bab enam humanisme arso tunggal dalam praktik · dikenal dengan terawangan (dari kata menerawang)....

56
165 Bab Enam Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik Sarasehan dan Kegiatan Ritual Rumah dua lantai di Jalan Bulusan Selatan Raya Nomor 111 Semarang itu berdiri kokoh di antara permukiman penduduk. Itulah pusat kegiatan Arso Tunggal. Pada setiap Rabu malam, di rumah itu diselenggarakan pertemuan anggota paguyuban, dimulai sekitar pukul 23.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB Kamis dinihari. Pada setiap pertemuan, sekitar 15-20 anggota hadir. Sebagian mengendarai sepeda motor, sebagian yang lain mengendarai mobil. Mereka datang dari berbagai tempat di Kota Semarang dan sekitar. Mereka saling memberi salam dengan cara merapatkan telapak tangan kanan ke dada. Begitu datang, mereka bersantai di atas tikar yang digelar di ruang tengah atau duduk di ruang tamu, menonton televisi, minum kopi atau teh, dan memperbincangkan berbagai hal, sambil menunggu pendiri Arso Tunggal, Djoko Murwono. Pada sekitar pukul 23.30 WIB Djoko Murwono datang, memberi salam. Dia menanyakan keadaan orang-orang yang sudah datang lebih dulu; tentang keluarga mereka, tentang

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 165

    Bab Enam

    Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    Sarasehan dan Kegiatan Ritual

    Rumah dua lantai di Jalan Bulusan Selatan Raya Nomor

    111 Semarang itu berdiri kokoh di antara permukiman

    penduduk. Itulah pusat kegiatan Arso Tunggal. Pada setiap

    Rabu malam, di rumah itu diselenggarakan pertemuan anggota

    paguyuban, dimulai sekitar pukul 23.00 WIB sampai pukul

    02.00 WIB Kamis dinihari.

    Pada setiap pertemuan, sekitar 15-20 anggota hadir.

    Sebagian mengendarai sepeda motor, sebagian yang lain

    mengendarai mobil. Mereka datang dari berbagai tempat di

    Kota Semarang dan sekitar. Mereka saling memberi salam

    dengan cara merapatkan telapak tangan kanan ke dada. Begitu

    datang, mereka bersantai di atas tikar yang digelar di ruang

    tengah atau duduk di ruang tamu, menonton televisi, minum

    kopi atau teh, dan memperbincangkan berbagai hal, sambil

    menunggu pendiri Arso Tunggal, Djoko Murwono.

    Pada sekitar pukul 23.30 WIB Djoko Murwono datang,

    memberi salam. Dia menanyakan keadaan orang-orang yang

    sudah datang lebih dulu; tentang keluarga mereka, tentang

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    166

    kesehatan, dan tentang perkembangan kegiatan paguyuban.

    Perbincangan pun kemudian berkembang pada berbagai hal,

    terutama berkaitan dengan masalah budaya Jawa.

    Berbagai macam topik perkembangan kehidupan masya-

    rakat dibicarakan dalam pertemuan, yang disebut sebagai

    sarasehan Reboan itu. Perkembangan aktual berkaitan dengan

    masalah sosial, politik, agama, dan ekonomi – baik lokal,

    nasional maupun internasional – dibahas dalam perspektif

    budaya Jawa. Terjadi diskusi yang menarik dalam sarasehan

    yang berlangsung hingga sekitar pukul 00.30 WIB.

    Setelah itu, mereka bersama-sama naik ke lantai dua,

    memasuki empat kamar yang ada. Di setiap kamar terdapat

    peralatan berupa paku-paku kayu terdiri dari empat bagian.

    Bagian pertama berukuran sekitar satu meter kali 30 sentimeter,

    tiga bagian yang lain berukuran sekitar 30 sentimeter persegi.

    Tinggi paku-paku kayu tersebut masing-masing sekitar lima

    sentimeter. Bagian pertama disiapkan untuk menopang tubuh,

    dua bagian lain untuk tangan, dan satu bagian lagi yang

    dibungkus kain dipersiapkan sebagai alas kepala.

    Di tiap-tiap kamar terdapat tiga alat tersebut, yang dijajar-

    kan horizontal di lantai. Di bagian atas alat yang berada di

    tengah terdapat alat yang melengkung, berada di bawah meja

    yang dilengkapi dengan tiga lilin yang menyala.

    Para anggota melepaskan sabuk, arloji, dompet, telepon

    seluler, dan barang-barang lain yang melekat di tubuhnya,

    sehingga hanya mengenakan baju dan celana. Mereka kemudian

    berdoa menurut keyakinan mereka sendiri-sendiri. Setelah itu,

    para anggota merebahkan tubuh di atas paku-paku kayu dan

    melakukan meditasi. Bagi yang belum terbiasa, rebah di atas

    paku-paku kayu itu membuat tubuh terasa sakit, terutama di

    bagian belakang kepala.

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    167

    Proses meditasi tersebut berlangsung sampai sekitar pukul

    01.00 WIB. Satu per satu anggota turun ke lantai bawah,

    kembali memperbincangkan berbagai hal berkaitan dengan

    kehidupan dan perkembangan kegiatan paguyuban. Diskusi

    berlangsung sampai dengan pukul 02.00 WIB. Setelah itu,

    mereka pulang ke rumah masing-masing.

    Gambar 3: Kegiatan ritual Paguyuban Arso Tunggal

    Itulah gambaran kegiatan sarasehan dan ritual yang

    diterapkaan Arso Tunggal. Kegiatan ritual tersebut bertujuan

    melatih anggota mengasah ketajaman hati nurani, dengan cara

    sumber: koleksi pribadi penulis

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    168

    menenangkan dan mematikan pikiran; menghilangkan rasa

    sakit. Proses itu mereka sebut ngraga sukma. Dengan rebah di atas paku-paku kayu, anggota diuji tingkat ketahanan terhadap

    rasa sakit. Rasa sakit akan hilang dengan sendirinya, kalau

    mereka bisa mengendalikan pikiran dan mempertajam hati

    nurani (mati raga).

    Ngraga sukma yang diterapkan Arso Tunggal berbeda dari pengertian ngrogoh sukma yang dikenal di kalangan penganut kebatinan. Ngrogoh sukma merupakan proses merogoh (meng-ambil) jiwa kemudian dikeluarkan dari badan, sehingga jiwa itu

    bisa mengembara ke tempat-tempat lain, di luar badan. Proses

    itu lalu membuat jiwa seseorang dapat melihat keadaan di

    tempat lain. Di kalangan masyarakat Jawa, proses itu biasa

    dikenal dengan terawangan (dari kata menerawang).

    Berbeda dari ngrogoh sukma, maka ngraga sukma tidak merogoh jiwa untuk mengembara, melainkan mengeksplorasi

    jiwa untuk diragakan. Dengan kata lain, ngraga sukma adalah meragakan jiwa. Jiwa harus dieksplorasi agar dapat memimpin

    raga, sehingga hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh

    keinginan-keinginan raga, melainkan dikendalikan oleh niat

    dari dalam jiwa.

    Proses ritual tersebut merupakan tahapan mencari

    keheningan dengan cara menenangkan pikiran (ening cipta sarana neng). Ada proses transendensi, yang membuat tubuh tidak merasa sakit meskipun dicocok oleh paku-paku kayu.

    Ritual tersebut dilakukan untuk mengasah niat yang tulus

    dari hati nurani (krenteging ati). Terdapat lima hal penting dalam krenteging ati, yaitu madhep, mantep, sabar, tatag, sumèh. Suara hati bisa diterapkan dengan lima hal tersebut. Madheb ngersaning Pangeran, mantep ngugemi dhawuhing Pangeran, sabar menjalani hidup dan tidak tergoyahkan, serta

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    169

    banyak tersenyum dalam menghadapi sesuatu yang terjadi.

    Makna tatag adalah apa pun yang terjadi manusia harus tidak tergoyahkan.

    Ritual itu juga membimbing anggota untuk meningkat-

    kan kualitas sebagai manusia dalam perspektif Jawa. Tingkatan

    kualitas manusia Jawa yang dikembangkan Arso Tunggal adalah

    satriya, satriya pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinan-dhita, ratu ratuning pinandhita. Tingkatan tertinggi, yaitu ratu ratuning pinandhita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tataran paling dasar adalah berbuat secara kesatria.

    Untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut, manusia

    tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan, melainkan juga

    kearifan, harus bisa menjadi sumur tinimba, seperti samudera yang menampung semua aliran air dari berbagai macam sungai.

    Meskipun demikian, manusia tidak mungkin sampai pada

    tataran kelima yaitu ratu ratuning pinandhita.

    Lewat ritual yang dilakukan, anggota Arso Tunggal bela-

    jar meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Filosofinya

    adalah: urip iku ora karana bandha; bandha mung srananing urip. Yèn bandha ora kanggonan nyawa, yèn nyawa mesthi ana bandhané soalé manungsa urip (Hidup itu bukan karena harta-benda. Dalam harta tidak ada nyawa, tapi di dalam nyawa pasti

    ada harta, karena manusia hidup. Kalau kita hidup pasti diberi

    sarana untuk hidup).

    Yèn kowé kepingin mangan, aja mangan, yèn kowé kepingin ngombé aja ngombé. Ning yèn kowé kepingin mangan-ngombé, mangana lan ngombéya amarga kowé urip. Makna ungkapan itu adalah, “hidup bukan untuk makan, me-

    lainkan makan untuk hidup.” Itulah ajaran tentang pengen-

    dalian diri, seperti “yèn pingin nesu menenga, yèn pingin ngenengké wong sapanen kanthi alus. (Kalau kita ingin marah

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    170

    diamlah, kalau ingin mendiamkan orang maka sapalah orang itu

    secara halus).

    Dalam berbagai pertemuan Reboan, sering dibahas

    tentang nilai-nilai melayani, bahwa manusia itu harus nge-mong. Tuhan tidak melarang manusia untuk berbuat sesuatu, melainkan memberikan aturan atau batasan (wewaler).

    Dalam bahasa Jawa ajaran itu diungkapkan “beja cilaka kuwi ana ing badan priyangga. Pilihan ana ing manungsa piyambak.” Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pema-haman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada

    diri manusia sendiri, Tuhan hanya memberikan pilihan dan

    rambu-rambu.

    Di sinilah terletak makna humanisme yang dikembangkan

    Arso Tunggal, yaitu manusia sebagai makhluk hidup yang

    memiliki kemandirian untuk menentukan nasibnya sendiri.

    Dalam menentukan nasib, manusia selalu disinari oleh cahaya

    yang berasal dari Tuhan yang Maha Kuasa.

    Pemahaman itu dikembangkan melalui ritual dengan cara

    berusaha menghilangkan rasa sakit terkena paku kayu. Anggota

    Arso Tunggal diberi pilihan, mampu menghilangkan rasa sakit

    dengan menangkal pikiran dan mengeksplorasi niat tulus dalam

    hati atau tetap menempatkan pikiran sebagai “panglima.”

    Proses ritual juga membimbing anggota paguyuban untuk

    menerapkan filosofi urip kaya banyu mili, kaya angin tumiup/sumilir, kaya srengéngé sumunar, kaya sumunaré sang bagaskara. Makna ungkapan tersebut adalah, hidup ibarat air yang mengalir, angin yang berhembus, matahari yang bersinar.

    Dalam paguyuban dikembangkan ajaran, bahwa untuk

    mencapai tujuan, manusia harus melalui proses yang memang

    harus dilalui. Karena itu, Arso Tunggal tidak menekankan pada

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    171

    target. Bagi Arso Tunggal, target itu didasari oleh pemikiran

    manajemen Barat, padahal manajemen hanya alat, manusia

    tidak boleh dikooptasi oleh manajemen. Manajemen bukan raja

    karena raja yang sesungguhnya adalah diri manusia sendiri.

