menilik budaya betawi di dki jakarta

34

Upload: phungliem

Post on 11-Jan-2017

250 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: menilik budaya betawi di dki jakarta
Page 2: menilik budaya betawi di dki jakarta

Salam hangat para pembaca Geospasial Edisi Desember 2015,

Tidak terasa sudah memasuki akhir tahun 2015, namun demikian tahun 2016 sudah siap untuk menghasilkan

karya yang bermanfaat. Terimakasih atas partisipasi dan dukungan semua pihak yang membuat majalah

Geospasial terus menghadirkan informasi dan karya dari civitas Departemen Geogra FMIPA UI.

Pada edisi majalah geopasial Desember 2015 menyajikan tulisan tentang kegiatan Ibu Dra. M.H. Dewi

Susilowati, MS dan Ibu Dra. Tuty Handayani, MS yang melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat di

Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Universitas Indonesia dan dosen-dosennya berkewajjiban

meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berbagai macam hal. Kegiatan ini adalah bagian dari Tridarma

perguruan tinggi selain dari riset dan pengajaran. Ibu Dewi mengembangkan pertanian perkotaan di Kota

depok bagi ibu PKK dan Ibu Tuty melakukan pelatihan ekowisata bahari di Tanjung Lesung, semua kegiatan ini

dibiayai oleh DRPM UI.

Majalah Geospasial juga berterimakasih kepada Prof Raldi Hendro Koestor secara khusus, yang selalu

memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk menulis artikel ilmiah sehingga majalah Geospasial himgga

saat ini konsisten mempublikasikan hasil karya ilmiah mahasiswa. Pak Raldi sebagai dosen dan alumni geogra.

Dosen geogra Dr. Triarko Nurlambang, MA juga memberikan informasi mengenai kegiatan kebencanaan.

Majalah ini bagian dari bentuk komunikasi yang baik antara alumni dan almamternya, sehingga setiap terbitan

selalu ada kontribusi dari alumni geogra baik S1 dan S2. Osmar Shaleh, menuliskan tentang Evaluasi

Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana, memberikan satu telaah mengenai pentingnya

evaluasi perencanaan spasial dalam ilmu geogra. Tidak lupa laporan kegiatan seminar yang diinformasikan

oleh Iqbal Putut Ash Shidiq, yang juga alumni dan asisten dosen geogra.

Akhir kata kami menghaturkan selamat membaca, dan sukses selalu dalam pekerjaan dan berkarya

membangun bangsa dan negara menjadi lebih baik lagi. Saran dan kritik selalu kami tunggu untuk perbaikan

edisi mendatang.

Salam Redaksi

DARI REDAKSI

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

TIM REDAKSI Penasehat - Dr. Rokhmatuloh, M.Eng Redaksi - Adi Wibowo, Iqbal Putut Ash Shidiq, Laju Gandharum, Ratri Candra, Weling Suseno, Rendy P, Ardiansyah Staf Ahli - Astrid Damayanti, Sugeng Wicahyadi, Supriatna, Triarko Nurlambang Alamat Redaksi - Departemen Geogra FMIPA UI, Kampus UI Depok Diterbitkan oleh: Forum Komunikasi Geogra Universitas Indonesia Redaksi menerima artikel/opini/pendapat dan saran dari pembaca, utamanya berkaitan dengan masalah keruangan.

Page 3: menilik budaya betawi di dki jakarta

DAFTAR ISI

Dari Redaksi Daftar Isi - 01

Nilai Budaya dan Sejarah: Menilik Budaya Betawi di DKI Jakarta Dalam Sejarah Masa Kini - 02 Perspektif Ekonomi Baru Perombak Paham (Geo) Ekonomi Ortodoks - 06

Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana - 12 Menuju Pengelolaan Ekowisata Bahari Oleh Masyarakat Lokal di Kampung Cipanon Tanjung Lesung - 15

Pengelolaan RTH Kota Shiraz Di Iran - 17

Laporan Indian Ocean Rim Association (IORA) on Preemptive Disaster Risk Management Measures to Ensuring Human Security - 26

Laporan Kegiatan International Conference on Science, Engineering, Built Environment and Social Science (ICSEBS) - 29

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 4: menilik budaya betawi di dki jakarta

KAMPUSIANA

R abu 2 Desember 2015 menjadi salah satu hari

yang penting bagi civitas akademika Geogra

Universitas Indonesia. Pada hari tersebut dil-

aksanakanlah Seminar Nilai Budaya dan Sejarah: Menilik

Budaya Betawi di DKI Jakarta dalam Sejarah Masa Kini.

Seminar ini terselenggara atas kerjasama antara

Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal

Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

Pusat Penelitian Geogra Terapan Universitas Indonesia,

dan Kelompok Studi Geogra Universitas Indonesia.

Tujuan dari kegiatan ini yaitu:

a. Memperluas dan memperdalam wawasan

mengenai kebudayaan Betawi bagi civitas

akademika secara khusus dan masyarakat secara

umum.

b. Membangun kesadaran peserta seminar untuk ikut

melesatarikan kebudayaan Betawi sesuai dengan

peran dan fungsinya (pemerintah, akademisi,

masyarakat betawi dan masyarakat umum).

Kegiatan ini dihadiri oleh civitas akademika Universitas

Indonesia dan universitas lain di Jakarta dan sekitarnya,

pakar/tokoh peneliti Kebudayaan Betawi, dan

komunitas Betawi di DKI Jakarta.

Untuk menghangatkan suasana, pada kesempatan kali

ini dihadirkan tiga narasumber yang akan berbicara

mengenai Budaya Betawi di DKI Jakarta. Narasumber

pertama adalah Dra. Tuty Handayani, MS (Dosen

Departemen Geogra FMIPA UI). Beliau membahas

mengenai Kebudayaan Betawi dalam Ruang dan Waktu.

Apabila kita membahas mengenai Kebudayaan Betawi

dalam Ruang dan Waktu maka tidak dapat dilepaskan

dari pendekatan geogra kebudayaan yaitu mengkaji

variasi ruang yang menggambarkan di mana

sekelompok manusia berada, bagaimana, mengapa, dan

kapan kebudayaan terbentuk. Kebudayaan memiliki

dimensi keragaman individual, ruang, dan waktu yang

pada akhirnya melahirkan keragaman budaya.

Kebudayaan berkembang bukan pada individu-individu

yang terisolasi, tetapi pada sekelompok manusia yang

mendiami tempat tertentu. Pada kegiatan ini akan

dibahas budaya Betawi di tiga wilayah yaitu di wilayah

pesisir (Penjaringan - Sunda Kelapa), wilayah pusat kota

(Tanah Abang), dan wilayah pinggiran (Condet).

Di pesisir Sunda Kelapa 90% merupakan penduduk

pendatang dan Bugis memiliki proporsi paling besar.

Dahulu wilayah Penjaringan merupakan pelabuhan

sehingga menarik para perantau yang juga seorang

pelaut untuk bermukim. Sekarang ini, mata pencaharian

para pendatang tersebut banyak mengalami perubahan

menjadi buruh pabrik ataupun pendagang. Eksistensi

budaya Betawi di Kampung Luar Batang, Kel

Penjaringan Kec. Penjaringan, Jakarta Utara telah

tergeser dengan budaya hasil akulturasi dengan Bugis-

Makassar, Ambon, Jawa, dan nilai-nilai Islam. Semakin

mendominasinya masyarakat pendatang di wilayah

Penjaringan, masyarakat asli Betawi banyak memilih

untuk pindah dan cenderung bergerak semakin ke

tengah Kota Jakarta. Bentuk budaya yang masih

tertinggal adalah logat bahasa.

Sebagian besar penduduk Betawi Kebon Melati telah

berpindah ke wilayah selatan (Depok, Bogor, dan

Parung). Wilayah yang masih menjadi pusat penduduk

adalah Kebon Kacang. Penduduk pendatang mayoritas

di Kebon Melati adalah Madura, Padang, dan Jawa.

NILAI BUDAYA DAN SEJARAH:

MENILIK BUDAYA BETAWI DI DKI JAKARTA DALAM SEJARAH MASA KINI

Oleh: Nurul Sri Rahatiningtyas

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Gambar 1. Para Narasumber dan Pengisi Acara Seminar

Page 5: menilik budaya betawi di dki jakarta

Pekerjaan masyarakat Betawi di Kebon Melati adalah

berdagang, sehingga interaksi dengan penduduk

pendatang yang sebagian memiliki profesi sama dapat

saling menguntungkan. Bekerja sebagai petani tidak

dimungkinkan lagi di Kebon Melati.

Di wilayah pinggiran (Condet), banyak bercampur

dengan orang Arab, Sunda, dan Jawa. Di wilayah ini,

masih kuat tradisi kekeluargaannya, masih melakukan

pernikahan dengan kerabat atau tetangga terdekat, dan

tinggal berdekatan. Karena keterbatasan lahan sudah

banyak yang meninggalkan pertanian, tetapi masih

bekerja yang berkaitan dengan pertanian. Kesenian

Betawi masih dijadikan sebagai hiburan saat ada

perhelatan. Adat petasan pada saat acara penting masih

berjalan. Pelajaran agama masih dianggap lebih penting

dari pada pendidikan lainnya.

Berdasakan hasil pendokumentasian tersebut maka

dapat disimpulkan bahwa ruang budaya dari tiga lokasi

yang dikaji adalah lokasi konsentrasi penduduk Betawi

pada masa lalu, namun semuanya mengalami

perubahan. Semakin kearah pantai konsentrasi

penduduk Betawi semakin kecil. Penduduk etnis

pendatang dengan budaya yang dibawa berperan

dalam terjadinya perubahan nilai budaya. Penduduk

Betawi sendiri yang harus mempertahankan budayanya

agar tidak hilang dalam masyarakat yang baru.

Sedangkan narasumber kedua Siswantari, M.Hum (Pakar

Kebudayaan Betawi Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Indonesia) membahas mengenai Budaya Betawi

menghadapi tantangan. Dilihat dari sejarahnya, Etnis

Betawi merupakan percampuran berbagai etnis yang

datang ke Batavia, yang membentuk etnis baru yang

disebut dengan etnis Betawi. Asal usul pembentukan

etnis Betawi tersebut menurut Remco Raben dapat

ditelusuri dari abad 17. Pada abad 17 ini, Jan

Pieterszoon Coen merebut Jayakarta, dan

menghancurkan kompleks kabupaten yang terletak di

sebelah barat Ciliwung, hampir seluruh penduduknya

meninggalkan wilayah itu dan mengungsi ke Banten

atau ke kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Jayakarta

merupakan nama yang diberikan Fatahillah untuk

menganti nama Sunda Kelapa, setelah Ia berhasil

merebut wilayah tersebut dari tangan Portugis pada

tahun 1527. Selanjutnya Coen mendirikan kota Batavia

pada tahun 1619. Untuk mengisi dan membangun kota

ini, Coen mendatangkan penduduk dari berbagai

kawasan Nusantara, sehingga Batavia dihuni oleh para

pendatang dan disebut sebagai “City Of Migrants”.

Batavia menjadi kota multietnik yang menurut Remco

Raben terdiri dari orang Eropa, Mestizo, Mardijker,

Tiongkok, Moor, Gentif, Melayu, Ambon, Banda, Bugis,

Makasar, Mandar, Bima, Sumbawa, Timor, Bali, dan Jawa.

Selain itu juga dihuni kelompok budak dari berbagai

macam suku. Kelompok-kelompok etnik yang

didatangkan VOC sejak pertengahan abad 17 tersebut

diberi tempat hunian di Ommelanden, maka

terbentuklah kampung-kampung di wilayah

Ommelanden. Pada umumnya orang Bali, Bugis,

Makasar, dan Jawa mendapat tempat di sepanjang

kanal-kanal barat hingga Angke. Orang Ambon

ditempatkan di bagian Timur kota, tepatnya di kali

Marunda.

Pemisahan kawasan tempat tinggal berdasarkan etnis,

ternyata tidak berlangsung lama. Mereka yang tinggal di

kawasan tersebut segera cenderung meninggalkan

kampung-kampung yang telah ditetapkan baginya dan

mencari keberuntungan di kampung-kampung lain.

Selain itu terjadi pula kawin campur antar etnis yang

membuat terjadinya peleburan antar etnis. Menurut

Raben, sudah sejak abad 17 nampak bahwa perbauran

berbagai etnik telah terjadi, dan proses itu semakin

meningkat dalam abad 18. Maka dapat dikatakan bahwa

etnis Betawi telah muncul sejak abad 18. Berdasarkan

kawasan tempat tinggalnya etnis Betawi bisa

dikelompokkan kedalam Betawi Tengah, Betawi Pingir,

Betawi Udik, dan Betawi Pesisir.

Betawi Tengah untuk menyebut etnis Betawi yang

berada pada wilayah Grogol, Jelambar, daerah Kota,

Mangga Dua, Sawah Besar, Taman Sari, Gambir,

Kemayoran, Senen, Jatinegara, Tanah Abang, Cikini, dan

Petamburan. Betawi Pingir meliputi wilayah

Pulogadung sampai Tambun, Pesing sampai

Tanggerang, Kebayoran, Cilandak, Pangkalan Jati,

Cinere, Ciputat, Pasar Minggu, Pasar Rebo, Meruya,

Sukabumi Ilir/Udik, Joglo, dan Pengumben. Betawi Udik

meliputi wilayah Tambun ke Timur sampai dengan

Cikarang, perbatasan Tanggerang sampai menjelang

Balaraja, daerah perbatasan Ciputat sampai dengan

Parung, dan perbatasan Limo, Lenteng Agung, Depok

dan Bojong Gede. Betawi Pesisir meliputi wilayah Teluk

Naga, Kampung Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda

Kelapa, Marunda Bekasi, dan Kepulauan Seribu.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 6: menilik budaya betawi di dki jakarta

Di tahun 1930 populasi etnis Betawi

merupakan penduduk mayoritas

dengan mencapai 64,3% dari

keseluruhan populasi di Batavia, dan

pada sensus penduduk tahun 2000

etnis Betawi menduduki jumlah

27,65% dari keseluruhan penduduk

Jakarta, ini merupakan posisi kedua

setelah etnis Jawa yang mencapai

jumlah 35,16% dari penduduk

Jakarta. Sebagai penduduk asli kota

Jakarta, posisi etnis Betawi di kota

Jakarta menduduki posisi

terpingirkan. Pembangunan kota

Jakarta telah menyebabkan etnis ini

tergusur ke wilayah pingiran,

sebagian besar kampung-kampung

tempat tinggal mereka menjadi

hilang. Pembangunan Istora

Senayan yang dibangun pada tahun

1960-an misalnya, telah membuat

beberapa buah kampung di wilayah

tersebut hilang. Istora Senayan

menempati lahan seluas 240 hektar

yang dahulunya merupakan 4 desa,

yaitu desa Senayan, Petunduan,

Kebon Kelapa, dan sebagian

Bendungan Hilir. Dalam

pembangunan Istora Senayan

tersebut setidaknya tercatat 8.563

rumah harus digusur. Penduduk

desa tersebut dipindahkan ke

wilayah Tebet, tetapi kemudian

lebih banyak memilih untuk pindah

ke pingir kota Jakarta seperti

Kebayoran Lama, Cipulir dan

Ciputat. Menyingkirnya etnis Betawi

ke wilayah pingiran kota terus

berlangsung hingga hari ini,

pembuatan gedung, dan jalan, serta

fasilitas kota lainnya, membuat etnis

ini mengalah untuk menyingkir ke

pingiran kota. Hal tersebut

membuat kampung-kampung

Betawi di wilayah perkotaan

semakin menipis bahkan

menghilang. Komunitas ini semakin

sulit ditemukan di kota Jakarta.

Pergeseran pemukiman etnis Betawi

tampak pada sensus penduduk

tahun 2000, dimana kecamatan

dengan penduduk yang paling

banyak didiami oleh etnis ini berada

di wilayah pingiran kota Jakarta

seperti Srengseng Sawah dan

Lenteng Agung. Dari data tersebut

terlihat terjadi pergeseran wilayah

pemukiman etnis Betawi, etnis ini

makin terpingirkan dalam kawasan

tempat tinggal. Terdesaknya etnis

Betawi kewilayah pinggiran kota

menunjukkan bahwa etnis ini tidak

menjadi etnis dominan di kota

Jakarta. Perkembangan ini tentu

membawa tantangan pada

masyarakat Betawi. Tantangan apa

yang terjadi pada masyarakat

Betawi terutama dalam bidang

kebudayaan setelah kampung-

kampung mereka menghilang

merupakan fokus materi kali ini.

