cerpen gus mus

49
91 BAB III KH. MUSTOFA BISRI DAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI A. RIWAYAT HIDUP KH. A. MUSTOFA BISRI 1. Latar Belakang Kehidupan Mustafa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Beliau lahir dari pasangan KH. Bisri bin H. Zaenal Mustofa dan Hj. Ma’rufah binti KH. Kholil Harun. Gus Mus adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ketujuh saudara Gus Mus yang lain adalah: KH. Kholil Bisri, KH. Adib Bisri, Hj. Faridah, Hj. Najihah, Nihayah, Labib dan Hj. Atikah. 1 Bakat menulis diperoleh dari ayahnya. Ayah Gus Mus, KH. Bisri Mustofa adalah salah satu ulama terkenal pada waktu itu yang juga gemar menulis. Salah satu hasil karyanya yang hingga sekarang masih digemari oleh para pembaca ialah Kitab Tafsir Al Ibriz. Bakat menulis KH. Bisri Mustofa juga tampak dalam penerjemahan kitab-kitab klasik yang umumnya sulit dipahami oleh para santri, semisal: Fath al-Mu’in, Alfiyah Ibnu Malik, Al-Iktsir dan Al-Baiquniyah. Tetapi oleh beliau diterjemahkan ke dalam bahasa yang lugas dengan bahasa indah dan mudah dipahami. 2 KH. Bisri Mustofa juga sangat berpengaruh pada watak Gus Mus yang kreatif, bebas dan gemar membuat karya seni. Watak bebas namun bertanggung jawabmemang diterapkan pada semua keluarga dan keluarga KH. Bisri Mustofa. Sebuah prinsip yang diajarkan Kyai Bisrri Mustofa adalah semua boleh bebas asal tidak meninggalkan kewajiban pokok. Dalam konteks ini yang dimaksud kewajiban pokok adalah melaksanakan ibadah wajib dan mengikuti pengajian. 3 1 Abu Asma Anshari, dkk, Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun KH. Mustofa Bisri, (Semarang, HMT Foundation, 2005), hlm. 17. 2 Ibid., hlm. 30. 3 Ibid., hlm. 53

Upload: dion-vallent

Post on 27-Oct-2015

539 views

Category:

Documents


150 download

TRANSCRIPT

91

BAB III

KH. MUSTOFA BISRI

DAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI

A. RIWAYAT HIDUP KH. A. MUSTOFA BISRI

1. Latar Belakang Kehidupan

Mustafa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944.

Beliau lahir dari pasangan KH. Bisri bin H. Zaenal Mustofa dan Hj.

Ma’rufah binti KH. Kholil Harun. Gus Mus adalah anak kedua dari

delapan bersaudara. Ketujuh saudara Gus Mus yang lain adalah: KH.

Kholil Bisri, KH. Adib Bisri, Hj. Faridah, Hj. Najihah, Nihayah, Labib

dan Hj. Atikah.1

Bakat menulis diperoleh dari ayahnya. Ayah Gus Mus, KH. Bisri

Mustofa adalah salah satu ulama terkenal pada waktu itu yang juga gemar

menulis. Salah satu hasil karyanya yang hingga sekarang masih digemari

oleh para pembaca ialah Kitab Tafsir Al Ibriz. Bakat menulis KH. Bisri

Mustofa juga tampak dalam penerjemahan kitab-kitab klasik yang

umumnya sulit dipahami oleh para santri, semisal: Fath al-Mu’in, Alfiyah

Ibnu Malik, Al-Iktsir dan Al-Baiquniyah. Tetapi oleh beliau diterjemahkan

ke dalam bahasa yang lugas dengan bahasa indah dan mudah dipahami. 2

KH. Bisri Mustofa juga sangat berpengaruh pada watak Gus Mus

yang kreatif, bebas dan gemar membuat karya seni. Watak bebas namun

bertanggung jawabmemang diterapkan pada semua keluarga dan keluarga

KH. Bisri Mustofa. Sebuah prinsip yang diajarkan Kyai Bisrri Mustofa

adalah semua boleh bebas asal tidak meninggalkan kewajiban pokok.

Dalam konteks ini yang dimaksud kewajiban pokok adalah melaksanakan

ibadah wajib dan mengikuti pengajian. 3

1 Abu Asma Anshari, dkk, Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun KH.

Mustofa Bisri, (Semarang, HMT Foundation, 2005), hlm. 17. 2 Ibid., hlm. 30. 3 Ibid., hlm. 53

91

Sikap bebas dan egalitarian (tidak membedakan teman =

persamaan derajat) juga diperoleh Gus Mus selama belajar di Universitas

Al-Azhar, Mesir. Di sana, beliau berteman dengan beberapa rekan

diantaranya Gus Dur, Kyai Syukri Zarkasyi, Roem Rowi, Quraish Shihab

dan Alwi Shihab. Pada saat itu persahabatan di antara mereka tidak

terdapat sekat pembeda berdasarkan strata sosial atau ketokohan dalam

agama. Sikap egalitarian ini juga didukung dengan tradisi liwetan ala

pesantren yang dilakukan secara bergantian. 4

Jiwa seni Gus Mus telah terlihat sejak beliau berada di pesantren

Lirboyo. Menurut Kyai Abdul Aziz, Gus Mus sudah mampu menerapkan

ungkapan-ungkapan dengan syair Arab untuk menjelaskan tentang tidak

adanya keabadian selain Allah. “Kullu syai-in maa kholallahu baathilun,

wa kullu na’iimin lamahlakin zaailun” (segala sesuatu selain Allah akan

lenyap, dan segala kenikmatan yang kamu peroleh akan sirna). 5

Pada waktu Gus Mus belajar di Pesantren Krapyak, Jogja, beliau

banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku sastra hasil

penulis terkemuka nasional. Gus Mus juga sering jalan-jalan ke rumah-

rumah seniman Jogja, salah satunya ke rumah Affandi. Ia ingin sekali

melihat bagaimana cara sang maestro melukis. Dari pengalamannya ini

kemudian beliau mengambil spidol, pena atau cat air untuk membuat

corat-coret. Di kemudian hari kebiasaan ini akhirnya menghasilkan karya-

karya lukis yang berbobot, semisal lukisan kletet. 6

Kebiasaannya dalam bidang seni juga terus berkembang ketika

beliau kuliah di Mesir. Di sana beliau berdua bersama Gus Dur pernah

mengelola sebuah majalah organisasi. Gus Mus, oleh Gus Dur diminta

untuk mengisi ruang-ruang luang dengan puisi atau lukisan hasil

karyanya. 7

4 Ibid., hlm. 64. 5 Ibid., hlm. 43. 6 Ibid., hlm. 49. 7 Ibid., hlm. 62.

91

Secara lengkap, Gus Mus menempuh pendidikan di sekolah

Rakyat di Rembang; Pesantren Lirbayo, Kediri; Pesantren Krapyak,

Yogyakarta; Pesantren Taman Pelajar, Rembang; dan al-Qism al’Aalie lid

Diraasaati ‘Islamiyah wal ‘Arabiyah, Al-Azhar University, Cairo. Pernah

menjadi anggota DPRD Jawa Tengah periode 1987-1992, mewakili PPP

dan sekarang mengasuh di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin,

Rembang.8

Selain menulis, berceramah, dan baca puisi, Gus Mus, panggilan

akrab pengarang ini, juga mengajar di Pesantren Taman Pelajar Rembang,

selain juga menjadi Rais PBNU.

Menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa:

Intisari, Amanah, Panji Masyarakat, DR, Horison, Jawa Pos, Tempo,

Forum, Kompas Suara Merdeka, Detak,Wawasan, Dumas, Bernas, dll.

Ia juga melukis. Karya-karya lukisnya pernah tampil dalam

pameran Tunggal Lukisan Kletet di gedung Pameran seni rupa

DEPDIKBUD Jakarta (1997); Pameran Lukisan bersama Amang Rahman

dan D. Zamawi Imron di Surabaya (2000); Pameran Lukisan bersama

pelukis-pelukis Ibukota, Bandung, dan Surabaya di Jakarta (2001);

Pameran Kaos Perdamean di surabaya (2001), di Gresik (2001), di

Rembang (2001), di Jakarta (2001); Pameran Lukisan bersama para

pelukis Ibukota, Bandung, Surabaya di Surabaya (2003).

Menikah dengan Siti Fatma, dikaruniai 6 (enam) anak

perempuan; Ienas Tsuroiya, Kautsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiyatul

Bisriyah, Nada dan Almas dan seorang anak laki-laki:Muhammad Bisri

Mustofa: 3 (tiga) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi Habibi,

dan Ahmad Samton; 3 (tiga) cucu; Ektada Bennabi Muhammad, Ektada

Bilhadi Muhammad, dan Muhammad Ravi Hamadah.9

8 Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm.

22-23. 9 A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm. 132-

134.

91

2. Karya-Karya Tulisnya

K.H.A Mustofa Bisri sangat produktif menulis. Selain menulis

puisi dan cerpen ayah dari tujuh anak ini , juga produktif menulis esai di

berbagai media terbitan ibukota dan daerah seperti : INTISARI, Amanah,

Panji Masyarakat, Editor, PELITA, Republika , Jawa Pos, Suara Merdeka,

Wawasan, Aula, Warta dan penerbit lainnya. Adapun sejumlah karya

tulisnya yang diterbitkan antara lain :

1. Ensiklopedi Ijmak ( terjemahan bersama K.H.M.A. Sahal Mahfudz,

Pustaka Firdaus, Jakarta)

2. Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya)

3. Awas, Manusia dan Nyamuk Yang Perkasa ( gubahan cerita anak-

anak, Gaya Favorit Press, Jakarta)

4. Maha Kyai Hasyim Asy’ari ( terjemahan, Kurnia Kalam Semesta,

Yogyakarta)

5. Saleh Ritual , Saleh Sosial : Esai-Esai Moral (Mizan Bandung)

6. Mutara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat , Yogyakarta, 2004)

7. Canda Nabi dan Tawa Sufi (Hikmah, Jakarta, )

8. Fikih Keseharian , Bunga Rampai Masalah-Malasah Keberagamaan

(Yayasan Pendidikan al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya,

1997)

9. Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogyakarta)

10. Syair Asmaul Husna (Al-Huda, Temanggung)

11. Al-Muna, Terjemahan Syair Asmaul Husna (Al-Miftah, Surabaya)

12. Pesan Islam Sehari-Hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1999)

Sedangkan sebagai seorang penyair, kumpulan puisinya sudah 8

(delapan), yaitu :

1. Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (P3M, Jakarta dan kemudian Pustaka

Firdaus, Jakarta, 1991)

2. Tadarus , Antologi Puisi ( Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993)

3. Pahlawan dan Tikus (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995)

91

4. Rubaiyat Angin & Rumput (Diterbitkan atas kerjasama Majalah

“Humor” dan PT. Matra Multi Media, Jakarta, 1995).

5. Wekwekwek (Risalah Gusti , Surabaya, 1996)

6. Gelap Berlapis-Lapis (Fatma Press, Jakarta)

7. Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (Al-Ibriz, Rembang, 2000)

8. Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002)

Sedangkan dalam bidang menulis cerpen, Gus Mus, baru

menyelesaikan satu kumpulan cerpen yaitu “Lukisan Kaligrafi” (Penerbit

Kompas, Jakarta, 2005).10

B. GAMBARAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI

Sebagai seorang sastrawan, Gus Mus, telah banyak melahirkan karya

sastra berupa puisi. Namun beliau baru memulai membuat cerpen pada

pertengahan 2002 lewat cerpen Gus Jakfar yang diterbitkan di Harian

Kompas pada tanggal 23 Juni 2002. Kemudian setelah itu barulah ia aktif

menulis banyak cerpen yang dipublikasikan di berbagai surat kabar di

Indonesia.

Kemudian pada tahun 2003, atas jasa Joko Pinurbo, perwakilan dari

Kompas, cerpen-cerpen yang telah ditulisnya dijadikan buku dalam satu

kumpulan cerpen berjudul Lukisan Kaligrafi.11

Lukisan Kaligrafi merupakan kumpulan cerpen pertama dari KH.

Mustofa Bisri. Kumpulan ini berisi 17 cerpen yang sebenarnya telah

diterbitkan dalam surat kabar yang berbeda-beda. Judul kumpulan cerpen

Lukisan Kaligrafi sendiri diambil dari salah satu judul cerpen yang ada di

dalamnya.

