bab 4-5

13
BAB IV DISKUSI Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi, dan tumbuh di luar kavum endometrium. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal. 1 Berdasar etiologinya kehamilan abdominal terbagi dua, yaitu: (1) Kehamilan abdominal primer, terjadi apabila ovum difertilisasi dan berimplantasi langsung dikavum abdomen. Studdiford membuat suatu kriteria untuk memastikan kehamilan abdominal primer, yaitu tuba dan ovum normal tanpa dijumpai bekastrauma, tidak dijumpai 23

Upload: kahfi-rizkian-noor

Post on 09-Nov-2015

216 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sdsds

TRANSCRIPT

BAB IVDISKUSI

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi, dan tumbuh di luar kavum endometrium. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal.1Berdasar etiologinya kehamilan abdominal terbagi dua, yaitu: (1) Kehamilan abdominal primer, terjadi apabila ovum difertilisasi dan berimplantasi langsung dikavum abdomen. Studdiford membuat suatu kriteria untuk memastikan kehamilan abdominal primer, yaitu tuba dan ovum normal tanpa dijumpai bekastrauma, tidak dijumpai adanya fistula uteroplasenta, dan hasil konsepsi benar-benar murni melengket di permukaaan peritoneal.5(2) Kehamilan abdominal sekunder, terjadi bila fetus keluar dari tempat inplantasi primernya melalui suatu robekan ataupun melalui ujung fimbria dan berimplantasi di kavum abdomen. Sebagian besar kehamilan abdominal merupakan jenis ini.5Angka kejadian kehamilan abdominal di provinsi Kalimantan Selatan masih belum diketahui secara pasti, karena adanya persalinan yang terjadi di luar rumah sakit atau puskesmas. Pada kasus ini ibu memang tinggal di daerah yang bukan termasuk kawasan industri, jauh dari daerah perkotaan. Kehamilan abdominal adalah kehamilan resiko tinggi, dengan angka kematian yang cukup tinggi, baik bagi ibu maupun bagi janin yang dikandungnya. Diagnosis dari kehamilan abdominal terutama sebelum operasi amat sukar. Hanya sekitar 45 % dari kasus kehamilan abdominal terutama yang lanjut, yang dapat terdiagnosis sebelum operasi. Diagnosis sebelum operasi biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang7.Berikut beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya kehamilan abdominal: a) Riwayat perdarahan, atau nyeri perut hebat sepanjang trimester pertama, b) riwayat pernah abortus, atau operasi pelvis sebelumnya, c) riwayat infertilitas, d) perdarahan, atau nyeri abdomen bukan akibat persalinan pada trimester ketiga, e) persepsi yang aneh pada bagian tubuh ibu, misalnya bagian-bagian janin teraba lebih jelas di bawah kulit, walaupun pada multipara, dan wanita dengan dinding perut yang tipis kesan tersebut juga diperoleh, f) letak janin yang abnormal, g) serviks tidak terlihat pada tempatnya (biasanya pada pemeriksaan dalam, serviks terletak tinggi di vagina, dan tidak seberapa besar, dan lunak seperti kehamilan intrauterin), h) ada massa yang terpisah dari janin, i) penampakan ekografik yang tidak biasa dari plasenta, j) ibu merasa gerakan janin berhenti, k) induksi yang gagal. Namun kehamilan ektopik yang belum terganggu memang sukar didiagnosis dini7.Pada kasus ini, ibu mengeluhkan perdarahan berupa bercak darah berwarna merah kecoklatan yang semakin lama semakin banyak dan perut bagian bawah yang terasa nyeri. Mengingat usia ibu (27 tahun) dan riwayat perkawinan, gejala-gejala tersebut dapat mengarahkan ke diagnosis kehamilan muda, namun terjadi ancaman keguguran atau perdarahan ante partum. Dengan demikian, maka sesuai dengan rencana terapi saat pasien dirawat di RS Amuntai yaitu dilakukan kuretase. Namun perdarahan yang tidak berhenti membuat pemeriksaan lain harus dilakukan untuk mencari kemungkinan penyebab perdarahan yang lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, perut datar, fundus uteri tidak teraba, tetapi teraba massa di abdomen kanan bawah, berukuran 