bab 6 belajar dengan studi kasus

32
1 Bab 6 Belajar dengan Metode Kasus In the process of learning there should be present, in some sense or other, a subordinate activity of application. In fact, the applications are part of the knowledge. Alfred North Whitehead 1 Pernyataan Alfred North Whitehead (1861-1947) di atas amatlah benar. Whitehead adalah filsuf dan akhli matematika berkebangsaan Inggris. Proses belajar harus terjadi tidak dalam suasana vakum. Harus ada aktivitas penerapan atas apa yang dipelajari. Bahkan, menurut Whitehead, penerapan merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri. Penulis berpendapat bahwa unsur penerapan mutlak sekali dalam mempelajari manajemen. Manajemen tidak dapat dipelajari melulu lewat berbagai konsep, teori, dan teknik manajemen. Karena itulah Metode Kasus menjadi penting bagi pembelajaran manajemen karena studi kasus yang dibahas para mahasiswa merupakan kisah nyata pengalaman para manajer dalam organisasi yang nyata pula. Dengan demikian para mahasiswa dalam Metode Kasus tidak belajar dalam suasana vakum. Mereka belajar dari pengalaman para manajer yang pernah mengalami isu atau masalah yang dihadapi dalam dunia nyata. Proses pembelajaran ini disebut experiential learning, 2 learning by doing. Pembelajaran melalui pengalaman, belajar dengan berbuat. Belajar dengan Metode Kasus tidak hanya merupakan cara belajar yang relevan dan praktis, tetapi juga merangsang dan menyenangkan para mahasiswa karena mereka belajar dari para manajer sungguhan yang benar mengalami sendiri berbagai isu dan masalah dalam organisasi yang nyata. Namun, belajar dengan Metode Kasus dapat juga membingungkan para 1 Whitehead, A.N. (1947). Essays in Science and Philosophy. New York, NY: Philosophical Library, Inc., halaman 218 -219. 2 Kolb, D. (1994). Experiential Learning as the Science of Learning and Development . Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Upload: seth

Post on 13-Jul-2016

14 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

case

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

1

Bab 6 Belajar dengan Metode Kasus

In the process of learning there should be present, in some sense or other, a subordinate activity of application.

In fact, the applications are part of the knowledge. Alfred North Whitehead1

Pernyataan Alfred North Whitehead (1861-1947) di atas amatlah

benar. Whitehead adalah filsuf dan akhli matematika berkebangsaan Inggris.

Proses belajar harus terjadi tidak dalam suasana vakum. Harus ada aktivitas

penerapan atas apa yang dipelajari. Bahkan, menurut Whitehead, penerapan

merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri.

Penulis berpendapat bahwa unsur penerapan mutlak sekali dalam

mempelajari manajemen. Manajemen tidak dapat dipelajari melulu lewat

berbagai konsep, teori, dan teknik manajemen. Karena itulah Metode Kasus

menjadi penting bagi pembelajaran manajemen karena studi kasus yang dibahas

para mahasiswa merupakan kisah nyata pengalaman para manajer dalam

organisasi yang nyata pula. Dengan demikian para mahasiswa dalam Metode

Kasus tidak belajar dalam suasana vakum. Mereka belajar dari pengalaman para

manajer yang pernah mengalami isu atau masalah yang dihadapi dalam dunia

nyata. Proses pembelajaran ini disebut experiential learning,2 learning by doing.

Pembelajaran melalui pengalaman, belajar dengan berbuat.

Belajar dengan Metode Kasus tidak hanya merupakan cara belajar

yang relevan dan praktis, tetapi juga merangsang dan menyenangkan para

mahasiswa karena mereka belajar dari para manajer sungguhan yang benar

mengalami sendiri berbagai isu dan masalah dalam organisasi yang nyata.

Namun, belajar dengan Metode Kasus dapat juga membingungkan para

1 Whitehead, A.N. (1947). Essays in Science and Philosophy. New York, NY: Philosophical Library, Inc.,

halaman 218 -219. 2 Kolb, D. (1994). Experiential Learning as the Science of Learning and Development. Englewood Cliffs,

NJ: Prentice Hall.

Page 2: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

2

mahasiswa bila tidak mengetahui seluk-beluk proses belajar yang terjadi dalam

Metode Kasus.

Bab ini akan membahas pengertian belajar dan tiga tahapan proses

belajar yang terjadi dalam Metode Kasus: proses belajar mandiri, proses belajar

dalam kelompok kecil, dan proses belajar dalam kelas. Dalam berbagai tahapan

tersebut peran mahasiswa diuraikan.

Belajar

Belajar adalah sebuah proses perubahan yang menyangkut tiga

dimensi: pengetahuan (knowledge), kemampuan (skills), dan sikap (attitude)

(Gambar 6-1). Setelah belajar, seorang mengalami perubahan: dari tidak tahu

menjadi tahu (pengetahuan), dari tidak bisa menjadi bisa (kemampuan), dari

tidak mau menjadi mau (sikap). Dalam hal pembelajaran manajemen, maka

perubahan dimensi pertama saja yaitu pengetahuan tidaklah mencukupi. Seperti

dikatakan Whitehead seorang yang tahu saja adalah orang yang paling

membosankan di dunia ini „a well-informed man is the most useless bore on

God’s earth.”3

Gambar 6-1

3 Dimensi Belajar

Perubahan Sikap

Belajar

Pengembangan Kemampuan Penambahan Pengetahuan

3 Whitehead, A.N. (1929). The Aims of Education and Other Essays. New York, NY: McMillan Company.

Page 3: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

3

Belajar adalah suatu proses di mana terjadi perubahan perilaku

sebagai reaksi atas pengalaman atau situasi yang dihadapi seorang. Perubahan

perilaku ini tidak disebabkan karena kecenderungan alamiah seperti

pertambahan umur atau proses seorang menjadi dewasa. Pembelajaran terjadi

bila perilaku seorang berubah karena proses belajar lewat pengalamannya

menghadapi suatu situasi. Perubahan perilaku ini bersifat permanen.

Seorang bisa mengendarai mobil karena proses belajar yang

dilaluinya dan bukan karena kecenderungan alamiah sejalan pertambahan usia.

Kemampuan menulis dan membaca adalah hasil proses belajar dan bukan karena

kecenderungan alamiah. Buktinya, walaupun seorang telah dewasa tetapi bila ia

tidak belajar membaca atau menulis, maka ia tidak dapat membaca atau menulis.

Itulah sebabnya di hampir semua negara di dunia ini, masih ada tingkat buta-

huruf di kalangan orang dewasa. Dari 213 negara, hanya ada delapan negara yang

benar-benar bebas buta-huruf: Andorra, Findland, Georgia, Greenland,

Liechtenstein, Luxembourg, Norway, dan Vatican City.4

Kemampuan membaca dan menulis adalah contoh hasil suatu

proses belajar. Sekali seseorang mempunyai kemampuan membaca, menulis,

mengendarai sepeda atau mobil, dan lain-lain, maka kemampuan ini dimilikinya

seumur hidup. Perubahan perilaku tersebut bersifat permanen. Perilaku bisa

membaca bersifat permanen. Perilaku bisa mengendarai mobil bersifat

permanen. Itulah yang dimaksud dengan perubahan perilaku yang permanen

sebagai hasil proses belajar.

Demikian juga halnya dengan berbagai kemampuan manajerial.

Berbagai kemampuan yang dimiliki para manajer adalah hasil proses belajar dan

bukan karena proses alamiah karena pertambahan usia. Kemampuan membuat

keputusan merupakan hasil sebuah proses pembelajaran yang memakan waktu

tidak sedikit. Kemampuan membuat keputusan tidaklah terjadi secara alamiah

karena pertambahan usia, melainkan merupakan hasil proses belajar. Demikian

juga dengan kemampuan manajerial lainnya seperti kemampuan memimpin

4 CIA World Factbook (2009).

Page 4: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

4

orang, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengendalikan organisasi, dan

lain-lain.

