bab delapan sintesa: gus-ji-gang ... -...
TRANSCRIPT
305
BAB DELAPAN
SINTESA: GUS-JI-GANG, PEMIKIRAN MAX
WEBER, HABITUS, SOCIAL CAPITAL DALAM
PENGUATAN KINERJA USAHA
KELUARGA BORDIR
Pendahuluan
Konsep pembangunan yang dikembangkan banyak ahli
memiliki banyak makna yang dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bahkan ada yang
mengatakan pembangunan itu suatu proses yang multi-dimensional,
artinya proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan terwujudnya
kesejahteraan masyarakat tidak hanya meningkatkan sektor ekonomi
tetapi sektor non ekonomi untuk menjaga keseimbangan pada masa
sekarang maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu dalam
melaksanakan pembangunan harus didasarkan pada etika
pembangunan. Etika pembangunan adalah bahwa ada pertimbangan-
pertimbangan etis (normative atau ethical assessment) dalam
menentukan tujuan pembangunan, strategi dan kebijakan serta
implementasinya untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut.
Dalam proses melaksanakan.pembangunan yang etis tersebut1,
pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek antara lain aspek
ekonomi, aspek lingkungan dan aspek budaya agar dapat tercapai
tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Usaha keluarga merupakan salah satu jenis usaha dengan skala
mikro atau kecil sebagai kelompok terbesar dari masyarakat Indonesia,
yaitu hampir 95 persen dari seluruh entitas usaha yang ada di Indonesia
dan menjadi gantungan hidup dari 240 juta rakyat Indonesia. Oleh
karena itu menguatkan usaha kecil menjadi sangat strategis dalam
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
306
upaya memutus mata rantai kemiskinan, dan sebagai jawaban bagi
lapangan pekerjaan yang harus disediakan bagi puluhan angkatan kerja
serta mampu menghadapi usaha-usaha yang berorientasi kapitalisme
yang dapat menciptakan ketimpangan, antara yang kecil dengan yang
besar semakin melebar. Disinilah sumbangan nilai-nilai temuan yang
peneliti berharap dengan mengidentifikasi salah satu jenis praktik
bisnis yang peneliti yakini dari hasil penelitian dilandasi dengan nilai-
nilai non bisnis tertentu yang disebut Gus-ji-gang. Gus-ji-gang
merupakan salah satu model praktik bisnis yang bisa mengimbangi
praktik-praktik bisnis kapitalis, yang sering menghalalkan segala cara
mengejar keuntungan-keuntungan individu dengan mengorbankan
kepentingan sosial, dimana yang kuat semakin kuat dan kecil semakin
tersingkirkan, sehingga berdampak negatif pada lingkungan alam dan
sosial.
Gus-ji-gang menempatkan agama sebagai sumber motivasi dan
unsur kreatif yang melahirkan karya-karya budaya sebagai kearifan
tradisional yang bersifat lokal sesuai dengan daerahnya merupakan
salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat Kudus dan perlu
diimplementasikan ke dalam realitas kehidupan masyarakat Kudus baik
masyarakat umum, birokrasi atau pemegang kekuasaan dan pengusaha.
Konsekuensinya seluruh elemen masyarakat perlu melakukan berbagai
langkah untuk memasyarakatkan budaya tersebut agar masyarakat
Kudus benar-benar sesuai dengan nilai-nilai atau pesan-pesan budaya
Gus-ji-gang. Maka tindakan pemerintah Kabupaten Kudus dalam
mengimplementasikan pelaksanaan pembangunan ekonomi berkelan-
jutan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan
masyarakat Kudus, harus mempertimbangkan etika, moral dan
kemanusiaan dimasukkan dalam berbagai kebijakan pembangunan.
Kebijakan pembangunan yang diputuskan pemerintah tidak
dapat secara netral atau diserahkan kepada kekuatan mekanisme pasar.
Harus ada kebijakan keberpihakan secara sengaja dilakukan
Pemerintah Kabupaten Kudus terutama keberpihakan kepada
kelompok penduduk berpendapatan rendah. Keberpihakan ini tidak
cukup hanya dengan slogan atau janji politik, seminar, pidato saja
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
307
tetapi diperlukan strategi dan arah kebijakan memihak yang jelas, serta
didukung kemauan dan keputusan politik yang mengikat dalam bentuk
Peraturan Daerah. Artinya Pemerintah Kabupaten Kudus harus
memiliki berbagai program atau kebijakan pembangunan yang
mengarah kepada perwujudan filosofi Gus-ji-gang antara lain :(1)
kebijakan yang disadarkan pada “Gus” dalam filosofi Gus-ji-gang, yaitu
Pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki konsep dan keberanian
untuk mewujudkan Kota Kudus sebagai kota yang masyarakatnya
memiliki kharakteristik sikap dan perilaku yang bagus (kualitas
intelektual, kualitas sosial dan kualitas moral) dibandingkan dengan
wilayah lainnya, (2) Kebijakan yang bernuansa “Ji” dari filosofi Gus-ji-gang adalah Pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki program
dan kebijakan yang mengarahkan masyarakat Kabupaten Kudus
memiliki semangat untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu
pngetahuan yang lain sehingga memiliki kualitas yang sesuai dengan
dinamika dan perkembangan jaman, misalnya pola keberagaman yang
toleran maupun pluralisme. (3) Kebijakan yang bernuansa “Gang” dari
filosofi Gus-ji-gang harus memiliki program dalam kebijakan yang
mengarahkan masyarakat Kudus memiliki semangat untuk
mengembangkan perekonomian secara optimal, dengan
mempertimbangkan perkembangan perekonomian masyarakat kecil,
seperti usaha kecil kerajinan, bordir, konfeksi, jenang dll. serta
penataan ekonomi harus didasarkan semangat menghidupkan dan
mengembangkan usaha kecil sehingga usaha kecil tetap hidup dan eksis
meskipun usaha modern berkembang.
