bab 5 hasil dan pembahasan 5.1. pengaruh toksisitas ...repository.ub.ac.id/7466/6/6. bab 5 hasil dan...
TRANSCRIPT
-
35
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Toksisitas Rhodamin B dan Sakarin terhadap Gambaran
Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Pengamatan gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus)
pada setiap kelompok dilakukan dengan pengamatan langsung dibawah
mikroskop binokuler Olympus BX51 dan dijelaskan secara desriptif kualitatif.
Bagian hepar tikus putih yang diamati menggunakan perbesaran 400x yaitu
hepatosit, vena sentralis, dan segitiga portalis yang meliputi vena porta
hepatika, cabang arteri hepatika dan duktus biliaris.
Lobulus hepar dipisahkan oleh jaringan ikat dan pembuluh darah.
Pembuluh darah pada hepar terdapat pada sudut-sudut lobulus, membentuk
bangunan yang disebut trigonum Kiernan atau area portal. Pada area portal
dapar ditemukan cabang arteri hepatika, cabang vena porta, pembuluh limfe,
dan duktus billiaris. Struktur lobulus hepar pada potongan melintang akan
terlihat sebagai struktur yang berderet dan radier dengan pusatnya yaitu vena
sentralis, dipisahkan oleh sebuah celah atau sinusoid hepar. Pada sinusoid
terdapat sel Kupffer jika dilihat secara mikroskopik. Selain itu, juga terdapat
sel-sel hepar yang disebut sebagai hepatosit (Nurzali, 2013).
Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) pada
kelompok kontrol negatif (K-) menunjukkan keadaan normal yang
ditunjukkan dengan adanya hepatosit dengan inti berada di tengah dan batas
selnya terlihat jelas. Pengamatan histopatologi dilakukan pada dua lokasi
yaitu daerah vena sentralis dan segitiga portalis. Hepatosit tersusun dan
-
36
memusat pada vena sentralis dan diantara hepatosit tersebut terdapat sinusoid
yang tampak putih dengan sel kupffer yang tampak lebih gelap dibandingkan
dengan hepatosit (Gambar 5.1). Menurut Nurzali (2013), sel kupffer
memiliki fungsi untuk memfagosit eritrosit tua, hemoglobin, dan mensekresi
sitokin. Pada daerah segitiga portalis juga tampak hepatosit tersusun rapi
memusat pada vena porta, serta susunan pembuluh limfe dan duktus biliaris
tidak mengalami perubahan (Gambar 5.1). Semua komponen penyusun
hepar pada kelompok kontrol negatif (K-) tidak terdapat perubahan (Gambar
5.1). Dengan demikian, gambaran histopatologi hepar tersebut digunakan
sebagai acuan untuk membandingkan kondisi histopatologi hepar pada
kelompok perlakuan dengan pemberian rhodamin B dan sakarin.
Gambar 5.1 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok
Kontrol Negatif (K-) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid; ( ) Sel Kupffer.
Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) kelompok
perlakuan 1 (P1) yaitu tikus yang diinduksi rhodamin B dengan dosis 22,5
mg/kgBB menunjukkan adanya abnormalitas dibandingkan dengan kelompok
kontrol negatif. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya nekrosis koagulasi
jaringan hepar di daerah vena sentralis (Gambar 5.2). Nekrosis koagulasi
Vena sentralis
Vena porta
Duktus biliaris
Cabang arteri hepatika
-
37
ditandai dengan struktur luar sel terlihat utuh, tetapi inti sel mengalami
perubahan yaitu piknotik (menghilang) serta sitoplasma terlihat eosinofilik
karena mengalami asidifikasi. Selain daerah vena sentralis, daerah segitiga
portalis juga diamati dan menunjukkan adanya perubahan pada sel hepatosit.
Hepatosit pada daerah vena sentralis dan segitiga portalis mengalami nekrosis
pada tahap karyoreksis dimana inti sel memudar dan tampak fragmen
kromatin serta pada tahap karyolisis yang ditandai dengan inti sel yang tidak
terwarnai (Gambar 5.2). Sel kupffer tampak jelas berada di sinusoid dengan
inti yang lebih gelap.
