bab 4 pembahasan
DESCRIPTION
forensikTRANSCRIPT
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada aktivitas sehari-hari, seorang dokter disamping melakukan tindakan medis
juga menerbitkan surat keterangan dokter. Penerbitan surat keterangan dokter ini akan
menimbulkan juga aspek hukum dan permasalahan bagi dokter apabila tidak hati-hati
dan tidak mengerti maksud dan tujuan dari penerbitan surat keterangan dokter. Pada
beberapa literatur dikenal dengan istilah Medical Report, certicates, dan statements.
Dalam arti umum surat keterangan adalah surat yang dibuat sebagai bukti
untuk menerangkan atau menyatakan sesuatu. Surat keterangan dokter (medis) adalah
surat keterangan mengenai keadaan kesehatan atau sakit seorang pasien yang dibuat
oleh dan ditanda tangani oleh seorang dokter. Dengan demikian maka surat keterangan
medis dapat menjelaskan tentang penyakit atau bagaimana sakitnya pasien.
Akhir-akhir ini "Surat Keterangan Dokter" dipermasalahkan dalam beberapa
kasus yang akan diajukan atau sedang diajukan ke pengadilan karena sering antara
pernyataan dokter dengan kenyataan yang dilihat oleh awam berbeda sehingga
menimbulkan kecurigaan bahwa dokter telah membuat pemyataan yang tidak benar.
Dalam referat ini akan dibahas mengenai surat keterangan dokter dari beberapa aspek,
termasuk salah satunya yaitu aspek hukum dalam pembuatan Surat Keterangan Dokter.
4.1 Hubungan Dokter-Pasien
Surat keterangan dokter merupakan salah satu hasil atau sesuatu yang dilahirkan
akibat adanya hubungan antara dokter-pasien. Permulaan sejarah peradaban umat
manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang
pengobat dan penderita. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi
karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan
transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien
berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak.
Seperti disebutkan sebelumnya, konsekuensi hukum yang timbul akibat
disepakatinya hubungan terapeutik antara dokter dan pasien adalah timbulnya hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak. Hak dan kewajiban masing-masing adalah
sebagai berikut:
a. Hak pasien
(1) Hak primer
Hak memperoleh pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori
kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
(2) Hak sekunder
Hak memperoleh informasi medik tentang penyakitnya
Hak memperoleh informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan
oleh dokter
Hak memutuskan hubungan kontraktual setiap saat (sesuai azas kepatutan
dan kebiasaan)
Hak atas rahasia kedokteran
Hak atas surat keterangan dokter bagi kepentingan pasien yang bersifat
non yustisial
Hak atas second opinion
b. Hak dokter
(1) Hak untuk memperoleh imbalan yang layak
(2) Hak untuk memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-
jujurnya demi kepentingan diagnosis.
c. Kewajiban pasien
(1) Kewajiban memberi informasi yang sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya
bagi kepentingan diagnosis dari terapi
(2) Kewajiban mematuhi semua nasihat dokter
(3) Kewajiban memberikan imbalan yang layak
d. Kewajiban dokter
(1) Kewajiban primer
Memberikan pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori
kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
(2) Kewajiban sekunder
Memberikan informasi medik tentang penyakit pasien
Memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan apakah ia akan
menerima atau menolak tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter
Memberikan kepada pasien untuk mendapatkan second opinion
Menyimpan rahasia kedokteran
Memberikan surat keterangan dokter
4.2 Kewajiban Dokter
Adalah menjadi kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan yang benar-benar
cermat sebelum membuat pernyataan atau keterangan sesuai dengan kode etik dokter
yang menyatakan bahwa "seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat
yang dapat dibuktikan kebenarannya".
Dalam memberikan surat pernyataan atau keterangan mengenai seorang pasien
yang akan diajukan sebagai terdakwa atau saksi dalam pengadilan, dokter mempunyai
kewajiban untuk mendasari pernyataannya dengan bukti-bukti ilmiah. Dalam kalangan
kedokteran sekarang dikenal sebagai "evidence based medicine". Pengertian bukti-bukti
ilmiah di sini bukan hanya menunjukkan hasil laboratorium atau pemeriksaan dengan
"imaging" (ronsen, CT-Scan, MRI, dsb) tetapi juga pada rujukan-rujukan ilmiah yang
sahih yang membuat ia mengambil simpulan seperti yang diajukan.
Pengadilan mempunyai wewenang untuk meminta bukti-bukti semacam itu dan
bila perlu mengkaji rujukan ilmiah yang digunakan oleh dokter. Hakim dapat mencari
atau meminta naskah yang dijadikan rujukan untuk dijadikan bahan pertimbangan.
Tentu saja naskah itu pada umumnya bersifat sangat teknis medis, tetapi hakim (secara
diskret) dapat pula mencari penerjemah terhadap naskah yang teknis medis itu dari
sumber lain. Di sisi lain dokter mempunyai kewajiban untuk menyerahkan hasil-hasil
temuannya, simpulannya, dan rujukan yang ia pakai kepada hakim sebagai bukti bahwa
ia telah membuat surat keterangan yang sebenarnya. Jika dipandang perlu hakim dapat
saja tetap mengharuskan pasien dihadirkan untuk menguji sendiri apakah pernyataan
dokter tersebut benar atau tidak, terutama jika hal itu lebih menyangkut "mental
incapacity". Dalam kasus HM Suharto misalnya, seharusnya dapat saja hakim
mewajibkan yang bersangkutan dihadirkan di depan hakim, pengacara, dokter, dan
jaksa untuk meyakini kebenaran pernyataan dokter, jika perlu dalam sidang terbatas
dan tertutup daripada membentuk "tim dokter independen" yang kemudian disusul
dengan "tim independen" berikutnya, dan berikutnya. Pengertian bahwa keterangan
tentang kondisi pasien harus dirahasiakan oleh dokter tidak berlaku di depan
pengadilan. Pengertian pengecualian semacam ini pada umumnya berlaku di negara
mana pun juga pada umumnya sudah diketahui oleh dokter.
