gus dur dan mega

21
A. Pendahuluan Pasca reformasi, seperti layaknya masa transisi, melahirkan beragam gejolak serta kerja kebangsaan san pemikiran-pemikiran disertai dengan beragam perubahan tata cara bernegara. Baik itu pemikiran ke depan maupun pemikiran ulang terhadap nilai-nilai kebangsaan, yang tidak bisa bertumbuh pada era Soeharto serta masa proklamasi. Sebutlah tafsir sejarah peristiwa September 1965 hingga upaya kembali meletakan agama sebagai dasar negara, yang sesungguhnya sudah selesai dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945. Seluruh pemikiran yang tidak bisa tumbuh pada era Soeharto, maupun yang mati oleh pemikiran yang pluralis Pancasila, berupaya ditumbuhkan kembali dalam era yang penuh transisi serta dibuka lewat pemilu langsung dan suara terbanyak. Era yang memungkinkan berbagai dimensi pemikiran masuk lewat partai, parlemen hingga yudikatif, eksekutif serta berbagai bentuk proses berbangsa lainnya. Terpilihnya Abdurahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam Sidang Umum MPR 1999 memberi harapan yang besar bagi bangsa Indonesia. Harapan beasi itu pada umumnya bersumber dari keinginan kolektif agar kehidupan

Upload: adamslump

Post on 01-Oct-2015

245 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Politik reformasi

TRANSCRIPT

A. PendahuluanPasca reformasi, seperti layaknya masa transisi, melahirkan beragam gejolak serta kerja kebangsaan san pemikiran-pemikiran disertai dengan beragam perubahan tata cara bernegara. Baik itu pemikiran ke depan maupun pemikiran ulang terhadap nilai-nilai kebangsaan, yang tidak bisa bertumbuh pada era Soeharto serta masa proklamasi. Sebutlah tafsir sejarah peristiwa September 1965 hingga upaya kembali meletakan agama sebagai dasar negara, yang sesungguhnya sudah selesai dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945. Seluruh pemikiran yang tidak bisa tumbuh pada era Soeharto, maupun yang mati oleh pemikiran yang pluralis Pancasila, berupaya ditumbuhkan kembali dalam era yang penuh transisi serta dibuka lewat pemilu langsung dan suara terbanyak. Era yang memungkinkan berbagai dimensi pemikiran masuk lewat partai, parlemen hingga yudikatif, eksekutif serta berbagai bentuk proses berbangsa lainnya.Terpilihnya Abdurahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam Sidang Umum MPR 1999 memberi harapan yang besar bagi bangsa Indonesia. Harapan beasi itu pada umumnya bersumber dari keinginan kolektif agar kehidupan ekonomi, sosial dan politik nasional segera pulih kembali setelah selama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia terpuruk dilanda krisis ekonomi an politik yang begitu dahsyat. Ada sejumlah faktor mengapa harapan masyarakat sangat besar terhadap duet Gus Dur Mega. Pertama, untuk pertama kalinya Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan demokratis oleh anggota MPR hasil pada pemilu 1999. Kedua, KH. Abdurahman Wahid dan Megawati adalah kombinasi dari golongan Islam dan Nasionalis.[footnoteRef:2] [2: Riza Sihbudi, Bara dalam Sekam: Identifikasi akan masalah dan Solusi atas konflik-konflik lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau, Bandung: Mizan, 2007., h. 17]

B. Fase Kepemimpinan Abdurahman Wahid (Gus Dur)Tak seorangpun pernah membayangkan bahwa peralihan berdemokrasi di Indonesia akan lancar, tetapi ada awalnya sejumlah kecil reformis, termasuk Gus Dur, sepenuhnya memahami besarnya tugas ini. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tampaknya selalu menjadi pembicaraan menarik dalam wacana palitik di tanah air. Menilai Gus Dur saat ini tentu berbeda dengan sosok Gus Dur sebelum menjadi presiden. Ketika Gus Dur berada di luar kekuasaan, ia dikenal sebagai tokoh demokrasi yang egaliter, dan berani menyuarakan aspirasi rakyat yang tertindas banyak masyarakat yang tertindas pada masa Orde Baru, mengadukan nasibnya pada Gus Dur. Keberpihakanya pada masyarakattertindas pada waktu itu, membuat namanya semakin harum. Lewat kejujuran dan keberanian, menyeruakan kebenaran waktu itu, membuat ia dicintai oleh rakyat dari berbagai lapisan. Sebaliknya, dimata penguasa, Gus Dur tokoh yang dibenci dan harus dipinggirkan dari panggung politik.[footnoteRef:3] [3: Drs. Hamdan Daulay, M.Si.,Dakwah di Tengah Persoalan Budaya Politik dan Budaya,Yogyakarta : LESFI 2000, h. 163]