Perubahan perilaku seorang secara permanen adalah pembelajaran

yang bersifat sangat pribadi, dan merupakan pembelajaran yang berupa

penemuan-sendiri (self-discovered learning). Pembelajaran ini tidaklah dapat

dikomunikasikan secara langsung kepada orang lain.5

Pembelajaran yang berarti terjadi dengan mengerjakan,

“significant learning is acquired through doing”.6 Itulah pembelajaran yang

terjadi dalam Metode Kasus. Para mahasiswa “menapak-tilas”, melakukan

kembali apa yang telah dilakukan oleh seorang manajer yang menjadi tokoh

dalam sebuah studi kasus. Dan, pembelajaran akan terjadi bila para mahasiswa

secara sukarela ikut serta aktif dalam proses tersebut, seperti dikatakan rektor

Harvard University, A. Lawrence Lowell “.....no one can be really educated

against his will, or without his own active efforts.”7

Tahapan Proses Belajar dalam Metode Kasus

Dalam Metode Kasus ada tiga tahapan proses belajar: belajar

mandiri, belajar dalam kelompok, dan belajar dalam kelas (Lihat Gambar 4-2,

dalam Bab 4). Proses belajar dalam berbagai tahapan ini merupakan siklus terus-

menerus, repetitif, dan kumulatif dalam proses pembelajaran mahasiswa untuk

mencapai pengertian yang lebih mendalam. Setiap tahapan lanjutan akan

menambah proses belajar yang terjadi dalam tahapan sebelumnya.

Belajar dalam Metode Kasus adalah proses belajar mandiri dan

proses belajar partisipatif dalam kelompok. Berapa banyak yang dipelajari

seorang mahasiswa dalam suatu program studi atau bahkan dalam sebuah sesi

5 Rogers, C.R. (1994). Personal Thoughts on Teaching and Learning. Dalam Barnes, L.B., Christensen,

C.R., & Hansen, A.J. Teaching and The Case Method. Boston, MA: Harvard Business School Press,

hal.129. 6 Rogers, C.R. (1969). Regarding Learning and Its Facilitation. Dalam Rogers, C.R. Freedom to Learn.

Columbus, OH: Charles Merill. 7 Lowell, A.L. Report of the President of Harvard Collge and Reports of Departments, 1931-1932.

Page 5: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

5

kelas sangat tergantung dari dirinya sendiri yaitu seberapa baik ia melakukan

persiapan dalam setiap tahapan belajar.

Belajar Mandiri

Belajar mandiri merupakan tahap pertama proses pembelajaran

dalam Metode Kasus. Tahapan ini merupakan persiapan individu dan menjadi

dasar bagi tahapan-tahapan selanjutnya. Persiapan yang dilakukan dengan baik

dalam tahap ini akan merupakan modal bagi proses pembelajaran optimal. Bila

mahasiswa tidak melakukan persiapan dengan baik dalam tahapan ini, maka

manfaat yang akan diperolehnya dalam tahapan-tahapan selanjutnya tidak akan

optimal. Bahkan, bisa terjadi ia tidak akan memahami apa yang terjadi dalam

tahapan-tahapan tersebut.

Dalam tahapan belajar mandiri ini mahasiswa menyiapkan studi

kasus. Menyiapkan studi kasus dengan baik menuntut kerja keras dari seorang

mahasiswa. Studi kasus yang dibahas pada umumnya mempunyai tingkat

kompleksitas tinggi. Kompleksitas ini disebabkan oleh beberapa hal seperti sifat

studi kasus yang open-ended, tidak tersedianya semua informasi, ketidak-

pengalaman mahasiswa dalam menangani berbagai isu dalam kasus, ketidak-

jelasan masalah, dan ketiadaan jawab tunggal untuk setiap kasus. Semua ini

dapat mengakibatkan frustrasi mahasiswa. Karena itu, penting sekali bagi para

mahasiswa Metode Kasus untuk memanfaatkan waktu mereka seefisien

mungkin. Umumnya waktu yang diperlukan dalam tahapan belajar mandiri ini

adalah satu sampai dua jam. Bila studi kasus yang digunakan berbahasa Inggris,

maka waktu ini akan bertambah panjang tergantung kepada kemampuan bahasa

Inggris seorang mahasiswa.

Tabel 6-1 dapat dijadikan panduan dalam membaca sebuah studi

kasus.

Page 6: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

6

Tabel 6-1

Panduan Membaca Studi Kasus

Tokoh Utama Siapa tokoh utama dalam studi kasus?

Isu, Masalah Apa yang menjadi isu atau masalah utama

yang dihadapi tokoh tersebut?

Tokoh lain Siapa saja tokoh lainnya yang penting

dalam studi kasus?

Organisasi Bagaimanakah lingkungan organisasi sang

tokoh?

Alternatif Alternatif-alternatif apa sajakah yang

tersedia bagi sang tokoh?

Konsekuensi Apakah konsekuensi setiap alternatif

tersebut?

Informasi Informasi apa sajakah yang relevan?

Salah satu hal tersulit dalam menangani sebuah studi kasus adalah

memilih berbagai informasi dan fakta yang disajikan dalam sebuah studi kasus.

Dalam sebuah studi kasus umumnya diberikan latarbelakang informasi

mengenai perusahaan, industri, masalah, latarbelakang sang manajer, dan

berbagai informasi lain baik yang relevan maupun yang tidak relevan dengan isu

atau masalah dalam studi kasus tersebut.

Kompetensi yang penting dikuasai adalah kompetensi dalam (1)

menentukan dan memilih informasi mana yang penting dan mana yang tidak

penting, dan (2) menilai fakta yang kerap kelihatan saling bertentangan satu

sama lain. Kompetensi-kompetensi ini merupakan kompetensi manajerial yang

penting dalam dunia kerja para manajer. Dalam taksonomi Bloom kompetensi

ini merupakan salah satu kompetensi puncak yaitu menilai (evaluating).

Kompetensi menilai ini merupakan pembelajaran tingkat lebih tinggi (higher

order learning).

Page 7: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

7

Penugasan

Dalam Metode Kasus, sebelum dilakukan diskusi kasus dalam

kelas, studi kasus harus sudah dibagikan sebelumnya kepada para mahasiswa.

Paket studi kasus dan bahan bacaan serta daftar pertanyaan-untuk-diskusi

(discussion questions) umumnya dibagikan seminggu sebelumnya. Di program

Executive MBA (EMBA) IPMI, paket ini dibagikan setiap hari Sabtu untuk

diskusi pada hari Sabtu minggu berikutnya. Untuk kelas MBA reguler, paket

bahan ajar dibagikan setiap hari Kamis untuk minggu berikutnya.

Untuk setiap studi kasus selalu ada penugasan di mana para

mahasiswa diminta untuk:

1. Mengambil Sikap

Mahasiswa diminta untuk menempatkan dirinya dalam posisi yang

dialami oleh tokoh kasus yang bersangkutan.

Pertanyaan yang lazim diajukan adalah “Bila anda adalah Mr. X (tokoh

dalam kasus tersebut), apakah yang akan anda lakukan?”.

Pertanyaan ini memaksa seorang mahasiswa studi kasus untuk

membiasakan dirinya untuk mengambil sikap tegas (take a position).

Ketegasan bagi banyak manajer –terutama manajer Indonesia- adalah

sesuatu yang masih perlu dibina. Seperti kita ketahui kelemahan utama

pimpinan negara kita adalah kekurang-tegasannya dalam mengambil

sikap dalam berbagai isu yang dihadapi bangsa. Mengenai isu kenaikan

harga BBM misalnya, sampai-sampai Jusuf Kalla (Wapres RI 2004-2009)

mengaku capek mendengar wacana terus-menerus tanpa ketegasan sikap.

8 Bahkan ada yang menyebutkan bahwa negara kita jalan sendiri (auto-

pilot).9

Pertanyaan ini membangun sikap (attitude) untuk berani mengambil

sikap dan keputusan dan berani bertanggung-jawab atas keputusan yang

diambilnya.

