bab delapan sintesa: gus-ji-gang ... -...

19
305 BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG, PEMIKIRAN MAX WEBER, HABITUS, SOCIAL CAPITAL DALAM PENGUATAN KINERJA USAHA KELUARGA BORDIR Pendahuluan Konsep pembangunan yang dikembangkan banyak ahli memiliki banyak makna yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bahkan ada yang mengatakan pembangunan itu suatu proses yang multi-dimensional, artinya proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat tidak hanya meningkatkan sektor ekonomi tetapi sektor non ekonomi untuk menjaga keseimbangan pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan harus didasarkan pada etika pembangunan. Etika pembangunan adalah bahwa ada pertimbangan- pertimbangan etis (normative atau ethical assessment) dalam menentukan tujuan pembangunan, strategi dan kebijakan serta implementasinya untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Dalam proses melaksanakan . pembangunan yang etis tersebut 1 , pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek antara lain aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek budaya agar dapat tercapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Usaha keluarga merupakan salah satu jenis usaha dengan skala mikro atau kecil sebagai kelompok terbesar dari masyarakat Indonesia, yaitu hampir 95 persen dari seluruh entitas usaha yang ada di Indonesia dan menjadi gantungan hidup dari 240 juta rakyat Indonesia. Oleh karena itu menguatkan usaha kecil menjadi sangat strategis dalam

Upload: phamduong

Post on 11-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

305

BAB DELAPAN

SINTESA: GUS-JI-GANG, PEMIKIRAN MAX

WEBER, HABITUS, SOCIAL CAPITAL DALAM

PENGUATAN KINERJA USAHA

KELUARGA BORDIR

Pendahuluan

Konsep pembangunan yang dikembangkan banyak ahli

memiliki banyak makna yang dapat dilihat dari berbagai sudut

pandang yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bahkan ada yang

mengatakan pembangunan itu suatu proses yang multi-dimensional,

artinya proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan terwujudnya

kesejahteraan masyarakat tidak hanya meningkatkan sektor ekonomi

tetapi sektor non ekonomi untuk menjaga keseimbangan pada masa

sekarang maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu dalam

melaksanakan pembangunan harus didasarkan pada etika

pembangunan. Etika pembangunan adalah bahwa ada pertimbangan-

pertimbangan etis (normative atau ethical assessment) dalam

menentukan tujuan pembangunan, strategi dan kebijakan serta

implementasinya untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut.

Dalam proses melaksanakan.pembangunan yang etis tersebut1,

pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek antara lain aspek

ekonomi, aspek lingkungan dan aspek budaya agar dapat tercapai

tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

Usaha keluarga merupakan salah satu jenis usaha dengan skala

mikro atau kecil sebagai kelompok terbesar dari masyarakat Indonesia,

yaitu hampir 95 persen dari seluruh entitas usaha yang ada di Indonesia

dan menjadi gantungan hidup dari 240 juta rakyat Indonesia. Oleh

karena itu menguatkan usaha kecil menjadi sangat strategis dalam

Page 2: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

306

upaya memutus mata rantai kemiskinan, dan sebagai jawaban bagi

lapangan pekerjaan yang harus disediakan bagi puluhan angkatan kerja

serta mampu menghadapi usaha-usaha yang berorientasi kapitalisme

yang dapat menciptakan ketimpangan, antara yang kecil dengan yang

besar semakin melebar. Disinilah sumbangan nilai-nilai temuan yang

peneliti berharap dengan mengidentifikasi salah satu jenis praktik

bisnis yang peneliti yakini dari hasil penelitian dilandasi dengan nilai-

nilai non bisnis tertentu yang disebut Gus-ji-gang. Gus-ji-gang

merupakan salah satu model praktik bisnis yang bisa mengimbangi

praktik-praktik bisnis kapitalis, yang sering menghalalkan segala cara

mengejar keuntungan-keuntungan individu dengan mengorbankan

kepentingan sosial, dimana yang kuat semakin kuat dan kecil semakin

tersingkirkan, sehingga berdampak negatif pada lingkungan alam dan

sosial.

Gus-ji-gang menempatkan agama sebagai sumber motivasi dan

unsur kreatif yang melahirkan karya-karya budaya sebagai kearifan

tradisional yang bersifat lokal sesuai dengan daerahnya merupakan

salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat Kudus dan perlu

diimplementasikan ke dalam realitas kehidupan masyarakat Kudus baik

masyarakat umum, birokrasi atau pemegang kekuasaan dan pengusaha.

Konsekuensinya seluruh elemen masyarakat perlu melakukan berbagai

langkah untuk memasyarakatkan budaya tersebut agar masyarakat

Kudus benar-benar sesuai dengan nilai-nilai atau pesan-pesan budaya

Gus-ji-gang. Maka tindakan pemerintah Kabupaten Kudus dalam

mengimplementasikan pelaksanaan pembangunan ekonomi berkelan-

jutan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan

masyarakat Kudus, harus mempertimbangkan etika, moral dan

kemanusiaan dimasukkan dalam berbagai kebijakan pembangunan.

Kebijakan pembangunan yang diputuskan pemerintah tidak

dapat secara netral atau diserahkan kepada kekuatan mekanisme pasar.