Gambar 5.2 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok
Perlakuan 1 (P1) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid; ( ) Sel Kupffer; ( ) Nekrosis Koagulasi; ( )Karyoreksis;
( ) Karyolisis.
Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) kelompok
perlakuan 2 (P2) merupakan tikus yang diinduksi sakarin dengan dosis
157,77 mg/kgBB menunjukkan perubahan yang tidak signifikan. Hal tersebut
ditandai dengan susunan hepatosit masih terlihat normal mengarah pada vena
sentralis dan vena portalis. Hepatosit terlihat normal dengan inti berada di
tengah dan batas sel terlihat jelas. Kelainan yang terjadi yaitu terlihat adanya
eritrosit berwarna kemerahan yang menandakan adanya kongesti pada hepar.
Vena sentralis Vena porta
Cabang arteri hepatika
Duktus biliaris
-
38
Selain itu, terjadi juga hiperplasia duktus biliaris yang ditandai dengan
bertambahnya jumlah sel epitel duktus biliaris. Sel kupffer terlihat jelas
berada pada sinusoid dengan inti lebih gelap (Gambar 5.3).
Gambar 5.3 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok Perlakuan 2 (P2) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid;
( ) Sel Kupffer; ( ) Kongesti; ( ) Hiperplasia duktus biliaris.
Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) kelompok
perlakuan 3 (P3) merupakan tikus yang diinduksi kombinasi rhodamin B
dosis 22,5 mg/kgBB dan sakarin dosis 157,77 mg/kgBB menunjukkan adanya
abnormalitas yang terjadi pada daerah vena sentralis dan segitiga portalis. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya infiltrasi sel radang limfosit dengan inti
gelap berada diantara hepatosit pada daerah vena sentralis maupun segitiga
portalis. Duktus biliaris mengalami hiperplasia ditandai dengan bertambahnya
jumlah sel epitel. Beberapa hepatosit mengalami nekrosis pada tahap
karyolisis yang ditandai dengan tidak terwarnainya inti sel serta tahap
karyoreksis yang ditandai dengan inti sel memudar dan terdapat benang
kromatin. Sinusoid tampak putih jelas dengan adanya sel kupffer yang berinti
gelap (Gambar 5.4).
Vena sentralis
Vena porta
Cabang arteri hepatika
Duktus biliaris
-
39
Gambar 5.4 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok Perlakuan 3 (P3) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid;
( ) Sel Kupffer; ( ) Kariolisis; ( )Karyoreksis;
( ) Hiperplasia duktus biliaris; ( ) Infiltrasi sel radang.
Tabel 5.1 Perubahan Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus
norvegicus)
Kelompok Kongesti Hiperplasia
Duktus
Biliaris
Infiltrasi
sel
radang
Nekrosis
karyorek
sis
kariolisis
K- (Kontrol
Negatif)
- - - - -
P1 (Rhodamin B
22,5 mg/kgBB)
- - -
P2 (Sakarin
157,77 mg/kgBB
- - -
P3 (Rhodamin B
22,5 mg/kgBB
dan sakarin
157,77 mg/kgBB)
-
Keterangan:
- : tidak ada perubahan : ada perubahan
Hepar merupakan organ yang berperan dalam metabolisme zat xenobiotik.
Seluruh zat xenobiotik yang berasal dari saluran pencernaan akan melalui
vena porta hepatika dan terjadi metabolisme di hepar (Riczek, et al., 2011).
Rhodamin B dan sakarin termasuk zat xenobiotik karena tidak dibutuhkan
oleh tubuh. Oleh karena itu, rhodamin B dan sakarin akan mengalami
Vena sentralis
Vena porta
Cabang arteri hepatika
Duktus biliaris
-
40
metabolisme di hepar melalui dua tahap. Menurut Sobinoff, et al. (2012),
tahap I metabolisme yaitu tahap oksidasi dimana zat xenobiotik yang masuk
akan dikatalis oleh sekelompok enzim monooksigenase/Sitokrom P450 dan
tahap II yaitu senyawa hasil dari tahap I diubah menjadi berbagai metabolit
polar yang spesifik.