Kritik terhadap pemerintahannya terjadi sejak Presiden Gus Dur mengumumkan kabinet Persatuan Nasional dimana kekuatannya hasil kompromi dari partai-partai pendukungnya. Namun kabinet yang dikatakan Gus Dur lebih ramping dari sebelumnya ternyata jumlah menteri lebih banyak bahkan ada dua departemen yang dihapus, yaitu Depatemen Penerangan dan Departemen Sosial, yang pada masa Soeharto sebagai alat yang efektif mengendalikan penerbitan dan pemberitaan dalam media.[footnoteRef:4] [4: Kompas, 22 April 2000]

Kini, tampaknya sudah terjadi banyak perubahan dalam sikap dan tindakan politik Gus Dur setelah ia diberi kekuasaan oleh rakyat. Dalam menghadapi perbedaan pendapat dan kritik dari masyarakat, Gus Dur cenderung kurang akomodatif. Bahkan ada kesan muncul sikap otoriter terhadap lawan-lawan politiknya. Tindakan main pecat, usir dan marah-marah terhadap orang yang tidak sejalan dengan keinginanya, tentu sangat bertentangan dengan teori yang ia perjuangkan selama ini. Hal ini dikarenakan terlalu banyak persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dengan pemikiran yang kritis dan jernih.[footnoteRef:5] [5: Ibid h. 164]

Terhadap tuduhan bahwa ia telah bersikap otoriter, suatu alasan kuat dapat digunakan untuk menentang gugatan tersebut, yaitu bahwa kelemahan Gus Dur disebabkan oleh ketidak mampuannya untuk bernegosiasi dengan keras dan mencapai kesepakatan dengan musuh-musuh politiknya. Misalnya, ia sering berlawanan dengan para jenderal ketika ia sebenarnya dapat dengan mudah menggunakan mereka untuk memperkokoh kekuasaannya.[footnoteRef:6] [6: Ibid, h. 465]

a. Menilai Komitmen Politik Gus DurBagi awam, barangkali tindakan politik Gus Dur termasuk yang paling sulit dipahami. Ada kesan Gus Dur sering melawan arus, kontroversial, dan bahkan membingungkan. Sejak Or-Ba hingga kini, gagasan-gagasan yang dilontarkannya memang terkesan aneh dan berani. Banyak orang memuji dengan kecemerlangan pemikiran Gus Dur, karena dengan nilai tulus dan jujur. Selain itu, lepas dari setuju atau tidak terhadap pemikirannya, yang jelas Gus Dur memiliki komitmen tinggi pada keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun disisi lain, banyak pula yang tidak setuju dengan gus Dur dan bahkan mereka mengecam tindakan politiknya yang dianggap sangat membingungkan. Kebingungan masyarakat dalam menilai politiknya semakin lengkap dengan munculnya pernyataan, bahwa ia tidak lagi mendukung Megawati sebagai calon presiden. Padahal, selama ini masyarakat yakin Gus Dur paling gigih mendukung Megawati. Ia sebagai deklarator PKB merupakan kekuatan merupakan kekuatan penting dalam memberi dukungan kepada PDI Perjuangan. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai sahabat karib yang senantiasa memberi dukungan moral bagi Megawati, di saat suka maupun duka. Sehingga cukup mengagetkan dengan munculnya pernyataan Gus Dur yang tak memberi dukungan lagi kepada Megawati.[footnoteRef:7] [7: Drs. Hamdan Daulay, M.Si.,Dakwah di Tengah Persoalan Budaya Politik dan Budaya, Yogyakarta : LESFI h. 160]