Tantangan yang dihadapi Budaya

Betawi di tengah Kota Jakarta

diantaranya :

1. Kesenian tradisional Betawi

yang keberadaannya semakin

memudar. Semakin sedikit

peminat budaya Betawi di

wilayah perkotaan membawa

konsekwensi semakin

sedikitnya keberadaaan grup-

grup kesenian tradisional di

wilayah tersebut.

2. Kehidupan kesenian tradisional

Betawi, memang selalu

mengalami pasang surut. Ada

saatnya kesenian tradisional

mengalami kejayaan di tengah

masyarakat pendukungnya

sehingga benar-benar menyatu

dengan seluruh kehidupan

masyarakat. Berbagai grup

kesenian ini tumbuh dan

berkembang dimana-mana.

Kehadiran kesenian tersebut

tidak saja menjadi hiburan dan

tontonan utama bagi

masyarakat setempat, tetapi

sekaligus ikut menentukan

corak hidup dan perilaku

masyarakatnya.

3. Memudarnya tradisi Andilan.

Semakin memudarnya

kampung-kampung Betawi,

membawa tantangan pula pada

tradisi yang melingkupi

masyarakat tersebut salah satu

tradisi yang telah turun

temurun dijalankan masyarakat

Betawi dan tradisi tersebut

mengalami pemudaran bahkan

saat ini semakin surut dilakukan

adalah tradisi andilan. Andilan

merupakan semangat gotong

royong untuk membantu sanak

saudara atau para tetangga

yang sedang menghadapi

hajatan tertentu, seperti

pernikahan, sunatan, atau

menghadapi hari-hari besar

seperti Idul Fitri. Masyarakat

Betawi bergotong royong

membantu memberikan uang

atau dalam bentuk benda

kepada yang mempunyai hajat.

Andilan yang popular

berkembang dimasyarakat

Betawi adalah andilan kerbau

dan andilan membuat dodol

untuk menghadapi hari raya

Idul Fitri. Masyarakat Betawi

biasa melakukan tradisi andilan

kerbau. Tradisi ini dilakukan

beberapa waktu sebelum hari

raya Idul Fitri. Kerbau yang

dibeli dari hasil swadaya

masyarakat asli Betawi inipun

kemudian dipersiapkan untuk

disembelih. Diperlukan keahlian

khusus untuk bias

menyembelih kerbau, terutama

teknik menjatuhkan kerbau

sebelum disembelih.

4. Tradisi lain yang semakin

memudar pada mayarakat

Betawi ketika menjelah hari raya

Idul Fitri atau lebaran adalah

tradisi andilan membuat dodol.

Para warga bergotong royong

saling membantu untuk

membuat dodol. Dodol

merupakan makanan yang

sangat diminati pada saat Idul

Fitri, makanan ini merupakan

makanan elit, karena

pembuatannya yang lama dan

unik, juga memerlukan biaya

tinggi untuk membuat

makanan ini.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 7: menilik budaya betawi di dki jakarta

Pembuatan dodol dilakukan oleh warga dengan cara

andilan atau patungan. Seminggu sebelum lebaran

aktivitas membuat dodol sudah terdengar.

Pembuatan dodol memakan waktu cukup lama,

yaitu dua hari dua malam. Pembuatan dodol

tersebut dilakukan dengan cara bergotong royong.

Pertama-tama adalah menumbuk beras, memarut

kelapa untuk santan, membuat minyak kelapa, dan

membuat dodol.

Narasumber terakhir adalah Pak Agus Iskandar yang

membahas mengenai kondisi Budaya Betawi khususnya

di Tanah Abang. Sebelum Pak Agus menceritakan

tentang kondisi Budata Betawi di Tanah Abang, seluruh

hadirin disuguhi atrakasi Palang Pintu sebagai bagian

dari Budaya Betawi dalam menerima tamu. Dalam rangka

menjaga Budaya Betawi maka Beliau membuat Si

Kumbang (Silahturahim Kumpul Bareng Anak Tenabang).

Si Kumbang terdiri dari kumpulan perguruan silat Betawi

dan sanggar lenong di Jakarta. Kelompok Si Kumbang

lahir dari keprihatinan masyarakat Betawi sendiri atas

semakin pudarnya Budaya Betawi di Jakarta. Si Kumbang

memayungi 21 perguruan silat di Jakarta. Beberapa

aktivitas yang dilakukan oleh Si Kumbang adalah:

1. Meminta Budaya Betawi masuk ke dalam kurikulum

pendidikan di Jakarta.

2. Ikut mengembangkan konsep membangun tanpa

menggusur. Masyarakat Tanah Abang jangan

digusur ke pinggiran. Silahkan rapihkan wilayah

Tanah Abang tapi masyarakat Tanah Abang harus

tetap di Tanah Abang.

3. Ikut mengembangkan konsep hunian pasar

masyarakat. Dengan ide mempertahankan pasar

tradisional di Tanah Abang dengan tanpa

menggusur masyarakat asli.

4. Eksistensi Budaya Betawi di Tanah Abang sangat

tinggi. Banyak orang-orang di bidang seni yang

berasal dari Tanah Abang.

Dalam menghadapi tantangan lunturnya Budaya Betawi,

maka lestarikanlah budaya Betawi mulai dari diri sendiri

selama kita masih kuat. Karena kalau tidak kita sendiri

yang lakukan maka siapa lagi. Terima kasih masyarakat

Betawi. Karena dikau rela, maka di sini kami ada.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Gambar 2. Salah Satu Bagian dari Atraksi Palang Pintu

Gambar 3. Para Narasumber Seminar

Gambar 4. Para Narasumber dan Peserta Seminar

Page 8: menilik budaya betawi di dki jakarta

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

ULASAN

PENDAHULUAN

Aktivitas kehidupan manusia tidak terlepas dari interaksi

sosial dan ekonomi dengan manusia lain mulai dari

bentuk hubungan ekonomi yang paling sederhana yaitu

transaksi jual beli antara dua orang hingga hubungan

ekonomi dan transaksi perdagangan pada tingkat lokal,

regional, nasional dan seterusnya. Perkembangan

populasi dan kebutuhan hidup manusia, peradaban dan

hubungan antar manusia membawa konsekuensi

kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan bermula

dari yang konvensional dan bersifat lokal lambat laun

berkembang menjadi kegiatan ekonomi yang skalanya

lebih luas dengan hubungan dalam suatu sistem yang

makin kompleks lagi (regional dan global).

Sistem ekonomi merupakan suatu kesatuan yang

dinamis, dimana sifat dasar dan akibat dari perubahan-

perubahan yang terjadi di dalam sistem menjadi sangat

penting. Perubahan-perubahan tersebut

mempengaruhi kehidupan individu dan akhirnya

terhadap tatanan sosial dan politik suatu masyarakat

dan negara (Hoover and Giarratani, 1971). Sebagai

makhluk sosial maka adalah sesuatu yang kodrati

bahwa manusia pasti bereaksi terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi. Bagi sebagian orang mungkin

sangat pasif reaksinya, ekonomi berubah dan mereka

bagaimanapun juga menyadari bahwa lingkungan

sekelilingnya menjadi berbeda maka memaksanya

untuk melakukan penyesuaian terhadap realitas baru

yang terjadi. Bagi sebagian yang lain, perubahan dalam

sistem ekonomi menjadikan sebuah tantangan

sehingga mereka berupaya mencari dan memahami

faktor-faktor penyebab perubahan tersebut dan dengan

pengetahuannya berusaha melakukan penyesuaian

perilaku dan perubahan dalam sistem ekonomi, politik

dan sosial di lingkungan mereka tinggal dan bekerja.

Dalam kaitan pembangunan ekonomi maka kemudian

pada pertengahan tahun 1950-an muncul suatu cabang

ilmu ekonomi baru yaitu Ilmu Ekonomi Regional yang

karena kekhususannya menjadikan ilmu ini berkembang

menjadi bidang spesialisasi baru sebagaimana cabang

ilmu ekonomi lainnya semisal ekonomi kependudukan,

ekonometrika, dan sebagainya. Sama halnya dengan

ilmu-ilmu lain, ilmu ekonomi regional muncul sebagai

suatu kritik dan sekaligus memberi dimensi baru pada

analisis ekonomi dalam rangka melengkapi dan

mengembangkan pemikiran ekonomi tradisional

sehingga dapat memecahkan masalah-masalah sosial

ekonomi yang terus berubah sepanjang zaman.

Pada perkembangan selanjutnya terdapat dua

kelompok ilmu yang lazim mengunakan ilmu ekonomi

regional sebagai piranti analisanya. Kelompok pertama

menamakan dirinya dengan Regional Science yang

lebih banyak menekankan analisanya pada aspek-aspek

sosial ekonomi dan geogra. Sedangkan kelompok ilmu

kedua menamakan dirinya sebagai Regional Planning

yang lebih menekankan analisanya pada aspek-aspek

tata ruang, land-use, dan perencanaan.

Paradigma yang muncul dalam analisis spasial adalah

mengkombinasikan pendekatan ilmu ekonomi dan

geogra, atau disebut geogra ekonomi. Ilmu ekonomi

arus utama (mainstream economics) memang

cenderung mengabaikan dimensi “ruang” atau “spasial”.

Ini terlihat dari inti analisis ekonomi konvensional yang

cenderung menjawab pertanyaan ekonomi seputar

what to produce (aktivitas konsumsi), how to produce

(aktivitas produksi), dan for whom to produce (aktivitas

distribusi). Aspek-aspek spasial tetap merupakan blind

spot bagi mayoritas ekonom karena ketidakmampuan

para ekonom untuk menciptakan model yang

menjelaskan berbagai macam aspek lokasi industri

(Krugman, 1995). Sementara geogra merupakan studi

mengenai pola spasial di atas permukaan bumi, yang

menjawab pertanyaan where (di mana aktivitas manusia

berada) dan why (mengapa lokasi berada di situ). Aspek

“spasial” menjadi pusat perhatian karena ilmu ekonomi

arus utama cenderung tidak ”menghiraukan” faktor-

faktor keruangan/aspasial (spaceless).

PERSPEKTIF EKONOMI BARU PEROMBAK PAHAM (GEO) EKONOMI ORTODOKS

Oleh: Riris Adriyanto ([email protected])

Page 9: menilik budaya betawi di dki jakarta

Perspektif geogra secara eksplisit

menjadi pusat perhatian utama

dengan digunakannya Sistem

Informasi Geogra dan menjawab

pertanyaan sentral dalam ekonomi

regional, yaitu “di mana” (where)

lokasi industri berada dan

“mengapa” (why) terjadi konsentrasi

geogras industri manufaktur

berorientasi ekspor.

Tulisan ini mencoba menyarikan

perkembangan dan dinamika

ekonomi berbasis keruangan

berdasarkan berbagai referensi

ilmiah yang diperoleh terkait

Regional Science, Economic

Geography hingga ’New Economic

Geography’.

ILMU WILAYAH

Arus utama (mainstream)

pemahaman para ekonom (ekonom

ortodoks) sejak abad 19 hingga

pertengahan abad 20 hanya

menjelaskan bahwa dalam ekonomi

pasar merupakan mekanisme

terbaik untuk mencapai esiensi

ekonomi dimana di dalamnya

berlaku hukum-hukum dan prinsip-

prinsip yang dapat dipelajari

sebagai sebuah ilmu pengetahuan

(economic science) yang utamanya

membahas perilaku ekonomi

dengan model-model matematis

yang diyakini berlaku secara

universal (Coe et. al, 2007).

Berangkat dari ketidakpuasan

terhadap mainstream yang dianut

ekonom ortodoks tersebut dalam

menjawab berbagai persoalan

perbedaan tingkat ekonomi di

wilayah-wilayah yang berbeda, pada

tahun 1940-an Walter Isard seorang

ekonom pembaharu memelopori

suatu cabang ilmu baru yaitu

Regional Science. Berawal

terinspirasi oleh penelitian bidang

sosial yang kemudian

diterapkannya dalam mengkaji

hubungan faktor-faktor seperti

geogra, perpindahan penduduk

(migrasi) dan penggunaan lahan

(land-use) pada aktivitas ekonomi

lokal dan regional. Profesor Isard

bersama para ekonom lainnya yang

sepaham mencari cara yang lebih

baik dalam mengukur dan

memahami aktivitas ekonomi pada

skala yang lebih kecil dari lingkup

nasional. Walter Isard (1956) dalam

disertasinya berusaha memasukkan

unsur ruang ke dalam analisa yang

bersifat parsial maupun dalam

kerangka analisa keseimbangan

umum (General Equilibrium

Framework). Ide-ide Walter Isard

banyak dipengaruhi oleh paham

ekonom Jerman (Von Thunen)

pencetus teori lokasi yang

berprinsip bahwa kajian geogras

tempat merupakan faktor utama

dalam pembangunan ekonomi,

Isard memulai pendekatan lintas-

ilmu dalam menganalisa ekonomi

lokal dan regional.

Sebagai sebuah cabang ilmu baru

Regional Science merupakan ilmu

yang mempelajari masalah-masalah

sosio-ekonomi dengan

menggunakan dimensi regional

atau spasial dengan bantuan

berbagai kombinasi metode riset

yang analitis dan empiris. Secara

khusus seorang spesialis Regional

Science akan mempelajari faktor-

faktor penyebab penempatan suatu

jenis industri tertentu di lokasi atau

tempat tertentu, bagaimana ada

dan tidaknya sebuah perusahaan di

suatu tempat berpengaruh

terhadap wilayah tersebut, atau

bagaimana migrasi yang terjadi

secara internal dapat

mempengaruhi aktivitas ekonomi

regional. Mulailah analisa ekonomi

regional muncul sebagai suatu

cabang ilmu sendiri yang

menekankan pembahasannya pada

pengaruh aspek keruangan dalam

analisa dan pengambilan keputusan

ekonomi.

Ilmu Ekonomi Regional adalah

cabang Regional Science yang

muncul karena dipicu oleh adanya

kelemahan Ilmu Ekonomi

Tradisional yang pada umumnya

mengabaikan dimensi ruang (space)

dalam analisanya. Akibatnya analisa

ilmu ekonomi tradisonal tersebut

menjadi kurang realistis karena

bagaimanapun adanya unsur ruang

dan jarak adalah jelas dan nyata

serta memengaruhi kegiatan sosial-

ekonomi. Dan oleh karenanya aspek

ruang dan jarak dimasukkan dalam

analisa Ekonomi Regional untuk

memberikan analisa yang lebih

realistis dan operasional.

Dalam ilmu ekonomi tradisional ada

3 pertanyaan mendasar yang perlu

dijawab, yaitu: ‘what’, ‘how’ dan

‘who’. Masalah pertama adalah

menyangkut dengan apa yang akan

diproduksi (‘what’), dimana muncul

permasalahan produksi yang

merupakan bagian penting dalam

ilmu ekonomi.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Ilmu Ekonomi Regional muncul sebagai suatu kritik dan sekaligus memberi dimensi baru pada analisis ekonomi

Page 10: menilik budaya betawi di dki jakarta

Permasalahan kedua adalah menyangkut pertanyaan

bagaimana barang tersebut diproduksi (‘how’), dimana

akan muncul permasalahan penggunaan dan kombinasi

input yang merupakan faktor utama yang mendorong

kegiatan produksi, termasuk di dalamnya adalah

teknologi produksi apa yang sebaiknya digunakan

apakah padat karya (labor intensive) atau padat modal

(capital intensive). Pertanyaan ketiga adalah siapa yang

akan menggunakan hasil produksi (‘who’) yang akan

melibatkan aspek alokasi dan pemasaran hasil produksi.