Harus ada kebijakan keberpihakan secara sengaja dilakukan

Pemerintah Kabupaten Kudus terutama keberpihakan kepada

kelompok penduduk berpendapatan rendah. Keberpihakan ini tidak

cukup hanya dengan slogan atau janji politik, seminar, pidato saja

Page 3: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

307

tetapi diperlukan strategi dan arah kebijakan memihak yang jelas, serta

didukung kemauan dan keputusan politik yang mengikat dalam bentuk

Peraturan Daerah. Artinya Pemerintah Kabupaten Kudus harus

memiliki berbagai program atau kebijakan pembangunan yang

mengarah kepada perwujudan filosofi Gus-ji-gang antara lain :(1)

kebijakan yang disadarkan pada “Gus” dalam filosofi Gus-ji-gang, yaitu

Pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki konsep dan keberanian

untuk mewujudkan Kota Kudus sebagai kota yang masyarakatnya

memiliki kharakteristik sikap dan perilaku yang bagus (kualitas

intelektual, kualitas sosial dan kualitas moral) dibandingkan dengan

wilayah lainnya, (2) Kebijakan yang bernuansa “Ji” dari filosofi Gus-ji-gang adalah Pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki program

dan kebijakan yang mengarahkan masyarakat Kabupaten Kudus

memiliki semangat untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu

pngetahuan yang lain sehingga memiliki kualitas yang sesuai dengan

dinamika dan perkembangan jaman, misalnya pola keberagaman yang

toleran maupun pluralisme. (3) Kebijakan yang bernuansa “Gang” dari

filosofi Gus-ji-gang harus memiliki program dalam kebijakan yang

mengarahkan masyarakat Kudus memiliki semangat untuk

mengembangkan perekonomian secara optimal, dengan

mempertimbangkan perkembangan perekonomian masyarakat kecil,

seperti usaha kecil kerajinan, bordir, konfeksi, jenang dll. serta

penataan ekonomi harus didasarkan semangat menghidupkan dan

mengembangkan usaha kecil sehingga usaha kecil tetap hidup dan eksis

meskipun usaha modern berkembang.

Gus-ji-gang dalam Perspektif Max Weber

Munculnya konsep Gus-ji-gang yang memiliki pengertian bagus

fisik dan bagus laku, kaji dan pinter ngaji serta terampil berdagang

sebagai tanda atau simbolik masyarakat Kudus yang memiliki

hubungan paradigmatik dengan Sunan Kudus yang “waliyyul ilmi” dan

“wali saudagar”. Kalau dipahami lebih mendalam konsep “waliyyul

ilmi” berfungsi sebagai kekuatan perilaku spiritualitas2 ada dalam “gus”

Page 4: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

308

dan”ji” yang merupakan proses internalisasi dalam diri individu yang

memiliki multi budaya dan multi religius, sedangkan “gang” sebagai

perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang yang tidak lain sama

dengan entrepreneurship merupakan proses ekternalitas yang

didasarkan kepercayaan yang telah dibangun internalilitas individu

dalam kegiatan berdagang.

“Gu-ji” dalam Gus-ji-gang bila diterapkan dengan baik dan

sesuai dengan kaidah-kaidah agama (Islam) dan budaya lokal akan

membentuk karakter masyarakat Kudus dalam membangun norma dan

nilai-nilai yang ditaati, kepercayaan, pertisipasi dalam membangun

jejaring, pranata dan hubungan timbal balik yang secara terus-menerus

dalam jangka panjang akan menjadikan habitus mampu memperkuat

social capital yang membuat masyarakat dapat mencapai

kesejahteraan.

Realita simbol “wali saudagar” sebagai etos dagang masyarakat

Kudus merupakan proses transendensi untuk membentuk pranata

bisnis yang tidak hanya memikirkan tentang profit, transaksi,

manajemen, akuntansi, dan strategi, namun juga mempersoalkan

keadilan, pelayanan, pengembangan, tanggung jawab sosial, maupun

lingkungan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai religius yang

dianutnya.

Hubungan paradigmatik tersebut terus terbentuk dalam suatu

proses yang terus-menerus antara tanda-tanda atau simbol perilaku

Sunan Kudus dengan masyarakat (Islam) di Kudus sehingga menjadi

perilaku yang membudaya bagi masyarakat Kudus. Obyektifikasi nilai-

nilai moral tersebut, di satu sisi termuat dalam dunia kehidupan

masyarakat Kudus (Jawa) dan, pada sisi lainnya terungkap dalam

konsep dan atau konstruksi teoritis para ahli/ulama. Pengalaman nilai

yang positif dihayati dalam perasaan, bukan pada rasio saja, melainkan

sebagai kepribadiannya (cipta, rasa dan, karsa)3. Ciri khas perjumpaan

pengalaman dalam Gus-ji-gang, sebagaimana dijelaskan dalam makna

perspektifnya tersebut di muka adalah, adanya saling keterkaitan

kesadaran tingkah laku yang baik (budi pekerti luhur) dalam pergaulan

Page 5: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

309

dengan pengalaman keagamaan sebagai satu proses pembelajaran

(learning) ilmu pengetahuan (ngelmu)4 dan dihayati sebagai satu

kesatuan kepribadian dagang Jawa di Kudus. Berdasarkan pemahaman

dua sisi tersebut, nilai-nilai moral budaya Jawa dalam Gus-ji-gang

mengimplikasikan adanya dua proses yaitu, proses pemikiran5 atau

internalisasi (pembatinan) dan proses obyektifikasi keutamaan moral

atau keutamaan6 dagang di Kudus. Kedua proses itu pemahamannya

dalam konstruksi teoritis para ahli baik dari dalam negeri maupun luar

negeri (Barat). Karenanya dalam rangka itu, keutamaan Gus-ji-gang di

satu sisi, pemahamannya searah dengan habitus menurut Bourdieu,

suatu proses menstrukturkan dan distrukturkan berlangsung secara

dialektika, dan proses seperti inilah yang mendorong dan mendasari

proses perubahan sebagai dasar penguatan social capital7 yang dimiliki

masyarakat Kudus. Keduanya dapat dipahami sebagai keutamaan sosial capital dengan karakteristik modal spiritual dalam dagang di

Kabupaten Kudus di sisi lainnya. Obyektifikasi karakteristik yaitu

adanya kesadaran eksistensi manusiawi8 dengan nilai-nilai manusiawi

yang transendental9 dalam proses internalisasi untuk

diobyektifikasikan dalam dagang diharapkan dapat mencapai kemajuan

yang manusiawi10.