Analisis lain, menurut Greg Barton bahwa Gus Dur dalam kursi pemerintahan Indonesia mempunyai berbagai macam problem yang harus diselesaikan terutama tantangan dari dalam (elite politik) dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tantangan yang dihadapi oleh Gus Dur sudah jelas, tetapi setidaknya ada selusin hal yang perlu di selesaikan. Salah satunya adalah kasus Buloggate dan Bruneigate yang mengantarkan Gus Dur turun dari kursi kepresidenannya.b. Impeachment Presiden Abdurahman WahidUUD 1945 sering kali dianggap tidak tegas dalam memberikan kejelasan terhadap proses politik di tingkat suprastruktur dan infrasutuktur politik. Artinya, kejelasan dari proses secara struktural dan memberikan pengaruh positif terhadap aturan main dari setiap pelaku yang bergerak baik dalam dinamika kelembagaan internal itu sendiri maupun ketika berada pada tataran hubungan antar lembaga.Ketika publik dikejutkan oleh berita media massa tentang bobolnya dana milik Yanatera Bulog sebesar Rp. 35 Miliar pada Mei 2000, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memiliki fungsi pengawasan, memebrikan reaksi yang cukup keras. Reaksi pertama, Komisi III DPR berdasarkan rapat komisi 24 Mei 2001 memanggil pihak-pihak terkait. Kejutan lainnya adalah adanya danabantuan dari Sultan Brunei Darussalam sebesar US$ 2 juta kepada Abdurahman Wahid. Banyak pihak menyatkan bahwa bantuan tersebut harusnya dipertanggungjawabkan Presiden kepada rakyatnya dengan memasukannya ke kas penerimaan negara. Sementara pihak lain menyatakn bahwa bantuan tersebut bersifat pribadi, sehingga tidak termasuk sebagai pendapatan negara.Realita selanjutnya adalah munculnya usulan untuk membentuk sebuah Pansu Penyelidikan atau lebih dikenal sebagai Panitia Angket yang khusus menyelidiki kasus dana Yanatera Bulog sekaligus dana bantuan Sutlan Brunei Darussalam. Langkah memebentuk Pansus inipun tak lepas dari kontroversi baik dari segi yudiris yang ternyata dalam konsideran Surat Keputusan Pimpinan DPR mencantumkan Undang-undang no. 6 Tahun 1954, tentang Hak Angket (Undang-undang Hak Angket), maupun dari segi politis.Seperti diketahui bahwa, Undang-undang Hak Angket adalah produk jaman UUDS 1950, sementara pada saat dibentuknya Pansus Penyelidikan yang berlaku adalah UUD 1945. Dari situ muncul interpretasi keabsahan secara yuridis dan juga masalah-masalah yuridin lainnya dikemudian hari. Dari segi politis, selain mendapat pertentangan dari partai pendukung Abdurahman Wahid yaitu PKB. Muncul juga kritikan dari masyarakat yang menyatakan bahwa, pembentukan Pansus ini hendaknya juga diikuti dengan pemebntukan Pansus Penyelewengan BLBI dan kasus dana non-budgeter Bulog secara keseluruhan. Dengan pemebntukan kasus-kasus tersebut diharapkan kesannya adalah pelaksanaan fungsi DPR hanya untuk menjatuhkan Presiden Abdurahman Wahid.[footnoteRef:8] [8: Indra Pahlevi, Sebuah Kajian terhadap Pelaksanaan Hak menagdakan Penyelididkan/Angket DPR-RI, dalam Didit Hariadi Estiko (ed.), Berbagai Perspektif Tentang Momorandum Kepada Presiden: Suatu Studi Terhadap Pemberian Memorandum DPR-RI kepada Presiden Abdurahman Wahid, Pusat Kajian dan Pelayanan informasi Sekretariat Jenderal DPR-RI, Jakarta: 2002., h. 1-2]