Selanjutnya dalam ilmu ekonomi modern, timbul

pertanyaan baru yaitu kapan (‘when’) sebaiknya barang

tersebut diproduksi, sehingga mendorong adanya

analisa ekonomi yang bersifat dinamis (dynamic

economic analysis) dengan mempertimbangkan unsur

waktu dalam analisa perilaku ekonomi.

Pertanyaan riil namun belum dapat dijawab ilmu

ekonomi tradisional adalah dimana (‘where’) kegiatan

produksi itu harus dilakukan dan untuk memenuhi

permintaan konsumen dimana? Pertanyaan ini menjadi

sangat penting maknanya karena kondisi geogras dan

tingkat upah buruh/tenaga kerja pada umumnya sangat

bervariasi antar-wilayah, sehingga pemilihan lokasi juga

sangat menentukan tingkat esiensi kegiatan produksi

dan distribusinya. Untuk menjawab persoalan ini maka

para ahli Ekonomi Regional mencoba memasukkan

unsur lokasi dan tata ruang ke dalam analisa ekonomi.

Pada gilirannya hal ini mendorong timbulnya analisa

Ekonomi Regional yang memfokuskan pembahasannya

pada pengaruh lokasi dan tata ruang dalam

pengambilan keputusan bidang ekonomi dan bisnis.

Tak dapat dipungkiri bahwa ruang (space) adalah kondisi

nyata yang berlaku di semua negara. Terlebih pada

negara yang wilayahnya sangat luas dan bervariasi

kondisi geograsnya, aspek ruang menjadi sangat

penting dalam analisa ekonomi. Aspek ruang muncul

dalam analisa ekonomi regional dalam berbagai bentuk.

Dalam analisa yang bersifat mikro, unsur ruang muncul

dalam bentuk analisa lokasi perusahaan (unit produksi),

luas areal pasar, kompetisi antar tempat (spatial

competition) dan penentuan harga antar tempat (spatial

pricing). Adapun dalam bentuk analisa yang bersifat

makro, unsur ruang ditampilkan dalam bentuk analisa

konsentrasi industri, mobilitas investasi dan faktor

produksi antar daerah, pertumbuhan ekonomi regional

(regional growth), ketimpangan pembangunan antar

wilayah (regional disparity) dan analisa pusat

pertumbuhan (Growth Poles). Meski untuk aspek

tertentu sebenarnya wilayah juga dianalisa dalam Ilmu

Ekonomi, tetapi kerangka analisa maupun kesimpulan

yang dihasilkan adalah sangat berbeda. Oleh karenanya,

dewasa ini Ilmu Ekonomi Regional telah dianggap

sebagai ilmu tersendiri dan merupakan cabang dari ilmu

dari ilmu ekonomi secara keseluruhan (Syafrizal, 2008).

Agar dapat menghasilkan analisa yang konkrit dan

terukur maka unsur ruang dapat ditampilkan dalam

variabel ongkos angkut yang sangat dipengaruhi oleh

jarak yang ditempuh. Sedangkan jarak yang dianalisa

umumnya dari lokasi bahan baku ke lokasi pabrik dan

selanjutnya ke pasar, maupun dari daerah pemukiman ke

pasar atau tempat kerja. Ongkos angkut tersebut dapat

memengaruhi biaya produksi maupun harga jual hasil

produksi di pasar. Karena itu variabel ongkos angkut

akan memengaruhi penentuan produksi optimal

(producer equilibrium) maupun daya saing produk di

pasar (spatial competition). Lokasi geogras dapat

berdampak terhadap pendapatan per-kapita dengan

berbagai cara yakni melalui pengaruhnya akan arus

barang, faktor-faktor produksi dan keinginan atau

pemikiran (Redding and Venables, 2001).

Dalam konteks ini Hoover and Giarratani (1971)

mengemukakan bahwa Ekonomi Regional mewakili

suatu kerangka dimana di dalamnya dapat menjelaskan

karakter spasial dari suatu sistem ekonomi. Ekonomi

Regional memungkinkan kita mengidentikasi faktor-

faktor yang mengendalikan distribusi kegiatan ekonomi

pada suatu ruang dan mengenali distribusi perubahan-

perubahan yang ada dan dampaknya terhadap individu

dan masyarakat. Kajian Ekonomi Regional atau Ekonomi

Spasial dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan: what,

where, why, dan so what?. ’What’ berkaitan dengan

setiap kegiatan ekonomi, tidak hanya pendirian suatu

proses produksi atau dalam arti sempit suatu

perusahaan, peternakan atau pertambangan, tetapi juga

berbagai jenis bisnis lainnya: rumah tangga, serta

lembaga-lembaga swasta dan publik. Adapun ’where’

merujuk pada lokasi dalam kaitannya dengan kegiatan

ekonomi lain, dimana menjawab berbagai persoalan

tentang kedekatan, konsentrasi, dispersi, dan kemiripan

atau perbedaan pola-pola spasial yang dapat dibahas

baik dalam lingkup luas antar region atau mikrogeogra,

dalam pengertian zona, lingkungan dan tempat.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 11: menilik budaya betawi di dki jakarta

Sedangkan ’why’ dan ’so what?’

merujuk pada interpretasi dalam

batas-batas elastis kompetensi dan

keberanian ekonomnya itu sendiri

(ibid.).

Anselin (1992) berpendapat bahwa

perhatian mengenai lokasi, interaksi

spasial, struktur spasial dan proses

spasial merupakan inti dari kajian

Regional Science. Berbagai temuan

teoritis yang ditemukan dalam

disiplin ilmu ini telah membawanya

diterima dalam kajian-kajian teori

ekonomi mikro dan ekonomi makro.

Sebaliknya dalam kajian

Ekonometrik dan Statistik pengaruh

-pengaruh spasial (autokorelasi dan

heterogenitas spasial) senantiasa

diabaikan.

Prinsip-prinsip Regional Science

sangat berguna dalam penyusunan

perencanaan pembangunan suatu

wilayah atau negara. Adams et al.,

(2006) dalam publikasinya Regional

Development and Spatial Planning

in an Enlarged European Union,

menekankan pentingnya

pendekatan spasial dalam

pembangunan regional dan

penyusunan kebijakan regional

dalam mencapai pembangunan

yang berkelanjutan.

GEO-EKONOMI

Awal Kemunculan Economic

Geography

Aoyama et.al. (2011)

mengungkapkan ada beberapa

versi pendapat mengenai awal

kemunculan dan evolusi economic

geography. Salah satu diantaranya

adalah Barnes (2000) yang

menyatakan bahwa bermula dari

jaman kolinial Inggris di berbagai

belahan dunia, dimana saat itu

dirasakan perlu kajian geogra

komersial untuk memahami lebih

baik dan meningkatkan rute

perdagangan dan moda

transportasinya. Pendapat yang lain

merujuk pada kemunculan Teori

Lokasi oleh Heinrich Von Thünen

and Alfred Weber (yang kemudian

disusul oleh Walter Christaller dan

August Lösch), sebagai akar

economic geography. Semuanya

bertujuan untuk mengembangkan

pola-pola lokasi yang optimal untuk

mencapai esiensi fungsi-fungsi

peternakan, pabrik dan kota-kota

dengan modal dasar lokasi dan

aksesibilitasnya (biaya transportasi,

dan lain-lain). Pemodelan lokasi

selanjutnya berkembang di

kalangan ekonom Amerika Utara

dan kemudian menjadi pondasi

penting dari Regional Science yang

dipelopori oleh Walter Isard.

Kemudian Alfred Marshall, seorang

ekonom Inggris terkemuka di era

awal abad 20 juga dianggap

berkontribusi terhadap awal

perkembangan pandangan spasial

dalam kajian ekonominya. Ia

merupakan salah satu dari ekonom

yang menyuarakan fenomena

pengelompokan/aglomerasi

industri dan pentingnya ekonomi

skala yaitu pembagian kantong-

kantong tenaga kerja/buruh dan

infrastruktur dalam industrialisasi.

Studi tentang aglomerasi/cluster

(pengelompokan) merupakan fokus

dari kebanyakan kajian economic

geography kontemporer, meskipun

saat ini mulai bergeser dari penge-

lompokan ekonomi kepada penge-

lompokan berdimensi sosial,

kultural dan institusional (ibid.).

Economic Geography adalah

cabang ilmu yang menggunakan

pendekatan geogra untuk

mempelajari ekonomi (Sokol, 2011).

Ia merupakan suatu cabang ilmu

yang kini berkembang pesat, dan

dari namanya menyiratkan bahwa

Economic Geography berada di

antara atau setidaknya overlap dari

dua bidang ilmu yaitu Geogra dan

Ekonomi. Hal ini bisa benar dalam

beberapa hal, dan kenyataannya

seringkali geographer dan ekonom

sama-sama menggunakan istilah

‘economic geography’ namun

demikian yang dimaksudkan oleh

keduanya memiliki pengertian

berbeda. Tentu saja sangat penting

digarisbawahi bahwa pendekatan

yang digunakan oleh geographer

untuk mengkaji masalah ekonomi

sangat berbeda dengan yang

umumnya dipakai para ekonom.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Ekonomi Regional memungkinkan kita mengidentifikasi faktor-faktor yang mengendalikan distribusi kegiatan ekonomi pada suatu ruang

Economic Geography adalah cabang ilmu yang menggunakan pendekatan geografi untuk mempelajari ekonomi (Sokol, 2011)

Page 12: menilik budaya betawi di dki jakarta

Gambar 1. Ilustrasi perbedaan Economic Geography dan

Geographical/Spatial Economics (sumber : M. Sokol, 2011)

Economic geography menerapkan pendekatan geogras

untuk mengkaji dan memahami ekonomi. Barangkali

saat pertama kali mendengar istilah ini orang berkir

bahwa economic geography adalah tentang gambaran

ekonomi suatu negara atau lokasi-lokasi dari industri

yang terdapat di dalam wilayahnya. Aoyama et al., (2011)

menjelaskan bahwa tujuan dari sub-disiplin ilmu ini

adalah untuk memahami proses-proses ekonomi dari

suatu tempat, bukannya penggunaan faktor-faktor

ekonomi secara independen atau variabel-variabel yang

terlibat di dalamnya untuk menerangkan suatu

perubahan lingkungan (digunakan oleh cultural ecol-

ogists) atau perubahan sosio-kultural (digunakan oleh

cultural/social geographer).

Kesalahan persepsi yang umum dijumpai adalah bahwa

di dunia yang semakin mengglobal ini geogra bukanlah

dianggap sebagai masalah lagi karenanya lokasi

perusahaan dapat berada dimana saja di seluruh bumi.

Namun dewasa ini seiring meningkatnya

“internasionalisasi” kegiatan ekonomi, interkoneksi

antara satu tempat dengan tempat lain meningkat,

makin ketatnya kompetisi diantara pelaku kegiatan

ekonomi, ketidakmerataan makin tinggi, maka geogra

menjadi dirasakan makin penting daripada masa-masa

sebelumnya. Dalam konteks globalisasi ekonomi dunia

maka maka pemahaman Economic Geography sangat

penting digunakan sebagai input bagi pengambilan

keputusan. Sebagaimana dikemukakan oleh Coe et al.,

(2007) dalam kondisi dunia yang makin mengglobal

dalam berbagai hal termasuk ekonomi maka pendekatan

economic geography merupakan tools analisis yang

paling tepat untuk dapat memahami ekonomi dunia

modern dengan segala kompleksitasnya. Geogra

ekonomi kontemporer memiliki sejarah cukup panjang

dan mewakili interaksi pengaruh-pengaruh inter- dan

intra-disipliner dari beragam bidang mulai geographical

economics, regional science, urban/regional studies,

perencanaan pembangunan regional (regional economic

development planning), dan sosiologi ekonomi

(economic sociology).

GEO-EKONOMI BARU

Tumbuhnya kesadaran mengenai terbatasnya daya

penjelas teori-teori lokasi yang tradisional dalam

menganalisis geogra ekonomi telah mendorong

munculnya paradigma baru yang disebut geogra

ekonomi baru (new economic geography atau

geographical economics) (Fujita and Thisse, 1996).

Dewasa ini, semakin banyak jumlah ekonom yang

tertarik dengan studi masalah lokasi (Krugman, 1995,

Lucas, 1988). Tentu ini mendorong berkembangnya alat-

alat analisis baru, yang membuat kontribusi menarik dan

penting bagi ekonomi geogra. Adalah Paul Krugman,

mahaguru dari Massachusetts Institute of Technology,

yang telah membuka misteri (blackbox) eksternalitas

ekonomis dan secara eksplisit memasukkan dimensi

spasial dan semangat “proses kumulatif” dalam deskripsi

pembangunan perkotaan dan regional (Krugman, 1996).

Krugman mencoba menjelaskan mengapa terjadi

konsentrasi spasial di kota-kota besar di negara sedang

berkembang. Perbedaan antara karya Krugman dan

karya terbaru dalam geogra ekonomi atas

pembangunan daerah tidak terbatas pada struktur

industri dan eksternalitas, tetapi juga diperluas pada

pertanyaan transaksi yang tidak melalui pasar dan cara

bagaimana meningkatnya kekuatan produsen besar

dikaitkan dengan lokalisasi industri secara kontemporer

(Martin and Sunley, 1996).

Isu baru yang didenisikan oleh “new economic

geography” adalah bagaimana menjelaskan formasi

sejumlah besar aglomerasi atau konsentrasi ekonomi

dalam ruang geogras. Aglomerasi atau pengelompokan

kegiatan ekonomi terjadi pada berbagai tingkatan

geogras dan dengan komposisi yang beragam (Fujita

and Krugman, 2004). Sebagai contoh suatu jenis

aglomerasi timbul manakala toko-toko kecil dan restoran

terkelompok dalam satu lingkungan.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 13: menilik budaya betawi di dki jakarta

New economic geography mengetengahkan pendekatan

micro-founded yang terintegrasi terhadap ekonomi spasial,

dimana penekanannya pada peranan daya pengelompokan

(clustering forces) yang dapat menyebabkan ketimpangan

distribusi ekonomi dan pendapatan di seluruh ruang.

Pendekatan ini digunakan pada kajian ekonomi perkotaan,

munculnya disparitas wilayah, dan asal-muasal international

inequality (Venables, 2008).

Hampir senada dengan Krugman, meskipun dengan

perspektif yang berbeda, Michael Porter (Harvard University),

menekankan pentingnya peranan teknologi, strategi/

organisasi, dan geogra ekonomi dalam proses inovasi dan

upaya menjaga keunggulan kompetitif perusahaan secara

berkelanjutan (Porter & Solvell, 1998). Porter berpendapat

bahwa derajat pengelompokan industri secara geogras

dalam suatu negara memainkan peranan penting dalam

menentukan sektor manakah yang memiliki keunggulan

kompetitif pada skala internasional (Porter, 1990). Hipotesis

menarik yang diajukan Porter, adalah bahwa dewasa ini

kluster industri, yang ditandai dengan konsentrasi geogras

dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi yang saling

berkaitan satu sama lain pada suatu bidang tertentu, agaknya

jauh lebih produktif dilihat dari sudut organisasi industri

(Porter, 1998). Di Amerika Serikat, misalnya, beberapa contoh

historis dari kluster industri ini adalah industri chip komputer

di Silicon Valley, industri lm di Hollywood, industri mode di

New York City, industri mobil di Detroit, dan industri

elektronika di Southern California.

Meskipun Krugman dinilai sebagai salah satu economist yang

berkontribusi besar dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip

geogra di dalam kajian ekonomi dan saat ini dianggap

sebagai economic geographer terdepan karena

memunculkan konsep “New Economic Geography” (NEG)-nya,

namun beberapa ilmuwan economic geography mengkritisi

bahwa dalam beberapa hal NEG terlihat beberapa kelemahan

karena masih terbatas dan dangkal terutama jika

membandingkan konsepsi ekonomi dengan perspektif.

Dimana terlihat jelas perbedaan antara NEG yang digunakan

oleh ekonom dan NEG yang digunakan oleh oleh para

geographer. Neary (2001) dalam karyanya ‘Of Hype and

Hyperbolas: Introducing the New Economic Geography’

memberikan beberapa pandangan kritis terhadap konsep

NEG-nya Krugman yang dinilainya kurang terasa kental

’aroma’ geogranya dibanding ’aroma’ ekonominya.