    Pemahaman itu mencerminkan, bahwa manusia sebaik-

    nya tidak menghendaki sesuatu terjadi secara cepat, tidak

    tergesa-gesa, sesuatu harus dijalani dengan teliti dan waspada.

    Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal itu adalah alon-alon waton kelakon, aja grusa-grusu, aja kebat kliwat, sabar, éling, lan waspada. (pelan-pelan tapi terlaksana, jangan tergesa-gesa, jangan ingin bahwa sesuatu pasti bisa terjadi secara cepat, sabar,

    selalu ingat kepada Tuhan, dan waspada).

    Ungkapan lain yang bermakna sama adalah gremat-gremet waton slamet, yang berarti bahwa suatu pekerjaan sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, seksama, tekun, sesuai

    aturan yang benar. Titik berat dua ungkapan itu terletak pada

    kelakon dan slamet (terlaksana dan selamat sampai tujuan), bukan pada lamban.

    Mengejar pencapaian kehendak dengan segala cara yang

    cepat dipengaruhi oleh pola pikir management by objective yang berkembang di dalam manajemen Barat. Dalam konteks

    budaya Jawa, maka sebenarnya management by objective itu kurang cocok, karena pola pikir Jawa lebih bersifat management by process, bahwa segala sesuatu sebaiknya dilakukan melalui proses yang benar. Proses tersebut akan menentukan tujuan;

    kalau proses baik maka tujuan akan tercapai dengan baik, kalau

    proses tidak baik, maka tujuan pun tidak akan tercapai dengan

    baik.

    Kegiatan nyata Arso Tunggal mencerminkan keseim-

    bangan antara management by objective dan management by

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    172

    process. Kegiatan yang dilakukan selalu berorientasi pada tujuan atau hasil, namun fokus pada proses yang dijalani.

    Proses ritual yang diterapkan oleh Paguyuban Arso

    Tunggal berintikan empat tahapan, yaitu: krenteg-karep-karsa-karya. Empat tahapan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

    Krenteg merupakan niat mendalam yang berasal dari jiwa manusia. Untuk merasakan dan memahami krenteg, maka manusia harus dapat “mematikan” pikiran. Otak harus diistira-

    hatkan, sehingga ketika otak tidak bekerja maka manusia dapat

    merasakan getaran-getaran jiwa. Ketika otak tidak bekerja,

    maka manusia akan “berziarah” ke dalam jiwanya sendiri. Ada

    proses transformasi dari otak ke jiwa.

    Nilai-nilai ajaran yang melandasi proses itu adalah, bahwa

    hidup manusia harus dipimpin oleh jiwa, bukan oleh pikiran.

    Menurut ajaran Arso Tunggal, jiwa itu menenteramkan, adapun

    pikiran menyebabkan ketidaktenangan. Jiwa meneduhkan,

    pikiran tidak berujung pangkal. Ungkapan Jawa yang menggam-

    barkan hal itu adalah: sak dawa-dawané lurung, isih dawa gurung (sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang pikiran). Ungkapan itu menunjukkan, bahwa pikiran tidak pernah ber-

    ujung, membuat manusia tidak pernah puas, mengejar sesuatu

    tanpa batas dan belum pasti.

    Karep adalah kehendak yang berasal dari otak manusia. Karena berasal dari otak, maka karep juga tidak berujung pangkal, menggambarkan keinginan manusia yang tidak pernah

    habis, tidak pernah puas. Oleh sebab itu, karep harus dikelola dengan cara menariknya ke dalam jiwa, sehingga hidup manusia

    tidak lagi dipimpin oleh kehendak yang tak pernah habis itu,

    melainkan dikomandani oleh krenteg yang berasal dari jiwa.

    Karsa adalah niat untuk melakukan suatu tindakan. Niat tersebut didorong oleh karep atau krenteg. Kalau hanya

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    173

    didasarkan oleh karep, maka karsa hanya muncul dari keinginan otak saja, namun kalau dilandasi oleh krenteg maka selain didorong oleh pikiran, karsa juga digerakkan oleh jiwa.

    Adapun karya merupakan aplikasi dari karsa, tidak lagi hanya berwujud keinginan, melainkan sudah berupa tindakan

    nyata. Karya itulah yang juga sering disebut sebagai pakarti, yaitu buah dari proses krenteg, karep, dan karsa.

    Ritual yang dilakukan mengajarkan kepada para anggota

    paguyuban untuk dapat mendengar dan memahami krenteg, membedakannya dari karep. Tujuannya, kalau seseorang dapat memahami krenteg, maka ia dapat pula menggunakannya sebagai landasan hidup sehari-hari. Niat untuk melakukan suatu

    tindakan benar-benar didasarkan pada niat yang berasal dari

    jiwa, bukan sekadar karep yang muncul dari otak.

    Dalam suatu sarasehan Reboan, dibahas bahwa saat ini

    kebanyakan manusia lebih mengandalkan akal pikiran (rasio-

    nal), berarti mementingkan karep. Dalam ungkapan Jawa dikatakan: luwih gedhé karepé katimbang krentegé. Karena begitu besar kehendak otak, maka orang kemudian mengejar

    (dengan segala cara) kehendak tersebut. Dalam bahasa Jawa hal

    itu disebut sebagai penggayuh diyu (keinginan yang buta), yang mendorong orang lupa akan sangkan paraning dumadi, yang digambarkan dengan ungkapan mélék anggéndhong lali (keinginan mengakibatkan lupa).

    Pada era globalisasi sekarang, kebanyakan orang terlalu

    mengandalkan akal. Karena terlalu mengandalkan akal, maka banyak orang yang dalam tindakannya cenderung mengabaikan

    nilai-nilai kemanusiaan, mengakibatkan kemerosotan martabat

    kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia harus kembali ke

    krenteg, yang tidak berasal dari pikiran melainkan dari jiwa untuk melandasi tindakan nyata (pakarti). Krenteg harus keluar

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    174

    dulu dari jiwa, kemudian menjadi karep, lalu karep itu dikembangkan menjadi karsa (niat untuk melakukan suatu tindakan), diaplikasikan menjadi karya.

    Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman,

    bahwa pakarti dilandasi oleh keberanian berkarya dalam konteks budaya. Di dalam budaya terdapat ilmu pengetahuan,

    teknologi, tata hidup, dan pola tindakan. Humanisme harus

    dinyatakan dalam karya, bukan hanya berhenti pada krenteg atau karep. Karena itu, Arso Tunggal melakukan karya-karya nyata, yang disebut sebagai “proses memodernisasi kearifan

    lokal Jawa.” Karya tersebut berupa penemuan obat-obat yang

    dilandasi kearifan lokal Jawa yang sudah hampir punah dan

    pengembangan varietas-varietas lokal dalam pertanian organik.

    Jadi, pakarti adalah aplikasi. Olah pikir diabdikan ke olah rasa, sehingga menghasilkan karsa lan karya. Rasa yang dipikir menjadi karsa. Proses itu disebut manunggaling rasa lan karsa (menyatunya jiwa dan kehendak untuk berbuat).

    Olah rasa (yang sering dilakukan oleh penganut per-kumpulan kebatinan) sesungguhnya tidak bisa hanya dirasakan,

    dilestarikan (diuri-uri), melainkan harus “diangkat” ke dalam olah pikir, sehingga menghasilkan karya nyata. Paguyuban Arso Tunggal berpijak pada keseimbangan olah rasa dan olah pikir tersebut untuk mengembangkan gerakan-gerakan kemanusiaan.

    Keseimbangan itu tercermin dari penelitian-penelitian ilmiah

    yang didasari kearifan-kearifan lokal Jawa yang kemudian

    menghasilkan obat-obatan dan pertanian organik.

    Dalam berbagai diskusi Reboan disebutkan, bahwa tidak

    berkembangnya budaya Jawa dalam konteks kemajuan zaman

    saat ini karena kebanyakan orang Jawa hanya berhenti pada

    olah rasa, tidak mengembangkannya ke dalam olah pikir; hanya berhenti di krenteg, tidak berkembang ke karep, karsa, dan

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    175

    karya. Itulah sebabnya, “modernisasi Jawa” adalah menerjemah-kan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam karya nyata yang mampu

    menjawab tantangan zaman, yang bermanfaat bagi masyarakat

    masa kini.

    Penulis menemukan perbedaan antara pendekatan yang

    dilakukan Arso Tunggal dan pendekatan yang berkembang

    dalam komunitas-komunitas kebatinan. Arso Tunggal justru

    menarik niat dalam jiwa ke kehendak dalam otak kemudian

    diaplikasikan ke dalam karya nyata, adapun komunitas kebatin-

    an lebih menarik niat dalam jiwa ke arah lebih dalam lagi, yaitu

    rohani. Perbedaan itu menyebabkan perbedaan hasil, Arso

    Tunggal menghasilkan karya nyata (kemanusiaan), adapun

    gerakan kebatinan menghasilkan spiritualitas (ketuhanan). Hal

    tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

    Humanisme Arso Tunggal

    Proses krenteg-karep-karsa-karya merupakan perwujudan dari pemahaman tentang humanisme kejawèn. Perbedaan antara humanisme kejawèn (dijelaskan dalam Bab Empat) dan humanisme yang dipahami oleh Arso Tunggal terletak pada

    perbedaan antara laku dan pakarti. Humanisme kejawèn bermuara pada laku, adapun humanisme yang dikembangkan paguyuban ini menghasilkan pakarti.

    Berbeda dari laku, pakarti tidak hanya merupakan olah rasa, melainkan olah rasa yang dipadukan dengan olah pikir, diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Dalam pakarti sudah

    rohani jiwa

    komunitas kebatinan Paguyuban Arso Tunggal

    pikiran karya

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    176

    terjadi sinergitas antara olah rasa dan olah pikir, sehingga humanisme tidak berhenti sekadar sebagai pengertian, melain-

    kan terwujud dalam tindakan nyata.

    Proses sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti digambarkan sebagai purwa, madya, wusana atau awal, tengah, dan akhir. Purwa itu rasa, madya itu pikiran, dan wusana itu karya. Di dalam rasa terdapat krenteg, di dalam pikiran terdapat karep, dan di dalam karya terdapat tindakan-tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia

    dan lingkungan. Purwa, madya, wusana adalah proses kehidup-an manusia. Putaran itu makin lama makin besar. Manusia tidak

    dapat hanya mengandalkan rasa, melainkan harus pula dengan pikiran; harus ada keseimbangan antara niat dan kehendak

    untuk memperbesar putaran tersebut.

    Pengertian sangkan paraning dumadi yang dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa meskipun manusia memiliki

    otoritas untuk memilih tindakannya sendiri, namun mereka

    tetap disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun,

    manusia adalah makhluk yang berasal dan akan kembali kepada

    Yang Maha Kuasa.

    Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti yang dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa jiwa manusia

    merupakan singgasana Allah, jiwa manusia merupakan percikan

    sukma Allah Yang Maha Besar. Jadi, jiwa itu abadi, raga hanya

    berasal dari tanah, bersifat rendah (asor). Jiwa dimasukkan ke raga, agar raga itu bisa tertata. Dalam pengertian ini, maka

    manunggaling kawula lan Gusti berarti menyatunya jiwa dan raga, menyatunya krenteg dan karep.

    Ungkapan Jawa yang menggambarkan tuntunan jiwa itu

    adalah golèka pener ning ya golèk bener. Bener (benar) ada di dalam kepala, adapun pener (tepat, sesuai) ada di dalam jiwa

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    177

    manusia. Bener belum tentu bisa menenteramkan raga, tapi pener akan menenteramkan jiwa. Orang yang terlalu banyak berpikir menjadi susah tidur, tapi orang yang menyerahkan

    hidupnya pada kejernihan jiwa akan mampu mengendalikan

    diri. Hal itulah yang membedakan antara krenteg dan karep; karena krenteg berasal dari hati, adapun karep muncul dari pikiran.1

    Arso Tunggal menitikberatkan gerakannya pada pakarti. Kata pakarti mengacu pada penerjemahan laku, tidak berhenti pada pengertian atau sekadar olah rasa, tetapi teraplikasi ke dalam karya nyata. Dengan kata lain, pakarti merupakan syarat untuk menerjemahkan pengertian tentang sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti, sering pula disebut sebagai srananing ngaurip.

