bab 5 hasil dan pembahasan 5.1. pengaruh toksisitas ...repository.ub.ac.id/7466/6/6. bab 5 hasil dan...

15
35 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Toksisitas Rhodamin B dan Sakarin terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pengamatan gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) pada setiap kelompok dilakukan dengan pengamatan langsung dibawah mikroskop binokuler Olympus BX51 dan dijelaskan secara desriptif kualitatif. Bagian hepar tikus putih yang diamati menggunakan perbesaran 400x yaitu hepatosit, vena sentralis, dan segitiga portalis yang meliputi vena porta hepatika, cabang arteri hepatika dan duktus biliaris. Lobulus hepar dipisahkan oleh jaringan ikat dan pembuluh darah. Pembuluh darah pada hepar terdapat pada sudut-sudut lobulus, membentuk bangunan yang disebut trigonum Kiernan atau area portal. Pada area portal dapar ditemukan cabang arteri hepatika, cabang vena porta, pembuluh limfe, dan duktus billiaris. Struktur lobulus hepar pada potongan melintang akan terlihat sebagai struktur yang berderet dan radier dengan pusatnya yaitu vena sentralis, dipisahkan oleh sebuah celah atau sinusoid hepar. Pada sinusoid terdapat sel Kupffer jika dilihat secara mikroskopik. Selain itu, juga terdapat sel-sel hepar yang disebut sebagai hepatosit (Nurzali, 2013). Gambaran histopatologi hepar tikus putih ( Rattus norvegicus) pada kelompok kontrol negatif (K-) menunjukkan keadaan normal yang ditunjukkan dengan adanya hepatosit dengan inti berada di tengah dan batas selnya terlihat jelas. Pengamatan histopatologi dilakukan pada dua lokasi yaitu daerah vena sentralis dan segitiga portalis. Hepatosit tersusun dan

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 35

    BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1. Pengaruh Toksisitas Rhodamin B dan Sakarin terhadap Gambaran

    Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus)

    Pengamatan gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus)

    pada setiap kelompok dilakukan dengan pengamatan langsung dibawah

    mikroskop binokuler Olympus BX51 dan dijelaskan secara desriptif kualitatif.

    Bagian hepar tikus putih yang diamati menggunakan perbesaran 400x yaitu

    hepatosit, vena sentralis, dan segitiga portalis yang meliputi vena porta

    hepatika, cabang arteri hepatika dan duktus biliaris.

    Lobulus hepar dipisahkan oleh jaringan ikat dan pembuluh darah.

    Pembuluh darah pada hepar terdapat pada sudut-sudut lobulus, membentuk

    bangunan yang disebut trigonum Kiernan atau area portal. Pada area portal

    dapar ditemukan cabang arteri hepatika, cabang vena porta, pembuluh limfe,

    dan duktus billiaris. Struktur lobulus hepar pada potongan melintang akan

    terlihat sebagai struktur yang berderet dan radier dengan pusatnya yaitu vena

    sentralis, dipisahkan oleh sebuah celah atau sinusoid hepar. Pada sinusoid

    terdapat sel Kupffer jika dilihat secara mikroskopik. Selain itu, juga terdapat

    sel-sel hepar yang disebut sebagai hepatosit (Nurzali, 2013).

    Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) pada

    kelompok kontrol negatif (K-) menunjukkan keadaan normal yang

    ditunjukkan dengan adanya hepatosit dengan inti berada di tengah dan batas

    selnya terlihat jelas. Pengamatan histopatologi dilakukan pada dua lokasi

    yaitu daerah vena sentralis dan segitiga portalis. Hepatosit tersusun dan

  • 36

    memusat pada vena sentralis dan diantara hepatosit tersebut terdapat sinusoid

    yang tampak putih dengan sel kupffer yang tampak lebih gelap dibandingkan

    dengan hepatosit (Gambar 5.1). Menurut Nurzali (2013), sel kupffer

    memiliki fungsi untuk memfagosit eritrosit tua, hemoglobin, dan mensekresi

    sitokin. Pada daerah segitiga portalis juga tampak hepatosit tersusun rapi

    memusat pada vena porta, serta susunan pembuluh limfe dan duktus biliaris

    tidak mengalami perubahan (Gambar 5.1). Semua komponen penyusun

    hepar pada kelompok kontrol negatif (K-) tidak terdapat perubahan (Gambar

    5.1). Dengan demikian, gambaran histopatologi hepar tersebut digunakan

    sebagai acuan untuk membandingkan kondisi histopatologi hepar pada

    kelompok perlakuan dengan pemberian rhodamin B dan sakarin.