Selain itu, yang perlu diingat adalah pada dasarnya semua dokter harus independen
dalam membuat simpulan klinis atau diagnosis terhadap pasiennya. Sebagai tenaga
profesi ia tidak dapat dipengaruhi atau ditekan oleh siapa pun, termasuk negara, untuk
membuat diagnosis dan menentukan nasib pasiennya.
4.3 Aspek Hukum
Aspek formal surat keterangan dokter adalah yang berhubungan dengan penerbit
surat keterangan dokter. Aspek materil surat keterangan dokter adalah yang
berhubungan dengan isi yang dijelaskan di dalam surat keterangan dokter. Dokter yang
menerbitkannya harus betul-betul yakin apa yang dituliskannya atau dinyatakannya.
Dan seperti sudah diketahui seorang dokter telah mengucapkan sumpah kedokteran.
Pasal 7 Kodeki
Seorang dokter yang hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pada penjelasan dan pedoman pelaksanaan KODEKI tersebut dinyatakan bahwa :
“ Waspadalah terhadap sandiwara (“Simulasi”) melebih-lebihkan (“aggravi”) mengenai sakit atau kecelakaan kerja. Berikan pendapat yang objektif dan logis
serta dapat diuji kebenarannya.
Di negara-negara yang sudah memiliki lembaga penjaga mutu profesi dokter
seperti General Medical Council (GMC) di negara-negara persemakmuran
(commonwealth), lembaga ini dapat menindak dokter yang membuat surat keterangan
yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya semacam itu. Tindakan itu dapat berupa
pencabutan dari register atau pencabutan ijin praktek secara sementara. Pencabutan
dari register berarti bahwa ia tidak lagi dapat berpraktek di negara itu tanpa
mendaftarkan diri kembali dan mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh GMC. Di
Indonesia kita belum memiliki lembaga seperti itu dan perijinan praktek yang diberikan
oleh instansi departemen kesehatan saat ini masih lebih bersifat sebagai persyaratan
administratif semata. Namun, dokter dapat dianggap melanggar etik, apabila ia
mengetahui secara sadar menerbitkan surat keterangan yang tidak mengandung
kebenaran sesuai dengan pasal 267 KUHP berikut
Pasal 267 KUHP
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja membuat surat keterangan palsu tentang ada
tidaknya penyakit-penyakit,kelemahan atau cacat,dapat dijatuhi hukuman penjara
paling tinggi 4 tahun.
Contoh : - surat keterangan kematian, tetapi orangnya masih hidup
(2) Seorang dokter yang dengan sengaja membuat suatu surat keterangan palsu
dengan tujuan untuk memasukan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau
dikeluarkan dari rumah sakit tersebut dapat dikenakan penjara paling tinggi 8 tahun
6 bulan.
Contoh : Pasal 44 KUHP :
Seorang tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya karena
gangguan perkembangan atau sakit jiwa.
4.4 Analisis Kasus
Lembaga dan jabatan kedokteran sebenarnya adalah suatu profesi yang mulia
dan seharusnya terpercaya, sehingga wajib untuk dipercaya statementnya dalam
memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional (vide Pasal 51 huruf a Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).
Jabatan kedokteran tersebut sama terpercayanya dengan misalnya jabatan
Notaris, Akuntan, atau(putusan) Hakim, dan jabatan-jabatan profesi lainnya yang
sejenis. Artinya apapun kata dokter: sakit, sehat, istirahat, atau harus dirawat, ataukah
sudah dapat pulang (sembuh), semuanya wajib dipercaya oleh pihak yang
berkepentingan.
Dengan demikian jika ada seseorang yang menyatakan sakit dan memang ada
surat keterangan sakit dari dokter yang berwenang dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya (dalam arti, benar-benar diterbitkan oleh seorang dokter yang berwenang
dan sesuai profesi), maka surat keterangan dokter tersebut wajib untuk dapat dipercaya
kebenaran pernyataannya. Tegasnya, jika dalam surat tersebut dinyatakan bahwa
pasien (Hadi Poernomo) yang bersangkutan dinyatakan sakit sehingga tidak dapat
menghadiri pemeriksaan sebagai tersangka, maka KPK wajib mempercayainya.
Permasalahannya, bagaimana jika ada keraguan terhadap surat keterangan
dokter dimaksud, seperti kecurigaan mungkin hanya berpura-pura sakit. Tentunya bukan
pasien (Hadi Poernomo) yang harus disalahkan dan dikenakan sanksi, akan tetapi
dokter yang menerbitkan pernyataan itulah yang harus ditelusur, apakah ia berbohong
atau mengeluarkan pernyataan palsu.
Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa pasiennya lah, dalam kasus ini
Hadi Poernomo, yang menyalahgunakan melakukan pemalsuan surat keterangan dokter
(alias “aspal”). Hal ini bisa dikenakan sanksi pidana pemalsuan (sesuai Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wetboek van Straftecht – “KUHP”).
Akan tetapi, jika memang dapat dibuktikan atau setidaknya patut dapat diduga
bahwa seorang dokter mengeluarkan pernyataan yang tidak benar dan/atau
menyimpang dari kode etik kedokteran, maka oknum dokter yang bersangkutan itu harus
dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan bisa dikenakan sanksi (punishment) sesuai
ketentuan. Bahkan sanksinya bukan hanya pelanggaran kode etik profesi atau sanksi
keperdataan, akan tetapi kemungkinan dapat dikenakan sanksi pidana penjara
(vide Pasal 242 ayat (1) KUHP).