    Oleh sebab itu, Arso Tunggal berusaha mengembangkan,

    memodernisasikan pemahaman-pemahaman kejawèn, dengan cara memadukan rasa dan otak (pikiran). Jadi, sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti tidak berhenti di olah rasa saja atau olah pikir saja, melainkan harus diaplikasikan dalam karya, sehingga bermanfaat bagi orang banyak.

    1 Djoko menjelaskan: “Yèn aku wis ngomong bener mungguhing uripku,

    aku sejatiné wis ora pener mungguhing uripku, nanging yèn aku ora tau ngomong bener mungguhing uripku, kuwi berarti wis pener. Yèn kowé ngomong salah mungguhing wong, sak beneré ing jroning atimu kuwi panggonan ingkang salah, awit bener lan salah kuwi ana ing pikiranmu, pener lan ora pener kuwi ana ing sajroning atimu. Golèka peneré atimu, katimbang bener lan salahing pikiranmu,” katanya. (“Kalau saya sudah bicara bahwa hidup saya benar, sesungguhnya hidup saya tidak pener, tapi kalau saya tidak pernah bicara bahwa hidup saya benar, itu berarti saya sudah pener. Kalau kamu bicara bahwa orang lain bersalah, maka sesungguhnya di dalam hatimu itu tersimpan sesuatu yang salah, karena benar dan salah itu ada dalam pikiranmu, pener dan tidak pener ada di dalam hatimu. Maka, carilah pener dalam hatimu daripada benar dan salah dalam pikiranmu”).

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    178

    Supaya hal itu dapat terwujud, manusia harus melakukan

    eningé cipta sarana neng; cipta dieningké, diendapkan dulu. Kalau sudah mengendap (menep), maka manusia akan mendengarkan suara Allah. Proses pengendapan itu me-

    nyebabkan orang Jawa berpola pikir inward looking; selalu melihat ke dalam dirinya sendiri lebih dulu ketika merespons

    suatu realitas. Manusia Jawa yang benar-benar memahami

    kejawaannya, tidak berhenti pada “romantisme melihat ke

    dalam” (proses pengendapan), melainkan setelah itu harus

    melakukan tindakan nyata (karya).

    Dari uraian tersebut, penulis berpendapat, bahwa gerakan

    Arso Tunggal dilandasi oleh pemahaman tentang humanisme

    kejawèn. Pemahaman itu kemudian dikembangkan menjadi hu-manisme yang bermuara pada tindakan nyata, bukan sekadar

    ketenangan jiwa dan kearifan individu. Humanisme yang

    dikembangkan itulah, yang menurut oleh penulis disebut

    humanisme Arso Tunggal.

    Argumentasi yang melandasi penyebutan humanisme

    Arso Tunggal adalah:

    1. Paguyuban Arso Tunggal menempatkan manusia pada

    posisi yang menentukan, meskipun tetap berada da-

    lam cahaya ilahi. Tuhan hanya menyinari kehidupan

    manusia, memberikan rambu-rambu, adapun pilihan-

    pilihan tindakan ada di tangan manusia sendiri.

    2. Paguyuban Arso Tunggal melandasi kegiatan-

    kegiatannya dengan tiga inti ajaran Jawa yang dikem-

    bangkan menjadi tindakan nyata, yaitu: sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti. Hal itu membedakan pemahaman Arso Tunggal dari pemahaman Jawa pada umumnya,

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    179

    yang menitik-beratkan pada laku, yaitu olah rasa yang menghasilkan ketenangan jiwa dan kearifan individu.

    Dalam konteks pemikiran krenteg-karep-karsa-karya, Ar-so Tunggal mengembangkan kegiatan-kegiatan nyata. Kren-teg (mencerminkan penghayatan atas sangkan paraning dumadi) mendorong timbulnya karep dan karsa (mencerminkan ma-nunggaling kawula Gusti), dan keseimbangan antara krenteg dan karep itu diwujudkan dalam pakarti.

    Proses tersebut dipraktikkan oleh Arso Tunggal dalam

    bidang pengobatan dan pertanian. Pengobatan alternatif

    merupakan penerapan kasih terhadap sesama manusia yang

    membutuhkan kesembuhan dari penyakit, pertanian alternatif

    merupakan penerapan semangat membantu para petani untuk

    maju, mandiri, berdaya saing, dan menjadi tuan rumah di negeri

    sendiri.

    Tiga inti ajaran humanisme kejawèn yang kemudian dikembangkan itulah, yang menurut penulis, menjadi landasan

    gerakan Arso Tunggal dalam pengobatan dan pertanian. Hu-

    manisme yang menghasilkan pakarti, yang kemudian disebut oleh paguyuban ini sebagai “memodernisasikan Jawa” adalah

    bentuk nyata gerakan berbasis humanisme kejawèn, mengang-kat kearifan lokal Jawa, agar dapat mengikuti perkembangan

    zaman.

    Pengobatan

    Arso Tunggal memodernisasikan kearifan lokal Jawa

    dalam bentuk pengembangan pengobatan tradisional Jawa;

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    180

    antara lain tuma (kutu) dan pisang emas untuk mengobati penyakit hepatitis.2

    Konsep pengobatan dengan kutu dan pisang emas itu

    dikembangkan bekerja sama dengan pihak Jepang, kemudian

    menghasilkan interveron (obat untuk penderita hepatitis). Penemuan formulasi interveron berawal dari penelitian Djoko Murwono tentang pengobatan Jawa dengan kutu dan pisang

    emas. Penelitian awal itu ia lakukan tahun 1985, hasilnya ia

    tawarkan ke seniornya satu almamater (UGM), tapi tidak men-

    dapat tanggapan positif.

    “Bahkan, hasil penelitian saya tentang tuma dan pisang emas itu dianggap gugon tuhon, saya dianggap paranormal. Hasil penelitian saya itu malah dibuang ke tempat sampah, lalu saya ambil dan saya opèni lagi. Karena Indonesia tidak mau, ya saya jual ke pihak Jepang, waktu itu melalui perusahaan rokok Gudang Garam yang memang memiliki relasi dengan perusa-haan Sumitomo, Jepang,” kata Djoko.

    Interveron mulai diproduksi secara massal di Jepang tahun 1992, setelah melalui uji coba pada hewan dan manusia.

    Setelah itu, pihak Sumitomo menawari kepada dia untuk mela-

    kukan berbagai macam penelitian untuk dipilih dan dikem-

    bangkan di Jepang. Sejak saat itu, Djoko Murwono melakukan

    berbagai penelitian. Sampai saat ini, dia sudah menghasilkan 60

    formulasi obat bio fito farmaka, selain sarana produksi pertani-

    an.

    Secara resmi hak paten obat-obat tersebut dimiliki oleh

    Jepang, namun formulasinya hasil karya Djoko Murwono. Dia

    2 Pengalaman penulis: dulu sewaktu masih kecil, kalau mengidap sakit

    kuning (hati) oleh orang tua diminta makan tujuh kutu yang dimasukkan ke dalam pisang emas.

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    181

    mendapatkan jasa produksi. Hasil karya itu didorong oleh

    semangat memberikan bantuan kepada masyarakat untuk men-

    dapatkan obat-obat dengan harga murah.3

    Arso Tunggal bisa menjual obat-obat dengan harga yang

    sangat murah dibandingkan dengan harga umum, karena Djoko

    Murwono memberikan subsidi lewat jasa produksi yang dia

    peroleh. Sebanyak 90 persen dari seluruh jasa produksi yang

    seharusnya dia peroleh diberikan untuk kesejahteraan di bidang

    sosial dan kesehatan internasional (international social and health welfare) yang dikelola Sumitomo Group. Subsidi tersebut antara lain disalurkan lewat United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), organisasi internasional untuk masalah pengungsi, dan yang lebih besar lagi lewat World Health Organization (WHO), organisasi PBB di bidang kesehatan.

    Djoko juga memberikan subsidi yang diambil dari tiga

    persen jasa produksi untuk pendidikan generasi muda calon-

    calon pemimpin di Asia Pasifik melalui perguruan tinggi di

    Jepang, yaitu Sofia University dan Hiroshima University. Be-rikut ini kutipan wawancara penulis dengan Djoko Murwono:

    Bagaimana sebenarnya mekanisme pemberian royalty untuk Pak Djoko? Itu urusan Jepang mas. Saya tidak mau tahu, karena kalau saya tahu malah jadi beban moral saya. Lebih baik saya tidak tahu.”

    Kalau semua royalty diterima, kira-kira berapa jumlahnya? Ya, hitung saja, misalnya interveron itu per mg harganya 10 dolar AS. Sekarang produksinya Jepang satu minggu sekitar 3 kwintal (atau 300 kg, atau 300 juta mg), hitung saja berapa… Untuk BIDJEVIC (Bio Immunity Development for Japanese Virus and Cancer

    3 Sebagai contoh, harga umum satu kapsul interveron sekitar Rp 450.000,

    tapi Arso Tunggal menjualnya hanya Rp 2.500 per kapsul dengan nama BCSH atau Bio Cythostatica Syndrome Hepar; harga obat untuk penyakit jantung formulasi paguyuban ini di apotek 75 mg Rp 35.000 per kapsul, di Arso Tunggal 150 mg hanya Rp 1.500.

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    182

    Effect), produksi 4 kwintal per hari, tinggal hitung saja dikalikan Rp 300.000. Tapi, saya tidak mau menghi-tung, nanti kejebak pada uang.

    Mengapa Pak Djoko tidak ambil seratus persen royalty itu? Sebenarnya saya bisa ambil seratus persen, tapi itu bukan nurani saya. Kalau saya sampai melanggar itu, saya terbelenggu uang. Saya hanya terima 5.000 dolar per bulan, itu pun banyak untuk nomboki kegiatan Arso Tunggal. Setahun ‘buku merah’ (daftar pasien yang menunggak memba-yar obat di Arso Tunggal) sampai Rp 150 juta… Itu harus dibayar. Ya, saya yang harus bayar. Uang royalty itu saya terima sebagai inspecstion fee, bukan dengan nama royalty.

    Harga Nopkor misalnya, Rp 180.000 per liter, harga internasional 18 dolar per liter, di Indonesia dijual 8 dolar per liter, nah selisih harga itulah subsidi saya. Ini jangkanya sampai 2015. Begitu pula dengan obat-obatan dan sarana produksi pertanian yang lain, saya memberikan subsidi lewat Sumitomo. Tidak lewat pemerintah Indonesia, karena ini bukan government to government (G to G), tapi P to P (person to person). Kalau lewat pemerintah, bocornya kakéhan.

    Kegiatan kami diaudit oleh lembaga internasional Black Forest Rangers, organisasi yang dulunya termasuk Kelompok Roma (Club of Rome), tapi yang khusus mencari dana. Obat-obat tersebut diproduksi di Indonesia dalam bentuk kapsul dengan mikroba yang didatangkan dari Jepang, disalurkan untuk pengobatan oleh Arso Tunggal melalui perkumpulan pengobatan Hati Kudus.4

    4 Mengenai Hati Kudus, Djoko menjelaskan: Hati Kudus mulai 1984.

    Organisasi formalnya ya Arso Tunggal, yang diakui negara. Tidak ada paguyuban Hati Kudus, namun nama internasionalnya Hati Kudus, Holy Core. Gerakannya sekarang masih ada di Belanda dan Jepang, tapi pantauannya sulit. Yang mendirikan Hati Kudus? Ya, saya. Sekarang masih ada juga di Nederland dan Jepang. Untuk wilayah Pasifik yang mengendalikan Jepang, untuk wilayah Eropa dikendalikan Belanda. Kaitan Hati Kudus dengan Asoka, yang mengelola obat-obatan dari Jepang itu? Kebetulan saya ada hubungan dengan Sumitomo. Sifatnya otonomi. Pendanaan di Eropa mandiri, di Jepang mandiri. Konsep yang didanai Jepang hanya yang berkaitan dengan negara sedang berkembang. Pusat Hati Kudus, secara formal ya di Indonesia, pendirinya saya. Di tempat kami, tidak ada pimpinan. Jepang punya bentangan sampai di Amerika Latin. Kaitannya mata rantai otonomi. Mungkin

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    183

    Stansol misalnya, minuman penambah nutrisi untuk kesehatan. Minuman ini diproduksi dengan bahan-bahan baku lokal, yaitu akar alang-alang, wimbo, kunir putih, temu lawak, minyak bawang putih, minyak wijen, minyak yaitun, bio ATP, pinicilium, rhizopus, galaktosa, arabinosa, manosa, polen, vitamin A, D, E, C, dan B, serta sukrosa, dan glukosa.