    Gambar 5.1 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok

    Kontrol Negatif (K-) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid; ( ) Sel Kupffer.

    Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) kelompok

    perlakuan 1 (P1) yaitu tikus yang diinduksi rhodamin B dengan dosis 22,5

    mg/kgBB menunjukkan adanya abnormalitas dibandingkan dengan kelompok

    kontrol negatif. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya nekrosis koagulasi

    jaringan hepar di daerah vena sentralis (Gambar 5.2). Nekrosis koagulasi

    Vena sentralis

    Vena porta

    Duktus biliaris

    Cabang arteri hepatika

  • 37

    ditandai dengan struktur luar sel terlihat utuh, tetapi inti sel mengalami

    perubahan yaitu piknotik (menghilang) serta sitoplasma terlihat eosinofilik

    karena mengalami asidifikasi. Selain daerah vena sentralis, daerah segitiga

    portalis juga diamati dan menunjukkan adanya perubahan pada sel hepatosit.

    Hepatosit pada daerah vena sentralis dan segitiga portalis mengalami nekrosis

    pada tahap karyoreksis dimana inti sel memudar dan tampak fragmen

    kromatin serta pada tahap karyolisis yang ditandai dengan inti sel yang tidak

    terwarnai (Gambar 5.2). Sel kupffer tampak jelas berada di sinusoid dengan

    inti yang lebih gelap.

    Gambar 5.2 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok

    Perlakuan 1 (P1) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid; ( ) Sel Kupffer; ( ) Nekrosis Koagulasi; ( )Karyoreksis;

    ( ) Karyolisis.

    Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) kelompok

    perlakuan 2 (P2) merupakan tikus yang diinduksi sakarin dengan dosis

    157,77 mg/kgBB menunjukkan perubahan yang tidak signifikan. Hal tersebut

    ditandai dengan susunan hepatosit masih terlihat normal mengarah pada vena

    sentralis dan vena portalis. Hepatosit terlihat normal dengan inti berada di

    tengah dan batas sel terlihat jelas. Kelainan yang terjadi yaitu terlihat adanya

    eritrosit berwarna kemerahan yang menandakan adanya kongesti pada hepar.

    Vena sentralis Vena porta

    Cabang arteri hepatika

    Duktus biliaris

  • 38

    Selain itu, terjadi juga hiperplasia duktus biliaris yang ditandai dengan

    bertambahnya jumlah sel epitel duktus biliaris. Sel kupffer terlihat jelas

    berada pada sinusoid dengan inti lebih gelap (Gambar 5.3).

    Gambar 5.3 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok Perlakuan 2 (P2) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid;

    ( ) Sel Kupffer; ( ) Kongesti; ( ) Hiperplasia duktus biliaris.

    Gambaran histopatologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) kelompok

    perlakuan 3 (P3) merupakan tikus yang diinduksi kombinasi rhodamin B

    dosis 22,5 mg/kgBB dan sakarin dosis 157,77 mg/kgBB menunjukkan adanya

    abnormalitas yang terjadi pada daerah vena sentralis dan segitiga portalis. Hal

    tersebut ditunjukkan dengan adanya infiltrasi sel radang limfosit dengan inti

    gelap berada diantara hepatosit pada daerah vena sentralis maupun segitiga

    portalis. Duktus biliaris mengalami hiperplasia ditandai dengan bertambahnya

    jumlah sel epitel. Beberapa hepatosit mengalami nekrosis pada tahap

    karyolisis yang ditandai dengan tidak terwarnainya inti sel serta tahap

    karyoreksis yang ditandai dengan inti sel memudar dan terdapat benang

    kromatin. Sinusoid tampak putih jelas dengan adanya sel kupffer yang berinti

    gelap (Gambar 5.4).

    Vena sentralis

    Vena porta

    Cabang arteri hepatika

    Duktus biliaris

  • 39

    Gambar 5.4 Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Kelompok Perlakuan 3 (P3) Perbesaran 400X. ( ) Hepatosit; ( ) Sinusoid;

    ( ) Sel Kupffer; ( ) Kariolisis; ( )Karyoreksis;

    ( ) Hiperplasia duktus biliaris; ( ) Infiltrasi sel radang.