PENUTUP

Cabang ilmu Regional Science dan Economic Geography

merupakan pembaharuan terhadap pemahaman tradisonal/

ortodoks pada sebagian besar kajian ekonomi klasik. Ilmu

ekonomi ortodoks banyak menganut prinsip universalitas

keberlakuan prinsip-prinsip dan hukum ekonomi. Sementara

aspek-aspek keruangan yang dapat mempengaruhi proses-

proses kegiatan ekonomi (aspasial) tidak banyak dikupas.

Economic Geography pada hakikatnya adalah mengkaji

interaksi mengenai lingkungan di permukaan bumi dan

kegiatan ekonomi manusia (penduduk) dalam bidang

produksi, distribusi, dan konsumsi di berbagai bentuk sistem

wilayah dan daerah. Obyek studi Economic Geography adalah

kegiatan ekonomi manusia dalam hubungannya dengan

lingkungan geogra dan bertujuan memberikan pengertian

tentang hubungan timbal balik lingkungan geogra terhadap

aktivitas dan kondisi ekonomi di berbagai bentuk sistem

wilayah. Pendekatan keruangan sebagaimana digunakan

dalam economic geography diyakini para ahli ekonomi spasial

merupakan alat yang sangat berguna dalam memahami

kompleksitas kegiatan ekonomi dunia modern yang semakin

mengglobal saat ini.

Geogra Ekonomi memposisikan sebagai konsep terdepan

karena dapat memunculkan konsep “New Economic

Geography” (NEG)-nya. Namun beberapa pendapat

mengemukakan kritisi bahwa dalam beberapa hal NEG

terlihat kelemahan karena masih terbatas dan dangkal

analisisnya. Dimana masih tampak jelas perbedaan antara

NEG yang digunakan oleh ekonom dan yang digunakan oleh

oleh para geographer. Pendekatan NEG-nya Krugman masih

dinilai kurang terasa kental nuansa geogranya.

REFERENSI

Adams, N., J. Alden and N. Harris. 2006. Regional Development and Spatial Planning in an Enlarged European Union. Source -- Ashgate.com.

Anselin, L. 1992. Space and applied econometrics : Introduction, Regional Science and

Urban Economics, 22 (1992), Elsevier . Aoyama, Y., Murphy, J. T., & Hanson, S. (2011). Key Concepts in Economic Geography. SAGE

Publications Ltd. London. Coe, N. M., Kelly, P. F., Yeung, H. W. C. (2007) Economic Geography: A Contemporary

Introduction. Oxford: Blackwell. Fujita, M. and J.F. Thisse. 1996. Economics of Agglomeration. Journal of the Japanese and

International Economies 10, 339–378. Academic Press. Fujita, Masahisa, Paul Krugman, & Anthony J. Venables. 1999. The Spatial Economy: Cities,

Regions, and International Trade. Cambridge and London: The MIT Pres.

http://www.econ.yale.edu/~ka265/research/Topography/AllenArkolakis.pdf Hoover, E.M. and F. Giarratani. 1971. An Introduction to Regional Economics –

(http://www.tarkas.com.ua/content/eng/libr/hoover.pdf). Isard, Walter. 1956. Location and Space Economy. Cambridge: MIT Press. Krugman, P. 1991. Increasing Returns and Economic Geography. Journal of Political

Economy, 1991, vol. 99, no. 3. University of Chicago. Krugman, P. 1995. Development, Geography, and Economic Theory. Cambridge and

London: The MIT Press.

Krugman, P. 1996. Urban Concentration: The Role of Increasing Returns and Transport Costs. International Regional Science Review , 19(1&2): 5-30.

Martin, R and P. Sunley. 1996. Paul Krugman's geographical economics and its implications for regional development theory: A critical assessment. Economic Geography, 72(3).

Neary, J.P. 2001. Of Hype and Hyperbolas: Introducing the New Economic Geography.

Journal of Economic Literature, Vol. 39, No. 2, 2001. American Economic Association Ottaviano, G and J.F. Thisse. 2004. New Economic Geography: what about the N?.

Minist`ere de l’´education, de la recherche et de la formation, Belgium.

Porter, M.E. & O.Solvell. 1998. The Role of Geography in the Process of Innovation and the Sustainable Competitive Advantage of Firms.In A.D. Chandler, Jr., P. Hagstrom, and O. Solvell, editors, The Dynamic Firm : The Role of Technology, Strategy, Organization, and Regions . Oxford University Press.

Porter, M.E. 1998. Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business

Review , November-December(6): 77-91. Redding, S and A.J. Venables, 2001. Economic Geography and International Inequality.

Centre for Economic Performance London School of Economics and Political Science. 2001. ISBN 0 7530 1467 X.

Sokol, M. 2011. Economic Geography. London School of Economics and Political Science (LSE), University of London.

Syafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Badouse Media. Padang. ISBN 978-979-17475-2-3.

Venables, A.J. 2008. "New Economic Geography." The New Palgrave Dictionary of Economics. Second Edition. Eds. Steven N. Durlauf and Lawrence E. Blume. Palgrave

Macmillan, The New Palgrave Dictionary of Economics Online. Palgrave Macmillan. 10 September 2014.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 14: menilik budaya betawi di dki jakarta

OPINI

Pendahuluan

Satu dasawarsa lebih, Indonesia memulai kembali

pembangunan pascabencana setelah dihantam

bencana besar Tsunami Aceh (2004), Gempa Yogya

(2006), Gempa Sumbar (2009) Letusan Gunung Merapi

(2010), Banjir Bandang Wasior (2010), dan sebagainya.

Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia

bersama dengan NGO, swasta, termasuk masyarakat

untuk memulihkan kondisi kehidupan pascabencana,

baik pembangunan manusia, infrastruktur, sosial,

ekonomi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Regulasi dan kelembagaan yang bersifat ad hoc

maupun disusunnya peraturan perundangan khusus

untuk manajemen penanggulangan bencana telah

disusun untuk tujuan menghadirkan negara untuk

melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah

darah dan memajukan kesejahteraan umum.

Artikel ini disusun untuk meninjau kembali manajemen

penanggulangan bencana, khususnya pada tahap

pascabencana di Indonesia dengan berbagai studi

kasus.

Pembelajaran rehabilitasi dan rekonstruksi

pascabencana Tsunami Aceh dan Gempa Yogyakarta

Acapkali secara awan maupun riset penelitian 2 (dua)

bencana ini sering diperbandingkan kisah kesuksesan

dan kegagalannya dalam pelaksanaan rehabilitasi dan

rekonstruksi pascabencana. Tsunami Aceh yang terjadi

pada 26 Desember 2004 meluluhlantahkan 230.000

jiwa dengan dampak kerugian pada 14 negara

merupakan salah satu bencana terbesar pada abad ini.

Praktis beberapa wilayah terdampak mengalami

kerugian sangat besar dan collapse. Bencana tersebut

tentu menjadi perhatian internasional. Saat itu, telah

ada lembaga Sekretariat Bakornas PB yang berfungsi

pada penanganan darurat. Sementara untuk

rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana

dibentuklah lembaga ad hoc, Badan Rehabilisasi dan

Rekonstruksi Tsunami Aceh dan Nias. Lembaga

tersebut yang melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi

pascabencana dengan sumber dana maupun bantuan

yang tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga

masyarakat internasional.

Sementara untuk bencana gempa bumi Yogyakarta

tanggal 27 Mei 2006 tidak membuat pemerintahan

tersebut lumpuh. Bantuan dan dukungan internasional

juga tidak sebesar Tsunami Aceh. Dari bencana

Yogyakarta, kita mendapat pembelajaran “poin

penting dalam proses pemulihan pascabencana adalah

kearifan lokal (local wisdom).” dalam bentuk modal

sosial yang ditunjukan melalui dukungan penuh dan

partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan

yang membuat proses pemulihan selesai lebih cepat

dari yang

diharapkan.

Belajar dari pengalaman tersebut, serta sadar posisi

geogras negara Indonesia yang menjadikannya

rawan bencana, Pemerintah Indonesia menyusun

regulasi melalui UU nomor 24 tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana yang di dalamnya berupa

bahwa penanganan bencana harus dilakukan secara

komprehensif sejak tahap pra-bencana, saat terjadi

bencana, hingga pascabencana. Amanat undang-

undang tersebut salah satunya adalah pembentukan

lembaga penanggulangan bencana yang denitif,

ditingkat pusat yaitu Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB) dan di daerah, Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD).

Oleh: Osmar Shalih ([email protected])

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 15: menilik budaya betawi di dki jakarta

Livelihood

Bantuan rehabilitasi dan

rekonstruksi pascabencana yang

bersifat jangka panjang seperti

menciptakan lapangan kerja dan

memperkuat keterampilan khusus

atau kejuruan. Pemerintah

menyediakan dana yang bersifat

stimulan untuk membantu

memulihkan mata pencaharian

masyarakat terdampak. Masyarakat

terdampak diberikan pilihan untuk

tetap pada mata pencaharian

terdahulu seperti sebelum terjadi

bencana, atau alih profesi

menyesuaikan kondisi dimana

lokasi relokasi. Memperkuat

keterampilan tertentu orang yang

terkena bencana diyakini lebih

efektif dan lebih cepat dalam

proses pemulihan masyarakat.

Best practice untuk proses-proses

pemulihan livelihood

Bencana gempa bumi di

Yogyakarta memberikan dampak

yang relatif besar pada

perekonomian, terutama karena

jumlah industri dalam negeri di

Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Sekitar 650.000 pekerja dan 30.000

perusahaan terkena dampak

gempa bumi, dengan kerusakan

dan kerugian sekitar 90% di sektor

swasta yang terkait dengan usaha

kecil dan menengah. Melalui

kegiatan pemulihan mata

pencaharian, lebih dari 2.800

pengusaha mikro dan kecil (UMK)

telah meningkatkan keterampilan

bisnis mereka dan lebih dari 2.265

UKM memiliki akses ke pasar yang

lebih besar. (http://

www.javareconstructionfund.org/doc/

pdf/2010-10

25_progress_report_2010_bahasa.pdf)

Peran Swasta

Peran sektor swasta dalam

pengelolaan bencana diatur dalam

Peraturan Pemerintah (PP No. 21

Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan Penanggulangan

Bencana) tentang pelaksanaan

penanggulangan bencana. Dalam

pemulihan, Pemerintah akan

melibatkan dan mendorong sektor

swasta untuk berpartisipasi, tetapi

tetap dalam skema rencana

rehabilitasi dan rekonstruksi yang

telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Sektor swasta umumnya

berkontribusi dengan

menggunakan dana CSR-nya. Di

masa depan, peran diarahkan dari

sektor swasta untuk menjadi lebih

luas. BNPB selalu mendorong untuk

mengoptimalkan peran

pemerintah / lokal, non-pemerintah

pusat (swasta) dan masyarakat

untuk mewujudkan ketahanan

bangsa dalam bencana.

Sustainable Livelihood

Bantuan yang diberikan sesuai

dengan kebutuhan masyarakat

untuk terus melangsungkan hidup.

Fasilitasi dan bantuan oleh

pemerintah dilaksanakan instansi

teknis terkait untuk membuat

masyarakat yang terkena dampak

bencana untuk mandiri dan

bantuan yang diberikan dapat

dipastikan keberlanjutan. Dengan

demikian, bantuan yang

berkelanjutan dan membuat orang

mandiri, tidak membuat

masyarakat ketergantungan pada

bantuan atau hibah tersebut.

Bantuan pemulihan mata

pencaharian dilakukan melalui

model pemberdayaan masyarakat.

Model ini dianggap cocok dengan

kondisi sosial masyarakat Indonesia

yang memiliki rasa kerjasama

(cooperation) dan rasa

kebersamaan. Melalui proses

penguatan model pemberdayaan

masyarakat terhadap masyarakat

yang terkena bencana, diharapkan

dapat memberikan motivasi dan

dorongan sehingga dapat dengan

cepat keluar dari masalah.

Kedepan, diharapkan juga

masyarakat secara berkelanjutan

mampu menggali potensi mereka

sendiri dan berani untuk

bertindak / melakukan inisiatif

positif untuk memperbaiki kualitas

hidup.

Meminimalisir Resiko Bencana

Resiko bencana dapat dikurangi

ketika semua elemen dari

pemerintah, non-pemerintah, dan

masyarakat) bersama-sama

melakukan upaya untuk

mengurangi kerentanan dan

meningkatkan kapasitas untuk

penanganan bencana. Upaya itu

dilakukan sebelum bencana, saat

terjadi bencana dan pasca terjadi

bencana secara komprehensif dan

“kesadaran spasial” bahwa

ancaman bencana itu akan selalu

ada dan bencana dapat terjadi

berulang. Kegiatan mitigasi seperti

kesiapsiagaaan pemerintah dan

masyarakat, serta pemulihan

pascabencana dengan upaya

mitigasi struktural dan non-

struktural harus berbasis

pengurangan risiko bencana di

masa depan dan sejalan dengan

pembangunan berkelanjutan.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 16: menilik budaya betawi di dki jakarta

Evaluasi kebijakan Buffer Zone

dan Program Relokasi Aceh

Buffer zone, merupakan salah satu strategi dalam

manajemen bencana, dimana menjaukan masyarakat

dari ancaman bencana. Suatu perencanaan tata ruang

yang baik tentunya dapat meminimalisir resiko

kerusakan gempa dan tsunami. Dengan karakteristik

wilayah Aceh yang sebagian wilayahnya berada di

pesisir, serta wilayah tersebut sensitif terhadap gempa

dan tsunami, maka seharusnya kebijakan tata ruang

pesisir harus menyediakan “ruang khusus”, yaitu buffer

zone. “Ruang khusus” sebagai penyangga ini dapat

dijadikan sebagai daerah mangrove, hutan pantai,

hutan produksi terbatas, yang memiliki nilai ekologi dan

ekonomi yang penting bagi ekosistem dan mata

pencaharian masyarakat pesisir. Pembentukan “ruang

khusus” atau zona penyangga ini memiliki konsekuensi

bahwa tidak ada manusia yang tinggal disana, bebas

kegiatan konstruksi. Dilemanya, banyak wilayah di

Indonesia yang pada buffer zone telah ditempati

sebagai permukiman terlebih dahulu sebelum terjadi

bencana. Pemerintah mengalami kesulitan untuk

relokasi korban tsunami ke tempat yang lebih aman,

jauh dari pesisir pantai karena alasan ketersedian lahan

dan dana, serta sebagian orang yang terkena dampak

ingin tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berbagai

asalan, seperti ekonomi, sosial dan budaya.

Sedikit catatan terkait kebijakan buffer zone di Aceh

Political geographies of displacement. The tsunami

generally worsened the humanitarian, social and

economic situation of people living in the province of

Aceh. The regions most affected-western and northern

part of Sumatera island have long histories of exclusion,

poverty and conict. In Aceh and Srilanka, money to

rebuild houses was plentiful, but coordinating housing

reconstruction and securing the land on which to build

them were more elusive.

In both countries “buffer zone” policies that initially

prohibited rebuilding homes near the sea generated

another wave of displacement, politicising

humanitarian aid. The buffer zone policy displaced yet

again those who had already lost their homes through

the dislocation of conict and then the tsunami. In

Srilanka, policy was politicised land grabbing on the

part of a precarious government in one of the most

densely populated countries in the world. Aceh in

contrast, experiences a different kind of

politicisation in relation to the buffer zones; there,

however, much more resentment based on unequal

treatment of “tsunami – affected” versus “war-affacted”

people emerged in the form of protest. (Blakie, The

Tsunami of 2004 in Srilanka: impacts and policy in the

shadow of civil war, 2013: 91).*

(Artikel disarikan dari wawancara JICA-BNPB tahun

2015: Comparative study of humanitarian crisis

management from the perspective of bilateral

cooperation agencies: survey in Indonesia).

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 17: menilik budaya betawi di dki jakarta

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

GEOGRAFIANA

K ampung Cipanon, berada di Desa Tanjungjaya Tan-

jung Lesung, Pandegalang . Kampung Cipanon

tersebut terletak pada - 6° 28' 53" LS dan 105° 39' 51" BT.