Sama halnya dengan kebanyakan puisi Gus Mus yang bernuansa

Islami dan banyak mengandung nilai-nilai ajaran Islam, pada kebanyakan

cerpen Gus Mus selain bernuansa Islam dan mengandung nilai ajaran Islam

juga setting sosial yang diceritakan merupakan cerita keseharian yang sering

10 Inid. 11 Ibid., hlm. ix.

91

terjadi di kalangan umat Islam. Banyak sebutan tokoh dalam kumpulan cerpen

ini menggunakan simbol-simbol yang bernuansa Islami namun tetapi masih

mengandung kultur Jawa. Ambil contoh sebutan Gus, Kyai, Ning, dan lain-

lain merupakan sebutan dalam kultur Islam dan masyarakat jawa. Untuk lebih

mengerti isi cerita, secara rinci penulis akan memberikan gambaran cerpen

tersebut satu persatu.

1. Gus Jakfar

a. Tema : Manusia tidak boleh mendahului kehendak Allah.

b. Tokoh : Gus Jakfar, Kyai Saleh, Mas Bambang (pegawai Pemda),

Mas Guru Slamet, Lik Salamun, Pak Carik, Ustadz Kamil dan Mbah

Jogo (Kyai Tawakkal).

c. Gambaran Cerita

Gus Jakfar adalah salah seorang putra Kyai Saleh. Dari

beberapa putra Kyai Saleh, beliau-lah yang lebih mendapatkan

perhatian dari masyarakat. Hal ini dikarenakan kepandaiannya

membaca pertanda. Bahkan mengenai kepandaian ini, bapaknya

sendiri, Kyai Saleh, mengakui kehebatannya.

Pernah beliau membaca pertanda pada salah satu jamaah

pengajiannya. Beliau berkata, “Kang, saya lihat hidung sampeyan

kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya ?” Ternyata

keesokan harinya jamaah tersebut benar-benar meninggal.

Namun seluruh jamaah pengajiannya sontak dibuat kaget.

Pasalnya sejak Gus Jakfar menghilang beberapa hari lantas kembali,

beliau telah berubah. Beliau tak lagi mau membaca tanda-tanda, baik

tanda baik apalagi tanda jelek.

Di satu pihak kebiasaan baru Gus ini membuat senang

para jamaahnya yang kini tidak perlu takut lagi dibaca pertandanya

apabila sewaktu-waktu ingin rawuh ke dalemnya, namun di sisi lain

jelas ini membuat satu pertanyaan besar.

91

Hingga suatu hari beberapa dari jamaah tersebut

memberanikan diri untuk bertanya kepada Gus Jakfar perihal

kebiasaan baru Gus mereka itu.

Setelah ngobrol ke sana ke mari, akhirnya Gus Jakfar

menjawab. Bahwa ia tak lagi mau membaca pertanda adalah bermula

ketika ia bermimpi bertemu dengan ayahnya dan di suruh untuk ke

suatu tempat untuk berguru pada Kyai Tawakkal. Setelah bangun

Gus Jakfar pergi dan meghilang dari pesantren ayahnya untuk

bertemu dan mencari kyai yang tak ia kenal itu.

Setelah pencarian yang lama, beliau berhasil menemukan

Kyai Tawakkal atau yang oleh masyarakat sekitar dipanggil Mbah

Jogo. Namun betapa kagetnya Gus Jakfar ketika melihat tulisan pada

kening Mbah Jogo. Di sana tertulis kalimat ‘Ahli Neraka’. Pada

mulanya beliau mengira itu hanya halusinasinya sendiri. Namun

semakin dilebarkan matanya tulisan itu semakin terlihat jelas.

Gus Jakfar menjadi penasaran dan bertekad mencari

jawaban. Hingga pada suatu malam beliau berkesempatan (tepatnya

keberanian) untuk menguntit Kyai Tawakkal dari belakang. Ternyata

sang Kyai pergi ke warung dan di sana Kyai memesan kopi layaknya

para penduduk biasa. Yang mengherankan Gus Jakfar adalah sang

Kyai terlihat biasa bergaul dengan para wanita. Mulai yakinlah Gus

Jakfar bahwa pertanda di kening Kyai Tawakkal adalah benar.

Namun tiba-tiba Gus Jakfar ketahuan Kyai Tawakkal dan

diajak minum bersama di warung tersebut. Setelah tengah malam

beliau bersama Kyai Tawakkal pulang. Namun tidak melewati jalan

yang semula. Malam itu mereka berdua melewati sebuah sungai

besar. Kyai Tawakkal dengan santai berjalan di atas air untuk

menyeberangi sungai tersebut. Sedangkan Gus Jakfar terpaksa

berenang dengan susah.

Sesampainya di pinggir, Kyai Tawakkal atau Mbah Jogo

menasehati Gus Jakfar, “ Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat

91

cobaan Allah berupa anugrah. Cobaan berupa anugrah tidak kalah

gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Selain itu

siapa yang bisa memastikan bahwa kita yang dijuluki kyai akan lebih

mudah masuk surga ketimbang orang awam yang kurang mengerti

agama. Semua itu terserah yang kuasa. Kita hanya berusaha

menjalankan perintahnya. Sekali lagi perkara diterima atau tidak,

masuk surga atau neraka itu hak Allah semata. Jangan takabbur.”

2. Gus Muslih

a. Tema : Akhlak harus dijalankan terhadap siapa saja.

b. Tokoh : Gus Muslih, Golongan tua, Golongan Muda, Sopir.

c. Gambaran Cerita

Dia merupakan seorang kyai muda yang cerdas dan kritis,

lugas dan tegas dalam menyampaikan dakwahnya. Kalimat yang

paling ia suka ialah Qulilhaqqa walau kaana murran. Penggemarnya

adalah anak-anak muda karena bagi mereka Gus Muslih ini adalah

seorang pembaharu. Banyak kebiasaan yang sudah berjalan lama

dihujat dan dipertanyakan keberadaannya. Contohnya kebiasaan

keluarga yang mendapat musibah memberi uang salawat kepada kyai

atau modin ditentangnya habis-habisan. “Kalau yang mendapat

musibah orang berada tidak mengapa, tetapi orang miskin apa tidak

malah membuat musibah baru ?” begitu menurutnya.

Terhadap sikapnya ini ada yang setuju ada juga yang

menolak . mereka yang menolak umumnya golongan tua. Mereka

menganggapnya terlalu sok maju. “ Wong itu sudah tradisi ko’ mau

diutak-atik !”

Terhadap pendapat ini Gus Muslih dengan santai

menjawab, “Tradisi yang baik memang perlu dilestarikan, tetapi

yang jelek apa harus kita lestarikan? Kalau begitu, apa bedanya kita

dengan kaum Jahiliyah yang dulu mengecam Nabi kita yang mereka

anggap merusak tradisi yang sudah lama dijalankan nenek moyang

mereka ?”

91

Kelompok tua yang cenderung tidak setuju dengan Gus

Muslih ini serba salah. Pasalnya Beliau tidak seperti kyai muda

lainnya yang asal membasmi tradisi, yang mengecam selamatan dan

tahlilan.

Gus Muslih mau selamatan juga mau tahlilan. Bahkan ia

mau memimpin anak-anak muda ziarah ke makam Walisongo.

Beliau juga bisa menjawab pendapat kaum tua dengan argumen yang

cukup mematikan.

Suatu ketika tersebar berita Gus Muslih memelihara

anjing. Kaum muda yang menjadi pengikutnya tidak rela dan

menganggap berita ini sebagai fitnah. Kaum tua menjadi keheranan

setengah menghantamnya di setiap kesempatan. “Lihat itu, tokoh

yang kalian anggap sebagai pembaharu, dia tidak hanya berani

menyeleweng dari ajaran-ajaran orang tua tapi juga berani

melanggar adat keluarganya sendiri. Kalian kan tahu malaikat tidak

akan masuk ke rumah orang yang memelihara anjing. Sekarang

ketahuan belangnya.”

Karena cemburu dan panas, anak-anak muda

pendukungnya berusaha mencari kebenaran dan sumber dari berita

ini. Akhirnya ketahuan orang yang mula-mula menyebarkan berita

ini adalah seseorang dari kota P. namun sebelum bertemu dengan

orang yang mereka cari, mereka bertemu dengan Gus Muslih sendiri

dan berniat menanyakan kebenaran berita tersebut.

“Mengapa harus dibantah ?” tanya Gus Muslih kalem,

membuat semua yang merubungnya jengah. “Aku sekarang memang

sedang memelihara anjing.”

“Hah!” hampir semuanya kaget.

“Mengapa kalian begitu kaget ?” kata Gus Muslih masih

dengan nada kalem. Akhirnya Gus Muslih menceritakan awal mula

ia memelihara anjing. Suatu malam Gus ini pulang setelah

berceramah di kota P dengan diantar oleh seorang panitia

91

menggunakan mobil kijang barunya. Ketika melintasi jalan raya

beliau melihat sosok makhluk kecil bergerak-gerak ditengan jalan.

Dengan cepat Gus Muslih menyuruh sang panitia untuk

menghentikan kijang barunya dan kemudian beliau mengambil

benda tersebut yang ternyata seekor anjing kecil yang terluka

tertabrak mobil sebelumnya.

Melihat Gus Muslih masuk membawa anjing ke dalam

Kijang barunya, yang punya mobil seperti melihat hantu. “Lho Pak,

najis lho, pak!” teriaknya kaget setengah mati. Akhirnya Gus Muslih

menyarankan agar si panitia kembali dan Gus Muslih sendiri turun

dan memilih jalan kaki.

Sejenak Gus Muslih dilanda kesedihan. Sedih bukan

karena ditinggal sendirian. Tapi sedih karena ia teringat akan

ceramahnya yang baru saja selesai ia sampaikan. Ternyata

ceramahnya itu belum juga sampai dan diterima dilubuk hati

pendengarnya bahkan oleh panitia sendiri.

“Aku sedih, ternyata Ramadhan belum benar-benar

berpengaruh ke dalam sanubari kaum muslimin. Padahal pada bulan

Ramadhan kita telah mampu menaklukkan setan, namun ternyata

setelah Ramadhan selesai kita belum mampu menaklukkan nafsu

kebinatangan kita.”

Gus Muslih berhenti sejenak. Kemudian menceritakan

bahwa anjingnya sudah sembuh dan sudah diminta oleh Babah Ong,

tetangganya.

“Alhamdulillah!” gumam anak-anak muda yang dari tadi

setia mendengarkan. Entah gumam mensyukuri kesembuhan anjing

itu atau mensyukuri kini kyainya tidak lagi memelihara anjing

seperti yang dituturkan kaum tua.

91

3. Amplop- Amplop Abu-Abu

a. Tema : Orang tidaklah sempurna dan harus mau menerima

nasehat orang lain.

b. Tokoh : Aku (Mubaligh), Istri, Orang Misterius (Nabi Khidir).

c. Gambaran Cerita

Kejadian ini mulanya aku anggap kejadian biasa. Namun

setelah terjadi lima sampai enam kali aku menjadi kepikiran, pasti

bukan suatu kebetulan.

Pada bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus

keliling daerah memenuhi undangan mengisi pengajian. Hampir

setiap bulan aku keliling daerah yang berbeda untuk memenuhi

undangan ini. Capek juga rasanya. Ingin sekali sebenarnya aku

menghentikan kegiatan seperti ini. Selain karena harus menempuh

jarak yang cukup melelahkan, praktis waktu dengan keluarga

berkurang. Pasalnya setiap aku pulang, hampir istri dan semua

anakku sudah tidur.

Kalau pengajian ini jelas pengaruhnya pada jamaah sih

tidak jadi masalah. Ini tidak. Pengajian yang begitu intens dan begitu

tinggi volumenya itu seperti tidak ada hikmahnya. Tak membekas.

Yang bakhil ya tetap bakhil, yang jahat ya tetap jahat, pendeknya

seolah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mereka yang di

beri pengajian.

Tapi biarlah, aku ceritakan saja pengalamanku. Biasanya

selesai memberi pengajian selalu aku melayani para jamaah yang

ingin bersalaman kepadaku. Pada saat itu, ada seorang jamaah yang

memberi salam tempel kepadaku, bersalaman sambil memberi

amplop. Mulanya aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap

orang itu salah seorang panitia.