Rhodamin B (tetraethyl-3’,6;-diamninofluran) masuk ke dalam tubuh
sebagai zat xenobiotik melalui proses ingesti. Dalam saluran digesti rhodamin
B diserap oleh vena mesenterika dan selanjutnya akan melalui vena porta
hepatika untuk dimetabolisme pada hepar. Proses metabolisme utama
rhodamin B terjadi pada tahap satu metabolisme. Rhodamin B akan
dimetabolisme melalui fase oksidasi dan hidrolisis dengan bantuan enzim
Cytochrome P450 (CYP). Proses ini disebut dengan de-etilasi, dimana
rhodamin B akan dipecah menjadi 3’,6’-diaminofluoran dan N,N’-diethyl-
3’,6’ diaminofluoran (Webb, et al., 2014). Senyawa tersebut merupakan
senyawa radikal yang dapat beredar melalui pembuluh darah hingga merusak
jaringan tubuh. Metabolisme rhodamin B pada fase ini juga mengaktivasi
senyawa klorin (Cl) dengan bantuan enzim P450 (Lu Yongke & Caderbaum
A, 2008). Klorin (Cl) termasuk senyawa halogen dan radikal dimana senyawa
halogen sangat berbahaya karena memiliki reaktivitas yang tinggi untuk
mencapai kestabilan dalam tubuh dengan menyerang molekul terdekat dan
mencari pasangan elektron sehingga akan merusak bentuk molekul tersebut.
Aktivitas radikal dari senyawa klorin tersebut yang akan menimbulkan efek
toksik dan menyebabkan kerusakan sel tubuh karena sel-sel makromolekul
-
41
seperti protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat hancur (Manurung,
2011).
Sakarin merupakan zat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker
setelah tubuh terpapar 5-10 tahun. Sakarin juga termasuk zat xenobiotik yang
dapat menjadi sumber ROS (Reactive Oxygen Species). Dalam proses
metabolisme fase satu sakarin membutuhkan lebih banyak molekul O2 untuk
proses oksidasi. Proses tersebut yang akhirnya akan membentuk senyawa
radikal superoxide (O2-) dan dapat memicu stress oksidatif. Menurut
Sobinoff, et al. (2012) xenobiotik yang dimetabolisme oleh sitokrom P450
akan menghasilkan superoxide (O2-). Jika superoxide bereaksi dengan SOD
maka akan membentuk H2O2, tetapi jika bereaksi dengan Fe maka akan
terbentuk hidroksi radikal. Hidroksi radikal inilah yang dapat menyebabkan
stress oksidatif. Amin and Almuzafar (2015), menambahkan bahwa
pembentukan radikal bebas (O2-) dari metabolisme sakarin dapat
menyebabkan perubahan fungsi hati dan ginjal.
Permatasari (2014), menyebutkan bahwa zat warna rhodamin B dapat
menyebabkan perubahan bentuk dari organisme sel jaringan hepar dari
keadaan normal menjadi patologis. Sel hepar mengalami nekrosis dan
jaringan disekitarnya mengalami disintegrasi. Kerusakan pada jaringan hepar
ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus.
Terhambatnya pasokan energi dalam hepar yang digunakan untuk
memelihara fungsi struktur endoplasmik mengakibatkan penurunan proses
-
42
sintesis protein yang menyebabkan sel hepar tidak mampu mengeluarkan
trigliserida dan mengakibatkan nekrosis.
Nekrosis terlihat pada kelompok perlakuan P1 dan P3. Nekrosis yang
terjadi pada jaringan hepar yaitu nekrosis koagulasi, sedangkan nekrosis pada
hepatosit yaitu pada tahap karyoreksis dan karyolisis. Perubahan
histopatologi yang tampak pada kelompok perlakuan P1 yaitu adanya
nekrosis koagulasi yang ditandai dengan warna sitoplasma lebih eosinofilik.