Gus-ji-gang dalam Perspektif Max Weber
Munculnya konsep Gus-ji-gang yang memiliki pengertian bagus
fisik dan bagus laku, kaji dan pinter ngaji serta terampil berdagang
sebagai tanda atau simbolik masyarakat Kudus yang memiliki
hubungan paradigmatik dengan Sunan Kudus yang “waliyyul ilmi” dan
“wali saudagar”. Kalau dipahami lebih mendalam konsep “waliyyul
ilmi” berfungsi sebagai kekuatan perilaku spiritualitas2 ada dalam “gus”
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
308
dan”ji” yang merupakan proses internalisasi dalam diri individu yang
memiliki multi budaya dan multi religius, sedangkan “gang” sebagai
perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang yang tidak lain sama
dengan entrepreneurship merupakan proses ekternalitas yang
didasarkan kepercayaan yang telah dibangun internalilitas individu
dalam kegiatan berdagang.
“Gu-ji” dalam Gus-ji-gang bila diterapkan dengan baik dan
sesuai dengan kaidah-kaidah agama (Islam) dan budaya lokal akan
membentuk karakter masyarakat Kudus dalam membangun norma dan
nilai-nilai yang ditaati, kepercayaan, pertisipasi dalam membangun
jejaring, pranata dan hubungan timbal balik yang secara terus-menerus
dalam jangka panjang akan menjadikan habitus mampu memperkuat
social capital yang membuat masyarakat dapat mencapai
kesejahteraan.
Realita simbol “wali saudagar” sebagai etos dagang masyarakat
Kudus merupakan proses transendensi untuk membentuk pranata
bisnis yang tidak hanya memikirkan tentang profit, transaksi,
manajemen, akuntansi, dan strategi, namun juga mempersoalkan
keadilan, pelayanan, pengembangan, tanggung jawab sosial, maupun
lingkungan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai religius yang
dianutnya.
Hubungan paradigmatik tersebut terus terbentuk dalam suatu
proses yang terus-menerus antara tanda-tanda atau simbol perilaku
Sunan Kudus dengan masyarakat (Islam) di Kudus sehingga menjadi
perilaku yang membudaya bagi masyarakat Kudus. Obyektifikasi nilai-
nilai moral tersebut, di satu sisi termuat dalam dunia kehidupan
masyarakat Kudus (Jawa) dan, pada sisi lainnya terungkap dalam
konsep dan atau konstruksi teoritis para ahli/ulama. Pengalaman nilai
yang positif dihayati dalam perasaan, bukan pada rasio saja, melainkan
sebagai kepribadiannya (cipta, rasa dan, karsa)3. Ciri khas perjumpaan
pengalaman dalam Gus-ji-gang, sebagaimana dijelaskan dalam makna
perspektifnya tersebut di muka adalah, adanya saling keterkaitan
kesadaran tingkah laku yang baik (budi pekerti luhur) dalam pergaulan
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
309
dengan pengalaman keagamaan sebagai satu proses pembelajaran
(learning) ilmu pengetahuan (ngelmu)4 dan dihayati sebagai satu
kesatuan kepribadian dagang Jawa di Kudus. Berdasarkan pemahaman
dua sisi tersebut, nilai-nilai moral budaya Jawa dalam Gus-ji-gang
mengimplikasikan adanya dua proses yaitu, proses pemikiran5 atau
internalisasi (pembatinan) dan proses obyektifikasi keutamaan moral
atau keutamaan6 dagang di Kudus. Kedua proses itu pemahamannya
dalam konstruksi teoritis para ahli baik dari dalam negeri maupun luar
negeri (Barat). Karenanya dalam rangka itu, keutamaan Gus-ji-gang di
satu sisi, pemahamannya searah dengan habitus menurut Bourdieu,
suatu proses menstrukturkan dan distrukturkan berlangsung secara
dialektika, dan proses seperti inilah yang mendorong dan mendasari
proses perubahan sebagai dasar penguatan social capital7 yang dimiliki
masyarakat Kudus. Keduanya dapat dipahami sebagai keutamaan sosial capital dengan karakteristik modal spiritual dalam dagang di
Kabupaten Kudus di sisi lainnya. Obyektifikasi karakteristik yaitu
adanya kesadaran eksistensi manusiawi8 dengan nilai-nilai manusiawi
yang transendental9 dalam proses internalisasi untuk
diobyektifikasikan dalam dagang diharapkan dapat mencapai kemajuan
yang manusiawi10.
Tindakan tersebut di atas, sesuai dengan pandangan Max Weber
sebagai semangat kapitalisme. Dengan kata lain untuk menunjukkan
manusia sebagai homo economics menjelma karena adanya etika
agama atau kekuatan transendental yang lahir dari kandungan suatu
agama. Agama merupakan penjelasan rasional dan sekaligus mengatur
nilai-nilai serta kepercayaan teologis11. Di antara bangunan
kepercayaan inilah di bangun pemikiran-pemikiran rasional, tetapi
pemikiran rasional tidak mampu berdiri sendiri, tidak bisa tegak
dengan sendirinya, melainkan harus didampingi oleh kepercayaan.