    Di Asia Tenggara, distribusi obat-obat bio fito farmaka

    (dan juga industri agro yang dikembangkan Jepang) diawasi

    oleh UD Asoka, yang dipimpin Ny. Djoko Murwono. Selain di

    Semarang, pos pengobatan Arso Tunggal juga ada di Sorong,

    Nabire, Jayapura (Papua), dan Ketapang (Kalimantan Barat).

    Untuk pos-pos di luar Jawa tersebut, administrasi keuangannya

    mulai ditangani oleh Asoka, bukan lagi di bawah Arso Tunggal.

    Obat-obat bio fito farmaka adalah obat-obat yang proses

    pembuatannya melalui rekayasa bio teknologi berbahan baku

    herbal. Ramuan-ramuan herbal diekstraksi, hasilnya disebut

    fito. Fito diekstraksi lagi dengan mikro organisme, hasilnya

    disebut bio.

    Djoko menjelaskan, dari satu kilogram ramuan herbal

    diekstraksi menjadi 12,5 gram fito farmaka, kemudian

    diekstraksi lagi (dibagi 30), menjadi kira-kira 450 miligram. Jadi,

    kalau seseorang minum tiga kapsul obat bio fito farmaka sama

    Hati Kudus Jepang sudah penetrasi ke Cina, Tibet, India, tapi kendalinya tetap di Jepang, Tapi, saya tidak perlu tahu itu. Pertama kali mereka menginduk di sini, sekitar tahun 1983-1984. Karena otonomi mereka bisa fleksibel, kalau masuk ke negara restriktif, seperti Cina misalnya, jadi organisasi tanpa bentuk. Kontaknya lewat Jepang. Saya tidak mau tahu, bagi saya besarnya organisasi bukan karena rekayasa, tapi karena karyanya. Apakah Jepang salah menangkap ide saya dan apa saya salah kalau mengembangkan ide ini ke luar negeri karena di dalam negeri tidak dihargai? Apa sebagai manusia Jawa saya salah? Apakah itu berarti saya tidak nasionalis? Kalau saya dikatakan tidak nasionalis, tolong sebutkan siapa yang menyebut dirinya sebagai nasionalis itu pernah memberikan sesuatu pada bangsanya selain korupsi…

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    184

    dengan meminum sekitar satu kg ramuan jamu. Rumusnya, satu

    kg ramuan herbal dibagi 80 menjadi fito, kalau dibagi lagi 40

    menjadi bio. Kalau bio itu diekstraksi lagi menjadi cairan untuk

    injeksi. Kelebihan obat bio fito farmaka adalah lebih aman bagi

    tubuh manusia.

    Penjelasan metabolisme sebagai berikut: obat yang

    diminum manusia, diserap oleh zat aktif mikroba dalam usus,

    mikrobanya mati, sel-selnya pecah, dan diserap dinding usus,

    sehingga akan memengaruhi ketahanan usus manusia. Dalam

    teknologi bio fito farmaka, metabolisme itu dilakukan di luar

    tubuh manusia (disebut secara infitro); bahan aktif dicampur

    dengan makanan mikroba usus, sehingga mikroba berkembang

    biak di luar tubuh manusia. Sel-sel mikroba tersebut dituai,

    dikumpulkan, difragmasi, kemudian dimasukkan membran (di-

    saring), hasil saringan pertama adalah obat-obat oral (diminum),

    adapun hasil saringan kedua menjadi obat cair untuk injeksi.

    Dengan proses infitro, bisa diketahui lebih dulu apakah

    obat-obat itu menyebabkan mikroba mati atau tidak, dengan

    kata lain dapat diketahui obat itu layak atau tidak dikonsumsi

    manusia. Jadi, obat bio fito farmaka lebih aman dibanding

    dengan obat-obat kimia, terlebih lagi obat-obat kimia biasanya

    juga mengandung logam berat.

    Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa obat-obat bio

    fito farmaka adalah obat-obat yang aman bagi usus, karena tidak

    mematikan mikroba yang justru bermanfaat bagi kesehatan

    manusia. Karena tidak mematikan mikroba itu, maka daya

    tahan usus tidak terganggu. Di sinilah terletak perbedaan antara

    obat-obat bio fito farmaka dan obat-obat kimiawi-modern.

    Penjelasan itu sejalan dengan pernyataan Hiromi Shinya

    (2010:41), bahwa kedokteran modern banyak mengandalkan

    obat-obatan untuk mengobati penyakit dan memerangi mikroba

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    185

    penyebab penyakit. Padahal, sesungguhnya obat-obatan adalah

    racun yang bukan hanya menghancurkan mikroba berbahaya,

    melainkan juga menghancurkan mikroba yang menguntungkan,

    terutama mikroba/bakteri yang berada dalam usus. Dengan

    demikian, obat-obatan cenderung merusak kondisi usus,

    sehingga ujung-ujungnya adalah rusaknya kesehatan tubuh kita.

    Shinya memberi contoh obat antibiotika, tidak hanya

    menghancurkan kuman yang diincar, tapi juga bakteri berman-

    faat. Dengan terganggunya bakteri bermanfaat, keseimbangan

    bakteri usus juga terganggu dan produksi enzim untuk kese-

    hatan sistem kekebalan menurun. Alhasil, tingkat kesehatan

    pun menurun.

    Menurut Djoko, sampai saat ini di dunia terdapat 600 jenis

    obat kategori teknologi bio, 124 di antaranya berada di Jepang,

    dan dari 124 itu sebanyak 60 jenis merupakan hasil pe-

    nelitiannya. Dia mengaku bahwa penelitian adalah panggilan

    hidupnya, itulah sebabnya dia dikenal sebagai peneliti di bidang

    rekayasa teknologi bio (bio technology engineering).

    Penelitian, bagi dia, harus bermanfaat bagi kemanusiaan

    dan mempunyai nilai jual. Dia memberi contoh, salah satu

    penelitiannya menghabiskan dana 10.000 dolar AS, maka ia

    akan menawarkan ke Jepang nilai penelitian itu 60.000 dolar

    AS; 10.000 dolar AS untuk penelitian pendahuluan yang sudah

    ia lakukan, sisanya (50.000 dolar AS) diinvestasikan untuk

    penelitian lain yang lebih besar lagi, terutama dalam hal man-

    faatnya bagi kemanusiaan.

    Penelitian pendahuluan untuk sarana produksi pertanian

    (Nopkor) yang ia lakukan menghabiskan dana 5.000 dolar AS,

    tapi ia mendapat dana dari Jepang 30.000 dolar AS. Penelitian

    pendahuluan untuk obat penyakit jantung menghabiskan uang

    56.000 dolar AS, dibeli oleh Jepang 150.000 dolar AS. “Sisanya

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    186

    adalah investasi untuk penelitian-penelitian yang hasilnya akan

    berkembang lama. Saya selalu terus terang dengan pihak Je-

    pang, penelitian awal habis sekian dolar, saya jual sekian dolar.

    Kalau mau ya tinggal tanda tangan…” kata Djoko Murwono.

    Ia mengkritik peneliti-peneliti Indonesia, yang kebanyak-

    an tidak mempertimbangkan segi manfaat bagi kemanusiaan

    dan memandang penelitian sebagai proyek saja. Karena itu, di

    bidang penelitian ini Indonesia tertinggal selama enam dekade

    (60 tahun) dari negara-negara lain.

    Djoko pun mengungkapkan, banyak kearifan lokal Jawa

    yang tidak tergarap dengan baik, bahkan sekarang hilang,

    misalnya pemanfaatan peté untuk mengobati penyakit. Peté mengandung bahan tertentu untuk menurunkan kadar gula

    dalam darah, agar baunya tidak menyengat maka peté bisa dibuat acar. Caranya, bagian dalam peté dikupas, tapi kulit kerasnya dibiarkan. Kearifan lokal seperti itu yang sharusnya

    dikembangkan. Ketika kecil, dia diajari oleh éyang di Yogyakarta, cara membuat acar peté, dicampur bawang dan brambang. Proses pembuatannya sekitar satu minggu. Melalui

    proses itu, maka rasa peténya halus sekali.

    Paguyuban Arso Tunggal melakukan praktik pengobatan

    alternatif tersebut di dua tempat, yaitu di padepokan Bulusan

    Selatan setiap hari Minggu dan di rumah Djoko Murwono di

    Jalan Plamongan Indah Raya 479, Semarang setiap hari Kamis

    dan Jumat.

    Selain mendapat obat alternatif yang dikembangkan Arso

    Tunggal, pasien-pasien yang datang juga mendapat terapi

    dengan cara tubuhnya rebah di atas paku-paku kayu dan

    ditotok di bagian-bagian pusat syaraf. Praktik pengobatan ter-

    sebut dilakukan oleh anggota paguyuban yang sudah masuk

    kategori prajurit.

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    187

    Gambar 4: Proses pengobatan di Paguyuban Arso Tunggal:

    Subiyanto, salah seorang prajurit Arso Tunggal menjelas-

    kan, untuk mencapai tingkatan prajurit seseorang harus melalui

    ujian dan pelatihan. Mereka melakukan puasa selama 40 hari

    dengan pantang makanan tertentu, setelah itu dilatih melaku-

    kan terapi dengan menggunakan alat berupa dua tongkat kayu

    sepanjang kira-kira 30 centimeter. Saat ini, ada enam prajurit

    yang selalu siap melayani pengobatan.

    Sumber: dok. Arso Tunggal

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    188

    Pertanian

    Di bidang pertanian, Arso Tunggal membangkitkan

    kemandirian petani, yang hilang karena revolusi hijau dan

    pertanian transgenik. Langkah tersebut dilakukan melalui

    penerapan Sistem Pertanian Organik Rasional (SPOR).

    Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu

    sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat

    revolusi hijau.5 Revolusi hijau menurunkan kuantitas dan

    kualitas pro-duksi pangan, mengakibatkan biaya produksi

    pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan.

    Gerakan pertanian organik pada umumnya dimengerti

    sebagai gerakan budidaya pertanian yang anti pemakaian pupuk

    anorganik dan (terlebih lagi) pestisida. Dua sarana produksi

    pertanian (pupuk anorganik dan pestisida) itu digunakan secara

    masif dalam sistem pertanian modern atau yang dikenal sebagai

    revolusi hijau. Dari awal yang kecil, kini gerakan pertanian

    organik makin meluas. Makin banyak konsumen pangan yang

    membutuhkan produk-produk organik, karena alasan kesehatan

    dan rasa yang lebih segar.

    Sesungguhnya pertanian organik telah diterapkan pada

    pra-revolusi hijau, yakni sebelum tahun 1970-an. Pada era itu,

    penyediaan benih dilakukan petani secara mandiri, dengan

    menyisihkan sebagian hasil panen. Ada kalanya benih didapat

    dari lumbung padi di desa yang dikelola secara kolektif.

    Lumbung padi dalam hal ini juga berfungsi sebagai “pertahan-

    5 Revolusi hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk

    menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknolo-gi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Konsep Revolusi hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasem-bada beras.