Namun dalam perkembangannya, Pansus penyelidikan tersebut terus berjalan dengan mengagendakan memanggil sejumlah saksi dalam dua kasus tersebut termasuk Abdurahman Wahid. Akhirnya dari prosesnya yaitu dikeluarkannya Memorandum I DPR-RI kepada Presiden Abdurahman Wahid. Beberapa hari kemudian, Preside Abdurahman Wahid menyatakan bahwa Pansus ilegal.[footnoteRef:9] Tiga hal yang disampaikan Presiden yaitu; pertama, presiden berpendapat kesimpulan laporan kasus Buloggate dan Bruneigate kurang obyektif dan tidak mengakomodasi semua keterangan yang meringankan Presiden. Kedua, Memorandum I DPR tidak memenuhi syarat sebagaimana dikehendaki pasal 7 TAP No. III/MPR/1978, karena tidak adanya bukti tentang pengertian sungguh melanggar aturan. Ketiga, dana bantuan Sultan Brunei adalah bersifat pribadi, kepada Abdurahman Wahid melalui Ario Wowor. Keempat, pada hari yang sama dikeluarkannya Memorandum I DPr, Presiden langsung membetuk Tim Politik dan Hukum untuk menyiapkan jawaban sebagai respon Presiden atas Memorandum I DPR.[footnoteRef:10] [9: Kompas, 2 Desember 2000] [10: Inosentius Samsul, Suatu analisis perbandingan mengenai isi dan format memorandum, dalam Didit Hariadi, Berbagai perspektif Tentang Momorandum Kepada Presiden.. h. 98]

Namun DPR lanjut mengeluarkan memorandum II hasil rapat Paripurna pada 30 april 2001 yang kontennya semakin luas yaitu Presiden dianggap melanggar Pasal 9 UUD 1945 tentang Sumpah Jabatan. Seperti pada sebelumnya, memorandum II juga dianggap tidak diindahkan oleh Presiden. Kemudian salah satu isi dari Memorandum II berisi tentang pelimpahan tugas pemerintahan sehari-hari dari Presiden kepada Wakil Presiden. Pemikiran tersebut untuk menghindari posisi politik Presiden.[footnoteRef:11] [11: Ibid, h. 127]

Fokus wacana yang berkembang adalah pada permasalahan sah tidak sanya memorandum yang dikeluarkan DPR, sah tidaknya Sidang Istimewa MPR yang dipercepat atau bagaimana sesungguhnya kedudukan Maklumat Presiden. Penggunaan hak menyajukan pernyataan pendapat, produk tertingginya adalah Memorandum.[footnoteRef:12] Kemudian jika memorandum DPR tersebut tidak diindahkan Presiden, maka puncaknya adalah DPR dapat mengudang MPR untuk menyelenggarakan persidangan Istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden. Jika sudah masuk ke dalam Sidang Istimewa, maka nuansa politik akan lebih kuat dari nuansa hukum. [12: Didit Hariadi Estiko, Dasar Hukum dan Mekanisme Memorandum DPR. Harian Suara Pembaruan, 8 Desember 2000, h. 6-7]

Lebih lanjut, ada dua masalah yang terkait dengan dikeluarkannya Memorandum DPR-RI, yaitu percepatan Sidang Istimewa MPR dan Maklumat Presiden 23 Juli 2001. Sidang Istimewa yang dijadwalkan akan mulai pada tanggal 1 Agustus 2001, ternyata dipercepat pelaksanaannya. Percepatan penyelenggaraan Sidang Istimewa tersebut dipicu oleh pergerakan politik dari Presiden Abdurahman Wahid yang mengancam akan mengeluarkan Dekrit Presiden apabila kompromi politiknya tidak berhasil. Inti Maklumatnya yaitu mengenai pembubaran MPR dan DPR. Pada puncaknya ancaman Presiden untuk mengeluarkan Dekrit yang ditengarai akan efektif berlaku pada tanggal 31 Juli 2001, betul-betul menggerakan MPR untuk mempercepat Sidang Istimewa. Kemudian pada hari jumat tanggal 20 Juli 2001 Pimpinan MPR mengudang seluruh anggota MPR untuk mengadakan Rapat Paripurna. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuanDekretyang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkarsebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan (Impeachment) Gus Dur dan menggantikannya denganMegawati Sukarnoputri. Megawati yang dikenal sebagai seorang nasionalis yang konservatif merupakan alternatif yang menarik untuk mengganti Gus Dur.[footnoteRef:13] [13: Greg Barton,Biografi Gus Dur,h. 471-480]