Inilah yang menurut Auguste Comte dikatakan “bangunan suatu agama
yang didasarkan akal sehat semata pada dasarnya adalah benar-benar
masuk akal”12. Menurut Abdulah (1979), Weber ingin memperhatikan
tuntutan peristiwa tersebut sebagai perpaduan harmonis antara nilai-
nilai yang rasional dan irasional. Antara ide, doktrin agama dan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
310
dorongan keharusan material (kegiatan ekonomi) terjadi suatu
pertemuan. Dengan demikian agama menempati posisi yang memiliki
potensi untuk mengadakan perubahan struktural, termasuk kenyataan
sosial-ekonomi.
Weber dalam “The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism”
menjelaskan ciri yang mendasar dari kegiatan perekonomian yang
bersifat kapitalis adalah “rasionalitas” yang didasarkan kepada
perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun secara sistematis
dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang diharapkan untuk
mendapatkan keuntungan. Namun pengejaran keuntungan atau
kekayaan tidaklah sama sekali melepaskan etika “panggilan”.
Selanjutnya, Weber menyatakan bahwa panggilan merupakan suatu
cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi
kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan
kedudukannya di dunia, maka kaum Calvinisme telah melihat kerja
sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi
sebagai tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup
keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Richard Baxter dalam
bukunya ”Christian Directory” menyatakan bahwa suatu panggilan
yang didasarkan kepada adanya perintah Tuhan kepada setiap orang
untuk bekarya bagi keagungan-Nya di bumi. Weber menyatakan,
itulah yang telah menimbulkan konsekuensi-konsekuensi psikologis
dan perkembangan yang lebih jauh tentang penafsiran keberhasilan di
bidang ekonom.
Bila dibandingkan antara Gus-ji-gang yang merupakan nilai-
nilai ajaran Islam yang diajarkan oleh Sunan Kudus dengan konsep
kapitalisme Max Weber, ada kesamaannya tetapi banyak
perbedaannya. Persamaannya keduanya menghargai kebebasan
individu, sama-sama menyatakan bekerja keras adalah panggilan atau calling untuk ibadah, memiliki tanggung jawab langsung kepada
Tuhan, menjunjung kejujuran dalam perbuatan, memiliki sifat hemat,
melakukan pembagian waktu secara metodik antara kerja dan ibadah
dalam kehidupan sehari-hari, melakukan kalkulasi perdagangan secara
rasional. Namun perbedaan antara lain, doktrin predistinasi yang
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
311
diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras, tetapi etos kerja
Islam di didasari sikap “ikhtiar” dan “tawakal” bukan fatalitik. Tujuan
bekerja menurut Max Weber untuk mendapatkan keuntungan dan
diinvestasikan kembali dalam usaha agar memperoleh keuntungan
yang lebih besar tetapi dalam Islam, kekayaan pribadi yang didapat dari
keuntungan usaha tujuannya sebagian digunakan untuk usaha kembali
dan sebagian untuk berhaji serta dinikmati fakir miskin yang
membutuhkan dalam bentuk sedakah dan zakat.
Kapitalisme, Etika Dagang Bangsa Barat
Studi Weber (1958) tentang etika Protestan menunjukkan
bagaimana teologi rasional telah menjadi kelengkapam orientasi yang
lebih mendalam dalam tindakan dan perilaku individu dan masyarakat.
Weber melihat laju Protestanisme cenderung ke arah asketisme sebagai
pesan menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan
lebih memusatkan kemampuan tindakan dan perilaku manusia, usaha
manusia untuk mendapatkan keuntungan dan memperoleh kehidupan
yang layak telah menjadi tujuan umat manusia. Wallace (1951)
mengatakan, mereka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi
dengan sistem perhitungan mengejar keuntungan dengan cara melalui
penanaman kembali keuntungan yang diperolehnya untuk mendapat-
kan akumulasi kekayaan. Namun dalam pengejaran keuntungan atau
kekayaan tidaklah sama sekali melepaskan etika karena makna penge-
jaran keuntungan di bidang material berkaitan erat dengan adanya
“panggilan” terhadap tugas duniawi.
Menurut Weber, konsep tentang “panggilan” merupakan
konsep agama. Arti penting dari konsep “panggilan” menurut etika
Protestan bahwa panggilan berfungsi membuat urusan biasa dari
kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Panggilan bagi
seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan
kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam
kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Weber mengatakan, panggilan
merupakan suatu cara hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
312
memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai
dengan kedudukannya di dunia. Perkembangan konsep “panggilan”
dalam Protestanisme sebagai kekuatan agama berperan dalam
membentuk jaringan perkembangan budaya duniawi, mencari sikap
dan arah dimana gerakan-gerakan keagamaan telah mempengaruhi
perkembangan budaya material dan melihat kerja sebagai panggilan.
Weber juga mengatakan, kerja tidak sekedar memenuhi
kebutuhan tetapi sebagai panggilan tugas suci yang menjadi dasar etos
kerja seseorang atau kelompok masyarakat. Selanjutnya menurut
Weber (1958), etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja
yang diyakini oleh seseorang atau kelompok orang sebagai hal yang
baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja
mereka. Berkaitan antara etos kerja dengan agama, maka etos kerja
merupakan sikap diri yang mendasar terhadap kerja yang merupakan
wujud dari kedalaman dan penghayatan religius yang memotivasi
seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam suatu pekerjaan.
Dengan kata lain, etos kerja adalah semangat kerja yang mempengaruhi
cara pandang seseorang terhadap pekerjaanya yang bersumber pada
nilai-nilai transenden atau nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.
Tujuan dalam hidup untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan,
maka untuk mencapai tujuan itu harus bekerja keras, dan kegiatan
ekonomi sebagai suatu tugas dalam rangka melayani Tuhan.