Penulis kerap menyatakan kepada para mahasiswa bahwa bila enggan

8 Prayogi, W.E. (2012, 13 April). Pemerintahan SBY Banyak Wacana BBM, JK: Capek Dengarnya!,

detikFinance. 9 Hussein, Z. (2012, 29 February). Indonesia Seems to be Running on Autopilot, The Straits Times/Asia

News Network.

Page 8: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

8

mengambil keputusan dan bertanggung-jawab untuk itu, maka hindari

jabatan komando (line position) tertinggi dalam organisasi seperti Chief

Executive Officer (CEO). Bila ingin memegang jabatan komando tersebut,

maka seorang manajer harus berani mengambil keputusan dan

bertanggung-jawab untuk keputusan yang dibuatnya.

Metode Kasus merupakan metode yang tepat untuk melatih hal ini. Para

mahasiswa dikondisikan untuk membuat keputusan dalam bersikap.

Lewat empat ratusan10 sampai enam ratusan11 studi kasus yang hampir

seluruhnya menuntut para mahasiswa mengambil sikap dan membuat

keputusan, para mahasiswa dalam Metode Kasus akan terbiasa dengan

keharusan mengambil sikap dan membuat keputusan. Ini sejalan dengan

teori pembelajaran melalui kebiasaan (habitual learning theory). Locke,

filsuf terkemuka berkebangsaan Inggris, menyatakan metode

pembelajaran melalui kebiasaan ini jelas lebih unggul dari metode

didaktika atau kuliah klasikal.12 Pengembangan kebiasaan itulah juga yang

laris dipromosikan oleh Stephen R. Covey, sang begawan „The 7 Habits’.13

2. Memberikan Alasan

Dalam setiap studi kasus, selalu ada pertanyaan “mengapa? (why)”

Para mahasiswa studi kasus dilatih untuk memberikan alasan yang kuat

bagi sebuah sikap atau keputusan yang diambilnya.

Penulis selalu menekankan kepada para mahasiswa program MBA/MM

bahwa menjawab pertanyaan “mengapa (why)?” penting sekali.

Pertanyaan “mengapa (why)” dapat membawa kita kepada akar suatu

masalah (root cause). Dengan mengetahui akar masalah maka dapat

dirumuskan penyelesaian yang tepat. Karena itu, penggunaan kerangka “5

Why” sangat populer.14

10

Di program MBA-IPMI penuh waktu yang berdurasi satu tahun, para mahasiswa diberikan sekitar empat

ratusan studi kasus. 11

Di program MBA Harvard Business School yang berdurasi dua tahun, para mahasiswa diberikan enam

ratusan studi kasus. 12

Locke, J. (1693). Some Thoughts Concerning Education. London, UK: AJ Smith. 13

Covey, S.R. (1990). The 7 Habits of Highly Effective People. New York, NY: The Free Press. 14

Kerangka “5 Whys” dikembangkan oleh Sakichi Toyoda di Toyota Motor Corporation dalam evolusi

teknologi manufaktur Toyota. Tujuannya adalah mencari akar-masalah (root cause) cacat produksi mobil

Page 9: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

9

Dalam penugasan jenis ini dilatih kemampuan mahasiswa dalam tingkat

kognitif yang tinggi (lihat taksonomi Bloom) seperti kemampuan evaluasi

dan sintesis.

3. Analisis

Dalam (hampir) semua kasus, mahasiswa diminta untuk melakukan

analisis terhadap pokok persoalan dalam kasus.

Analisis adalah proses mengurai suatu informasi atau fenomena menjadi

komponen-komponen yang lebih sederhana. Dengan analisis maka

kompleksitas suatu isu atau masalah diurai agar lebih sederhana sehingga

mudah dipahami.

Mahasiswa misalnya dapat diminta untuk melakukan analisis suatu

industri dengan menggunakan kerangka The Five Forces Model.15 Dalam

penugasan ini kemampuan analitis dan kemampuan aplikasi mahasiswa

dikembangkan.

4. Evaluasi

Mahasiswa juga seringkali diminta untuk menilai suatu industri, argumen

atau usulan. Dalam penugasan ini, maka kemampuan evaluasi mahasiswa

dilatih.

Pertanyaan evaluasi meminta mahasiswa menilai berbagai alternatif solusi

atau keputusan yang dihadapi seorang manajer dalam sebuah studi kasus.

Pertanyaan „Setujukah Anda dengan sang manajer?‟ juga merupakan

pertanyaan evaluasi.

5. Hitungan

Mahasiswa juga kerap diminta untuk melakukan beberapa perhitungan

seperti perhitungan titik impas (break-even point) dan implikasi finansial

dari suatu usulan.

Tabel 6-2 adalah contoh penugasan dari sebuah studi kasus

matakuliah Marketing Management dalam program MBA Eksekutif di IPMI.

di pabrik Toyota. 15

Porter, M.E. (1979). How Competitive Forces Shape Strategy. Harvard Business Review , vol. 57

(2), March- April, halaman 137-146.

Page 10: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

10

Tabel 6-2

Contoh Pertanyaan Diskusi

Module Value Search and Discovery Session 3 Case Citibank Indonesia (IPMI MKT-1992-

6/R93) Reading Kotler (1997),16 Chapters 5 and 6 Discussion Questions

1. What are the core values created by a credit card? 2. What additional values are delivered by Citibank? 3. Were there opportunities for Citibank Visa? Please substantiate by evidence in the case! 4. Do you agree with Ms Hardjanto’s judgment? Why? 5. Why was the number of cardholders so small in 1988? Please give detailed reasons!

Proses Belajar

Dalam menangani studi kasus, banyak cara yang dapat ditempuh.

Cara yang diuraikan berikut adalah salah satu yang dapat digunakan:

1. Baca Pembukaan dan Penutup

Untuk memahami sebuah studi kasus, langkah pertama yang harus

dilakukan mahasiswa adalah membaca bagian pembukaan dan bagian

penutup. Tujuannya adalah agar segera diketahui apa yang sebenarnya

menjadi isu kasus tersebut dan apa yang mendesak harus dilakukan oleh

sang tokoh dalam kasus.

Bagian Pembukaan yang ditulis baik akan memberikan gambaran

mengenai isu utama sebuah studi kasus. Sedangkan bagian Penutup akan

menyimpulkan apa yang harus dilakukan sang tokoh.

Mengetahui isu pokok dan apa yang mendesak dilakukan akan membantu

mahasiswa membaca studi kasus secara lebih rinci.

16

Kotler, P.J. (1997). Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control. New

York, NY: Prentice Hall.

Page 11: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

11

Dalam tahap ini mahasiswa hendaknya sudah mengenali apa yang

menjadi pokok permasalahan, isu, atau keputusan apa yang harus dibuat,

dan siapa yang bertanggung jawab untuk itu.

2. Baca Pertanyaan Diskusi

Sekarang ini hampir semua penugasan studi kasus selalu disertai daftar

sejumlah pertanyaan diskusi. Jumlah pertanyaan untuk diskusi biasanya

tidak lebih dari enam pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk memandu mahasiswa dalam

menyiapkan sebuah studi kasus. Biasanya pertanyaan-pertanyaan ini akan

ditanyakan dalam kelas.

Membaca pertanyaan untuk diskusi akan membantu mahasiswa

mengetahui apa yang akan menjadi fokus sebuah studi kasus dan bahan

diskusi. Pertanyaan diskusi yang sifatnya global ini dapat dikembangkan

oleh dosen dan para mahasiswa dalam pertanyaan-pertanyaan lanjutan

dalam diskusi kelas nantinya.

3. Baca Kasus Secara Rinci

Setelah melakukan dua hal di atas, maka langkah berikutnya adalah

membaca kasus secara rinci. Bagian terbesar sebuah studi kasus berisi

berbagai informasi untuk digunakan mahasiswa dalam melakukan analisa

isu atau masalah, evaluasi berbagai alternatif, dan sintesa untuk

menyimpulkan apa yang harus dilakukan.

Sambil membaca, isu dan keputusan serta berbagai pertanyaan diskusi

terus diingat.

Berbagai informasi dan data dalam kasus dievaluasi dan disaring mana

yang relevan dan mana yang tidak dalam hubungannya dengan isu kasus

tersebut.