Tapi setelah terjadi lagi pada pengajian berikutnya yang

bertempat jauh dari pengajian pertama, barulah aku mulai

memperhatikan wajah orang yang memberi salam tempel. Pada

91

waktu-waktu lain yang tempatnya berjauhan, kulihat memang yang

memberi salam tempel orang-orang itu juga. Orang yang selalu

berpakaian hitam-hitam, wajahnya bersih dan memiliki senyum yang

misterius. Tanpa berkata sepatah katapun, ia selalu menyelipkan

amplop yang merupakan buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis

warna kertas yang sangat jarang berada di desa-desa.

Sampai akhirnya aku suruh istriku untuk membuka

kembali seluruh amplop yang aku terima dari panitia- panitia

pengajian yang pernah kupenuhi undangannya. Memang aku hampir

sama sekali tidak pernah langsung membuka amplop-amplop

tersebut. Semua kuberikan pada istriku. Sampai akhirnya aku

temukan lima buah amplop abu-abu.

Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggal di lima

amplop tersebut. Kemudian membaca apa yang tertulis di masing-

masing amplop secara berurutan sesuai urutan tanggalnya. Aku

kaget. Semuanya justru nasehat untukku sebagai muballig.

Amplop pertama tertulis: “Ud’uu ilaa sabiili Rabbika

bilhikmati walmau’idzatil khasanah ….(ajaklah orang- orang kepada

Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan nasehat yang baik…). Genuk,

Semarang, 8 Juli 2001.”

Amplop kedua: “Sebelum anda menasehati orang banyak,

sudahkah anda menasehati diri anda sendiri ? Cilegon, 11 Juli 2001”

Amplop ketiga: “amar ma’ruf dan nahi munkar seharusnya

disampaikan dengan cara yang ma’ruf juga. Beji, Tuban, 10

September 2001.”

Amplop keempat: ”Yassiruu wala tu’asiru ! (Berikan yang

mudah-mudah dan jangan mempersulit !) Duduk, Gresik, 4 Januari

2002.”

Amplop kelima: “Yaa ayyuhalladzina aamanuu lima

taquuluuna malaa taf’aluun ? Kabura maqtan indallahi antaquulu

malaa taf’alun ! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu

91

mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya ? Besar

sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang

kamu sendiri tidak melakukannya !) Batanghari, Lampung, 29 April

2002.”

Aku masih bingung, seingatku ada enam amplop abu-abu

yang pernah aku terima. Berarti masih kurang satu.

“Bu, benar hanya ini, amplop abu-abu itu ?” tanyaku.

“Benar, pak ! aku tidak lupa. Semua isinya sama, dua ratus

ribu.” Jawab istriku.

Aku masih mengingat-ingat jumlah yang pasti.

“Pak, lihat ini !” teriak istriku tiba-tiba. Masya Allah.

Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya

berhampuran uang ratusan ribu rupiah yang masih baru-baru. Di

antaranya kulihat terdapat amplop abu-abu. Berarti ini amplop

keenam itu.

Segera kubuka amplop itu dan kubaca isinya. Isinya:

”Wamal hayatud dunya illaa mata’ul ghurur! (Kehidupan duniawi

itu tidak lain hanya kesenangan yang memperdayakan !). Arafah, 9

Dhulhijah, 1418.”

Tidak seperti amplop-amplop yang lainnya, yang satu ini

juga terdapat tanda tangan dan nama sang pengirim, “Hamba Allah,

Khidir !” Subhanallah.

4. Bidadari Itu Dibawa Jibril

a. Tema : Amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara

yang bijaksana agar mengena pada sasaran.

b. Tokoh : Hindun. Mas Danu, Aku.

c. Gambaran Cerita

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah

selalu memakai busana muslimah itu. Hindun seorang muslimah

yang taat kepada agama yang selalu jihad menegakkan amar ma’ruf

nahi munkar walau dimana saja. Kemudian sampai Hindun menikah

91

dengan Mas Danu, walau ia sudah berkeluarga, Hindun masih

bersemangat untuk mengikuti grup-grup pengajian yang ada di

daerahnya. Sebagai seorang jamaah yang baik, Hindun selalu

mengikuti semua yang diperintahkan oleh Imamnya. Menurut

Hindun, semua yang dikatakan oleh Imamnya selalu benar. Sampai

sampai dia jarang pulang dan banyak perubahan darinya, yang

mulanya dia membenci orang yang memelihara anjing tapi sekarang

sebaliknya dia malah pulang membawa anjing. Dan yang sangat

menyedihkan lagi Hindun keluar dari agama.

5. Ning Ummi

a. Tema : Kenikmatan di dunia tidaklah abadi

b. Tokoh : Ning Ummi, Ning Saudah, Nunik, Sri, Monah dan Mbak

Tiah.

c. Gambaran Cerita

Nama lengkapnya Ummi Salamah. Kawan-kawannya di

pesantren Tarbiyatut Mu’allimin (bagian putera) wal mua’llimat

(bagian puteri) memanggilnya Ning Ummi. Ning adalah panggilan

untuk anak perempuan kiai, seperti Gus untuk anak laki-laki. Ning

Ummi merupakan wujud yang sempurna dari ciptaan Allah. Orang

akan bingung dan sulit mengatakan apa yang paling istimewa pada

Ning Ummi, karena hampir semua yang ada pada dirinya istimewa.

Karena kesempurnaan tubuhnya dan kecerdasannya serta

aktivitasnya dalam berbagai kegiatan intern maupun ekstern

pesantren , maka tidak heran bila Ning Ummi Salamah binti Kiai

Abdur Rozzaq menjadi kembang dan sekaligus kebanggaan

pesantren.

Di kalangan santri-santri putera, Ning Ummi bagaikan

superstar, mengalahkan bintang-bintang film yang menjadi idola

saat itu. Banyak tulisan seputar Ning Ummi, dengan ungkapan-

ungkapan yang menggelitik, sengaja dipajang di gotakan-gotakan

tempat tinggal santri atau bahkan di dinding-dindinng kamar mandi

91

umum. Sebagian malah diberi gambar perempuan. Ada yang

singkat-singkat saja seperti : “O, Ummiku…….”, “Ummi+ Dullah”.

Ada yang seperti memo buat Ning Ummi : “I love you , Ummi, ana

bahibbik !”. Ada juga yang lebih “Konstruktif “, misalnya: “Kau

mau Ning Ummi, belajar sungguh-sungguh “? atau “mana mungkin

Ning Ummi mau dengan pemuda yang bodoh?!”.

Memang belum jelas benar, apakah coretan-coretan itu

ungkapan sebenarnya dari mereka untuk menyatakan perasaannya

pada Ning Ummi, ataukah itu semua hanya keisengan anak muda.

Namun hal itu cukup menjadi bukti bahwa Ning Ummi memang

menjadi pujaan pesantren, minimal di Tarbiyatul Mu’allimin-nya.

Sikap santri-santri puteri sendiri yang setiap hari bergaul

langsung dengan Ning Ummi yang kebetulan menjadi ketua

pengurus pondok puteri, ternyata tidak sama persis dengan santri

putera. Memang tidak sedikit yang mengagumi Ning Ummi

terutama kecantikan dan kepandaiannya. Namun ada juga yang

kurang menyukai puteri kiai Abdur Rozzaq ini. Seperti Ning

Saudah, yang mengatakan kepada teman-temannya yang sama

mencuci di plataran sumur pondok. Bahwa Ning Ummi ini anak

yang sombong dan suka merendahkan orang lain.

Nunik mengatakan kalau dia mendengar sendiri Ning

Ummi pernah berkata, “Pokoknya lebih baik tidak kawin bila

calon pelamarku hanya orang biasa-biasa saja. Percuma dong

belajar jauh-jauh, terus sepeti si Asiyah itu, Cuma kawin sama

carik, kasihan !. “katanya dia hanya mau kawin dengan lelaki

muda yang gagah dan ganteng, syukur punya kumis seperti Raj

Kapoor, aktor India yang terkenal itu. ” Tidak hanya muda,

gagah dan ganteng . Katanya calon suaminya itu juga mesti

pinter tidak hanya dibidang agama saja intelek plus atau kiai plus.

Ia tidak suka lelaki pas-pasan, apalagi minus. Kalau tidak percaya

apa yang aku katakan ini kamu semua boleh tanya kepada Fuah, Nur

91

dan Ning Iyah yang waktu itu bersama-sama saya mendengarkan

Ning Ummi berbicara tentang masa depannya!.( Setelah

mendengarkan cerita Nunik Ning Saudah bertambah yakin kalau

Ning Ummi ini anak yang sombong.)

“Tiba-tiba Mbak Tiah ,santri senior itu ikut komentar.

“Ning Ummi memang pantas mengidamkan suami yang demikian,

jarang ada santri perempuan yang seperti dia. Pikirannya maju,

Maaf, Ning Saudah ya ! melihat orang itu tidak boleh dengan kaca

mata negatif dan hanya sekilas. Saya tidak setuju jika Ning Ummi

dibilang sombong, saya kenal betul dengan dia. Dia itu selalu

berpikir bagaimana agar perempuan tidak selalu dicitrakan sebagai

makhluk yang lemah. Menurut dia, kaum perempuan tidak

seharusnya kalah dengan kaum laki-laki. Lihatlah program-

program yang dibuat Ning Ummi. Seperti kursus-kursus,

pelatihan-pelatihan, seminar dan lain sebagainya, itu semua

menunjukkan obsesinya yang begitu besar untuk memajukan kita

para santri perempuan ini, dan lebih jauh lagi: meningkatkan

martabat kaum perempuan .Kalau kadang-kadang dia terkesan

sombong menurut hemat saya, lantaran harga dirinya sebagai

perempuan memang begitu besar.

Dengan berakhirnya komentar Mbak Tiah, ternyata

berakhir juga pergosipan dipelataran sumur hari itu.

Setelah selang waktu yang cukup lama mereka baru

ketemu lagi di acara Haul. Haul pendiri Pesantren Tarbiyatul

Mu’alimin wal Mu’alimat, Almarhum kiai Fadoli Umar, kali ini

benar-benar meriah. Soalnya haul kali ini dibarengi dengan

HUT ke 50 berdirinya pondok pesantren. Santri lama dari

berbagai periode, baik putera maupun puteri, banyak yang hadir.

Suasana betul-betul istimewa, khususnya bagi santri lama itu. Ini

benar-benar merupakan reuni akbar. Diantara mereka banyak

yang sejak meninggalkan pesantren baru saling berjumpa

91

kembali saat itu. Tak heran bila mereka begitu asyik menikmati

perjumpaan mereka. Saling melepas rindu dan bernostalgia.

Di pondok puteri suasana tampak lebih semarak lagi

karena banyak santri lama yang dating dengan membawa anak-

anak mereka. “Geng-geng” yang dulu sering ngumpul di

plataran sumur pondok atau di aula kini pindah di ruang-ruang

tamu. Di setiap ruang tamu, berkumpul sesama kawan

seperiode. Disitulah mereka saling bercerita tentang

kehidupannya masing-masing selama meninggalkan pondok.

Kebanyakan dari mereka sudah berkeluarga dan punya

momongan, hanya Monah dan Sri yang belum punya

momongan , Kalau yu Monah katanya tidak mempunyai

keturunan mungkin gabuk, sedangkan Sri baru kawin tiga bulan

sudah ditinggal kabur suaminya.

“Setelah mereka saling menanyakan kabar dan sudah

bercerita kesana-kesini tiba-tiba mereka menanyakan kabar Ning

Ummi yang dari tadi belum datang, dan mereka semua tidak

pernah melihat Ning Ummi setiap acara haul selama ini. Diantara

mereka yang tahu tentang kabar Ning Ummi hanyalah Mbak

Tiah, itupun dari saudara Mbak Tiah yang tinggal di S, katanya

sepulang dari sini, Ning Ummi sempat aktif diorganisasi

kewanitaan dan bahkan menjadi ketua wilayah. Tapi kemudian

dia mengundurkan diri sebagai pengurus dengan alasan akan

pindah ke propinsi lain. Memang Ning Ummi pindah dari S ke

M”.

“Kata saudara saya, Ning Ummi dikawin oleh seorang

Kiai tua terkenal di M, dijadikan istri yang keempat.”

“He ! ” serentak semua yang mendengar terhenyak.

6. Iseng

a. Tema : Kehidupan dunia tidaklah kekal.

b. Tokoh : aku, Syahrazad Nurul Jannah.

91

c. Gambaran Cerita

Aku mendapat undangan berceramah di Jakarta. Panitia

menyediakan penginapan di sebuah hotel berbintang.