Bekerja keras untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan
material sudah sebagai ”pembawaan naluriah” dan bagian dari sisi
emosi manusia. Dalam hubungan ini Weber (1958) menanggapi ajaran-
ajaran Benyamin Franklin yang menunjukkan suatu sikap tentang
perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dengan
konsep “semangat kapitalisme”. Suatu etika pendapatan yang rasional,
sistematis dan metodik berdasarkan moralitas agama dalam kehidupan
dan sikap hidup sehari-hari. Sikap itu antara lain berlaku hati-hati,
bijaksana, rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengelola kegiatan
ekonomi. Tidak hidup bermalas-malasan dan diam, dalam arti hanya
berbicara yang bermanfaat baik untuk diri sendiri atau untuk orang
lain. Teratur, menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
313
melakukan kegiatan sesuai dengan waktunya. Memiliki keteguhan
hati, mantap untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan dan
melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh yang telah menjadi
keputusannya. Hati-hati dan hemat, menjadikan sesuatu tidak sia-sia,
tetapi dilakukan dengan baik, baik untuk diri sendiri maupun orang
lain. Rajin dan tidak membuang-buang waktu. Selalu bekerja sesuai
dan tepat pada waktunya. Ikhlas dan tulus dan tidak berlebih-lebihan.
Selalu menghindari perilaku yang jorok dan mengusahakan kesehatan
serta tidak pernah merasa bosan dan terutama sekali tidak pernah
merasa rendah diri dengan kemampuan diri sendiri maupun orang
lain13. Ajaran tersebut di atas akan membimbing orang kepada perilaku
kehidupan yang sifatnya kapitalistis. Paling tidak dalam kehidupan
masyarakat telah berkembang sifat-sifat mental kapitalis yang nampak
dalam kehidupan yang diarahkan kepada alat-alat produksi secara
pribadi, perusahaan-perusahaan bebas, produksi untuk pemasaran,
penghematan uang, mekanisme persaingan dan rasionalisasi serta
pengelolaan perusahaan secara baik.
Gus-ji-gang, Etika Dagang Masyarakat Kudus
Komunitas IKBK bordir di Kabupaten Kudus dikenal sebagai
pengusaha yang memiliki etos kerja yang kuat dengan dipengaruhi
oleh nilai-nilai agama yang dianut sebagai dasar melakukan kegiatan
ekonomi. Nilai-nilai agama yang dianut masyarakat Kudus rata-rata
adalah nilai agama Islam dan figur yang menjadi panutan masyarakat
Kudus. Kalau dipahami lebih mendalam konsep waliyyul ilmi berfungsi
sebagai kekuatan prilaku spiritual atau keagamaan yang ada dalam
“gus” dan”ji”’ dalam konsep Gus-ji-gang yang merupakan proses inter-
nalisasi dalam diri individu yang memiliki multi budaya dan religius,
sedangkan “gang” sebagai perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang
yang tidak lain sama dengan entrepreneurship merupakan proses
ekternalitas yang didasarkan pada kepercayaan yang telah dibangun
internalilitas individu dalam kegiatan berdagang.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
314
Ahli dagang atau entreprenuerhip identik dengan rasionalitas
yang memiliki parameter yang terukur. Dasar tumbuhnya etos dagang
masyarakat Kudus merupakan proses transendensi untuk membentuk
pranata bisnis yang tidak hanya memikirkan tentang profit, transaksi,
manajemen, akuntansi, dan strategi, namun juga mempersoalkan
keadilan, pelayanan, pengembangan, tanggung jawab sosial, maupun
lingkungan hidup. Karakter etos dagang tersebut melekat pada diri
masyarakat Kudus yaitu religius tetapi memiliki etos kerja yang ulet,
rajin, hemat, serta tawakal14. Keuletan dan kerajinan masyarakat
Kudus dilakukan oleh kaum laki-laki maupun perempuan sama-sama
melakukan kegiatan bisnis, bahkan kadang-kadang mereka memiliki
peran ganda yaitu mengurusi domestik rumah tangga maupun bisnis.
Perilaku hemat masyarakat Kudus dapat dipahami dengan
mempertimbangkan segala tindakan dari segi-segi pertimbangan
ekonomi (seperti kaum kapitalis) namun perilaku hemat masyarakat
Kudus didasarkan tata nilai yang menempatkan masalah ekonomi atau
kekayaan mempunyai “arti” yang sangat tinggi. Artinya dalam keadaan
tertentu dan dengan alasan-alasan khusus, masyarakat Kudus baru
melakukan suatu tindakan ekonomi lebih pada kepentingan sosial.
Tawakal merupakan sikap berserah diri kepada Allah setelah
melakukan usaha keras. Jadi, sikap pasrah itu baru dilakukan setelah
terlebih dahulu berusaha secara keras. Bukan sebaliknya, tidak pernah
bekerja keras sama sekali, namun pasrah, itu bukan tawakal tetapi
fatalis. Jadi tawakal mengajarkan agar manusia hidup ”pasrah”, “rela” dan ”sabar” menerima apapun pemberian dari Tuhan sebagai etika
hidup sak thitahe (sesuai jalanya/kodratnya) dan rejeki paringane Gusti Allah (rejeki berasal dari Tuhan) setelah mereka bekerja keras terlebih
dahulu, dan ini sesuai dengan konsep “gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang
dan itu merupakan kekuatan “spiritual” masyarakat Kudus. Sedangkan
di sisi lain kata ”gang” yaitu dagang, yang memiliki makna pintar
berdagang, yang merupakan perbuatan rasional yang memiliki
parameter yang terukur.
