sukma unpam

3
SUKMA-UNPAM Suara Kebangkitan Mahasiswa Universitas Pamulang Majalah Mingguan Mahasiswa UNPAM Wacana 1. MENYOAL RADIKALISME; PEMAKNAAN DAN DISTORSI (dam Alfian) ....................... 2 2. Menyikapi Radikalisme sebagai Tantangan Pemerintah Dan Maha- siswa (Ayyub Kadriah SH.MH.) .... 3 3. RADIKALISME DAN NARASI KEGELI- SAHAN ( Cendikia Ayu Sriwulan ) ...4 4. Radikalisme dalam Sudut Pandang Mahasiswa (Muh.Rayhansyah) ... 5 5. Gerak Mahasiswa Dalam isu Radilkalisme (Rezan Nahri) ......... 6 Peran Mahasiswa Dalam Menyikapi Isu RadikalismeOleh : Paturahman Fikri (Duta Wacana Kantin Berdiskusi ) Pengertian Radikalisme Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang be- rarti akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. (Muslih, 2015: 9) Dalam bahasa Inggris, kata radikal memiliki makna ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental. Se- dangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti “(1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaha- ruan sosial dengna cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin- doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut. Berkaitan erat dengan kata radikal sendiri, ada beberapa istilah mengemuka yang seakar dengan kata radikal. Beberapa istilah tersebut di antaranya adalah radikalisme, radikalisasi, dan deradikalisasi. Abu Rokhmad (2014), mengutip pendapat KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU dan pengasuh pesantren al-Hikam Malang), membedakan antara radikal, radikalisme, dan radikalisasi. Dalam kutipannya, Rokhmad menjelaskan bahwa seseorang berfikir radikal (maksudnya berfikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh -boleh saja, dan memang berfikir sudah seharusnya seperti itu. Rokhmad mencontohkan, misalnya, berkaitan dengan permasalahan bangsa Indonesia yang semakin runyam, baik dalam persoalan ekonomi, social, politik dan sebagainya. Atas berbagai persoalan itu, lahir suatu pandangan yang menginginkan sistem pemerintahan Islam ditegakkan di Indonesia sebagai solusinya. Sedang radikalisme adalah radikal dalam paham atau ismenya. Maksud- nya ialah radikal yang sudah menjadi ideologi dan madzhab pemikiran. Sedangkan yang dimaksud radikalisasi, ialah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketid- akadilan di masyarakat. Volume 1

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SUKMA UNPAM

SUKMA-UNPAM Suara Kebangkitan Mahasiswa Universitas Pamulang

Majalah Mingguan Mahasiswa UNPAM

Wacana

1. MENYOAL RADIKALISME; PEMAKNAAN DAN

DISTORSI (dam Alfian) ....................... 2

2. Menyikapi Radikalisme sebagai Tantangan Pemerintah Dan Maha-siswa (Ayyub Kadriah SH.MH.) .... 3

3. RADIKALISME DAN NARASI KEGELI-SAHAN ( Cendikia Ayu Sriwulan ) ...4

4. Radikalisme dalam Sudut Pandang Mahasiswa (Muh.Rayhansyah) ... 5

5. Gerak Mahasiswa Dalam isu Radilkalisme (Rezan Nahri) ......... 6

“Peran Mahasiswa Dalam Menyikapi Isu Radikalisme”

Oleh : Paturahman Fikri (Duta Wacana Kantin Berdiskusi )

Pengertian Radikalisme Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang be-

rarti akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. (Muslih, 2015: 9) Dalam bahasa Inggris, kata radikal memiliki makna ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental. Se-dangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti “(1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaha-ruan sosial dengna cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin-doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut.

Berkaitan erat dengan kata radikal sendiri, ada beberapa istilah mengemuka yang

seakar dengan kata radikal. Beberapa istilah tersebut di antaranya adalah radikalisme, radikalisasi, dan deradikalisasi. Abu Rokhmad (2014), mengutip pendapat KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU dan pengasuh pesantren al-Hikam Malang), membedakan antara radikal, radikalisme, dan radikalisasi. Dalam kutipannya, Rokhmad menjelaskan bahwa seseorang berfikir radikal (maksudnya berfikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berfikir sudah seharusnya seperti itu. Rokhmad mencontohkan, misalnya, berkaitan dengan permasalahan bangsa Indonesia yang semakin runyam, baik dalam persoalan ekonomi, social, politik dan sebagainya. Atas berbagai persoalan itu, lahir suatu pandangan yang menginginkan sistem pemerintahan Islam ditegakkan di Indonesia sebagai solusinya. Sedang radikalisme adalah radikal dalam paham atau ismenya. Maksud-nya ialah radikal yang sudah menjadi ideologi dan madzhab pemikiran. Sedangkan yang dimaksud radikalisasi, ialah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketid-akadilan di masyarakat.