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    189

    an” manakala ada warga desa yang mengalami krisis pangan

    atau butuh bibit untuk tanaman.

    Di sisi lain, sarana produksi pertanian juga disediakan

    sendiri. Pupuk tanaman berasal dari kompos, humus, atau

    kotoran hewan. Cara menanggulangi hama (burung dan tikus)

    pada umumnya dilakukan secara mekanis. Cara-cara kimiawi

    belum dikenal. Serangga-serangga yang sekarang jadi hama

    yang mengancam, dulu bukanlah hama. Mereka menjadi hama,

    ketika tersedia makanan dalam jumlah berlimpah, berupa

    jarringan tanaman pangan yang lunak karena pemupukan N

    (urea) dan asupan air yang berkelimpahan. Pada saat itu,

    pestisida dibutuhkan untuk membasminya.

    Revolusi hijau atau modernisasi pertanian (pangan) yang

    berbasis benih unggul hasil persilangan dan pemuliaan – cirinya

    rakus asupan kimiawi (khususnya pupuk anorganik) dan air –

    dan mampu memberikan hasil berkali lipat serta waktu tanam

    lebih pendek dibanding bibit-bibit lokal, mengubah segalanya.

    Hubungan patron-klien di desa menjadi terkikis. Lumbung padi

    mengalami kematian secara sistematis. Benih-benih tanaman

    tidak lagi disediakan sendiri, karena pertanian modern itu

    mewajibkan benih-benih hasil persilangan yang tersertifikasi

    (oleh industri benih atau balai penelitian benih) dan harus

    dibeli.

    Orde ekonomi pasar yang hadir bersama revolusi hijau

    juga melahirkan lembaga-lembaga tata niaga produksi pertanian

    pangan, seperti KUD, Dolog, dan Bulog, yang secara sistematis

    mematikan lumbung desa. Penerapan revolusi hijau selama

    puluhan tahun telah membawa perubahan radikal dalam cara

    berpikir dan bersikap petani, yang makin pragmatis.

    Ijon dan tebasan adalah salah satu bentuknya ketika

    petani menjalani panen, tidak rikuh (sungkan) lagi pada

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    190

    tetangga-tetangga yang berkekurangan, karena hubungan

    patron-klien makin terkikis. Demikian pula interaksi dengan

    lahan dan tanamannya. Ketika melihat serangga, langsung

    semprot dengan pestisida, jika perlu mengoplos sendiri berbagai

    pestisida yang tersedia. Jika tanam-an padi masih kelihatan

    kuning, tebar urea untuk menjadi-kannya hijau dan subur.

    Di tingkat global, sesungguhnya produk-produk trans-

    genik – yang lebih eksploitatif dari revolusi hijau – makin me-

    masyarakat dan mengakar. Akibatnya, makin terjadi kecende-

    rungan monopolistik dalam penyediaan benih oleh perusahaan-

    perusahaan transnasional, kecenderungan penyeragaman pola

    tanam yang akan menggilas keanekaragaman hayati, serta

    makin masif dalam pemakaian insektisida dan herbisida. Dunia

    ketiga makin teracuni, sementara perusahaan-perusahaan benih

    dan pestisida makin menggurita, terlebih lagi didukung oleh

    sistem neoliberalisme. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak

    jelas terhadap produk transgenik membuat produk-produk itu

    tidak tersaring, tak terseleksi, dan tak terbendung masuk di

    negeri ini.

    Pola pemikiran Arso Tunggal itu selaras dengan

    pendapat Hiromi Shinya (2010:42-43) yang mengung-

    kapkan, pertanian zaman sekarang sudah terjebak pada

    ketergantungan berlebihan terhadap “obat kimiawi.”

    Pertanian menggunakan banyak pupuk kimia dan

    pestisida di lahan garapan untuk menambah hasil panen

    dan meningkatkan efisiensi pertanian. Biasanya

    pestisida berupa zat kimia seperti insektisida, fungisida,

    dan herbisida yang digunakan untuk membunuh

    serangga, bakteri penyebab penyakit tanaman, atau

    membunuh tanaman liar. Saat ini tercatat sekitar 5.000

    jenis pestisida yang terdaftar.

    Pupuk, menurut Shinya, adalah zat-zat yang

    diperlukan tanaman dan diproduksi lewat proses kimia

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    191

    di pabrik. Nitrogen yang diperlukan daun, fosfat yang

    diperlukan buah, dan kalium yang diperlukan akar

    disatukan dalam pupuk NPK. Bagian-bagian pupuk

    kimia langsung diserap tanaman, menjanjikan panen

    yang baik dalam waktu singkat. Masalahnya, ketergan-

    tungan mutlak terhadap pupuk kimia akan

    menyebabkan rusaknya keseimbangan mineral dalam

    tanah akibat terlalu banyak tiga mineral (nitrogen,

    fostat, dan kalium). Kemudian, ada masalah pada sifat

    tak organiknya pupuk kimia, yang tidak memelihara

    mikroorganisme dalam tanah. Akibatnya, ketergan-

    tungan pada pupuk kimia menyebabkan merosotnya

    kualitas tanah.

    Tahun 1992-1993 Djoko Murwono memperkenalkan

    SPOR di Bangkok, Thailand. Di negara itu, teknologi tersebut

    bisa berkembang dan sekarang menghasilkan produk-produk

    pertanian yang maju, bahkan juga berkembang di Myanmar dan

    Vietnam. Tahun 1994 ia memperkenalkan SPOR di Indonesia,

    tapi tidak bisa berkembang dengan baik.

    Sistem Pertanian Organik Rasional juga mengajak petani

    untuk melakukan aktivitas:

    1. Menyediakan/memproduksi benih lokal sendiri.

    Dengan perlakuan tertentu (rekonstruksi genetika),

    benih lokal akan mengalami perbaikan genetik dan

    proses aklimatasi, justru ketika ditanam secara

    berkelanjutan (anakannya jadi benih tanaman beri-

    kutnya) di wilayah yang sama. Produksinya akan

    makin baik – kuantitas maupun kualitas — dari waktu

    ke waktu. Dengan memproduksi dan menyediakan

    benih lokal sendiri, maka lumbung desa pun punya

    peluang untuk hidup kembali, selain benih lokal itu

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    192

    terlestarikan dan termuliakan. Petani tidak lagi

    tergantung pada industri benih.

    2. Memproduksi pupuk sendiri (biosol/kompos). Pupuk yang dibuat – yaitu biosol atau kompos – berbahan

    dasar kotoran hewan dan seresah sampah, yang di-

    perkaya unsurnya lewat asupan mikroba atau NPK

    bacter (Nopkor). Mikroba ini, selain mampu mengurai unsur NPK dari bahan organik, juga dapat mengurai

    sisa-sisa pupuk anorganik dari pemupukan sebelum-

    nya, menjadi hara yang sangat kaya dan mudah

    terserap tanaman. Dalam hal ini, SPOR tidak anti

    pemakaian pupuk anorganik. Pemakaian pupuk

    anorganik majemuk (berunsur NPK) dalam jumlah

    terbatas akan membantu menghidupkan mikroba

    pengurai (NPK bacter), serta memperkaya unsur-unsur NPK dalam kompos. Kekayaan unsur ini yang

    membedakannya dengan pertanian organik kon-

    vensional yang mengandalkan sepenuhnya pada

    mekanisme alam, sehingga lama proses pelapukan

    oleh mikroba dan unsur haranya tidak terlalu kaya.

    3. Memproduksi sendiri “Miradan,” pestisida ramah

    lingkung-an. Ramuan anti hama “Miradan” ini

    berbahan aktif Demplop, pestisida organik yang

    bersifat alifatis; jika terkena terpaan panas dan

    ultraviolet akan terurai menjadi pupuk organik.

    4. Memperkenalkan pemakaian pupuk daun (lipotril). Jika kompos menyediakan hara makro bagi tanaman,

    maka pupuk daun menyediakan hara mikro, serta

    sangat efektif untuk membantu proses pembungaan

    dan pembuahan, karena langsung masuk ke kloropil

    tanaman.

    5. Menyediakan informasi pemasaran. Pada prinsipnya,

    petani diberi kebebasan menjual produksinya ke mana

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    193

    pun mereka suka. Tapi, Arso Tunggal berusaha

    menyediakan alternatif pemasaran, dengan menda-

    tangkan pembeli produk pertanian organik.

    Dari sisi pencapaian produksi, dengan hasil panen 7,5 ton

    gabah kering giling per hektare dalam hitungan ubinan dengan

    usia sekitar 100 hari, paket SPOR sangat bisa bersaing dengan

    produksi padi pertanian modern atau pertanian transgenik

    melalui produk-produk hibrida. Hal itu bukan menjadi satu-

    satunya ukuran kelestarian SPOR. Masih ada hal-hal lain yang

    dijadikan acuan, seperti: apakah biaya produksinya lebih murah,

    apakah faktor-faktor produksi selalu tersedia dan mudah

    diakses, apakah harga jualnya lebih tinggi, serta apakah proses

    produksinya tidak merepotkan.

    Kalau penerapan SPOR bisa lestari, dan dalam jangka

    panjang meluas lagi, maka hal ini memberi sumbangan yang

    sangat positif pada rantai pasokan pangan yang berkeadilan,

    karena: tanah bisa menjadi makin sehat dan subur; biaya

    produksi makin berkurang; produksi makin tinggi; bibit-bibit

    lokal termuliakan; soliditas masyarakat desa makin tinggi;

    ketergantungan pada benih, pupuk, dan pestisida dari luar

    makin berkurang; hasil pertanian makin lebih bermutu dan

    sehat, dan dampak positifnya; masyarakat mengonsumsi hasil

    pertanian yang lebih berkualitas dan sehat.

    Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan satu di

    antara varian gerakan pertanian organik yang masih akan

    mengalami banyak sekali cobaan untuk mampu bertahan,

    tumbuh, dan berkembang. Banyak hal ideal yang terdapat di

    dalamnya, yang pada intinya mengupayakan kemandirian pe-

    tani yang hilang akibat pertanian modern (revolusi hijau,

    rekayasa genetika) yang masif dan mengglobal.

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    194

    Sekalipun oleh penggagasnya SPOR dijadikan sarana

    untuk melakukan resistensi terhadap sistem pertanian modern

    yang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan, pertim-

    bangan ideologis itu bukanlah yang utama di tingkat petani

    pelaksananya. Pertimbangan pragmatis lebih utama, maka agar

    bisa tumbuh dan berkembang SPOR harus teruji di level

    pragmatis, artinya mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan

    pragmatis petani: lebih banyak hasil produksinya, lebih baik

    hasil jualnya, lebih ringan biaya produksinya, dan lebih mudah

    melakukannya.

    Salah satu kegiatan SPOR Arso Tunggal adalah penerapan

    sistem ini di Desa Babakan, Kecamatan Bodeh, Kabupaten

    Pemalang, Jawa Tengah. Panen perdana padi organik di wilayah

    itu dilakukan pada Kamis, 25 Maret 2010. Secara total, terdapat

    32,232 hektare lahan padi organik yang dipanen. Lahan-lahan

    itu tersebar di 14 desa, yaitu Desa Tegalsari Timur Kecamatan

    Ampel Gading, dengan luasan panen 8,085 hektare, Babakan

    Bodeh (6,66 hektare), Loning, Petarukan (5,33 hektare),

    Ujunggede, Ampelgading (2,66 hektare), Cibuyuk, Ampelgading

    (2,31 hektare), Jojogan, Watukumpul (2,30 hektare), Desa

    Taman, Kecamatan Taman (1,66 hektare), Pedurungan, Taman

    (1,165 hektare), Pesantren, Ulujami (0,66 hektare), Desa

    Petarukan, Kecamatan Petarukan (0,33 hektare), Danasari,

    Pemalang (0,33 hektare), Sarwodadi, Comal (0,33 hektare),

    Kendalsari, Petarukan (0,247 hektare), dan Sungapan, Pemalang

    (0,165 hektare).