4. Analisis Kasus

Dalam tahapan ini maka dilakukan hal-hal berikut:

a. Mencari hubungan sebab-akibat dalam studi kasus.

Sebagian besar waktu mahasiswa dalam membaca studi kasus

dihabiskan untuk mencari informasi yang berhubungan dengan

pokok permasalahan kasus. Masalah tidak dapat dipecahkan bila

Page 12: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

12

tidak diketahui apa penyebabnya. Dalam mencari hubungan sebab-

akibat, maka dapat digunakan diagram fishbone (Gambar 6-2).17

Gambar 6-2

Diagram Fishbone

b. Mengenali keterbatasan dan kesempatan

Setiap organisasi mempunyai keterbatasan-keterbatasan sehingga

dalam pengembangan alternatif, para mahasiswa harus

memperhitungkan hal ini.

Para mahasiswa juga harus jeli melihat berbagai kesempatan yang

ada.

c. Mengembangkan dan menilai alternatif solusi

Tahapan ini melatih pengembangan kreatifitas mahasiswa.

Mahasiswa dapat melakukan terobosan dalam pengembangan

alternatif. Dalam tahap ini dapat digunakan alat pohon keputusan

(decision tree) (Gambar 6-3).18 Pohon keputusan digunakan untuk

menentukan alternatif paling optimum dari sejumlah alternatif

yang kesemuanya mengandung unsur ketidakpastian.

17

Diagram Fishbone (disebut juga cause-and-effect diagram) dikembangkan oleh Kauro Ishikawa pada

tahun 1943 di Tokyo University. 18

Asal-muasal konsep decision tree dibahas E.B. Hunt (1962). Concept Learning: An Information

Processing Problem. New York, NY: John Wiley & Sons.

Page 13: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

13

Gambar 6-3

Decision Tree

d. Memilih alternatif terbaik dalam batasan-batasan yang ada

e. Membuat rencana aksi (action plan) untuk melaksakan keputusan

Mauffette-Leenders, Erskine, dan Leenders19, dosen Ivey Business

School dan pakar Metode Kasus, menguraikan proses dalam belajar mandiri

(Tabel 6-3).

19

Maufette-Leenders, J.A. Erskine, M.R. Leenders (1998). Learning with Cases. London, ON: Ivey

Publishing, Ivey Business School, The University of Western Ontario.

Page 14: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

14

Tabel 6-3

Proses Belajar Mandiri

1. Baca Judul dan Sub-judul

2. Baca Paragraf Pembuka dan Penutup:

. Siapa, Apa, Mengapa, Kapan, dan Bagaimana?

3. Baca Pertanyaan Diskusi

4. Baca Studi Kasus Secara Lengkap (termasuk Eksibit!)

5. Gunakan Proses Pemecahan Masalah:

. Tentukan Pokok Masalah

. Analisis Data

. Kembangkan Alernatif

. Tentukan Kriteria Keputusan

. Evaluasi Alternatif

. Pilih Alternatif

. Buat Rencana Aksi

Belajar Kelompok

Setelah dilakukan tahapan belajar mandiri, tahapan belajar

berikutnya yang harus dilalui seorang mahasiswa dalam Metode Kasus adalah

belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai lima orang. Kelompok

ini diberi nama macam-macam: kelompok belajar (study group),20 tim belajar

(learning team),21 sindikat (syndicate), break-out group, can group dan

sebagainya.

Dalam tahapan ini setiap mahasiswa anggota kelompok

memberikan pendapat dan wawasannya mengenai kasus yang dibahas. Para

mahasiswa belajar satu sama lain lewat interaksi dan debat berbagai isu dalam

20

Istilah study group lazim digunakan sekolah-sekolah bisnis yang menggunakan Metode Kasus secara

penuh seperti Harvard, IPMI, dan Ivey (Western Ontario). 21

Istilah ini digunakan di Darden Business School. Harder, J., dan Isabella, L. (2000).

Learning Teams at The Darden Business School. The University of Virginia Darden School Foundation.

UV 3204.

Page 15: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

15

setiap studi kasus yang dibahas. Proses belajar dalam kelompok kecil

mencerminkan praktik dunia nyata yang makin menekankan pentingnya

kerjasama team (team work).

Seiring dengan makin kompleksnya pekerjaan, maka team work

merupakan keharusan dan tidaklah heran bila TEAM diterjemahkan sebagai

Together Everyone Achieves More. Dalam bekerja-sama, setiap orang mencapai

lebih bila dibanding bekerja sendiri-sendiri. Bukan rahasia lagi bahwa banyak

organisasi sekarang ini mempunyai budaya silo-isme, mind-set „Us versus Them”

yang merupakan penghambat utama kemajuan organisasi. Team work

merupakan jawaban mengatasi mind-set tersebut. Karenanya, banyak

perusahaan yang kini menggunakan team sebagai building block struktur

organisasi mereka.22

Pada sekolah-sekolah yang menggunakan Metode Kasus secara

penuh seperti Darden, Harvard, Ivey (Western Ontario) dan IPMI, disediakan

ruang-ruang khusus untuk diskusi kelompok.

Ada beberapa hal yang terjadi dalam tahapan belajar kelompok:

1. Belajar dari Orang Lain

Betapapun pandainya seorang mahasiswa melakukan analisis kasus,

pasti ada hal-hal yang tidak dilihatnya. Studi kasus adalah fenomena

dunia nyata yang kompleks. Karena itu hampir mustahil seorang

mahasiswa bisa menguasai semua yang ada dalam sebuah studi kasus.

Dalam kelompok para mahasiswa melihat hal-hal yang tidak dilihatnya

saat belajar mandiri. Ini sama dengan kata pepatah “dua kepala lebih

baik dari satu kepala”: TEAM (Together Everyone Achives More).

Diskusi kelompok dapat mengungkapkan hal-hal yang tidak dilihat

seorang mahasiswa saat belajar sendiri.

2. Kemampuan Komunikasi

Belajar kelompok juga melatih kemampuan komunikasi verbal para

mahasiswa. Kompleksitas sebuah studi kasus memungkinkan para

mahasiswa melihat studi kasus dari berbagai sudut pandang. Dalam

22

Whole Foods Is All Teams. http://www.fastcompany.com/online/02/team1.html

Page 16: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

16

kelompoknya, seorang harus meyakinkan teman kelompok akan sudut

pandangnya. Hal ini jelas membutuhkan kemampuan komunikasi yang

persuasif dan meyakinkan.

Lewat diskusi ratusan studi kasus, sejalan dengan prinsip habitual

learning, maka akan terbentuk kebiasaan berdebat dan berkomunikasi

lisan.

3. Kemampuan Kerjasama Kelompok

Proses belajar kelompok mengembangkan kemampuan kerjasama

kelompok yang dibutuhkan dalam hidup berorganisasi. Sebagai anggota

organisasi, seseorang tidak dapat melakukan semua pekerjaannya

sendiri. Ia harus bekerja bersama dan lewat orang lain. Belajar

kelompok melatih kemampuan interpersonal untuk bekerjasama dalam

kelompok. Kemampuan interpersonal ini makin penting saat ini

mengingat kompleksitas berbagai isu yang dihadapi organisasi yang

mengharuskan kerjasama kelompok.

4. Membangun Hubungan

Tidak jarang terjadi bahwa hubungan yang dibina dalam kelompok akan

berlanjut. Seseorang yang merasa dekat dengan anggota kelompoknya

akan membawa kedekatan ini sampai jauh setelah menyelesaikan

studinya. Hubungan tersebut berlangsung bahkan jauh setelah mereka

menyelesaikan program MBA/MM nya.

5. Memaksa Belajar Mandiri

Dinamika kelompok akan memaksa setiap anggota kelompok untuk

datang dalam kelompok dengan persiapan memadai. Seorang

mahasiswa akan dipaksa untuk menyiapkan studi kasus sebelum

memasuki tahapan belajar kelompok. Penulis kerapkali menjumpai

seorang anggota kelompok yang ditolak oleh kelompoknya karena

menjadi parasit kelompok.