Dari Gambir aku langsung ke hotel. Di hotel aku

sempat subuhan sebelum kembali tidur, meneruskan tidurku

yang kurang nyenyak di kereta api. Siang hari baru aku

bangun, sedangkan acara yang harus aku hadiri baru nanti

malam.

Aku segera pesan makanan seteleh terlebih dahulu

kucari menu yang tepat melalui buku menu. Harganya memang

gila-gilaan, mahal. Tapi tak apa, semua ditanggung oleh panitia.

Habis pesan makanan, iseng kuraih buku telepon yang

tebalnya sebantal. Kubolak-balik. Tiba-tiba terbaca olehku

sebuah nama yang sangat kukenal. Nama yang tak lazim

dipakai di negeri ini, kecuali di negeri dongeng. Syahrazad

Nurul Jannah, begitu namanya. Tak mungkin ada yang bernama

sama. Tak mungkin ada nama seperti itu kecuali dia. Terbayang

olehku sosok wanita yang anggun dan penuh perhatian. Alim

dan rendah hati tapi berwibawa. Wanita yang benar-benar

wanita.

Dia sendiri bagiku memang istimewa. Mulai dari

namanya, wajahnya, bentuk tubuhnya, bicaranya, hingga

sikapnya dimataku memang lain dari yang lain. Aku sendiri

seperti kawan-kawan lelaki lain, merasa diperhatikan olehnya.

Jadi aku tidak berani menyimpulkan dia menganggapku

istimewa. Tapi hari ini dia memilihku untuk mengantarnya

dalam perjalanan yang jauh. Jangan-jangan aku memang

istimewa baginya.

Pagi-pagi benar aku sampai di asrama putri. Bel

kupencet, pintu terbuka dan hatiku berbunga-bunga. Dia sendiri

yang membuka pintu, seolah-olah dia telah menungguku.

91

Kawan-kawannya seolah membiarkan kami duduk berdua

menikmati kopi yang telah dia bikin khusus untukku. Setelah

pamitan kepada kawan-kawannya, kami-pun berangkat.

Di stasiun kereta kami benar-benar seperti sepasang

kekasih yang akan berpiknik. Dalam hati aku bersyukur pada

Tuhan yang telah mengabulkan keinginanku berduaan dengan

orang yang diam- diam sangat aku cintai.

“Udaranya enak ya ?” tiba-tiba ia memecahkan

kesunyian.

“Ya enak, ” kataku terbata-bata.

Diam lagi. Aku memandanginya begitu lama. Aku

yakin dia tahu aku perhatikan.

“Aku bawa roti, ” katanya saat mata kami bertemu.

“mau / atau mau minum ?”

“Nanti saja !” jawabku sambil terus memandanginya.

Diam lagi.

“Kau menyukaiku, ya ?” tiba-tiba suaranya yang biasa

menyambarku. Aku kaget. “ya, sejak lama.” Dan hampir aku

tidak percaya, dia mengulurkan tangannya yang lembut dan

menggenggam tanganku, sementara bibirnya tersenyum manis

sekali. “terima kasih ya, Mus !” katanya. Aku memejamkan

mata, merasakan kebahagiaan yang tiada tara.

Tiba-tiba bel berbunyi. Aku kaget dan meloncat

membuka pintu. Ternyata petugas hotel memabawa makanan

yang aku pesan. Membuyarkan lamunan indahku.

Sambil makan akau mencoba mengahadirkan kembali

masa laluku dengan Sahrazad Nurul Jannah. Gadis yang sampai

aku pulang dari Mesir dan berpisah dengannya, tak pernah aku

ketahui perasaan sebenarnya.

Sehabis shalat Maghrib, kawanku dan beberapa panitia

datang menjemputku. Ternyata pengajian di Ibukota tidak kalah

91

ramainya dengan pengajian di desa-desa. Bahkan yang mengisi

pengajian tidak hanya satu orang. Malam ini selain aku masih

ada tiga pembicara dari Jakarta sendiri. Satu diantaranya seorang

mubalighah yang menurutnya sangat terkenal di Ibukota.

Sebelum mubaligh kedua selesai bicara, hadirin agak

ribut sebentar ada rombongan ibu-ibu yang datang. Tampak

paling depan seorang wanita tua gemuk dengan pakaian

mencolok seperti umumnya pakaian tokoh penceraah yang

tampil di tv-tv. Ibu-ibu panitia pun tergopoh-gopoh menyambut

dan menempatkannya di tempat khusus yang sudah disediakan.

Beberapa saat setelah pembicara kedua turun,

pembawa acara mengumumka: “pembicara ketiga, mubalighah

yang kita nanti-natikan Ustazdah Dra. Hj. Srahrazad Nurul

Jannah, MA. Kepada beliau, waktu dan tempat kami

persilahkan.” Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Lebih

terkejut lagi ketika wanita tua gemuk itu bangkit naik ke

mimbar. Dari tempat dudukku di depan mimbar aku

memperhatikan mubalighah itu tanpa berkedip. Benarkah dia ?

Aku mencoba-coba mencari-cari di wajahnya yang bergelambir,

barangkali masih ada sesuatu yang dapat mengingatkanku kepada

Srahrazadku yang dulu, tapi sia-sia. Aku justru tersadar bahwa

kami sudah berpisah dan tak saling bertemu selama tiga puluh

tahun lebih. Subhanallah !

7. Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi

a. Tema : Doa istri sholihah merupakan doa yang makbul.

b. Tokoh : Siti, Mat Sholeh, Polisi.

c. Gambaran Cerita

Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji

akan pulang sebelum lebaran. Kini lebaran tinggal satu hari

lagi dan belum ada kabar berita dari suaminyaitu. Sebagai

seorang istritentunya hatinya tidak tenang dan gelisah atas

91

keadaan suaminya yang jauh darinya tanpa ada kabar apapun,

mungkin karena ini menjelang lebaran, dan biasanya mereka

selalu berlebaran bersama. Mungkin juga berita-brita yang selalu

didengarnya turut mempengaruhi batinnya.

Setelah ledakan bom di Bali tampaknya semua orang

bias dicurigai atau diciduk oleh aparat, dan setiap rumahpun

bisa digeledah oleh polisi. Karena tidak pernah mengetahui apa

yang dikerjakan suaminya di luaran, yang ia ketahui hanyalah

suaminya berbisnis dan bisnisnya apa-pun dia kurang paham.

Karena menuurutnya, sebagai seorang istri yang berasal dari

desa tidak pantas menanyai macam- macam terhadap suaminya.

Tapi sekarang ini ia sangat gelisah dan was-was, jangan-jangan

bisnis suaminya merupakan kegiatan seperti yang dilakukan

oleh orang-orang yang dicurigai polisi. Tapi ia tidak yakin

kalau suaminya seperti itu, karena menurutnya suaminya orang

yang lemah lembut, sabar, dan tidak neko-neko. Tapi

kebanyakan orang-orang yang ditangkap polisi juga tidak

nampak sangar dan neko-neko. Ia jadi bingung dengan keadaan

seperti itu.

Setelah menidurkan anak semata wayangnya Siti

sembahyang Isya dan tidak seperti biasanya kali ini ia

membaca doa sangat panjang. Semua doa yang ia hafal

dibacanya, dan ditambah dengan doa bahasa ibunya. Demi

untuk keselematan suaminya. Karena begitu baiknya suami,

Siti tidak henti-henti meminta kepada Allah untuk keselamatan

suaminya tersebutnya. Ketika kemudian siti merebahkan badan

di samping anaknya, yang tertidur pulas, Siti masih terus

berdzikir.

Tiba-tiba terdengar suara orang yang menggedor-gedor

pintu. Ia agak lega karena mengira suaminyalah yang pulang.

Dengan buru-buru ia bukakan pintu, akan tetapi betapa kagetnya,

91

ketika pintu baru dibuka beberapa orang berhamburan masuk,

semua berwajah angker. Salah satu diantaranya menjelaskan

bahwa mereka ditugaskan untuk mencari suaminya, Mat Soleh.

Pikiran Siti tak karuan ketika melihat orang-orang itu

menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir olehnya

hanyaklah anak kecilnya yang sedang tidur. Siti meminta agar

tidak terlalu berisik. Tapi tak ada gunanya, anaknya yang baru

berumur lima tahun itu sudah keluar kamar dan menangis

memanggilnya. Dia merasa ketakutan. Siti segera memeluk buah

hatinya sambil berusaha menenangkan. Ia juga menjelaskan

kepada anaknya bahwa orang-orang tersebut mencari sesuatu.

Tak ada satupun benda yang selamat dari

pemeriksaan. Sampai tempat makanan-pun mereka udal-udal.

Setelah serentetan pertanyaan mengenai suaminya telah terjawab,

seorang diantara mereka meberi isyarat untuk pergi. Namun

sebelum pergi, mereka sempat memberi pesan kepada Siti akan

kembali lagi.

Besok paginya koran-koran memuat berita tentang

temuan baru polisi dengan huruf besar dihalaman depan. “polisi

menemukan tokoh Intelektual Pengeboman di Bali”, dengan

inisial MS. Polisi sedang mencari Mat Soleh, otak pengeboman

di Bali: Berdasarkan penyelidikan terhadap para tersangka, telah

diketemukan tokoh Intelekpengeboman di Bali yang selama ini

di cari. Juga dilaporkan bahwa rumah tersangka telah di

geledah, namun polisi tidak menemukan apa-apa.

Siti tidak bias menbendung tangisnya, sambil

mengelus-elus anaknya , dia terus mengucap doa, “Ya Tuhan,

selamatkan suamiku ! selamatkan suamiku!”

Tiba-tiba dirasanya dari belakang ada seseorang yang

memeluknya.

91

“Hei, ada apa ini ?” terdengar suara lirih, “ada apa

dengan suamimu? Ini suamimu telah datang, sayang. Kenapa

pintunya tidak di kunci, sengaja menungguku ya? Lihat, seperti

janjiku aku datang sebelum lebaran.”

Siti kaget. Dibaliknya tubuhnya dan masya allah

dilihatnya suaminya tersenyum dengan lembut. Dipagutnya

suaminya dan diciuminya kedua pipinya habis-habisan. Meski

bingung, suaminya tertawa-tawa saja melihat kelakuan istrinya

yang tidak seperti biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau

mungkin ia bahagia bahwa suaminya menepati janji.

Setelah melepaskan suaminya , Siti tersenyum-senyum

sendiri dan merasa lega hatinya, kali ini sambil mendesiskan

Syukur: Allahu Akbar, walillahil Hamdu !

8. Lukisan Kaligrafi

a. Tema : Berani berusaha dan tidak putus asa.

b. Tokoh : Ustadz Bachri, Hardi, anak-anak, Istri, kolektor

lukisan.

c. Gambaran Cerita

Ustadz Bachri sama sekali tidak manyangka. Bermula

dari kunjungan seorang kawan lamanya, Hardi, seorang pelukis.

Kedatangan tamunya itu selain bersilaturohmi ia juga

membicarakan soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit

banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera menanggapinya

dengan antusias. Tapi ternyata tamunya itu lebih banyak

berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalisme,

surealisme, dadaisme dan lain sebagainya, yang Ustadz Bachri

sendiri pun tidak paham apa arti semua itu. Apalagi tentang

tehnik melukis, tentang komposisi, perspektif, dan istilah lain ,

yang baru mendengar sekali itu.

Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata

meskipun sudah sering ikut pameran kaligrafi, Hardi sama

91

sekali tidak mengetahui aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak

tahu bedanya Naskh, Tsuluts, Riq’ah dan Kufi. Apalagi

falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh

kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya.Dia hanya

tertarik dengan makna ayat yang dia ketahui lewat terjemahan

Quran Depertemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu dalam

kertas atau kanvas. Atau dia tulis ayat yang dipilihnya dalam

bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat itu.

Ringkas cerita, begitu si tamu berpamitan, seperti biasa

Ustadz Bachri selalu mengantarkan tamunya sampai didepan

pintu, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya tiba-tina si tamu

berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas yang bertulisan

Arab yang tertempel diatas pintu, lalu dia menanyakan siapa yang

menulis itu.

Ustadz Bachri tersenyum dan menjawab. “Itu rajah, untuk

penangkal jin, saya yang menulisnya sendiri.”

“Itu kok warnanya aneh, sampean menulisnya pakai apa

?,” tamunya kagum dengan tulisan itu.

“Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur dengan

minyak za’faran, katanya minyak itu termasuk syarat menulis rajah.”

“Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandanganya

ke tulisan diatas pintu, “sampean mesti menulis kaligrafi.”