Tindakan tersebut di atas, sesuai dengan pandangan Max Weber

sebagai semangat kapitalisme. Dengan kata lain untuk menunjukkan

manusia sebagai homo economics menjelma karena adanya etika

agama atau kekuatan transendental yang lahir dari kandungan suatu

agama. Agama merupakan penjelasan rasional dan sekaligus mengatur

nilai-nilai serta kepercayaan teologis11. Di antara bangunan

kepercayaan inilah di bangun pemikiran-pemikiran rasional, tetapi

pemikiran rasional tidak mampu berdiri sendiri, tidak bisa tegak

dengan sendirinya, melainkan harus didampingi oleh kepercayaan.

Inilah yang menurut Auguste Comte dikatakan “bangunan suatu agama

yang didasarkan akal sehat semata pada dasarnya adalah benar-benar

masuk akal”12. Menurut Abdulah (1979), Weber ingin memperhatikan

tuntutan peristiwa tersebut sebagai perpaduan harmonis antara nilai-

nilai yang rasional dan irasional. Antara ide, doktrin agama dan

Page 6: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

310

dorongan keharusan material (kegiatan ekonomi) terjadi suatu

pertemuan. Dengan demikian agama menempati posisi yang memiliki

potensi untuk mengadakan perubahan struktural, termasuk kenyataan

sosial-ekonomi.

Weber dalam “The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism”

menjelaskan ciri yang mendasar dari kegiatan perekonomian yang

bersifat kapitalis adalah “rasionalitas” yang didasarkan kepada

perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun secara sistematis

dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang diharapkan untuk

mendapatkan keuntungan. Namun pengejaran keuntungan atau

kekayaan tidaklah sama sekali melepaskan etika “panggilan”.

Selanjutnya, Weber menyatakan bahwa panggilan merupakan suatu

cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi

kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan

kedudukannya di dunia, maka kaum Calvinisme telah melihat kerja

sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi

sebagai tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup

keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Richard Baxter dalam

bukunya ”Christian Directory” menyatakan bahwa suatu panggilan

yang didasarkan kepada adanya perintah Tuhan kepada setiap orang

untuk bekarya bagi keagungan-Nya di bumi. Weber menyatakan,

itulah yang telah menimbulkan konsekuensi-konsekuensi psikologis

dan perkembangan yang lebih jauh tentang penafsiran keberhasilan di

bidang ekonom.

Bila dibandingkan antara Gus-ji-gang yang merupakan nilai-

nilai ajaran Islam yang diajarkan oleh Sunan Kudus dengan konsep

kapitalisme Max Weber, ada kesamaannya tetapi banyak

perbedaannya. Persamaannya keduanya menghargai kebebasan

individu, sama-sama menyatakan bekerja keras adalah panggilan atau calling untuk ibadah, memiliki tanggung jawab langsung kepada

Tuhan, menjunjung kejujuran dalam perbuatan, memiliki sifat hemat,

melakukan pembagian waktu secara metodik antara kerja dan ibadah

dalam kehidupan sehari-hari, melakukan kalkulasi perdagangan secara

rasional. Namun perbedaan antara lain, doktrin predistinasi yang

Page 7: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

311

diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras, tetapi etos kerja

Islam di didasari sikap “ikhtiar” dan “tawakal” bukan fatalitik. Tujuan

bekerja menurut Max Weber untuk mendapatkan keuntungan dan

diinvestasikan kembali dalam usaha agar memperoleh keuntungan

yang lebih besar tetapi dalam Islam, kekayaan pribadi yang didapat dari

keuntungan usaha tujuannya sebagian digunakan untuk usaha kembali

dan sebagian untuk berhaji serta dinikmati fakir miskin yang

membutuhkan dalam bentuk sedakah dan zakat.

Kapitalisme, Etika Dagang Bangsa Barat

Studi Weber (1958) tentang etika Protestan menunjukkan

bagaimana teologi rasional telah menjadi kelengkapam orientasi yang

lebih mendalam dalam tindakan dan perilaku individu dan masyarakat.

Weber melihat laju Protestanisme cenderung ke arah asketisme sebagai

pesan menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan

lebih memusatkan kemampuan tindakan dan perilaku manusia, usaha

manusia untuk mendapatkan keuntungan dan memperoleh kehidupan

yang layak telah menjadi tujuan umat manusia. Wallace (1951)

mengatakan, mereka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi

dengan sistem perhitungan mengejar keuntungan dengan cara melalui

penanaman kembali keuntungan yang diperolehnya untuk mendapat-

kan akumulasi kekayaan. Namun dalam pengejaran keuntungan atau

kekayaan tidaklah sama sekali melepaskan etika karena makna penge-

jaran keuntungan di bidang material berkaitan erat dengan adanya

“panggilan” terhadap tugas duniawi.

Menurut Weber, konsep tentang “panggilan” merupakan

konsep agama. Arti penting dari konsep “panggilan” menurut etika

Protestan bahwa panggilan berfungsi membuat urusan biasa dari

kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Panggilan bagi

seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan

kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam

kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Weber mengatakan, panggilan

merupakan suatu cara hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan

Page 8: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

312

memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai

dengan kedudukannya di dunia. Perkembangan konsep “panggilan”

dalam Protestanisme sebagai kekuatan agama berperan dalam

membentuk jaringan perkembangan budaya duniawi, mencari sikap

dan arah dimana gerakan-gerakan keagamaan telah mempengaruhi

perkembangan budaya material dan melihat kerja sebagai panggilan.