    Tabel 5.1 Perubahan Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus

    norvegicus)

    Kelompok Kongesti Hiperplasia

    Duktus

    Biliaris

    Infiltrasi

    sel

    radang

    Nekrosis

    karyorek

    sis

    kariolisis

    K- (Kontrol

    Negatif)

    - - - - -

    P1 (Rhodamin B

    22,5 mg/kgBB)

    - - -

    P2 (Sakarin

    157,77 mg/kgBB

    - - -

    P3 (Rhodamin B

    22,5 mg/kgBB

    dan sakarin

    157,77 mg/kgBB)

    -

    Keterangan:

    - : tidak ada perubahan : ada perubahan

    Hepar merupakan organ yang berperan dalam metabolisme zat xenobiotik.

    Seluruh zat xenobiotik yang berasal dari saluran pencernaan akan melalui

    vena porta hepatika dan terjadi metabolisme di hepar (Riczek, et al., 2011).

    Rhodamin B dan sakarin termasuk zat xenobiotik karena tidak dibutuhkan

    oleh tubuh. Oleh karena itu, rhodamin B dan sakarin akan mengalami

    Vena sentralis

    Vena porta

    Cabang arteri hepatika

    Duktus biliaris

  • 40

    metabolisme di hepar melalui dua tahap. Menurut Sobinoff, et al. (2012),

    tahap I metabolisme yaitu tahap oksidasi dimana zat xenobiotik yang masuk

    akan dikatalis oleh sekelompok enzim monooksigenase/Sitokrom P450 dan

    tahap II yaitu senyawa hasil dari tahap I diubah menjadi berbagai metabolit

    polar yang spesifik.

    Rhodamin B (tetraethyl-3’,6;-diamninofluran) masuk ke dalam tubuh

    sebagai zat xenobiotik melalui proses ingesti. Dalam saluran digesti rhodamin

    B diserap oleh vena mesenterika dan selanjutnya akan melalui vena porta

    hepatika untuk dimetabolisme pada hepar. Proses metabolisme utama

    rhodamin B terjadi pada tahap satu metabolisme. Rhodamin B akan

    dimetabolisme melalui fase oksidasi dan hidrolisis dengan bantuan enzim

    Cytochrome P450 (CYP). Proses ini disebut dengan de-etilasi, dimana

    rhodamin B akan dipecah menjadi 3’,6’-diaminofluoran dan N,N’-diethyl-

    3’,6’ diaminofluoran (Webb, et al., 2014). Senyawa tersebut merupakan

    senyawa radikal yang dapat beredar melalui pembuluh darah hingga merusak

    jaringan tubuh. Metabolisme rhodamin B pada fase ini juga mengaktivasi

    senyawa klorin (Cl) dengan bantuan enzim P450 (Lu Yongke & Caderbaum

    A, 2008). Klorin (Cl) termasuk senyawa halogen dan radikal dimana senyawa

    halogen sangat berbahaya karena memiliki reaktivitas yang tinggi untuk

    mencapai kestabilan dalam tubuh dengan menyerang molekul terdekat dan

    mencari pasangan elektron sehingga akan merusak bentuk molekul tersebut.

    Aktivitas radikal dari senyawa klorin tersebut yang akan menimbulkan efek

    toksik dan menyebabkan kerusakan sel tubuh karena sel-sel makromolekul

  • 41

    seperti protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat hancur (Manurung,

    2011).

    Sakarin merupakan zat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker

    setelah tubuh terpapar 5-10 tahun. Sakarin juga termasuk zat xenobiotik yang

    dapat menjadi sumber ROS (Reactive Oxygen Species). Dalam proses

    metabolisme fase satu sakarin membutuhkan lebih banyak molekul O2 untuk

    proses oksidasi. Proses tersebut yang akhirnya akan membentuk senyawa

    radikal superoxide (O2-) dan dapat memicu stress oksidatif. Menurut

    Sobinoff, et al. (2012) xenobiotik yang dimetabolisme oleh sitokrom P450

    akan menghasilkan superoxide (O2-). Jika superoxide bereaksi dengan SOD

    maka akan membentuk H2O2, tetapi jika bereaksi dengan Fe maka akan

    terbentuk hidroksi radikal. Hidroksi radikal inilah yang dapat menyebabkan

    stress oksidatif. Amin and Almuzafar (2015), menambahkan bahwa

    pembentukan radikal bebas (O2-) dari metabolisme sakarin dapat

    menyebabkan perubahan fungsi hati dan ginjal.