Sel hepar yang mengalami nekrosis tampak utuh tetapi inti sel mengalami
perubahan. Menurut Zachary (2016), nekrosis koagulasi merupakan respon
awal dari hipoksia, ischemia, maupun cedera karena zat toksik. Nekrosis
koagulasi dapat terjadi dari proses fagositosis. Cedera awal yang dialami oleh
sel tidak hanya mendenaturasi protein struktural, tetapi juga enzim lisosomal.
Pada keadaan normal enzim lisosomal dapat menyebabkan disintegrasi
proteolitik dari keseluruhan sel, tetapi karena adanya denaturasi tersebut,
disintegrasi proteolitik dari sel terhambat. Namun, degradasi asam nukleat
dari sel tersebut tetap terjadi. Hal tersebut yang menyebabkan tampaknya
perubahan pada inti sel, tetapi struktur luar sel tampak utuh.
Perubahan gambaran histopatologi pada kelompok perlakuan P2
menunjukkan adanya kongesti pada hepar. Terlihat bendungan eritrosit pada
vena sentralis dan vena portalis. Kongesti yaitu pembendungan darah di
dalam pembuluh darah pada suatu regio tertentu. Kongesti merupakan lesi
dualisme yaitu lesi yang menggambarkan gangguan sirkulasi dan dapat
sebagai indikator perbaikan jaringan (Bhadauria, 2012). Sehingga kongesti
-
43
yang terjadi pada kelompok perlakuan P2 ini dapat terjadi sebagai respon
inflamasi yang terjadi akibat zat toksik, serta dapat terjadi karena gangguan
sirkulasi darah ketika dilakukan dislokasi.
Perubahan gambaran histopatologi pada kelompok perlakuan P2 dan P3
menunjukkan adanya hiperplasia pada duktus biliaris. Kerusakan pada duktus
biliaris dapat menyebabkan adanya respon tubuh untuk mempertahankan
keadaan normal sel salah satunya yaitu dengan melakukan hiperplasia sel.
Hiperplasia merupakan kerusakan jaringan organ yang ditandai dengan
pertambahan ukuran organ akibat bertambahnya jumlah sel. Hiperplasia dapat
terjadi karena adanya akumulasi senyawa bersifat toksik, walaupun dengan
konsentrasi rendah namun dengan paparan cukup lama dalam tubuh dapat
menyebabkan kerusakan (Permatasari, 2014). Hiperplasia duktus biliaris
terjadi karena adanya senyawa (3’,6’-diaminofluoran) yang terakumulasi
dalam hepar sehingga menyebabkan proses metabolisme terganggu dan
akhirnya sel duktus biliaris mengalami hiperplasia.
Perubahan histopatologi pada P3 menunjukkan adanya infiltrasi sel
radang. Infiltrasi sel radang terjadi karena respon inflamasi yang terjadi pada
hepar. Senyawa radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme rhodamin B
dan sakarin merangsang makrofag untuk mensekresi sitokin dan kemokin,
dimana kemokin berfungsi untuk merekrut sel inflamator salah satunya sel
radang untuk menuju situs inflamasi. Menurut Cesta (2014), sel radang yang
paling dominan pada toksisitas subkronis yaitu limfosit dan monosit. Sel
-
44
limfosit dapat meningkat saat terjadi paparan terus menerus dan
membutuhkan sistem imun adaptif.
5.2. Pengaruh Toksisitas Rhodamin B dan Sakarin terhadap Ekspresi Tumor
Necrosis Factor Alpha (TNF-α) pada Hepar Tikus Putih (Rattus
norvegicus)
Pengaruh rhodamin B dan sakarin terhadap ekspresi TNF-α pada hepar
dapat diketahui menggunakan pewarnaan imunohistokimia (IHK) pada
preparat histopatologi hepar tikus putih. Karakteristik pewarnaan IHK
menggunakan kromogen berupa DAB (3,3’-diaminobenzidine) yang
merupakan substansi yang menyerap cahaya dan akan membentuk warna
cokelat pada preparat. Preparat yang terwarnai cokelat akan dihitung
persentase (%) warna menggunakan aplikasi Immunoratio.