Kampung tersebut merupakan kampung nelayan yang

sehari – hari melakukan kegiatan mencari ikan di teluk

Lada, Tanjung Lesung, namun lokasinya startegis dan

merupakan kampung yang terdekat menuju lokasi

tujuan wisata terumbu karang di Tanjung Lesung,

Pandeglang.

Tanjung Lesung juga merupakan bagian dari Kawasan

Konservasi Laut (KKL) Pandeglang yang ditetapkan oleh

Bupati Pandeglang melalui Surat Keputusan Bupati

Nomor 660/Kep.369-Huk/2007 tanggal 26 November

2007 (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten,

2011). Kawasan Konservasi Laut (KKL) Daerah di

Kabupaten Pandeglang memiliki luas 7.391 Ha dan

memiliki terumbu karang yang kondisinya jauh lebih

baik jika dibandingkan dengan terumbu karang di

kabupaten lainnya di Provinsi Banten (DKP Prov. Banten,

2011). Bentang alam (landscape) kawasan ini tergolong

unik yaitu terlindungi dari perairan lepas pantai dan

menarik perhatian banyak pengunjung

Seperti disebut di atas, di kawasan Tanjung Lesung

terdapat dua lokasi KKL, yaitu di Karang Gundul seluas 2

ha dan Pulau Liwungan seluas 50 ha. Kedua pulau

tersebut saat ini merupakan pulau karang yang menjadi

tujuan wisatawan. Sementara itu di sisi lain Presiden RI

Joko Widodo telah menetapkan Tanjung Lesung

sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dalam tiga

tahun ke depan dengan menargetkan 1 juta turis

datang ke kawasan tersebut (www.detik.com Kamis, 25

Februari 2015).

Agar kawasan wisata tetap lestari harus diimbangi

dengan kemampuan penyelenggara pariwisata dalam

memberikan pelayanan terbaik sekaligus tetap menjaga

kelestarian alam terutama kondisi terumbu karang.

Perkembangan Pariwisata yang meningkatkan

pendapatan masyarakat dan usaha tetap

mempertahankan kelestarian terumbu karang,

merupakan kondisi yang seyogyanya berjalan

berdampingan.

PROFIL MASYARAKAT LOKAL

Masyarakat yang tinggal di kampung Cipanon, terdiri

dari penduduk setempat yakni, masyarakat Banten. Di

samping itu juga terdapat masyarakat pendatang, atau

keturunan pendatang yang umumnya dari Bugis

Makasar. Namun penduduk pendatang sebagian juga

lahir di daerah Pandeglang. Pekerjaan sebagian petani,

tetapi di Kampung Cipanon lebih banyak nelayan dan

pedagang.

Di kampung Cipanon, terdapat komunitas masyarakat

lokal yang tergabung dalam Wahana Anak Pantai. Yakni

komunitas yang nelayan yang ingin menjaga kelestarian

pantai Tanjung Lesung sekaligus terlibat dalam kegiatan

pariwisata. Anggota tetap 25 orang, namun sebenarnya

banyak juga nelayan yang berhubungan dan sering

terlibat diskusi dengan komunitas tersebut.

PENGELOLAAN MELALUI: PELATIHAN SELAM

Dipilih 8 orang dari anggota Wahana Anak Pantai

berdasarkan minat untuk menjadi pemandu wisata. Usia

bervariasi dari 18 tahun sampai 45 tahun. Pekerjaan

utama semua nelayan, ada yang punya usaha lain

seperti berdagang hasi laut, tetapi tetap

mengutamakan mencari ikan. Pendidikan bervariasi dari

tidak lulus SD sampai lulusan SMA. Semua tinggal di

kampung Cipanon, dengan wilayah pencari ikan di

lokasi wisata pantai, yaitu berada di Teluk Lada. Teluk

Lada berada di depan pantai Cipanen di mana Pulau

Liwungan. Termasuk dan Karang Gundul, yaitu terumbu

karang yang ada di tengah laut. Peserta yang belum

berkeluarga hanya satu, dengan jumlah anak sebagian

besar dua orang.

MENUJU PENGELOLAAN EKOWISATA BAHARI OLEH MASYARAKAT LOKAL

DI KAMPUNG CIPANON TANJUNG LESUNG

Oleh: Tuty Handayani, Mufti Petala Patria, MH Dewi Susilowati

Page 18: menilik budaya betawi di dki jakarta

MATERI PELATIHAN

Materi pelatihan terdiri dari, teori

selam dan pengenalan alat selam/

SCUBA, Latihan Penggunaan alat

snorkling, melakukan kegiatan

selam dangkal 5 meter. Teori dan

praktek teknik entry. Setelah

dianggap mampu melakukan teknik

yang benar, maka dicoba di

kedalaman sekitar 10 meter. Pada

saat yang sama dilakukan pelatihan

untuk melakukan underwater

surface rescue. Teori tentang

pemanduan kepada Wisatawan

serta kode-kode yang harus

disampaikan di bawah air, dilatih

dan diuji coba. Tidak lupa diajarkan

teknik mengelola peralatan agar

tidak mudah rusak.

Secara teori, setiap pelatihan

menyelam harus dilakukan

pemanasan berupa pelajaran masuk

kolam dan berenang di air tawar.

Pelajaran ini dimaksudkan agar

sebelum mempu menyelam dalam

air yang tidak bertepi, maka harus

terbiasa berada dalam air dengan

perlatan SCUBA. Karena dianggap

berbahaya apabila langsung masuk

ke air laut. Namun karena hampir

semua peserta sepanjang hidupnya

mengenal dan terbiasa di air laut

maka pelajaran ini ditiadakan.

Kegiatan dilakukan selama 7 hari

dengan, sementara secara umum

dilakukan selama sekitar 14 hari.

Meskipun waktunya lebih pendek,

tetapi karena ratio instruktur dan

peserta adalah 1 berbanding 2,

maka hasilnya pun memuaskan.

Pada pelatihan secara umum, rata-

rata seorang instruktur akan melatih

lebih dari 10 orang calon peselam.

SCUBA (Selft Contain Under Water

Breathing Apparatus) atau peralatan

bantu pernafasan bawah air yang

diisi dan dibawa sendiri untuk

menyelam. Untuk itu seorang

penyelam harus menguasai

penggunaan alat alat sebagai

berikut. Alat pertama yang sangat

penting adalah BCD (Buoyancy

Compensator Device) suatu rompi

yang dapat mengikat tabung udara

dan dapat digembungkan dengan

cara meniup atau udara dari Scuba

tank, fungsinya untuk mengatur

daya apung (Buoyancy). Alat ke dua

merupakan tanki untuk menyimpan

udara yang dapat diatur tekanannya

(Scuba tank) dan regulator untuk

mengatur dan membagi udara yang

diperlukan dalam air. Dalam kasus

tertentu diperlukan pemberat

karena tidak semua peselam mudah

masuk ke dalam air. Peralatan

kelengkapan yang merupakan

kenyamaan adalah Wetsuit, atau

pakaian penyelam yang berfungsi

untuk menjaga suhu serta

melindungi dari goresan dan gigitan

binatang laut.

Pelatihan yang intensif

mengantarkan mereka memperolah

lisensi menyelam (diving licence)

yang akan menjadi bekal mereka

untuk memandu atau menemani

pemandu luar yang akan membawa

wisatawan. Mungkin pada saat ini

mereka belum dapat langsung

menerima wisatawan, tetapi dengan

lisensi tersebut, mereka akan

menjadi mitra dari pemandu wisata

dari luar Tanjung Lesung, sehingga

mereka ke depannya akan menjadi

pemandu wisata mandiri. Kerjasama

dengan pemerintah setempat

dalam hal ini Loka Pengelolaan

sumberdaya Pesisir dan Laut Serang

di bawah Kementerian Kelautan dan

Perikanan akan mendukung

program tersebut terutama dalam

fasilitas peralatan selama para

penyelam belum memiliki peralatan

sendiri.

Pengeloaan wilayah tersebut tidak

cukup dari kemampuan menyelam,

tetapi juga kepedulian mayarakat

nelayan terhadap kelestarian

terumbu karang. Untuk itu materi

tentang penyelamatan karang dari

kerusakan melengkapi program ini.

Sehingga ke depannya diharapkan

wisata Tanjung Lesung tidak saja

berkembang menjadi daerah wisata

dengan pengembangan ekonomi

khusus, tetapi juga meningkatkan

kehidupan masyarakat lokal. Hal

yang lebih penting penjagaan dari

masyrakat lokal, akan dapat tetap

mempertahankan pula status

daerah yang dilindungi.

KESIMPULAN

Masyarakat bisa dan mampu

mengelola lingkungannya. Dengan

pemahaman tentang pelestarian

terumbu karang sebagai modal

dasar agar ekonomi mereka

meningkat dan berkesinambungan.

Dengan kegaiatan ekowisata bahari

yang dilakukan masyarakat lokal,

yang sangat peduli terhadap

berbagai ganguan yang kan

merusak karang. Maka

perkembangan Tanjung Lesung

sebagai kawasan Ekonomi khusus di

bidang Pariwisata dapat

berdampingan dengan status

Tanjung Lesung sebagai KKL

Daerah Pandeglang.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 19: menilik budaya betawi di dki jakarta

ULASAN

Pendahuluan

Tulisan dengan judul Role of Urban Management in

Spatial Distribution of Green Lands: A Quantitative

Survey in Shiraz, Iran diartikulasikan oleh Mehdi Momeni

(2015) dan dipublikasikan dalam Journal of Sustainable

Development. Perencanaan dan manajemen kota

menjadi salah satu perhatian utama pemerintah dan

warga di setiap negara dalam mewujudkan

pembangunan perkotaan hijau. Salah satu kriteria agar

pembangunan perkotaan berkelanjutan dapat tercapai

diantaranya harus memperhatikan aspek penyebaran

penduduk dan aspek pengelolaan ruang terbuka hijau

(RTH) sehingga keseimbangan lingkungan secara spasial

dapat tercapai. Manajemen RTH yang esien diperlukan

untuk mengatasi semakin terbatasnya luasan RTH hijau

karena meningkatnya pertumbuhan penduduk. Isu

keterbatasan RTH ini juga melanda kota-kota di

Indonesia, terutama Mega-urban Jakarta.

Studi yang dilakukan ini adalah kajian mengenai peran

manajemen RTH perkotaan di Kota Shiraz. Kota ini

diangkat karena merupakan salah satu kota di Iran yang

terkenal dengan keberadaan taman-taman kota yang

indah. Iran adalah salah satu negara yang concern

terhadap keberadaan RTH. Namun karena peningkatan

jumlah penduduk dengan persebaran yang tidak

merata mengakibatkan semakin menyempitnya RTH.

Jurnal ini disusun dalam empat bagian; (i) tinjauan liter-

atur, (ii) pertanyaan dan hipotesis riset, (iii) metode dan

(iv) hasil riset dan temuan.

Tujuan tulisan di jurnal ini adalah untuk menguji peran

manajemen perkotaan dalam penyediaan RTH di 8

kecamatan di Kota Shiraz, Iran. Sementara alasan ulasan

tema adalah menyentuh peran manajemen kota ‘hijau’

dalam distribusi spasial RTH, dimana peningkatan

jumlah penduduk di Kota Shiraz mengakibatkan

semakin meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat

beraktitas dan berdampak pada semakin

berkurangnya RTH. Tema ini menjadi menarik untuk

dibahas karena keberadaan RTH kota (taman) Shiraz

sebagai bagian integral dalam aspek perkotaan memiliki

peran penting dalam metabolisme kota taman, tidak

saja di Iran tetapi juga di Indonesia. Peran penting RTH

diantaranya adalah sebagai paru-paru kota, penghasil

oksigen, keseimbangan ekologi, dan mengurangi

kebisingan. Jika RTH terbatas, maka suatu kota

cenderung mengalami gangguan yang sangat besar

terhadap kesimbangan ekologi kota, termasuk

munculnya bencana banjir dan banyaknya penderita

ISPA. Dalam ulasan dicoba menganalogikan dengan

manajemen RTH mega-urban Jakarta sesuai dengan

kecenderungan kompaksi kota dalam konsep Transit

Oriented Development, atau Green TOD.

Manajemen Kota vs RTH

Penelitian dalam jurnal ini menganalisis kekuatan dan

kelemahan studi peran manajemen RTH perkotaan

dengan studi kasus di 8 kecamatan di Kota Shiraz, Iran.

Penilaian peran manajemen kota terhadap distribusi

RTH dilakukan melalui penilaian persepsi masyarakat

terhadap keberadaan RTH di Kota Shiraz dengan

beberapa variabel penilaian.

Variabel yang digunakan untuk menilai persepsi

masyarakat yaitu:

1. Aspek kenyamanan ruang terbuka hijau.

2. Pengaruh RTH terhadap suasana hati pengguna.

3. Aspek keamanan RTH terhadap keselamatan dan

kebahagiaan anak-anak.

4. Pengaruh RTH terhadap kesenangan menggunakan

ruang terbuka hijau dengan teman-teman dan

keluarga.

5. Aspek kesesuaian ruang terbuka hijau.

PENGELOLAAN RTH KOTA SHIRAZ DI

Oleh: Raldi Hendro Koestoer ([email protected]) dan Hayati Sari Jasibuan ([email protected])

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Judul Asli:

Role of Urban Management in Spatial Distribution of Green Lands: A Quantitative Survey in Shiraz, Iran

Oleh Mehdi Momeni

Journal of Sustainable Development, 2015 doi:10.5539/jsd.v8n1p54

Page 20: menilik budaya betawi di dki jakarta

6. Peran ruang terbuka hijau dalam mengurangi polusi

udara.

7. Penilaian keberhasilan pemerintah kota dalam

menyediakan fasilitas rekreasi, pelayanan kesehatan

di ruang terbuka hijau.

8. Akses menuju ruang terbuka hijau.

Metode dalam penelitian ini menggunakan kuantitatif

deskriptif dengan kuesioner. Sumber data dari studi

lapangan dan dokumen. Populasi adalah penduduk di 8

kecamatan di Kota Shiraz sebanyak 5740 orang. Sampel

diambil dengan metoda Random Sampling dengan

pendekatan Cochrane, dihasilkan jumlah sampel

sebanyak 300 responden. Data yang dihasilkan dalam

kuesioner diolah melalui Excel dan SPSS.

Hasil analisis kuesioner untuk mengetahui hubungan

antara distribusi spasial ruang terbuka hijau dengan isu

ekologi di Kota Shiraz, serta mengetahui hubungan

antara manajemen perkotaan dengan distribusi spasial

ruang terbuka hijau. Hasil analisis ini digunakan untuk

mengembangkan strategi manajemen ruang terbuka

hijau perkotaan, sehingga terjadi keseimbangan antara

pertumbuhan penduduk dan distribusi spasial ruang

terbuka hijau perkotaan sehingga pembangunan

berkelanjutan dapat tercapai.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya

area terbangun dan peningkatan populasi di 8

kecamatan di kota Shiraz dalam beberapa dekade

terakhir telah menyebabkan ketidak-seimbangan antara

jumlah penduduk dan ketersediaan RTH. Sistem

pengelolaan di kota Shiraz dinilai belum optimal. Dari

300 responden terpilih menyatakan bahwa kenyamanan

terhadap penggunaan RTH di kota 62% menyatakan

“sangat nyaman” dan “nyaman”. Sebanyak 38%

responden menyatakan bahwa RTH berpengaruh pada

suasana hati. Dalam penggunaan RTH berkaitan dengan

tingkat keselamatan dan kebahagiaan anak-anak

sebanyak 40% responden memilih opsi “sangat” dan

“banyak” memberi pengaruh. Mengenai kesenangan

menggunakan RTH dengan rekan dan keluarga sebanyak

88% dari responden menyatakan sangat senang dan

senang. Aspek kesesuaian RTH di kota Shiraz sebanyak

43% responden menyatakan hanya sedikit yang sesuai

dan 6% menyatakan tidak ada yang sesuai. Peran RTH

dalam mengurangi polusi udara di kota sebanyak 33%

menyatakan cukup berperan, sementara, sebanyak 35%

menyatakan kecil perannya dalam mengurangi polusi

udara, dan 24% menyatakan tidak berperan. Mengenai

keberhasilan pemerintah kota dalam menyediakan

fasilitas rekreasi, pelayanan kesehatan di RTH sebesar

38% menyatakan cukup berhasil dan 28% menyatakan

tidak berhasil. Akses menuju RTH, 63% responden

memilih dengan berjalan kaki, 17% dengan kendaraan

pribadi, dan 15% memilih transportasi umum. Untuk

kesesuaian dan kebersihan taman dan RTH di kota

berdasarkan hasil kuesioner sebanyak 28% memilih

cukup sesuai, 48% memilih kurang sesuai, dan 16%

menilai sesuai.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Sumber: Momeni, 2015

Page 21: menilik budaya betawi di dki jakarta

Dari hasil pengolahan melalui Excel dan SPSS dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang kuat

antara penyediaan RTH di kota dengan isu-isu ekologi di

8 kecamatan kota Shiraz. Selanjutnya, terdapat

hubungan positif yang kuat antara manajemen

perkotaan dan distribusi RTH perkotaan. Lebih banyak

perhatian perlu diberikan untuk pembangunan

perkotaan yang berkelanjutan dan rencana baru harus

disajikan untuk pengembangan dan pengelolaan RTH.

