bab 2 tinjauan pustaka 2.1 landasan teori 2.1.1 banjir
TRANSCRIPT
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Banjir
Banjir merupakan tidak mampunya saluran atau dam – dam untuk
menampung debit air hujan rencana, dan untuk penanggulangan banjir umumnya
peningkatan sistem pembawa, pengedalian banjir di dam – dam dan sungai dan
melakukan pencegahan hal yang berpotesi menyebabkan banjir dengan mengola tata
guna lahan.
Banjir adalah meluapnya air dari sungai atau saluran, yang disebabkan oleh
tidak mampunya sungai atau saluran yang ada untuk menyalurkan air yang mengalir
(DPU, 2004). Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tentang sungai, banjir
adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Kondisi ini
menimbulkan genangan yang pada prosesnya dapat didahului oleh suatu
terjangan/bandang.
Beberapa karakteristik yang berkaitan dengan banjir, diantaranya:
Banjir dapat datang dengan intensitas hujan yang tinggi namun langsung
cepat surut.
Banjir dapat datang dengan intensitas hujan yang rendah namun banjir tidak
cepat surut, bisa sampai beberapa hari ataupun mingguan.
Banjir berakibat ditimbulkan terjadinya genangan, erosi dan sedimentasi
sedangkan akibat lainnya adalah terisolasinya daerah permukiman dan
diperlukan evakuasi penduduk.
2.1.2 Siklus Hidrologi
Dalam kajian evaluasi ini diperlukan tinjauan pustaka untuk mengetahui
dasar – dasar teori yang digunakan dalam mengidentifikasi dan menelaah kondisi
eksisting terhadap air limpasan dan air hujan yang terjadi.
Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas,
padat) pada, dalam dan di atas permukaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah
penyebaran, daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya, serta hubungannya
dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri (Asdak, 2004).
4
Siklus hidrologi yaitu proses perputaran air dari permukan laut yang
mengalami penguapan ke atmosfer dan kemudian turun ke permukaan tanah dan
kembali lagi ke laut proses ini tidak pernah berhenti. Air akan tertahan di sungai,
danau, dan dalam tanah sehingga dapat di manfaatkan oleh manusia atau makhluk
hidup lainnya ( Asdak, 2004 )
2.1.3 Perhitungan Curah Hujan
Hujan adalah suatu peristiwa alam yang merupakan salah satu bagian atau
tahapan dalam siklus hidrologi. Peristiwa alam ini sangat mempengaruhi dan sangat
berkaitan erat terhadap peristiwa alam lainnya di permukaan bumi. Kejadian hujan
dapat mempengaruhi suhu dan kelembaban udara, muka air tanah dan air
permukaan, serta hubungannya dengan infiltrasi maupun perkolasi sebagai bagian
dari tahapan lanjutan dalam siklus hidrologi. Jenis presipitasi (hujan, salju atau
hujan es), waktu turunnya dan distribusi spasialnya merupakan semua aspek yang
harus diantisipasi dan diperhitungkan oleh hidrolog ketika mempelajari suatu
wilayah (Indarto, 2010)
Secara umum alat untuk mengukur hujan hanya ada 2 tipe yaitu:
1. Alat ukur manual
Pada dasarnya alat pengukuran hujan ini mengkalkulasi hujan selama satu hari
penuh (24 jam) dengan pengambilan data biasanya pada jam 07.00 pagi yang
mengindikasikan terjadinya hujan pada hari sebelumnya. Pencatatan data pada hari
itu merupakan hasil pencatatan kejadian pada hari sebelumnya. Tinggi rendahnya
air yang tertampung dalam gelas ukur adalah merupakan total terjadinya hujan
selama satu hari (24 jam), namun berapa lama dan jam berapa terjadinya hujan
tidak dapat diketahui.
2. Alat ukur otomatis
Alat pengukuran hujan otomatis mencatat kejadiaan hujan secara akumulasi
dapat memberikan informasi waktu terjadinya hujan dan jumlah kejadiaan hujan
dalam satu hari. Hasil alat ukur otomatis berupa kertas grafik yang mengambarkan
hubungan antara waktu dan jumlah kejadiaan hujan dalam satu hari.
Pencatatan data hujan adalah bagian yang penting dalam memperkirakan
faktor kedalaman hujan pada suatu tempat. Pencatatan data hujan secara otomatis
sangat efektif dan efisien untuk memperkirakan kedalaman hujan atau tinggi curah
5
hujan dalam rentang waktu 1 x 24 jam. Rekaman data secara otomatis dapat
menghasilkan data curah hujan dalam jam - jaman, sehingga perkiraan waktu
terjadinya dalam satu hari dapat ditentukan berdasarkan rekaman tersebut.
Metode pencatatan hujan secara manual cenderung menghasilkan data hujan
harian, sehingga kedalaman hujan yang terjadi adalah merupakan akumulasi waktu
terjadinya dalam satu hari. Untuk itu perlu metode tambahan untuk memperkirakan
terjadinya hujan dalam jam – jaman atau menitan. Pada pencatatan data curah hujan
manual pada suatu wilayah atau tempat tidak dapat digambarkan oleh satu alat
penakar hujan. Oleh karena satu alat penakar hujan hanya mencatat kejadiaan hujan
pada satu tempat, sementara kejadiaan hujan yang terjadi pada suatu kawasan sangat
bervariasi.