“Saya ? Saya menulis kaligrafi ?” katanya sambil ketawa

spontan.

Hardi terus mendesak agar Ustadz Bachri ikut melukis

kaligrafi yang tiga bulan lagi akan ada pameran, dan lukisannya akan

diikut sertakan.

Ustadz Bachri-pun merasa tertantang, kenapa tidak

pikirnya. Orang yang tidak tahu khat saja berani memamerkan

kaligrafinya, mengapa dia tidak ?. Namun ketika didesak tamunya

dia hanya mengangguk asal mengangguk.

91

Setelah tamunya pulang Ustadz Bachri benar-benar

merasa tertantang dan sering kali memikirkan permintaan tamunya

itu. Kemudian Ustadz Bachripun mencoba corat-coret diatas kertas,

dan dia buka kitab-kitab tentang khat dan sejarah perkembangan

tulisan Arab, diapun menyempatkan datang ke kota hanya untuk

melihat lukisan–lukisan yang dipajang di toko-toko.

Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia

datang dari kota membawa oleh-oleh peralatan melukis, lebih heran

lagi ketika dia mengatakan bahwa dia sendiri yang akan melukis.

Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun

melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati.

Dan akhirnya Ustadz Bachri memulai melukis kaligrafi

yang bertempat di gudang. Mungkin karena malu atau tidak mau

diganggu, gudanglah yang dia pilih untuk melukis. Di situlah Ustadz

Bachri memulai melukis dan sesekali lukisan yang hampir jadi, dia

tindas begitu saja dengan cat, karena menurutnya kurang srek.

Kadang-kadang sampai subuh dia baru keluar dari gudang, sampai

beberapa kali dia mencoba melukis, akhirnya dia sadar bahwa

melukis itu sulit. Hampir saja Ustadz Bachri putus asa,. Tapi istri

dan anak-anaknya selalu melempar pertanyaan atau komentar-

komentar yang yang terdengar di telinganya seperti menyindir

nyalinya. Maka diapun bertekat, apa pun yang terjadi harus ada

lukisan yang jadi untuk diikutkan dalam pameran.

Sampai akhirnya datang seorang kurir yang dikirin oleh

Hardi, datang mengambil lukisannya untuk diikut sertakan dalam

pameran, dia hanya –atau, alhamdulillah, sudah berhasil-

menyerahkan sebuah “lukisan.”

Ketika kurir itu menanyakan judul dan harga lukisan itu

,dia merasa di ejeknya. Ustadz Bachri bingung dan mengatakan

terserah saja pada mas Hardi.

91

Dengan rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada

waktu pembukaan pameran itu, karena pameran itu diselenggarakan

di hotel berbintang, Ustadz Bachri menjadi kurang percaya diri,

dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap diantara

pengunjung. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya diantara lukisan-

lukisan yang dipajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona.

Sampai akhirnya, ketika acara pidato dan sambutan usai

para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang

dipamerkan, dia yang mengalirkan diri diantara jejalan pengunjung

yang belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbetik

dikepalanya : “jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan

pameran karena tidak memenuhi standar.” Mendapat pikiran begitu,

dia tiba-tiba justru menjadi tenang dan tidak menyembunyikan diri

dari punggung para pengunjung. Bahkan dia sengaja mendekati

Hardi yang tampak sibuk menerangkan sebuah lukisan kepada para

pengunjung. Lukisan itu hampir tak tampak olehnya, tertutup banyak

kepala pengunjung yang sedang memperhatikannya.

“Lha, ini dia !” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya.

Dia jadi salah tingkah dilihat oleh banyak orang. “Ini pelukisnya !”

ujar Hardi lagi. Hardipun menanyakan keberadaannya yang dari tadi

dicari tidak kelihatan. Kemudian Hardi memperkenalkan seorang

kolektor dari Jakarta, yang ingin membeli lukisannya.Seketika itu

jiga Ustadz Bachri terkejut ternyata lukisan yang dikerumuni banyak

pengunjung itu adalah lukisannya. Sambil melirik kearah lukisannya

dia mengagumi Hardi yang ternyata tidak hanya pandai melukis tapi

pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Lebih

kaget lagi ketika Ustadz Bachri mrmbaca angka dalam keterangan

harga, dan hampir tidak mempercanyai matanya. $ 10.000. Sepuluh

ribu US dollar ! Gila !

91

Tiba-tiba si bapak kolektor menyatakan tertarik dengan

lukisannya itu, sambil menepuk bahunya. Apalagi setelah

mengetahui makna dan falsafah lukisan itu, dari Hardi.

Dia tersipu-sipu Hardipun mengucapkan selamat atas

terbelinya lukisannya itu oleh kolektor tersebut.

Bapak kolektor itu berkata:”Teruskan melukis dari dalam

seperti ini,” (Melukis dari dalam ? apa pula ini ? pikirnya ).

Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri disamping

lukisan Alifnya dan diambil gambarnya. Dia benar-benar salah

tingkah, dan pertanyaan-pertanyaan para wartawanpun dijawab

sekenanya.

Besoknya hampir semua media massa membuat berita

tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang

dirrinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik koran ibukota

maupun daerah melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan

fotonya, sayang dalam semua foto itu tidak nampak lukisan Alif-nya.

Yang terlihat hanya dia yang berdiri disamping kanvas kosong !.

Ketika makan siang anak-anak dan istrinyapun ikut-

ikutan bertanya macam-macam tentang lukisannya. Ustadz Bachri

menjadi kesal. Mereka ikut-ikutan seperti wartawan yang menjejali

berbagai pertanyaan yang membuat dia bingung sendiri.

Ustadz Bachri geleng-geleng kepala mendengar anak-anak

dan istrinya terus menjejali berbagai pertanyaan kepadanya. Kepada

wartawan dan orang lain dia bisa tidak terus terang, tapi kepada

keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia menyembunyikan

sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi

keterbukaan di rumah ?

Kemudian akhirnya Ustadz Bachri menjelaskan kepada

anak-anak dan isterinya itu tentang lukisannya. Semula karena

merasa tertantang, kemudian saya mencoba melukis, kalian tahu

sendiri, saya baru kali ini melukis, dan setelah mencoba dan

91

mencoba sampai akhirnya saya hampir putus asa. Dengan keadaan

seperti itu kalian masih memberiku semangat, dan Hardipun ngotot

mendorong-dorong saya untuk mengikuti pameran itu.

“Lalu ketika cat-cat itu hampir habis, saya baru teringat

pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu,

seorang pelukis besar memamerkan kaligrafinya yang

menggambarkan dirinya sedang sembahyang yang diatas kepalanya

ada lafal Allah. Sayapun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah

saja ?”

Ketika saya sudah siap melukis, ternyata cat yang tersisa

hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Karena tekad saya

sudah bulat dengan dua warna itu saya memulai melukis Alif, saya

merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar

huruf Tsuluts Jaly. Namun ketika saya pandang-pandang letak

tulisan Alif saya pas ditengah-tengah kanvas, kalau saya lanjutkan

menulis Allah, menurut selera saya wagu, dan saya memutuskan

cukup Alif itu lah yang akan saya ikutkan dalam pameran. Dan

mengenai mengapa lukisan Alif itu tidak nampak di foto mungkin

karena warna silver diatas putih.

Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi, tapi Ustadz

Bachri tak tahu apakah mereka percaya penjelasannya atau tidak.

9. Kang Amin

a. Tema : Takdir manusia telah ditentukan oleh Allah.

b. Tokoh : Kang Amin, Kyai Nur, Ning Romlah, Ning Ummi, Ning

Laila,, Nyai Jamilah.

c. Gambaran Cerita

Setiap kali Kiai Nur punya gawe untuk perhelatan, kali

inipun, jauh-jauh hari orang-orang kampung sudah sibuk. Paling

tidak, sibuk membicarakannya. Soalnya belum pernah kiai pengasuh

pesantren Tanwirul ‘ Uquul itu mengadakan perhelatan tak gede-

91

gedean. Selalu meriah. Apalagi ini Walimatu ‘Urusy, resepsi

pernikahan puterinya yang terakhir, tutup punjen, istilah jawanya.

Kabarnya hiburan yang akan ikut memeriahkan acara ini

adalah grup Rebana Ria yang sering tampil di TV, dan Qorinya saja

dari Jakarta, juara MTQ Internasional. “Wah pasti ramai sekali, ya ?”

Malam hari dikamarnya, Kang Amin tidak bisa tidur,

bukan karena capek dan udara panas akan tetapi karena pikirannya

kalut. Peristiwa demi peristiwa sejak dia ikut dengan Kiai Nur

sebagai khadam, melayani beliau dan keluarganya, muncul bagai

gambar hidup.

Kang Amin memang keluarga ndalem paling senior dan

kepercayaan Kiai Nur. Mendiang ibunya menitipkannya kepada kiai

sejak ia masih kecil. Dia tidak tinggal di gotakan-gotakan bersama

santri yang lainnya. Kang Amin ditempatkan oleh Kiai Nur dikamar

khusus disamping ndalem, sendirian. Sehingga apabila tenaganya

diperlukan tidak susah-susah mencarinya. Kiai Nur dan Ibu Nyai

sudah menganggapnya sebagai anak sendiri

Dia besar bersama Ning Romlah, puteri sulung kiai Nur,

karena saking seringnya mereka bersama-sama, dari sekolah

Madrasah mulai Ibtidaiyah hingga tamat Aliyah-pun sekelas terus,

Kang Amin menjadi dekat dengannya. Meski dekat, meski seperti

saudara sendiri, kang Amin tetap tahu diri. Tak pernah nglunjak,

besar kepala, misalnya bersikap seperti Gus. Dia menyadari bahwa

dia hanyalah khadam, pembantu. Inilah yang menyebabkan seisi

ndalem, khususnya Ning Romlah, menyukainya. Kang Aminpun

sebenarnya mempunyai perasaan tertentu kepada ning Romlah, gadis

yang manis dan tidak sombong itu. Kadang-kadang Kang Amin

kalau menjumpai Ning Romlah sendirian, hatinya tergoda sesekali

ingin menyatakan perasaannya, tapi kang Amin selalu

mengurungkan niatnya itu karena melihat ketulusan hati Ning

Romlah yang menganggapnya sebagai saudara sendiri. Sampai

91

akhirnya Ning Romlah kawin dengan Gus Ali.Kang Amin sempat

kecewa dan uring-uringan sendiri. Tapi melihat kebaikan Gus Ali

akhirnya hati kang Amin menjadi luluh juga. Seperti biasa, dengan

iklas, kang Amin mnjadi “seksi sibuk” dalam perhelatan pujaan

hatinya itu.

Setelah Ning Romlah diboyong Gus Ali, hati kang amin

serasa kosong, namun kekosongan hati kang Amin tidak begitu lama,

sekarang Ning Ummi, adik Ning Romlah, tidak menjaga jarak lagi

dengan kang Amin. Lama kelamaan kang Aminpun jadi tertarik

dengan Ning Ummi, malah kang Amin mempunyai perasaan yang

lebih kepada Ning Ummi ketimbang dengan Ning Romlah dulu.

Akan tetapi apakah sudah menjadi nasib kang Amin atau

takdir memang sudah mengaturnya sedemikian rupa. Ning Ummipun

tak jadi miliknya, dia dipersunting oleh putra Kiai Makmun dari

Jawa Barat. Hatinya kecewa kembali. Ditinggalkan Ning Ummi,

hanya beberapa lama dia seperti linglung. Setelah itu dia kembali

seperti sebelumnya. Dia kembali bersemangat seperti mendapat obat

kuat, kali ini obat kuatnya adalah Ning Laila, puteri bungsu Kiai.

Ning Laila yang lincah dan menggemaskan ini tidak hanya

mampu mengisi kekosongan hati kang Amin, tapi sudah membuat

tekadnya bulat, karena sudah dua kali dia kecewa. Kali ini dia ingin

nekad matur kepada Kiai untuk meminang Ning Laila.

Tapi seperti pepatah kuno, untung tak bisa diraih malang

tak bisa ditolak. Belum sempat matur kepada Kiai, lagi-lagi gledek

menyambar di siang bolong, kali ini lebih parah lagi, karena gledek

itu muncul langsung dari mulut Ning Laila sendiri, yang tiba-tiba

memintanya mengarangkan undangan pernikahannya dengan Gus

Zaim, sepupunya sendiri. Mendengar itu hati kang Amin benar-benar

hancur dan tak bisa berbuat apa-apa.