Strategi yang direkomendasikan dalam jurnal adalah:

1. Memberikan perhatian mengenai pemerataan

alokasi ruang terbuka hijau sehingga semua warga

di 8 kecamatan kota Shiraz dapat menggunakan RTH

dalam waktu singkat dan dengan biaya yang

minimal.

2. Pelaksanaan hukum yang tepat berkaitan dengan

perlindungan kebun dan ruang terbuka hijau dari

kehancuran akibat pembangunan rumah dan

kompleks perumahan sehingga mengubah tata

guna lahan dari ruang terbuka hijau menjadi

permukiman.

3. Meningkatkan kesadaraan lingkungan dan informasi

dari keluarga dan penduduk perkotaan melalui

pendidikan aktif dan pendidikan inisiatif dan rencana

melindungi ruang terbuka hijau yang berkelanjutan

dalam rangka keberlanjutan kota.

4. Mengurangi polusi udara dengan peningkatan

ruang terbuka hijau dalam distribusi yang seimbang

dan proporsional untuk masing-masing distrik.

Pembahasan

Tujuan riset adalah untuk menguji peran manajemen

kota kaitannya dengan distribusi penyediaan RTH kota

dengan studi kasus di 8 kecamatan Kota Shiraz, Iran.

Namun dalam jurnal ini tidak dikemukakan secara rinci

aspek-aspek yang terkandung dalam manajemen kota

terkait dengan distribusi ruang terbuka hijau di kota

Shiraz.

Stoner dan Wankel dalam Soesilo (1999) mendenisikan

manajemen sebagai proses perencanaan,

pengorganisasian pemimpinan, dan pengendalian upaya

anggota organisasi dan proses penggunaan semua

sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Berdasarkan denisi tersebut

manajemen menghendaki suatu upaya yang

berlangsung terus menerus mulai dari perencanaan

sampai dengan pengendalian, sehingga dapat menutup

kesenjangan antara supply yang terbatas dengan

demand yang meningkat di kota yang dapat disebabkan

karena pengaruh globalisasi, pertumbuhan penduduk,

dan migrasi desa-kota.

Manajemen kota dapat diartikan sebagai suatu upaya

untuk melakukan suatu proses manajemen yaitu

mengorganisasikan dan mengkoordinasikan kondisi/

sistem kota yang ada saat ini yaitu faktor-faktor produksi

di dalam kota baik yang berupa tanah, tenaga kerja,

modal, maupun kewiraswastaan, supaya dapat dicapai

hasil yang maksimal dan esien untuk menuju ke arah

sistem kota yang dikehendaki berdasarkan pada tujuan

ideal dan dinamisnya (Soesilo, 1999). Tujuan dasar dari

manajemen kota adalah pembuatan kondisi kualitas

kehidupan yang kondusif bagi kesehatan manusia,

kehidupan, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Sumber: Momeni, 2015

Page 22: menilik budaya betawi di dki jakarta

Kebijakan dan tindakan khusus

untuk mencapai kondisi ini akan

sangat bergantung kepada situasi

khusus yang ada di tingkat lokal dan

kebijakan yang dibuatpun harus

dibuat oleh aktor lokal. Lingkup

kegiatan manajemen yaitu

perencanaan (planning),

pengorganisasian (organizing),

pelaksanaan (actuating), dan

pengendalian (controlling)

(Sadyohutomo, 2009).

Manajemen kota terkait dengan

penyediaan RTH berpengaruh

terhadap keberlanjutan suatu kota.

Kegiatannya meliputi pembuatan

kebijakan dan seperangkat tindakan

berdasar kebijakan yang telah

dibuat (Hutapea, 2013). Menurut

Soesilo (1999) manajemen kota

yang menyeluruh dan terpadu

harus mencakup tiga kelompok

pengelolaan berdasarkan

perencanaan yang matang, yaitu

berdasarkan:

1. Perencanaan sik spatial

meliputi: tata guna lahan,

transportasi, dan infrastruktur.

2. Perencanaan komunitas,

meliputi: aspek-aspek sosial

kemasyarakatan yang

mencakup sosial-budaya,

ekonomi, politik, pertahanan

keamanan.

3. Perencanaan sumberdaya,

meliputi: sumber daya manusia,

sumber daya alam, dan sumber

daya keuangan.

Dalam jurnal ini juga tidak

tergambar isu-isu lingkungan yang

terkait dengan kondisi ruang

terbuka hijau yang terjadi di kota

Shiraz. Namun penulis sudah

menjelaskan bahwa pengelolaan

ruang terbuka hijau penting untuk

dilakukan sebagai bagian dari

manajemen kota Shiraz mengingat

RTH sangat berpengaruh terhadap

keberlanjutan kota.

Peran ekologis RTH perkotaan

menurut Budihardjo (2013) adalah:

1. Penyegaran udara

2. Menyerap air hujan

3. Pengendalian banjir

4. Memelihara ekosistem tertentu

5. Pelembut arsitektur bangunan

Jika melihat dari variabel penilaian

persepsi masyarakat terhadap peran

RTH, variabel yang digunakan lebih

pada peran RTH secara umum.

Padahal penelitian dalam jurnal ini

menguji signikansi hubungan

antara distribusi RTH dengan isu

lingkungan yang terjadi, akan lebih

sesuai jika variabel penelitian

menggunakan peran RTH secara

ekologis. Variabel penelitian yang

digunakan berhubungan dengan

isu lingkungan hanya peran RTH

dalam mengurangi polusi udara.

Hasil penelitian menurut persepsi

masyarakat di 8 kecamatan Kota

Shiraz menunjukkan bahwa

masyarakat nyaman dalam

menggunakan RTH dan keberadaan

RTH berpengaruh terhadap suasana

hati, tingkat kebahagiaan dan

keselamatan. Masyarakat senang

menggunakan ruang terbuka hijau

dengan teman-teman dan keluarga

untuk berekreasi. Tata guna lahan

untuk ruang terbuka hijau banyak

yang tidak sesuai. Menurut

masyarakat RTH cukup berperan

dalam mengurangi polusi udara di

Kota Shiraz. Mengenai keberhasilan

pemerintah kota dalam

menyediakan fasilitas rekreasi,

pelayanan kesehatan di RTH

sebagian menyatakan cukup

berhasil. Akses menuju RTH paling

banyak ditempuh oleh responden

dengan dengan berjalan kaki.

Kebersihan taman dan RTH di kota

berdasarkan hasil kuesioner menilai

kurang bersih.

Jika dibandingkan dengan kondisi

RTH di Jakarta, RTH di Shiraz

kondisinya masih lebih baik

daripada di Jakarta. Pembangunan

kota di wilayah Jabodetabek

dengan segala aktivitasnya

disamping menyebabkan

berkembangnya kota, juga

menyebabkan terjadinya

penurunan kualitas lingkungan.

Salah satu permasalahan

lingkungan di Jakarta adalah

penyusutan RTH yang telah

direncanakan akibat konik

penggunaan tanah (Chayaripura,

1997). Pemekaran dan

pengembangan kota cenderung

terus naik dan menimbulkan

fenomena pembangunan sik

struktur menuju arah maksimal dan

pengembangan ruang terbuka hijau

menuju arah minimal,

kecenderungan mengubah wajah

lingkungan alam (Sal dan Dimjati,

1983).

Kompetisi penggunaan lahan

diperkotaan banyak dipengaruhi

oleh mekanisme pasar sehingga

banyak terjadi perubahan

penggunaan lahan terbuka hijau

menjadi area permukiman,

pertokoan, hotel, pompa bensin,

dan restoran.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Tujuan dasar dari manajemen kota adalah pembuatan kondisi kualtias kehidupan yang kondusif bagi manusia

Page 23: menilik budaya betawi di dki jakarta

Fenomena ini terjadi di sepanjang jalan arteri atau pada

jalan yang menuju akses perdagangan. Bahkan kawasan

lahan hijau tambak dan bakau berubah fungsi menjadi

kawasan permukiman Pantai indah Kapuk. Hal ini

memperlihatkan bahwa perubahan penggunaan lahan

dalam kota dipengaruhi oleh faktor kekuatan pasar,

disamping faktor sosial (Ditjen Bangda Depdagri, 1994).

Menurut Spreigen dalam Sugandhy dan Hakim (2009)

RTH pada dasarnya adalah bagian dari kota yang tidak

terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan,

kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan

pelestarian alam, umumnya terdiri dari ruang pergerakan

linier atau koridor dan ruang pulau atau oasis. Berbagai

fungsi yang melekat pada Ruang Terbuka Hijau seperti

fungsi ekologis, fungsi sosial, fungsi arsitektur/estetika

dan fungsi ekonomi menjadikannya penting sebagai

penyeimbang bagi lingkungan binaan. Mengingat

pentingnya keberadaan RTH tersebut, maka diperlukan

manajemen yang inovatif dan berkelanjutan.

Peranan pemerintah dalam pengembangan RTH adalah

bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang tersedia

yang diformulasikan dalam perencanaan, pembangunan,

pengelolaan, dan pengendalian RTH. Pada kegiatan

pembangunan RTH merupakan implementasi dari

perencanaan yang telah disusun, meliputi kegiatan

penataan areal, penanaman, pemeliharaan, dan

pengendalian. Manajemen RTH dapat dilakukan bersama

-sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Keberadaan RTH memerlukan pengelolaan secara

berkelanjutan agar tercipta kota yang berwawasan

lingkungan untuk kepentingan warga kota generasi

sekarang maupun mendatang. Kota yang berwawasan

lingkungan akan tercapai apabila terdapat

keseimbangan antara ketersediaan RTH dengan

ketersediaan ruang terbangun.

Penataan ruang sebagai matra spasial pembangunan

kota merupakan alat untuk mengkoordinasikan

pembangunan perkotaan secara berkelanjutan

(Budihardjo dan Sujarto, 2013). Selaras dengan amanat

Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007

pasal 3, perlu diwujudkan suatu bentuk pengembangan

kawasan perkotaan yang mengharmonisasikan

lingkungan alamiah dan lingkungan buatan. Dengan

demikian diperlukan peran manajemen kota kaitannya

dengan distribusi spasial RTH kota di Indonesia yang

tertuang dalam di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang

wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan

pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya

sebesar 30% dari luas wilayah kota. Berdasarkan

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro,

Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada Tingkat Tinggi

(KTT) Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian

(2002), disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya

memiliki luas RTH minimal 30% dari total luas kota.

RTH memegang peran penting dalam pembangunan

perkotaan, terutama terkait dengan merancang masa

depan perkotaan. Untuk mewujudkannya, tiga pilar

utama, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial harus

saling bersinergi. Peraturan penataan ruang terbuka

hijau kawasan perkotaan di Indonesia diatur melalui

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007

Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan

Perkotaan. Penataan RTH Kawasan Perkotaan (RTHKP)

meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan

pengendalian RTHKP. Tujuan penataan (RTHKP) adalah:

menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem

lingkungan perkotaan; mewujudkan kesimbangan

antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di

perkotaan; dan meningkatkan kualitas lingkungan

perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia, menurut BLHD

Jakarta, saat ini, hanya memiliki RTH sebesar 9% dari

30% (20 persen publik dan 10 persen privat) yang

diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang

(UUPR) No. 26 Tahun 2007. Sehingga perlu inovasi dalam

pembangunan perkotaan untuk menciptakan RTH

melalui pengembangan taman dan penataan saluran

serta bantaran sungai. Padahal, Peraturan Daerah

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

mengamanatkan, RTH di ibu kota tahun 2030

mendatang harus mencapai 30% dari luas wilayah. Yakni,

terdiri dari 10% lahan privat, 14 % publik, dan 6 % lahan

privat yang dapat dimanfaatkan untuk publik.

Untuk mewujudkan rencana tersebut di Jakarta bukan

hal mudah. Padatnya permukiman dan maraknya

bangunan pencakar langit menjadi masalah utama.

Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta

mencatat, selama kurun waktu 2001 hingga 2012, luas

ruang terbuka hijau (RTH) di Ibu Kota hanya 2.718,33

hektar (www.tempo.co).

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 24: menilik budaya betawi di dki jakarta

Angka ini sama dengan 10 persen

dari total luas DKI Jakarta, yaitu

66.233 hektar. Jika dibandingkan

dengan kota-kota besar lain di

dunia, RTH yang dimiliki Indonesia

hanya 5-6 meter persegi per

orang. Angka ini jauh lebih rendah

dari Iran yang 7-12 meter,

Singapura yang 15-20 meter

persegi per orang dan Australia 40

-50 meter persegi per orang.

Indonesia hanya lebih baik sedikit

dari Tokyo (www.

fokus.news.viva.co.id). Dalam

pelaksanaannya, pembangunan

dan pengelolaan RTH juga sudah

seharusnya mengikutsertakan

masyarakat untuk meningkatkan

apresiasi dan kepedulian mereka

terhadap kualitas lingkungan

alami perkotaan, yang cenderung

menurun. Manajemen RTH yang

dilakukan oleh pemerintah DKI

Jakarta dapat dilihat pada

Gambar 1.

Pengelolaan RTH terdiri dari empat

rangkaian tahapan yang saling

berkaitan satu dengan yang lainnya.

Adanya dokumen perencanaan

memperlihatkan bahwa tahapan

pertama dari pengelolaan telah

dipenuhi. Saat ini juga pemerintah

DKI Jakarta telah memiliki Master

Plan Pengelolaan RTH. Pada

tahapan selanjutnya

pengorganisasian dan pelaksanaan

melibatkan unit kerja yaitu Dinas

Pertamanan, Dinas Kehutanan, dan

Dinas Pertanian sehingga

diperlukan koordinasi guna

menjalin sinergi para pihak. Sinergi

yang terjalin dengan baik dapat

memicu pelaksanaan progam-

program yang berkaitan dengan

RTH dengan efektif. Dalam

pengawasan RTH baik pemerintah,

masyarakat maupun swasta

memiliki andil masing-masing dan

itu diperlukan guna evaluasi

kedepannya. Tahapan perencanaan

didukung oleh tahap

pengorganisasian, pelaksanaan dan

pengendalian.

Perencanaan dan pengendalian RTH

kota di Jakarta dikelola oleh Dinas

Pertamanan. Cakupan kegiatan

perencanaan RTH oleh Dinas

Pertamanan berupa perencanaan

perancangan lansekap,

pengembangan system

komputerisasi penghijauan

pertamanan, pertimbangan

perencanaan, pembuatan sarana

informasi, pengembangan sistem

tata kerja, dan pengembangan

lahan.

Permasalahan dalam manajemen

pengelolaan lahan bahwa

peningkatan pertumbuhan

ekonomi Jakarta membawa dampak

pada meningkatnya permintaan

akan lahan sehingga banyak RTH

yang beralih fungsi menjadi lahan

terbangun. Ada pendapat bahwa

RTH merupakan lahan cadangan

untuk memenuhi permintaan atau

tuntutan pertumbuhan kota yang

mendesak. Kebutuhan lahan untuk

membangun RTH ini akan

mengalami kendala sejalan dengan

perkembangan nilai lahan, baik

secara sosial maupun ekonomi.