Organisasi Kelompok Belajar (Study Group)

Walaupun merupakan tahapan penting dalam proses belajar dalam

Metode Kasus, tidak banyak sekolah bisnis yang memaksakan terjadinya hal ini.

Page 17: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

17

Dalam program penuh waktu hal ini terjadi secara alamiah. Saat penulis di

program MBA IPMI, kelompok belajar merupakan bagian tidak terpisahkan dari

proses belajar.

Ukuran. Agar tercapai hasil optimal anggota kelompok biasanya

terdiri dari tidak kurang dari tiga orang dan tidak lebih dari lima orang. Ini

adalah formula yang digunakan oleh salah-satu sekolah bisnis terkemuka Ivey

Business School, The University of Western Ontario di Kanada. Empat orang

adalah ukuran ideal bagi suatu kelompok belajar. Lebih dari lima orang dapat

merangsang timbulnya free riders atau parasit kelompok. Orang ini adalah orang

yang memanfaatkan kelompoknya untuk diri sendiri tanpa memberikan

kontribusi kepada kelompok.

Waktu. Waktu yang diperlukan dalam belajar kelompok bervariasi

tergantung kebutuhan. Namun demikian, berdasarkan pengalaman dan

pengamatan penulis, bagi kita di Indonesia dibutuhkan waktu setidaknya satu

jam untuk setiap studi kasus. Lebih dari dua jam akan tidak produktif lagi. Di

Ivey Business School dibutuhkan waktu sekitar tigapuluh menit saja. Ini

mungkin disebabkan karena keterbiasaan para mahasiswa di Kanada dengan

kerja kelompok dan secara relatif tidak ada hambatan bahasa Inggris seperti yang

dialami para mahasiswa kita di Indonesia.

Sedangkan mengenai kapan kelompok akan bertemu, ada beberapa

pendekatan. Pendekatan pertama memberikan kebebasan kepada kelompok

untuk menentukan sendiri kapan waktu yang paling tepat untuk bertemu.

Pendekatan lain, seperti yang dilakukan di program MBA IPMI, adalah pihak

sekolah yang menentukan waktu tersebut. Tabel 6-4 memperlihatkan waktu

tersebut bagi kelas MBA Eksekutif IPMI diselenggarakan setiap hari Sabtu.

Page 18: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

18

Tabel 6-4

Jadual Kelompok Belajar

Waktu Aktivitas

07:00-08:00 Makan pagi

Pertemuan Kelompok 1

08:00-09:30 Sesi Kelas 1

09:30-10:30 Pertemuan Kelompok 2

10:30-12:00 Sesi Kelas 2

12:00-14:00 Pertemuan Kelompok 3

14:00-15:30 Sesi Kelas 3

15:30-16:30 Pertemuan Kelompok 4

16:30-18:00 Sesi Kelas 4

Di luar pertemuan kelompok terjadual tersebut, umumnya para

mahasiswa program MBA Eksekutif IPMI masih melakukan pertemuan dengan

kelompoknya pada hari kerja di luar jam kerja. Pertemuan tersebut biasanya

dilakukan di kantor masing-masing secara bergilir.

Komposisi. Komposisi anggota kelompok merupakan hal yang

penting bagi tercapainya pembelajaran optimal. Pengalaman berbagai pengelola

sekolah bisnis umumnya menyimpulkan perlunya keberagaman (diversity)

anggota kelompok dalam hal latarbelakang pendidikan, pengalaman, gender, dan

budaya. Menyusun kelompok berdasarkan kesamaan latarbelakang tertentu

merupakan hal yang harus dihindari karena akan terjadi kepicikan pandangan.

Ini akan membatasi pembelajaran. Di program MBA IPMI, selalu diusahakan

agar dalam setiap kelompok ada mahasiswa dengan latarbelakang pendidikan

non teknik. Program MBA IPMI umumnya didominasi peserta dengan latar-

belakang pendidikan di bidang teknik.

Rotasi. Isu rotasi juga merupakan isu yang kerap muncul dalam

menyusun kelompok belajar. Selalu saja ada keluhan mahasiswa mengenai ke-

tidak-cocokan seorang dengan orang lain dalam kelompok dengan berbagai

alasan. Karena program MBA/MM umumnya program multi semester, maka

Page 19: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

19

biasanya pada semester pertama para mahasiswa diwajibkan untuk tidak pindah

kelompok. Ada alasan kuat mengapa hal ini dilakukan. Dalam hidup

berorganisasi, seseorang juga tidak bebas memilih anggota kelompoknya.

Seorang tidak bebas memilih siapa yang menjadi atasan, kolega (peer) bahkan

bawahan sekalipun. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang harus diterima

seseorang sebagai given dalam dunia nyata. Setelah semester pertama mereka

bebas untuk membentuk kelompok sendiri dengan pengetahuan pengelola

sekolah yang tetap harus memperhatikan prinsip keberagaman anggota

kelompok. Namun demikian, berdasarkan pengalaman penulis, di program MBA

IPMI banyak kelompok yang dapat bertahan utuh dari awal sampai akhir

program pendidikan mereka.

Lokasi. Tempat pertemuan kelompok, seperti juga waktu dan lama

pertemuan, diserahkan kepada para mahasiswa. Berbagai sekolah bisnis yang

menggunakan Metode Kasus secara penuh –seperti Harvard, Ivey (Western

Ontario), IPMI- umumnya disediakan ruang khusus untuk pertemuan kelompok.

Di IPMI bahkan luas seluruh ruangan yang disediakan untuk

pertemuan kelompok bahkan melebihi luas ruang-ruang kelas yang ada. Di

berbagai sekolah lain, diskusi kelompok dilakukan di ruang kantin maupun

ruang kelas dan beberapa ruang kecil yang ada.

Fasilitas. Bila disediakan ruang khusus untuk pertemuan

kelompok, maka disediakan fasilitas seperti papan tulis, komputer, akses

internet, meja diskusi dan kursi. Kecuali itu, di IPMI disediakan fasilitas minum

seperti air putih, teh, dan kopi bagi para mahasiswanya.

Norma Kelompok Belajar

Walaupun merupakan kelompok yang tidak terikat secara ketat,

perlu juga dipikirkan norma kelompok yang hendaknya dipatuhi setiap anggota

seperti:

1. Kehadiran dan Kesiapan

Kelompok belajar akan berfungsi seperti yang diharapkan bila setiap

anggotanya selalu hadir tepat waktu dengan persiapan memadai. Karena

kelompok ini bersifat tidak mengikat, maka setiap anggota kelompok

Page 20: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

20

harus memainkan peran pimpinan untuk melakukan enforcement kepada

anggota yang tidak disiplin.

2. Partisipasi

Hal lain yang juga perlu ditekankan adalah keharusan berpartisipasi aktif

bagi setiap anggota kelompok. Tanpa ini, maka proses pembelajaran

dalam kelompok belajar tidak akan optimal. Perlu ditekankan bahwa tidak

ada pernyataan atau pertanyaan yang bodoh. Artinya, para anggota

kelompok harus bersikap untuk mau mendengar pendapat atau

pertanyaan apapun yang diajukan anggota kelompok. Dalam kelompok

belajar, setiap anggota diberikan kebebasan untuk menyatakan

pendapatnya. Tentu bila seorang mempunyai kecenderungan untuk

menghabiskan waktu belajar kelompok secara sia-sia, para anggota

lainnya berkewajiban untuk menertibkannya.

3. Pimpinan

Sebenarnya tidak diperlukan adanya seorang pimpinan formal dalam

kelompok belajar. Namun demikian, berdasarkan pengalaman penulis, di

Indonesia di mana ada kelompok selalu saja diperlukan seorang

pimpinan.

Agar terjadi proses belajar sebagai pemimpin yang merata, kepemimpinan

kelompok dapat dirotasi setiap semester atau setiap bulan tergantung

kebutuhan. Dengan demikian, ada kesempatan menjadi pemimpin bagi

setiap dan semua anggota. Para mahasiswa dapat mempraktekkan

kepemimpinan dalam kelompok. Fungsi kepemimpinan ini hanya terbatas

untuk keperluan internal kelompok. Dalam diskusi kelas nantinya, setiap

anggota kelompok mempunyai kedudukan yang sama. Mereka tidak

terikat pada apa yang dibahas atau disepakati dalam kelompok.