Weber juga mengatakan, kerja tidak sekedar memenuhi

kebutuhan tetapi sebagai panggilan tugas suci yang menjadi dasar etos

kerja seseorang atau kelompok masyarakat. Selanjutnya menurut

Weber (1958), etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja

yang diyakini oleh seseorang atau kelompok orang sebagai hal yang

baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja

mereka. Berkaitan antara etos kerja dengan agama, maka etos kerja

merupakan sikap diri yang mendasar terhadap kerja yang merupakan

wujud dari kedalaman dan penghayatan religius yang memotivasi

seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam suatu pekerjaan.

Dengan kata lain, etos kerja adalah semangat kerja yang mempengaruhi

cara pandang seseorang terhadap pekerjaanya yang bersumber pada

nilai-nilai transenden atau nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.

Tujuan dalam hidup untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan,

maka untuk mencapai tujuan itu harus bekerja keras, dan kegiatan

ekonomi sebagai suatu tugas dalam rangka melayani Tuhan.

Bekerja keras untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan

material sudah sebagai ”pembawaan naluriah” dan bagian dari sisi

emosi manusia. Dalam hubungan ini Weber (1958) menanggapi ajaran-

ajaran Benyamin Franklin yang menunjukkan suatu sikap tentang

perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dengan

konsep “semangat kapitalisme”. Suatu etika pendapatan yang rasional,

sistematis dan metodik berdasarkan moralitas agama dalam kehidupan

dan sikap hidup sehari-hari. Sikap itu antara lain berlaku hati-hati,

bijaksana, rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengelola kegiatan

ekonomi. Tidak hidup bermalas-malasan dan diam, dalam arti hanya

berbicara yang bermanfaat baik untuk diri sendiri atau untuk orang

lain. Teratur, menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan

Page 9: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

313

melakukan kegiatan sesuai dengan waktunya. Memiliki keteguhan

hati, mantap untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan dan

melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh yang telah menjadi

keputusannya. Hati-hati dan hemat, menjadikan sesuatu tidak sia-sia,

tetapi dilakukan dengan baik, baik untuk diri sendiri maupun orang

lain. Rajin dan tidak membuang-buang waktu. Selalu bekerja sesuai

dan tepat pada waktunya. Ikhlas dan tulus dan tidak berlebih-lebihan.

Selalu menghindari perilaku yang jorok dan mengusahakan kesehatan

serta tidak pernah merasa bosan dan terutama sekali tidak pernah

merasa rendah diri dengan kemampuan diri sendiri maupun orang

lain13. Ajaran tersebut di atas akan membimbing orang kepada perilaku

kehidupan yang sifatnya kapitalistis. Paling tidak dalam kehidupan

masyarakat telah berkembang sifat-sifat mental kapitalis yang nampak

dalam kehidupan yang diarahkan kepada alat-alat produksi secara

pribadi, perusahaan-perusahaan bebas, produksi untuk pemasaran,

penghematan uang, mekanisme persaingan dan rasionalisasi serta

pengelolaan perusahaan secara baik.

Gus-ji-gang, Etika Dagang Masyarakat Kudus

Komunitas IKBK bordir di Kabupaten Kudus dikenal sebagai

pengusaha yang memiliki etos kerja yang kuat dengan dipengaruhi

oleh nilai-nilai agama yang dianut sebagai dasar melakukan kegiatan

ekonomi. Nilai-nilai agama yang dianut masyarakat Kudus rata-rata

adalah nilai agama Islam dan figur yang menjadi panutan masyarakat

Kudus. Kalau dipahami lebih mendalam konsep waliyyul ilmi berfungsi

sebagai kekuatan prilaku spiritual atau keagamaan yang ada dalam

“gus” dan”ji”’ dalam konsep Gus-ji-gang yang merupakan proses inter-

nalisasi dalam diri individu yang memiliki multi budaya dan religius,

sedangkan “gang” sebagai perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang

yang tidak lain sama dengan entrepreneurship merupakan proses

ekternalitas yang didasarkan pada kepercayaan yang telah dibangun

internalilitas individu dalam kegiatan berdagang.

Page 10: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

314

Ahli dagang atau entreprenuerhip identik dengan rasionalitas

yang memiliki parameter yang terukur. Dasar tumbuhnya etos dagang

masyarakat Kudus merupakan proses transendensi untuk membentuk

pranata bisnis yang tidak hanya memikirkan tentang profit, transaksi,

manajemen, akuntansi, dan strategi, namun juga mempersoalkan

keadilan, pelayanan, pengembangan, tanggung jawab sosial, maupun

lingkungan hidup. Karakter etos dagang tersebut melekat pada diri

masyarakat Kudus yaitu religius tetapi memiliki etos kerja yang ulet,

rajin, hemat, serta tawakal14. Keuletan dan kerajinan masyarakat

Kudus dilakukan oleh kaum laki-laki maupun perempuan sama-sama

melakukan kegiatan bisnis, bahkan kadang-kadang mereka memiliki

peran ganda yaitu mengurusi domestik rumah tangga maupun bisnis.

Perilaku hemat masyarakat Kudus dapat dipahami dengan

mempertimbangkan segala tindakan dari segi-segi pertimbangan

ekonomi (seperti kaum kapitalis) namun perilaku hemat masyarakat

Kudus didasarkan tata nilai yang menempatkan masalah ekonomi atau

kekayaan mempunyai “arti” yang sangat tinggi. Artinya dalam keadaan

tertentu dan dengan alasan-alasan khusus, masyarakat Kudus baru

melakukan suatu tindakan ekonomi lebih pada kepentingan sosial.