Untuk itu, ada beberapa metode yang digunakan untuk menghitung curah
hujan rata – rata dari beberapa stasiun curah hujan yang berada di dalam/ sekitar
wilayah yang di pantau. Metode - metode perhitungan curah hujan rata – rata suatu
wilayah yang pencatatan curah hujan masih di lakukan dengan cara manual dapat di
lihat sebagai berikut ini :
1. Metode Rata – Rata Arimatika
Metode ini adalah metode yang paling sederhana, karena biasanya
digunakan pada daerah yang memiliki stasiun curah hujan yang cukup banyak di
setiap titik tersebar merata yang dianggap bersifat seragam dan daerah dengan
kondisi kontur tanah yang datar. (Suripun, 2004)
( )
Dimana P1, P2, ... Pn adalah curah hujan yang merata di pos penakar hujan
1, 2, ... n dan n adalah banyaknya pos penakar hujan.
2. Metode Polygon Thiessen
Perhitungan curah hujan rata – rata dengan metode polygon thiessen dapat
dilakukan dengan urutan di bawah ini :
Menghubungkan masing – masing stasiun curah hujan dengan garis
polygon.
6
Membuat garis lurus antara 2 stasiun hingga bertemu dengan garis lurus
lainnya pada satu titik dalam polygon.
Luas area yang mewakili masing – masing stasiun hujan dibatasi oleh garis
lurus pada polygon.
Luas sub-area masing – masing stasiun hujan dipakai dalam menghitung
curah hujan rata – rata.
Sehingga perhitungan hujan rata – rata pada suatu daerah aliran sungai dapat
dirumuskan (suripin, 2004)
( )
Dimana 1, 2, .... adalah curah hujan yang tercatat di stasiun curah
hujan 1, 2, ... n. 1, 2, .... adalah luas area polygon 1, 2, n dan n adalah
banyaknya stasiun curah hujan.
3. Metode Isohyet
Isohyet adalah sebuah garis pada peta untuk menghubungkan posisi – posisi
yang memiliki nilai curah hujan yang sama. Perhitungan dengan metode isohyet
dapat di lakukan dengan urutan dibawah ini :
Memplotting masing – masing stasiun curah hujan pada peta dasar.
Mencatat jumlah hujan pada setiap stasiun hujan.
Membuat interpolasi dengan garis kontur antara stasiun – stasiun hujan
menurut interval yang dikehendaki.
Luas sub-area antara 2 garis kontur yang dipakai sebagai perhitungan curah
hujan rata – rata.
Perhitungan curah hujan rata – rata pada suatu areadidaerah aliran sungai
(DAS) dengan persamaan berikut (suripin, 2004) :
(
) (
) (
)
( )
7
Dimana 1, 2, .... adalah nilai curah hujan yang tercatat di stasiun
curah hujan 1, 2, ... n, berdasarkan garis kontur. Sedangkan 1, 2, .... adalah
luas sub area antara 2 garis kontur.
Ada 3 faktor untuk mempertimbangan dalam pemilihan metode yang tepat
pada suatu daerah / DAS seperti berikut ini (Suripin, 2004):
1. Berdasarkan Jumlah Stasiun Curah Hujan (lihat tabel 2.1)
2. Berdasarkan Luas DAS (lihat tabel 2.2)
3. Berdasarkan Bentuk muka tanah / topografi (lihat tabel 2.3)
Tabel 2.1. Metode Perhitungan Hujan Berdasarkan Stasiun CurahHujan
Persyaratan Metode yang digunakan
Jumlah Stasiun CurahHujan
Cukup Banyak
Rata-rata Aljabar, Thiesen, Isohyet,
Jumlah Stasiun CurahHujan
Terbatas
Rata-rata Aljabar dan Metode Thiesen
Stasiun CurahHujan
Tunggal
Metode Hujan Titik
(Sumber: Suripin, 2004)
Tabel 2.2 Metode Perhitungan Hujan Berdasarkan Luas DAS
Luas DAS Metode yang digunakan
DAS > 500 km 2 Metode Isohyet
DAS 500 – 5000 km Rata-rata Aljabar dan Metode Thiesen
DAS < 500 km2 Metode Rata-rata Aljabar
(Sumber: Suripin, 2004)
Tabel 2.3. Metode Perhitungan Hujan Berdasarkan Topografi DAS
Topografi DAS Metode
Pegunungan Rata-rata Aljabar
Dataran Thiessen
Berbukit dan tidak beraturan Isohyet
(Sumber: Suripin, 2004)
Karakteristik hujan yang perlu ditinjau dalam analisis dan perancanganan hidrologi
meliputi :
8
1. Intensitas ( i )
Intensitas adalah sebuah laju hujan/ tinggi air dengan satuan waktu seperti
mm/menit, mm/jam, atau mm/hari
2. Lama waktu atau durasi ( t )
Durasi adalah lamanya waktu hujan turun dengan satuan menit atau jam.
3. Tinggi hujan ( d )
Tinggi hujan adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi
hujan, dan dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.