    Varietas yang ditanam adalah pandanwangi, mentik-

    wangi, ciliwung, mentik putih, cibagendit, beras merah, tegal-

    gondo, cunde, dan ciherang. Mayoritas padi itu adalah varietas

    lokal yang didapatkan dari Grobogan dan Yogyakarta.

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    195

    Gerakan pertanian organik di Kabupaten Pemalang ber-

    langsung bersamaan dengan gerakan pemasyarakatan sertifikasi

    lahan masyarakat yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan

    Kabupaten Pemalang.

    Gambar 5: Kegiatan SPOR di Pemalang:

    Penerapan SPOR secara luas (32,23 hektare) untuk tahap

    pertama penanaman padi maupun padi beras merah juga

    dilatarbelakangi “kisah sukses” sistem yang digunakan itu untuk

    “menyembuhkan” lahan sawah milik Bupati Pemalang di Desa

    Loning Kecamatan Petarukan yang lama tidak produktif karena

    kadar keasamannya yang tinggi. Lahan sawah di Desa Loning

    Sumber: dok. Arso Tunggal

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    196

    tersebut telah bertahun-tahun tidak produktif, banyak cara

    telah digunakan untuk membuatnya kembali produktif, bahkah

    pernah di lahan itu ditanami mangga, tetapi hasilnya tetap tidak

    subur dan berbuah.

    Sebelum di Pemalang, Arso Tunggal telah menerapkan

    SPOR dalam skala yang terbatas di daerah Kendal, Purwodadi,

    Salatiga, dan Sleman DIY, untuk budidaya komoditas padi lokal,

    beras merah, kacang hijau, lombok, tembakau, dan markisa.

    Untuk pertanian organik rasional, sebenarnya Arso Tung-

    gal telah memulainya sejak awal tahun 1990, namun berhenti

    pada tahun 1997 karena persoalan manajemen. Gerakan ini

    mulai dihidupkan kembali pada tahun 2007.

    Dalam upaya memberdayakan para petani, Paguyuban

    Arso Tunggal Djoko Murwono berusaha menghidupkan kem-

    bali konsep lumbung desa. Dasar pemikirannya adalah, dalam

    konsep lumbung desa para petani selalu membuat bibit sendiri

    dan berjalan secara mandiri. Untuk mendapatkan bibit pangan,

    selain secara mandiri juga menjadikan bibit yang secara iklim

    teradaptasi; proses aklimatasi yang dilakukan sesuai dengan

    kondisi cuaca dan iklim setempat.

    Kapitalisasi dalam bidang agro, mendorong pembuatan

    bibit – dengan berbagai alasan, harus tergantung dengan bibit

    yang dibuat pabrik serta dengan alasan sudah tersertifikasi –

    menyebabkan terjadinya gagal panen karena kualitas bibit yang

    tidak memadai.

    Oleh sebab itu, kearifan lokal seharusnya merupakan

    benteng pertahanan utama untuk mencegah kerusakan akibat

    perubahan iklim secara global yang disebabkan kenaikan suhu

    global, bocornya ozon, sehingga intensitas sinar ultra violet matahari makin tinggi. Menghadapi tantangan ini, perlu

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    197

    terobosan teknologi yang lebih memadai serta bersifat

    pendampingan yang berujung pada kemandirian. Langkah yang

    perlu ditempuh adalah penguatan kearifan lokal, dimulai

    dengan penerapan konsep lumbung desa; menyimpan sebagian

    hasil panen untuk persediaan pangan di masa sulit dan

    pembenihan dilakukan secara mandiri.

    Sekarang, posisi tawar petani sangat rendah, karena dari

    awal sudah dibebani kewajiban membayar utang, sehingga

    sawah diijonkan. Akibatnya, walaupun sebagai pemilik lahan,

    petani tidak ubahnya sebagai petani penggarap belaka. Petani

    tidak menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

    Teknologi yang diterapkan seharusnya dapat lebih meng-

    aktualisasikan kearifan lokal yang ada, sehingga memperkecil

    kemungkinan kegagalan. Contoh kearifan lokal Jawa dalam

    pertanian: membaca tanda musim dengan berbagai ilmu per-

    bintangan, tanda hewan tertentu mulai muncul akan dimulai

    dengan bercocok tanam jenis tanaman yang sesuai. Misalnya,

    apabila ada bunyi serangga tenggeret, maka yang paling cocok

    adalah mulai menyebar tanaman kacang hijau atau kedelai,

    karena akan panen di tengah musim kemarau, sehingga tanpa

    terhalang dalam pengeringan oleh sinar matahari. Apabila

    mulai banyak angin dan setelah puncak bunga turi selang

    sebulan, mulai menggarap tanah sawah. Selain itu, perlu

    mengistirahatkan lahan pertanian atau pergantain tanaman

    dengan tujuan memotong masa inkubasi hama tanaman.

    Peran keilmuan dan pengetahuan yang bertitik tolak dari

    kearifan lokal semacam itu seharusnya dikembangkan dan di-

    lengkapi, termasuk di dalamnya penggunaan pupuk kandang

    dalam sistem budidaya yang dilakukan, serta model tumpang-

    sari untuk mendukung ketersediaan pangan secara harian untuk

    konsumsi sayur.

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    198

    Melalui SPOR, Arso Tunggal melakukan pendampingan

    kepada para petani, dengan tujuan agar petani lebih mandiri

    dan berdaya menghadapi perubahan yang terjadi. Pendamping-

    an dilakukan untuk menyejahterakan umat secara keseluruhan.

    Teknologi yang diterapkan meliputi: teknologi pemulia-

    an bibit lokal, pengelolaan lahan, pembuatan sarana pertanian,

    terutama pupuk organik, pestisida alifatis yang sistemis dengan

    racun alami, pemanenan dan teknologi lepas panenan, serta

    model perdagangan dan permodalan, sehingga mengurangi

    jumlah petani yang terkena ijon.

    Desa adalah tatanan masyarakat agraris yang sesungguh-

    nya, yang merupakan sumber bahan pangan masyarakat

    perkotaan. Ironisnya, pemerintah cenderung melakukan

    regulasi dan stabilisasi harga pangan, tetapi kurang memikirkan

    fungsi dan peran desa sebagai penyangga ekonomi dan sosial

    secara nasional. Keberpihakan pemerintah pada masyarakat

    perkotaan, dalam banyak hal merugikan masyarakat pertanian

    pedesaan, sehingga dalam kurun waktu yang panjang akan

    menghancurkan peran dan fungsi desa.

    Dalam stabilisasi harga pangan, pemerintah selalu meng-

    gunakan hukum ekonomi kapitalistik, karena pengendalian

    moneter dipegang secara langsung oleh negara; penyeimbangan

    antara persediaan dan permintaan (supply and demand). Pada saat panen raya, dengan sendirinya harga pangan, terutama

    beras, akan menjadi murah, tetapi pemerintah tidak pernah

    berperan untuk menjaga stabilitas harga, justru menyerahkan-

    nya pada mekanisme pasar. Akibatnya, harga pangan menurun

    tajam karena banyak persediaan melimpah.

    Sebaliknya, di saat para petani tidak panen, pamerintah

    sering menyebutnya paceklik dan oleh karena itu mengimpor

    beras dengan alasan demi stabilitas harga dan stabilitas politik.

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    199

    Hal itu kemudian mengakibatkan rendahnya tingkat kesejah-

    teraan petani di pedesaan. Dampak berikutnya, terjadi alih

    profesi kelompok muda pedesaan, dari petani menjadi buruh

    pabrik atau pekerja kasar di perkotaan.

    Djoko menyebutkan, konsep yang diterapkan pemerintah

    dalam kaitannya dengan pembangunan adalah konsep ”kota

    mengepung desa,” bukan kota yang dikepung dan dihidupi oleh

    desa. Padahal, yang diperlukan pembangunan nasional saat ini

    adalah konsep keseimbangan sosial dan ekonomi, saling ber-

    sinergi dan saling menguntungkan antara masyarakat perkotaan

    dan masyarakat pedesaan. Itulah sebabnya, perlu dilakukan

    pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa yang ber-

    basis pertanian, agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

    Kearifan lokal masyarakat pertanian pedesaan perlu di-

    bangkitkan lagi. Kearifan lokal itu penuh dengan aspek keber-

    samaan yang dimulai sejak kecil, ketika ikatan kekeluargaan

    merupakan terminal dalam mengatasi kesulitan hidup. Ung-

    kapan ”mangan ora mangan, waton kumpul” (”makan tidak makan, yang penting kumpul”) sesungguhnya mencerminkan

    solidaritas masyarakat desa untuk saling berbagi. Begitu pula

    budaya rewangan dan nyumbang (saling membantu kalau ada tetangga punya hajat), gugur gunung (saling membantu dan merawat sarana pedesaan), sambatan (saling membantu dalam membangun rumah). Ciri masyarakat pedesaan itu seharusnya

    dikembangkan lagi untuk menghadapi gempuran budaya glo-

    balisasi.

    Pembinaan keakraban dan kekeluargaan itu diisyaratkan

    lewat tembang ”Ilir-ilir” berikut ini:

    Lir ilir, lir ilir tanduré wus sumilir Tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar Cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi Lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    200

    Dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir Domana jlumantara, kanggo seba mengko soré Mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané Dha suraka, surak horé!

    Terjemahan bebas tembang itu adalah:

    Bangun dan bangunlah, tanaman padi mulai bertahan hidup/Tanaman itu tampak hijau segar, seperti kehi-dupan pengantin baru/Anak gembala tolonglah panjat pohon belimbing itu/Walaupun licin tetaplah dipanjat, sebab akan digunakan mencuci kain yang dipakai/Jarik yang sobek pinggirnya supaya dijahit/se-bab akan di-pakai resepsi nanti sore/Semampang bulan terang, semampang luas halaman rumah/Marilah semua ber-sorak dan bergembira.

    Itulah pesan budaya, yang sekilas tanpa makna dan arti,

    namun sebenarnya sarat dengan rasa syukur dalam kebersa-

    maan dan kesederhanaan. Itulah modal besar yang dapat digu-

    nakan untuk melewati krisis multidimensional yang sekarang

    melanda dunia, karena kota menjadi modern, individualistis,

    materialistis, serta tidak lagi memiliki kepedulian dan solidari-

    tas.6

    6 Keterangan Djoko bahwa tembang ”Ilir-ilir” merupakan isyarat keakraban

    dan kekeluargaan masyarakat pedesaan berbeda dari pengetahuan yang selama ini berkembang. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa tembang tersebut hasil karya Sunan Kalijaga, namun Solichin dalam buku Sekitar Wali Sanga (dalam Purwadi dkk, 2005:190-192) menjelaskan, belum dapat dipastikan apakah pengarang tembang itu Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang. Pada awal tahun 1962, Lembaga Kantor Berita (LKBN) Antara pernah menurunkan tulisan yang mengulas tembang itu. Disebutkan, ”Ilir-ilir” merupakan karya Sunan Kalijaga dan dimaksud untuk memberitahukan bahwa telah tiba saatnya untuk menggempur Majapahit, sebagai pencanangan perang. Pembesar-pembesar dari pesisir yang telah memeluk Islam menunggu saat yang tepat untuk menyerang Majapahit. Tulisan itu mendapat sorotan tajam, terutama dari Islam garis keras. Banyak ahli yang menyatakan bahwa penafsiran itu keliru. Menurut para ahli tersebut, tembang ”Ilir-ilir” sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam penyiaran agama Islam sangat jelas, sehingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dan ajaran lain. Menurut para ahli

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    201

    Ciri-ciri kehidupan sosio-kultural masyarakat desa Jawa

    itu, oleh Purwadi (2005:71-73) dinyatakan sebagai berikut:

    1. Menjunjung kebersamaan: diwujudkan dalam bentuk

    kerja bakti, gotong royong, gugur gunung, sambatan, jagongan, dan rewang;

    2. Suka kemitraan: siapa saja yang datang dianggap

    sebagai saudara;

    3. Mementingkan kesopanan: terwujud dalam istilah

    antara lain unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basu krama, dan suba sita;

    4. Ahli musim: di balik kesederhanaan, ternyata masya-

    rakat Jawa sangat paham terhadap pergantian musim

    (pranata mangsa). Mereka mengerti soal pergantian musim, terutama berkaitan dengan masa tanam dan

    masa panen (musim penghujan, musim kemarau,

    labuh, marèng); 5. Pertimbangan religius: sistem kepercayaan masyara-

    kat Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindak-

    annya; selalu mencari hari pasaran yang baik setiap

    akan melakukan kegiatan. Di pedusunan banyak

    tersebut, makna kalimat Ilir-ilir, ilir-ilir tanduré wis sumilir adalah makin subur dan tersiarlah agama Islam yang disiarkan oleh para wali dan mubalig; tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar = hijau adalah warna dan lambang agama Islam, dikira pengantin baru; cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi = cah angon diibaratkan penguasa yang menggembalakan rakyat dan disarankan masuk Islam, disimbolkan dengan buah belimbing yang berbentuk segi lima sebagai lambang rukun Islam; lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira = walaupun licin, tapi usahakanlah agar dapat masuk Islam demi menyuscikan pakaian (bagi orang Jawa agama ibarat pakaian); dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir = pakaian (atau agama) kalian sudah rusak; domana jlumantara, kanggo seba mengko soré = pakaian (atau agama) yang sudah rusak itu harus dijahit (diperbaiki) sebagai bekal menghadap Tuhan; mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané = selagi masih hidup, masih ada kesempatan untuk bertobat. Dha suraka, surak horé! = bersoraklah, bergembiralah!