C. Fase Kepemimpinan MegawatiMegawati Soekarno Putri dilahirkan di Yogyakarta, tanggal 23 Januari 1947. Mega begitu sering ia dipanggil, menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia kelima mulai tanggal 23 Juli 2001 melalui Sidang Istimewa MPR[footnoteRef:14]. Masa lalu Megawati yang dipenuhi dengan berbagai macam petualangan politik, membuat Megawati begitu tegar dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Megawati dikritik habis-habisan karena gaya kepemimpinannya yang lebih banyak diam, selalu menghindari wartawan dan tidak mau berbicara banyak dalam forum-forum resmi. [14: Khoirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Hal: 124]

Masa kepresidenan Megawati dari tahun 2001 ditandai dengan sedikit saja pencapaian. Megawati tidak mewarisi kharisma dri Ayahnya Soekarno, tidak terlalu kompeten dalam urusan administrasi dan kepemimpinan, hampir tidak jauh berbeda dengan gaya Soeharto. Suaminya Taufik Kiemas dipandang sebagai dalang dibalik panggung kekuasaannya, sebagai praktisi politik dan fasilitator keuangan yang handal.[footnoteRef:15] [15: M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2009. Hal: 718 ]

Siapa saja yang menjadi presiden Republik Indonesia pada awal reformasi pasti menghadapi permasalahan besar yang merupakan warisan pemerintahan Soeharto, krisis ekonomi dan sosial yang menyertai lengsernya Soeharto dan kegagalan Habibie serta Abdurrahman Wahid untuk mengatasi hal ini. Korupsi semakin merajalela dan bahkan mungkin lebih buruk daripada masa Soeharto. Meskipun dalam kadar tertentu, terjadi pemulihan didalam investasi dalam dan luar negeri. Akan tetapi pada masalah korupsi bersama dengan lingkungan umum yang ditandai dengan ketidakpastian hukum dan sistem peradilan yang benar-benar busuk, juga memastikan bahwa investasi tersebut tidak mencapai tingkatan yang dibutuhkan untuk memulihkan ekonomi. a. Program Pemulihan Ekonomi BerkelanjutanMenjelang akhir 2001 pemerintah mengeluarkan instruksi baru, menghimbau pejabat-pejabatnya bekerja lebih efisien dan bergaya hidup lebih sederhana. Instruksi baru menandai kebulatan tekad pemerintah meningkatkan pelaksanaan reformasi ekonomi. Presiden Megawati Soekarno Putri melanjutkan kepemimpinan pemerintah merestrukturasi ekonomi Indonesia yang telah mengalami pukulan berat sejak krisis moneter melanda Asia Tenggara awal 1997, dalam empat tahun pemerintah merumuskan kebijakan-kebijakan reformasi dengan pengarahan ketat Dana Moneter Internasional (IMF). Peran penting IMF dalam perumusan sejumlah kebijakan reformasi tampak pada persyaratan persetujuan pinjaman yang ditetapkan menurut arahannya.Program reformasi ekonomi menjadi agenda penting pemerintahan Megawati Soekarno Putri karena sasaran-sasaran prestasi mempengaruhi kehidupan keseharian hampr seluruh lapisan masyarakat. Prestasi keberhasilan tampak bergantung pada penataan kembali struktur ekonomi dan peneyelesaian permasalahan terkait. Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengelolaan hutang luar negeri, dan restrukturasi keuangan menjadi tumpuan merebut prestasi. Sementara investasi asing dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menjadi opsi kebijakan meraih perputaran bisnis[footnoteRef:16]. Semua usaha digunakan untuk keluar dari kemelut krisis ekonomi yang seolah tidak berhenti-henti. [16: Afadlal, Megawati Soekarnoputri Presiden Republik Indonesia (Bab 5), Depok: Rumpun Dian Nugraha, 2002. Hal: 119.]