    Permatasari (2014), menyebutkan bahwa zat warna rhodamin B dapat

    menyebabkan perubahan bentuk dari organisme sel jaringan hepar dari

    keadaan normal menjadi patologis. Sel hepar mengalami nekrosis dan

    jaringan disekitarnya mengalami disintegrasi. Kerusakan pada jaringan hepar

    ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus.

    Terhambatnya pasokan energi dalam hepar yang digunakan untuk

    memelihara fungsi struktur endoplasmik mengakibatkan penurunan proses

  • 42

    sintesis protein yang menyebabkan sel hepar tidak mampu mengeluarkan

    trigliserida dan mengakibatkan nekrosis.

    Nekrosis terlihat pada kelompok perlakuan P1 dan P3. Nekrosis yang

    terjadi pada jaringan hepar yaitu nekrosis koagulasi, sedangkan nekrosis pada

    hepatosit yaitu pada tahap karyoreksis dan karyolisis. Perubahan

    histopatologi yang tampak pada kelompok perlakuan P1 yaitu adanya

    nekrosis koagulasi yang ditandai dengan warna sitoplasma lebih eosinofilik.

    Sel hepar yang mengalami nekrosis tampak utuh tetapi inti sel mengalami

    perubahan. Menurut Zachary (2016), nekrosis koagulasi merupakan respon

    awal dari hipoksia, ischemia, maupun cedera karena zat toksik. Nekrosis

    koagulasi dapat terjadi dari proses fagositosis. Cedera awal yang dialami oleh

    sel tidak hanya mendenaturasi protein struktural, tetapi juga enzim lisosomal.

    Pada keadaan normal enzim lisosomal dapat menyebabkan disintegrasi

    proteolitik dari keseluruhan sel, tetapi karena adanya denaturasi tersebut,

    disintegrasi proteolitik dari sel terhambat. Namun, degradasi asam nukleat

    dari sel tersebut tetap terjadi. Hal tersebut yang menyebabkan tampaknya

    perubahan pada inti sel, tetapi struktur luar sel tampak utuh.

    Perubahan gambaran histopatologi pada kelompok perlakuan P2

    menunjukkan adanya kongesti pada hepar. Terlihat bendungan eritrosit pada

    vena sentralis dan vena portalis. Kongesti yaitu pembendungan darah di

    dalam pembuluh darah pada suatu regio tertentu. Kongesti merupakan lesi

    dualisme yaitu lesi yang menggambarkan gangguan sirkulasi dan dapat

    sebagai indikator perbaikan jaringan (Bhadauria, 2012). Sehingga kongesti

  • 43

    yang terjadi pada kelompok perlakuan P2 ini dapat terjadi sebagai respon

    inflamasi yang terjadi akibat zat toksik, serta dapat terjadi karena gangguan

    sirkulasi darah ketika dilakukan dislokasi.

    Perubahan gambaran histopatologi pada kelompok perlakuan P2 dan P3

    menunjukkan adanya hiperplasia pada duktus biliaris. Kerusakan pada duktus

    biliaris dapat menyebabkan adanya respon tubuh untuk mempertahankan

    keadaan normal sel salah satunya yaitu dengan melakukan hiperplasia sel.

    Hiperplasia merupakan kerusakan jaringan organ yang ditandai dengan

    pertambahan ukuran organ akibat bertambahnya jumlah sel. Hiperplasia dapat

    terjadi karena adanya akumulasi senyawa bersifat toksik, walaupun dengan

    konsentrasi rendah namun dengan paparan cukup lama dalam tubuh dapat

    menyebabkan kerusakan (Permatasari, 2014). Hiperplasia duktus biliaris

    terjadi karena adanya senyawa (3’,6’-diaminofluoran) yang terakumulasi

    dalam hepar sehingga menyebabkan proses metabolisme terganggu dan

    akhirnya sel duktus biliaris mengalami hiperplasia.

    Perubahan histopatologi pada P3 menunjukkan adanya infiltrasi sel

    radang. Infiltrasi sel radang terjadi karena respon inflamasi yang terjadi pada

    hepar. Senyawa radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme rhodamin B

    dan sakarin merangsang makrofag untuk mensekresi sitokin dan kemokin,

    dimana kemokin berfungsi untuk merekrut sel inflamator salah satunya sel

    radang untuk menuju situs inflamasi. Menurut Cesta (2014), sel radang yang

    paling dominan pada toksisitas subkronis yaitu limfosit dan monosit. Sel

  • 44

    limfosit dapat meningkat saat terjadi paparan terus menerus dan

    membutuhkan sistem imun adaptif.