Sejak perningkahan Ning Laila dengan Gus Zaim, tak

banyak yang bisa diceritakan dari keluarga ndalem, kecuali tentang

91

kewafatan Kiai Nur, beberapa saat setelah itu. Tapi setengah tahun

kewafatan Kiai Nur, ada peristiwa besar yang benar-benar

mengejutkan dan menggegerkan. Karena kang Amin kawin dengan

Nyai Jamilah, janda Kiai Nur.

10. Kang Kasanun

a. Tema : Kelebihan yang diberikan oleh Allah jangan disalah

gunakan.

b. Tokoh : Kang Kasanun, Kyai Mabrur, Ayah, Aku, orang Cina tua.

c. Gambaran Cerita

Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku

ceritakan ini, baik dari Ayah atau kawan-kawannya seangkatan di

pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku

membayangkan seperti Supermen, Spidermen, atau si pesulap

Mandrake. Wah, seandainya aku sempat pertemu dengannya dan

dapat satu ilmu saja, lamunanku selalu. Ayah maupun kawan-

kawannya selalu menyebutnya Kang Kasanun. Tidak ada yang

menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau

karena ilmunya.

Kata Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang

kawan Ayah di pesantren, bahwa Kang Kasanun itu pendekar yang

ilmu silatnya komplit, dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila

sedang bersilat , bisa nempel dan merayap di dinding.

Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun.

“Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana,” kata Ayah suatu hari ketika

sedang bercerita tentang kawanya yang disebutnya jadug itu.

Disamping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya

dengan merapalkan bacan aneh - campuran bahasa Arab dan Jawa -

dia bisa membuat tidur seisi mushalla. Pernah ia menjadi tontonan

orang sepasar karena dia dihinna penjual lombok, lalu lombok satu

pikul ia makan semua dan ia tak apa-apa malah yang murus penjual

91

lomboknya itu. Kata kawan-kawannya ia juga bisa memanggil

burung yang terbang dan ikan di sungai.

Pada suatu hari Kang Kasanun mengajak kawan-kawannya

yang ikut mempelajari ilmu halimunanya itu untuk dipraktikkan.

Hari itu kami ramai – ramai mendatangi toko milik orang cina yang

terkenal galak dikota. Kang Kasanun berpesan, siapapun di antara

kami yang masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, kami

tidak boleh mengambil sesuatu yang ada di toko itu. Karena, tanda

bahwa kami sudah benar-benar hilang , tidak terlihat orang, ialah

apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang

Kasanun, kita tidak berniat untuk mencuri, hanya mengamalkan ilmu

saja . jadi ambil barang-barang yang harganya murah saja.

Dari sekian orang yang ikut “program halimunan” itu,

hanya ayah yang gagal. “Karena saya masih melihat kepala semua

orang yang ada disitu. Jadi sesuai dengan pesan Kang Kasanun saya

tidak berani mengambil apa-apa. Kata kang Kasanun saya kurang

mantap. Memang terus terang, waktu itu sebelum menyaksikan

sendiri adegan di toko itu tidak percaya ada ilmu halimunan, ada

orang bisa menghilang.”

Dan suatu ketika di rumahku ada tamu kawan lama Ayahku,

dan Ibuku bilang bahwa tamu Ayah itu adalah Kang Kasanun yang

tiggal di luar Jawa. Mendengar itu aku sangat terkejut dan ingin

sekali bertemu dengannya. Tapi setelah saya lihat dari gorden aku

jadi ragu–ragu, tamu Ayah tidak seperti apa yang aku bayangkan,

tidak gagah, malah kelihatan kecil di depan Ayahku. Tapi setelah

nguping, mendengar pembicaraan Ayah dan tamunya itu, aku

menjadi yakin memang itulah Sang Superman, Kang Kasanun.

Apalagi tak lama kemudian Kiai Mabrur datang dan saling

berpelukan dengan si tamu.

Kebetulan sekali , malam ketika Ayah akan mengajar ngaji,

aku dipanggil, katanya, “Kenalkan, ini kawan Ayah di pesantren,

91

Kang Kasanun yang sering Ayah ceritakan itu! Kawani dulu beliau

sementara Ayah mengaji.” Setelah bercerita panjang lebar aku

menyempatkan untuk diajari ilmunya itu. “Bapak Kasanun,” sengaja

saya mengganti sebutan Kiai dengan Bapak, “sekarang mumpung

ketemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberikan ijazah

kepada saya : barang satu atau dua dari ilmu Bapak.”

Mendengar permohonanku, tiba-tiba tamu yang sejak lama

aku harapkan itu menangis. Benar-benar menangis sambil kedua

tangannya menggapai-gapai. “Jangan, jangan, Gus ! Gus jangan

terperdaya oleh cerita-cerita tentang Bapak, apalagi kepingin yang

macam-macam seperti yang pernah Bapak lakukan. Biarlah yang

menyesal Bapak sendiri. Jadilah seperti Ayahanda Gus saja. Belajar.

Ngaji yang giat. Dulu Ayahandamu tak serius belajar ilmu yang aku

beri, Bapak rasa karena Ayahandamu hanya serius dalam urusan

belajar dan mengaji. Dan, sekarang Ayahandamu menjadi Kiai besar,

sementara Bapak lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak

yang dulu ikut Bapak mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini

rata-rata kini hanya menjadi dukun. Itu masih mendingan , ada yang

malah menggunakan untuk menipu masyarakat dengan mengaku-

ngaku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam mana bisa

membedakan antara karomah dengan ilmu sulapan seperti itu.

“Pernah suatu ketika dalam perjalanan Bapak kehabisan

sangu, kemudian Bapak rapalkan aji halimunan Bapak ditoko milik

singkek yang sudah tua sekali. Semua pelayan dan pelanggan tidak

melihat Bapak. Kemudian Bapak mendekati meja si singkek tua

yang terlihat tekantuk-kantuk di kursinya. Pelan-pelan aku menbuka

laji mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak mengambil semua

uang yang ada. Si singkek tua tidak bergerak. Namun ketika tangan

Bapak akan Bapak tarik dari laci, tiba-tiba tangan keriput si singkek

itu memegangnya dan langsung seluruh tubuh Bapak lemas tak

berdaya.

91

Pendek kata habislah Bapak dinasihati. Setelah itu Bapak

diberi uang dan disuruh pergi. Sejak itulah Bapak tidak

mengamalkan ilmu-ilmu itu. Sebenarnya semua itu hanyalah

memantapkan apa yang lama Bapak renungkan, tapi Bapak ragu .

Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang, dan

katanya kemudian, “sekarang Bapak sudah mantap. Jalan yang

Bapak tempuh kemarin memang salah , mestinya sejak awal Bapak

mengikuti jejak Ayahanda Gus.”

Kemudian akupun disuruh untuk mengikuti jejak Ayahku

dan tidak boleh mengikuti jejaknya yang salah. Aku disuruh pula

mencari ilmu yang bermanfaat bagi diriku dan bagi sesama. Aku

tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu Kiai Mabrur

dan kawan-kawannya datang. Tapi aku masih mempunyai banyak

waktu merenungi nasihatnya.

11. Ndara Mat Amit

a. Tema : Kelebihan yang diberikan oleh Allah bukanlah untuk

dipamerkan.

b. Tokoh : Ndara Mat Amit, Anak Desa, Ayah, Pak Min.

c. Gambaran Cerita

Anak-anak kecil takut dengan lelaki ini. Bukan saja karena

tubuhnya yang tinggi besar, mukanya yang sangar, tapi terutama

karena kebiasaan yang aneh. Suka mencaci dengan berteriak keras

terhadap siapa saja.

Tak ada seorangpun yang tahu dimana Ndara Mat Amit

tinggal. Orang hanya tahu dia bukan penduduk asli tapi punya

banyak kenalan di kota kami. Ada yang bilang dia dipanggil ndara

karena masih keturunan Nabi. Hampir tiga kali dalam sebulan ia

datang ke kota kami. Anehnya setiap anak yang mengetahui

kehadirannya akan segera lari ketakutan.

Di antara yang sering dikunjungi Ndara Mat Amit adalah

rumah kami. Kalau datang ia tak lupa mampir ke rumah. Mungkin

91

karena ia menyukai ayahku yang selalu ramah terhadap siapa saja

yang datang. Ayah sendiri pernah menasehatiku untuk selalu

menghormati setiap tamu. “itu kan anjuran Rasulullah,” begitu jelas

ayah.

Entah karena sudah terbiasa atau karena nasehat ayah, aku –

tidak seperti banyak kawanku – tidak lagi takut pada Ndara Mat

Amit. Memang aku dulu pernah dibentak hingga gemetaran.

“Hei kamu bajingan kecil ke sini !”

Aku terpaku, “setan kecil ! punya telinga, tidak?” lanjutnya.

Aku pun ragu mendekat. Dengan hati-hati dan siap-siap

melarikan diri apabila beliau hendak memukul. Ternyata dia

memberiku beberapa uang receh yang ia ambil dari saku jasnya yang

kumal.

“Goblok, terima !” hardiknya. Ragu-ragu aku menerimanya.

“Lho apalagi ? kurang ? kalau tidak kurang sana lekas minggat,

monyet kecil !” lanjutnya.aku membatin, ada baiknya juga orang

sangar ini.

Pada bulan Maulud sudah menjadi kebiasaan ayah

mengadakan berzanjen di aula pondoknya. Dan biasa pula Ndara

Mat Amit hadir pada acara itu. Dia kelihatan paling semangat

menyahuti syair-syair yang dilagukannya dengan suara sumbang,

sember dan keras.

Sampai pada suatu ketika, pada saat mauludan sampai pada

acara assyraqalan, ketika semua orang berdiri, Ndara Mat Amit

nampak tertunduk sambil menangis meraung-raung. Di sudut lain,

Pak Min, kusir dokar yang sering mengantar Ndara Mat Amit, juga

melakukan hal yang sama, menangis dan meraung-raung. Setelah

acara berzanjen selesai kulihat ayah mennyai Pak Min.

“Lho, apa Kyai tidak pirso tadi Kenjeng Nabi rawuh ?”

jawab Pak Min sambil setengah berbisik.

91

“Kusir samber gelap, begitu saja ente pamer-pamerkan !”

suara Ndara Mat Amit menyambar. “Kusir tak tahu malu !”

lanjutnya.

“Kau ini, Yik, yang tak tahu malu ! Dari dulu nggak capek-

capeknya pakai topeng. Sudahlah yang wajar-wajar saja, ente kira

dengan memakai topeng bisa menyembunyikan diri ? Kusir dokar

saja tahu siapa diri ente sebenarnya !” balas Pak Min dengan keras

pula membuat semua orang terheran-heran.

Orang-orang mengira Ndara Mat Amit akan meradang dan

menerkam Pak Min. ternyata tidak. “Assalamu’alaikum !” katanya

memberi salam pada kami sambil meninggalkan majlis begitu saja.

Tak lama kemudian Pak Min minta pamit pula. Sampai sekarang

keduanya tak lagi pernah kelihatan di kota kami.

“Dua orang itu,” kata ayah menjelaskan kepadaku, ”adalah

Sayyid Muhammad Hamid – yang dipanggil Ndara Mat Amit – dan

Kyai Mukmin – yang dipanggil Pak Min – sama-sama memakai

topeng. Artinya mereka sama-sama menyembunyikan diri mereka

agar tidak diketahui siapa sebenarnya diri mereka. Keduanya ingin

nampak awam bahkan hina di depan umum. Yang satu dengan

berlagak kasar, yang satu lagi menyembunyikan diri dengan

pekerjaanya sebagai kusir. Dulu banyak orang saleh yang

menyembunyikan diri mereka karena tak ingin didekati penguasa.

Bahkan ada yang pura-pura gila. Mereka adalah Wali Mastur yang

menyembunyikan kesalehannya dan menghilang bila ketahuan

umum.”

12. Mbah Sidiq

a. Tema : Cinta kepada manusia tidak boleh berlebihan.

b. Tokoh : Mbah Sidiq, Nasrul, Pak Manaf, Mas Slamet, Wak

Rukiban, Haji Husen.

c. Gambaran Cerita

91

Ketenaran Mbah Sidiq telah sampai ke daerah kami. Tidak

jelas siapa yang pertama kali menyebar-luaskannya. Yang jelas kini

penduduk sudah seperti mengenal Mbah Sidiq, meskipun belum

pernah bertemu. Memang ada beberapa orang yang mengaku pernah

bertemu dengan beliau, bahkan mengaku sebagai orang dekatnya.