Tawakal merupakan sikap berserah diri kepada Allah setelah

melakukan usaha keras. Jadi, sikap pasrah itu baru dilakukan setelah

terlebih dahulu berusaha secara keras. Bukan sebaliknya, tidak pernah

bekerja keras sama sekali, namun pasrah, itu bukan tawakal tetapi

fatalis. Jadi tawakal mengajarkan agar manusia hidup ”pasrah”, “rela” dan ”sabar” menerima apapun pemberian dari Tuhan sebagai etika

hidup sak thitahe (sesuai jalanya/kodratnya) dan rejeki paringane Gusti Allah (rejeki berasal dari Tuhan) setelah mereka bekerja keras terlebih

dahulu, dan ini sesuai dengan konsep “gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang

dan itu merupakan kekuatan “spiritual” masyarakat Kudus. Sedangkan

di sisi lain kata ”gang” yaitu dagang, yang memiliki makna pintar

berdagang, yang merupakan perbuatan rasional yang memiliki

parameter yang terukur.

Etika Gus-ji-gang yang mewarnai perilaku pengusaha di Kudus

dalam berdagang, bila mendapatkan keuntungan yang berlebih dari

Page 11: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

315

hasil usaha, penggunaannya tidak ditabung untuk diinvestasikan dalam

usaha seluruhnya tetapi justru sebagian dari keuntungan akan

digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan sosial sebagai sarana

untuk mencapai kebahagian spiritual misalnya naik haji, sedekah,

zakat, membantu saudara yang tertimpa musibah atau kegiatan-

kegiatan lain yang dapat menaikkan status sosialnya seperti berhaji

atau berpenampilan maliter yang identik dengan berpakaian yang

bagus, rumah yang baik, kendaraan bagus atau sesuatu yang dapat

menaikan penampilan.

Gaya maliter akan mendapat pandangan negatif masyarakat luas

karena nilai-nilai ajaran Islam melarang jor-joran konsumsi pribadi

yang tidak rasional, manakala gaya maliter hanya digunakan perbuatan

pamer kekayaan. Sedangkan gaya maliter akan dihormati masyarakat

bila sebagai simbol rasa syukur atas keberhasilan mendapatkan rejeki

berlimpah dan memperkuat dirinya termasuk ke dalam kalangan “gus”

bagus penampilan dalam Gus-ji-gang. Namun demikian dalam ajaran

Islam tidak melarang orang menjadi kaya asalkan orang kaya tersebut

dapat menguasai dirinya dan kekayaan tidak dicari untuk sekedar

dikumpulkan/ditabung tetapi kekayaan dicari untuk berbakti kepada

Allah dan melaksanakan perbuatan baik. Ini menunjukkan bahwa

makna kekayaan dalam Islam sangat berbeda dengan makna yang

terdapat dalam sistem ekonomi materialistik dan kapitalisme yang

menganggap bahwa kekayaan sebagai kekuatan ekonomi dan sebagai

alat untuk mendapatkan kekuasaan.

Kerja keras dan selalu “ikhtiar” tidak sekedar pemenuhan

keperluan hidup tetapi tugas suci yang menurut agama Islam bahwa

mencari rejeki (bekerja) harus dilakukan dengan tetap mengingat pada

Allah (dzikir) dan membangun hubungan (shalat) dengan-Nya. Segala

sesuatu yang ada di muka bumi ini berada dalam tangan kekuasaan-

Nya. Maka menjadi tidak benar jika seseorang dalam mencari rejeki

(bekerja) justru melupakan yang memiliki rejeki, semakin banyak

rejeki yang diterima, semakin dekat dengan yang memberikan rejeki.

Maka tidak mengherankan, bagi agama Islam persoalan rejeki

Page 12: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

316

dihubungkan dengan tawakal, karena pada dasarnya tawakal adalah

membangun transendensi kepada Allah.

Sejalan dengan etika ajaran Islam tidak mengajarkan harta

kekayaan sebagai kemungkinan pertanda penyelamatan. Oleh karena

itu agama Islam menolak gagasan takdir sebagai dipersepsikan

Calvinisme menurut pandangan Weber. Persoalan mengenai siapa

yang termasuk golongan terpilih dan siapa termasuk golongan terkutuk

dalam etika Islam tidak ada, meskipun antara ajaran Islam dan

kapitalisme yang diangankan Weber sama-sama menghargai kebebasan

individu.

Demikian pula dalam etika Gus-ji-gang tidak memperkenalkan

tindakan eksploitasi si miskin (karyawan/buruh) oleh si kaya (majikan),

sehingga hubungan antara karyawan dan majikan di komunitas IKBK

bordir di Kudus demikian cair, kekeluargaan, hangat dan harmonis,

dan terstruktur (yang muda menghargai yang tua, karyawan

menghormati majikan) serta menjaga tidak terjadi konflik secara

terbuka. Namun dalam etika hidup Calvinisme menghargai kebebasan

individu dan membenarkan upah eksploitasi untuk menjamin

peningkatan produktivitas dan menekankan pelayanan dan rajin bagi

para majikan sebagai jalan keselamatan kaum buruh (karyawan).

Menurut Deliar Noer (1982), kekayaan pribadi dalam ajaran Islam

merupakan amanat suci yang harus dinikmati oleh semuanya, terutama

oleh fakir miskin yang membutuhkan.

Etika Gus-ji-gang sebagai Habitus dan Social Capital Dagang Masyarakat Kudus

Perilaku ekonomi masyarakat Kudus memiliki tata nilai

berbeda dengan daerah lain, hal ini karena karakteristik masyarakat

Kudus diyakini berkaitan dengan diri Sunan Kudus. Dalam tradisi

tersebut, Sunan Kudus digambarkan selain sebagai penyebar agama

Islam yang faqih sehingga dikenal sebagai “waliyyul ilmi” berfungsi

sebagai kekuatan prilaku spiritual atau keagamaan ada dalam “gus” dan

Page 13: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

317

“ji” dalam konsep Gus-ji-gang yang merupakan proses internalisasi

dalam diri individu yang memiliki multi budaya dan religius, Sunan

Kudus digambarkan pula sebagai seseorang pedagang yang ulet dan

tangguh. Perilaku “gang” atau pintar dagang dalam Gus-ji-gang sebagai

perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang yang tidak lain sama

dengan entrepreneurship merupakan proses ekternalitas yang

didasarkan kepercayaan yang telah dibangun internalitas individu

dalam kegiatan berdagang. Tradisi lokal tersebut masih tetap

dipertahankan hidup di masyarakat, dan figur Sunan Kudus yang patuh

dalam beragama dan ulet, rajin, hemat dan tawakal dalam berdagang

merupakan rujukan dan habitus bagi perilaku ekonomis dari

masyarakat Kudus, khususnya komunitas IKBK Bordir di Kudus.