6x5 cm, imobil, permukaan tidak rata dan teraba bagian-bagian janin, konsistensi kenyal, nyeri ketika diraba. Temuan-temuan tersebut dapat mengarahkan ke diagnosis kehamilan abdominal.Pada kasus ini, diagnosis kehamilan abdominal baru dapat ditegakkan setelah pemeriksaan USG yang kedua saat pasien dirawat di RS Amuntai. Dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang, minimal USG lebih awal pada pemeriksaan kehamilan (meskipun USG dapat memberikan hasil yang meragukan), maka diagnosis dini dapat dibuat, sehingga terapi yang tepat dapat diberikan guna mencegah komplikasi lanjut. Pada kasus ini, kemungkinan pasien dirujuk ke RS Ulin karena keterbatasan sarana dan prasarana di RS sebelumnya untuk penatalaksaan kehamilan abdominal.USG sendiri dapat memberikan kesalahan diagnostik sebesar 50 % 90 %, sehingga beberapa tahun terakhir mulai digunakan MRI, yaitu salah satu pemeriksaan penunjang yang cukup menjanjikan karena dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, dan tidak beradiasi.8Oleh karena kasus ini terjadi di daerah yang jauh dari perkotaan, tentu pemeriksaan USG dapat dijadikan petunjuk mendiagnosis kehamilan abdominal. Temuan USG yang paling sering, dan dapat dipercaya adalah ditemukannya uterus yang kosong terpisah dari janin. Hal ini ditemukan pada 90 % kehamilan abdominal.9 Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa insersi balon kateter pada uterus yang dilakukan selama pemeriksaan USG, lebih membantu klarifikasi dari gambaran yang meragukan10. Temuan kedua tersering pada USG adalah adanya plesenta ekstrauterin yang terlihat pada 75 % kasus kehamilan abdominal. Plasenta ekstrauterin lebih jarang terlihat dibandingkan dengan uterus kosong yang terpisah dari janin, karena plasenta kurang jelas terlihat dengan USG. Gambaran-gambaran lain yang hampir mirip dengan kehamilan abdominal adalah kehamilan pada uterus bicornu, tumor uterus bertangkai yang berhubungan dengan uterus hamil, pada kehamilan normal pada uterus retrofleksi, atau antefleksi dengan sudut yang tajam.11Penanganan standar dari kehamilan abdominal lanjut adalah laparotomi, meskipun masih menjadi kontroversi12. Salah satu masalah yang dihadapi adalah adanya perdarahan masif, terutama bila plasenta tidak sengaja terlepas. Oleh karena itu sebaiknya dipersiapkan darah sekitar 1 liter. Hingga sekarang masih menjadi perdebatan apakah diperlukan untuk memindahkan plasenta setelah janin dilahirkan. Nkusu dan Isah dkk mengatakan plasenta sebaiknya ditinggalkan karena dapat menimbulkan perdarahan yang seringkali tidak teridentifikasi apabila diangkat, dengan resiko komplikasi seperti infeksi, supurasi, perlekatan, luka perut terbuka, atau kadang-kadang ileus, sedangkan plasenta yang tertinggal dapat diberikan metotrexat 1 mg / kg i.v, untuk mempercepat reasorbsinya. Plasenta hanya dikeluarkan bila berimplantasi pada alat yang bersama-sama dapat dikeluarkan dengan pengikatan pembuluh darah.8,13Metotreksat adalah suatu obat antineoplastik yang bekerja sebagai antagonis asam folat dan sangat efektif terhadap trofoblas yang berproliferasi cepat. Setelah terapi metotreksat, beta-hCG biasanya menghilang dari plasma dalam 14-21 hari. terapi dosis tunggal harus dipantau dengan menggunakan pemeriksaan berulang beta-hCG serum pada interval 4-7 hari. Pada pemberian metotreksat dosis variabel, konsentrasi beta-hCG serum diukur setiap 48 jam sampai turun lebih dari 15 persen. setelah pengobatan berhasil, dilakukan pengukuran beta-hCG serum setiap minggu sampai kadarnya kurang dari 5 mIU/ml. dianjurkan pengawasan rawat jalan, tetapil jika terdapat keraguan tentang keamanan, wanita yang bersangkutan dirawat inap. Kegagalan dinilai dari tidak adanya penurunan kadar beta-hCG, menetapnya massa ektopik, atau perdarahan intraperitoneum. Lima persen wanita yang diterapi dengan metotreksat akan mengalami ruptur tuba.