Yang jelas nama Mbah Sidiq sudah melegenda di daerah kami.

Nasrul adalah salah satu orang yang mengaku seperti itu.

Dia paling pandai kalau menceritakan tentang Mbah Sidiq. Dasar

pinter omong, membuat orang lupa akan acaranya sendiri.

“Percaya tidak, saya pernah diajak beliau ke makam Sunan

Ampel di Surabaya, kata Nasrul suatu hari di warung Wak Rukiban.

“Saya pikir di sana ia berdoa, ternyata beliau berdiskusi dengan

Sunan,” jelas Nasrul.

“Darimana kamu tahu kalau dia berdiskusi ?” tanya Pak

Manaf, guru SD yang tertarik dengan tokoh yang menjadi buah bibir

itu.

“Ya dari pembicaraan dan sikap Mbah Sidiq, jelas dia

berdiskusi.” Jawab Nasrul.

“Tapi katanya Mbah Sidiq suka menggigit kuping orang ?”

tanya Wak Rukiban tiba-tiba.

“Ah, ya nggak mesti, Wak. Lihat-lihat tamunya. Biasanya,

Mbah menggigit telinga orang yang wataknya bandel. Seperti

Parman yang suka membuat jengkel ibunya. ‘Telinga kan gunanya

untuk mendengar’ begitu kata Mbah Sidiq sehabis menggigit kuping

Parman, tapi ada juga tamu beliau cium atau beliau kasih duit.” Jelas

Nasrul pada Wak Rukiban.

Begitulah kisah Mbah Sidiq yang menjadi legenda bagi

kebanyakan penduduk dan menjadi kehorhamatan bagi Nasrul yang

merasa menjadi orang dekatnya.

Hingga suatu saat terjadi kehebohan di warung Wak

Rukiban. Nasrul tak pernah lagi kelihatan. Banyak yang mengatakan

91

Nasrul menyusul istrinya yang terlebih dahulu pergi ke luar kota.

Ada juga yang mengatakan Nasrul sedang sakit.

Ketika banyak orang membicarakannya, tiba-tiba Nasrul

datang dengan wajah dan tubuh yang nampak lesu. “Kopi, Wak,”

Nasrul memesan pada Wak Rukiban.

Tentu saja kawan-kawannya heran. Tak seperti biasanya

yang selalu bersemangat, apalagi jika menceritakan tentang Mbah

Sidiqnya itu. Tapi semua diam, seolah-olah menunggu Nasrul

menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.

Tiba-tiba terdengar suara Nasrul seperti bukan dari

mulutnya. “Sidiq bajingan,” lirih tapi terdengar sangat keras dan

tajam bagai sembilu. Hampir semua mulut kawan-kawannya

ternganga seperti merekalah yang terkena tikam umpatan Nasrul.

“Wali macam apa itu ? Seperti tahi termakan. Aku

menyesal ikut membesar-besarkan namanya. Bangsat, penipu !”

semakin serak suara Nasrul, kemudian pecahlah tangisnya.

“Sabar, Srul. Apa yang terjadi ? Ceritakanlah pada kami,

teman-temanmu ! tumpahkanlah semua isi dadamu biar lega !” Pak

Manaf mencoba menenangkan. Tangannya menepuk-nepuk pundak

Nasrul.

“Maaf, Kang !” Nasrul mencoba mengangkat kepalanya

kembali. “Aku kurang sabar bagaiman ? Semua yang diminta sudah

aku berikan. Sawah dan sapiku kuserahkan kepadanya, sepeda

motorku kujual untuk menyenangkannya. Lho kok tega-teganya

membawa kabur istriku ! Masya Allah ! Manusia laknat macam apa

itu ?” dipukulkannya tangannya ke meja hingga beberapa cangkir

dan gelas terguling, pecah.

13. Mubalig Kondang

a. Tema : Semua di bawah takdir Allah.

b. Tokoh : Aku, Istriku, Sudin.

91

c. Gambaran Cerita

Aku tak memperhatikan isteriku ketika jauh hari dia

mengingatkan kota ini bakal kedatangan seorang mubaligh kondang.

Hari ini dia mengingatkan lagi.

“Ustadz Makin bikin rombongan menyewa kolt. Ibu-ibu

juga bikin rombongan sendiri. Bu Lurah menyiapkan bus mini dan

truk. Tadi saya sudah daftarkan dua orang. Kalau sampeyan tidak

berangkat, biarlah nanti saya sama simbok. Ini pengajian akbar,

mubalighnya dari Jakarta. Kita mesti datang gasik supaya dapet

tempat duduk.” Begitu kata isteriku mengingatkan.

Isteriku, seperti kebanyakan warga kampung yang lain,

mungkin maniak pengajian. Di mana saja ada pengajian ia mesti

mendengar dan menghadirinya. Aku tak tahu apa yang ia peroleh

dari pengajian yang sering ia ikuti. Nyatanya kelakuannya sama saja.

Kesukaannya menggunjing orang masih berjalan. Hobinya bohong

tidak berkurang. Kesukaannya pada duit juga malah semakin

bertambah. Juga seperti Haji Mardud yang menjadi panitia pengajian

kali ini, masih juga merenten uang dan menyengsarakan orang kecil.

Lalu apa gunanya pengajian-pengajian jika tak merubah apa-apa dari

perilaku masyarakat pengajian ?

Menjelang Isya rupanya isteriku dan simbok sudah

berdandan. Begitu selesai sembahyang, langsung rukuh mereka

copot dan memperbaiki dandanannya sebentar. Kemudian

berangkatlah mereka ke kota bersama rombngan.

Tak lama kemudian suasana menjadi sepi. Rombongan-

rombongan sudah berangkat. Setelah makan aku rebahkan badanku

di balai-balai, berharap bisa tertidur. Tapi mataku tak mau terpejam.

Aku menyesal juga tadi tidak ikut rombongan. Terpikir begitu,

akhirnya aku bangkit. Kukenakan baju, kuambil sepeda pusakaku,

dan kututup pintu rumahku.

91

Kukayuh sepeda pelan-pelan menuju kota. Toh aku tak

sedang mengejar apa-apa. Hampir tak kujumpai manusia dan yang

kudengar hanyalah lenguh sapi dan suara jangkerik. Untung listrik

sudah masuk desaku. Meskipun lampu yang terpasang di jalan tidak

terlalu terang dan hanya jarang-jarang. Bersepa malam-malam begini

aku jadi teringat akan Sudin, kawanku di pesantren dulu. Di mana

kira-kira si anak badung itu sekarang ?

Sudin anak orang kaya. Sering dulu aku ditraktirnya nonton

film India kesukaannya dan tidak jarang pulang ke pesantren sudah

larut malam. Karena sudah sering ditakzir, dihukum, sebab nonton,

aku-pun lalu menolak jika di ajak Sudin nonton. Aku malu pada

santri-santri yang lain. Sudin sendiri tetap dengan kebiasaannya.

Masih saja nonton film India, meski dihukum berkali-kali. Takzir

baginya sudah dianggap biasa dan tidak perlu ditakuti. Dia sendiri

tidak hanya ditakzir karena nonton, tapi juga karena melanggar

banyak larangan dan menyalahi banyak peraturan pesantren, seperti

berkelahi, membolos, mengintip santri putri, dan lain sebagainya.

Berbagai macam bentuk takzir sudah dicobanya, mulai dari

membersihkan kakus, membayar denda, mengisi kolah mesjid, dll.

Rambutnya tak sempat tumbuh karena sering kena hukuman gundul.

Terakhir Sudin diusir dari pesantren karena kedapatan mencuri kas

pesantren.

“Eit,” hampir saja aku terjatuh. Akar pohon asam di tepi

jalan membuat sepedakuku oleng. Untung aku segera bisa

menguasainya. Lamunanku buyar.

Sesampai di alun-alun dua orang berambut gondrong segera

menarik sepedaku ke arah lapangan yang sepertinya sudah

dipersiapkan. Kubaca pada secarik kertas yang terpampang

bertuliskan: TTTIPAN SEPEDA Rp. 1000,-. Untung di sakuku

masih ada uang seribu persis, sehingga kuberikan uang satu-satunya

milikku itu.

91

Dari kejauhan mubaligh itu sudah kelihatan, karena

panggungnya yang tinggi dan lampu yang luar biasa terangnya.

Hanya beberapa pengunjung paling depan yang duduk di kursi,

lainnya lesehan di rerumputan. Tapi aku tak juga melihat istriku dan

simbok. Aku terus menerobos agar bisa lebih dekat dengan

panggung.

Semakin dekat, semakin jelas sosok mubaligh kondang

yang dari kejauhan suaranya menggelegar itu. Ternyata tubuhnya

sedang-sedang saja. Yang membuatnya gagah justru pakaiannya.

Penampilan mubaligh kondang memang berbeda dengan mubaligh

lokal. Bicaranya lantang dan mantap. Gerakan tubuh dan tangannya

sesuai dengan isi ceramahnya. Dan wajahnya……

Dan wajahnya……nanti dulu. Sepertinya sudah aku kenal.

Tapi tak mungkin. Masak dia ? Tapi persis sekali. Dahinya yang

sempit, matanya yang agak sipit dengan sorot yang nakal itu,

hidungnya yang bulat, mulutnya yang lebar dan seperti terus

mengejek, dan telinganya yang lebar. Ah, tak mungkin lain. Aku tak

salah lagi, pastilah dia. Sudin !.

Aku tiba-tiba kepingin mendengarkannya.

“Jadi sekali lagi, saudara-saudara, maksiat yang sudah

merajalela itu harus kita perangi. Juga kenakalan remaja sekarang ini

sudah sangat mengkhawatirkan. Apa jadinya generasi kita yang akan

datang bila kenakalan remaja itu tidak segera kita tanggulangi. Kalau

di waktu muda malas, apa jadinya bila sudah tua ? Kere, saudara-

saudara ! kere, betul nggak ?”

“Kalau di waktu muda sudah suka jambret, apa jadinya bila

sudah tua ? apa saudara- saudara ? ko,…ko….!”

“Korupsiii !!!” teriak hadirin serempak disusul tepuk tangan

sorak gegap gempita.

Memang ajaib. Sudin yang nakal. Sudin yang di pesantern

langganan takzir. Sudin yang dulu diusir dari pesantren karena

91

mencuri uang kas pesantren. Ah, siapa mengira kini menjadi

mubaligh kondang seperti itu. Bagaimana ceritanya Sudin sampai

mempunyai karomah begitu besar ? bagiku itu sungguh musykil.

14. Ngelmu Sigar Raga

a. Tema : Semua ilmu datangnya dari Allah

b. Tokoh : Aku (Mus), Mbah Jonet, Ibuku, Haji Muin.

c. Gambaran Cerita

Aku beruntung bisa bertemu dengan Mbah Joned. Karena

tidak setiap orang bisa bertemu atau ditemui kyai sepuh yang

melegenda itu. Menurut kepercayaan orang-orang yang mengenalnya,

Mbah Joned memang tidak selalu bersedia ditemui. Ada seorang

jenderal yang sudah menunggu seharian, gagal bertemu dengan

beliau. Tapi seorang kusir dokar malah disambut di depan pintu

rumah beliau dengan penuh penghormatan. Kabarnya Mbah Jonet

tahu tujuan setiap orang yang akan sowan. Dan berdasarkan tujuan si

tamu itulah, Mbah Joned bersedia menemui atau tidak. Wallahu’alam.

Yang penting, alhamdulillah aku ditemui beliau.

Aku dan beberapa tamu yang lain ditemui Mbah Joned di

“ruang tamu”-nya, sebuah kamar yang pengap. Hanya ada sebuah

kursi besar yang beliau duduki. Sedang kami dipersilakan duduk di

dipan bambu tempat tidur beliau. Kami di suguhi minuman yang

berbeda-beda dengan cangkir yang berbeda-beda pula. Ada yang

mendapat teh dalam cangkir porselin, ada yang kopi dalam cangkir

kaleng, ada yang wedang jahe dalam cangkir tanpa pegangan; dsb.

Konon semua itu ada maknanya tapi entah, aku sendiri tidak begitu

mengerti. Aku sendiri dapat minuman legen, nira yang baru disadap,

dalam gelas bamboo. Makanannya, semua rebusan: jagung, ketela,

kacang, pisang, dan gendoyo (semangka muda).