4. Frekuensi
Frekuensi adalah sebuah periode ulang yang dinyatakan dengan kala ulang
seperti kala ulang 5, 10, dan 25 tahun.
5. Luas
Luas adalah luas geografis daerah tangkapan air hujan. Analisis hidrologi
memerlukan luas tangakapan air hujan untuk memperoleh besarnya debit banjir
rencana suatu wilayah.
2.1.4 Analisis Frekuensi
Periode ulang adalah waktu perkiraan dimana hujan dengan suatu besaran
tertentu akan disamai atau dilampaui. Besarnya debit hujan untuk fasilitas
drainase tergantung pada interval kejadian atau periode ulang yang dipakai.
Dengan memilih debit dengan periode ulang yang panjang dan berarti debit hujan
besar kemungkinan terjadinya resiko kerusakan menjadi menurun, namun
biaya konstruksi untuk menampung debit yang besar meningkat. Sebaliknya
debit dengan periode ulang yang terlalu kecil dapat menurunkan biaya konstruksi,
tetapi meningkatkan resiko kerusakan akibat banjir.
Sedangkan frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran
hujan disamai atau dilampaui. Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam
distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam
bidang hidrologi, antara lain:
9
Distribusi Normal
Distribusi normal disebut pula distribusi Gauss. Secara sederhana,
persamaan distribusi normal dapat ditulis sebagai berikut (Suripin, 2004)
( )
Dengan:
XT : Periode ulang T-tahunan
X : Rata-rata
S : Deviasi standar
KT : Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang.
Nilai KT dapat dilihat pada Tabel 2.4 nilai variabel reduksi Gauss sebagai
berikut
Tabel 2.4. Nilai Variabel Reduksi Gauss
No Periode Ulang Peluang KT
1 1,001 0,999 -3,05
2 1,005 0,995 -2,58
3 1,010 0,990 -2,33
4 1,050 0,950 -1,64
5 1,110 0,900 -1,28
6 1,250 0,800 -0,84
7 1,330 0,750 -0,67
8 1,430 0,700 -0,52
9 1,670 0,600 -0,25
10 2,000 0,500 0
11 2,500 0,400 0,25
12 3,330 0,300 0,52
13 4,000 0,250 0,67
14 5,000 2,00 0,84
15 10,000 0,100 1,28
16 20,000 0,050 1,64
17 50,000 0,020 2,05
18 100,000 0,010 2,33
19 200,000 0,005 2,58
20 500,000 0,002 2,88
21 1000,000 0,001 3,09
(Sumber: Bonnier, 1980 dalam Suripin, 2004)
10
Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan
mengikuti distribusi Log Normal. Persamaan distribusi log normal dapat ditulis
dengan (Suripin, 2004)
( )
dan
( )
Keterangan
YT : Periode ulang T-tahunan
YT : Log Y
Y : Nilai rata-rata
S : Deviasi standar nilai
KT : faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang.
Nilai KT dapat dilihat pada Tabel 2.4. nilai variabel reduksi Gauss.
Distribusi Log-Person III
Metode Log Pearson Type III ini dapat digunakan untuksemua sebarandata
. langkah-langkahanalisis periode ulang denganmetode Log Pearson Type III dapat
dilihat sebagai berikut ini:
1. Urutkan data dari kecil ke besar dan ubah data (X1, X2, …., Xn) dalam
bentuk logaritma (log X1, log X2, …., log Xn).
2. Hitung nilai rerata
∑
( )
3. Hitung standart deviasi
∑ ( )
( )
11
4. Hitung koefisien kepencengan
∑ ( )
( )( )( ) ( )
5. Hitung logaritma X
( )
6. Anti Log X
( )
Atau
( )
Keterangan
log X : Logaritma debit atau curah hujan.
log X : Logaritma rerata dari debit atau curah hujanlog
X1 : Logaritma debit atau curah hujan tahun ke 1
G : Konstanta LogPearsonTypeIII,berdasarkankoefisienkemencengan
S1 : Simpangan baku
Cs : Koefisien kemencengan
n : Jumlah data
Dimana besarnya nilai KT tergantung dari koefisien kemencengan G. Tabel
2.5. dan 2.6 memperlihatkan harga KT untuk berbagai nilai kemencengan G. Jika
nilai G sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log Normal.
12
Tabel 2.5. Nilai KT untuk Distribusi Log-Person III
(Sumber: Suripin, 2004)
Koef.
G
Interval kejadian (periode ulang)
1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100
Persentase perluang terlampaui
99 80 50 20 10 4 2 1
3,0 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051
2,8 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973
2,6 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 2,889
2,4 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 3,800
2,2 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705
2,0 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,892 3,605
1,8 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499
1,6 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388
1,4 -1,318 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271
1,2 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149
1,0 -1,588 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022
0,8 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 2,891
0,6 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755
0,4 -2,029 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615
0,2 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472
13
Tabel 2.6. Nilai KT untuk Distribusi Log-Person III ( Koef. G Posistif )
Koef.