Ekspresi TNF-α ditunjukkan dengan warna cokelat pada hepar tikus putih
(Rattus norvegicus) menggunakan antibodi TNF-α pada metode
imunohistokimia (IHK) (Gambar 5.5). Warna cokelat yang dihasilkan
merupakan hasil reaksi antara Streptavidin-Horse Radish Peroxidase (SA-
HRP) yang berikatan dengan antibodi sekunder dengan kromogen
Diaminobenzidine (DAB) (Duerr, 2006).
-
45
Gambar 5.5 Ekspresi Tumor Necrosis Faktor-Alpha (TNF-α) pada Gambaran
Imunohistokimia Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Perbesaran 400x
(kiri) dan 1000X (kanan).
-
46
Keterangan:
(1) Tikus kontrol negatif (K-); (2) Tikus perlakuan 1 (P1); (3) Tikus perlakuan 2 (P2); (4) Tikus perlakuan 3 (P3). Tanda panah merah menunjukkan ekspresi TNF-α.
Ekspresi TNF-α pada gambaran preparat IHK hepar tikus putih (Rattus
norvegicus) yang ditunjukkan dengan warna kecoklatan selanjutnya dihitung
presentasenya menggunakan Immunoratio dengan melakukan rataan lima
lapang pandang presentase ekspresi TNF-α pada hepar dengan perbesaran
400X. Gambar preparat IHK juga diambil menggunakan perbesaran 1000X
untuk melihat lebih jelas warna kecoklatan dari ekspresi TNF-α hepar. Data
hasil uji dari Immunoratio selanjutnya dianalisa menggunakan perhitungan
statistika. Analisa statistika menggunakan One Way ANOVA dengan aplikasi
SPSS for Windows 16 dan dilanjutkan dengan uji Tukey α = 0,05 (Lampiran
7).
Tabel 5.2. Ekspresi Tumor Necrosis Faktor-Alpha (TNF-α) Hepar Tikus Putih
(Rattus norvegicus) yang Diinduksi Rhodamin B dan Sakarin
Keterangan: Perbedaan notasi a, b, c menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p
-
47
Ekspresi TNF-α terlihat pada semua kelompok dan tersebar pada sel
hepatosit yang ditunjukan dengan tanda panah merah (Gambar 5.5).
Gambaran preparat IHK pada kelompok tikus kontrol negatif tanpa diberikan
perlakuan ditunjukkan oleh (Gambar 5.5 (1)) menunjukkan adanya ekspresi
TNF-α dengan presentasi paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan
lainnya, yaitu memiliki rata-rata sebesar 31,99±1,09 % (Tabel 5.2). Adanya
ekspresi TNF-α pada kelompok kontrol terjadi karena TNF-α secara normal
terdapat dalam tubuh dalam jumlah relatif sedikit sebagai komponen
imunitas. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) merupakan salah satu
sitokin yang dihasilkan oleh makrofag (sel kupffer) berfungsi untuk
merangsang dan mengaktifkan sistem imun terhadap respon inflamasi,
dimana dalam keadaan normal, antigen yang masuk memicu reaktivitas imun
pada imunitas nonspesifik maupun spesifik (Baratawidjaja, 2004).
Ekspresi TNF-α pada kelompok P1 yang diinduksi rhodamin B dosis 22,5
mg/kgBB ditunjukkan oleh (Gambar 5.5 (2)) memiliki rata-rata presentase
sebesar 66,26±0,95% dan mengalami peningkatan sebanyak 107,1%
dibanding dengan kelompok kontrol negatif (K-). Peningkatan presentase
ekspresi TNF-α pada kelompok P1 terjadi karena adanya inflamasi pada
hepar yang disebabkan oleh rhodamin B sehingga menginduksi produksi
Reactive Oxygen Species (ROS). Menurut BPOM (2005), rhodamin B
mengandung senyawa klorin (Cl) yang sangat reaktif, apabila tertelan
senyawa ini akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara
mengikat senyawa lain. Aktivitas radikal dari senyawa klorin tersebut yang
-
48
dapat meningkatkan produksi ROS. Produksi ROS yang berlebih dapat
menyebabkan aktivasi NF-kB, dimana NF-kB selanjutnya akan berpindah
menuju nukleaus dan menginduksi transkripsi gen diantaranya sitokin
proinflamasi TNF-α yang berperan sebagai indikator terjadinya inflamasi
(Suhartiningsih, dkk., 2012).