Mengacu pada dialektika aktor dalam komunitas IKBK bordir di

Kudus, maka penulis letakkan dalam konsep Bourdieu (1977) dalam

“Outline of Theory of Practice” sebagai:

”suatu sistem disposisi yang tahan lama, dapat diubah-ubah, struktur yang disusun untuk mempengaruhi sebagai penyusunan struktur, yaitu, sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara objektif “mengatur” dan “teratur” tanpa harus menjadi hasil dari kepatuhan pada aturan-aturan, mereka (agen-agen) secara kolektif dapat disusun seperti musik tanpa menjadi hasil dari pengorganisasian tindakan oleh sang konduktur.”

Dalam hal ini ”waliyyul ilmi” dan “wali saudagar” yang

terimplementasi dalam perilaku Gus-ji-gang menjadi dua kekuatan

yang saling menyatu, menjadi bagian dari pembentukan habitus para

aktor (pengusaha IKBK bordir) dan habitus menjadi kerangka berpikir

dan bertindak para aktor dalam berbisnis sebagai area/ranah/field yang

melibatkan kekuatan modal mereka. Habitus para aktor terbentuk

melalui proses yang panjang sebagai bagian dari latar belakang aktor

yang bersifat generatif atau turun-menurun, terkait erat dari latar

belakang budaya, kepercayaan, gender dll.

Page 14: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

318

Bourdieu (1977) menjelaskan bahwa, pembentukan habitus melalui suatu dialektika yang digambarkan sebagai: “a dialectic of internalization of externality and externalization of internality”. Proses

internalisasi “gus” dan ”Ji” dalam Gus-ji-gang yang terus diterima atau

dilakukan dalam sistem ini akan membentuk habitus yang berfungsi

sebagai kerangka pikir aktor (pengusaha IKBK bordir) yang

tereksternalitas dalam bentuk praktik (dagang), dan selanjutnya apa

yang tereksternalitas ini mengalami proses internalitas kembali, dan

seterusnya, semuanya berlangsung dalam IKBK bordir sebagai

ranah/area/filed. Dalam ranah IKBK border, aktor (pengusaha IKBK

bordir) melakukan tindakan atau praktik dalam bentuk berinteraksi

yang dialektis dengan tenaga kerja (karyawan), pemasok bahan baku,

konsumen dan pemangku kepentingan yang melibatkan modal baik

ekonomi, sosial, budaya, maupun simbolik yang dimiliki untuk meraih,

mempertahankan dan mengembangkan kapasitasnya agar eksis dalam

IKBK bordir. Habitus selalu bertautan dengan capital dalam arena dan

pertautan antara habitus, capital dan arena merupakan paduan dialektis

yang memberikan gambaran berlangsungnya berbagai practice

(praktik) berdagang para aktor (pengusaha IKBK bordir), yang oleh

Bourdieu (1977, 1990) dirumuskan sebagai (habitus) x (capital) + field =

practice.

Habitus aktor (pengusaha IKBK bordir) pintar melakukan

kegiatan bisnis, diperoleh melalui proses belajar yang panjang, mulai

dari kecil sepanjang usia dari berbagai sumber yang ditemui dan

dialami dalam rumah melalui belajar membordir dan berusaha bordir

dari orang tuanya, saudara-saudara dan di lingkungan masyarakat.

Proses belajar itu merupakan konsep ”Ji” atau pintar mengaji dalam

konsep Gus-ji-gang adalah kependekan dari kata ngaji (mengaji)

merupakan membaca, mempelajari dan menelaah kitab suci Al Qur’an

merupakan amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di dunia dan

akherat. Ngaji juga menyiratkan terutama umat Muslim dalam

mempelajari ilmu pengetahuan, baik itu berupa keimanan atau

pendalaman agama maupun pengetahuan-pengetahuan lain yang

berhubungan dengan masalah-masalah hidup melalui pertemuan di

Page 15: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

319

Masjid, RT/RW, arisan, pengajian, maupun pertemuan-pertemuan

yang diselenggarakan oleh pemangku kepentingan di masyarakat. “Gang” atau dagang dalam konsep Gus-ji-gang merupakan amal yang

mengarah pada kemuliaan hidup di dunia dalam rangka mendapatkan

keuntungan dalam kegiatan ekonomi dan berkaitan dengan hubungan

antar munusia dengan sesamanya. Bagi umat Islam harus ada

keseimbangan antara tujuan akherat dan tujuan di dunia. Pengalaman

sejarah memberikan beranggapan bahwa masyarakat Kudus rata-rata

memiliki perilaku baik, mencari kekayaan dan berkeyakinan yang kuat

pada agama Islam yang membedakan antara masyarakat Kudus dengan

masyarakat di luar Kudus. Sikap itu telah menjadikan masyarakat

Kudus memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang pintar dagang,

ulet, rajin, hemat dan tawakal.

Filosofi Gus-ji-gang menjadi habitus masyarakat Kudus

merupakan dualitas kehidupan ekonomi (dagang) dan spiritual (“gus”

berperilaku bagus dan “ji” ngaji). Kehidupan sehari-hari masyarakat

Kudus tercermin dalam tiga pusat kegiatan kehidupan masyarakat

Kudus, yaitu rumah, pasar dan masjid yang tidak saling berhubungan.