G
Interval kejadian (periode ulang)
1,010
1
1,2500 2 5 10 25 50 100 Persentase perluang terlampaui
99 80 50 20 10 4 2 1
0,0 -2,326 -0,842 0,00
0
0,84
2
1,282 1,751 2,051 2,326
-0,2 -2,472 -0,830 0,03
3
0,85
0
1,258 1,680 1,945 2,178
-0,4 -2,615 -0,816 0,06
6
0,85
5
1,231 1,606 1,834 2,029
-0,6 -2,755 -0,800 0,09
9
0,85
7
1,200 1,528 1,720 1,880
-0,8 -2,891 -0,780 0,13
2
0,85
6
1,166 1,448 1,606 1,733
-1,0 -3,022 -0,758 0,16
4
0,85
2
1,128 1,366 1,492 1,588
-1,2 -2,149 -0,732 0,19
5
0,84
4
1,086 1,282 1,379 1,449
-1,4 -2,271 -0,705 0,22
5
0,83
2
1,041 1,198 1,270 1,318
-1,6 -2,388 -0,675 0,25
4
0,81
7
0,994 1,116 1,166 1,197
-1,8 -3,499 -0,643 0,28
2
0,79
9
0,945 1,035 1,069 1,087
-2,0 -3,605 -0,609 0,30
7
0,77
7
0,895 0,959 0,980 0,990
-2,2 -3,705 -0,574 0,33
0
0,75
2
0,844 0,888 0,900 0,905
-2,4 -3,800 -0,537 0,35
1
0,72
5
0,795 0,823 0,830 0,832
-2,6 -3,889 -0,490 0,36
8
0,69
6
0,747 0,764 0,768 0,769
-2,8 -3,973 -0,469 0,38
4
0,66
6
0,702 0,712 0,714 0,714
-3,0 -7,051 -0,420 0,39
6
0,63
6
0,660 0,666 0,666 0,667
(Sumber: Suripin, 2004)
Distribusi Gumbel
Bentuk dari persamaan distribusi Gumbel dapat ditulis sebagai berikut (Suripin,
2004)
( )
Besarnya faktor frekuensi dapat ditentukan dengan rumus berikut (Suripin, 2004)
( )
Keterangan
XT : Curah hujan periode tahun berulang Tr tahun (mm)
Tr : Periode ulang (tahun)
X : Rata-rata curah hujan maksimum selama tahun pengamatan (mm)
S : Standard deviasi
K : Faktor frekuensi
14
Ytr : Reduced variate
Yn : Reduced mean
Sn : Reduced standard
Nilai Sn, Yn, dan YTr bisa dilihat dalam Tabel 2.7.; 2.8.; 2.9 sebagai berikut:
Tabel 2.7. Reduced mean (Yn)
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565
20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080
30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388
40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590
50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734
60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844
70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930
80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001
90 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,2060
100 1,2065 1,2069 1,2073 1,2077 1,2081 1,2084 1,2087 1,2090 1,2093 1,2096
(Sumber: Suripin, 2004)
Tabel 2.8 Reduced standard deviation (Sn)
(Sumber: Suripin, 2004)
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220
20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353
30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5403 0,5410 0,5418 0,5424 0,5436
40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518
60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545
70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567
80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585
90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599
100 0,5600 0,5602 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,5610 0,5611
15
Tabel 2.9 Reduced variate (YTr)
Periode Ulang
Tr (tahun)
Reduced Variate
Ytr
Periode Ulang
Tr (tahun)
Reduced Variate
YTr
2 0,3668 100 4,6012
5 1,5004 200 5,2969
10 2,2510 250 5,5206
20 2,9709 500 6,2149
25 3,1993 1000 6,9087
50 3,9028 5000 8,5188
75 4,3117 10000 9,2121
(Sumber: Suripin, 2004)
Ada parameter – parameter pendekatan statistik Sebelum menganalisis
data hujan dengan salah satu distribusi di atas, untuk menetukan distribusi yang
sesuai dan dapat diguankan. Parameter-parameter tersebut sebagai berikut ini :
(Suripin, 2004)
( )
∑
( )
( ) √∑ ( )
( )
( )
( )
( ) ∑ ( )
( )( ) ( )
( ) ∑ ( )
( )( )( ) ( )
16
Tabel 2.10. Karakteristik Distribusi Frekuensi
Jenis distribusi frekuensi Syarat distribusi
Distribusi Normal Cs = 0 dan Ck = 3
Distribusi Log Normal Cs >0 dan Ck >3
Distribusi Gumbel Cs = 1,139 dan Ck =5,402
Distribusi Log-Person III Cs antara 0 – 0,9
(Sumber: Soewarno, 1995)
2.1.5 Uji Keselarasan Distribusi
Uji keselarasan terdiri dari 2 uji yaitu Chi Squere dan smirnov-klomogrof.
Uji ini bertujuan untuk mengetahui jika persamaan distriusi peluang yang dipilih
dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang di analisis.
Uji Chi Kuadrat
Uji keselarasan Chi Kuadrat bertujuan untuk menentukan apakah distribusi
yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Uji
Chi Kuadrat ini menggunakan parameter X2, dimana uji ini diperoleh berdasarkan
rumus (Suripin, 2004) :
∑
( )
( )
ℎ2 : Parameter chi kuadrat terhitung
G : Jumlah sub kelompok
: Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
: Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
Paramater ℎ2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai ℎ2 sama
atau lebih besar dari nilai chi kuadrat sebenarnya ( 2).