Kendala ini akan berjalan seiring

dengan belum mantapnya

ketentuan yuridis formal yang

menyangkut pengaturan,

pengendalian, pengawasan, yang

menyebabkan beberapa bagian dari

lahan RTH beralih fungsi.

Sistem informasi dan sistem

pemetaan juga sangat diperlukan

untuk manajemen RTH kota. Belum

adanya model sistem informasi

lahan dan sistem pemetaan yang

akurat, yang dengan mudah

memonitor secara cepat beberapa

jumlah RTH yang ada, beberapa

jumlah yang telah beralih fungsi,

dan informasi lainnya yang sangat

diperlukan bagi pengambil

keputusan.

Kendala dalam manajemen kota

dalam pengembangan instansi

pengelola RTH di Jakarta adalah

masalah kebijaksanaan

kelembagaan. Sebagai contohnya

adanya ketidakjelasan instansi

pengelola rekreasi ruang luar,

padahal rekreasi ruang luar

termasuk dalam RTH kota.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Gambar 1. Rangkaian Fungsi Manajemen dalam Pengelolaan RTH di DKI Jakarta

Page 25: menilik budaya betawi di dki jakarta

Hal ini akan menyulitkan pelaksanaan dan

pengembangannya. Kasus lainnya adalah berkaitan

dengan masalah kebijaksanaan instansi pengelola RTH di

tingkat kecamatan, ditemui adanya ketidakjelasan tugas

dan kewajiban aparat yang ada, baik dari segi kualitas

maupun kuantitas personel, padahal wadah dan aparat

pada lingkungan ini merupakan ujung tombak (Hakim

dan Sugandhy, 2009).

Pembiayaan juga salah satu faktor menurunnya kualitas

RTH DKI Jakarta. Kondisi RTH yang berupa taman-taman

di Jakarta saat ini banyak yang tidak layak dikunjungi.

Menurut Joga dalam Yuanita (2014) taman di DKI Jakarta

banyak yang tidak dirawat. Alokasi anggaran biaya

perawatan taman di Jakarta sangat minim dibanding

negara Singapura. Di Jakarta alokasi pemeliharaan taman

hanya Rp 1.000 per meter sedangkan di Singapura

mencapai dua puluh ribu rupiah per meter. Dari 1100

taman kota yang potensial untuk dijadikan taman

tematik, hanya ada 350 yang dirawat dengan baik dan

hanya 20-25 yang layak kunjung.

Contoh kondisi taman yang terbengkalai adalah taman

interaktif yang ada di Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta

Pusat. Selain dipenuhi sampah, fasilitas pelengkap di

dalamnya banyak yang rusak. Taman interaktif itu

dilengkapi kursi, tangga bermain anak dan lapangan

basket. Seharusnya, ada delapan kursi yang tersedia di

dalam area itu; tetapi tujuh di antaranya hilang.

Sementara, tangga bermain anak-anak juga berkarat,

bahkan anak tangganya banyak yang patah. Hal ini tentu

sangat membahayakan anak-anak yang bermain. Selain

itu lantai lapangan basket juga terlihat kotor penuh

dengan coretan-coretan. Akibatnya, taman itu ditinggal-

kan warganya, bahkan sudah tidak lagi menjadi tempat

berkumpul atau berolahraga.

Selain taman interaktif, ada dua taman vertikal yang

tidak terawat. Di antaranya taman vertikal yang berada di

kawasan Tugu Tani, dan taman Vertikal yang tumbuh di

yover Tanah Abang. Taman vertikal di Tugu Tani,

Gambir, Jakarta Pusat, mulai mengering. Tanaman yang

sebelumnya bewarna hijau, kini berubah menjadi

kuning. Tujuan dibangun taman vertikal tersebut untuk

menambah keindahan kota. Namun ketika kondisi

tanaman vertikal berubah menjadi warna kuning, maka

kota tidak lagi menjadi indah.

Peran masyarakat dalam pengelolaan RTH sangat

dibutuhkan. Meskipun RTH telah direncanakan dan

dibangun oleh pemerintah atau pengembang swasta,

peran masyarakat dalam pengelolaan RTH sangat

dibutuhkan. Sebagai contoh jika pihak pembangun/

developer hanya menyediakan sarana dan prasarana

pokok berupa lahan terbuka maka masyarakat harus

bergotong royong meningkatkan dan menyempurnakan

RTH misalkan berupa taman bermain atau taman

lingkungan. Dengan adanya kesadaran masyarakat serta

dukungan pemerintah, banyak masalah RTH yang dapat

diselesaikan, antara lain:

1. Pemeliharaan lingkungan sik, misalnya kebersihan

dan keindahan baik pada elemen lansekap rumah,

lansekap jalan, maupun lansekap pada fasilitas RTH.

2. Membantu pengawasan terhadap RTH sehingga

pengalihfungsian RTH dapat diketahui.

3. Pengembangan fasilitas sik, misal pembuatan

taman lingkungan, penghijauan jalan dan fasilitas

sosial, pembuatan sarana tempat bermain anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rustam

(2000), menunjukkan bahwa faktor keterbatasan ruang

secara sik menjadi kendala dalam perencanaan. Hal ini

dikarenakan semakin berkurangnya luasan RTH yang

dapat dicapai oleh pemerintah DKI Jakarta. Sementara

itu, sebagian besar masyarakat tidak setuju apabila ruang

terbuka yang ada dialih fungsikan untuk tata guna atau

fungsi yang lain. Alih fungsi tersebut menjadikan

kuantitas RTH semakin berkurang. Untuk menambah

kualitas RTH, maka masyarakat umumnya setuju untuk

menanami pekarangan rumahnya dengan pepohonan

untuk meningkatkan ekosistem setempat. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan Morancho (2003) yang

menyatakan, ada hubungan yang sama antara fungsi

RTH kota dan kualitas sik kota.

Penelitian Rustam (2000) juga menunjukkan bahwa

elemen ekologi merupakan salah satu faktor penting

dalam aspek perencanaan. Hal ini dapat dilihat dari

persepsi masyarakat ruang terbuka hijau yang setuju

akan pentingnya RTH sebagai pembentuk kualitas

ekologi kota. Dilihat dari empat pertanyaan yang

diajukan menyangkut aspek ekologi maka

keseimbangan ekologi merupakan faktor utama. Artinya

kegunaan utama keberadaan ruang terbuka hijau

menurut persepsi masyarakat adalah sebagai

keseimbangan ekosistem kota. Elemen ekologi lain yang

menonjol dan dirasakan oleh masyarakat adalah

pencemaran udara dan visual.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 26: menilik budaya betawi di dki jakarta

Pencemaran udara adalah faktor yang paling dirasakan

akibat terjadinya ketidak seimbangan ekosistem kota.

Elemen pencemaran udara mempunyai peringkat kedua

setelah kesadaran keseimbangan ekologi.

Komponen pertama (keseimbangan) dan kedua

(pencemaran udara) merupakan salah satu bentuk

hubungan sebab akibat, hal ini didukung komponen

ketiga dan keempat sebagai komponen dominan yang

dirasakan masyarakat yaitu penurunan ekosistem dan

pemahaman arti penting fungsi ekologi. Komponen

keindahan kota mempunyai jumlah prosentase yang

paling kecil berkait dengan tingkat pemahaman

masyarakat tentang fungsi visual kota untuk

memberikan image kota Jakarta sebagai ibukota negara.

Hal utama yang harus dilakukan dalam aspek

perencanaan RTH adalah menetapkan rencana induk

ruang terbuka hijau kota secara jangka panjang,

berkelanjutan dan berkarakteristik kota Jakarta.

Berdasarkan hasil penelitian, maka prioritas yang harus

dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota

adalah meningkatkan kualitas lansekap kota Jakarta yang

ada, mencegah penurunan jumlah ruang terbuka dan

mengusahakan bertambahnya kuantitas ruang terbuka

hijau, agar fungsi ekologi kota dapat terpenuhi.

Dari berbagai permasalahaan RTH Jakarta dapat ditarik

tiga isu utama permasalahan RTH yang ada di Jakarta,

yaitu:

a) Dampak negatif dari suboptimalisasi RTH dimana

RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan

jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak

fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan

kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan

kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan)

terjadi terutama dalam bentuk/kejadian:

1) Menurunkan kenyamanan kota: penurunan

kapasitas dan daya dukung wilayah

(pencemaran meningkat, ketersediaan air tanah

menurun, suhu kota meningkat, seringnya

terjadi banjir).

1) Menurunkan keamanan kota.

2) Menurunkan keindahan alami kota (natural

amenities) dan artifak alami sejarah yang bernilai

kultural tinggi.

3) Menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat

(menurunnya kesehatan masyarakat secara sik

dan psikis).

b) Lemahnya lembaga pengelola RTH:

1) Belum optimalnya penegakan aturan main

pengelolaan RTH.

2) Belum jelasnya tupoksi kelembagaan pengelola

RTH.

c) Lemahnya peran stakeholders:

1) Lemahnya persepsi masyarakat

2) Lemahnya pengertian masyarakat dan

pemerintah

d) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH

Beberapa strategi yang dapat dilaksanakan dalam

menangani permasalahan RTH di Jakarta, antara lain:

(1) Isu: Suboptimalisasi RTH

Strategi yang dapat dilakukan:

a) Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH

sesuai tipologi kota.

b) Penyusunan indikator dan tolak ukur

keberhasilan RTH suatu kota.

c) Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman

dan vegetasi endemik serta jenis-jenis unggulan

daerah untuk penciri wilayah dan untuk

meningkatkan keaneka ragaman hayati secara

nasional.

(2) Isu: Lemahnya kelembagaan pengelola RTH

Strategi yang dapat dilakukan:

a) Revisi dan penyusunan payung hukum dan

perundangan (UU, PP, dll).

b) Revisi dan penyusunan RDTR, RTRTH, UDGL, dll.

c) Penyusunan Pedoman Umum : Pembangunan

RTH, Pengelolaan RTH.

d) Penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif.

e) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta

masyarakat.

(3) Isu: Lemahnya peran stakeholders

Strategi yang dapat dilakukan:

a) Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan

Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau

royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan

Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat,

dll).

b) Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai

media.

c) Penegasan model kerjasama antar stakeholders.

d) Perlombaan antar kota, antar wilayah, antar

subwilayah untuk meningkatkan apresiasi,

partisipasi, dan responsibility terhadap

ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas

lingkungan kota yang sehat dan indah.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 27: menilik budaya betawi di dki jakarta

(4) Isu: Keterbatasan lahan

perkotaan untuk peruntukan

RTH

Strategi yang dapat dilakukan:

a) Peningkatan fungsi lahan

terbuka kota menjadi RTH.

b) Peningkatan luas RTH privat.

c) Pilot project RTH fungsional

untuk lahan-lahan sempit,

lahan-lahan marjinal, dan

lahan-lahan yang diabaikan.

Pemerintah DKI Jakarta berencana

untuk menambah luasan RTH

dengan mengupayakan

pembangunan enam taman

percontohan yang tersebar di enam

wilayah Jakarta pada tahun 2015.

Keenam taman itu masing-masing

berlokasi di Kelurahan Sungai

Bambu, Tanjung Priok Jakarta Utara,

Kelurahan Gandaria Selatan Jakarta

Selatan, Kelurahan Cideng Jakarta

Pusat, Kelurahan Cililitan Jakarta

Timur, Kelurahan Kembangan

Jakarta Barat dan Pulau Untung Jawa

Kepulauan Seribu. Di taman tersebut,

rencananya akan dibangun PAUD

(Pendidikan Anak Usia Dini),

perpustakaan, Posyandu, tempat

olahraga, tempat bermain anak,

lansia dan disabilitas, hingga

pelatihan produk kreatif yang akan

digerakkan oleh PKK. Pendanaan

pembangunan taman-taman

terpadu tersebut rencananya akan

diambil dari Coorporate Social

Responsibility (CSR) baik dari

perusahaan BUMD DKI maupun

swasta lainnya. Diharapkan taman

terpadu dapat dibangun di setiap

RW di Jakarta dan dapat menjadi

tempat rekreasi bagi warga,

terutama warga yang tinggal di

lingkungan padat (http://

fokus.news.viva.co.id).

KESIMPULAN

Dilihat dari tujuan penelitian, jurnal

ini sangat menarik karena sudah

mencoba mengungkapkan betapa

pentingnya manajemen kota dalam

mengatur ketersediaan RTH.

Ketersediaan RTH memiliki peran

yang penting dalam keberlanjutan

suatu kota. RTH sebagai pembentuk

kualitas lingkungan kota.

Keterbatasan jurnal ini adalah tidak

membahas bagaimana manajemen

kota dalam mengatur ketersediaan

RTH yang berlaku di kota Shiraz, Iran.

Kemudian isu ekologi apa saja yang

mempunyai hubungan dengan

penyediaan RTH juga tidak

dijelaskan dalam jurnal ini. Penelitian

dalam jurnal ini lebih mengulas

bagaimana manajemen kota dalam

penyediaan RTH bagi kebutuhan

warganya dilihat dari persepsi

masyarakatnya.

Hasil kajian ini belum cukup untuk

menjadi dasar pembelajaran bagi

kota-kota di Indonesia dalam

mengatasi keterbatasan penyediaan

RTH, karena tidak lengkap

menjelaskan bagaimana manajemen

kota di Kota Shiraz dalam hal

mengatur penyediaan RTH

khususnya pada lahan terbatas dan

jumlah penduduk padat yang

semakin meningkat di perkotaan.

Oleh sebab itu, perlu ada telaah

lanjutan untuk dapat menjelaskan

manajemen pengelolaan RTH Kota

dan dampaknya terhadap kota.

Terlepas dari keterbatasan yang ada

pada penulisan jurnal tersebut. riset

ini dapat menjadi referensi yang

cukup baik untuk penelitian

selanjutnya.

Dalam analogi dengan DKI Jakarta,

tampak RTH sangat berperan

terutama guna mendorong kpnsep

kota sehat. Terkait dengan TOD

hijau, pola tutupan RTH menjadi

sangat penting tidak saja

memperindah estetika tetapi

membuat kualitas ‘paru-paru’ kota

Jakarta. Meski pun tingkat kualitas

kota Jakarta tidak sebaik kota

(taman) Shiraz, tetapi upaya

Pemerintah Kota Jakarta sedang

berupaya membangun ‘kota sehat’

sebagaimana menrujuk kepada pola

guna lahan kompaksi kota dalam

konsep TOD hijau.

REFERENSI

Chayaripura, E. (1997). Manajemen

Pembangunan Kota yang Berwawasan Ling-

kungan. Jakarta: KPPL

Aquina D. dan R. Binekasri. (2014). Target

Ambisius Ahok dan Minimnya Ruang

Terbuka Hijau di Jakarta. 1 hlm. http://

fokus.news.viva.co.id/news/read/566155-

target-ambisius-ahok-dan-minimnya-ruang-

terbuka-hijau-di-jakarta.5 Mei 2015, pukul

22.17 WIB.

Budihardjo E. dan D. Sujarto. (1998). Kota Yang

Berkelanjutan. Jakarta: Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan

Dan Kebudayaan.

Hakim, R. (2009). Persepsi Masyarakat terhadap

Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Kota

Jakarta. 3 hlm. https://

rustam2000.wordpress.com/persepsi-

masyarakat-terhadap-aspek-perencanaan-

ruang-terbuka-hijau-kota-jakarta/. 6 Mei

2015. Pukul 23.10.

Hartawan, T. (2013). Ruang Terbuka Hijau 10

Persen dari Luas Jakarta. 1 hlm. http://

www.tempo.co/read/

news/2013/11/03/214526814/Ruang-

Terbuka-Hijau-10-Persen-dari-Luas-Jakarta. 5

Mei 2015. Pukul 23.10 WIB

Hutapea, L.M. Inovasi dalam Pengelolaan

Ruang Terbuka Hijau yang Berkelanjutan di

Kota Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: 2013

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Ta-

hun 2007 Tentang Penataan Ruang

Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. (2007).

