan Dukungan Fungsi Anggaran Secara Profesional”

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635, Fax. 021-5715635