Dalam pengujian ini akan menentukan persamaan distribusi dapat diterima
apabila peluang lebih dari 5 %, persamaan tidak dapat diterima apabila peluang
17
kurang dari 1 % dan persamaan dinyatakan perlu data tambahan bila peluang berada
di antara 1 – 5 %. Derajat kebebasan (dk) = G – R – 1 (nilai R = 2 untuk distribusi
normal dan binomial) (Suripin, 2004).
1. Uji Smirnov-Kolgomorov
Dikenal dengan uji kecocokan non parametric karena pengujiannya tidak
menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedurnya sebagai berikut :
Urutkan data dari besar ke kecil atau sebaliknya
dan tentukan peluangnya dari masing-masing data tersebut.
X1 = P(X1)
X2 = P(X2)
X3 = P(X3) dan seterusnya
Urutkan nilai masing – masing peluang teoritis dari hasil pengambaran data
(persamaan distribusinya)
X1 = P’(X1)
X2 = P’(X2)
X3 = P’(X3) dan seterusnya
Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih antara pengamatan dan
peluang teoritis.
D = Maksimum {P(Xn) – P’(Xn)}
Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolmogorov test) tentukan harga Do dari
tabel pada Tabel 11 (Suripin, 2004)
18
Tabel 2.11. Nilai kritis Do untuk uji Smirnov-Kolmogorov
(Sumber: Bonnier, 1980 dalam Suripin, 2004)
2.1.6 Perhitungan Intensitas Hujan
Intensitas hujan adalah besarnya air hujan yang turun yang di nyatankan
dengan satuan waktu. Intesitas hujan di hari berbeda tergantung lamanya hujan dan
banyakanya frekuensinya. Hubungan antara intensitas, lama hujan, dan frekuensi
hujan dinyatakan dalam lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF = Intensity-
Duration-Frequency Curve).
Data yang digunakan adalah data hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi
dalam waktu singkat, seperti hujan 5, 10, 15, ... 120 menitan atau lebih. Untuk itu
diperlukan data hujan dari stasiun pencatat hujan otomatis. Pembuatan kurva IDF
dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut (Triatmodjo, 2008) :
1. Ditetapkan durasi hujan tertentu, misalnya 5, 10, 15,... menit.
2. Dari data pencatatan hujan otomatis, yang menunjukan jumlah kumulatif hujan
terhadap waktu, dicatat kedalaman hujan deras dengan beberapa durasi tersebut.
Selanjutnya dipilih kedalaman hujan maksimum untuk masing – masing tahun
N Derajat kepercayaan (Do)
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,4
5
0,51 0,56 0,6
7 10 0,3
2
0,37 0,41 0,4
9 15 0,2
7
0,30 0,34 0,4
0 20 0,2
3
0,26 0,29 0,3
6 25 0,2
1
0,24 0,27 0,3
2 30 0,1
9
0,22 0,24 0,2
9 35 0,1
8
0,20 0,23 0,2
7 40 0,1
7
0,19 0,21 0,2
5 45 0,1
6
0,18 0,20 0,2
4 50 0,1
5
0,17 0,19 0,2
3 N>50 1,07
N0,5
1, 22
N0,5
1,36
N0,5
1, 63
N0,5
19
pencatatan, sehingga terdapat sejumlah data yang mewakili seluruh tahun
pencatatan.
3. Kedalaman hujan yang diperoleh dalam butir 2, dapat dikonversi menjadi
intensitas hujan dengan menggunakan hubungan i = 60 p/t, dimana p adalah
kedalaman hujan dan t adalah durasi (5, 10, 15,... menit).
4. Dihitung intensitas hujan ekstrim untuk beberapa periode ulang dengan
menggunakan analisis frekuensi.
5. Dibuat kurva hubungan antara intensitas huan dan durasi hujan untuk beberapa
periode ulang, sehingga didapat kurva IDF.
Perhitungan lainnya merupakan metode yang sering digunakan dan biasanya
berdasarkan pencatatan data curah hujan secara manual serta dapat dibuat dengan
salah satu dari beberapa persamaan berikut (Suripin, 2004) :
1. Rumus Talbot (1881), rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan
dan tetapan – tetapan a dan b ditentukan dengan harga – harga yang terukur
( )
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = Lamanya hujan (jam)
a dan b = Konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS
2. Rumus Sherman (1905), rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah
hujan yang lamanya lebih dari 2 jam.
( )
I= Intensitas hujan (mm/jam)
t = Lamanya hujan (jam)
n= Konstanta
3. Rumus Ishiguro (1953)
√ ( )
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = Lamanya hujan (jam)
20
a dan b = Konstanta
4. Rumus Mononobe, dapat dilakukan apabila data hujan jangka pendek tidak
tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat
dihitung.
(
)
( )
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = Lamanya hujan (jam)
24 = Curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)
Dalam menentukan perkiraan pemilihan metode intensitas hujan diantara
metode –metode yang digunakan dengan cara melakukan telaah terhadap deviasi
antara data terukur dan hasil prediksi, maka metode dengan deviasi rata – rata M([s])
terkecil dianggap sebagai metode paling cocok (Suripin, 2004).