Kesepakatan antara pemerintah dengan IMF ditandatangani melalui letter of intent (LoI). Masalah yang dibicarakan Anoop Singh (Direktur IMF untuk Departemen Asia Pasifik) dengan para menteri ekonomi banyak sekali, pertama-tama menyangkut enam langkah awal (prior actions)[footnoteRef:17] yang harus diselesaikan meliputi pengendalian inflasi, pelaksanaan dini APBN 2001 yang penyesuaiannya sudah disetujui oleh DPR, dan membuat transparan rencana kerja serta prosedur dan hasil BPPN, serta penjualan aset negara (BUMN) lainnya. [17: M.Sadli, Bila Kapal Punya Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa Transisi, Jakarta: AlVabet, 2002. Hal:85.]

Segala macam resistensi dalam memulihkan ekonomi Indonesia masih berhadapan dengan krisis politik. Krisis politik sekitar Presiden Abdurrahman Wahid, pada kenyataannya Presiden tidak rela mundur dan tidak sungguh-sungguh menyerahkan pemerintahanya kepada wapres. Campur tangan harian masih berjalan terus, dan wapres juga bersalah karena tidak pernah protes. Namun dalam bidang ekonomi tidak menjadi masalah dan tidak begitu diperhitungkan[footnoteRef:18]. Lalu masalah korupsi dan ketidakpastian hukum juga menjadi kendala yang dikhawatirkan oleh Annop Singh. Di Barat, ada teori mengenai Indonesia. Dulu, ada satu bandit tunggal (stationary bandit) untuk waktu yang lama sekali yang bisa memberi kepastian walau harus bayar upeti. Sekarang, ada beratus-ratus roving bandits (bandit perorangan yang berkelana), yang tidak tunduk pada satu komando[footnoteRef:19]. [18: Ibid, Hal:3.] [19: Ibid, Hal:98.]

Politik Privatisasi BUMNPrivatisasi adalah kebijakan yang bersifat multifaset-banyak muka. Secara ideologis, bermakna meminimalisir peran negara. Secara manajemen bermakna meningkatkan efisiensi pengelolaan usaha dan meningkatkan nilai perusahaan dalam arti pengembangan daya saing perusahaan. Secara anggaran privatisasi dapat berarti mengisi kas negara yang sedang bolong[footnoteRef:20]. [20: Riant Nurgroho & Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, Jakarta: Alex Media Komputindo, 2002. Hal:vii.]

Namun di Indonesia privatisasi menjadi isu politik yang begitu kuat. Alasan pertama privatisasi di Indonesia identik dengan asingisasi. Untuk setiap BUMN yang hendak dilepas, prioritas pembelinya haruslah investor asing. Investor lokal dicurigai sebagai bagian dari kekuasaan masa lalu, investor hitam atau bahkan makelar saja. Alasan kedua, privatisasi dinasihatkan oleh lembaga keuangan dunia yang menata isu-isu moneter, yaitu IMF. Di Indonesia IMF merupakan lembaga yang tidak disukai, terlebih nasihat-nasihatnya bukannya menyelematkan Indonesia dari krisis. Malah mantan pejabat tingginya pun menyatakan sebaliknya. Alasan ketiga, privatisasi dianggap sebagai obat mujarab satu-satunya bagi masalah yang terjadi pada sebagian BUMN[footnoteRef:21]. [21: Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents, Jakarta: Ina Publikatama, 2003. Hal:75. ]

Pemerintahan Megawati tampak kuat mendukung tujuan privatisasi yang diperjuangkan oleh banyak negara sejak awal 1980-an. Nilai universal yang mendasari tujuan privatisasi adalah penekanan peran swasta dalam kegiatan ekonomi. Tidak diketahui secara pasti apakah pemerintah ketika itu tidak bisa mengelak dari desakan IMF atau kesadaran menjunjung tinggi nilai-nilai universal tersebut. Walaupun sebagian masyarakat masih mendapati keraguan, karena masyarakat menginginkan kepentingan nasional.Kenyataannya pelibatan pemilikan asing seperti perusahaan Caltex, Freeport, Exxon Mobile, Cevron dalam pengelolaan pertambangan besar[footnoteRef:22]. Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, oleh karena itu pemerintah melibatkan perusahaan asing. Pelibatan swasta asing dalam pengelolaan pertambangan memunculkan tafsir pasal 33 UUD 1945. Tafsir yang menekankan asas manfaat bersaing melawan prinsip pemilikan negara[footnoteRef:23]. [22: Sjahrir, Government Policy: Its Hard to be Consistent, The Jakarta Post, 7 Desember 2001, ] [23: Afadlal, Megawati Soekarnoputri Presiden Republik Indonesia (Bab 5), Depok: Rumpun Dian Nugraha, 2002. Hal: 122. ]