Etika Gus-ji-gang yang mewarnai perilaku pengusaha di Kudus
dalam berdagang, bila mendapatkan keuntungan yang berlebih dari
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
315
hasil usaha, penggunaannya tidak ditabung untuk diinvestasikan dalam
usaha seluruhnya tetapi justru sebagian dari keuntungan akan
digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan sosial sebagai sarana
untuk mencapai kebahagian spiritual misalnya naik haji, sedekah,
zakat, membantu saudara yang tertimpa musibah atau kegiatan-
kegiatan lain yang dapat menaikkan status sosialnya seperti berhaji
atau berpenampilan maliter yang identik dengan berpakaian yang
bagus, rumah yang baik, kendaraan bagus atau sesuatu yang dapat
menaikan penampilan.
Gaya maliter akan mendapat pandangan negatif masyarakat luas
karena nilai-nilai ajaran Islam melarang jor-joran konsumsi pribadi
yang tidak rasional, manakala gaya maliter hanya digunakan perbuatan
pamer kekayaan. Sedangkan gaya maliter akan dihormati masyarakat
bila sebagai simbol rasa syukur atas keberhasilan mendapatkan rejeki
berlimpah dan memperkuat dirinya termasuk ke dalam kalangan “gus”
bagus penampilan dalam Gus-ji-gang. Namun demikian dalam ajaran
Islam tidak melarang orang menjadi kaya asalkan orang kaya tersebut
dapat menguasai dirinya dan kekayaan tidak dicari untuk sekedar
dikumpulkan/ditabung tetapi kekayaan dicari untuk berbakti kepada
Allah dan melaksanakan perbuatan baik. Ini menunjukkan bahwa
makna kekayaan dalam Islam sangat berbeda dengan makna yang
terdapat dalam sistem ekonomi materialistik dan kapitalisme yang
menganggap bahwa kekayaan sebagai kekuatan ekonomi dan sebagai
alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Kerja keras dan selalu “ikhtiar” tidak sekedar pemenuhan
keperluan hidup tetapi tugas suci yang menurut agama Islam bahwa
mencari rejeki (bekerja) harus dilakukan dengan tetap mengingat pada
Allah (dzikir) dan membangun hubungan (shalat) dengan-Nya. Segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini berada dalam tangan kekuasaan-
Nya. Maka menjadi tidak benar jika seseorang dalam mencari rejeki
(bekerja) justru melupakan yang memiliki rejeki, semakin banyak
rejeki yang diterima, semakin dekat dengan yang memberikan rejeki.
Maka tidak mengherankan, bagi agama Islam persoalan rejeki
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
316
dihubungkan dengan tawakal, karena pada dasarnya tawakal adalah
membangun transendensi kepada Allah.
Sejalan dengan etika ajaran Islam tidak mengajarkan harta
kekayaan sebagai kemungkinan pertanda penyelamatan. Oleh karena
itu agama Islam menolak gagasan takdir sebagai dipersepsikan
Calvinisme menurut pandangan Weber. Persoalan mengenai siapa
yang termasuk golongan terpilih dan siapa termasuk golongan terkutuk
dalam etika Islam tidak ada, meskipun antara ajaran Islam dan
kapitalisme yang diangankan Weber sama-sama menghargai kebebasan
individu.
Demikian pula dalam etika Gus-ji-gang tidak memperkenalkan
tindakan eksploitasi si miskin (karyawan/buruh) oleh si kaya (majikan),
sehingga hubungan antara karyawan dan majikan di komunitas IKBK
bordir di Kudus demikian cair, kekeluargaan, hangat dan harmonis,
dan terstruktur (yang muda menghargai yang tua, karyawan
menghormati majikan) serta menjaga tidak terjadi konflik secara
terbuka. Namun dalam etika hidup Calvinisme menghargai kebebasan
individu dan membenarkan upah eksploitasi untuk menjamin
peningkatan produktivitas dan menekankan pelayanan dan rajin bagi
para majikan sebagai jalan keselamatan kaum buruh (karyawan).
Menurut Deliar Noer (1982), kekayaan pribadi dalam ajaran Islam
merupakan amanat suci yang harus dinikmati oleh semuanya, terutama
oleh fakir miskin yang membutuhkan.
Etika Gus-ji-gang sebagai Habitus dan Social Capital Dagang Masyarakat Kudus
Perilaku ekonomi masyarakat Kudus memiliki tata nilai
berbeda dengan daerah lain, hal ini karena karakteristik masyarakat
Kudus diyakini berkaitan dengan diri Sunan Kudus. Dalam tradisi
tersebut, Sunan Kudus digambarkan selain sebagai penyebar agama
Islam yang faqih sehingga dikenal sebagai “waliyyul ilmi” berfungsi
sebagai kekuatan prilaku spiritual atau keagamaan ada dalam “gus” dan
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
317
“ji” dalam konsep Gus-ji-gang yang merupakan proses internalisasi
dalam diri individu yang memiliki multi budaya dan religius, Sunan
Kudus digambarkan pula sebagai seseorang pedagang yang ulet dan
tangguh. Perilaku “gang” atau pintar dagang dalam Gus-ji-gang sebagai
perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang yang tidak lain sama
dengan entrepreneurship merupakan proses ekternalitas yang
didasarkan kepercayaan yang telah dibangun internalitas individu
dalam kegiatan berdagang. Tradisi lokal tersebut masih tetap
dipertahankan hidup di masyarakat, dan figur Sunan Kudus yang patuh
dalam beragama dan ulet, rajin, hemat dan tawakal dalam berdagang
merupakan rujukan dan habitus bagi perilaku ekonomis dari
masyarakat Kudus, khususnya komunitas IKBK Bordir di Kudus.