Volume 1

Page 2: SUKMA UNPAM

Radikalisme dalam arus makna indonesia

Di Indonesia, penggunaan kata “radikal/

radikalisme/radikalisasi” telah muncul

sejak zaman pergerakan Nasionalisme

(1908-1945) tokohtokoh pergerakan

nasional menamai diri mereka sebagai

“kaum radikal” yang menentang dan

tidak berkompromi dengan kolonial-

isme, semisal tokoh-tokoh kunci perge-

rakan nasional seperti Tjipto Mangun

Kusumo, Ernest Douwes Dekker, Sukar-

no, Suwardi Surya Ningrat, dan Tan

Malaka digolongkan sebagai nasionalis-

radikal.

media arus utama melulu melekatkan

kata “radikalisme” bagi para pelaku,

bunyi redaksinya seperti ini kira-kira

“pelaku diduga memiliki paham

radikalisme” atau “pelaku diduga ter-

jangkit paham radikalisme”. Mengapa

tidak memberikan sematan kata

“sektarian” bagi tindak terorisme ?

Di Indonesia, penggunaan kata “radikal/radikalisme/radikalisasi” telah muncul sejak zaman pergerakan Nasion-

alisme (1908-1945) tokohtokoh pergerakan nasional menamai diri mereka sebagai “kaum radikal” yang

menentang dan tidak berkompromi dengan kolonialisme, semisal tokoh-tokoh kunci pergerakan nasional

seperti Tjipto Mangun Kusumo, Ernest Douwes Dekker, Sukarno, Suwardi Surya Ningrat, dan Tan Malaka digo-

longkan sebagai nasionalis-radikal.

Gagasan nasionalis-radikal ini juga mengilhami lahirnya Indische Partij yang pada zamannya merupakan partai

progresif dan revolusioner, sebab menentang pengkotak-kotakan etnis yang dilakukan oleh kolonial, sehingga

menghambat persatuan, Indische Partij juga turut mendobrak cara pandang yang sempit tentang persatuan,

penindasan dan jebakan-jebakan kolonial lainnya.

Pelabelan cap radikal ini juga turut digunakan oleh kolonial bagi mereka-mereka yang menentangnya, jadi

terdapat dua pandangan tentang pemaknaan radikal, bagi kolonial radikal adalah orang-orang yang menentang

dan mengganggu kekuasaan. Sedangkan bagi pergerakan nasional, radikal adalah sebagai cara berpikir yang

maju dan mendasar serta anti penindasan. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata “radikal” memiliki

tiga pengertian. Pertama, secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); kedua, amat keras menuntut

perubahan; dan ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak. Nah lalu dimana poin negatif dari arti kata radikal ?

sehinggal seringkali kita mendengar “menolak radikalisme dan anti radikalisme” ? penggunaan imbuhan “isme”

dalam sebuah kata berarti menjadi sebuah paham/ajaran, lagi-lagi pertanyaannya dimana arti negatif dalam

istilah radikalisme ? mari simak sedikit lagi analisis dari penulis

Sejalan dengan Foucault yang mengatakan bahwa kekuasaan juga memproduksi, mendistribusi, dan

menghegemoni pengetahuan sehingga pemberian label benar atau salah, baik atau buruk, positif atau

negatif— seakan-akan hanya dapat dinyatakan oleh kekuasaan, sebagian dari kita di era sekarang ini sering

mendengar istlah “media arus utama”, itulah distributor pengetahuan yang paling ampuh, jika media arus

utama sudah menyebarkan informasi, maka seolah-olah itu paling benar adanya. Contoh lain semisal, ketika

kekuasaan memberitakan tentang penangkapan teroris atau kelompok-kelompok lain yang dianggap sebagai

ancaman, media arus utama melulu melekatkan kata “radikalisme” bagi para pelaku, bunyi redaksinya seperti

ini kira-kira “pelaku diduga memiliki paham radikalisme” atau “pelaku diduga terjangkit paham radikalisme”.

Mengapa tidak memberikan sematan kata “sektarian” bagi tindak terorisme ? silahkan cek kamus KBBI untuk

arti kata “sektarian/sekte”. Atau kekuasaan ingin rakyatnya tidak boleh radikal ? tidakk boleh maju dalam

berfikir dan bertindak ? tidak boleh menuntut perubahan ? dan bahkan tidak boleh berpikir secara mendasar

dan prinsipil ? karena itu semua akan mengganggu kekuasaan ? mari kita pikirkan jawabnya bersama-sama.