4. Konsensus

Tidak dibutuhkan adanya konsensus atas setiap studi kasus yang dibahas

dalam kelompok belajar. Bila terjadi perbedaan pendapat, hal ini harus

dibiarkan terjadi. Setiap anggota kelompok berhak untuk mempunyai

pandangan dan pendapatnya sendiri. Kekecualian dapat dibuat pada hal-

Page 21: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

21

hal yang membutuhkan pendapat kelompok seperti pada tugas presentasi

atau paper kelompok.

5. Limit Waktu

Seperti juga dalam kehidupan berorganisasi di dunia kerja nyata, maka

waktu selalu merupakan sesuatu yang dianggap kurang. Namun demikian,

kelompok belajar harus berusaha untuk mentaati waktu yang telah

disepakati bersama. Dalam banyak diskusi kasus dalam kelompok belajar,

selalu dirasakan kurangnya waktu. Para mahasiswa harus belajar untuk

menyudahi tugas dalam batas waktu yang ditentukan. Ini juga merupakan

realita dalam dunia kerja nyata (perusahaan) di mana para manajer selalu

merasa kurangnya waktu. Namun, para manajer harus membuat

keputusan dan memenuhi berbagai tenggat-waktu yang dituntut

organisasi.

Proses Kelompok Belajar

Apa yang terjadi dalam kelompok belajar?

Mengingat keterbatasan waktu untuk kelompok belajar, maka

diskusi yang dilakukan dalam tahapan ini hendaknya dibatasi untuk hal-hal

berikut:

1. Isu atau Masalah Utama

Perlu dibahas pandangan setiap anggota kelompok mengenai apa saja isu

atau masalah utama studi kasus yang dibahas kelompok belajar. Satu-

satunya konsensus yang harus dicapai adalah mengenai apa yang menjadi

isu atau masalah utama dalam kasus. Sedangkan mengenai solusi atas isu

atau masalah tersebut tidak perlu dicapai konsensus. Biarkan setiap

anggota mempunyai pendapatnya sendiri mengenai solusi tersebut.

Ini merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran bagi para

mahasiswa.

2. Analisis dan Solusi

Para anggota kelompok membahas analisis mereka masing-masing dan

solusi atas masalah dalam kasus. Pertukaran pendapat dilakukan untuk

memperjelas posisi masing-masing. Di sini setiap anggota kelompok

Page 22: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

22

mempertahankan pandangan dan posisi masing-masing dan berusaha

meyakinkan anggota lainnya.

Kemampuan interpersonal dan komunikasi dibentuk dalam proses

pertukaran pendapat ini.

Dalam tahap ini biasanya terjadi debat seru karena munculnya berbagai

sudut pandang dalam melihat isu atau masalah dalam sebuah studi kasus.

3. Kesulitan-kesulitan

Seringkali data atau informasi dalam studi kasus sulit ditafsirkan. Diskusi

kelompok dimaksud untuk membantu memperjelas kesulitan yang

dihadapi anggota kelompok dalam membaca atau menafsirkan informasi

yang diberikan dalam studi kasus.

4. Antisipasi Diskusi Kelas

Diskusi kelompok juga dapat digunakan untuk mengantisipasi diskusi

yang akan terjadi nanti dalam kelas. Lewat diskusi kelompok, para

anggota kelompok membahas semua pertanyaan-untuk-diskusi yang

diberikan oleh dosen. Ini akan membantu para mahasiwa mengantisipasi

diskusi kelas.

Masalah Kelompok Belajar dan Cara Mengatasinya

Pendapat Sigmund Freud benar sekali bahwa kelompok dapat

menghasilkan yang terbaik dan yang terburuk. Yang terbaik yang dapat terjadi

adalah bahwa kelompok dapat menghasilkan lebih banyak, lebih kreatif, dan

lebih banyak informasi. Tetapi yang terburuk dari kelompok adalah pemborosan

waktu secara sia-sia, dan menjadi arena bagi konflik interpersonal.

Berbagai masalah dapat timbul dalam suatu kelompok belajar.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, masalah tersebut berkisar

pada:

1. Mismanajemen Waktu

Diskusi kelompok seringkali menghabiskan waktu tidak sedikit. Kelompok

belajar tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan limit dan

berpegang pada waktu yang telah ditentukan bersama. Bila sebuah

pertemuan kelompok membutuhkan waktu satu jam untuk setiap studi

kasus, maka dalam keseluruhan program MBA/MM dihabiskan waktu

Page 23: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

23

empat ratusan sampai enam ratusan jam.

Pemborosan waktu dapat terjadi ketika kelompok membahas fakta yang

sebenarnya sudah jelas sekali dan tidak membutuhkan diskusi.

Bisa terjadi debat bertele-tele dan tidak produktif.

2. Kurang Persiapan

Masalah umum yang kerapkali terjadi adalah kurangnya persiapan para

anggota kelompok. Masalah ini terjadi pada program yang

diselenggarakan sore/malam hari setelah jam kerja. Ketiadaan waktu

tidak memungkinkan terjadinya proses belajar kelompok. Kalaupun

terjadi, para mahasiswa datang dengan persiapan amat minim. Akibat

kurangnya persiapan adalah mutu proses belajar yang dicapaipun kurang

optimal. Kurangnya persiapan seorang anggota juga dapat menimbulkan

frustrasi bagi anggota kelompok lainnya. Mereka merasa dirugikan karena

adanya parasit dalam kelompok.

3. Masalah Interpersonal

Kelompok belajar yang terdiri mahasiswa dengan beragam latarbelakang

(pendidikan, pengalaman, dan lain-lain) merupakan sumber yang dapat

menimbulkan masalah.

Berbagai masalah interpersonal dapat terjadi yang mempengaruhi kinerja

kelompok belajar secara keseluruhan seperti (a) apatisme sebagian

anggota kelompok, (b) penyerangan seorang anggota oleh anggota lain,

dan (c) pertengkaran tiada henti, (d) dominasi oleh seorang anggota

kelompok, dan (e) membawa kelompok keluar dari pembahasan kasus.

4. Kurangnya Komitmen

Komitmen para mahasiswa anggota kelompok belajar merupakan conditio

sine qua non, syarat mutlak bagi keberhasilan upaya berkelompok.

Kurangnya komitmen para anggota kelompok dapat menyebabkan tidak

berfungsinya proses belajar dalam kelompok.

Komitmen yang wajib dimiliki semua mahasiswa adalah komitmen waktu

untuk hadir dalam kelompok belajar dan untuk memberikan kontribusi

bagi proses belajar kelompok.

Ada beberapa cara untuk mengatasi hal-hal di atas:

Page 24: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

24

1. Dari waktu-ke-waktu, proses belajar dalam kelompok perlu dibicarakan

kembali. Ini perlu agar berbagai ketidak-puasan dengan proses yang

terjadi dapat ditangani sebelum berlarut-larut.

2. Diskusikan kembali norma kelompok belajar.

Tentukan norma belajar yang baik dan ditaati oleh semua anggota

kelompok belajar. Percuma membuat norma yang muluk-muluk –seperti

kebiasaan kita di Indonesia- namun kita tidak bisa menjalaninya. Tentu

perlu ditegakkan norma-norma yang mencerminkan nilai-nilai unggul

universal seperti komitmen, ketepatan waktu, dan sebagainya.

3. Jangan tolerir perilaku tidak baik anggota kelompok. Anda harus berani

untuk tidak menerima perilaku anggota kelompok yang dapat

mengganggu proses belajar kelompok. Suarakan ketidak-senangan Anda

kepada anggota kelompok lainnya.

4. Jangan berusaha untuk menanggung sendiri kinerja kelompok Anda.

Tanggungjawab itu harus berada pada setiap anggota kelompok.