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    202

    dijumpai upacara tradisional yang berkaitan dengan

    sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke

    generasi;

    6. Toleransi tinggi: segala kejadian di luar dirinya dibi-

    arkan saja berjalan secara alami. Orang mudah me-

    maafkan kesalahan orang lain;

    7. Hormat pada pemimpin: masyarakat pedesaan selalu

    menaruh hormat kepada para pemimpinnya;

    8. Hidup pasrah: masyarakat pedesaan berserah diri

    kepada Yang Maha Kuasa dalam setiap menghadapi

    masalah kehidupan;

    9. Cinta seni: masyarakat pedesaan menyukai keseni-an,

    terutama kesenian tradisional yang berkembang di

    wilayah mereka;

    10. Dekat alam: kedekatan dengan alam ini misalnya

    tercermin dari cara masyarakat pedesaan menyebut

    matahari (dengan Sang Hyang Surya), bulan (Sang

    Hyang Candra), dan angin (Sang Hyang Bayu).

    Kedekatan masyarakat Jawa pada alam juga tercermin dari

    ungkapan ”ibu bumi, bapa angkasa,” bahwa bumi adalah simbol ibu yang menumbuhkan tanaman, langit adalah simbol ayah

    karena melindungi dan menurunkan hujan.

    Djoko mengungkapkan, di banyak negara lain sektor per-

    tanian menerima subsidi dan dilindungi dari ekspansi produk

    pertanian asing, karena sektor pertanian merupakan salah satu

    bentuk pertahanan pangan, yang merupakan kebutuhan dasar

    bagi masyarakat. Di banyak negara, pemerintah membeli

    produk pangan rakyatnya dengan harga yang tinggi, kemudian

    menjual di dalam negerinya dengan harga yang murah, sehing-

    ga melindungi petani, agar produk tetap kompetitif dibanding-

    kan dengan harga produk asing.

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    203

    Ironis, di Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris,

    pemerintah justru memberikan subsidi bukan pada pelaku

    pertanian, melainkan kepada pada broker pertanian dan pelaku pasarnya. Akibatnya, alih fungsi profesi dan lahan selalu terjadi

    dan sektor pertanian makin tidak populer sebagai penyerap

    tenaga kerja. Pemerintah tidak mampu melindungi dan menye-

    jahterakan para petani. Kenyataan itu menjadi salah satu penye-

    bab meningkatnya arus urbanisasi.

    Masalah urbanisasi bukan sekadar kesenjangan partum-

    buhan ekonomi desa-kota, melainkan juga masalah budaya

    sebagai akibat dari pergeseran nilai-nilai masyarakat pedesaan.

    Pergeseran itulah yang bisa disebut sebagai perubahan ruralism ke urbanism. Istilah ini mungkin kurang lazim, namun intinya adalah pergeseran cara pandang masyarakat pedesaan yang dulu

    merasa nyaman menjadi orang desa sekarang risi dianggap ndesa sehingga berusaha menjadi orang kota. Ada kerancuan pikir, seolah-olah kota adalah modern-maju sedangkan desa

    adalah keterbelakangan. Kerancuan ini pun dipicu oleh pemba-

    ngunan dan modernisasi yang dilandasi nilai-nilai kapitalistik

    Barat.

    Mengapa ‘’virus’’ urbanisme sangat mencengkeram ma-

    syarakat pedesaan, sehingga sektor pertanian tertatih-tatih dan

    tidak lagi menjadi primadona? Salah satu jawabnya adalah,

    lemahnya ketahanan budaya menghadapi gempuran arus global.

    Kita sebenarnya belum bebas dari penjajahan budaya. Urbanis-

    me adalah salah satu bentuk keterjajahan itu. Masyarakat pe-

    desaan tidak lagi mandiri sebagai entitas yang bangga dengan

    eksistensinya. Ironisnya, perasaan tidak bangga terhadap pe-

    desaan juga merasuki para elite yang berwenang menyusun

    strategi pengembangan masyarakat. Akibatnya, kebijakan pe-

    merintah sering tidak memihak masyarakat pedesaan. Pedesaan

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    204

    sebagai sentra pembangunan perekonomian masih menjadi

    slogan manis yang belum terlaksana.

    Gambar 6:

    Diskusi Lumbung Desa dan Kemandirian Petani:

    Diskusi pengembangan pertanian organik dengan anggota DPRD DIY dan LSM:

    Akibat berikutnya, pembangunan masih terkonsentrasi di

    perkotaan. Anggaran pembangunan dan peredaran uang

    menumpuk di kota-kota besar. Pembangunan infrastruktur

    memang sudah masuk desa-desa, tapi, karena tidak diimbangi

    ketahanan budaya, maka hasilnya justru menjadi sarana

    Sumber: koleksi pribadi penulis

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    205

    masuknya nilai-nilai kapitalisme Barat, bukan menjadi pemicu

    kebangkitan potensi lokal.

    Urbanisme sebagai pola pikir ibarat pondasi yang rapuh.

    Kebijakan ekonomi yang pro-perkotaan adalah tiang-tiang yang

    tidak kokoh. Akibatnya, masyarakat menjadi bangunan yang

    mudah guncang akibat pengaruh dari luar.

    Menghadapi kenyataan itu, pendampingan yang dilaku-

    kan Paguyuban Arso Tunggal lewat SPOR diarahkan agar para

    petani mampu memproduksi hasil pertaniannya secara mandiri

    dan membuka peluang ke pasar global. Cara itu diharapkan

    mampu meningkatkan kesejahteraan petani, karena harga jual

    produk pertanian mereka dibeli dengan harga yang tinggi.

    Sampai saat ini, Arso Tunggal sudah membantu petani meng-

    ekspor produk mereka ke Korea Selatan dan sedang dalam

    penjajakan ekspor ke Belanda.

    Konsep pengembangan lumbung desa dan SPOR itu telah

    menarik berbagai pihak. Djoko Murwono sering diundang oleh

    berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta,

    untuk menjelaskan gagasan-gagasannya.

    Perbandingan Arso Tunggal dan Humanisme Barat

    Untuk memberikan gambaran lebih rinci, berikut ini

    perbandingan antara humanisme Arso Tunggal dan humanisme

    Barat.

    Arso Tunggal dan Humanisme Klasik

    Pemikiran yang dikembangkan Paguyuban Arso Tunggal,

    melalui pertemuan Reboan, menitikberatkan pada faktor manu-

    sia; apakah manusia itu? Dari mana asal-usulnya? Bagaimana

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    206

    manusia harus hidup di dunia dan berkarya untuk sesama

    manusia dan lingkungan?

    Terdapat perbedaan antara pemikiran yang dikembangkan

    Arso Tunggal dan pemikiran humanisme Barat pada Periode

    Klasik. Humanisme Klasik sudah melepaskan diri dari pemi-

    kiran tentang alam dan terfokus sepenuhnya pada faktor

    manusia, adapun pemikiran Arso Tunggal masih diwarnai oleh

    pandangan tentang alam, seperti khas pandangan Jawa yang

    selalu mengaitkan jagad cilik dengan jagad gedhé (mikro-kosmos dan makrokosmos), meskipun titik pusatnya tetap pada

    diri manusia sendiri.

    Dibandingkan dengan pemikiran Sokrates, maka Arso

    Tunggal berpandangan bahwa hidup memang harus terus-me-

    nerus dikaji, untuk meningkatkan martabat manusia. Pemikiran

    ini teraplikasikan ke dalam pengkajian yang dilakukan lewat

    penelitian-penelitian ilmiah di bidang pengobatan untuk mem-

    bantu masyarakat yang sakit dan SPOR sebagai perwujudan niat

    memberdayakan petani.

    Arso Tunggal mengembangkan pemikiran bahwa manusia

    memang terdiri dari tiga aspek, yaitu tubuh, jiwa, dan roh

    (seperti yang digambarkan Plato), tapi pemahaman itu berbeda

    dari pemahaman sebagian besar masyarakat Jawa yang cende-

    rung mengutamakan roh, kurang mengembangkan potensi jiwa

    dan tubuh. Arso Tunggal justru mengeksplorasi potensi jiwa

    tersebut untuk diragakan. Ungkapan yang digunakan adalah

    mengaktualisasikan krenteg yang diangkat ke ranah pikiran (karep), selanjutnya menjadi niat untuk bertindak (karsa), dan akhirnya terwujud dalam kegiatan konkret (karya). Mekanisme tersebut tercermin dari ritual ngraga sukma.

    Mekanisme itu mencerminkan, bahwa Arso Tunggal

    mengutamakan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, karena jiwa

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    207

    dan tubuh masih termasuk dalam dimensi kemanusiaan, bukan

    rohani. Dengan demikian, gerakan paguyuban ini mengutama-

    kan faktor manusia, dengan karya-karya nyata (benda konkret)

    seperti pandangan Aristoteles. Pemikiran yang dikembangkan

    Arso Tunggal bersifat sintesis antara pemikiran Plato – yang

    menganggap bahwa dunia ide adalah nyata dan dunia penga-

    laman hanyalah bayang-bayang dari dunia ide – memisahkan

    jiwa dari tubuh – dan pemikiran Aristoteles yang lebih meng-

    utamakan benda-benda nyata (atau karya-karya nyata) daripada

    pendambaan pada dunia ide.

    Sintesis tersebut tergambarkan dari gerakan Arso Tunggal

    yang mengembangkan ide-ide tentang kearifan lokal Jawa ke

    dalam praktik nyata dalam pengobatan dan pertanian. Bagi Arso

    Tunggal, baik dunia ide maupun pengalaman merupakan dua

    hal yang tidak dapat dipisahkan, melainkan justru harus di-

    sinergikan untuk mencapai karya yang bermanfaat bagi umat

    manusia. Sinergitas itu merupakan keterpaduan antara krenteg, karep, karsa, dan karya. Empat hal itu tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, untuk meningkatkan martabat kemanusia-

    an.

    Arso Tunggal dan Humanisme Abad Pertengahan

    Sebagai gerakan, kegiatan Paguyuban Arso Tunggal

    merupakan perpaduan antara pandangan bahwa manusia adalah

    makhluk kodrati dan makhluk adikodrati (imanen dan transen-

    den), seperti pandangan humanisme St. Agustinus di Abad

    Pertengahan. Hal tersebut tercermin dari pemahaman yang

    dikembangkan Arso Tunggal, bahwa inti humanisme adalah sangkan paraning dumadi (manusia sebagai makhluk adi-kodrati), manunggaling kawula Gusti (manusia sebagai makhluk adi-kodrati sekaligus kodrati), dan pakarti.