Mengacu pada dialektika aktor dalam komunitas IKBK bordir di
Kudus, maka penulis letakkan dalam konsep Bourdieu (1977) dalam
“Outline of Theory of Practice” sebagai:
”suatu sistem disposisi yang tahan lama, dapat diubah-ubah, struktur yang disusun untuk mempengaruhi sebagai penyusunan struktur, yaitu, sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara objektif “mengatur” dan “teratur” tanpa harus menjadi hasil dari kepatuhan pada aturan-aturan, mereka (agen-agen) secara kolektif dapat disusun seperti musik tanpa menjadi hasil dari pengorganisasian tindakan oleh sang konduktur.”
Dalam hal ini ”waliyyul ilmi” dan “wali saudagar” yang
terimplementasi dalam perilaku Gus-ji-gang menjadi dua kekuatan
yang saling menyatu, menjadi bagian dari pembentukan habitus para
aktor (pengusaha IKBK bordir) dan habitus menjadi kerangka berpikir
dan bertindak para aktor dalam berbisnis sebagai area/ranah/field yang
melibatkan kekuatan modal mereka. Habitus para aktor terbentuk
melalui proses yang panjang sebagai bagian dari latar belakang aktor
yang bersifat generatif atau turun-menurun, terkait erat dari latar
belakang budaya, kepercayaan, gender dll.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
318
Bourdieu (1977) menjelaskan bahwa, pembentukan habitus melalui suatu dialektika yang digambarkan sebagai: “a dialectic of internalization of externality and externalization of internality”. Proses
internalisasi “gus” dan ”Ji” dalam Gus-ji-gang yang terus diterima atau
dilakukan dalam sistem ini akan membentuk habitus yang berfungsi
sebagai kerangka pikir aktor (pengusaha IKBK bordir) yang
tereksternalitas dalam bentuk praktik (dagang), dan selanjutnya apa
yang tereksternalitas ini mengalami proses internalitas kembali, dan
seterusnya, semuanya berlangsung dalam IKBK bordir sebagai
ranah/area/filed. Dalam ranah IKBK border, aktor (pengusaha IKBK
bordir) melakukan tindakan atau praktik dalam bentuk berinteraksi
yang dialektis dengan tenaga kerja (karyawan), pemasok bahan baku,
konsumen dan pemangku kepentingan yang melibatkan modal baik
ekonomi, sosial, budaya, maupun simbolik yang dimiliki untuk meraih,
mempertahankan dan mengembangkan kapasitasnya agar eksis dalam
IKBK bordir. Habitus selalu bertautan dengan capital dalam arena dan
pertautan antara habitus, capital dan arena merupakan paduan dialektis
yang memberikan gambaran berlangsungnya berbagai practice
(praktik) berdagang para aktor (pengusaha IKBK bordir), yang oleh
Bourdieu (1977, 1990) dirumuskan sebagai (habitus) x (capital) + field =
practice.
Habitus aktor (pengusaha IKBK bordir) pintar melakukan
kegiatan bisnis, diperoleh melalui proses belajar yang panjang, mulai
dari kecil sepanjang usia dari berbagai sumber yang ditemui dan
dialami dalam rumah melalui belajar membordir dan berusaha bordir
dari orang tuanya, saudara-saudara dan di lingkungan masyarakat.
Proses belajar itu merupakan konsep ”Ji” atau pintar mengaji dalam
konsep Gus-ji-gang adalah kependekan dari kata ngaji (mengaji)
merupakan membaca, mempelajari dan menelaah kitab suci Al Qur’an
merupakan amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di dunia dan
akherat. Ngaji juga menyiratkan terutama umat Muslim dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, baik itu berupa keimanan atau
pendalaman agama maupun pengetahuan-pengetahuan lain yang
berhubungan dengan masalah-masalah hidup melalui pertemuan di
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
319
Masjid, RT/RW, arisan, pengajian, maupun pertemuan-pertemuan
yang diselenggarakan oleh pemangku kepentingan di masyarakat. “Gang” atau dagang dalam konsep Gus-ji-gang merupakan amal yang
mengarah pada kemuliaan hidup di dunia dalam rangka mendapatkan
keuntungan dalam kegiatan ekonomi dan berkaitan dengan hubungan
antar munusia dengan sesamanya. Bagi umat Islam harus ada
keseimbangan antara tujuan akherat dan tujuan di dunia. Pengalaman
sejarah memberikan beranggapan bahwa masyarakat Kudus rata-rata
memiliki perilaku baik, mencari kekayaan dan berkeyakinan yang kuat
pada agama Islam yang membedakan antara masyarakat Kudus dengan
masyarakat di luar Kudus. Sikap itu telah menjadikan masyarakat
Kudus memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang pintar dagang,
ulet, rajin, hemat dan tawakal.
Filosofi Gus-ji-gang menjadi habitus masyarakat Kudus
merupakan dualitas kehidupan ekonomi (dagang) dan spiritual (“gus”
berperilaku bagus dan “ji” ngaji). Kehidupan sehari-hari masyarakat
Kudus tercermin dalam tiga pusat kegiatan kehidupan masyarakat
Kudus, yaitu rumah, pasar dan masjid yang tidak saling berhubungan.