    5.2. Pengaruh Toksisitas Rhodamin B dan Sakarin terhadap Ekspresi Tumor

    Necrosis Factor Alpha (TNF-α) pada Hepar Tikus Putih (Rattus

    norvegicus)

    Pengaruh rhodamin B dan sakarin terhadap ekspresi TNF-α pada hepar

    dapat diketahui menggunakan pewarnaan imunohistokimia (IHK) pada

    preparat histopatologi hepar tikus putih. Karakteristik pewarnaan IHK

    menggunakan kromogen berupa DAB (3,3’-diaminobenzidine) yang

    merupakan substansi yang menyerap cahaya dan akan membentuk warna

    cokelat pada preparat. Preparat yang terwarnai cokelat akan dihitung

    persentase (%) warna menggunakan aplikasi Immunoratio.

    Ekspresi TNF-α ditunjukkan dengan warna cokelat pada hepar tikus putih

    (Rattus norvegicus) menggunakan antibodi TNF-α pada metode

    imunohistokimia (IHK) (Gambar 5.5). Warna cokelat yang dihasilkan

    merupakan hasil reaksi antara Streptavidin-Horse Radish Peroxidase (SA-

    HRP) yang berikatan dengan antibodi sekunder dengan kromogen

    Diaminobenzidine (DAB) (Duerr, 2006).

  • 45

    Gambar 5.5 Ekspresi Tumor Necrosis Faktor-Alpha (TNF-α) pada Gambaran

    Imunohistokimia Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Perbesaran 400x

    (kiri) dan 1000X (kanan).

  • 46

    Keterangan:

    (1) Tikus kontrol negatif (K-); (2) Tikus perlakuan 1 (P1); (3) Tikus perlakuan 2 (P2); (4) Tikus perlakuan 3 (P3). Tanda panah merah menunjukkan ekspresi TNF-α.

    Ekspresi TNF-α pada gambaran preparat IHK hepar tikus putih (Rattus

    norvegicus) yang ditunjukkan dengan warna kecoklatan selanjutnya dihitung

    presentasenya menggunakan Immunoratio dengan melakukan rataan lima

    lapang pandang presentase ekspresi TNF-α pada hepar dengan perbesaran

    400X. Gambar preparat IHK juga diambil menggunakan perbesaran 1000X

    untuk melihat lebih jelas warna kecoklatan dari ekspresi TNF-α hepar. Data

    hasil uji dari Immunoratio selanjutnya dianalisa menggunakan perhitungan

    statistika. Analisa statistika menggunakan One Way ANOVA dengan aplikasi

    SPSS for Windows 16 dan dilanjutkan dengan uji Tukey α = 0,05 (Lampiran

    7).

    Tabel 5.2. Ekspresi Tumor Necrosis Faktor-Alpha (TNF-α) Hepar Tikus Putih

    (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Rhodamin B dan Sakarin

    Keterangan: Perbedaan notasi a, b, c menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p

  • 47

    Ekspresi TNF-α terlihat pada semua kelompok dan tersebar pada sel

    hepatosit yang ditunjukan dengan tanda panah merah (Gambar 5.5).

    Gambaran preparat IHK pada kelompok tikus kontrol negatif tanpa diberikan

    perlakuan ditunjukkan oleh (Gambar 5.5 (1)) menunjukkan adanya ekspresi

    TNF-α dengan presentasi paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan

    lainnya, yaitu memiliki rata-rata sebesar 31,99±1,09 % (Tabel 5.2). Adanya

    ekspresi TNF-α pada kelompok kontrol terjadi karena TNF-α secara normal

    terdapat dalam tubuh dalam jumlah relatif sedikit sebagai komponen

    imunitas. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) merupakan salah satu

    sitokin yang dihasilkan oleh makrofag (sel kupffer) berfungsi untuk

    merangsang dan mengaktifkan sistem imun terhadap respon inflamasi,

    dimana dalam keadaan normal, antigen yang masuk memicu reaktivitas imun

    pada imunitas nonspesifik maupun spesifik (Baratawidjaja, 2004).