5. Anda harus mempunyai sikap terbuka dan dapat menerima pandangan

orang lain.

6. Cari nasihat dari luar bila Anda menemui jalan buntu: teman lain atau

bahkan dosen atau pimpinan sekolah.

7. Jangan segan untuk meminta seorang anggota kelompok untuk

meninggalkan kelompok bila sudah tidak bisa memperbaiki diri atau

sudah tidak cocok lagi dengan anggota kelompok lainnya.

Diskusi Kelas

Diskusi kelas yang dipandu dosen merupakan kulminasi proses

belajar dalam Metode Kasus. Kalau dalam dua tahapan pertama –belajar mandiri

dan belajar dalam kelompok- mahasiswa belajar sendiri dan belajar bersama

sesama mahasiswa dalam kelompok belajar, maka dalam diskusi kelas ada peran

dosen yang memfasilitasi diskusi bersama seluruh mahasiswa dari berbagai

kelompok belajar lainnya.

Page 25: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

25

Dalam Bab 7 secara terpisah dibahas proses yang terjadi dalam

diskusi kelas dan peran dosen dalam diskusi kelas tersebut. Dalam bagian ini

hanya akan dibahas apa yang terjadi dalam diskusi kelas dipandang dari sudut

mahasiswa.

Proses Diskusi kelas

Walaupun diskusi kelas mempunyai beragam variasi, namun ada

benang merah dari sebuah diskusi kelas yang baik. Proses yang umum terjadi

dalam diskusi kelas adalah sebagai berikut:

1. Sebelum Kelas Mulai

Umumnya mahasiswa saling bercengkerama dengan sesamanya. Pada

kesempatan ini mereka dapat saja menyinggung isu kasus ataupun

masalah lain yang sedang hangat terjadi dalam masyarakat. Hal ini

terjadi beberapa menit sebelum kelas dimulai.

2. Introduksi

Sebelum sampai pada pembahasan kasus, biasanya dosen memulai

kelas dengan memberikan ucapan selamat datang (terutama bila

merupakan sesi pertama), memberitahukan pengumuman (ujian,

penugasan, libur, dan lain-lain), memberikan ucapan selamat hari raya

(kalau ada) Galungan, Idul Fitri, Natal, Waisak, dan lain-lain,

meninjau (review) sesi lalu -terutama bila studi kasus yang akan

dibahas berhubungan dengan studi-kasus studi-kasus sebelumnya-,

ataupun lelucon ringan untuk untuk „mencairkan‟ suasana kelas.

3. Diskusi Kasus

Setelah melakukan introduksi singkat dan santai, baru dimulai

pembahasan studi kasus. Pembahasan sebuah studi kasus umumnya

mempunyai urutan sebagai berikut:

a. Permulaan

Banyak dosen yang memulai diskusi kasus dengan mengajukan

pertanyaan seperti:

i. “Bila anda adalah Mr X (tokoh utama dalam kasus),

apakah yang akan anda lakukan?”

Page 26: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

26

ii. “Sependapatkah anda dengan Mr X (tokoh utama dalam

kasus)?”

iii. “Apakah penilaian anda terhadap keputusan Mr X (tokoh

utama dalam kasus)?”

iv. “Apakah kecenderungan industri Y akan berlanjut seperti

yang telah terjadi selama ini?”

Setelah pertanyaan tersebut di atas dijawab mahasiswa,

biasanya dosen melanjutkan dengan pertanyaan “Mengapa anda

berpendapat demikian”. Penulis selalu mengajukan perrtanyaan

“mengapa” ini kepada para mahasiswa. Para mahasiswa

biasanya mengajukan beragam jawaban yang menjadi bahan

diskusi lanjutan.

b. Identifikasi Isu

Setelah diskusi permulaan, diskusi berlanjut membahas isu

yang terdapat dalam kasus: enjadi isu mendesak (immediate

issue) dan isu mendasar (basic issue).

Contoh isu mendesak misalnya adalah merosotnya laba

perusahaan. Sedangkan isu mendasarnya adalah penyebab

merosotnya laba seperti ketidakmampuan perusahaan untuk

menawarkan produk yang mampu bersaing di pasar atau

membengkaknya biaya perusahaan.

c. Analisis Data Kasus

Sebagai konsekuensi logis identifikasi isu maka diskusi pun

memasuki tahapan analisis data yang terdapat dalam studi

kasus yang tengah dibahas. Dalam tahapan diskusi ini para

mahasiswa diharapkan untuk menyajikan data atau informasi

kasus untuk menunjang pendapatnya pada saat

mengidentifikasi isu. Mahasiswa menggunakan data dalam

kasus untuk membangun argumen sebab-akibat dari isu yang

dihadapi dalam kasus.

Pada tahapan ini, berbagai perangkat analisis digunakan. Dalam

kasus merosotnya laba perusahaan karena ketidakmampuan

Page 27: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

27

menghasilkan produk yang bersaing di pasar dapat digunakan

misalnya kerangka analisis balanced scorecard.23 Produk yang

tidak bersaing karena lemahnya program riset dan

pengembangan yang disebabkan karena berbagai proses bisnis

perusahaan yang tidak mendukung.

d. Alternatif dan Keputusan

Pada kasus yang menyangkut pembuatan keputusan, dalam

tahapan ini terjadi diskusi mengenai berbagai alternatif yang

dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam kasus.

Dalam proses memilih alternatif, para mahasiswa akan

berdiskusi mengembangkan kriteria keputusan.

e. Implementasi

Bila implementasi merupakan sasaran belajar (learning

objective) sebuah kasus, maka harus disediakan waktu untuk

membahas rencana aksi (action plan) untuk melaksanakan

keputusan yang diambil. Dalam kasus yang tidak menekankan

implementasi, bila waktu memungkinkan secara sekilas dibahas

rencana implementasi.

4. Penutup

Tahapan akhir dalam diskusi kelas ini merupakan resume diskusi yang

telah berlangsung selama ini dalam kelas.

Dalam tahapan ini dapat terjadi beberapa hal:

a. Lessons Learned

Ini merupakan favorit penulis. Setelah berdiskusi selama

hampir 90 menit, penulis biasanya menanyakan kepada para

mahasiswa apa saja pelajaran yang mereka peroleh dalam

membahas studi kasus tersebut. Mengingat belajar individual

sifatnya, maka dapat terjadi perbedaan besar dari komentar

para mahasiswa mengenai apa yang telah mereka pelajari dari

diskusi studi kasus.

23

Kaplan, R. S., & Norton, D.P. (1996). The Balanced Scorecard: Translating Strategy Into

Action. Boston, MA: Harvard Business School Press.

Page 28: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

28

b. Framework

Bila penting sekali, dosen dapat meringkas framework penting

yang terdapat dalam studi kasus yang baru dibahas.

c. What Really Happened

Kadang-kadang, dosen memberitahukan mahasiswa apa yang

dilakukan oleh Mr X dalam kasus. Namun perlu diingat bahwa

yang dilakukan Mr X bukanlah merupakan the single best

answer, melainkan salah satu alternatif saja.

Biasanya bagian ini merupakan bagian yang dinantikan para

mahasiswa. Mereka ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh

manajer dalam studi kasus yang baru saja mereka bahas.

Partisipasi Efektif

Agar terjadi pembelajaran optimal, maka setiap mahasiswa harus

berpartisipasi secara efektif dalam sebanyak mungkin diskusi kelas. Lewat

kontribusi para mahasiswa, maka proses pembelajaran akan optimal.

Berpartisipasi secara efektif dalam diskusi kelas bukan hanya

memberikan kontribusi dalam diskusi, tetapi juga mendengar secara aktif dan

melakukan refleksi terhadap setiap percakapan dalam diskusi.

Beberapa hal yang dapat dilakukan seorang mahasiswa dalam

berpartisipasi secara efektif adalah:

1. Kontribusi Isi

Dari proses belajar mandiri dan belajar kelompok seorang mahasiswa

menguasai isi studi kasus. Kontribusi isi berupa pernyataan fakta yang

membedakannya dengan opini –bila opini tidak konsisten dengan fakta-.