“nyatanya tema radikalisme—menurut penulis tidak patut kita cerna secara mentahmentah dan sesantai layaknya percintaan”

MENYOAL RADIKALISME; PEMAKNAAN DAN DISTORSI Essay ini disampaikan dalam kegiatan Kantin Berdiskusi Universitas Pamulang, Jum’at 25 Oktober 2019 Oleh: Adam Alfian1

Mari simak sedikit penjelasan Radilkal untuk di Indonesia

Mulanya penulis ingin melibatkan banyak

dialog dalam tulisan ringkas ini, namun di

tengah-tengah penulisan, justru berbalik ide

untuk membuat sekaligus membenturkan

imajinasi pembaca, ekpektasinya adalah ingin

membuat tulisan ini seperti story telling agar

pembaca dapat dinikmati bagaikan novel

percintaan. Namun apa daya—nyatanya tema

“radikalisme”—menurut penulis tidak patut

kita cerna secara mentahmentah dan sesantai

layaknya percintaan, mengapa demikian ?

Ruang imajinasi seperti apa yang muncul

dalam benak pembaca saat ini jika mendengar

kata “radikal/radikalisme/radikalisasi” ?

pemikiran penulis pun-sempat dipenuhi

imajinasi seperti terorisme, kekerasan, intol-

eran ketika mendengar kata “radikal/

radikalisme/radikalisasi”, pemaknaan yang

melulu negatif itu amat dekat maknanya

dalam kata tersebut. Namun setelah mem-

baca studi dan olah debat beberapa

pemikiran, penulis memiliki pandangan ten-

tang kata “radikal/radikalisme/radikalisasi”,

begini ceritanya; Michel Foucault2 salah satu

tokoh Mahzab Frankfurt yang cukup populer

dalam bukunya The Archeology of Knowledge

salah satunya membahas tentang bagaimana

kekuasan melakukan produksi, distribusi, dan

hegemoni pengetahuan, menurut Foucault, ia

melihat bahwa relasi kekuasaan tidak sekedar

bekerja pada ranah infrastruktur politik

(seperti pembagian kekuasaan dan

wewenang), justru lebih jauh dari itu,

kekuasaan bekerja sebagai alat hegemoni

pengetahuan yang masif dan terstruktur,

tentu saja Foucault melihat kondisi ini dalam

tendensi bahwa penguasa perlu menjaga

dominasi kekuasaannya, salah satunya

dengan cara mereduksi dan mendistorsi pem-

ahaman warga negara secara besar-besaran

dan positif. Namun, mengapa saat ini khu-

susnya di Indonesia kata radikal justru ber-

makna “negatif” seolah-olah melulu disemat-

kan dengan berbagai tindak kekerasan.

2

Page 3: SUKMA UNPAM

Sifat Negatif Radikalisme

Pandangan Egon Bittner mencatat

bahwa terma radikalisme cenderung

merujuk pada sesuatu yang bersifat

revisionis atau perbaikan atas keadaan

sebelumnya, Karena pendefinisian

sebuah konsep selalu menyertakan

kemunginan untuk berubah, maka

konsep radikalisme pun demikian adan-

ya, dan ia bisa bermakna positif dan

negative

Upaya melampaui standard pen-

didikan yang ada saat ini menjadi tan-

tangan bagi pemerintah modern Indo-

nesia, terutama dalam mendorong dan

menopang wacana pendidikan yang

progresif, dimana pendidikan progresif

ini menrupakan perhalusan terhadap

pendidikan radikal yang telah terpapar

fanatisme ilmu pengetahuan fanatisme

lembaga pendidikan dan fanatisme-

fanatisme lainnya yang berdampak pada

terkotak-kotaknya lembaga pendidikan

Fanatisme menurut Sudirwan

adalah sebuah keadaan dimana

seseorang atau kelompok yang menga-

nut sebuah paham, baik politik, agama,

kebudayaan atau yang lainnya dengan

cara berlebihan (membabi buta)

sehingga berakibat destruktif, bahkan

cenderung menimbulkan perseteruan

dan konflik serius bagi kelompok yang

berbeda termasuk ras, suku, dan agama

Fanatisme Inilah yang menjadi

dasar terbentuknya Deindividuasi, yang

menurut Lorenz deindividuasi dapat

mengarahkan individu kepada kelelua-

saan dalam melakukan agresi sehingga

agresi yang dilakukan menjadi lebih

intens. Bagi setiap individu yang secara

psikologis sehat (well-adjusted), Identi-

tas dirinya maupun identitas individu-

individu lain merupakan hambatan

setidaknya bisa membatasi intensitas

agresi. Dengan mengindentikkan diri

dengan bangsa, kelompok tertentu,

ideology, individuindividu yang terlibat

merasa cukup aman dan sah untuk

menyerang dan menjatuhkan korban

sebanyak mungkin dengan segala cara

kepada pihak lain yang diberi label

“musuh”