    Ekspresi TNF-α pada kelompok P1 yang diinduksi rhodamin B dosis 22,5

    mg/kgBB ditunjukkan oleh (Gambar 5.5 (2)) memiliki rata-rata presentase

    sebesar 66,26±0,95% dan mengalami peningkatan sebanyak 107,1%

    dibanding dengan kelompok kontrol negatif (K-). Peningkatan presentase

    ekspresi TNF-α pada kelompok P1 terjadi karena adanya inflamasi pada

    hepar yang disebabkan oleh rhodamin B sehingga menginduksi produksi

    Reactive Oxygen Species (ROS). Menurut BPOM (2005), rhodamin B

    mengandung senyawa klorin (Cl) yang sangat reaktif, apabila tertelan

    senyawa ini akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara

    mengikat senyawa lain. Aktivitas radikal dari senyawa klorin tersebut yang

  • 48

    dapat meningkatkan produksi ROS. Produksi ROS yang berlebih dapat

    menyebabkan aktivasi NF-kB, dimana NF-kB selanjutnya akan berpindah

    menuju nukleaus dan menginduksi transkripsi gen diantaranya sitokin

    proinflamasi TNF-α yang berperan sebagai indikator terjadinya inflamasi

    (Suhartiningsih, dkk., 2012).

    Ekspresi TNF-α pada kelompok P2 yang diinduksi sakarin dosis 157,77

    mg/kgBB ditunjukkan oleh (Gambar 5.5 (3)) memiliki rata-rata presentase

    sebesar 32,92±0,88 % dan mengalami peningkatan sebanyak 2,9% dibanding

    dengan kelompok kontrol negatif (K-) (Tabel 5.2). Berdasarkan hasil analisa

    statistika tersebut, kelompok (P2) tidak menunjukkan adanya peningkatan

    ekspresi TNF-α yang signifikan dibandingkan dengan kelompok (K-) ditandai

    dengan hasil notasi yang sama. Hal tersebut disebabkan karena hanya

    sebagian kecil dari jumlah sakarin yang dimetabolisme dalam tubuh dan lebih

    banyak yang langsung diekskresikan melalui urin, sehingga radikal bebas

    yang dihasilkan juga dalam jumlah kecil. Amin & Almuzafar (2015)

    menyebutkan bahwa sakarin dapat menyebabkan perubahan fungsi hati dan

    ginjal karena dapat membentuk radikal bebas. Sebagian besar sakarin yang

    masuk kedalam tubuh dieksresikan melalui urin dalam bentuk utuh dan

    sebagian kecil dimetabolisme di hepar. Sakarin dosis tinggi (500 mg/kgBB)

    dapat menghasilkan ROS dan peroksidasi lipid. Karena dosis sakarin yang

    diberikan pada kelompok (P2) sebesar 157,77 mg/kgBB, sehingga ekspresi

    TNF-α tidak menunjukkan hasil yang terlalu signifikan.

  • 49

    Ekspresi TNF-α pada kelompok P3 yang diinduksi kombinasi rhodamin B

    dosis 22,5 mg/kgBB dan sakarin dosis 157,77 mg/kgBB ditunjukkan oleh

    (Gambar 5.5 (4)) memiliki rata-rata presentase sebesar 78,89±0,52 % dan

    mengalami peningkatan sebanyak 146,6% dibanding dengan kelompok

    kontrol negatif (K-) (Tabel 5.2). Peningkatan presentase ekspresi TNF-α

    tersebut menunjukkan hasil yang sangat signifikan dan merupakan hasil uji

    tertinggi karena merupakan kombinasi dari dua zat xenobiotik. Radikal bebas

    yang dihasilkan oleh metabolisme rhodamin B dan sakarin yang merupakan

    kombinasi dari dua zat xenobiotik akan bergabung dan bersinergi sehingga

    menghasilkan radikal bebas yang lebih banyak. Hal tersebut yang dapat

    menyebabkan tingginya ekspresi TNF-α pada kelompok (P3) karena ROS

    yang dihasilkan juga semakin meningkat.

    Berdasarkan Tabel 5.2, rata-rata ekspresi TNF-α kelompok perlakuan (P1

    dan P3) mengalami peningkatan yang signifikan dan memiliki perbedaan

    nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (K-). Tetapi pada

    kelompok perlakuan (P2) tidak mengalami peningkatan yang signifikan

    dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (K-). Kelompok P3 yang

    merupakan perlakuan dengan induksi kombinasi rhodamin B dosis 22,5

    mg/kgBB dan sakarin dosis 157,77 mg/kgBB menunjukkan hasil ekspresi

    TNF-α paling tinggi yang membuktikan bahwa kombinasi dengan dosis

    tersebut dapat menimbulkan efek toksik yang lebih besar dibandingkan

    dengan pemberian rhodamin B atau sakarin saja.