Kesadaran rumah sebagai pusat bekerja berbeda dengan kesadaran

pasar sebagai pusat mencari keuntungan, dan dengan masjid sebagai

pusat ritual agama. Dalam memilih pekerjaan masyarakat Kudus tidak

tertarik pada pekerjaan kantoran, tetapi lebih tertarik pada bidang

wirausaha dan perdagangan. Pekerjaan mereka sebagai pedagang,

membuat mereka sangat hemat dan berhati-hati dalam mengeluarkan

uang untuk kepentingan apapun. Karena itu, masyarakat di luar Kudus

sering menganggap masyarakat Kudus itu uthil (pelit), semua

pengeluaran dipertimbangkan matang-matang secara ekonomi.

Sehingga masyarakat Kudus dikenal sebagai pedagang yang memiliki

etos kerja yang ulet, rajin, hemat, serta tawakal sebagai suatu tindakan

sosial dalam rangka mengelola usaha bisnisnya. Tindakan sosial

menurut Bourdieu (1997), lebih cenderung merupakan hasil proses

improvisasi dan kemampuan untuk berperan dalam interaksi sosial.

Menurut Bourdieu (1997), interaksi sosial terjadi tidak sepenuh

secara acak dan kebetulan. Dalam kehidupan sosial terjadi interaksi

Page 16: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

320

antar struktur dan tindakkan agen yang saling mempengaruhi.

Tindakan sosial tidak serta merta terjadi atau dipengaruhi struktur dan

orientasi-orientasi budaya. Aktor bergerak atau bertindak dalam

kebiasaan. Kebiasaan ini menjadikan aktor dalam bertindak merasa ada

di dalam dunia sosialnya. Demikian pula dalam dunia bisnis, menurut

Werner (2004), Barney (1991,1995) dimana salah satu sumber daya

yang dapat memberikan keunggulan bersiang adalah sumber daya yang

dikembangkan melalui berbagai pendekatan sosial dengan atribut-

atribut sosialnya (Oliver,1997) yang dikenal sebagai social capital atau

modal sosial (Coleman,1988). Dalam kaitan ini social capital dipandang

merupakan salah satu instrumen strategis yang mampu mendorong

tumbuh dan berkembangnya keunggulan bersaing yang pada

gilirannya mampu menghasilkan kinerja perusahaan yang baik dan

menjamin keberlanjutannya.

Menurut studi (Hall, 1994; Lado et.al., 1992, dan Oliver, 1997)

menempatkan konsepsi social capital menjadi salah satu faktor kunci

dalam menghasilkan kinerja industri. Kinerja industri yang ditentukan

oleh tingkat keunggulan bersaing yang dimilikinya sangat tergantung

pada modal sosial yang dimiliki dan dikembangkan. Putman (1993)

mendefinisikan social capital sebagai: “fitur organisasi sosial seperti

kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi

dalam masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi”.

Dengan demikian rasa dipercaya dan saling percaya, kepatuhan pada

norma-norma sosial yang ada serta jejaring sosial yang dibangun yang

mampu meningkatkan efisiensi masyarakat merupakan fitur dasar

social capital yang ada dalam berbagai organisasi masyarakat termasuk

IKBK bordir di Kudus.

Dengan demikian, menelusuri macam apa dan bagaimana

perwujudan social capital merupakan sebuah potensi maupun

teraktualisasi di IKBK bordir di Kudus adalah sebuah upaya

pengamatan social capital menurut kriteria ekonomi, yaitu

menunjukkan produktivitas, efisiensi dan efektifitasnya. Derajat

produktivitas, efisiensi dan efektifitasnya ditentukan oleh keragaman

perbedaan daya arah yang oleh Fukuyama disebut sebagai radius

Page 17: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

321

kepercayaan (radius of trust). Oleh karena itu, pemberdayaan peran

social capital di lingkungan IKBK bordir di Kudus dapat berkembang

melalui usaha yang memelihara norma dan nilai kejujuran, saling

mempercayai, kerja sama usaha konsumen, tenaga kerja, pemasok

bahan baku maupun diantara para pengusaha bordir sehingga

terbangun kinerja ekonomi yang unggul di lingkungan IKBK bordir di

Kudus.

Secara empiris yang didapat dari berbagai informan, maka dapat

disimpulkan produk bordir Kudus memiliki keunikan yang berbeda

dengan daerah lain dan merupakan karya asli nenek moyang Kudus

yang mempunyai nilai seni yang sesuai dengan nilai Gus-ji-gang dan

komersial yang tinggi yaitu “bordir icik” dengan ciri-ciri: (1), Warna

lembut dan motif kecil-kecil dengan teknik pembuatan rumit, teliti

dan sabar, ini menunjukkan bahwa masyarakat Kudus memiliki

karakteristik teguh, ulet, sabar, pekerja keras, percaya diri, kreatif dan

mandiri. (2) Disain dengan cengkok kluweran atau ”lengkungan” yang

halus dengan bunga melati kecil-kecil atau titik-titik yang mengelilingi

bentuk bordir yang besar. Bunga melati kecil-kecil sebagai tanda atau

lambang keindahan, ketulusan dan kerendahan hati dan titik-titik yang

melingkari bentuk bordir yang besar sebagai “tanda” atau simbol nilai

“gus” dan “ji” yang menggambarkan simbol hubungan manusia yang

baik (harmonis, rukun, tulus dan hangat serta rendah hati) dan dunia

ini harus ditata secara harmonis baik antara jagad cilik atau mikro

kosmos (jiwa, pikiran, hati nurani manusia) maupun jagad gede atau makro kosmos (komunitas, masyarakat). (3) Jahitan bordirnya tebal

dan kuat, sehingga bila dicuci tidak rusak, bahkan saat kainnya sudah

rusak tetapi bordir masih tetap baik. Bordir tebal dan kuat memberikan

makna tanda nilai ”gus” dan “ji” sebagai perilaku masyarakat Kudus

yang tebal akhlaknya dan kuat tawakhalnya sehingga tidak luntur atau

tidak rusak oleh adanya perubahan jaman.