Kesadaran rumah sebagai pusat bekerja berbeda dengan kesadaran
pasar sebagai pusat mencari keuntungan, dan dengan masjid sebagai
pusat ritual agama. Dalam memilih pekerjaan masyarakat Kudus tidak
tertarik pada pekerjaan kantoran, tetapi lebih tertarik pada bidang
wirausaha dan perdagangan. Pekerjaan mereka sebagai pedagang,
membuat mereka sangat hemat dan berhati-hati dalam mengeluarkan
uang untuk kepentingan apapun. Karena itu, masyarakat di luar Kudus
sering menganggap masyarakat Kudus itu uthil (pelit), semua
pengeluaran dipertimbangkan matang-matang secara ekonomi.
Sehingga masyarakat Kudus dikenal sebagai pedagang yang memiliki
etos kerja yang ulet, rajin, hemat, serta tawakal sebagai suatu tindakan
sosial dalam rangka mengelola usaha bisnisnya. Tindakan sosial
menurut Bourdieu (1997), lebih cenderung merupakan hasil proses
improvisasi dan kemampuan untuk berperan dalam interaksi sosial.
Menurut Bourdieu (1997), interaksi sosial terjadi tidak sepenuh
secara acak dan kebetulan. Dalam kehidupan sosial terjadi interaksi
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
320
antar struktur dan tindakkan agen yang saling mempengaruhi.
Tindakan sosial tidak serta merta terjadi atau dipengaruhi struktur dan
orientasi-orientasi budaya. Aktor bergerak atau bertindak dalam
kebiasaan. Kebiasaan ini menjadikan aktor dalam bertindak merasa ada
di dalam dunia sosialnya. Demikian pula dalam dunia bisnis, menurut
Werner (2004), Barney (1991,1995) dimana salah satu sumber daya
yang dapat memberikan keunggulan bersiang adalah sumber daya yang
dikembangkan melalui berbagai pendekatan sosial dengan atribut-
atribut sosialnya (Oliver,1997) yang dikenal sebagai social capital atau
modal sosial (Coleman,1988). Dalam kaitan ini social capital dipandang
merupakan salah satu instrumen strategis yang mampu mendorong
tumbuh dan berkembangnya keunggulan bersaing yang pada
gilirannya mampu menghasilkan kinerja perusahaan yang baik dan
menjamin keberlanjutannya.
Menurut studi (Hall, 1994; Lado et.al., 1992, dan Oliver, 1997)
menempatkan konsepsi social capital menjadi salah satu faktor kunci
dalam menghasilkan kinerja industri. Kinerja industri yang ditentukan
oleh tingkat keunggulan bersaing yang dimilikinya sangat tergantung
pada modal sosial yang dimiliki dan dikembangkan. Putman (1993)
mendefinisikan social capital sebagai: “fitur organisasi sosial seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi
dalam masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi”.
Dengan demikian rasa dipercaya dan saling percaya, kepatuhan pada
norma-norma sosial yang ada serta jejaring sosial yang dibangun yang
mampu meningkatkan efisiensi masyarakat merupakan fitur dasar
social capital yang ada dalam berbagai organisasi masyarakat termasuk
IKBK bordir di Kudus.
Dengan demikian, menelusuri macam apa dan bagaimana
perwujudan social capital merupakan sebuah potensi maupun
teraktualisasi di IKBK bordir di Kudus adalah sebuah upaya
pengamatan social capital menurut kriteria ekonomi, yaitu
menunjukkan produktivitas, efisiensi dan efektifitasnya. Derajat
produktivitas, efisiensi dan efektifitasnya ditentukan oleh keragaman
perbedaan daya arah yang oleh Fukuyama disebut sebagai radius
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
321
kepercayaan (radius of trust). Oleh karena itu, pemberdayaan peran
social capital di lingkungan IKBK bordir di Kudus dapat berkembang
melalui usaha yang memelihara norma dan nilai kejujuran, saling
mempercayai, kerja sama usaha konsumen, tenaga kerja, pemasok
bahan baku maupun diantara para pengusaha bordir sehingga
terbangun kinerja ekonomi yang unggul di lingkungan IKBK bordir di
Kudus.
Secara empiris yang didapat dari berbagai informan, maka dapat
disimpulkan produk bordir Kudus memiliki keunikan yang berbeda
dengan daerah lain dan merupakan karya asli nenek moyang Kudus
yang mempunyai nilai seni yang sesuai dengan nilai Gus-ji-gang dan
komersial yang tinggi yaitu “bordir icik” dengan ciri-ciri: (1), Warna
lembut dan motif kecil-kecil dengan teknik pembuatan rumit, teliti
dan sabar, ini menunjukkan bahwa masyarakat Kudus memiliki
karakteristik teguh, ulet, sabar, pekerja keras, percaya diri, kreatif dan
mandiri. (2) Disain dengan cengkok kluweran atau ”lengkungan” yang
halus dengan bunga melati kecil-kecil atau titik-titik yang mengelilingi
bentuk bordir yang besar. Bunga melati kecil-kecil sebagai tanda atau
lambang keindahan, ketulusan dan kerendahan hati dan titik-titik yang
melingkari bentuk bordir yang besar sebagai “tanda” atau simbol nilai
“gus” dan “ji” yang menggambarkan simbol hubungan manusia yang
baik (harmonis, rukun, tulus dan hangat serta rendah hati) dan dunia
ini harus ditata secara harmonis baik antara jagad cilik atau mikro
kosmos (jiwa, pikiran, hati nurani manusia) maupun jagad gede atau makro kosmos (komunitas, masyarakat). (3) Jahitan bordirnya tebal
dan kuat, sehingga bila dicuci tidak rusak, bahkan saat kainnya sudah
rusak tetapi bordir masih tetap baik. Bordir tebal dan kuat memberikan
makna tanda nilai ”gus” dan “ji” sebagai perilaku masyarakat Kudus
yang tebal akhlaknya dan kuat tawakhalnya sehingga tidak luntur atau
tidak rusak oleh adanya perubahan jaman.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
322
CATATAN-CATATAN KAKI
1 Kameo, Daniel D., 2014.’Membangun Basis Ekonomi Nasional yang Kokoh melalui Keberpihakan kepada Pelaku Ekonomi Mayoritas di Indonesia” dalam Kumpulan Tulisan ”para murid” dalam rangka Ulang Tahun ke 70 Prof. John JOJ Ihalaw “Ketika Rajawali Terbang Tinggi”. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana
2 Spiritualitas adalah hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden.Spiritualitas mencakup inner life induvidu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Maha Mutlak. Sprotulitas juga mencakup bagaimana induvidu mengekpresikan hubungannya dengan sosok transeden tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya dibaca dalam Schreurs, ”Spiritual Raletionships as an Analytical Instrument in Psichotheraphy With Religious Patients”. Journal of Philosophy, Psychiatry,& Psychology-vol.12.no3.September 2006.hlm.185.