Mahasiswa dapat memberikan kontribusi isi melalui berbagai analisis,

perhitungan, dan asumsi yang masuk akal termasuk dalam kategori

kontribusi isi.

2. Kontribusi Proses

Dalam melakukan kontribusi proses, seorang mahasiswa dapat

melakukan hal hal seperti: mengajukan pertanyaan untuk memperjelas

Page 29: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

29

suatu pernyataan, usul agar bagian tertentu dapat didiskusikan lebih

mendalam, menghubungkan berbagai bagian diskusi sehingga

membentuk gambaran lebih lengkap, atau membuat ringkasan atas hasil

diskusi yang terjadi.

3. Mengangkat Tangan

Umumnya mahasiswa diharapkan untuk mengangkat tangan mereka bila

ingin berpartisipasi. Hal ini terutama dilakukan bila anda merasa bahwa

anda harus “turun tangan” pada saat tertentu baik karena gagasan anda

maupun karena diskusi yang telah melenceng dari tujuan. Namun

demikian, bisa saja dosen meminta anda berpartisipasi tanpa tanda

angkat tangan anda. Anda harus siap untuk menghadapi situasi ini.

4. Kuantitas versus Kualitas

Banyak mahasiswa beranggapan bahwa berpartisipasi efektif adalah

berpartisipasi sesering mungkin. Anggapan ini jelas keliru karena

partisipasi efektif tidak ditentukan oleh seringnya berkomentar namun

pada kualitas komentar yang diberikan dalam diskusi kelas.

Dalam diskusi kelas yang bervariasi antara 75-90 menit, berdasarkan

pengamatan penulis –dari kelas yang melebihi 30 mahasiswa- paling

hanya 20 sampai 25 orang saja yang berbicara dalam diskusi. Karena itu

kualitas kontribusi jauh lebih penting daripada frekuensi atau kuantitas

kontribusi.

5. Benar dan Salah

Salah satu penghalang partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas adalah

ketidakpastiannya akan yang benar dan yang salah. Mahasiswa kuatir

kalau-kalau kontribusinya ternyata salah. Kita harus menerima kenyataan

bahwa kita tidak dapat benar setiap kali melakukan kontribusi. Menurut

penulis, kita mungkin mendapat lebih banyak belajar dari kesalahan.

Menarik sekali apa yang dikatakan Roland Christensen dari Harvard “In

the discussion process, “wrong” can be more helpful than “right”; an

Page 30: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

30

obtuse statement can spark a charged, enlightening debate that

straightforward analysis could never provide”24.

Jadi, seorang mahasiswa tidak perlu kuatir berbuat “salah” dalam kelas.

Sebaliknya ia harus melihat diskusi kelas sebagai laboratorium dengan

risiko kecil agar ia dapat menghindari kesalahan dalam kehidupan

berorganisasi yang sebenarnya dalam dunia nyata.

Partisipasi Inefektif

Kalau bagian di atas memberikan beberapa petunjuk agar

mahasiswa dapat berpartisipasi secara efektif dalam diskusi kelas, maka dalam

bagian ini dibahas beberapa hal mengenai partisipasi inefektif:

1. Pengulangan Fakta

Seringkali mahasiswa masuk perangkap pengulangan fakta kasus yang

tidak perlu dilakukannya. Hal ini paling sering dilakukan mahasiswa.

Pengulangan fakta hanya dilakukan dalam kaitan untuk mendukung

argumentasi.

2. Pengulangan Komentar Mahasiswa Lain

Hal ini juga sering terjadi. Pengulangan boleh dilakukan tetapi dengan

memberikan alasan berbeda dengan yang sudah dikemukakan

sebelumnya. Pendapat kita dapat saja sudah didahului orang lain dalam

diskusi kelas. Namun, merupakan kewajiban kita untuk memberikan

perspektif lain yang mendukung pernyataan yang sudah disebutkan

mahasiswa lain. Bila sekedar pengulangan pendapat saja, maka partisipasi

menjadi tidak efektif.

3. Asumsi Tidak Realistis

Penggunaan asumsi yang tidak realistis juga merupakan partisipasi yang

tidak produktif. Dalam membuat asumsi, seorang mahasiswa tentu saja

dapat kreatif. Namun hal tersebut harus dilakukan sejauh masih dalam

batas-batas akal sehat.

24

Christensen, C. R., Garvin, D.A., & Sweet, A. (1991). Education for Judgment: The Artistry

of Discussion Leadership. Boston, MA: Harvard Business School Press, halaman 106

Page 31: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

31

Membuat asumsi, misalnya, bahwa dalam setahun pemerintahan baru

akan mampu membalik keadaan ekonomi dari buruk menjadi istimewa

adalah sesuatu yang tidak realistis.

4. Penyimpangan

Membuat komentar yang menyimpang dan tidak terkait dengan diskusi

kasus adalah sesuatu yang tidak efektif. Bukan hanya hal ini akan

menghabiskan waktu diskusi yang memang sudah terbatas, tetapi

penyimpangan dapat menimbulkan frustrasi para mahasiswa dalam kelas

sehingga dapat merusak suasana. Mahasiswa yang mempunyai

pengalaman relatif banyak kerapkali merujuk kepada pengalamannya.

Namun bila rujukan tersebut “tidak nyambung” dengan diskusi kelas,

maka hal itu tidak efektif.

Refleksi Setelah Diskusi Kelas

Setelah diskusi kelas berakhir, masih ada lagi proses belajar yang

harus dilakukan seorang mahasiswa secara pribadi yaitu melakukan refleksi atas

diskusi kelas yang baru usai.

Refleksi adalah sebuah proses mental yang menantang para

mahasiswa untuk berpikir secara kritis dalam menguji informasi, menyoal

keabsahan informasi tersebut, untuk kemudian membuat kesimpulan

berdasarkan hal tersebut. Dalam refleksi, seorang mahasiswa menghubungkan

apa yang baru dialaminya dengan yang pernah dialami sebelumnya. Dalam

proses ini mahasiswa akan mencari kesamaan, perbedaan, dan kesaling-terkaitan

melebihi apa yang nampak.25 Tanpa refleksi, maka pembelajaran berakhir tanpa

reorganisasi pemikiran yang mestinya terjadi pada pembelajaran yang mendalam

(deep learning). Refleksi memungkinkan seorang mahasiswa menghadapi

pembelejaran yang lebih baik di masa yang akan datang. Karena belajar adalah

25

Dewey, J. (1933). How We Think: A Restatement of the Relation of Reflective Thinking to the Educative

Process. Boston, MA: DC Heath. Dewey di anggap penggagas refleksi dalam abad modern. Sebelumnya

tentu saja para filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan Confucius sudah mengutarakannya.

Page 32: Bab 6 Belajar Dengan Studi Kasus

32

proses tanpa akhir, maka refleksi mempunyai peran penting dalam

meningkatkan kualitas pembelajaran. Refleksi mengenai apa yang baru saja

didiskusikan dalam kelas merupakan hal penting untuk meingkatkan

pembelajaran. Bahkan ada yang menganggapnya esensial.26

Apa saja yang baru dipelajari dari diskusi kelas yang baru saja usai?

Dari segi isi yang anda pelajari? Apa bedanya dengan pengalaman saya selama

ini? Apa saja yang anda lakukan dan bagaimana anda menilai itu? Bagaimana

anda menilai efektifitas diskusi kelompok? Apa saja dari diskusi kelas tadi yang

„membuka‟ mata Anda? Penemuan (discovery) apa saja yang terjadi dalam

diskusi kelas yang tidak anda dapati ketika belajar mandiri dan diskusi

kelompok?

Seperti dikatakan Abel, diskusi sebuah studi kasus merupakan

perjalanan penemuan (voyage of discovery). Tentunya penemuan ini bersifat

sangat pribadi. Penemuan Anda tidaklah harus sama dengan penemuan

mahasiswa lainnya. Setiap pembelajaran bersifat pribadi.

26

Rosier, G. Improving the Case Method: Incorporating Reflection after the Discussion. Sydney,

NSW: The University of Western Sydney.