Aku sengaja menunggu mereka semua pergi dan agaknya

Mbah Joned sendiri arif tentang hal ini. Beliau tidak menanyaiku apa-

apa sebelum semua tamu yang lain pergi. ”Nah,sekarang tinggal kita

91

bertiga. Silahkan sampaikan keperluan sampeyan !” kata Mbah Joned

ramah. Hampir saja aku bertanya : kok bertiga? Siapa yang lain?

Untung aku segara menyadari bahwa yang di maksud tentu kami

berdua dan Allah. Maka aku langsung memberanikan diri

menyampaikan masudku, ingin memohon ijazah dari beliau.

Kebetulan pada hari itu Mbah Joned sedang murah hati,

kata beliau aku akan diberi ijazah yang jarang dimiliki orang zaman

sekarang dan belum pernah diberikan pada orang lain, selain aku.

Kemudian aku disuruh merapalkan bacaan yang terdiri dari lafal-lafal

Arab campur jawa, setelah beliau membacanya. Mendengar sekali

aku masih bingung, dan akhirnya Mbah Jonet mengulanginya. Bacaan

yang kedua ini lebih cepat dari yang pertama tadi, kemudian beliau

menyuruhku mengulangi apa yang baru beliau baca.

Dengan memeras ingatan, Alhamdulillah, aku berhasil.

Mbah Joned langsung menangkap tanganku, disalaminya. “Selamat!

Jodoh ! Sampeyan berhasil!” Kemudian diterangkan tatacaranya

mengamalkan ngilmu yang beliau sebut Sigar Raga itu. Setelah aku

memahami semua penjelasannya, akupun pamit sambil berkali-kali

menyampaikan terima kasih.

Setelah aku melaksanakan puasa mutih selama tujuh hari,

pada malam hari kedelapan, aku praktikkan ilmu yang diajarkan

Mbah Joned. Aku berpakaian serba putih dan tidur telentang di atas

tanah sendirian ditengah malam, lalu aku rapalkan bacaannya dan aku

bayangkan diriku keluar dari tubuhku yang telentang. Ajaib, aku tiba-

tiba bisa membayangkan sangat jelas diriku keluar dari tubuhku. Dan

sesuai wejangan Mbah Joned, aku kemudian berkata pada diriku yang

telentang mengawasiku. “Mus, ingsun arep lungo, siro kario nang

ngomah !” ( Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja dirumah !) Kulihat

diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Akupun pergi

meninggalkan diriku.

91

Aku termasuk aktivis termuda dalam partaiku. Setelah

sekian lama aku berjuang keras di partaiku, sekarang aku menuai jerih

payahku itu. Akhirnya aku terpilih menjadi salah satu ketua partai di

tingkat pusat. Dalam pencalonan aku termasuk urutan jadi di DPR.

Semua orang menghormatiku, honorku cukup besar dan

kadang-kadang masih mendapat tambahan dari orang-orang yang

membutuhkan jasaku. Jumlah simpanan dalam rekeningku di berbagai

bank terus bertambah, dan mobilku tergolong mobil yang mewah,

sekarang aku sudah makmur, selamat tinggal hidup sulit !

Kini bicaraku dan sikapku selalu dibenarkan oleh semua

orang yang ada disekelilingku. Juga ketika aku membisikkan

keinginanku “menyimpan “ artis cantik favoritku kepada orang

kepercayaanku, spontan dia mendukung dan bahkan dia bersedia

memfasilitasi. Aku tinggal tahu beres.

Ketika reses panjang, semua anggota DPR dari partaiku

mendapat tugas pembinaan ke daerah. Atas usulku, disetujui bahwa

tugas semua anggota adalah melakukan pembinaan ke daerah masing-

masing. Alhamdulillah. Sebenarnya latar belakang usulku itu bersifat

pribadi. Aku ingin mejenguk rumah yang cukup lama aku tinggalkan.

Dalam perjalanan ini aku hanya membawa tas kecil dan sekedar oleh-

oleh yang di belikan stafku ketika di airport; “untuk Ibunda, madu

Sumbawa” katanya.

Magrib taksiku sampai tujuan, kampung halamanku

ternyata masih seperti dulu. Memasuki halaman rumahku, aku agak

gembira. Tampak lebih bersih, dan pagar hidup dari tanaman di depan

rumahku kelihatan terawat baik. Ini pasti kerja Lik Tukin, adik Ibu

yang selama ini mengawani dan membantunya.

Aku masuk rumah. Ternyata keadaan di dalam rumah juga

bersih, meski tidak ada perubahan. Meja-kursi masih yang dulu. Baru

saja aku meletakkan tasku, kudengar suara lirih dari dalam salah satu

kamar, kamar ibuku. “Mus ya ? “Ah, itu dia suara ibuku. Aku merasa

91

lega dan sekaligus heran. Bagaiman beliau tahu aku datang, “Likmu

Tukin sudah datang ? Aku tak menjawab, tapi langsung masuk kamar

sambil menjinjing bungkusan oleh-oleh madu Sumbawa.

Ibu sedang bersujud, mencopot rukuhnya. Dan kelihatannya

ibu sudah tahu kalau aku datang membawa madu Sunbawa. Dalam

kebingunganku aku hampiri beliau dan aku ciun tangannya. Tapi

aneh, seperti geli, Ibu menarik tangannya. “Hei, Mus, kesambet

dimana kau ini?” Aku sungguh tak mengerti. Tak ada satu patah

katapun yang diucapkan ibu aku pahami. Sampai masuk seorang laki-

laki berpakaian putih-putih sambil menjinjing bungkusan persis

seperti bungkusan oleh-oleh yang dibelikan stafku. Madu Sumbawa.

Aku berdiri mematung mengawasinya. Demikian pula dia.

Setelah berjamaah maghrib di mesjid, bersama haji Muin

aku mampir ke tokonya, mengambil madu Sumbawa titipan ibu.

Ternyata aku ditahan untuk makan malam. Setelah cukup lama aku

ingatkan tentang ibuku yang sendirian di rumah, dia memaklumi dan

membiarkan aku pulang.

Sampai di rumah, tanpa menoleh, aku langsung menuju ke

kamar Ibu. Aku kaget, kulihat seorang lelaki di kamar ibuku. Orang

itu memandangku seperti melihat hantu. Aku terpaku

memandanginya. Demikian pula dia.

Perempuan itu terus tertawa melihat anaknya tiba-tiba

menjadi seperti patung. Ketika beranjak ke dapur sambil membawa

bungkusan madu Sunbawapun , masih terdengar derai tawanya. “Mus,

Mus aneh-aneh saja kau! Katanya di sela-sela tawanya yang semakin

geli.

15. Mbok Yem

a. Tema : Segala kebaikan akan mendapatkan balasan yang

setimpal.

b. Tokoh : Mbok Yem, Ibu, Mbah Joyo, ketua rombongan, adikku.

91

c. Gambaran Cerita

Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah, aku bisa bertemu

dengan ibu dan adikku di pondokan mereka di Makkah. Mereka

tinggal di kamar yang sempit bersama empat pasang suami istri.

Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua.

Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dipanggil Mbah Joyo lebih tua

lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda

dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah

dan banyak bicara, mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatianku adalah kemesraan

kedua sejoli itu. Mereka seperti pengantin baru saja. Seperti tidak

memperhatikan yang lain, Mbok Yem menggelendot manja di

pundak Mbah Joyo.

“Pak, kita beruntung. Nak Mus ini kan kuliah di Mesir, dia

bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita. Bukan

begitu nak Mus ?” katanya sambil mengelus rambut suaminya yang

putih.

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

Alhamdulillah, sejak di Arafah aku bisa ikut dengan

rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke

padang luas yang seperti menjadi lautan tenda itu. beberapa orang

nampak letih, justru Mbok Yem dan Mbah Joyo, anggota kami yang

paling tua sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan.

Kudengar isak tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo

yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun

terdiam. Sampai datang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-

siap untuk sholat bersama.

Aku perhatikan, sejak selesai sholat dan berdoa bersama,

Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-

ulang Astaghfirullah, Astaghfirullah. Mereka memohon ampun

91

kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli itu berdzikir dan berdoa

yang lain.

Malam ketika arus kendaraan dan manusia mengalir dari

Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami hanya mendengar

suara talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut Mbah Joyo dan

Mbok Yem yang terus beristighfar.

Menjelang dini hari, kami sampai di wilayah Muzdalifah.

Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan keluar dalam gelap,

mencari batu-batu kerikil untuk melempar jumrah.

Tapi setelah waktu dinyatakan habis, aku berusaha

membantu petugas meneriaki para jamaah agar segera naik bis dan

bersiap menuju Mina. Tiba-tiba ketika ketua rombongan mengabsen

dan menghitung jamaah, terdengar suara Mbok Yem histeris, “Mbah

Joyo ! mana Mbah Joyoku ?” Seketika semua sadar Mbah Joyo

belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus dan menjerit-

jerit memanggil suaminya. Hampir seisi bus pun ikut turun dan

membantu mencari Mbah Joyo.

Ibuku membujuk Mbok Yem sambil merangkul perempuan

tua itu supaya tenang. “Mbah Joyo tidak akan kemana-mana, pasti

kita akan menemukannya.”

Setelah dicari sampai ke luar area dan tidak juga ditemukan,

akhirnya kami sepakat untuk naik bus dan melanjutkan perjalanan.

Mbok Yem sesekali masih menoleh ke arah gelapnya Muzdalifah.

Ibu menemani dan merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.

Subuh, kami baru sampai di Mina. Semuanya terlihat letih,

lebih-lebih Mbok Yem. Dan begitu masuk kemah, bukan main

terkejutnya kami. Mbah Joyo tengah duduk sambil menikmati

anggur. Mbok Yem langsung menjerit dan berhambur memeluk

Mbah Joyo.

Semua lantas merubung Mbah Joyo yang masih dipeluk,

dielus dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

91

“Ke mana saja sampeyan semalam, Mbah Joyo, kok tahu-

tahu sudah ada di sini ?” tanya ketua rombongan.

“Mbah Joyo sudah melempar jumrah Aqabah?” tanya yang

lain.

Mbah Joyo hanya mengangguk sambil tersenyum sambil

memperlihatkan kini dia telah menggunakan piyama yang berarti

telah selesai menjalankan jumrah. Kemudian bercerita seperti sedang

menceritakan sebuah dongeng.

“Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu

dengan anak muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik

kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama

rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan

meyakinkan akan bertemu lagi dengan robongan di Mina. Bapak

sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut.

Sampai di Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya

tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya

dibangunkan dan diajak melempar Jumrah Aqabah. Setelah itu saya

diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia

pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia

benar.”

“Dia itu siapa, Mbah ? Orang Mana ?”

“Wah, iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu

ketemu dia langsung akrab. Jadi saya sungkan dan akhirnya , sampai

pergi, saya lupa menanyakan nama dan alamatnya.”

“Ajaib.”

Rupanya bagi Mbok Yem apa yang dialami suaminya

merupakan anugrah Allah yang ada kaitannya dengan amal

perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika

Mbah Joyo menghilang. Mbok Yem ternyata dulu adalah WTS

sedangkan Mbah Joyo adalah “langganan”-nya yang dengan sabar

membuatnya sadar, mengentaskannya dari kehidupan mesum.

91

Setelah mereka berdua nikah, mereka menjalankan usaha warung

kecil-kecilan hingga akhirnya menjadi besar dan memiliki tabungan

untuk naik haji, sesuatu yang menjadi cita-cita keduanya. Mereka

mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosanya hanya bisa benar-benar

diampuni apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di

Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. seperti kata kyai di kampung,

haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.

“Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang,

sehingga kami berdua masih berkesampatan menyempurnakan

ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti,

kami ikhlas kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan

saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.” Mbok Yem mengusap

airmatanya, air mata bahagia, baru kemudian dibaringkannya

tubuhnya di sisi tubuh ibuku.

Cerita ini merupakan kisah nyata yang terjadi dan dialami

oleh Gus Mus pada tahun 1970 ketika masih kuliah di Kairo dan

berkerja sebagai tenaga musiman di Kedubes RI di Jedah.12

Demikianlah gambaran cerpen-cerpen yang terdapat di dalam kumpulan

cerpen “Lukisan Kaligrafi” karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri.13

12 A. Mustofa Bisri, Saya Merasa Diwelwhke Tuhan, dalam Mustofa W. Hasyim dan

Ahmad Munif, Sebuah Perjalanan Air Mata, Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), hlm. 157.

13 Disarikan dari A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, op. cit., hlm. 1-130.