3 N.Driyarkara,Percikan Filsafat,(Jakarta:PT Pembangunan,1980).hlm.148
4 Orang jawa lebih akrab dengan istilah ngelmu dari pada ilmu pngetahuan.Bagi orang Jawa ngelmu berarti adalahtiga hal sekaligus yaitu ilmu pengetahuan, pengertian mistis, dan kekuatan gaib, sebagai salah satu bentuk kemampuan yang lebih menyolok untuk bertindak tepat.Franz Magnis Suseno.’Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang kebijakan hidup jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).hlm.106.
5 Proses pemikiran yaitu, serangkaian kegiatan budi rohani seseorang yang menciptakan pengertian, melakukan penalaran, dan mengolah ingatan sekelilingnya. Selanjutnya dibaca dalam The Liang Gie,2003,hlm.3.Internalisasi sama dengan menginternalisasikan atau membatinkan perintah-perintah, larangan-larangan dan, nilai-nilai moral dari masyarakat (orang tua, para guru, para teman sejawat, tempat kerja, dan Negara)
6 Menurut K.Bertens, keutamaan mempunyai hubungan eksklusif dengan moral, karenanya keutamaan sama saja dengan keutamaan moral.K.Bertens.’Etika’ (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2011).hlm.217.
7 Istilah social capital (social capital) yang menurut Bourdieu didefinisikan sebagai berikut,’modal hubungan sosial yang jikadiperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat:modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi yangpenting secara social, dan yang bias menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik.P.bourdieu,”Cultural Reproduction and Social Reproduction” dalam :J.Karabel dan A.H.Hasey (eds), Power and Idiology in Education, (New York: Oxford University Press,1988). hlm.503
8 Eksistensi manusiawi adalahsuatu proses budi manusia dan karakteristik cara beradanya yang terdiri dari saling keterkaitandiantara agama, filsafat, ilmu, dan seni.The Liang Gie,”Suatu Konsepsi kea rah Penerbitan bidang Filsafat, terj.Ali Muhamad Mudhofir, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1979).hlm.32.
9 Ada empat jenis nilai-nilai manusiawi yang transendental yaitu, kekudusan, kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Empat nilai eksistensi itu tidak dinikmati dan tidak dapat ditiru oleh semua makhluk lainnya di bumi. Semua makhluk lainnya mempunyai
Sintesa: Gus-Ji-Gang, Pemikiran Max Weber, Habitus, Social Capital dalam Penguatan Kinerja Usaha Keluarga Bordir
323
eksistensi fisis, biologis, dan eksistensi sosial yang sama seperti manusia. Namun, hanya manusia khusus (yang khusus) memiliki dan menjalani saling keterkaitan eksistensi manusiawi dan dengan empat macamnya tersebut. The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat,terj.Ali Muhammad Mudhofir,(Yogyakarta:Karya Kencana,1979), hlm. 32. Implikasi paham nilai-nilai manusiawi yang transendental dalam dasar kesadaran orang Jawa yaitu, dengan kalimatnya “aja lali marang asale” maksudnya, hendaklah selalu ingat (eling) bahwa, “jangan melupakan asalmu”. Kalimat itu juga berarti, maka hendaknya ingat (eling) akan Allah dan sesuai dengan itu hendaknya mempercayakan diri pada bimbingan yang Ilahi (pracaya) atau percaya kepadaNya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat tentang Kebijakan Hidup Jawa (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2001),hal. 139. Lihat juga Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Pandawa, 1977), hlm. 13.
10 Dimaksudkan kemajuan yang manusiawi adalah, kemajuan hanya bersifat manusiawi apabila manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut, apabila ia semakin merasa tentram dan selamat, apabila ia sanggup untuk mewujudkan kehidupannya sebagai individu dalam lingkungannya sesuai cita-citanya, apabila ia tidak diperbudak. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 135.
11 Gordon Marshall,In Search of The Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s Protestan Ethic”, (New York:Columbia University Press,1982), hlm.23.
12 Fransisco Jose Moreno,”Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusia”, diterjemahkan oleh M.Amin Abdullah,(Jakarta:Rajawali Press,1985),hlm.139
13 Kurt Samuelson, Religion and Economic Action: A Critique of Max Weber. (New York: Harper Torch Books and Row Publication,1964),hlm.55-56.
14 Musa Asy’ari. 1997, ”Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”. (Yogyakarta: Lesfi dan IL), hlm.25.