Ekspresi TNF-α pada kelompok P2 yang diinduksi sakarin dosis 157,77
mg/kgBB ditunjukkan oleh (Gambar 5.5 (3)) memiliki rata-rata presentase
sebesar 32,92±0,88 % dan mengalami peningkatan sebanyak 2,9% dibanding
dengan kelompok kontrol negatif (K-) (Tabel 5.2). Berdasarkan hasil analisa
statistika tersebut, kelompok (P2) tidak menunjukkan adanya peningkatan
ekspresi TNF-α yang signifikan dibandingkan dengan kelompok (K-) ditandai
dengan hasil notasi yang sama. Hal tersebut disebabkan karena hanya
sebagian kecil dari jumlah sakarin yang dimetabolisme dalam tubuh dan lebih
banyak yang langsung diekskresikan melalui urin, sehingga radikal bebas
yang dihasilkan juga dalam jumlah kecil. Amin & Almuzafar (2015)
menyebutkan bahwa sakarin dapat menyebabkan perubahan fungsi hati dan
ginjal karena dapat membentuk radikal bebas. Sebagian besar sakarin yang
masuk kedalam tubuh dieksresikan melalui urin dalam bentuk utuh dan
sebagian kecil dimetabolisme di hepar. Sakarin dosis tinggi (500 mg/kgBB)
dapat menghasilkan ROS dan peroksidasi lipid. Karena dosis sakarin yang
diberikan pada kelompok (P2) sebesar 157,77 mg/kgBB, sehingga ekspresi
TNF-α tidak menunjukkan hasil yang terlalu signifikan.
-
49
Ekspresi TNF-α pada kelompok P3 yang diinduksi kombinasi rhodamin B
dosis 22,5 mg/kgBB dan sakarin dosis 157,77 mg/kgBB ditunjukkan oleh
(Gambar 5.5 (4)) memiliki rata-rata presentase sebesar 78,89±0,52 % dan
mengalami peningkatan sebanyak 146,6% dibanding dengan kelompok
kontrol negatif (K-) (Tabel 5.2). Peningkatan presentase ekspresi TNF-α
tersebut menunjukkan hasil yang sangat signifikan dan merupakan hasil uji
tertinggi karena merupakan kombinasi dari dua zat xenobiotik. Radikal bebas
yang dihasilkan oleh metabolisme rhodamin B dan sakarin yang merupakan
kombinasi dari dua zat xenobiotik akan bergabung dan bersinergi sehingga
menghasilkan radikal bebas yang lebih banyak. Hal tersebut yang dapat
menyebabkan tingginya ekspresi TNF-α pada kelompok (P3) karena ROS
yang dihasilkan juga semakin meningkat.
Berdasarkan Tabel 5.2, rata-rata ekspresi TNF-α kelompok perlakuan (P1
dan P3) mengalami peningkatan yang signifikan dan memiliki perbedaan
nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (K-). Tetapi pada
kelompok perlakuan (P2) tidak mengalami peningkatan yang signifikan
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (K-). Kelompok P3 yang
merupakan perlakuan dengan induksi kombinasi rhodamin B dosis 22,5
mg/kgBB dan sakarin dosis 157,77 mg/kgBB menunjukkan hasil ekspresi
TNF-α paling tinggi yang membuktikan bahwa kombinasi dengan dosis
tersebut dapat menimbulkan efek toksik yang lebih besar dibandingkan
dengan pemberian rhodamin B atau sakarin saja.