2.1.7 Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah perbandingan antara jumlah air hujan yang
mengalir atau melimpas di atas permukaan tanah (surface run-off) dengan
jumlah air hujan yang jatuh dari atmosfer. Nilai koefisien pengaliran berkisar
antara 0 sampai dengan 1 dan bergantung dari jenis tanah, jenis vegetasi,
karakteristik tata guna lahan dan konstruksi yang ada di permukaan tanah seperti
jalan aspal, atap bangunan dan lain-lain, yang menyebabkan air hujan tidak
dapat sampai secara langsung ke permukaan tanah sehingga tidak dapat
berinfiltrasi, maka akan menghasilkan limpasan permukaan hampir 100 %.
Koefisien pengaliran dapat ditentukan berdasarkan curah hujan (Wesli, 2008).
Besarnya nilai koefisien pengaliran (C) untuk daerah perumahan
berdasarkan penelitian para ahli dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini
21
Tabel 2.12. Koefisien Aliran Untuk Metode Rasional
(Sumber: McGuen, 1989 dalam Suripin, 2004)
2.1.8 Metode Perhitungan Debit Banjir
Secara umum, metode perhitungan yang berkaitan dengan memperkirakan
laju aliran puncak (debit banjir) yang umum digunakan terdiri atas metode rasional
dan metode hidrograf satuan (Suripin, 2004). Penerapan terhadap metode – metode
perhitungan debit banjir bergantung pada ketersediaan data, tingkat kedetailan
22
perhitungan dan tingkat bahaya kerusakan akibat banjir. Dalam penulisan ini metode
perhitungan yang digunakan adalah Metode Rasional.
( )
Qp adalah laju aliran permukaan (debit) puncak dalam m3/detik. C adalah
koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1). I adalah intensitas hujan dalam mm/jam, dan
A adalah luas daerah aliran sungai dalam hektar. Metode rasional dikembangkan
berdasarkan asumsi bahwa hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan
merata di seluruh daerah aliran sungai selama paling sedikit sama dengan waktu
konsentrasi (tc) daerah aliran sungai. Hujan dengan intensitas seragam dan merata di
seluruh daerah aliran sungai berdurasi sama dengan waktu konsentrasi (tc). Jika
hujan yang terjadi lamanya kurang dari tc maka debit puncak yang terjadi lebih kecil
dari Qp karena seluruh daerah aliran sungai tidak dapat memberikan kontribusi
aliran secara bersama pada titik kontrol (outlet). Sebaliknya, jika hujan yang terjadi
lebih lama dari tc maka debit aliran permukaan akan tetap sama dengan Qp.
Koefisien aliran permukaan (C) didefinisikan sebagai nisbah antara puncak
aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi C
adalah
laju infiltrasi tanah atau prosentase lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman
penutup dan intensitas hujan. Permukaan kedap air seperti perkerasan aspal dan atap
bangunan akan menghasilkan aliran hampir 100 % setelah permukaan menjadi basah
seberapa pun kemiringannya.
Waktu konsentrasi (tc) suatu daerah aliran sungai adalah waktu yang
diperlukan air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat
keluaran daerah aliran sungai (titik kontrol/outlet) setelah tanah menjadi jenuh dan
depresi – depresi kecil terpenuhi. Dalam hal ini diasumsikan jika durasi hujan sama
dengan waktu konsentrasi maka setiap bagian daerah aliran sungai secara serentak
telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol, metode yang digunakan untuk
memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich
(1940) dapat dituliskan (Suripin, 2004) :
(
)
( )
23
dimana tc adalah waktu konsentrasi jam, L adalah panjangnya saluran utama
dari hulu sampai penguras dalam Km, dan S adalah kemiringan rata – rata saluran
dalam m/m. Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan membedakannya menjadi dua
komponen yaitu waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan
sampai saluran terdekat (to) dan waktu perjalanan dari pertama masuk saluran
sampai titik keluaran (td), sehingga rumusnya dapat ditulis
( )
dimana
(
√ ) ( )
Dan
( )
n = Angka kekasaran Manning
S = Kemiringan lahan
L = Panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m)
V = Kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik)
Sedangkan untuk intensitas hujan dapat dihitung dengan menggunakan metode
Mononobe.
2.1.9 Rumus Empiris Kecepatan Rata – Rata
Distribusi kecepatan pada dasarnya tidak merata di setiap titik pada
penampang melintang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya permukaan bebas dan
gaya gesekan disepanjang dinding saluran. Kecepatan maksimum dalam saluran
biasanya terjadi di bawah permukaan bebas sedalam 0,05 sampai 0,25 kali
kedalamannya. Makin dekat ke tepi saluran berarti makin dalam dan mencapai
maksimum. Distribusi kecepatan pada penampang saluran juga tergantung pada
faktor – faktor lain, seperti bentuk penampang yang tidak lazim, kekasaran saluran
dan adanya tekukan – tekukan. Pada arus yang lebar, deras dan dangkal atau saluran
yang sangat licin, kecepatan maksimum sering terjadi di permukaan bebas. Pada
tikungan, kecepatan meningkat pada bagian cembung, menimbulkan gaya
sentrifugal pada aliran (Chow, 1998).