Seiring tuntutan IMF untuk menutupi defisit APBN, jelas pemerintah membutuhkan dana segar demi membiayai APBN 2002 yang sebagian besar dipakai untuk mencicil beban utang pemerintah berikut bunganya sebesar Rp1.225,15 triliun[footnoteRef:24]. Maka pemerintah akan melakukan privatisasi PT. Indosat dengan target dana terkumpul Rp6,5 triliun sesuai dengan kesepakatan IMF, namun dari hasil penjualanya hanya mampu mencapai Rp1 triliun, dengan harga perlembar sahamnya sangat murah. Walaupun mendapat perlawanan dari DPR dan juga masyarakat, tetapi pemerintah bersikeras untuk tetap menjualnya. [24: Dikutip dari Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, jumat, 20 September 2013.]

Belum adanya konsensus bersama mengenai tujuan privatisasi dan kriteria BUMN strategis semakin memancing tarik menarik berbagai kepentingan banyak pihak. Karena pemerintah sendiri pada masa itu melakukan privatisasi Indosat tanpa adanya UU khusus yang mengatur masalah privatisasi. Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008[footnoteRef:25] disebutkan lembaga bantuan AS ini bersama Bank Dunia aktif dalam permasalahan privatisasi di Indonesia. Sementara itu ADB memberikan pinjaman US$400 juta untuk program privatisasi BUMN di Indonesia[footnoteRef:26]. ADB menginginkan peran sektor swasta dalam BUMN yang mereka sebut bergerak di sektor komersial. [25: Dokumen USAID Strategic Plan For Indonesia 2004-2008, dengan judul Legal Guidelines for Privatization Program, 28 Juli 2004.] [26: New Release ADB dengan judul Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, 4 Desember 2001.]

Pada kesimpulannya di era kepemimpinan presiden Megawati khususnya dalam jika ditinjau dari sisi ekonomi politik jelas sangat pro-pasar, dimana beliau merestruksutasi ekonomi Indonesia yang telah mengalami pukulan berat akibat krisis moneter. Kebijakan dalam hal ini dilakukan secara sporadis dan tergesa-gesa yang setidaknya dilakukan sebagai bagian strategi jangka panjang dan juga mempertimbangkan aspek lain bagi kepentingan nasional republik ini.

DAFTAR PUSTAKAAfadlal, Megawati Soekarnoputri Presiden Republik Indonesia , Depok: Rumpun Dian Nugraha, 2002. Barton, Greg. 2002. BIOGRAFI GUS DUR(The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid),Yogyakarta :LkiS.Daulay, Hamdan.2000Dakwah di Tengah Persoalan Budaya Politik dan Budaya,Yogyakarta : LESFI.Estiko, Didit Hariadi dan Prayudi (ed.). Berbagai Perspektif Tentang Momorandum Kepada Presiden: Suatu Studi Terhadap Pemberian Memorandum DPR-RI kepada Presiden Abdurahman Wahid. Pusat Kajian dan Pelayanan informasi Sekretariat Jenderal DPR-RI. Jakarta: 2002.Estiko, Didit Hariadi, Dasar Hukum dan Mekanisme Memorandum DPR. Harian Suara Pembaruan, 8 Desember 2000Fealy, Greg & Greg Barton,Tradisionalisme Radikal (Persinggungan NU ~ Negara),Yogyakarta:LkiS1997Khoirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.Nugroho, Riant dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2008.Qomar,Mujamil.2002. NU Liberal,Bandung: Mizan. Ricklefs,M.C. ,Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2009Sadli,M., Bila Kapal Punya Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa Transisi, Jakarta: AlVabet dan Freedom Institute , 2002. Sihbudi, Riza. Bara dalam Sekam: Identifikasi akan masalah dan Solusi atas konflik-konflik lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau, Bandung: Mizan, 2007 Stiglitz, Joseph, Globalization and Its Discontents, Jakarta: Ina Publikatama, 2003.