Jakarta: Kemendagri

Sadyohutomo, M. (2008). Manajemen Kota dan

Wilayah.Jakarta: Bumi Aksara

Sal dan Dimjati, A. (1983). Kota, Penduduk

dan Lingkungan Alam. Jakarta: Trisakti

UU RI No.26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang. (2007). Jakarta: Kementerian PU

Soesilo, N.I. (1999). Ekonomi, Perencanaan &

Manajemen Kota. Jakarta: UI

Sugandhy dan Hakim (2009). Prinsip Dasar

Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan

Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara

Yuanita (2014) Ini Alasan Taman di Jakarta

Banyak Terbengkalai. http://

metro.sindonews.com/read/906143/31/ini-

alasan-taman-di-jakarta-banyak-terbengkalai

-1411959078. 1 hlm. 6 Mei 2015. Pukul 23.45

Zulkii, A. (2012). Pengelolaan Jakarta

Berkelanjutan atau Jakarta Management

Sustainable. 1 hlm. http://

www.bangazul.com/pengelolaan-jakarta-

berkelanjutan. 6 Mei 2015. Pukul 22.13.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 28: menilik budaya betawi di dki jakarta

GEOGRAFIANA

P ada 20-21 April 2015 Desember 2014 telah

diselenggarakan Workshop oleh IORA dengan tema

“Exploring Preemptive Disaster Risk Management;

Measures to Ensuring Human Security” di Hotel Western

Coral Beach Dar Es Salaam. Dalam workshop ini Delegasi

Indonesia diwakili oleh Bapak Rusmadi Usman, dari

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota

Banda Aceh dan Dr. Triarko Nurlambang MA, dari

Universitas Indonesia mewakili Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Ikatan Ahli

Kebencanaan Indonesia (IABI). Selain Delegasi

Indonesia, workshop ini dihadiri delegasi dari Negara-

negara anggota IORA yaitu Australia, Sri Lanka,

Bangladesh, India (merangkap wakil dari Indian Ocean

Institute), Yaman, Oman, Komoros, Mauritius,

Madagaskar, Kenya, Mozambik, Afrika Selatan dan tuan

rumah Tanzania. Selain itu juga hadir Dialog Partner dari

Mesir dan Jepang.

Workshop dua hari ini dibuka oleh pejabat dari Kantor

Perdana Menteri Tanzania. Workshop ini bertujuan

untuk:

1) Berbagi pengetahuan dan pengalaman setiap

negara dalam mengelola resiko bencana.

2) Memastikan penanganan/pengelola bencana telah

mempertimbangkan unsure kemanusiaan secara

berimbang dan komprehensif.

3) Menambah kapasitas untuk pembangunan manusia

berkelanjutan, termasuk kesehatan masyarakat

pasca bencana.

4) Memberdayakan kemampuan individual pada saat

tanggap darurat dan pascabencana hingga

terhindar dari kondisi keterpurukan/erosi sosial.

Workshop berlangsung produktif. Semua delegasi

Negara anggota yang hadir maupun Dialog Partner

(Jepang dan Mesir) telah secara terbuka berbagi

pengalaman dan pengetahuan serta memahami

perbedaan pemahaman berikut kondisi spesik masing-

masing Negara. Diskusi berjalan baik dan produktif.

Lebih dari itu para peserta dapat mengikuti proses

sistesis perumusan permasalah masing-masing dan

menyepakati solusi sebagai dasar rekomendasi hasil

worksop IORA ini.

Delegasi Indonesia menyampaikan 4 tema yaitu:

a. Bpk Rusmadi Usman:

Early Warning Systems for Disaster Risk

Reduction in Aceh

Healthcare Aftermath Aceh Tsunami

a. Triarko Nurlambang:

Enhancing Information and education Role for

Improving Disaster Response

Post Disaster Management in Indonesia

Selain itu anggota delegasi Indonesia juga diminta

menjadi Chairperson dalam dua sesi

Rekomendasi disepakati untuk disusun bersama

berdasarkan kelompok tema yang telah disiapkan oleh

pimpinan dan sekretariat IORA. Rumusan akhir

rekomendasi akan disusun oleh tim pimpinan dan

sekretariat IORA dengan terlebih dahulu mensirkulasi

drafnya kepada para anggota delegasi. Kelompok tema

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Tema 1: Disaster Risk Management and Community

Resilience

Tema 2: Early Warning Systems for Disaster

Reduction

Tema 3: Country Experiences on Emergency

Preparedness

Tema 4: Disaster Response: Search, Rescue, and

Human Safety

Tema 5: Women Empowerment and Disaster Risk

Management

Tema 6: Post-Disaster Management and

Rehabilitation

Tema 7: Multisectoral Approach to Human

Healthcare System

LAPORAN INDIAN OCEAN RIM ASSOCIATION (IORA) WORKSHOP ON EXPLORING PREEMPTIVE DISASTER RISK MANAGEMENT MEASURES

TO ENSURING HUMAN SECURITY DAR ES SALAAM, 20-21 APRIL 2015

Oleh: Triarko Nurlambang

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 29: menilik budaya betawi di dki jakarta

Beberapa rekomendasi yang telah dihasilkan adalah

sebagai berikut:

Rekomendasi dari sesi-1: Manajemen Risiko Bencana dan

Ketahanan Masyarakat

1. Mempertimbangkan koordinasi serta transfer

informasi dan pengetahuan secara intesif sebagai

usaha untuk mengurangi risiko bencana dan

meningkatkan ketahanan masyarakat di wilayah

IORA.

2. Bersama-sama dengan negara pendukung (seperti

Jepang) dalam mengembangkan sebuah sistem atau

metode yang sesuai untuk menunjang transfer

informasi yang lebih efektif terkait potensi bencana

di wilayah IORA.

3. Mengumpulkan publikasi-publikasi yang telah

dibuat oleh negara-negara anggota terkait dengan

pengalaman mereka dalam menangani bencana,

sebagai sumber rujukan untuk meningkatkan

ketahanan masyarakat pada wilayah IORA.

4. Mendorong usaha-usaha untuk mengidentikasi

wilayah-wilayah bencana dan mengembangkan

basis data untuk memudahkan penyebaran

informasi serta manajemen dalam mengurangi risiko

bencana.

5. Mendorong negara-negara anggota untuk

mengadopsi pendekatan multi-stakeholder yang

holistik dalam mengembangkan kerangka kerja

terkait manajemen risiko bencana.

6. Mendorong negara-negara anggota untuk berbagi

pengetahuan dan pengalaman dalam mekanisme

penyebaran risiko (Risk Transfer Mekanisme).

7. Mendorong negara-negara anggota untuk

mengembangkan rencana kontingensi (Contingency

Plan).

Rekomendasi dari sesi-2: Sistem Peringatan Dini untuk

Pengurangan Risiko Bencana

1. Negara-negara anggota didorong untuk

memperkuat sistem peringatan dini (EWS) melalui

pendekatan yang holistik, salah satunya dengan

mengikutsertakan manajemen risiko bencana ke

dalam program-program edukasi untuk

meningkatkan ketahanan masyarakat.

2. Negara-negara anggota didorong untuk

memberdayakan masyarakat lokal dalampenyebaran

informasi yang dihasilkan dari sistem peringatan dini

untuk mengurangi dampak bencana.

3. Negara-negara anggota didorong untuk

memperkuat komunikasi antara institusi, para ahli,

dan pengambil kebijakan dalam mengembangkan

kebijakan yang tepat dan kerangka kerja yang

sebagai bagian dari kesiapsiagaan terhadap kejadian

bencana.

4. Negara-negara anggota didorong untuk

mengedepankan penggunaan teknologi informasi

dalam memperkuat sistem peringatan dini dan

kesiapsiagaan bencana.

5. Jepang dan negara rekan dialog lainnya disarankan

untuk mendampingi negara-negara anggota dalam

mengimplementasikan sistem peringatan gempa

dini (Earthquake Early Warning System) untuk

memperbaiki manajemen risiko bencana.

Rekomendasi dari sesi-3: Pengalaman Berbagai Negara

dalam Kesiapsiagaan Bencana

1. IORA disarankan mempertimbangkan untuk

membangun pusat koordinasi bencana (Regional

Disaster Coordination Centre) di wilayah IOR untuk

memfasilitasi pembagian dan pertukaran informasi,

bantuan serta pendampingan yang saling

menguntungkan diantara negara-negara anggota

dalam menyikapi kejadian bencana serta sistem

peringatan dini.

2. Bersama-sama dengan sekretariat IORA dan

didampingi oleh negara rekan dialog dalam

mengembangan program peningkatan kapasitas

masyarakat untuk mendukung manajemen risiko

benca di wilayah IORA.

Rekomendasi dari sesi-4: Respon Kebencanaan

(Pencarian, Penyelamatan, dan Keamanan Manusia)

1. Negara-negara anggota didorong untuk

menggunakan berbagai bentuk media komunikasi

untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

2. IORA bersama dengan negara rekan dialog bersama-

sama mengembangkan program pemberdayaan

kepada negara-negara anggota untuk melaksanakan

operasi SAR.

Rekomendasi dari sesi-5: Pemberdayaan Perempuan dan

Manajemen Risiko Bencana

1. Negara-negara anggota didampingi oleh sekretariat

IORA mengembangkan program-program

pemberdayaan perempuaan yang terkait dengan

manajemen bencana.

2. Negara-negara anggota didorong untuk

meningkatkan partisipasi perempuan dalam usaha

pengurangan risiko bencana, perencanaan, serta

mekanisme pengambilan keputusan.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 30: menilik budaya betawi di dki jakarta

Rekomendasi dari sesi-6: Manajemen dan Rehabilitasi

Pascabencana

1. Negara-negara IORA didampingi oleh negara rekan

dialog dan secretariat IORA dalam mengembangkan

dan memperkuat mekanisme pascabencana agar

dapat menangani bencana serta memfasilitasi

rehabilitasi dan rekonstruksi secara lebih baik.

2. Negara-negara anggota IORA dapat belajar dari

pengalaman-pengalaman negara rekan dialog

(seperti Indonesia dan Jepang) dalam melakukan

manajemen pascabencana seperti proses rehabilitasi

dan rekonstruksi dengan menekankan pada

pentingnya perubahan paradigma dari responsif

menuju proaktif.

3. Negara-negara IORA didampingi oleh negara rekan

dialog dapat mempromosikan budaya pencegahan

dan pengamanan terkait dengan kesiapsiagaan

bencana serta manajemen pascabencana.

4. Negara-negara anggota didorong untuk

mempelajari dan menggunakan pendekatan

pembangunan kembali secara lebih baik (Build Back

Better) yang diterapkan oleh Jepang untuk

memperkuat infrastruktur yang eksisting

berdasarkan pengalaman yang dimiliki dari kejadian

bencana sebelumnya.

Rekomendasi dari sesi-7: Pendekatan Multi Sektoral pada

Sistem Perawatan Kesehatan Manusia

1. Negara-negara IORA didorong untuk

memperkuat sistem kesehatan tanggap bencana

darurat (Health Emergency Disaster Response) yang

dapat berkoordinasi langsung dengan organisasi

internasional dalam memfasilitasi kegiatan tanggap

bencana.

2. Negara-negara anggota didorong untuk

mengimplementasikan dukungan psiko-sosial pada

area-area terdampak, dengan melibatkan pekerja

social dan organisasi keagamaan pada proses

pemulihan pascabencana.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 31: menilik budaya betawi di dki jakarta

GEOGRAFIANA

I nternational Conference on Science, Engineering,

Built Environment and Social Science (ICSEBS) telah

diselenggarakan pada tanggal 24-25 November 2015 di

Club Bunga Butik Resort, Kota Batu, Malang, Jawa Timur.

Pada pagelaran tahun ini, seminar internasional

tersebut mengusung tema “Between Green, Culture and

Community: An Integrated Approach from Science,

Engineering, Built Environment and Social Science

Perspective” yang bertujuan sebagai sarana pertukaran

ilmu pengetahuan khususnya di bidang sains, teknik,

built environment, dan ilmu sosial yang hasilnya dapat

memberikan manfaat yang baik kepada lingkungan dan

masyarakat. Kegiatan tahunan yang telah berlangsung

sebanyak dua kali ini, diselenggarakan oleh UIN Maula-

na Malik Ibrahim bekerjasama dengan Universiti Putra

Malaysia (UPM), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM),

Universiti Sains Malaysia (USM), Universiti Teknologi

Mara (UiTM), dan Universitas Muhammadiyah Malang.

Kegiatan dibuka oleh sambutan ketua panitia yang

diwakili oleh LAr. Dr. Nor Atiah Ismail dari UPM,

dilanjutkan dengan sesi keynote oleh Assoc. Prof. LAr.

Dr. Osman Mohd Tahir (UPM) yang memaparkan

perkembangan aktivitas pembangunan di berbagai

penjuru wilayah semenanjung Malaysia seperti kawasan

Putrajaya dan Kota Iskandar di Johor. Pada kesempatan

berikutnya, sesi keynote dibawakan oleh Assoc. Prof. Dr.

Nangkula Utaberta, IAI dari UPM yang memaparkan

penelitian beliau mengenai arsitektur Islam khususnya

bangunan masjid. Sesi keynote pada hari pertama

akhirnya ditutup oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP

dari UMM yang memaparkan tentang perkembangan

Universitas Muhammadiyah Malang.

LAPORAN KEGIATAN INTERNATIONAL CONFERENCE ON SCIENCE, ENGINEERING,

BUILT ENVIRONMENT AND SOCIAL SCIENCE (ICSEBS) KOTA BATU, MALANG, JAWA TIMUR 24-25 NOVEMBER 2015

Oleh: Iqbal Putut Ash Shidiq ([email protected])

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 32: menilik budaya betawi di dki jakarta

Pada hari kedua, sesi keynote

diawali oleh Naohiro Kashino yang

memaparkan berbagai

pengalamannya serta hasil

karyanya di bidang arsitektur,

termasuk beberapa projek lanskap

hijau yang sudah berjalan di

Putrajaya, Malaysia. Sesi tersebut

kemudian dilanjutkan oleh Prof.

Dr. Rahinah Ibrahim dari UPM yang

memaparkan tentang

perancangan model untuk

pengambilan keputusan dan

kebijakan dalam bidang arsitektur.

Sesi keynote pada hari kedua

akhirnya ditutup oleh

Dr. Bayyinatul Muchtaromah dari

UIN Malang, yang memaparkan

penelitiannya terkait penggunaan

tanaman Pegagan (Centella

asiatica) dalam meningkatkan

kinerja otak yang diujicobakan

pada tikus.

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 33: menilik budaya betawi di dki jakarta

Sebanyak 69 makalah telah terpilih untuk

dipresentasikan dalam sesi presentasi oral yang

topiknya terbagi dalam empat kategori antara lain:

green science, green engineering, green built

environment, dan green social science. Sebagai salah

seorang peserta, penulis berkesempatan untuk ikut

ambil bagian dan terpilih untuk memaparkan hasil

penelitiannya pada topik green science. Stand Age

Model for Mapping Spatial Distribution of Rubber Tree

Using Remotely Sensed Data in Kedah, Malaysia adalah

judul penelitian yang penulis paparkan. Sebuah

pemodelan untuk memetakan persebaran tanaman

karet telah dikembangkan pada penelitian tersebut.

Model tersebut dihasilkan berdasarkan hubungan

antara variabel tanaman (seperti DBH dan tinggi pohon)

dengan variabel spektral pada citra Landsat OLI-TIRS

serta beberapa indeks vegetasi (NDVI, SAVI, dan EVI).

Salah satu bagian menarik dari kegiatan ini adalah, hasil

-hasil penelitian yang terpilih akan dimasukkan ke

dalam beberapa jurnal internasional yang terindeks

dalam SCOPUS dan ISI, antara lain: Jurnal Teknologi,

Advances in Natural and Applied Science, Advances in

Environmental Biology, Journal of Fisheries and Hydro-

biology, dan Australian Journal of Basic and Applied

Science. IPA

Volume 13 / No. 3 / Desember 2015

Page 34: menilik budaya betawi di dki jakarta