24
Aliran seragam pada saluran terbuka tidak dapat terjadi pada kecepatan aliran yang
besar atau kemiringan saluran sangat besar. Apabila kecepatan aliran melampaui
batas tertentu (kecepatan kritis), maka muka air menjadi tidak stabil dan akan
menjadi gelombang (Triatmodjo, 1993). Oleh karena aliran
permanen/tunak seragam (steady uniform flow) pada saluran terbuka,
keadaan aliran sangat jarang ditemui dalam bentuk aliran laminer dan sebagian besar
dalam keadaan turbulen dimana perhitungan terhadap distribusi kecepatan sangat
sulit maka digunakan pendekatan empiris untuk menghitung kecepatan rata – rata
sebagai berikut:
1. Rumus Chezy (1769)
Kecepatan untuk aliran seragam, dengan beberapa asumsi :
aliran adalah permanen
kemiringan dasar saluran adalah kecil
saluran adalah prismatik
√ ( )
V = Kecepatan rata – rata (m/dt)
C = Faktor tahanan aliran (koefisien chezy)
R = Jari – jari Hidrolis
S0 = Kemiringan dasar saluran
2. Strickler
Rumus Strickles merupakan hubungan antara nilai koefisien n dari rumus
manning dan ganguillet-Kutter sebagai fungsi dari dimensi material yang
membentuk dinding saluran.
(
)
( )
Sedangkan rumus kecepatannya :
( )
25
R = Jari – jari hidrolis
S = Kemiringan saluran
35 = diameter yang berhubungan dengan 35% berat dari material
dengan diameter yang lebih besar
3. Manning
Rumus manning yang paling terkenal dan paling banyak digunakan karena
mudah pemakaiannya.
( )
Dengan n adalah koefisien kekasaran Manning (TL-1/3) dan bukan bilangan
nondimensional. Korelasi koefisien Chezy dan Manning dapat dijabarkan menjadi
rumus sebagai berikut :
( )
R = Jari – jari hidrolis
S = Kemiringan saluran
n = Koefisien Manning, dengan nilai koefisien pada tabel dibawah ini
3. Penampang Saluran Ekonomis
Kemiringan dan kekasaran saluran tertentu, kecepatan akan bertambah dengan jari –
jari hidrolis, sehingga untuk luas penampang basah tertentu debit akan maksimum
apabila nilai jari – jari hidrolis (R) maksimum atau apabila keliling basah (P)
minimum. Dengan kata lain untuk debit aliran tertentu, luas penampang melintang
saluran akan minimum apabila saluran mempunyai nilai jari – jari hidrolis (R)
maksimum atau keliling basah (P) minimum. Penampang melintang saluran tersebut
dapat disebut penampang saluran ekonomis (efisien) untuk luas penampang tertentu.
Dalam menentukan penampang yang paling efesien dengan menggunakan rumus
debit aliran dan pendekatan rumus Manning (Bambang Triatmodjo, 1993):
( )
( )
Q = Debit Aliran
26
A = Luas Penampang Saluran
R = Jari – jari hidrolis
S = Kemiringan saluran
P = Keliling Basah
Penampang saluran buatan biasanya dirancang atau didesain berdasarkan bentuk
geometris yang umum. Bentuk paling umum untuk saluran berdinding tanah yang
tidak dilapisi adalah bentuk trapesium, oleh karena stabilitas kemiringan dindingnya
dapat disesuaikan. Bentuk persegi panjang dan segitiga umumnya mempunyai sisi
tegak dengan dinding saluran dibangun dengan menggunakan bahan yang stabil
seperti pasangan batu, logam maupun kayu. Penjabaran singkat terhadap bentuk
penampang yang efsien adalah sebagai berikut (Suripin, 2004) :
1. Penampang Persegi
Notasi pada penampang berbentuk persegi dengan lebar dasar (B) dan kedalaman air
(h), luas penampang basah (A) dan keliling basah (P) dapat dituliskan :
ℎ
ℎ ( )
ℎ ( )
Keliling minimum (P) maka
ℎ ℎ
( )
Jari – jari hidrolik
ℎ
( )
Bentuk penampang melintang persegi yang paling efisien adalah jika kedalaman air
setengah dari lebar dasar saluran atau jari – jari hidrolis setengah kedalaman air.