MENYIKAPI RADIKALISME SEBAGAI TANTANGAN TERHADAP PEMERINTAHAN BARU DAN MAHASISWA ( Essai Oleh Ayyub Kadriah, Dalam Kantin Berdiskusi 25 Oktober 2019)

Masalah radikalisme cenderung kompleks ditengah masyarakat Indonesia hari ini, utamanya dalam tubuh kaum akademis

termasuk mahasiswa, kaum akademis saat ini perlu memahami dan meretas kebingungan epistemologis yaitu bagaimana mendudukkan peristilahan seperti , radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme,fanatisme, militanisme , jihad, dan terorisme

Dalam upaya meretas kebingungan epistemologis ini terdapat beberapa pendekatan yang perlu dibuka terkait

radikalisme Radikalisme berdiri dalam pertarungan wacana modern ini dimana analisis radikalisme berdiri pada sudut baik didalam analisis terhadap berbagai daerah Indonesia terdapat pula gerakan-gerakan yang bersifat radikal yang bertujuan menolak tatanan politik, sosial, dan ekonomi yang dipaksakan pemerintah penjajah. Itulah yang melahirkan Perang Aceh (1873-1942), Perang Paderi (1830- 1837), dan Perang Diponegoro (1825-1830), Radikalisme mereka dianggap positif karena memper-juangkan hak-hak asasi rakyat pribumi yang tertindas oleh kaum penjajah. Sebagaimana analisis dalam pendekatan sintaksis, bahwa radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastic

Analisis diatas sejalan dengan pandangan Egon Bittner mencatat bahwa terma radikalisme cenderung merujuk pada

sesuatu yang bersifat revisionis atau perbaikan atas keadaan sebelumnya, Karena pendefinisian sebuah konsep selalu me-nyertakan kemunginan untuk berubah, maka konsep radikalisme pun demikian adanya, dan ia bisa bermakna positif dan negative

Sebagai pendorong perubahan pengertian dari radikalisme di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang

terlihat bahwa radikalisme pasca Orde Baru dipahami secara negatif, sebagaimana ditunjukkan dua organisasi keagamaan arus utama di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang menolak cara dakwah Front Pembela Islam (FPI) yang merepresentasi-

kan sebagai kelompok radikal,

Fakta sejarah melihat radikalisme sebagai sesuatu yang negative secara garis besar berlawanan dengan pandangan Arthur G. Gish, yang radikal diartikan sebagai menuju ke akar permasalahan tersebut dengan menawarkan alternatif kepada

status quo, dimana alternative pandangan terhadap status quo di Indonesia diperhalus dalam istilah progresif

Dan progresifitas sebagai loncatan berfikir dari radikalisme banyak digadang dari ruang-ruang akademis yang dimana

dalam sudut pandang Indonesia akademisi ditafsirkan dalam ruang regulasi Indonesia diamanahkan dalam Pasal 1 ayat (1)

Undang-undangNomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional :

“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.”

Sedangkan Menurut Langeveled, pendidikan dianalisis sebagai berikut :

“pendidikan adalah proses bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan tujuan untuk mendewasakan

orang lain yang dicirikan dengan tiga karakteristik umum, yaitu: (a) stabil, yaitu sikap dan kepribadian yang

tetap dalam segala situasi dan kondisi, baik kondisi normal, senang, maupun susah; (b) tanggung jawab, yaitu

orang yang memiliki kemampuan memberikan argumentasi kuat terhadap apa yang telah dikatakan dan dil-

aksanakan; (c) mandiri, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan atas dasar kemampuan yang dimiliki

sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lain”.

Kotak-kotak fanatic dalam lembaga pendidikan menjadi masalah bagi mahasiswa yang terkotak-kotak dalam ruang

organisasi, kotak jurusan, kotak fakultas, kotak universitas, ketika bangunan yang di usung dalam kotak tersebut bersifat

fanatic dan men-deindividuasi pihak-pihak dari kelompok lain yang sebenarnya adalah sesama mahasiswa namun terlihat

sebagai “Musuh” karena fanatisme kelompok kemahasiswaan ini

Tantangan bagi mahasiswa dalam meretas fanatisme adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari demi menyokong

gerak pembangunan bangsa, dan memerlukan peran bersama dan kesadaran pemerintah jika menginginkan Indonesia maju,

maka harus ada gerak bersama yang tidak fanatic antara pemerintah dan mahasiswa sebagai bagian rakyat Indonesia dalam

membangun bangsa

3