Page 18: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

322

CATATAN-CATATAN KAKI

1 Kameo, Daniel D., 2014.’Membangun Basis Ekonomi Nasional yang Kokoh melalui Keberpihakan kepada Pelaku Ekonomi Mayoritas di Indonesia” dalam Kumpulan Tulisan ”para murid” dalam rangka Ulang Tahun ke 70 Prof. John JOJ Ihalaw “Ketika Rajawali Terbang Tinggi”. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana

2 Spiritualitas adalah hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden.Spiritualitas mencakup inner life induvidu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Maha Mutlak. Sprotulitas juga mencakup bagaimana induvidu mengekpresikan hubungannya dengan sosok transeden tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya dibaca dalam Schreurs, ”Spiritual Raletionships as an Analytical Instrument in Psichotheraphy With Religious Patients”. Journal of Philosophy, Psychiatry,& Psychology-vol.12.no3.September 2006.hlm.185.

3 N.Driyarkara,Percikan Filsafat,(Jakarta:PT Pembangunan,1980).hlm.148

4 Orang jawa lebih akrab dengan istilah ngelmu dari pada ilmu pngetahuan.Bagi orang Jawa ngelmu berarti adalahtiga hal sekaligus yaitu ilmu pengetahuan, pengertian mistis, dan kekuatan gaib, sebagai salah satu bentuk kemampuan yang lebih menyolok untuk bertindak tepat.Franz Magnis Suseno.’Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang kebijakan hidup jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).hlm.106.

5 Proses pemikiran yaitu, serangkaian kegiatan budi rohani seseorang yang menciptakan pengertian, melakukan penalaran, dan mengolah ingatan sekelilingnya. Selanjutnya dibaca dalam The Liang Gie,2003,hlm.3.Internalisasi sama dengan menginternalisasikan atau membatinkan perintah-perintah, larangan-larangan dan, nilai-nilai moral dari masyarakat (orang tua, para guru, para teman sejawat, tempat kerja, dan Negara)

6 Menurut K.Bertens, keutamaan mempunyai hubungan eksklusif dengan moral, karenanya keutamaan sama saja dengan keutamaan moral.K.Bertens.’Etika’ (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2011).hlm.217.

7 Istilah social capital (social capital) yang menurut Bourdieu didefinisikan sebagai berikut,’modal hubungan sosial yang jikadiperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat:modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi yangpenting secara social, dan yang bias menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik.P.bourdieu,”Cultural Reproduction and Social Reproduction” dalam :J.Karabel dan A.H.Hasey (eds), Power and Idiology in Education, (New York: Oxford University Press,1988). hlm.503

8 Eksistensi manusiawi adalahsuatu proses budi manusia dan karakteristik cara beradanya yang terdiri dari saling keterkaitandiantara agama, filsafat, ilmu, dan seni.The Liang Gie,”Suatu Konsepsi kea rah Penerbitan bidang Filsafat, terj.Ali Muhamad Mudhofir, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1979).hlm.32.

9 Ada empat jenis nilai-nilai manusiawi yang transendental yaitu, kekudusan, kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Empat nilai eksistensi itu tidak dinikmati dan tidak dapat ditiru oleh semua makhluk lainnya di bumi. Semua makhluk lainnya mempunyai

Page 19: BAB DELAPAN SINTESA: GUS-JI-GANG ... - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/9/D_902012109_BAB VIII... · pengalaman da. lam . Gus-ji-gang ... dan proses

Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir

323

eksistensi fisis, biologis, dan eksistensi sosial yang sama seperti manusia. Namun, hanya manusia khusus (yang khusus) memiliki dan menjalani saling keterkaitan eksistensi manusiawi dan dengan empat macamnya tersebut. The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat,terj.Ali Muhammad Mudhofir,(Yogyakarta:Karya Kencana,1979), hlm. 32. Implikasi paham nilai-nilai manusiawi yang transendental dalam dasar kesadaran orang Jawa yaitu, dengan kalimatnya “aja lali marang asale” maksudnya, hendaklah selalu ingat (eling) bahwa, “jangan melupakan asalmu”. Kalimat itu juga berarti, maka hendaknya ingat (eling) akan Allah dan sesuai dengan itu hendaknya mempercayakan diri pada bimbingan yang Ilahi (pracaya) atau percaya kepadaNya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat tentang Kebijakan Hidup Jawa (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2001),hal. 139. Lihat juga Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Pandawa, 1977), hlm. 13.

10 Dimaksudkan kemajuan yang manusiawi adalah, kemajuan hanya bersifat manusiawi apabila manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut, apabila ia semakin merasa tentram dan selamat, apabila ia sanggup untuk mewujudkan kehidupannya sebagai individu dalam lingkungannya sesuai cita-citanya, apabila ia tidak diperbudak. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 135.

11 Gordon Marshall,In Search of The Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s Protestan Ethic”, (New York:Columbia University Press,1982), hlm.23.

12 Fransisco Jose Moreno,”Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusia”, diterjemahkan oleh M.Amin Abdullah,(Jakarta:Rajawali Press,1985),hlm.139

13 Kurt Samuelson, Religion and Economic Action: A Critique of Max Weber. (New York: Harper Torch Books and Row Publication,1964),hlm.55-56.

14 Musa Asy’ari. 1997, ”Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”. (Yogyakarta: Lesfi dan IL), hlm.25.