2. Penampang Trapesium
Luas penampang melintang (A), keliling basah (P), lebar dasar penampang
melintang (B) dan kemiringan dinding 1 : m dapat dirumuskan sebagai berikut:
( ℎ )ℎ ( )
ℎ√ ℎ √ ( )
27
Penampang basah yang efisien didapat apabila lebar muka air (T) adalah 2 kali
panjang sisi miring (tebing) saluran. Kondisi ini didapat apabila sudut kemiringan
tebing saluran terhadap horizontal adalah 60° yang dapat dituliskan:
ℎ ℎ√ ( )
ℎ √ ( )
Dengan m :
√ ( )
atau α = 60°
Jari – jari hidrolis
ℎ
( )
3. Penampang Segitiga
Pada potongan melintang saluran yang berbentuk segitiga dengan kemiringan sisi
terhadap garis vertikal (𝜃), dan kedalaman air (h) dapat ditulis :
ℎ ℎ √
( )
( ℎ ) ( )
Saluran berbentuk segitiga yang paling ekonomis adalah jika kemiringan
dindingnya membentuk sudut 45° atau m = 1
28
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Jurnal 1
Pitaloka dan Lasminto JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-
3539
Perencanaan Sistem Drainase Kebon Agung Kota Surabaya, Jawa Timur
Genagan yang terjadi di kecamatan jambangan terjadi karena luapan saluran
kebon Agung. Luapan saluran Kebon Agung terjadi karena tidak mampunya pompa
– pompa untuk mengurangi debit air hujan. Evaluasi kondisi saluran eksisting ini
akan dilakukan dengan melakukan analisis hidrologi dengan menggunakan metode
persen type III dan dibantu dengan program HEC-HMS dan analisis hidrolika di
bantu dengan program HEC-RAS dalam percobaan 2 kali simulasi Unsteady flow
pada saluran eksisting dan saluran rencana.
Dari hasil analisis di dapat bahwa saluran Kebon Agung saat ini tidak dapat
mengalirkan debit banjir rencana jadi dibutuhkan perencanaan saluran baru pada
saluran primer dengan lebar saluran antara 8 - 15 m dengan kedalaman 3 m, saluran
sekunder dengan lebar antara 5 - 8 m dengan kedalaman 2,5 m dan saluran terier
dengan lebar antara 1,2 - 2 dengan kedalaman 1-2 m dan penambahan Pompa anti
banjir 5 buah dengan kapasitas 5m3/detik dan 3 buah pompa dengan kapasitas 1,5
m3/detik.
Kata Kunci—Drainase, HEC-HMS, HEC-RAS, Kebon Agung
29
2.2.2 JURNAL 2
Kusumastuti, Djajadi, dan Rumihin, Procedia Engineering 125 ( 2015 ) 263 –
269
Evaluasi kapasitas saluran drainase di kota Ambon: Sebuah studi kasus pada
banjir DAS Wai Batu Merah
Kegagalan kapasitas drainase perkotaan untuk mengalirkan limpasan
permukaan karena curah hujan kemungkinan menjadi faktor penyebab banyak faktor
lainnya Banjir di daerah perkotaan Banjir besar di Ambon pada tahun 2013 yang
menyebabkan kerugian ekonomi dan hilangnya nyawa manusia adalah latar
belakangnya Melakukan penelitian yang disajikan dalam makalah ini. Ambon
adalah ibu kota Provinsi Maluku yang terletak di Kawasan Timur Indonesia.
Baru-baru ini, kawasan kota ini berkembang menjadi kawasan
permukiman. Penelitian ini dilakukan secara khusus di Wai Batu Merah
DAS, DAS di Ambon yang sangat rusak akibat banjir pada tahun 2013. Analisis
tersebut menekankan pada evaluasi Kapasitas saluran drainase yang ada (natural dan
buatan manusia). Data curah hujan harian dari stasiun Pattimura selama tahun 2004
– 2013 Dulu digunakan sebagai data utama untuk memperkirakan desain curah
hujan dan desain banjir. Desain curah hujan merupakan data utama model rainfall-
runoff Yang dilakukan dengan menggunakan Hidrograf Unit Sintetis SCS.
Sedangkan fluktuasi ketinggian air sepanjang sungai utama disimulasikan
Menggunakan analisis arus goyah dengan masukan desain banjir 50 tahun. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa satu tersier yang ada Saluran drainase tidak dapat
menampung debit arus darat dan dari hulu ke hilir Wai Batu Merah Sungai
melimpah. Khususnya pada acara banjir di tahun 2013, hari hujan berturut-turut
terjadi sejak awal Juli sampai pertengahan Agustus dengan kedalaman curah hujan
lebih dari tiga kali lipat dari periode pengembalian maksimal curah hujan harian
maksimal 50 tahun. Pada keadaan itu, banjir Tentunya tidak bisa dihindari di daerah
yang berdekatan dengan sungai
30
2.2.3 Jurnal 3
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW),
Surabaya, 11 Juni 2015 (Rahmawati, Damayanti dan Soedjono )
Evaluasi Sistem Drainase Terhadap Penanggulangan Genangan di
Kota Sidoarjo
Genangan yang terjadi di Sidoarjo terjadi karena adanya perubahan tata
guna lahan yang semula adalah sawah dan irigasi sekarang menjadi wilayah yang
terbangun seperti perumahan, pergudangan dan industrial, hal ini meyebabkan tidak
adanya daerah resapan air hujan, yang berfungsi untuk menampung sementara air
hujan sebelum mengalir ke saluran. Penelitian ini dapat di lakukan dengan
perhitungan curah hujan rancangan dengan kala ulang 5 tahun untuk saluran
sekunder dan 10 tahun untuk saluran primer menggunkan metode log persen type III
dan perhitunga ndebit air rencana dengan metode rasional. Dari hasil penelitian di
dapat 40 saluran dari 131 saluran yang ada tidak dapat menampung debit banjir
rencana hal ini ada 2 alternatif yang di gunakan dengan cara normalisasi saluran dan
penerapan saluran porus dengan debit serap sebesar 0,0996 m3/detik.