Terapi Metotreksat sebagai Terapi Primer untuk Kehamilan Ektopik7RegimenTindak Lanjut

Dosis tunggal: metotreksat 50 mg/m2 IMUkur -hCG, hari ke-4 dan ke-7 jika perbedaan 15%, ulangi setiap minggu hingga < 15 mIU/ml jika perbedaan 15%, ulangi dosis metotreksat dan mulai hari ke-1 yang baru jika aktivitas jantung janin terdeteksi pada hari ke-7, ulangi dosis metotreksat, mulai hari ke-1 yang baru. terapi bedah jika kadar -hCG tidak menurun atau aktivitas jantung janin menetap setelah tiga dosis metotreksat

Dosis bervariasi:Metotreksat 1mg/kg IM, hari 1-3-5-7

Leukovorin 0,1 mg/kg IM hari 2-4-6-8Penyuntikkan kontinu selang-sehari sampai -hCG turun > 15% dalam 48 jam atau empat dosis metotreksatKemudian -hCG setiap minggu hingga < 5,0 mIU/ml.

Pada kasus ini dilakukan laparotomi untuk terminasi kehamilan. Didapatkan kantung ketuban intraabdomen yang melekat dengan usus dan peritoneum. Janin pada kehamilan abdominal dalam kasus ini telah mati, karena tidak berada dalam tempat yang baik untuk pertumbuhannya. Karena sewaktu-waktu dapat terjadi perdarahan kembali, maka dipasang drain untuk memantau apakah masih terjadi perdarahan setelah operasi. Pada kasus ini juga tidak dilakukan pemberian metotrexat, karena keadaan ibu yang masih lemah, yang ditakutkan obat ini dapat membunuh sel-sel tubuh yang masih baik. Plasenta yang tidak diberikan metotrexat dapat direasorbsi, tetapi membutuhkan waktu hingga beberapa tahun.14

BAB VPENUTUP

Telah dilaporkan laporan kasus perempuan umur 31 tahun dengan diagnosis G3P2A0 hamil16-17 minggu + abdominal pregnancy + fetal death + anemia. Penatalaksanaan yang dilakukan bersifat aktif dengan laparotomi Hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan letak kehamilan, usia gestasi, dan usia pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Joseph HK, M. Nugroho S. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri. Yogyakarta : Nuha Medika. 2010.

2. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan. Jakarta : PT.Bina Pustaka. 2009.

3. Mansjoer, Arief. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. 2001.

4. Manuaba, Ida Bagus Gede. 1998. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan. 1998.

5. Sri Kusuma Dewi. Buku Ajar Ginekologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta : EGC. 2006.

6. Wibowo W, Rachimhadi T. Kehamilan ektopik. Dalam : Wiknjosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadi T, editor. Ilmu kebidanan 3rd ed. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2002.

7. Cunningham F.G, Leveno K.J, Bloom S.L, Hauth J.C, Gilstrap III L.C, Wenstrom K.D. Ectopic Pregnancy. Dalam : Rouse D, Rainey B, Spong C, Wendel Jr G.D. Williams Obstetrics 22nd ed. USA : Mc Graw Hill Medical Publishing Division, 2005.

8. Nkusu ND, Einterz EM. Advanced abdominal pregnancy : case report and review of 163 cases reported since 1946. Rural and Remote Health 8. 2008.

9. Scheiber MD, Cedars MI. Succesfull non surgical management of a heterotopic abdominal pregnancy following embryo transfer with cryopreserved-thawed embryos. Hum. Reprod. 1999.

10. Morita Y, Tsutsumi O, Kuramochi K, Momoeda M, Yoshikawa HY, Taketani Y. Succesful Laparoscopic management of primary abdominal pregnancy. Hum.Reprod. 1996.

11. Isah A.Y, Ahmed Y, Nwobodo E.I, Ekele A.B. Abdominal Pregnancy With A Full Term Live Fetus : Case Report. Annals Af Med. 2008. 12. Tery H.C, Kumar G, Ramli N.M. A viable secondary intraabdominal pregnancy resulting From rupture of uterine scar : role of MRI. BJR. 2007.

13. Stanley, John H; Horger III, E.O; Fagan, Charles J; Andriole, Joseph G; Fleischer, Arthur C. Sonographic Findings in Abdominal Pregnancy. AJR. 1986.

14. Ross J.A, Hacket E, Lawton F; Jurkovic D. Massive ascites due to abdominal pregnancy. Hum.Reprod. 1997.

29