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    208

    Sifat humanisme gerakan ini terlihat dari motivasi ke-

    giatan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada kemampuan

    intelektual manusia daripada sekadar bertumpu pada kekuatan

    supranatural. Paguyuban ini mengembangkan dua pokok ke-

    giatan, yaitu pengobatan dan pertanian yang didasarkan pada

    riset ilmiah. Semangat yang mendasari kegiatan itu adalah

    tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan

    lingkungan lebih penting daripada kepatuhan pada seremoni

    keagamaan atau pada kekuatan supranatural. Tuhan dipandang

    sebagai kekuatan Yang Maha Kuasa, yang menyinari kehidupan

    manusia, dan hanya memberi arahan-arahan dan rambu-rambu,

    tapi pada akhirnya manusialah yang memilih.

    Dalam praktik kegiatan, Arso Tunggal mengembangkan

    pemahaman bahwa intelektualitas kemanusiaan adalah hal yang

    sangat penting dan menentukan kualitas manusia dalam kehi-

    dupan. Pemahaman yang dikembangkan adalah, bahwa masalah

    adikodrati (masalah sangkan paraning dumadi dan manunggali-ng kawula Gusti) tidak berarti tanpa tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan.

    Kalaupun Arso Tunggal memercayai kekuatan Tuhan,

    maka hal itu ibarat cahaya yang menyinari tindakan manusia.

    Tuhan tidak melarang tapi memberi aturan-batasan, untung-

    celaka tergantung pada diri manusia sendiri. Ajaran tersebut

    menggambarkan, Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan

    pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung

    pada diri manusia sendiri. Pandangan ini sama dengan pandang-

    an humanis Abad Pertengahan, Thomas Aquinas.

    Kegiatan Arso Tunggal didasari oleh eksplorasi jiwa yang

    dimanifestasikan ke dalam tubuh (dalam bentuk pikiran) yang

    kemudian menghasilkan karya. Kegiatan itu disebut ngraga sukma, yang tercermin dalam ungkapan krenteg-karep-karsa-

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    209

    karya. Kegiatan itu masih berada dalam ranah kemanusiaan, bukan ketuhanan.

    Arso Tunggal mengkritik kaum agama yang lebih

    mementingkan tata cara ibadah (liturgi) daripada pelaksanaan

    ibadah itu ke dalam tindakan nyata yang berguna bagi sesama.

    Kritik tersebut sama dengan kritik tokoh humanis Abad

    Pertengahan, Desiderius Erasmus.

    Kritik itu menyebabkan Djoko Murwono dicap “Katolik

    yang Kejawèn” atau bahkan dituduh akan mendirikan agama baru. Titik berat pada unsur kemanusiaan (daripada keagamaan

    atau bahkan ketuhanan) terlihat dari terbukanya Arso Tunggal

    bagi orang-orang di luar Katolik, dari segala golongan, etnik,

    maupun profesi.

    Seperti Arthur James Balfour, Djoko Murwono pun

    mengaitkan budaya manusia dan ketuhanan dengan gambaran:

    budaya itu ibarat bumi, agama ibarat bulan, dan Tuhan ibarat

    matahari. Di malam hari, matahari menyinari bulan dan bulan

    memantulkan sinar ke bumi. Oleh sebab itu, ia menolak pen-

    campuradukan antara agama dan budaya. Bagaimanapun manu-

    sia dengan budayanya memiliki otoritas menentukan kehidup-

    an, tapi disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa.

    Gerakan Paguyuban Arso Tunggal dalam pengobatan dan

    pertanian membuktikan bahwa gerakan ini termasuk gerakan

    humanisme seperti yang berkembang di Abad Pertengahan,

    yaitu dengan karakteristik yang diungkapkan Richard Southern:

    (1) pengertian tentang martabat makhluk hidup, (2) pengertian

    tentang martabat alam, dan (3) pengertian bahwa tatanan alam

    dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusiaan

    sebagai pusatnya.

    Dalam konteks tersebut, paguyuban ini menerapkan

    keseimbangan antara rasa dan pikiran. Martabat manusia,

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    210

    menurut pemahaman Arso Tunggal, ditentukan oleh sejauh

    mana manusia mampu menyeimbangkan rasa dan pikiran untuk diaktualisasikan dalam kegiatan konkret.

    Arso Tunggal dan Humanisme Modern

    Kalau Rene Descartes di Abad Modern mengatakan “Aku

    berpikir maka aku ada,” maka Arso Tunggal mengembangkan

    pemahaman bahwa budaya Jawa akan mandek dan tidak

    bermakna bagi kehidupan manusia tanpa eksplorasi intelektual

    terhadap pengertian-pengertian di dalamnya. Itulah sebabnya,

    Arso Tunggal mengeksplorasi kearifan-kearifan lokal Jawa

    (diistilahkan “memodernisasikan” Jawa) ke dalam pendekatan

    ilmiah. Riset-riset ilmiah dilakukan berdasarkan pemahaman

    dan pengetahuan tentang kearifan-kearifan lokal Jawa, kemu-

    dian menghasilkan produk-produk (obat-obatan dan SPOR)

    yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam perspektif

    Karl Marx, langkah itu menggambarkan kreativitas manusia

    sebagai kesadaran tentang eksistensi manusia.

    Langkah-langkah itu menunjukkan, bahwa paguyuban ini

    mengembangkan keberanian untuk berpikir sendiri di luar

    tuntutan tradisi atau otoritas (seperti yang dikemukakan

    Immanuel Kant). Dalam konteks budaya Jawa, maka Arso

    Tunggal mengkritik pemahaman yang selama ini ada, yaitu

    budaya Jawa (seolah-olah) hanya bermuara pada kearifan

    (wisdom). Kegiatan paguyuban membuktikan, bahwa budaya Jawa pun seharusnya bermuara pada ilmu pengetahuan, bukan

    sekadar kearifan, dan hal itu sudah dibuktikan dengan pene-

    muan-penemuan di bidang pengobatan dan pertanian alternatif.

    Renaisans

    Kalau di Masa Renaisans gerakan humanisme menentang

    dominasi kristianitas Periode Pertengahan, maka gerakan

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    211

    Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan kritik terhadap

    pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat dogmatis,

    kurang terjun ke dalam kegiatan-kegiatan sosial, dan kurang

    memanusiakan manusia. Kritik itu tercermin dari ungkapan-

    ungkapan Djoko Murwono yang tidak peduli akan dicap apa

    pun sebagai penganut Katolik, yang penting baginya hidup

    harus bermanfaat untuk orang lain, memanusiakan manusia.

    Tidak hanya kritik terhadap agama, gerakan Arso Tunggal

    juga merupakan manifestasi dari kritik terhadap feodalisme,

    seperti humanisme Renaisans Italia yang bercita-cita membe-

    baskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama dan

    feodalisme. Hal itu tercermin dari sikap aktor sentral yang tidak

    mau “terbelenggu” oleh nilai-nilai feodalistik yang dia peroleh

    dari didikan di lingkungan dua keraton, Ngayogyakarta

    Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Dia memilih terbebas

    dari feodalitas itu dan hidup merdeka, mengembangkan ngélmu lewat gerakan Arso Tunggal.

    Pencerahan

    Gerakan Arso Tunggal tidak menafikan kekuatan pikiran,

    tetapi kekuatan itu diangkat dari kekuatan yang lebih dalam,

    yaitu kekuatan jiwa yang disinari oleh cahaya Yang Maha

    Kuasa. Berbeda dari gerakan humanisme Pencerahan yang

    menempatkan pikiran sebagai panglima dalam “perang” me-

    lawan takhayul, gerakan Arso Tunggal justru menyelaraskan

    pikiran dengan jiwa dalam setiap kegiatannya.

    Sama dengan keyakinan humanisme Pencerahan, huma-

    nisme Arso Tunggal pun menitikberatkan pada hal-hal bersifat

    natural-alamiah. Pengembangan obat-obatan bio-fito farmaka

    yang dikembangkan berlandaskan pengetahuan pengobatan

    Jawa (misalnya obat hepatitis yang dikembangkan dari per-

    paduan kutu atau tuma dan pisang emas) adalah bukti pende-

  • Jawa Menyiasati Globalisasi

    212

    katan natural-alamiah. Begitu pula, pengembangan SPOR yang

    melestarikan daya dukung tanah, menggambarkan bahwa Pa-

    guyuban Arso Tunggal berobsesi membangun pranata-pranata

    sosial yang adil, dengan mengangkat martabat petani agar

    mampu mandiri, terbebas dari tekanan-tekanan kekuatan

    kapitalistik.

    Humanisme Pencerahan mengajarkan manusia tidak sela-

    lu menoleh ke belakang (ancient classical utopias), melainkan perlu menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa

    dihapuskan. Semangat itu juga terdapat dalam gerakan

    Paguyuban Arso Tunggal, tercermin dari gerakan SPOR yang

    berusaha mengangkat kesejahteraan petani, tidak memercayai

    takhayul tapi memandang bahwa Yang Maha Kuasa menyinari

    hidup manusia, dan mendorong terciptanya perdamaian antar-

    manusia. Gerakan Arso Tunggal berorientasi pada masa depan

    yang lebih baik, tidak menoleh ke belakang. “Kita tidak perlu

    menoleh ke belakang, karena dengan begitu kita bisa berpikir

    maju, berorientasi masa depan,” kata Djoko Murwono.

    Arso Tunggal dan Humanisme Postmodern

    Seperti pemahaman yang berkembang pada masa Post-

    modern, pemahaman Arso Tunggal juga menitikberatkan pada

    pentingnya unsur manusia dan budaya. Titik berat pada unsur

    manusia dibuktikan oleh paguyuban ini pada kegiatan-kegiatan

    pengobatan yang dilakukan melalui klinik di Bulusan dan

    Plamongan, Semarang serta pengobatan yang dilakukan di

    Manokwari, Papua dan Ketapang, Kalimantan Barat. Selain itu,

    juga pengembangan SPOR untuk membantu para petani.

    Kegiatan tersebut dilandasi pemahaman “tetulung marang sak padha-padha manunggsa” (“menolong sesama manusia”).

  • Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

    213

    Pengutamaan budaya terlihat dari fakta bahwa bahwa

    Arso Tunggal adalah gerakan budaya, bukan agama. Oleh sebab

    itu, paguyuban ini terbuka bagi orang-orang dari berbagai

    agama, aliran kepercayaan, dan profesi. Arso Tunggal juga

    mengembangkan pemahaman, bahwa budaya dan agama

    merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Pemisahan tersebut

    perlu untuk menghindari (mengurangi) konflik-konflik yang di

    permukaan seperti konflik agama, padahal sebenarnya konflik

    budaya.

    Gerakan Paguyuban Arso Tunggal mencerminkan karak-

    teristik Postmodern, yaitu:

    1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan,

    melainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan

    secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan

    realitas dan konteks yang baru. (Bukti empirik:

    Paguyuban Tunggal selalu berusaha menemukan hal-

    hal baru dalam pengobatan dan pertanian. Harga obat

    yang mahal dijawab dengan penemuan-penemuan

    baru di bidang pengobatan dan pemberian subsidi

    kepada masyarakat; revolusi hijau yang menyebabkan

    penurunan kuantitas dan kualitas produksi pangan,

    biaya produksi pertanian yang makin mahal, maupun

    persoalan lingkungan yang diakibatkannya dijawab

    dengan penerapan SPOR).

    2. Kemanusiaan bukanlah suatu esensi tetap atau situasi

    akhir, melainkan suatu proses menjadi manusiawi

    secara terus-menerus dalam interaksi manusia dengan

    konteks dan tantangan yang terus berubah dan

    berkembang. (Bukti empirik: ketika ditanya apa